BAB II Manajemen DBD Edit
-
Upload
rahmansetiawan77 -
Category
Documents
-
view
27 -
download
1
description
Transcript of BAB II Manajemen DBD Edit
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam berdarah dengue mempunyai beberapa definisi, antara lain :
1. Adalah demam virus akut yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, disertai
sakit kepala, nyeri otot, sendi dan tulang, penurunan jumlah sel darah putih
dan ruam-ruam3.
2. Adalah demam disertai perdarahan bawah kulit, selaput hidung dan lambung
disebabkan oleh virus yang ditularkan melalui nyamuk Aedes Aegypti 4.
3. Adalah demam dengue yang disertai pembesaran hati dan manifestasi
perdarahan. Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah
dan pasien jatuh dalam syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. Keadaan
ini disebut dengue shock syndrome (DSS) 5.
2.2 Etiologi
DBD disebabkan oleh virus dengue, termasuk dalam group B arthropod
borne virus (arbovirus), dengan tipe DEN 1, DEN , DEN 3 dan DEN 4. Virus
dengan tipe satu dan tiga adalah yang paling banyak berkembang di masyarakat 4.
Infeksi yang disebabkan oleh salah satu jenis serotipe ini akan memberikan
kekebalan seumur hidup terhadap serotipe yang homolog tetapi tidak terhadap
serotipe yang lain sehingga seseorang yang hidup di daerah endemis DBD dapat
mengalami infeksi lebih dari satu kali seumur hidupnya6.
2.3 Patogenesis
Setelah terjadi infeksi, virus dengue akan bereplikasi di nodus lymphaticus
regional dan menyebar ke jaringan lain, terutama ke sistem retikuloendotelial dan
kulit, secara limfogen maupun hematogen. Tubuh akan membentuk komplek
virus-antibodi ke dalam sirkulasi darah yang akan mengaktivasi sistem
3
komplemen sehingga terjadi pelepasan anafilaktoksin C3a dan C5a, menyebabkan
permeabilitas dinding pembuluh darah meningkat7.
Selain itu, juga terjadi agregasi trombosit yang melepaskan ADP,
vasoaktif yang terjadi koagulasi intravaskuler8. Aktiviasi faktor Hageman (faktor
X2) yang terjadi kemudian, akan menyebabkan pembekuan intravaskuler yang
meluas dan menambah peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang
sebelumnya terjadi7.
2.4 Gejala DBD
Pada demam berdarah dengue (DBD), gejala klinis bervariasi mulai dari
sindroma virus nonspesifik sampai perdarahan yang fatal9. Demam, sebagai salah
satu gejala penting DBD, tergantung pada umur penderita. Pada bayi dan anak-
anak biasanya berupa demam yang disertai ruam-ruam makulopapular sedang
pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa, dimulai dengan demam ringan atau
tinggi (>39oC) tiba-tiba. berlangsung selama 7 hari dan disertai sakit kepala hebat,
nyeri di belakang mata, nyeri sendi dan otot, mual-muntah serta ruam-ruam10.
Pada bayi, demam kadang-kadang mencapai 40-41oC yang dapat menyebabkan
kejang. Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak di ulu hati,
nyeri di tulang rusuk kanan dan nyeri perut. Pada keadaan lebih berat, penderita
dapat mengalami perdarahan di bawah kulit, selaput hidung, lambung dan
sebagainya.
2.4.1 Masa Inkubasi
Masa inkubasi berlangsung selama 4-6 hari6.
2.4.2 Vektor
Virus dengue dibawa oleh nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes albopictus
sebagai vektor ke tubuh manusia melalui gigitannya. Umur Aedes aegypti di alam
bebas sekitar 10 hari. Kemampuan terbang nyamuk dewasa hanya sekitar 50 m
dari tempat perindukan. Adanya nyamuk pada jarak sampai km dari tempat
perindukan disebabkan oleh pengaruh angin dan transportasi. Nyamuk Aedes
4
aegypti dalam siklus hidupnya mengalami metamorfosis lengkap. Stadium yang
dialami meliputi telur, larva, pupa dan dewasa. Telur Aedes aegypti berbentuk
lonjong, berwarna hitam dan terdapat gambaran seperti anyaman sarang lebah.
Diletakkan oleh nyamuk betina secara terpisah-pisah di permukaan air jernih yang
tenang.
