BAB II LANDASAN TEORI -...

12
9 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Motivasi Berprestasi 2.1.1. Pengertian Motivasi Berprestasi Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti “dorongan atau daya penggerak. Motivasi adalah penting karena dengan adanya motivasi ini diharapkan setiap individu mau balajar keras dan antusias untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi dalam berprestasi. (McClelland dalam Hasibuan, 2001) mengatakan motivasi berprestasi adalah suatu keinginan untuk mengatasi atau mengalahkan suatu tantangan yang bertujuan untuk kemajuan dan pertumbuhan. Motivasi berprestasi sebagai dorongan yang berhubungan dengan prestasi yaitu menguasai, memanipulasi, mengatur lingkungan sosial atau fisik, mengatasi rintangan, dan memelihara kualitas kerja yang tinggi, bersaing untuk melebihi yang lampau dan mengungguli orang lain (Hall & Linzey dalam Wirabayu, 2005). Selanjutnya Merhrabian & Bank (dalam Hapsari, 2004) menyatakan bahwa pada umumnya motivasi berprestasi merupakan dorongan dari individu untuk melakukan aktivitas dan usaha yang maksimal agar dapat mencapai prestasi yang sebaik-baiknya. Weinner (dalam Hapsari, 2004) mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai suatu kecenderungan positif yang berada dalam individu yang pada dasarnya mempunyai reaksi terhadap suatu tujuan yang ingin atau harus dicapai .

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI -...

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1811/3/T1_132008042_BAB II.pdf · terhadap orang lain dalam prestasi, individu puas karena dapat

9

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Motivasi Berprestasi

2.1.1. Pengertian Motivasi Berprestasi

Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti “dorongan atau

daya penggerak”. Motivasi adalah penting karena dengan adanya motivasi ini

diharapkan setiap individu mau balajar keras dan antusias untuk mencapai

produktivitas kerja yang tinggi dalam berprestasi. (McClelland dalam Hasibuan,

2001) mengatakan motivasi berprestasi adalah suatu keinginan untuk mengatasi

atau mengalahkan suatu tantangan yang bertujuan untuk kemajuan dan

pertumbuhan.

Motivasi berprestasi sebagai dorongan yang berhubungan dengan prestasi

yaitu menguasai, memanipulasi, mengatur lingkungan sosial atau fisik, mengatasi

rintangan, dan memelihara kualitas kerja yang tinggi, bersaing untuk melebihi

yang lampau dan mengungguli orang lain (Hall & Linzey dalam Wirabayu, 2005).

Selanjutnya Merhrabian & Bank (dalam Hapsari, 2004) menyatakan bahwa pada

umumnya motivasi berprestasi merupakan dorongan dari individu untuk

melakukan aktivitas dan usaha yang maksimal agar dapat mencapai prestasi yang

sebaik-baiknya.

Weinner (dalam Hapsari, 2004) mendefinisikan motivasi berprestasi

sebagai suatu kecenderungan positif yang berada dalam individu yang pada

dasarnya mempunyai reaksi terhadap suatu tujuan yang ingin atau harus dicapai .

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1811/3/T1_132008042_BAB II.pdf · terhadap orang lain dalam prestasi, individu puas karena dapat

10

Sementara itu Edward (As’ad dalam Wirabayu, 2005) menguraikan

motivasi berprestasi sebagai kebutuhan individu untuk menyelesaikan tugas-tugas

lebih sukses untuk mencapai prestasi yang tinggi.

Dari beberapa pengertian diatas dapat dinyatakan bahwa motivasi

berprestasi sebagai dorongan yang ada dalam diri individu untuk melakukan

aktivitas tertentu dan usaha yang maksimal serta mengatasi rintangan yang ada

guna mencapai hasil yang sebaik-baiknya.

2.1.2. Aspek-aspek Motivasi berprestasi

Lebih lanjut McClelland (dalam Wirabayu 2005) mengemukakan aspek-

aspek motivasi berprestasi sebagai berikut:

a. Memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan tanggung jawab secara pribadi atas

tindakan yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan.

