Pandangan Ekosentrisme

download Pandangan Ekosentrisme

of 32

Transcript of Pandangan Ekosentrisme

PERSPEKTIF EKOSENTRISME DAN SKENARIO ECOSYSTEM BASED FOREST MANAGEMENT

Kajian terhadap Pembangunan KPHP Model Lalan di Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan

Paper Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Hutan Lanjutan Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan Dosen : Prof. DR. Endang Suhendang

Oleh MOHAMMAD SIDIQ. S.Hut E.151100031

PROGRAM STUDI ILMU PENGELOLAAN HUTAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga paper ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam tugas yang dilaksanakan selama dua minggu sejak awal minggu kedua Oktober 2010 ini ialah perkembangan ilmu pengetahuan, etika dan prinsip-prinsip kelestarian dalam praktek pengelolaan hutan, dengan kajian terhadap Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Lalan di Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan. Paper ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah manajemen hutan lanjutan pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS selaku Dosen Pengajar yang telah memberikan arahan dalam penugasan paper ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Tim Merang REDD Pilot Project (MRPPGTZ) Palembang atas diperkenankannya penggunaan data. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada teman-teman seangkatan IPH 2010, dan teman-teman IPH angkatan 2009, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri dan anak-anak di Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan, atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis menyadari bahwa penulisan berikut isi dari paper ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar penulisan paper ini lebih baik. Semoga paper ini dapat bermanfaat bagi kita semua, amin.

Bogor, Oktober 2010 Mohammad Sidiq, S.Hut

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ..................................................................................... DAFTAR ISI .................................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... I. PENDAHULUAN ..................................................................................... A. Latar Belakang ..................................................................................... B. Perumusan Masalah ............................................................................ C. Tujuan Penulisan ................................................................................. II. LANDASAN TEORI ................................................................................. A. Cara Pandang dari Tiga Model Etika Lingkungan Hidup.................... B. Konteks Ekosentrisme dalam Praktek Pengelolaan Hutan. ................. C. Pendekatan Rencana Kelola Berbasis KPHP untuk Kelestarian Hasil (Sustained Yield Principles) ................................................................ III. KARAKTERISTIK WILAYAH KPHP MODEL LALAN ...................... A. KPHP Model Lalan .............................................................................. B. Keruangan KPHP Model Lalan .......................................................... C. Karakteristik Ekologi KPHP Model Lalan ......................................... D. Karakteristik Sosial di Sekitar KPHP Model Lalan ............................ E. Karakteristik Ekonomi di Sekitar KPHP Model Lalan ....................... F. Karakteristik Sejarah dan Aktor di dalam KPHP Model Lalan .......... IV. METODELOGI ......................................................................................... A. Ruang Lingkup..................................................................................... 7 8 8 8 11 11 12 13 16 16 i ii iii v 1 1 2 2 3 3 5

B. Alat, Bahan dan Obyek Kajian ............................................................ C. Analisis Data ........................................................................................ V. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................. A. Cara Pandang Ekosentrisme: Integritas Ekologi dan Ekonomi dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan ............................................... B. Hubungan antara Cara Pandang Ekosentrisme dengan Pengaturan Kelestarian Hasil dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan ................... C. Kajian terhadap Skenario Pengelolaan KPHP Model Lalan dalam Perspektif Ecosystem Based Forest Management..................... VI. SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... A. Simpulan .............................................................................................. B. Saran... .................................................................................................

16 16 17

17

17

19 23 23 24

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

25

DAFTAR TABEL Halaman 1. Cara Pandang dari Ketiga Model Teori Etika Lingkungan Hidup .......... 2. Kelebihan dan Kelemahan Bawaan dari Ketiga Model Teori Etika Lingkungan Hidup ..................................................................................... 3. Perkembangan Kegiatan Pokok Masyarakat Berkaitan dengan Pemanfaatan Sumberdaya Alam Selama Periode 1958-2009 .................... 4. Daftar Aktor yang Terlibat dalam Intervensi dan Eksploitasi Kawasan Hutan di dalam KPHP Model Lalan Sejak Tahun 1979 -2008 ................. 3 4 12 14

DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Peta Wilayah KPHP Model Lalan ....................................................... 2. Peta Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di KPHP Model Lalan 3. Hubungan antara Tingkat Pemanenan, Stock dan Growth .................... 4. Hubungan antara Faktor-faktor Berpengaruh dalam EBFM di Landscape KPHP Model Lalan ................................................................................. 22 9 10 18

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pemanfaatan sumberdaya alam (seperti hutan) oleh manusia tidak terlepas dari pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia tentang hutan dan pengelolaannya. Dalam realitanya sekelompok manusia memerlukan, mendambakan dan bergantung kepada hutan dalam kehidupan sehari-harinya seiring dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya. Dalam peradabannya, manusia menciptakan lingkungan dan lingkungan yang ada saat ini merupakan perwujudan dari aktivitas manusia di masa lampau (Suhendang, 2002). Dalam hal hubungan manusia dan lingkungan, terdapat beberapa paham, konsepsi dan pelaksanaan yang menjelaskan hakekat dari hubungan tersebut. Pendapat Keraf (2002) menyatakan bahwa paham, konsepsi, cara pandang dan perilaku manusia terhadap lingkungan itu berkembang atas dasar pengembangan etika, yakni etika lingkungan. Etika lingkungan berkembang sejalan dengan adanya pergeseran tujuan pengelolaan lingkungan yang mengarah pada konsep sustainable (lestari, berkelanjutan). Pergeseran etika semacam itu muncul karena adanya kesadaran manusia bahwa sumberdaya alam perlu diwariskan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia di masa depan secara lestari. Banyak contoh skenario pengelolaan lingkungan (hutan) yang dirancang atas dasar prinsip kelestarian, salah satu contoh adalah skenario pengelolaan hutan produksi di luar Pulau Jawa melalui unit pengelolaan hutan produksi, Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi (KPHP). Satu hal mendasar, KPHP dirancang oleh tim Departemen Kehutanan dan DFID (1997) sebagai suatu kesatuan manajemen terkecil dari kawasan hutan produksi yang dikelola berdasarkan azas kelestarian dan azas perusahaan, agar kegiatan-kegiatan pengusahaan hutan dapat terselenggara secara lestari. Di Sumatera Selatan khususnya di kelompok Hutan Produksi Lalan Kabupaten Musi Banyuasin, KPHP Model Lalan ditetapkan sebagai model KPHP yang diharapkan dapat mengoperasionalkan praktek pengelolaan hutan sampai di