Larva Aedes aegypti berbentuk seperti cacing, aktif bergerak dengan
gerakan-gerakan ke permukaan dan turun ke dasar secara berulang-ulang. Larva
ini memakan mikroba di dasar genangan. Stadium larva umumnya berlangsung 4-
9 hari.
Pupa Aedes aegypti mempunyai terompet pernapasan berbentuk segitiga
(triangular). Bentuk tubuh seperti koma, bersifat aktif dan sensitif terhadap
gerakan dan cahaya. Biasanya, pupa terbentuk pada sore hari dan berumur hanya
1- hari.
Pupa Aedes aegypti berukuran lebih kecil daripada nyamuk rumah, dengan
warna dasar hitam berbelang-belang putih pada tubuh dan kaki. Pada bagian
dorsal toraksnya ada gambaran putih berbentuk lyre sedangkan Aedes albopictus
dibedakan dengan adanya gambaran berupa garis tebal putih pada bagian dorsal
toraksnya. Nyamuk dewasa biasanya menghisap darah pada siang hari dengan
puncak penghisapannya pada pagi hari pukul 08.00-11.00 dan sore hari pukul
15.00-17.00. Dalam menghisap darah, nyamuk ini bersifat intermitten (berulang)
sebelum merasa kenyang. Sifat inilah yang menyebabkan dalam saat yang lama
dapat menginfeksi beberapa orang dalam satu keluarga.
Tempat perindukan Aedes aegypti adalah tempat penampungan air yang
bersifat tetap, tidak mengalir, jernih, pada umumnya untuk keperluan rumah
tangga seperti di bak mandi, gentong dan drum penyimpanan air, vas bunga, juga
barang bekas di luar rumah seperti yang berisi air hujan misalnya kaleng bekas,
botol pecah, ban bekas, potongan pohon bambu, lubang pagar, pelepah daun yang
berisi air, dan sebagainya 4.
2.4.3 Penularan
2.4.3.1 Mekanisme Penularan
5
Penderita penyakit DBD dalam darahnya mengandung virus dengue. Virus
ini sudah ada dalam darah selama 1- hari sebelum terjadi demam dan berada
dalam darah selama 4-7 hari12. Dalam masa inilah, pederita penyakit sebagai
sumber penularan, bila digigit nyamuk Aedes maka virus tadi akan terhisap ke
tubuh nyamuk yang tersebar di berbagai jaringan dalam kelenjar liur nyamuk.
Pada saat nyamuk mengigit, virus dipindahkan kepada orang lain.
2.4.3.2 Pusat Penularan
Faktor yang mempengaruhi derajat penularan virus dengue adalah
kepadatan vektor, mobilitas penduduk, kepadatan penduduk, dan suseptibilitas
penduduk. Mobilitas penduduk memegang peranan penting karena jarak terbang
nyamuk sangat terbatas.
Dari tahun 1968 hingga 1998, angka kesakitan dan kematian akibat DBD
terus meningkat. Pada tahun 1993-1997, kasus DBD terbesar ada pada kelompok
umur 5-14 tahun10.
2.4.3.3 Waktu Penularan
Musim penularan DBD di Indonesia terjadi pada musin hujan/ permulaan
musim hujan yaitu pada bulan Desember-Maret10. Hal ini terjadi karena populasi
nyamuk aedes aegypti meningkat pada saat musim hujan.
2.5 Manajemen DBD
2.5.1 Manajemen Kesehatan
Menurut Notoatmodjo, manajemen kesehatan adalah suatu kegiatan atau
suatu seni untuk mengatur para petugas kesehatan dan non petugas kesehatan
guna meningkatkan kesehatan masyarakat. Dengan kata lain, manajemen
kesehatan masyarakat adalah penerapan manajemen umum dalam sistem
pelayanan kesehatan masyarakat sehingga yang menjadi objek dan sasaran
manajemen adalah sistem pelayanan kesehatan masyarakat.13
Ruang lingkup manajemen kesehatan secara garis besar mengerjakan kegiatan
yang berkaitan dengan11:
6
a. Manajemen sumber daya manusia.
b. Manajemen keuangan (mengurusi cash flow keuangan).
c. Manajemen logistik (mengurusi logistik-obat dan peralatan).
d. Manajemen pelayanan kesehatan dan sistem informasi manajemen (mengurusi
pelayanan kesehatan).
