BAB II MASALAH LIMBAH B3 DAN KESEPAKATAN KONVENSI …eprints.umm.ac.id/56004/3/BAB II.pdfKasus...
Transcript of BAB II MASALAH LIMBAH B3 DAN KESEPAKATAN KONVENSI …eprints.umm.ac.id/56004/3/BAB II.pdfKasus...
28
BAB II
MASALAH LIMBAH B3 DAN KESEPAKATAN KONVENSI
BASEL TERKAIT PERDAGANGAN LIMBAH B3
Pada bab ini, penulis akan menjelaskan Masalah Limbah B3 dan
Kesepakatan Konvensi Basel terkait perdagangan limbah. Dimana pada bab ini,
penulis akan mepaparkan Masalah dan dampak dari Limbah B3, Konvensi Basel
sebagai rezim perdagangan Limbah B3, Serta Konsekuensi terhadap negara yang
telah meratifikasi Konvensi Basel. Posisi Indonesia yang merupakan negara
kepulauan yang dilalui jalur lalu lintas pelayaran dunia membuat Indonesia rentan
akan ancaman perpindahan Limbah B3. Sadar akan hal tersebut, untuk
mengantisipasi perpindahan Limbah B3 secara ilegal masuk ke dalam negeri,
Indonesia meratifikasi Konvensi Basel untuk melindungi Indonesia dari
perpindahan Limbah B3.
2.1 Masalah dan Dampak dari Limbah B3
Limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) merupakan limbah yang
pengolahannya harus diperhatikan secara khusus, bukan hanya dampaknya yang
dapat membahayakan kesehatan manusia namun juga dampak yang diberikan pada
lingkungan. Konsentrasi dan jumlah dari Limbah B3 dapat mencemari lingkungan
serta mengancam keberlangsungan makhluk hidup lainnya. Limbah B3 perlu diolah
dengan hati-hati karena sifat Limbah B3 yang mudah terbakar, korosif, reaktif,
mudah meledak, dapat menyebabkan infeksi serta beracun. Limbah B3 dapat
mencemari udara, air tanah, air permukaan, tanah dan dari media lainnya. Limbah
29
B3 juga dapat masuk dalam tubuh manusia. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh
Limbah B3 apabila terkontaminasi dan masuk kedalam tubuh manusia sangatlah
beragam, diantaranya yaitu gangguan atau kerusakan jaringan tubuh dan jaringan
syaraf yang berujung pada kecacatan, disfungsi organ tubuh hingga kematian.24
The Resource Conservation and Recovery Act (RCRA) mendefinisikan
limbah berbahaya zat limbah gas, padat, cair, lumpur atau wadah yang karena
kandungan, konsentrasi atau sifat kimia dapat menyebabkan ancaman yang
signifikan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan jika tidak dikelola dengan
semestinya.25 Terdapat berbagai masalah dalam pengolahan Limbah B3 khususnya
bagi negara berkembang. Dibandingkan negara maju yang mempunyai teknologi
yang maju dalam pengolahan Limbah, negara berkembang tidak atau belum
mampu memiliki teknologi maju untuk pengolahan limbah berbahaya dengan
memadai dikarenakan kendala keuangan, yang menyebabkan negara berkembang
tidak mampu untuk memenuhi teknologi yang diperlukannya dan juga banyak
negara yang bergantung kepada donor untuk akusisi teknologi dari negara maju.26
Limbah B3 baik padat, cair, maupun gas mempunyai potensi merusak bagi
kesehatan manusia serta lingkungan akibat sifat-sifat yang dimiliki senyawa
tersebut. Pembuangan limbah pada lingkungan akan menimbulkan masalah yang
merata dan menyebar pada lingkungan luas. Limbah gas akan terbawa angin dari