2 tingkat tapak/petak. Pembetukan KPHP Model Lalan relatif baru. Tujuan pembentukannya secara prinsip untuk mencapai pengelolaan hutan lestari (sustanable forest management, SFM). Skenario pengelolaan yang seperti apa yang sebaiknya dioperasionalkan masih menjadi pertanyaan besar. Untuk itu, tulisan ini terutama akan mengkaji bagaimana keterkaitan antara cara pandang ekosentrisme, hubungannya dengan prinsip pengaturan kelestarian hasil dan skenario mengoperasionalkan metode-metode pengaturan hasil di tingkat tapak KPHP. B. Perumusan Masalah KPHP Model Lalan dibentuk dan ditetapkan oleh Menteri Kehutanan pada bulan Desember 2009. Bupati Musi Banyuasin telah menetapkan kelembagaan KPHP Model Lalan dalam bentuk UPTD KPHP. UPTD KPHP dirancang sebagai embrio dari pengelola KPHP Model Lalan yang sebenarnya. Dari data Dinas Kehutanan Kab. Musi Banyuasin (2009), luas wilayah KPHP Lalan lebih kurang 265.953 ha. Lebih dari 60 % dari wilayah kelola KPHP Model Lalan telah dibebani izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu. Ijin usaha dan pemanfaatan tersebut meliputi: (1) IUPHHK-HA, (2) IUPHHK-HT, (3) proyek percontohan REDD, (4) Desa Hutan, dan (5) Pencadangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Berkaitan dengan paham dan pemikiran ekosentrisme, suatu alternatif pengelolaan adalah pengelolaan hutan berbasis pada kesatuan bentang alam ekologis, atau Ecosystem Based Forest Management (EBFM). Bagaimana skenario mengoperasionalkan EBFM pada unit landscape KPHP Model Lalan, terutama kaitannya dengan prinsip kelestarian hasil. C. Tujuan Penulisan Kajian ini bertujuan untuk mendeskripsikan hubungan antara salah satu model teori etika lingkungan, prinsip kelestarian hasil dan skenario pengelolaan KPHP untuk tujuan Pengelolaan Hutan Lestari (Sustanable Forest Management, SFM) di tingkat unit manajemen, KPHP Model Lalan.

II. LANDASAN TEORI

A. Cara Pandang dari Tiga Model Teori Etika Lingkungan Hidup Secara teoritis, setidaknya ada tiga model teori etika lingkungan hidup yaitu Etika Lingkungan Dangkal, yang dikenal sebagai paham antroposentrisme, Etika Lingkungan Menengah, yang dikenal sebagai paham biosentrisme dan Etika Lingkungan Dalam, yang dikenal sebagai paham ekosentrisme. Ketiganya memiliki cara pandang yang berbeda tentang manusia, alam dan hubungan manusia dengan alam (Keraf, 2010). Perbadingan cara pandang dari ketiga model teori etika lingkungan hidup (Keraf, 2010 dan Susilo, 2008) adalah sebagai berikut: Tabel 1. Cara Pandang dari Ketiga Model Teori Etika Lingkungan HidupSudut Pandang Eksistensi dan identitas Antroposentrisme Dibentuk dari komunitas sosial. Biosentrisme Dibentuk dari kehidupan dan mahluk hidup. Diperlakukan secara moral, karena memberi begitu banyak kehidupan. Setiap kehidupan dan mahluk hidup mempunyai nilai moral yang samasehingga harus dilindungi dan selamatan. Berusaha untuk mempertahankan kehidupan dengan sikap hormat dan sedalam-dalamnya. Ekosentrisme Dibentuk dari alam, ekologi baik yang hidup maupun tidak. Harmonis dengan alam, keberlanjutan ekologi.

Pola hubungan manusia dengan alam

Relasi intrumentalistik, alam hanya sebagai alat/obyek. Kebutuhan dan kepentingan manusia, egoistis: demi kepentingan manusia.

Nilai tertinggi

Memusatkan kepentingan tidak hanya untuk jangka pendek, tetapi jangka panjang.

Peran dan tanggung jawab terhadap lingkungan

Dianggap berlebihan.

Kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada mahluk hidup tetapi juga pada lingkungan tak hidup.

4 Dalam konteks perlindungan lingkungan hidup, ada beberapa kelebihan dan kelemahan bawaan dari ketiga model teori etika lingkungan hidup (Keraf, 2010 dan Susilo, 2008). Secara garis besar kelebihan dan kelemahan tersebut sebagai berikut: Tabel 2. Kelebihan dan kelemahan bawaan dari Ketiga Model Teori Etika Lingkungan HidupModel Etika Lingkungan Antroposentrisme Kelebihan Menerima secara positif pertumbuhan ekonomi. Kebijakan dan manajemen sumber daya alam untuk kepentingan manusia. Kelemahan Masalah-masalah yang tidak menyentuh kepentingan manusia secara langsung diabaikan. Eksploitasi adalah cara termudah bagi manusia memenuhi kepentingannya. Mengutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak menekankan tanggung jawab manusia. Orientasi jangka pendek pada kepentingan ekonomi, norma untung rugi. Biosentrisme Manusia dan alam keduanya memiliki nilai, dan alam memiliki nilai karena intervensi manusia untuk memberikan nilai tersebut. Pembatasan eksploitasi atau merusak karena tindakan tersebut akan merusak keutuhan dan stabilitas alam. Membiarkan alam dan tidak mengambil keuntungan untuk kebutuhan manusia. Ada perkembangan teknologi, namun tidak termanfaatkan dengan baik. Tidak mengoptimalkan prinsip-prinsip prestasi diri untuk pencapaian kemajuan. Kepentingan manusia bisa dikorbankan atau ditiadakan untuk suatu kepentingan lingkungan. Mengkritik sistem ekonomi dan politik.

Ekosentrisme

Paradigma berkelanjutan ekologi sebagai basis untuk pembangunan berkelanjutan. Menekankan hak hidup mahluk lain, walaupun

5

Model Etika Lingkungan

Kelebihan dapat dimanfaatkan oleh manusia, tidak boleh diperlakukan sewenangwenang. Kebijakan manajemen lingkungan bagi semua mahluk dan menyodorkan sistem alternatif yaitu sistem mengambil sambil memelihara.