2.5.2 Manajemen Kesehatan pada Demam Berdarah
Kebijakan dalam rangka penanggulangan menyebarnya DBD adalah14:
a. Peningkatan perilaku dalam hidup sehat dan kemandirian masyarakat terhadap
penyakit DBD
b. Meningkatkan perlindungan kesehatan masyarakat terhadap penyakit DBD
c. Meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi program pemberantasan DBD
d. Memantapkan kerjasama lintas sektor/lintas program.
Strategi dalam pelaksanaan kebijakan di atas dilakukan melalui14:
a. Pemberdayaan masyarakat
Meningkatnya peran aktif masyarakat dalam pencegahan dan
penanggulangan penyakit DBD merupakan salah satu kunci keberhasilan upaya
pemberantasan penyakit DBD. Untuk mendorong meningkatnya peran aktif
masyarakat, maka upaya-upaya KIE, social marketing, advokasi, dan berbagai
upaya penyuluhan kesehatan lainnya dilaksanakan secara intensif dan
berkesinambungan melalui berbagai media massa dan sarana.
b. Peningkatan kemitraan berwawasan bebas dari penyakit DBD
Upaya pemberantasan penyakit DBD tidak dapat dilaksanakan oleh sektor
kesehatan saja, peran sektor terkait pemberantasan penyakit DBD sangat
menentukan. Oleh sebab itu, maka identifikasi stakeholders baik sebagai mitra
maupun pelaku potensial, merupakan langkah awal dalam menggalang,
meningkatkan dan mewujudkan kemitraan. Jaringan kemitraan diselenggarakan
melalui pertemuan berkala, guna memadukan berbagai sumber daya yang tersedia
di masing-masing mitra. Pertemuan berkala sejak dari tahap perencanaan sampai
tahap pelaksanaan, pemantauan dan penilaian.
c. Peningkatan profesionalisme pengelola program
7
SDM yang terampil dan menguasai IPTEK merupakan salah satu unsur
penting dalam pelaksanaan program P2 DBD. Pengetahuan mengenai Bionomik
vektor, virologi dan faktor-faktor perubahan iklim, tata laksana kasus harus
dikuasai karena hal-hal tersebut merupakan landasan dalam penyususnan
kebijaksanaan program P2 DBD.
d. Desentralisasi
Optimalisasi pendelegasian wewenang pengelola kepada kabupaten/kota.
Penyakit DBD hampir tersebar luas di seluruh Indonesia kecuali di daerah yang di
atas 1000 m diatas permukaan air laut. Angka kesakitan penyakit ini bervariasi
antara satu wilayah dengan wilayah lain, dikarenakan perbedaan situasi dan
kondisi wilayah.
e. Pembangunan berwawasan kesehatan lingkungan
Meningkatnya mutu lingkungan hidup dapat mengurangi angka kesakitan
penyakit DBD karena di tempat-tempat penampungan air bersih dapat dibersihkan
setiap minggu secara berkesinambungan, sehingga populasi vektor sebagai
penular penyakit DBD dapat berkurang. Orientasi, sosialisasi, dan berbagai
kegiatan KIE kepada semua pihak yang terkait perlu dilaksanakan agar semuanya
dapat memahami peran lingkungan dalam pemberantasan penyakit DBD.
2.5.3 Tatalaksana DBD
1. Demam Dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam
pasien dianjurkan:
Tirah baring selama masih demam. Kompres hangat diberikan apabila
diperlukan.
Untuk menurunkan suhu menjadi < 39°C, dianjurkan pemberian parasetamol.
Asetosal/salisilat tidak dianjurkan oleh karena dapat meyebabkan gastritis,
perdarahan, atau asidosis.
Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirup, susu,
disamping air putih, dianjurkan paling sedikit selama 2 hari.
Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen.
8
Pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2
hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita sulit
membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Komplikasi perdarahan
dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok. Oleh karena itu, orang tua atau
pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang air besar hitam, atau terdapat
perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila
disertai berkeringat dingin, hal tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga
harus segera dibawa segera ke rumah sakit.
2. Demam Berdarah Dengue
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD.
Adapun pertolongan pertama pada penderita tersangka demam berdarah adalah
beri minum sebanyak mungkin, kompres dengan air es, beri obat turun panas,
segera bawa pasien ke dokter/ puskesmas yang terdekat untuk diperiksa. Bila
diduga terserang demam berdarah, penderita akan dikirim kerumah sakit untuk
dirawat.