satu tempat ketempat lain. Limbah cair atau padat yang dibuang kesungai akan
24 Teddy Prasetiawan, Op.Cit., Hal.142 25 “Hazardous Waste”, diakses pada http://www.pollutionissues.com/Fo-Hi/Hazardous-Waste.html
(21/12/2017, 11.54 WIB) 26 Kahn Daniel, “Manajemen Limbah berbahaya” diakses pada https://www.eolss.net/Sample-
Chapters/C09/E1-08-03-00.pdf (21/12/2017, 12.14 WIB)
30
mengkontaminasi sungai maupun laut yang menyebakan pencemaran air. Limbah
yang terbuang kelingkungan akan berdampak pada kesehatan. Hal ini dapat
berdampak langsung dari sumber ke manusia, misalnya meminum air yang telah
terkontaminasi atau melalui rantai makanan seperti memakan ikan yang telah
menggandakan (biological magnification) pencemaran karena memakan mangsa
yang tercemar.27
Terdapat beberapa kasus di dunia yang terjadi akibat dari kurangnya
penanganan terhadap Limbah B3 diantaranya:
1. Kasus Love Canal, Amerika Serikat28
Love Canal merupakan suatu tempat yang dijadikan sebagai tempat
pembuangan limbah industri dan limbah militer yang terletak dekat Niagara
Falls, New York. Kasus ini bermula dengan adanya keluhan dari masyarakat
sekitar, dimana masyarakat sekitar secara misterius menderi berbagai macam
penyakit seperti kanker, epilepsi, hiperaktivitas, penyakit kandung kemih,
kelahiran cacat dan berbagai penyakit lainnya.
2. Kasus pembuangan Limbah di Koko, Nigeria29
Kasus ini terjadi pada bulan Agustus 1987 serta Mei 1988, dimana terdapat
5 kapal dari beberapa negara di Eropa serta Amerika serikat yang mengangkut
3800 ton limbah menuju Koko, Nigeria. Pengangkutan limbah tersebut terjadi
27 “Dampak Limbah B3 terhadap kesehatan”, diakses pada https://id.linkedin.com/pulse/dampak-
Limbah-b3-terhadap-kesehatan-hsp-academy-training-center (22/12/2017, 10.57 WIB) 28 Ethan Frome, “Kejahatan Ekonomi dalam Prngelolaan Limbah B3 serta pengaruhnya terhadap
pelestarian Lingkungan” diakses pada https://media.neliti.com/media/publications/25228-ID-
kejahatan-ekonomi-dalam-pengelolaan-Limbah-bahan-berbahaya-dan-beracun-serta-pen.pdf
(07/12/2018,12.51 WIB), Hal.113 29 Ibid
31
karena adanya perjanjian antara pengusaha Italia dengan seorang warga Nigeria.
Dimana warga Nigeria tersebut bersedia menyiapkan sebidang tanah untuk
dijadikan tempat pembuangan limbah dengan imbalan $100 setiap bulannya.
Karena hal ini, banyak penduduk setempat yang menderita berbagai penyakit mulai
melapor pada pemerintah Nigeria untuk segera dilakukan pemeriksaan. Hasil dari
pemeriksaan tersebut terdapat limbah-limbah yang diberikan label palsu serta
beberapa drum yang berisi limbah berbahaya yang bocor.
3. Kasus Minamata, Jepang30
Kasus ini terjadi pada tahun 1950-an,dimana setidaknya terdapat 46 orang
meninggal dunia serta 3000 warga terpapar limbah merkuri yang telah dibuang
sejak tahun 1932 oleh sebuah perusahaan pupuk diperairan teluk Minamata, Jepang.
Akibat pembuangan tersebut merkuri bertransformasi menjadi gugus metil dan
mengendap diperairan serta bersifat bioakumulatif ditubuh ikan dan kerrang yang
telah dikonsumsi oleh para korban.