Kelemahan

B. Konteks Ekosentrisme dalam Praktek Pengelolaan Hutan Cara pandang ekosentrisme tergolong paham yang sangat idealis yang peduli terhadap lingkungan. Susilo (2008) menyebutnya paham ini sebagai paham yang memperjuangkan keseimbangan secara holistik terhadap keseluruhan konteks global antara manusia, alam dengan kehidupan dan budaya yang beragam. Keseimbangan secara holistik dalam konteks pengelolaan hutan

mengandung arti kelestarian fungsi ekosistem hutan secara utuh dan menyeluruh. Dalam konteks tersebut, Suhendang (2005) menyatakan tiga dimensi ekosistem hutan, yaitu: (1) dimensi kelestarian kawasan ekosistem hutan, (2) dimensi kelestarian kualitas dan produktivitas ekosistem hutan, (3) dimensi kelestarian fungsi ekonomis, ekologis, dan sosial ekosistem hutan secara optimal. Dikaitkan dengan pendapat Upton dan Bass (1995) dalam Sardjono (2004), dimensi kelestarian kawasan ekosistem hutan dari Suhendang (2005) mengandung arti kelestarian lingkungan (environmental sustainability); kelestarian ekonomi (economic sustainability); dan kelestarian sosial (social sustainability). Secara mendetil, tiga prinsip dasar dalam pengelolaan hutan berbasis ekosistem (Suhendang, 2005), yaitu: a. Prinsip Keutuhan (holistic) Prinsip ini mengandung arti bahwa penyelenggaraan pengelolaan hutan harus mempertimbangkan dan sesuai dengan keadaan dan potensi seluruh

6 komponen pembentuk hutan (hayati dan non hayati); kawasan lingkungannya (biofisik, ekonomi, politik, dan sosial-budaya masyarakat), memperhatikan dan dapat memenuhi kepentingan manusia dan mampu mendukung kehidupan mahluk hidup (selain manusia) serta keberlanjutan keberadaan alam semesta. Tingkat keutuhan lingkungan hidup menurut Darusman (2002) hendaknya dipandang sebagai keseimbangan yang dinamis, sesuai dengan kondisi/kemajuan manusia. b. Prinsip Keterpaduan (Integrated) Prinsip ini mengandung arti bahwa penyelenggaraan pengelolaan hutan harus berlandaskan kepada pertimbangan keseluruhan hubungan ketergantungan dan keterkaitan antara komponen-komponen pembentuk ekosistem hutan serta pihak-pihak yang tergantung dan berkepentingan terhadap hutan dalam keseluruhan aspek kehidupannya, mencakup : aspek lingkungan, aspek ekonomi, dan aspek sosial-budaya. c. Prinsip Kelestarian (Sustainability) Prinsip ini mengandung arti bahwa fungsi dan manfaat ekosistem hutan dalam segala bentuknya harus dapat dinikmati oleh umat manusia dan seluruh kehidupan di muka bumi ini dari generasi sekarang dan generasi yang akan datang secara bekelanjutan dengan potensi dan kualitas yang sekurang-kurangnya sama (tidak menurun). Jadi tidak boleh terjadi pengorbanan (pengurangan) fungsi dan manfaat ekosistem hutan yang harus dipikul suatu generasi tertentu akibat keserakahan generasi sebelumnya. Prinsip ini mengandung konsekuensi terhadap luasan hutan, produktivitas dan kualitas (kesehatan) hutan yang setidaknya tetap (tidak berkurang) dalam setiap generasinya. Selanjutnya Suhendang (2005) menyatakan bahwa untuk mewujudkan prinsip-prinsip dalam pengelolaan hutan berbasis ekosistem tersebut, diperlukan tiga komponen kegiatan dan/atau sikap utama, yaitu : (1) penataan ruang yang bersifat rasional dalam setiap kesatuan bentang alam (landscape scenario), (2) komitmen yang kuat terhadap tata ruang yang telah disepakati (strong commitment), dan (3) kebersamaan dalam perumusan kebijakan dan penyelenggaraan program pengelolaan (colaborative management).

7 C. Pendekatan Rencana Kelola Berbasis KPHP untuk Kelestarian Hasil (Sustained Yield Principle) Prinsip kelestarian hasil merupakan salah satu dasar bagi rencana pengelolaan hutan. Rencana kelola atas sumberdaya hutan dibuat sebagai uraian spesifik dari suatu aktifitas pengelolaan hutan untuk mencapai tujuan kelestarian hasil hutan, baik untuk barang dan jasa. Dalam konteks rencana kelola, metodemetode pengaturan hasil hutan digunakan untuk memperhitungkan jumlah volume kayu (m3/tahun) setiap tahunnya dikaitkan dengan luasan yang semestinya dipanen. Pendekatan prinsip kelestarian hasil dalam rencana kelola hutan adalah dalam hal memperhitungkan aturan pemanenan secara teratur sehingga tujuan kelestarian dari waktu-kewaktu dapat dipenuhi (Bettinger, et.al, 2009; Suhendang, 2002; Helms, 1998 dalam Suhendang, 2002). Pendekatan rencana pengelolaan hutan alam produksi basisnya adalah batas-batas kawasan hutan yang permanen. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (Forest Management Unit), KPHP dibentuk bertujuan untuk mendapatkan basis pengelolaan hutan alam produksi yang lebih permanen. Selanjutnya, KPHP dengan batas-batas permanen itu dikelola sebagai unit kelola dengan rencana pengelolaan jangka panjang. KPHP terdiri dari satu atau lebih blok-blok hutan yang dapat dikelola dengan dasar kelestarian untuk memberikan manfaat jangka panjang kepada para seluruh pihak terkait (Silitonga, 1995 dalam Kuusipalo, et.at, 1997). Untuk konteks, unit pengelolaan KPHP, Kuusipalo, et.at, (1997) membuat pendekatan penyusunan rencana kelola hutan alam produksi dengan menggunakan Analytic Hierarchy Process (AHP). Untuk manjaminkan adanya kelestarian hasil, langkah yang ditempuh adalah dengan memilih prioritas-prioritas untuk strategi pengelolaan hutan dengan mengacu pada 3 elemen kunci, yakni keuntungan ekonomi, kelestarian sosial budaya dan keberlanjutan ekologi. Strategi alternatif yang diujikan antara lain: (1) strategi pembangunan HTI; (2) strategi sistem TPTI konvensional; (3) strategi manfaat berganda; (4) strategi TPTI instensif dan (5) strategi reklamasi hutan.

8

IV. KARAKTERISTIK WILAYAH KPHP MODEL LALAN

A. KPHP Model Lalan Di Provinsi Sumsel, wilayah KPH se provinsi telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Nomor: SK. 76/Menhut-II/2010. Dari total kawasan hutan di Provinsi Sumsel seluas 2.558.407 hektar telah dibagi menjadi wilayah KPHL sebanyak 10 unit seluas 498.946 hektar; dan wilayah KPHP sebanyak 14 unit seluas 2.059.461 hektar. Salah satunya adalah KPHP Lalan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 789/MenhutII/2009, tanggal 7 Desember 2009, KPHP Lalan ditetapkan sebagai salah satu KPHP Model di Indonesia seluas 265.953 hektar. Lokasinya terletak di Kelompok Hutan Produksi Sungai Lalan seluas 206.614 hektar, Kelompok Hutan Mangsang Mendis seluas 59.339 hektar, Kecamatan Bayung Lencir dan Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. B. Keruangan KPHP Model Lalan Kawasan hutan KPHP Model Lalan terdiri dari dua bagian daerah hutan, yakni kelompok hutan produksi Lalan dan kelompok hutan Mangsang Mendis. Batas terluar kawasan KPHP telah ditata batas dan telah temu gelang (100%). Tata batas HP Lalan telah dilakukan dalam beberapa periode, mulai dari tahun 1987/1988, periode 1988/1989 dan terakhir pada periode tahun 1994/1995 dengan panjang 361,28 km. Sedangkan tata batas HP Mangsang Mendis telah diselesaikan pada periode 1993/1994 dengan panjang total 180,85 km. Peta keruangan KPHP Model Lalan ditunjukan pada Gambar 2. Sebelum wilayah KPHP Lalan ditetapkan oleh Menteri Kehutanan, ada beberapa ijin usaha pemanfaatan di dalamnya. Lebih dari 60 % dari wilayah kelola KPHP Model Lalan telah dibebani izin, baik HTI maupun IUPHHK Hutan Alam. Skema perijinan lain yang ada di dalam wilayah KPHP antara lain: (1) Hutan Desa; (2) REDD Project untuk penyiapan perdagangan karbon melalui; dan (3) usulan pencadangan areal Hutan Tanaman Rakyat. Dua group perusahaan terbesar di wilayah ini adalah Sinar Mas Group dan Barito Pacific Timber Group.