Tatalaksana DBD bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan
oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh
karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan
intravena rumatan perlu diberikan. Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul
sebagai akibat demam tinggi, anoreksia dan muntah. Jenis minuman yang
dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta larutan oralit. Pasien
perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam pertama. Setelah keadaan
dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24
jam berikutnya. Bayi yang masih minum ASI, tetap harus diberikan disamping
larutan olarit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan
antikonvulsif selama demam.
Keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini
fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan fase
awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai
pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Pemeriksaan kadar
9
hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk
pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran
plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada
umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi.
Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencerminkan perembesan plasma dan
merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Larutan garam isotonik atau ringer
laktat sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai
dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan
hematokrit yang terus menerus dan penurunan jumlah trombosit < 50.000/p1.
Secara umum pasien DBD derajat I dan II dapat dirawat di Puskesmas, rumah
sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B dan A.
3. Sindrom Syok Dengue
Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan
yang utama yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pada
penderita SSD dengan tensi tak terukur dan tekanan nadi <20 mm Hg segera
berikan cairan kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB/jam selama 30 menit, bila syok
teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg BB.
2.5.4 Pencegahan dan Pemberantasan
Sejauh ini usaha-usaha pencegahan yang telah dilakukan dapat
mengurangi mortality rate sebesar 3-4%, tetapi kecenderungan kejadian DBD
justru menunjukan peningkatan. Karena itu, dibutuhkan peningkatan usaha-usaha
pencegahan untuk mengatasi masalah DBD yang meliputi sektor kesehatan dan
sektor non kesehatan11.
2.5.4.1 Sektor Kesehatan
Diagnosa dan perawatan yang cepat dan tepat memang penting dalam
upaya mencegah dengue shock sysndrome (DSS) yang berisiko tinggi
menyebabkan kematian5. Akan tetapi, lebih penting lagi mengurangi insiden DBD
memalui prosedur dan implementasi yang tepat. Sesuai dengan slogan “mencegah
10
lebih baik daripada mengobati” makan usaha pencegahan lebih baik dikedepankan
daripada tindakan yang dilakukan hanya pada situasi darurat atau pada saat
penyakit telah menyerang. Di Indonesia usaha pengendalian Aedes aegypti
dilakukan melalui metode pengendalian kimia, pengendalian fisik, pengendalian
biologis dan perlindungan perorangan9.
1. Perlindungan Kimia
Metode ini menggunakan insektisida untuk menekan populasi nyamuk
Aedes aegypti melalui cara antara lain:
Membunuh larva dengan menggunakan
bubuk abate yang dibubuhkan pada tempat penyimpanan air dengan dosis 1 pp
(part per million), yaitu 10 gram untuk 100 liter air.
Setelah dibubuhkan abate maka:
a) Selama 3 bulan bubuk abate dalam air tersebut mampu
membunuh jentik Aedes aegypti.
b) Selama 3 bulan bila tempat penampungan air tersebut
akan dibersihkan/diganti airnya, hendaknya jangan menyikat bagian dalam
dinding tempat penampungan air tersebut.
c) Air yang telah dibubuhi abate dengan takaran yang
benar, tidak membahayakan dan tetap aman bila air tersebut diminum.
Melakukan fogging dengan malthion
atau fenitrotion dalam dosis 438 gr/ha; dilakukan di dalam rumah dan di sekitar
rumah dengan menggunakan larutan 4% dalam solar atau minyak tanah.
Fogging ditujukan untuk membunuh nyamuk dewasa. Tindakan pengendalian
secara kimia memang terbukti dapat menekan populasi nyamuk Aedes Aegypti,
namun hal tersebut membutuhkan biaya yang cukup tinggi apabila dilakukan
secara terus menerus. Untuk itu, tindakan ini sebaiknya dilaksanakan beberapa
saat sebelum mulainya masa penularanan yang diperkirakan. Saat yang cocok
di Indonesia ialah pada permulaan musin hujan atau segera sebelum mulainya
musim hujan dengan memberikan prioritas pada daerah dengan kepadatan
vektor tertinggi disertai riwayat adanya wabah DBD pada masa-masa
sebelumnya.
11
Selain pertimbangan biaya, penggunaan dosis pada pengendalian kimia harus
diperhatikan karena penggunaan dosis yang kurang tepat dapat menimbulkan
resistensi nyamuk terhadap insektisida.