Sejak tahun 1980, Indonesia juga telah menjadi negara yang ditargetkan
menjadi tempat pembuangan Limbah B3 maupun Non-B3. Terdapat beberapa
pengajuan dari negara lain serta kasus yang telah terjadi di Indonesia terkait
pembuangan limbah diantaranya yaitu pengajuan negara luar agar Tanjung Ucang
yang terletak di Pulau Batam agar dijadikan sebagai daerah pengolahan limbah
yang mengandung hidrokarbon dari hasil pembersihan tanker, Pulau Jangkar yang
terletak di Pronvisi Riau diajukan oleh pembisnis agar dijadikan tempat
pembersihan dan perbaikan Kapal tanker dan juga dijadikan tempat pembuangan
30 Teddy Prasetiawan, Op.Cit., Hal.142
32
lumpur yang dihasilkan dari pembersihan Kapal tenker selain itu juga ditemukan
lumpur dari pembersihan kapal tanker diteritorial Bintan dan Kepulauan Batam
yang hingga saat ini belum diketahui pihak yang membuangnya.31
Hingga saat ini, kasus pembuangan Limbah B3 masih marak terjadi di
dunia, terutama dilakukan oleh negara-negara maju ke negara berkembang.
Berkembangnya praktek perdagangan limbah antar negara ini disebabkan oleh
beberapa hal diantaranya yaitu:32
1. Negara-negara maju telah menetapkan serta menerapkan berbagai
peraturan untuk mencegah pencemaran lingkungan secara ketat.
2. Akibat dari standar lingkungan yang ketat dinegara maju, biaya
pengolahan limbah semakin tinggi, sehingga para pengusaha yang
menghasilkan limbah lebih memilih membuang atau mengekspor
limbah ke negara berkembang karena biaya pengiriman limbah lebih
murah dibandingkan biaya pengelolaan limbah dinegaranya sendiri.
3. Keuntungan devisa negara semakin bertambah dikarenakan keuntungan
dari kegiatan ekspor limbah tersebut. (ekspor limbah yang dilakukan
Australia mengahasilkan pemasukan devisa negara sebesar 120.721 juta
dolar Australia per setiap 10 Ton Limbah).
4. Meningkatkan program daur ulang atau 3 R (Reuse, Recycling and
Recovery).
31 Danar Anindito, Op.Cit., Hal.21 32 Ethan Frome Op,Cit., Hal.111
33
5. Negara pengekspor limbah tidak memiliki fasilitas pengolahan Limbah
yang memadai sehingga berusaha dalam mengekspor Limbah ke negara
lain, atau negara pengekspor tidak memiliki lahan yang cukup sebagai
tempat pembuangan akhir Limbah dinegaranya.
2.2 Konvensi Basel sebagai Rezim yang Mengatur Perpindahan Limbah B3
Basel Convention on The Control of Transboundary Movements of
Hazardous Waste and Their Disposal atau yang sering disebut sebagai Konvensi
Basel merupakan perjanjian internasional untuk mengurangi perpindahan limbah
berbahaya antar negara, yang secara khusus diberlakukan untuk mencegah
pengiriman limbah berbahaya dari negara maju ke negara berkembang. Pengelolaan
limbah berbahaya telah menjadi fokus lingkungan internasional sejak 1980-an dan
menjadi salah satu dari tiga prioritas utama dalam agenda United Nation
Enviroment Programme’s (UNEP) pada tahun 1981. Konvensi Basel diadopsi pada
tahun 1989 sebagai tanggapan atas kecaman masyarakat atas temuan adanya import
limbah beracun di Afrika dan beberapa negara berkembang lainnya pada tahun
1980. Pada tahun 1970-an hingga 1980-an masyarakat industrialisasi di negara
maju cenderung memiliki sindrom NIMBY (Not in my back yard) dimana sindrom
ini, masyarakat tidak memedulikan kelestarian lingkungan yang bukan dalam
teritorialnya, sehingga mereka lebih memilih untuk membuang limbah di negara
Eropa timur serta negara berkembang lainnya yang biaya pembuangannya lebih
murah dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk pengolahan Limbah. Kurangnya
kesadaran lingkungan serta mekanisme peraturan yang tepat mendorong
34
diadopsinya Konvensi Basel untuk memerangi perdagangan limbah beracun.