Individu merasa puas dengan prestasinya sekarang meskipun belum

melebihi prestasi orang lain karena sanggup dapat berbuat suatu hal yang

merubah prestasinya yang lampau. Individu menikmati kesibukkannya

sepanjang hari karena baginya semakin banyak kemampuan yang dimiliki

maka semakin berhasil dan senang melakukan ketrampilan tingkat tinggi.

Individu menikmati kesibukkannya setiap hari dan penting baginya untuk

melebihi prestasi orang lain.

b. Menetapkan arah tujuan untuk berhasil dan sukses.

Individu menetapkan arah dan tujuan sukses dalam dirinya dengan standar

optimis akan berhasil, dengan memilih pekerjaan yang bersifat moderat

membuat individu merasa santai dan mudah dikuasai daripada tugas yang

bersifat sulit. Suka belajar dan berkerja keras, apabila mengalami kesulitan

akan terus mencoba hingga berhasil daripada beralih ke pekerjaan lainnya,

bagi individu menjadikkan diri sendiri untuk menang adalah penting.

c. Menempatkan tujuan yang sedang dan bekerja lebih keras, oleh karena itu

individu berusaha memaksimalkan kepuasan akan prestasinya.

Individu merasa puas apabila melakukan pekerjaan sebaik-baiknya oleh

karena itu bila mengerjakan suatu tugas berusaha terus menerus

menekuninnya hingga berhasil, oleh karena itu individu memilih tugas yang

merasa dikerjakan. Apabila mengerjakkan tugas maka akan dikerjakan secara

maksimal sehingga kepuasan individu akan lebih besar dalam persaingan

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1811/3/T1_132008042_BAB II.pdf · terhadap orang lain dalam prestasi, individu puas karena dapat

11

terhadap orang lain dalam prestasi, individu puas karena dapat melebihi

prestasinya yang lalu.

2.1.3. Faktor-faktor Motivasi Berprestasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi ada 2 yaitu: faktor

internal dan eksternal (dalam Wirabayu, 2005). Faktor internal adalah faktor yang

ada dalam diri individu, yang termasuk faktor internal adalah:

1. Keadaan jasmani

Keadaan jasmani antara lain bentuk wajah, warna kulit, dan sebagainya.

Sebaliknya Kartikawati (1995) mengemukakan bahwa cacat fisik yang dimiliki

individu akan dapat menghambat dirinya untuk mempunyai motivasi berprestasi.

2. Jenis kelamin

Jung (Hananto, 2000) berpendapat bahwa faktor jenis kelamin mem-

pengaruhi motivasi berprestasi. Ada kecenderungan wanita untuk menghindari

sukses merupakan faktor yang melatarbelakangi rendahnya motivasi berprestasi

pada wanita.

3. Usia

Neugarten (1987) mengatakan bahwa kesadaran akan umur yang semakin

bertambah (menjadi suatu pendorong untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi).

Orang yang berusia lebih tua akan semakin banyak pengalaman dalam kehidupan

dan mempunyai suatu kiat-kiat tertentu untuk menghindari kegagalan dan tidak

akan melakukan kegagalan yang sama.

4. Inteligensi

Individu dengan taraf kecerdasan yang tinggi diharapkan memiliki

motivasi berprestasi tinggi. Hal ini didukung oleh Pietrofesa dan Splete (dalam

Ariani, 1995) bahwa intelegensi akan mempengaruhi motivasi berprestasi

individu, semakin tinggi inteligensi akan semakin tinggi pula motivasi

berprestasinya.

5. Kepribadian

Tiap-tiap individu mempunyai kepribadian yang berbeda. Salah satu

contoh adalah 2 tipe kepribadian individu, yaitu kepribadian locus of control

internal dan locus of control external. Individu dengan locus of control internal

lebih suka menentang pengaruh dari luar serta tanggung jawab pribadi terhadap

kegagalan dari usaha yang dilakukannya, sedangkan individu dengan locus of

control eksternal memiliki anggapan bahwa kegagalan berasal dari hal-hal yang

di luar dirinya, misalnya dari guru, orang tua, teman, dan lain-lain.

6. Minat

Individu mempunyai minat untuk belajar, berkompetisi dan tidak

mengharapkan kegagalan akan mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi

(Setiawan, 1993).