9

Gambar 1. Peta Wilayah KPHP Model Lalan

10

Gambar 2. Peta Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di dalam KPHP Model Lalan

11

C. Karakteristik Ekologi KPHP Model Lalan Wilayah hutan produksi Lalan, merupakan hutan rawa gambut yang masih tersisa seluas 110 ribu hektar atau sekitar 15 % dari luas total kawasan hutan di Kabupaten Musi Banyuasin. Karakteristik wilayah KPHP Model Lalan berupa ekosistem hutan rawa bergambut, diantaranya merupakan kubah gambut yang cukup tebal dengan kedalamam sampai 6 m, dengan ketebalan lapisan gambut rata-rata 1,3 meter. Secara ekologis, bentangan alamnya kompak menjadi satu kesatuan ekosistem lahan basah dengan ekosistem rawa gambut di TN Sembilang, Muaro-Jambi dan TN. Berbak. Ada 1471 individu pohon (diamater 10 cm) dari 22 plot pengamatan dengan luas total 2,2 ha; Kerapatan berkisar antara 240 1140 pohon/ha dengan rata-rata 620 pohon/ha. Tercatat sedikitnya 178 jenis pohon yang termasuk dalam 42 suku dikenal. Ebenaceae tercatat sebagai suku paling dominan dengan 135 individu yang tercatat dari 1471 pohon, sementara Euphorbiaceae menunjukkan jumlah anggota marga tertinggi dan jumlah jenis terbesar. Suku-suku lain yang memiliki anggota jenis cukup besar adalah Anacardiaceae, Burseraceae, Lauraceae, Myristicaceae, Myrtaceae dan Sapotaceae (SSFFMP, 2008) Dalam survey hidupan liar, ditemukan jejak harimau (Panthera tigris), beruang madu (Helarctos malayanus) dan tapir (Tapirus indicus) yang merupakan satwa dilindungi. Selain itu beberapa jenis primata seperti owa (Hylobates agilis), lutung perak (Trachipitachus auratus), simpai (Presbhytis melalophos) dan beruk (Macaca nemestrina) masih dijumpai di kawasan hutan alam. Sedangkan kera ekor panjang (Macaca fascicularis) banyak dijumpai di sepanjang pinggir sungai walaupun di lahan terdegradasi. Rusa sambar (Cervus timorensis) dan babi hutan (Sus scrofa dan Sus barbatus) banyak dijumpai jejaknya di hutan gelam yang relatif terbuka (SSFFMP, 2008). D. Karakteristik Sosial di sekitar KPHP Model Lalan Keadaan penduduk desa di wilayah ini tergolong heterogen, pada umumnya penduduk adalah pendatang yang berasal dari berbagai kabupaten dalam wilayah

12

provinsi Sumatera Selatan, yaitu dari Kab. Ogan Komering Ilir, Kab. Ogan Ilir, Kab. Banyuasin, Kab.Musi Rawas, Palembang dan suku lainnya seperti Jawa, Jambi dan Medan. Budaya masyarakat di dalam dan sekitar KPHP Lalan 95% adalah etnis Melayu, yakni dari pengaruh budaya Banyuasin, Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, Musi Rawas, Palembang, Jambi dan Medan. Lainnya berasal dari suku Jawa dan Bali. Dari data tahun 2006, wilayah KPHP Lalan Mangsang Mendis dihuni oleh sekitar 11.279 jiwa, tersebar di 5 (lima) wilayah desa, yakni Desa Muara Merang, Desa Kepayang Indah, Desa Mangsang, Desa Pulai Gading dan Desa Muara Medak. Secara umum, desa-desa di dalam KPHP Lalan berpenduduk antara 1.200 sampai 3.200 jiwa. Kepadatan penduduk (per km2) bervariasi antara 3,0 (Muara Medak) dan 9,1 (Kepayang Indah) sampai sekitar 26,1 (Mangsang). Namun secara umum, angka kepadatan penduduk sangat rendah, rata-rata hanya 7,4 jiwa/Km. E. Karakteristik Ekonomi di sekitar KPHP Model Lalan Perekonomian masyarakat di dalam dan sekitar wilayah KPHP Lalan bersumber pada kegiatan (1) perkayuan (penebang kayu, pekerja sawmill), (2) pertanian dan perkebunan (petani karet, sawit, sayur, ladang dan buruh tani), (4) peternakan (ternak ayam, sapi, kambing dan perikanan), (5) kerajinan dan (6) pelayanan dan jasa. Tabel 3. Perkembangan Kegiatan Pokok Masyarakat Berkaitan dengan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Selama Periode 1958 2009.1958 - 1978 Nelayan Sungai Bertani Hutan Non Kayu 1979 - 2000 Pembalok Buruh HPH Sawmill Buruh Kebun Bertani Nelayan Sungai 2001 - 2009 Pembalok Buruh HTI Sawmill Buruh Kebun Bertani Usaha Kecil (Ikan, Ayam dan Sapi)

Sumber: Hasil Survey Sejarah dan Sosek di Wilayah KPHP Model Lalan Merang REDD Pilot Project (2009)