Konvensi Basel mulai diberlakukan pada tahun 1992.33
Maraknya perdagangan limbah berbahaya dari negara maju ke negara
berkembang pada tahun 80-an menyebabkan Dewan UNEP harus mengambil
langkah yang signifikan yaitu menyetujui Cairo Guidelines yang merupakan
sebuah instrument hukum yang bersifat tidak mengikat namun pada dasarnya
bertujuan untuk membantu pemerintah dalam perkembangan dan implementasi
daripada kebijakan pengaturan nasional tentang limbah berbahaya. Di waktu yang
sama, atas pengajuan proposal dari Hungaria dan Swiss, Dewan UNEP memberikan
mandat kepada Dewan Eksekutif untuk membuat sebuah working group yang
bertugas untuk membentuk sebuah Konvensi tentang pengawasan terhadap
perpindahan lintas batas limbah berbahaya dengan memanfaatkan Cairo Guidelines
dan organ nasional, regional dan internasional yang terkait. Working group yang
bersifat ad-hoc ini, memantapkan langkah dalam sebuah pertemuan internasional
pada Oktober 1987 dan menyelenggarakan lima kali sesi negosiasi diantara
Februari 1988 hingga Maret 1989. Pada akhirnya pada tanggal 20-22 maret 1989,
Konferensi Plenipotentiaries akan Konvensi Global tentang pengawasan
perpindahan lintas batas limbah berbahaya diselenggarakan atas undangan dari
pemerintah Swiss pada 22 Maret. Konvensi Basel diadopsi beserta dengan delapan
resolusi terkait dengan perkembangan lebih lanjut dan pengimplementasian dari
Konvensi Basel.34
33 Katrina Kummer Peiry, Op.Cit., 34 Danar Anindito, Op.Cit., Hal.29
35
Terdapat seratus lima negara bagian serta The European Economic
Community (EEC) yang menandatangani Konvensi Basel pada 22 Maret 1989 dan
mulai berlaku sejak 5 Mei 1992. Hingga saat ini negara yang menandatangani
Konvensi Basel pun bertambah menjadi 174 pihak, dimana 173 merupakan pihak
negara dan satunya merupakan Uni Eropa. Indonesia merupakan salah satu negara
yang meratifikasi Konvensi Basel 1989 dan Basel Ban Amandemen sejak 24
Oktober 2005, yang kemudian dicantumkan didalam Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 61 Tahun 1993 sebelum pada Tahun 2005, dikeluarkan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2005 untuk mengesahkan
amandemen terhadap Konvensi Basel.35 Jepang juga merupakan negara pihak
Konvensi Basel akan tetapi Jepang memilih untuk tidak meratifikasi Basel Ban
Amandement yaitu amandemen pelarangan total pengiriman Limbah B3 yang telah
ditetapkan oleh Konvensi Basel. Jepang berjanji untuk tidak melakukan
pembuangan Limbah B3 dan limbah lainnya ke negara lain serta mendukung
Konvensi Basel.36
Konvensi Basel memiliki dua kewajiban umum yaitu Pertama,
meminimalisir produksi dan perpindahan lintas batas dari limbah berbahaya.