2. Pengendalian Fisik
Pemerintah Indonesia mengeluarkan program pengendalian sektor DBD
yang murah, mudah dan amam. Program ini meliputi kegiatan-kegiatan yang
dikenal dengan singkatan 3M, yaitu :
Menguras/mengganti air di tempat-
tempat penampungan air yang terbuka, seperti bak mandi, vas bunga, tempat
minum burung dan lain-lain. Penggantian dilakukan seminggu sekali dengan
maksud agar daur hidup nyamuk stadium larva yang memerlukan 8-10 hari
tidak tercapai untuk menjadi dewasa.
Menutup rapat tempat penampungan air
yang digunakan untuk keperluan memasak dan air minum agar nyamuk tidak
dapat memasuk kedalamnya dan meletakan telur.
Mengubur barang-barang bekas yang
berpotensi menjadi termpat bertelur nyamuk di luar rumah apabila terkena air
hujan, seperti kaleng, botol, ban dan lain-lain.
Keberhasilan program PSN membutuhkan partisipasi masyarakat. Untuk
itu perlu dilaksanakan usaha untuk mendorong masyarakat melalui program
pendidikan kepada masyarakat. Untuk mencegah epidemik DBD berdasarkan UU
tahun 1988 tentang pencegahan dan pengendalian penyekit infeksi maka semua
kasus DBD yang terdiagnosa secara klinis wajib dilaporkan ke kantor Depkes
daerah terdekat dalam kurun waktu 4 jam. Pelaporan ini harus sesegera mungkin
dilakukan tanpa harus menunggu hasil laboratorium, sehingga bisa segera di
ambil tindakan pengendalian di daerah itu. Keterlambatan pelaporan akan
menyebabkan keterlambatan tindakan pencegahan yang selanjutnya dapat
menyebabkan kejadian luar biasa (KLB).
3. Pengendalian Biologis
12
Metode ini memanfaatkan predator larva untuk membasmi larva Aedes
aegypti seperti ikan pemakan larva, beberapa spesies bakteri dan cyclopoida.
Masyarakat dianjurkan untuk memelihara ikan tempalo di bak-bak penampungan
air. Ikan tempalo dapat memakan larva nyamuk sehingga digunakan untuk
mencegah demam berdarah.
4. Perlindungan Perorangan
Metode ini ditujukan untuk mencegah gigitan Aedes aegypti, antara lain
dengan pemasangan kasa penolak nyamu, penggunaan mosquito repellent,
insektisida aerosol, pemakaian kelambu, pemakaian pakaian yang cukup
melindungi tubuh dan obat nyamuk bakar. Pemberian sinar matahari langsung
yang lebih banyak menyingkirkan pakaian-pakaian yang tergantung dilakukan
untuk meniadakan tempat-tempat persembunyian nyamuk.
2.6.4.2 Sektor Non-kesehatan10
Selama ini pengaruh faktor non kesehatan terhadap penyakit belum
mendapat perhatian yang cukup. Sektor ini meliputi pengaruh ekonomi, sosial dan
sikap mental yang masih berorientasi pada tindakan emergensi pada saat KLB
saja.
Agar program pencegahan dan pengendalian DBD berhasil, maka sektor
non kesehatan dapat dicapai melalui cara-cara sebagai berikut :
1. Peningkatan pendidikan kesehatan masyarakat yang terkait dengan
masalah DBD, seperti :
o Sanitasi lingkungan
o Bahaya dan kompilikasi DBD
o Tindakan pengendalian DBD, temasuk
pengendalian sarang nyamuk (PSN)
2. Penyuluhan dapat dilaksanakan melalui pendekatan :
o Massa : TV, radio,
pemutaran film
o Kelompok : Kader, PKK dan lain-lain
13
o Individu : Puskesmas, RS,
lapangan dan rumah ke rumah
3. Peningkatan alokasi anggaran dana untuk pencegahan demam berdarah
dengue dan program pengendalian air bak.
4. Pengikutsertaan media massa dalam meningkatkan kewaspadaan
masyarakat terhadap DBD.
5. Program kebersihan lingkungan secara teratur yang dikoordinir ketua-
ketua RW.
6. Kerjasama berkelanjutan antara institusi pemerintah dan organisasi
masyarakat untuk memunculkan kewaspadaan terhadap DBD.
7. Pengawasan bangunan-bangunan yang dapat menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk.
2.5.5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Pencegahan DBD
2.5.5.1. Pengetahuan
Pada tahun 1999, Departemen Penanggulangan Penyakit Menular di
Thailand mengadakan program untuk mencegah DBD 12. Pada program ini,
masyarakat diberikan informasi mengenai DBD melalui penyuluhan, poster,
kaset, video dan iklan di televisi dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan
masyarakat mengenai DBD. Hasilnya, pengetahuan berpengaruh terhadap
tindakan pencegahan, tetapi sulit untuk mempertahankannya.