13

Komoditas yang berasal dari desa-desa di sekitar wilayah KPHP Lalan adalah getah karet, hasil ternak, dan barang-barang kerajinan. Sarana perekonomian berupa pasar umumnya digelar hanya pada hari-hari tertentu. Di pasar banyak pedagang yang berjualan datang dari luar wilayah desanya seperti dari Palembang, Sekayu dan Bayung Lencir atau kota kecamatan terdekat. Rata-rata kepemilikan lahan garapan (khususnya kebun karet) oleh penduduk di dalam dan sekitar wilayah HP Lalan Mangsang Mendis berkisar 0,5 4 hektar, tumbuh di lahan milik di sekitar desa. Beberapa lokasi kebun karet masyarakat digarap di talang-talang di dalam kawasan hutan produksi. Pada umumnya, hasil berupa getah karet dikumpulkan untuk kemudian dijual kepada pengumpul lokal di desa setempat, selanjutnya pengumpul lokal yang akan menjual getah kepada pengumpul di luar desa dengan harga jauh lebih tinggi. Pertanian intensif pada dasarnya bukan merupakan pilihan bagi penduduk di sekitar wilayah ini karena pada umumnya kualitas lahan gambut yang kurang subur. Di beberapa desa, memelihara atau beternak ikan juga bukan pilihan bagi penduduk setempat karena pada umumnya kualitas air sungai dan air parit bersifat asam, tidak cocok untuk ikan. Tingkat pendapatan masyarakat desa di dalam dan sekitar wilayah KPHP Lalan Mangsang Mendis sangat bervariasi. Berdasarkan uji petik dari dua desa di Desa Muara Merang dan Kepayang, tingkat pendapatan masyarakat didominasi oleh kelompok berpenghasilan antara 6 12 juta/tahun, yakni berkisar antara 45 50%. Kelompok berpenghasilan kurang dari 6 juta/tahun berkisar antara 15 25%. Sedangkan kelompok berpenghasilan diatas 12 juta/tahun mencapai 25 40%. F. Karakteristik Sejarah dan Aktor di dalam KPHP Model Lalan Dari hasil studi di Sub-DAS Merang dan Kepayang (MRPP, 2009), telah diidentifikasi sejak tahun 1950-an, eksploitasi dan intervesi Hutan Rawa Gambut di KPHP Model Lalan sudah dimulai dengan adanya berbagai aktivitas masyarakat seperti berotan, dan berkayu untuk keperluan rumah tangga serta pertanian. Kegiatan masyarakat pada saat itu relatif tidak mengakibatkan kerusakan pada kondisi fisik hutan. Awal kerusakan hutan di dua wilayah Sub-DAS Merang dan Kepayang dimulai sejak masuknya ijin pemanfaatan hutan melalui HPH tahun 1979. Setelah era HPH aktifitas-aktifitas berikutnya yang masuk adalah sawmill, perkebunan sawit dan

14

Hutan Tanaman Industri (HTI). Dalam masa paling tidak 35 tahun kedepan adalah masa berkembangnya HTI dan perkebunan sawit. Beberapa aktor penting yang terlibat dalam intervensi dan eksploitasi kawasan hutan di dalam KPHP Model Lalan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Daftar Aktor yang Terlibat dalam Intervensi dan Eksploitasi Kawasan Hutan di dalam KPHP Model Lalan sejak Tahun 1979 2008.No Aktor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 PT. Sukses Sumatera Timber PT. Satya Djaya Raya PT. Bumi Raya Utama Wood Industrial Kurnia Musi Plywood Industrial, Co Ltd Riwayat Musi Timber Corporation, Co Ltd PT. Inhutani V PT. Sylva PT. Humpus PT. Way Hitam PT. Harimbun Sawmill PT. Conoco Phillips PT. Pinang Witmas Sejati PT. Mentari Subur Abadi PT. Rimba Hutani Mas Wetlands International Indonesia Program (WI-IP) Wahana Bumi Hijau (WBH) Kegiatan HPH HPH HPH Plywood industry dan HPH Plywood industry dan HPH HPH HPH HPH HPH HPH Penebangan dan pengolahan kayu Perusahaan Asing Minyak Bumi dan Gas Perkebunan sawit Perkebunan sawit dan pabrik Hutan Tanaman Industri Pemberdayaan masyarakat, pelatihan, riset kampanye Pemberdayaan masyarakat, pelatihan, riset kampanye, penguatan ekonomi masyarakat, blocking canals Pelatihan dan pembentukan Tiim Brigade Kebakaran Hutan dan Lahan, survey gambut dan survey biodiversity. LSM yang menawarkan untuk dapat proyek pemerintah. Syaratnya harus menjadi anggota dan membayar Rp. 50 sampai Rp. 150.000 Menawarkan bantuan untuk pendampingan kasus pertanahan masyarakat Invetigasi illegal logging dan Hutan Tanaman Industri Survey Sosial Ekonomi Masyarakat Organisasi pemuda berbasis di

18 19

South Sumatra Forest Fire Management Project (SSFFMP) Topan RI

20 21 22 23

Poskokatara WALHI Sumatera Selatan Konsorsium Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan Sumatera Selatan (SNRMC) PMPB

15

No Aktor

Kegiatan Palembang. Disinyalir anggotanya adalah mantan preman dan beberapa pejabat. Tinjauan pengembangan ekonomi yang dilakukan oleh WBH Persatuan pemuda Merang Kepayang Patroli dan pengadaan bibit untuk rehabilitasi Penyediaan fasilitas dan sarana pengawasan dan pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Tim Terpadu, dituangkan dalam SK Gubernur Tim terpadu, dituangkan dalam SK Bupati, Dana Pendamping Koordinasi Tim pengelolaan gambut HRGMK, Lelang Lebak Lebung Penyediaan bibit ikan dan inventarisasi kawasan penting Studi dan inventarisasi Lelang Lebak Lebung Pembinaan masyarakat terbelakang Program pengentasan kemiskinan Project demonstrasi REDD

24 25 26 27 28 29

Heifer International Persatuan Merang Kepayang Bersatu (PMKPB) Dinas Kehutanan MUBA Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumsel (BKSDA) Pimprop Sumatera Selatan/ Bappeda Pemkab Musi Banyuasin/ Bappeda

30 31 32 33 34 35

Dinas Perikanan MUBA Bapedalda Pemerintah Kecamatan Bayung Lencir Dinas Sosial Pemerintah pusat lewat IDT. P3DT, dan PPK GTZ-MRPP

Sumber: Hasil Survey Sejarah dan Sosek di Wilayah KPHP Model Lalan Merang REDD Pilot Project (2009)

III. METODELOGI

A. Ruang Lingkup Kajian ini meliputi pemahaman tentang perkembangan etika lingkungan hidup dan prinsip-prinsip kelestarian dalam praktek pengelolaan hutan. Kajian ditekankan pada kajian deskriptif mengenai skenario pengelolaan hutan lestari pada suatu landscape Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Lalan. Skenari tersebut dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan hutan yang berbasis pada kesatuan bentang alam ekologis, atau dikenal sebagai Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem Ecosystem Based ForestManagement. B. Alat, Bahan dan Objek Kajian Alat yang diperlukan adalah seperangkat komputer dan alat tulis. Bahan yang diperlukan adalah data sekunder yang meliputi: 1. Data karakteristik ruang, ekologi, sosial, ekonomi dan karakteristik sejarah kawasan hutan, masyarakat dan aktor di wilayah KPHP Model Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan. 2. Data Rancangan Pembangunan KPHP Model Lalan Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan. 3. Data-data penunjang lainnya yang sumbernya dari handbook, jurmal dan artikel. Objek kajian dari paper ini adalah kajian terhadap skenario pembangunan KPHP Model Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan. C. Analisis Data Dalam tulisan ini akan disampaikan beberapa pandangan umum tentang upaya mencari keselarasan pengelolaan hutan yang melibatkan banyak aktor di dalam KPHP Model Lalan agar dapat mencapai prinsip kelestarian hasil dan tujuan pengelolaan hutan yang berbasis pada ekosistem (Ecosystem Based ForestManagement, EBFM).