artinya negara pihak yang telah meratifikasi Konvensi Basel diminta untuk
mengambil langkah yang tepat untuk mengurangi tingkat generasi limbah
berbahaya hingga pada tingkat minimum. Kewajiban ini bagaimanapun bersifat
35 Katrina Kummer Peiry Op.Cit., 36 Irma Jelita, “Alasan Jepang belum meratifikasi Basel Ban Amandement” diakses pada
https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/download/3137/3038, (02/03/2019, 12.45 WIB)
36
tidak mutlak, sosiologis, aspek ekonomi dan aspek teknologi dapat diperhitungkan
(Pasal 4 ayat 2 (a)). Negara pihak yang meratifikasi harus bekerjasama dalam
pengembangan dan pelaksanaan teknologi untuk mengurangi produksi limbah
berbahaya secara drastis (Pasal 10 ayat 2 (c)). Negara pihak yang meratifikasi, harus
berusaha menjamin tersedianya fasilitas pengolahan limbah di negaranya serta
meminimalisir kegiatan ekspor Limbah (Pasal 4 ayat 2 (b) dan (d)). Limbah
berbahaya hanya dapat diekspor jika negara tidak memiliki fasilitas pengelolaan
limbah secara ramah lingkungan (Pasal 4 ayat 9 (a)), atau jika limbah di impor
sebagai bahan baku yang diperlukan oleh negara pengimpor (Pasal 4 ayat 9 (b)),
atau sesuai dengan kriteria tambahan yang ditetapkan sesuai dengan kebutuhan
negara pihak yang meratifikasi Konvensi Basel (Pasal 4 ayat 9 (c)). Pada Pasal 4
ayat 13, Konvensi Basel mewajibkan semua pihak agar terus meninjau secara
berkala kemungkinan pengurangan jumlah dan atau adanya potensi berbahaya dari
limbah yang diekspor terutama pada negara-negara berkembang.37
Kedua, pengelolaan Limbah berbahaya yang ramah lingkungan. Negara
pihak yang meratifikasi Konvensi Basel harus menyaratkan bahwa Limbah
berbahaya yang mengalami perpindahan lintas batas harus dikelola secara ramah
lingkungan dimanapun tempat pembuangannya (Pasal 4 ayat 8); Negara memiliki
kewajiban untuk mengelola limbah secara ramah lingkungan agar tidak dialihkan
untuk di ekspor ataupun di transit (Pasal 4 ayat 10). Negara penghasil limbah
37 Lihat Khatrina Kummer, 1992, “The International Regulation of Transboundary Traffic in
Hazardous Waste; The 1989 Basel Convention”, diakses pada
https://www.jstor.org/stable/760546?read-now=1&seq=1#page_scan_tab_contents, (04/12/2018,
01.30 WIB) Hal. 530-562
37
dilarang untuk mengekspor limbah berbahaya jika tidak ada jaminan pengolahan
limbah secara ramah lingkungan dinegara penerima (Pasal 4 ayat 2 (e)). Begitupula
negara harus melarang pengiriman limbah berbahaya ke negaranya jika, negara
tersebut belum mampu untuk mengelola limbah secara ramah lingkungan (Pasal 4
ayat 2 (g)). Inti tujuan atau tujuan umum dari Konvensi Basel yaitu memastikan
limbah berbahaya atau limbah lainnya dikelola secara ramah lingkungan sehingga
dapat melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari efek samping yang
mungkin akan ditimbulkan dari limbah tersebut.38
Selain tujuan umum terdapat pula tujuan khusus dari terbentuknya Konvensi
Basel diantaranya yaitu:39
1. Mengurangi perpindahan lintas batas Limbah B3 dan limbah lainnya dan
pengelolaan konsisten dengan berwawasan lingkungan
2. Pembuangan Limbah B3 yang dihasilkan, sebaiknya dibuang dinegara
dimana dihasilkan dengan cara yang berwawasan lingkungan
3. Mengurangi jumlah timbunan Limbah B3 serta potensi bahayanya
4. Menjamin pengawasan yang ketat atas perpindahan lintas batas Limbah B3
guna mencegah perdagangan illegal
5. Melarang pengiriman Limbah B3 menuju negara yang kurang memadai
dalam hal teknologi pengelolaan secara berwawasan lingkungan
38 Ibid. 39 KLHK,”Pengelolaan Limbah B3 terkait implementasi Konvensi Basel” diakses pada
http://www.apbi-icma.org/wp-content/uploads/2014/12/Implementasi-Peraturan-Bidang-
Pengumpulan-dan-Pemanfaatan-LB3.pdf (04/12/2018, 02.15 WIB)
38
6. Membantu negara-negara berkembang dalam alih teknologi yang
berwawasan lingkungan untuk pengolaan Limbah B3 yang dihasilkan.