2.5.5.2. Pendidikan
Pengaruh tingkat pendidikan terhadap prilaku tindakan pencegahan DBD
sangat kompleks. Tingginya tingkat pendidikan tidak dapat menjamin seseorang
mempunyai tingkat pengetahuan tinggi terhadap DBD. Seseorang dengan
pengetahuan yang minim terhadap DBD tentunya akan mempunyai
kecenderungan untuk melakukan sedikit sekali tindakan pencegahan terhadap
penyakit tersebut atau bahkan tidak sama sekali. Di lain pihak, seseorang dengan
pengetahuan yang tinggi terhadap DBD belum tentu melakukan tindakan
pencegahan tersebut.
14
2.5.5.3. Kebiasaan atau Budaya
Pemberantasan nyamuk Aedes aegypti bukanlah sesuatu hal yang mudah.
Berbagai cara telah dilakukan, namun upaya pengendalian diri sangat bergantung
pada budaya atau kebiasaan masyarakat itu sendiri. Sampai saat ini area yang
paling efektif untuk pengendalian nyamuk ini yaitu melalui upaya pengendalian
sarang nyamuk (PSN) seperti program 3M. program ini berkaitan dengan budaya
atau kebiasaan masyarakat dalam pengelolaan sampah dan menampung air bersih.
Mengubur barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan tidak perlu
dilakukan bila masyarakat terbiasa mengelola sampah dengan benar. Membuang
di tempat-tempat penampungan sampah sementara (TPS) sebelum dibuang di
tempat-tempat penampungan akhir (TPA) menutup dan menguras juga tidak perlu
dilakukan apabila masyarakat tidak terbiasa menampung air bersih untuk
persediaan. Terlihat jelas bahwa semboyan 3M ini cenderung “community
oriented”. Diciptakan oleh masyarakat untuk dilaksanakan oleh masyarakat.
Masyarakat kita memang sudah terbiasa menampung air bersih sebagai
persediaan. Wadah-wadah penampungan air sengaja diciptakan dari berbagai
bahan dengan berbagai bentuk dan ukuran. Perilaku menyimpan air ini sangat
tergantung kultur setempat dan kebutuhan akan air. Masyarakat masih terbiasa
menyimpan air, karena air dari perpipaan sewaktu-waktu tidak mengalir. Kondisi
penyimpanan air ini memberikan peluang dan kesempatan terjadinya tempat
perindukan nyamuk Aedes aegypti.
Sampai saat ini banyak masyarakat yang belum menyadari bahwa
beberapa kebiasaan yang dilakukan dapat memacu tumbuh-kembangnya nyamuk
diantaranya pengelolaan sampah yang kurang baik (masyarakat terbiasa
membuang sampah sembarangan terutama di depan rumahnya tidak tersedia
tempat sampah), kebiasaan menggantung pakaian, kurangnya frekuensi
penggantian air pada vas bunga, tempat minum burung dan sebagainya.
Lain halnya dengan memeliharan ikan tempalo, sebagian masyarakat lebih
menyukai cara ini. Selain harganya murah juga mudah didapatkan. Akan tetapi
15
ada juga yang menyatakan bahwa ikan tempalo dapat membuat air berbau amis
sehingga mereka tidak mau memeliharannya.
2.5.6. Penyuluhan
F. Espinoxa-Goems, C. Moises Hernades-Suarez dan R. Coll-Cardenas
pada tahun 1996-1997 dengan penelitian yang berjudul Educational campaign
versus malathiom spraying for the control of aedes aegypti in Colima, mexico14,
penelitian yang dilakukan LIoyd di Yucatan Mexico tahun 199, dan penelitian
Llyod, Rosenbaum di Trinidad dan Tobago tahun 199 menunjukkan bahwa
kampanye pendidikan dan penyuluhan DBD secara langsung, yaitu dengan
mengunjungi rumah satu-persatu, memiliki efek yang sangat baik dalam usaha
pemberantasan sarang nyamuk (PSN), ditunjukkan dengan angka penurunan
jumlah sarang nyamuk yang cukup tinggi.
Ketiga penelitian di atas menunjukkan faktor penyuluhan masyarakat
secara langsung sedikit banyak memberikan pengaruh perubahan perilaku
pencegahan masyarakat terhadap DBD.
16