17

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Cara Pandang Ekosentrisme: Integritas Ekologi dan Ekonomi dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam

Ekosentrisme memandang bahwa keberkelanjutan ekologi adalah basis untuk pembangunan berkelanjutan. Cara pandang ini menyodorkan sistem alternatif yaitu sistem mengambil sambil memelihara. Faktor-faktor produksi dan konsumsi termasuk sumberdaya alam dijaga dari kerusakan, atau dapat dipelihara kapasistas kemampuannya. Menurut Darusman (2002), terpeliharanya keutuhan sumberdaya alam berarti terpeliharanya kapasitas produksi dan konsumsinya bagi dunia usaha dan masyarakat juga berarti terpeliharanya kapasitas dan kualitas lingkungan hidup, dan kesejahteraan bagi manusia. Jika dikaitkan dengan tujuan pengelolaan hutan lestari, yang diungkapkan Upton dan Bass (1995) dalam Sardjono (2004) dan Suhendang (2005) bahwa integritas ekologi dan ekonomi dari cara pandang ekosentrisme mengarahkan pada bentuk pengelolaan hutan yang berbasis ekosistem. Cara pandang ekosentrisme menekankan pada kombinasi kegiatan pemulihan fungsi hutan produksi sebagai sumber bahan baku industri pengolahan kayu dengan kegiatan pemanenan hutan sedemikian rupa sehingga tetap menjaga keseimbangan antara dimensi kelestarian ekonomi (economic sustainability); kelestarian sosial (social sustainability); dan kelestarian lingkungan (environmental sustainability). Cara pandang ekosentrisme yang seperti ini merupakan hirarki tertinggi dari perkembangan peradaban manusia yang antroposentris dan biosentris. Nilai-nilai yang diberlakukan dari hasil perkembangan peradaban itu adalah mengarus-utamakan prinsip keutuhan

(komprehensif) pada tingkat perencanaan pengelolaan hutan. B. Hubungan antara Cara Pandang Ekosentrisme dengan Pengaturan Kelestarian Hasil dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Ekosentrisme bergerak pada rambu ekologi tidak berarti mengebiri atau memperlambat kegiatan ekonomi, tetapi membuat kegiatan ekonomi dapat berjalan sesuai yang diperingatkan oleh rambu-rambu ekologi tersebut. Ekosentrisme

18

beranggapan bahwa walaupun sumberdaya hutan diijinkan untuk dimanfaatkan oleh manusia, namun pemanfaatannya tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang. Dengan demikian perlu adanya pengaturan optimum dari setiap kegiatan pemanenan, yakni melalui pengaturan kelestarian hasil dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan. Berkaitan dengan pengaturan kelestarian hasil, Darusman (2002)

mendeskripsikan alternatif tingkat pemanfaatan sumberdaya hutan itu akan saling berkaitan antara kegiatan pemanenan (untuk perolehan pendapatan dan manfaat ekonomi), persediaan tegakan (stock) dengan pertumbuhan tegakan (growth). Hubungan tersebut diilustrasikan pada Gambar 3. Ilustrasi tersebut menunjukan ada tingkat stock yang ditinggalkan dalam setiap alternatif pemanenan. Kecenderungan yang terjadi adalah jika tingkat pemanenan semakin tinggi, pada awalnya akan meningkatkan growth sumberdaya hutan tersebut, tetapi selanjutnya akan semakin menurunkan pertumbuhannya, bahkan apabila terlalu tinggi dan melewati batas stock kritis akan meniadakan pertumbuhan dan menyebabkan kehancuran sumberdaya hutan. Dari sudut pandang ekosentrisme, ilustrasi Darusman (2002) mengandung pengertian bahwa kegiatan pemanenan harus meninggalkan jumlah dan struktur stock yang seimbang seperti semula. Namun sayangnya, sistem silvikultur yang ada di Indonesia masih kurang memenuhi prinsip cara pemanenan tersebut. Gambar 3. Hubungan antara Tingkat Pemanenan, Stock dan Growth (Darusman, 2002)Growth (m3/ha/t)

(4) Q6 (6) Q5 Stock kritis Q4

(3)

(2)

Stock maksimum (klimaks) Q1 Stock (m3/ha)

Q3

Q2

19

Selanjutnya alternatif tingkat penebangan akan menentukan perjalanan pengusahaan berikutnya yang menyangkut lamanya waktu menunggu sampai hutan memberinya kembali hasil panen. Berdasarkan hal tersebut, rimbawan pengelola sumberdaya hutan secara ekonomi akan memilih alternatif pemanenan yang memberikan nilai harapan lahan yang tertinggi. Dari sudut pandang ekologi hutan, hubungan antara tingkat pemanenan, stock dan growth diatas memberi petunjuk bahwa para rimbawan secara rasional akan memilih tingkat pemanenan dan pertumbuhan yang lebih rendah dari pertumbuhan tertinggi di poin (3) pada Gambar 3 di atas, tetapi dengan waktu yang lebih cepat. C. Kajian terhadap Skenario Pengelolaan KPHP Model Lalan dalam perspektif Ecosystem Based Forest Management Dalam konteks membangun unit-unit pengelolaan hutan, paham ekosentrisme lebih memilih alternatif pengelolaan hutan yang berbasiskan ekosistem. Pemahaman dan pemikiran tersebut juga untuk tujuan pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management). Daigle and Dawson (1996) menyatakan berbasis ekosistem adalah pengelolaan hutan terpadu untuk manfaat sosial-ekonomi setempat agar tetap menjaga keutuhan serta meningkatkan fungsi dan struktur ekosistem. Konteks KPHP Model Lalan Untuk kasus KPHP Model Lalan, perumusan masalah ada untuk mengkaji bagaimana Ecosystem Based Forest Management (EBFM) pada pada unit landscape KPHP Model Lalan itu dapat diskenariokan, terutama dalam kaitannya dengan prinsip kelestarian hasil? Hutan produksi di Lalan merupakan hutan alam rawa gambut, hutan bekas tebangan (logged over area) dengan kondisi tutupan hutan maksimal 30%. Sebagian besar kawasan hutan produksi di dalam areal KPHP Lalan sudah dibebani ijin pemanfaatan, pada beberapa lokasi hutan terjadi pembalakan liar (illegal logging), perambahan masyarakat untuk kegiatan kebun karet dan sawit. Wilayah KPHP Lalan baru ditetapkan oleh Menteri Kehutanan pada akhir tahun 2009. Sedangkan ijin-ijin pemanfaatan (HPH/HTI) telah ada sebelumnya. Dengan demikian saat ini beberapa