Berdasarkan Konvensi Basel Pasal 2 ayat 1, limbah diartikan sebagai “zat
atau benda yang dibuang atau dimaksudkan untuk dibuang atau sedang dibuang
oleh ketentuan hukum nasional”. Terdapat 5 lampiran yang membahas definisi
limbah berbahaya dalam Konvensi Basel diantaranya yaitu Annex I (kategori
limbah yang harus dikontrol), Annex II (kategori limbah yang membutuhkan
pertimbangan khusus), Annex III (daftar karakterisitik Limbah berbahaya), Annex
VIII (karakteristik sebagai limbah berbahaya berdasarkan Konvensi Basel Pasal 1
ayat 1 (a)) dan yang terakhir Annex IX (Karakteristik Limbah yang tidak tercakup
dalam Konvensi Basel Pasal 1 ayat 1 (a)).40
Dalam Annex III Konvensi Basel telah diatur karakteristik limbah yang
termasuk dalam golongan Limbah B3 diantaranya yaitu eksplosif (mudah
meledak), berbentuk cairan yang mudah terbakar, berbentuk padat yang mudah
terbakar, zat yang dapat terbakar spontan, zat yang bila berkontak dngan air
menghasilkan gas yang mudah terbakar, zat pengoksidasi yang dapat memicu
terbakarnya material lain, peroksida organik, beracun, zat yang mengandung
mikroorganisme atau toksin yang dapat menginfeksi makhluk hidup lain, korosif,
serta zat yang menhasilkan gas toksik bila berkontak dengan udara dan air.41
40 UNEP, “Basel Convention on The Control of Transboundary Movement of Hazardous Waste and
Their Disposal” , diakses pada
http://www.Basel.int/Portals/4/Basel%20Convention/docs/pub/metologicalguidee.pdf (04/12/2018,
02.08 WIB), Hal:28 41 Danar Anindito, Op.Cit., Hal.18
39
Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Basel
pada 12 Juli 1993 dengan keputusan Presiden No.61 Tahun 1993 dan dijelaskan
kembali pada peraturan Presiden No.47 Tahun 2005 serta Peraturan Presiden No.60
Tahun 2005.42 Indonesia meratifikasi Konvensi Basel dengan kesadaran akan
adanya ancaman terhadap pencemaran lingkungan akibat perpindahan atau
pembuangan Limbah dari luar kedalam negeri. Berdasarkan pertimbangan
keputusan Presiden No.61 Tahun 1993, Indonesia meratifikasi Konvensi Basel
dikarenakan:43
1. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan perairan terbuka yang
sangat berpotensial menjadi tempat pembuangan limbah berbahaya dan
beracun secara illegal dari negara lain.
2. Memelihara kelestarian lingkungan serta mencegah wilayah Indonesia
sebagai tempat pembuangan limbah beracun dan berbahaya.
3. Perairan Indonesia yang luas terancam rusak, jika perpindahan Limbah
B3 menggunakan sarana kapal laut sangat berpotensi untuk mencemari
lautan akibat zat beracun dan berbahaya dari kapal tersebut.
2.3 Konsekuensi bagi Negara yang Meratifikasi Konvensi Basel
Konvensi Basel merupakan salah satu Konvensi yang mengatur sejumlah
instrumen kebijakannya dengan bersifat lemah atau soft law. Sebagian besar
pedoman teknis tentang pengelolaan limbah yang diatur oleh pihak ahli teknis
42 “Konvensi Basel, Loc.Cit., 43 Kepres No.61 Tahun 1993 Tentang Pengesahan Basel Convenstion On The Control of
Transboundary Movement of Hazardous Waste and Their Disposal.
40
pemerintahan dan disetujui oleh COP (The Conference of the Parties) yang
merupakan badan pelaksanaan Konvensi Basel yang terdiri dari Competent
Authorities dan Sekretariat tetap yang berkedudukan di Jenewa, Switzerland.