20

perusahaan HHP/HTI terintegrasi ke dalam areal KPHP Lalan terutama yang berada di wilayah hutan kelompok Lalan dan Mangsang Mendis (Gambar 2). Dalam kondisi hutan semacam itu, Ecosystem Based Forest Management diaplikasikan dengan membangun harmonisasi pengelolaan hutan diantara pemegang ijin dan KPHP Lalan. Konsep harmonisasi dengan cara pandang ekosentrisme mengedepankan strategi optimalisasi pengelolaan hutan rawa gambut lestari, dengan mengutamakan keseimbangan peran dari para aktor pengelolan hutan yang berada di dalam wilayah KPHP Model Lalan pada setiap tahapan pengelolaan hutan, dimulai dari: (a) penatata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan pada tiap bagian daerah hutan kompartemen sampai ke petak untuk setiap unit perijinan; (b) pemanfaatan hutan; (c) penggunaan kawasan hutan; (d) rehabilitasi dan restorasi ekosistem hutan, dan (e) perlindungan hutan dan konservasi alam. Skenario Harmonisasi Pengelolaan Hutan di KPHP Model Lalan untuk Mencapai Ecosystem Based Forest Management Seringkali antara konsep dan realita pengurusan hutan tidak sejalan, selalu saja muncul perbedaan kepentingan di tingkat pelaksanaannya. Para pihak yang terlibat saling tarik menarik kepentingan dan pada akhirnya mereka saling menyalahkan. Pada situasi banyaknya aktor yang mengelola hutan dalam satu landscape KPHP Lalan, upaya menjaga keseimbangan antara manfaat ekonomi, sosial dan lingkungannya bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Karena pada dasarnya menurut Muhshi (2003) tidak ada pihak yang bisa dipercaya semua pihak yang dapat menjaga kepentingan publik/masyarakat luas dan antar generasi. Dari situlah akhirnya muncul pengertian harmonisasi, yang menggambarkan sebuah upaya terciptanya keselarasan atas keterhubungan antara pola kecenderungan yang ingin dicapai dari seluruh pihak yang terlibat secara multisektor tentang suatu pengurusan landsacpae KPHP Model Lalan. Secara situasional, maka pola kecenderungan yang ingin dicapai dianalogikan sebagai suatu kondisi yang diharapkan dapat diterima dan dapat mengakomodir kepentingan seluruh aktor yang mengelola hutan. Pada tingkat kepercayaan tertentu semua pihak bisa menilai tingkat pencapaiannya melalui indikator-indikator pencapaian yang mereka sepakati bersama.

21

Dalam konteks pengelolaan berbasis ekosistem, kondisi-kondisi yang dijadikan harapan itulah yang selanjutnya disinergikan dengan nilai-nilai kelestarian ekonomi, sosial, dan lingkungan. Oleh karena itu, dapat diperjelas bahwa inti dari harmonisasi pengurusan hutan pada kajian ini adalah bagaimana mempertahankan dan meningkatkan prinsip-prinsip umum kelestarian hutan dengan tetap

menghubungkan antara pola kecenderungan yang menjadi harapan para pihak (stakeholder) bagi pengurusan hutan lestari. Dari perspektif kebijakan, sebagai langkah awal, hal yang paling penting dilakukan pada kasus skenario pengelolaan KPHP Model Lalan adalah pengaturan kawasan hutan. Secara prinsip, pengaturan tersebut dimaksudkan agar hutan dapat dikelola secara optimal dan lestari dalam unit-unit pengelolaan hutan terkecil. Pengaturan tersebut menurut Suhendang (2005) meliputi: (a) penataan ruang yang bersifat rasional dalam setiap kesatuan bentang alam (landscape scenario); (b) komitmen yang kuat terhadap tata ruang yang telah disepakati (strong commitment); dan (c) kebersamaan dalam perumusan kebijakan dan penyelenggaraan program pengelolaan (colaborative management). Skenario untuk KPHP Model Lalan Skenario pengelolaan hutan produksi untuk konteks KPHP model Lalan dapat dideskripsikan dengan menggunakan pendekatan metode berpikir sistemik. Dengan berpikir sistem terhadap pengelolaan hutan maka parameter-parameter dalam suatu sistem ekosistem hutan serta penentuan hubungan-hubungan antar parameter, kesenjangan antara masukan (inflow) dan keluaran (outflow) dapat ditentukan. Identifikasi terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan EBFM diilustrasikan pada Gambar 4. Bagaimana mengelola hutan untuk dapat lestari dengan konteks seperti diilustrasikan pada Gambra 4, Thiele (1994) mengedepankan langkah-langkah untuk mencapai tujuan dengan pendekatan: (a) mendefiniskan dan identifikasi tingkat laju deforestasi dan degradasi hutan, (b) identifikasi terhadap persoalan-persoalan tenurial/lahan, (c) pemberlakuan sistem insentif untuk kegiatan eksploitasi hutan, terutama dalam hal mengarus-utamakan EBFM, dan (d) membangun kebijakan yang mendorong pencapaian hutan lestari melalui EBFM.

22

Gambar 4. Hubungan antara Faktor-faktor Berpengaruh dalam EBFM di landscape KPHP Model Lalan.

3HJX DD Q W Q . H PE JDQ . 3+3 O DD H /D Q O D $ UD+M( NSODL HOL V R UV ,Q 7D E Q J + PD $ UD+3+ ,83++. HO + + + +X W $ O D D Q P +X W 5-D D D Z Q + * D E WHX Q GU P X 6 N H+ 3HO DJD . HX Q UGQ Q E D $ UD+7, ,83++++ HO . . DH0 D\ DDD UW V UNW +X W 7DD D D Q PQ Q+R $ UD3LW HO O 5( ' ' +

3DL. DD U Q O W+

3HPX N D U L Q P 3HGGN Q X X ,OJD/R JJLJ O O Q H+ +

Dalam skenario landscape KPHP Lalan diatas, Davis (1996) menjelaskan bahwa pengelolaan hutan dengan banyak aktor yang mengelola hutan dan satu tujuan kelestarian hasil dan ekosistem adalah upaya mengaplikasikan metode-metode pengaturan hasil yang dirangkai secara teknis untuk pencapaian tujuan bisnis dan keberlanjutan ekosistem. Selain dari pertimbangan terhadap volume kayu dan luasan areal hutan, pengelola KPHP Model Lalan perlu memahami konsep tentang perhitungan Nilai Harapan Lahan untuk perhitungan dari sisi aspek ekonomi hutan. Jika pada masing-masing bagian daerah hutan atau unit-unit kelestarian, atau para pemegang ijin pemanfaatan telah memiliki perhitungan Nilai Harapan Lahannya, maka atas dasar discounting standar, perhitungan Nilai Harapan Lahan untuk nilai saat ini (Net Present Value) dari periode pemanenan yang tidak terbatas, sedikitnya akan mempertimbangkan bahwa (a) unit KPHP Lalan dikelola berdasarkan daur; (b) lahan ditiap tapak (unit kelestarian) akan dihutankan kembali dalam periode pengelolaan (ulangan daur/rotasi tebang) masing-masing unit sampai dengan batas tak hingga; dan (c) lahan memerlukan biaya kembali di awal daur (Straka and Bullard, 1996). Atas dasar perhitungan dan perencanaan ini diharapkan EBFM bisa dioperasionalkan di tingkat landscape KPHP Model Lalan.