Instrumen yang tidak mengikat ini, dirancang untuk digunakan pada seluruh
tingkatan masyarakat serta para pemangku kepentingan dengan panduan yang
praktis untuk menfasilitasi pengelolaan limbah dengan relevan.44
Pada tahun 2002, pihak Konvensi Basel membentuk COP 6 dengan
mengadopsi rencana strategis dalam membantu jalannya pelaksanaan Konvensi
Basel untuk periode tahun 2002-2010. COP 6 ini dibentuk untuk membantu negara-
negara berkembang dan negara-negara yang dalam masa transisi ekonomi untuk
mengimplementasikan ketentuan-ketentuan Konvensi Basel. COP 10 dibentuk
pada tahun 2011 dengan mengadopsikan kerangka kerja strategis Konvensi Basel
yang baru untuk periode tahun 2011-2021 dimana hal ini mendefinisikan tujuan
dan prioritas yang mendasar dari Konvensi Basel secara relevan untuk beberapa
dekade mendatang serta mempertimbangkan perubahan-perubahan yang akan
datang. 45
Terdapat aturan yang telah ditetapkan oleh Konvensi Basel terhadap
pembatasan perpindahan Limbah berbahaya lintas negara. Pertama, lalu lintas
limbah antar negara pihak yang meratifikasi Konvensi Basel, dimana setiap pihak
yang melakukan lalu lintas limbah harus melapor kepada pihak sekretariat
Konvensi (Pasal 4 ayat 1 (a), Pasal 13 ayat 2 (c)). Negara pihak tidak dapat
44 Katrina Kummer Peiry, Op.Cit., 45 ibid
41
mengizinkan pengiriman limbah berbahaya terhadap negara yang melarang adanya
impor limbah (Pasal 4 ayat 1 (b)). Negara pihak juga harus melarang adanya impor
limbah kepada negara yang tergabung dalam kelompok perhimpunan ekonomi atau
politik yang melarang adanya impor limbah serta undang-undang nasional yang
melarang adanya impor limbah (Pasal 4 ayat 2 (e)). Hal ini juga berlaku pada
kegiatan ekspor limbah dimana dilakukan sesuai dengan sistem peraturan Konvensi
Basel (Pasal 4 ayat 1 (c), Pasal 9 ayat 1). Kedua, lalu lintas limbah antar negara
pihak yang meratifikasi Konvensi Basel dengan negara Non-pihak, dimana dalam
pasal 4 ayat 5 menetapkan negara pihak tidak diizinkan ekspor ataupun impor
limbah kenegara yang non-pihak. Transit limbah berbahaya melalui negara pihak
diizinkan jika dilakukan sesuai dengan ketentuan Konvensi (Pasal 4, ayat 5 e
contario; dan pasal 7), namun konsep ini dimodifikasi dikarenakan perjanjian
multilateral, bilateral maupun regional menyetujui adanya perpindahan limbah
berbahaya dengan pihak Konvensi maupun Non-Konvensi. Jika ketentuan
Konvensi tidak terpenuhi dapat dilakukan sesuai dengan instruksi dalam perjanjian
asalakan tetap melapor kepada sekretariat Konvensi. Ketiga, larangan untuk
membuang limbah ke Antartika, dimana Konvensi Basel melarang ekspor Limbah
berbahaya ke daerah di selatan 60º lintang selatan (Pasal 4 ayat 6).46
46 Khatrina Kummer, 1992 Op.Cit., Hal 541-543
42
Konvensi Basel mendesain suatu aturan untuk mengatur gerakan lalu lintas
limbah berbahaya yang disebut dengan PIC (Prior Informed Consent). Prosedur
PIC ini dibagi menjadi empat tahapan utama yaitu :47
1. Tahap pemberitahuan
Pada tahap ini eksportir harus mengkonfirmasi kepada Competen
Authority (CA) dari negara eksportir. Sebelum terjadinya pengiriman
limbah negara eksportir dan importir harus menandatangani kontrak
pembuangan limbah terlebih dahulu. Berdasarkan Konvensi Basel,
dalam kontrak ini harus memastikan pembuangan limbah harus
dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan. Dengan adanya
dokumen pemberitahuan yang dikeluarkan CA dapat memberikan
informasi yang detail dan akurat mengenai Limbah yang diterima oleh
negara impor maupun negara transit. Berdasarkan Annex V A, dokumen
pemberitahuan harus dalam bahasa yang dapat diterima oleh pihak
negara pengimpor serta negara transit.
2. Tahap Persetujuan dan penerbitan dokumen perjalanan
Tahap ini untuk memastikan pihak importir menyetujui adanya
pengiriman limbah yang diusulkan sesuai dengan dokumen. Saat
menerima dokumen pemberitahuan Pihak CA importir harus
memberikan persetujuan tertulis (dengan ataupun tanpa ketentuan)
ataupun penolakan (dapat meminta klarifikasi lebih lanjut). Pihak CA
47 Basel Convention,” Controlling transboundary movement of hazardous waste” diakses pada
http://www.Basel.int/Portals/4/Basel%20Convention/docs/pub/leaflets/leaflet-control-procedures-
en.pdf, (07/12/2018, 11.23 WIB)
43
importir juga harus mengkonfirmasi kepada pemberi notifikasi adanya
kontrak antara eksportir dan disposer. Dengan adanya prosedur
notifikasi verifikasi keberadaan kontrak antara eksportir dan disposer
dapat terikat secara hukum. Jika persyaratan terpenuhi maka CA dari
negara eksportir dapat menerbitkan dokumen perjalan dan mengesahkan
pengiriman. Dokumen perjalanan berisi informasi rinci tentang
pengiriman dan harus selalu ada dari waktu keberangkatan hingga
sampai pada negara disposer.
3. Tahap perpindahan lintas batas
Pada tahap ini akan menjelaskan langkah selanjutnya yang perlu diikuti
sejak dimulainya perpindahan lintas batas hingga limbah sampai pada
disposer. Dokumen perjalanan memberikan informasi yang relevan
seperti petugas barang yang diangkut, petugas bea cukai yang dilewati,
jenis limbah dan bagaimana limbah tersebut dikemas. Hal tersebut juga
membawa informasi yang akurat tentang otoritas CA untuk ususan
pergerakan limbah. Setiap negara pihak Konvensi Basel harus selalu
menyertakan dokumen perjalanan yang lengkap dan resmi, namun
beberapa negara dokumen perjalanannya masih memerlukan
pemberitahuan asli, dicap, ditandatangani oleh CA
4. Konfirmasi pembuangan
Tahap ini merupakan tahap terakhir dari lalu lintas perpindahan yaitu
pihak generator dan negara pengekspor diberi konfirmasi bahwa limbah
yang telah melewati lintas batas telah dibuang oleh disposer sesuai
44
dengan yang direncanakan dan sesuai ramah lingkungan. Konvensi
memerlukan konfirmasi dari disposer ketika pembuangan telah terjadi,
sesuai dengan ketentuan kontrak dan sebagaimana yang telah ditentukan
dalam dokumen pemberitahuan. Jika CA dari negara pengekspor belum
menerima konfirmasi bahwa pembuangan telah selesai, pihak CA
pengimpor harus mengkonfirmasi ulang kepada CA pengekspor.
Walaupun Indonesia telah terikat dalam Konvensi Basel dan Jepang yang
berjanji akan taat pada ketentuan peraturan yang ditetapkan Konvensi Basel, pada
kenyataanya kedua negara tersebut melakukan perjanjian perdagangan bilateral
yaitu IJEPA, yang didalamnya memasukan limbah dari manufaktur, hasil
pengolahan industri dan dari konsumsi sebagai barang yang dapat diperjual belikan
atau diperdagangkan. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada Bab III.