VI. A. Simpulan

SIMPULAN DAN SARAN

Cara pandang ekosentrisme adalah hirarki tertinggi dari perkembangan peradaban manusia setelah paham antroposentris dan biosentris. Cara pandang ini menyodorkan sistem alternatif yaitu sistem mengambil sambil memelihara. Dalam hal ini sumberdaya alam (seperti hutan) tetap dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi dan dijaga dari kerusakan, atau dapat dipelihara kapasistas kemampuannya.

Cara pandang ekosentrisme memberikan pemahaman bahwa sumberdaya hutan diijinkan untuk dimanfaatkan oleh manusia, namun pemanfaatannya tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang. Hal ini berarti bahwa prinsip kelestarian hasil diberlakukan untuk mencapai tujuan kelestarian sumberdaya hutan.

Dalam konteks membangun unit-unit pengelolaan hutan, paham ekosentrisme lebih memilih alternatif pengelolaan hutan yang berbasiskan ekosistem. Secara konseptual, KPHP Model Lalan sebaiknya dikelola dengan pendekatan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem yang pada tingkat perencanaannya mengkombinasikan kegiatan pemulihan fungsi hutan produksi sebagai sumber bahan baku industri pengolahan kayu dengan kegiatan pemanenan hutan sedemikian rupa sehingga tetap menjaga keseimbangan antara manfaat ekonomi, sosial dan lingkungannya.

Untuk konteks KPHP Model Lalan, Ecosystem Based Forest Management adalah pendekatan pengelolaan hutan dengan membangun harmonisasi diantara para aktor pengelola hutan, pemegang ijin, masyarakat dan lembaga KPHP Lalan itu sendiri. Realita yang ada menunjukkan bahwa banyak aktor pengelola hutan di dalam areal KPHP Model Lalan Kab. Musi Banyuasin. Pada prinsipnya, jika para aktor tersebut memiliki komitmen, maka komitmen itulah yang akan menjaminkan skenario harmonisasi pengelolaan hutan di tingkat unit manajemen KPHP Model Lalan. Kompromi-kompromi para pihak bisa ditemukan pada satu tujuan untuk mencapai hutan yang lestari dan berkelanjutan.

24

Dalam perspektif kebijakan, sebagai entry point, harmonisasi pengelolaan hutan di tingkat unit manajemen KPHP Model Lalan adalah memantapkan kawasan hutan melalui pembentukkan kompartemen atau unit-unit pengelolaan hutan terkecil dengan batas-batas yang jelas. Dengan demikian operasionalisasi metode dan prinsip pengaturan hasil bisa diterapkan.

Dalam perspektif kelembagaan, suatu analisis terhadap stakeholders diperlukan untuk tujuan menemukenali pihak mana saja yang berhak dan/atau memiliki minat atas hutan. Analisis tersebut diarahkan pada hak (right), tanggungjawab (responsibilities), pendapatan (return), dan hubungan (relationships) antar mereka sehingga model kelembagaan dan aturan/tata nilai dapat ditentukan berdasarkan pertimbangan kolaboratif.

B. Saran Diperlukan adanya sosialisasi tentang upaya-upaya harmonisasi pengelolaan hutan dalam konteks pengelolaan hutan berbasis ekosistem. Sehingga para aktor di tingkat unit manajemen KPHP Model Lalan dapat selaras dengan tujuan pencapaian nilai-nilai kelestarian ekonomi, sosial, dan lingkungan pada setiap penentuan tata ruang pembangunan di tingkat daerah. Perlu diupayakan skema penguatan kapasistas sumberdaya manusia dan kelembagaan KPHP Model Lalan.

DAFTAR PUSTAKA Bettinger, P., K. Boston., J.P. Siry., D.L. Grebner. 2009. Forest Management and Planning. Elsevier, Inc. United Stated of America. Daigle, P. and R. Dawson. 1996. Management Concept for Landscape Ecology. Extention Note: Part 1 of 7. Ministry of Forests Research Program. British Columbia. Victoria. Darusman, D. 2002. Pembenahan Kehutanan Indonesia: Pengelolaan Sumberdaya Alam Hutan dalam Konteks Pembangunan yang Berkelanjutan. Seminar Nasional Integritas Ekologi dan Ekonomi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya alam di Institut Teknologi Bandung, 7-8 Juni 1993. Laboratorium Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Keraf, A.S., 2010. Etika Lingkungan Hidup. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta. Kuusipalo, J., J. Kangas., L. Vesa. 1997. Sustainable Forest Management in Tropical Rain Forest: A Planning Approach and Case Study from Indonesia Borneo. Journal of Sustainable Forestry, Vol. 5 (3/4): 93-118. Muhshi, MA. 2003. Pro dan Kontra Multipihak : Warta Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat Vol 6 No.4. FKKM. Yogyakarta. Straka, T.J. and S. H. Bullard. 1996. Land Expectation Value Calculation in Timberland Valuation. The Appraisal Journal, October 1996: 399 405. Suhendang, E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan (YPFK). Bogor. Thiele, R. 1994. How to Manage Tropical Forest More Sustainably: The Case of Indonesia. Environmental Protection. Intereconomics, July/August: 184-193. --------------. 2009. Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang: Masa Lalu Masa Kini dan Masa Depan. Merang REDD Pilot Project (MRPP). Proyek Kerjasama Teknis antara Departemen Kehutanan Republik Indonesia dengan German. Jakarta. --------------. 2009. Rancangan Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Lalan Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Banyuasin. Sekayu. --------------. 1997. Manual Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi. Kerjasama antara Departemen Kehutanan Republik Indonesia dengan Indonesia-UK Tropical Forest Management Programme (DFID). Jakarta.

26

Suhendang, E. 2005. Arah dan Skenario Pengembangan Pemantapan Kawasan Hutan. Internet: www.rimbawan.com; www.aphi-net.com ; dikutip tanggal 1 Desember 2006. Bogor. ---------------. 1997. Manual Pembentukan Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi. Kerjasama antara Departemen Kehutanan Republik Indonesia dengan Indonesia-UK Tropical Forest Management Programme (DFID). Jakarta.