7. Citra diri

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1811/3/T1_132008042_BAB II.pdf · terhadap orang lain dalam prestasi, individu puas karena dapat

12

Ratnawati & Sinabela (1996) menyatakan bahwa individu yang mempunyai

citra diri positif akan tampak percaya diri, aktif dan berani menghadapi sesuatu.

Sebaliknya individu yang memiliki citra diri negatif akan tampak ragu-ragu,

kurang percaya diri dan kurang berani dalam menghadapi sesuatu meskipun

sebenarnya memiliki kemampuan. Dilihat dari ciri-ciri yang ada, maka individu

yang mempunyai citra diri positif akan memiliki motivasi berprestasi tinggi

daripada individu yang memiliki citra diri negatif.

8. Keberhasilan yang pernah dicapai

Greene (Hananto, 2000) menyatakan keberhasilan dalam mencapai tujuan

yang telah ditentukan memiliki arti bahwa individu mampu mengatasi kesulitan

dan tantangan yang dihadapi, keberhasilan ini akan menumbuhkan kepercayaan

pada diri serta penghargaan atas usaha yang dilakukannya. Individu akan

berpandangan positif pada dirinya sehingga menimbulkan suatu harapan baru

untuk mencapai prestasi yang lebih baik.

9. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan individu akan berpengaruh pada kebutuhan-

kebutuhannya. Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan menuntut

timbal balik nyata, misalnya memiliki aspirasi yang realistik terhadap dirinya.

Klein & Mahen (Hananto, 2000) mengungkapkan bahwa individu yang

berpendidikan tinggi akan lebih banyak menuntut peranan bagi dirinya daripada

individu yang berpendidikan rendah.

Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu :

1. Lingkungan keluarga

Terbentuknya motivasi berprestasi bersumber dari cara orang tua mendidik

dan mengasuh anak. Orang tua yang mendidik anaknya untuk berusaha

menentukan sendiri apa yang sebaiknya dilakukan dan mampu mengerjakan

tugas-tugas tanpa bantuan orang lain, disertai dengan sikap orang tua yang selalu

menghargai setiap prestasi yang telah dicapai anaknya, akan menumbuhkan

motivasi berprestasi yang lebih tinggi pada anak. Heckhausen (Martaniah,1975)

menambahkan latihan yang diberikan oleh orang tua untuk percaya diri sendiri

dapat membantu tumbuhnya motivasi berprestasi.

2. Lingkungan masyarakat

Mencakup tempat individu hidup dan bergaul, berbudaya, tradisi nilai hidup

dan pola hidup yang dianut masyarakat lingkungannya, semua itu memperngaruhi

motivasi berprestasinya individu. McClelland (1978) mengatakan bahwa motivasi

berprestasi merupakan bagian dari kebudayaan secara keseluruhan, yaitu bagian

dari agama, gaya hidup atau lebih khusus lagi dari cara orang tua mengasuh

anaknya. Motivasi berprestasi berkembang karena pengaruh kebudayaan dan

lingkungan yang mementingkan perkembangan kebebasan pada anggota

keluarganya, orang tua pada umumnya mengasuh anak sesuai dengan pola hidup

yang dianut lingkungannya.

3. Lingkungan sekolah

Sementara itu, Ratnawati & Sinambela (1996) menjelaskan bahwa sejauh

mana sekolah dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan siswa dalam berprestasi di

sekolah yang meliputi fasilitas yang disediakan, hubungan antar siswa dan guru,

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1811/3/T1_132008042_BAB II.pdf · terhadap orang lain dalam prestasi, individu puas karena dapat

13

hubungan antara siswa dengan siswa itu sendiri. Siswa merasakan

kebutuhannya terpenuhi jika pihak sekolah mampu menyediakan fasilitas

pendidikan yang mampu memuaskan rasa ingin tahu siswa yang tinggi, hubungan

siswa dengan guru, dan dengan siswa lain terjalin harmonis. Selanjutnya, siswa

akan memperoleh iklim yang menyenangkan dan siswa akan terus menerus

terdorong untuk meningkatkan prestasinya.

Dari faktor-faktor tersebut dapat digolongkan kedalam 2 faktor yaitu

faktor internal meliputi: keadaan jasmani, jenis kelamin, usia, intelegensi, citra

diri, keberhasilan yang pernah dicapai, dan tingkat pendidikan. Sedangkan faktor

eksternal meliputi: lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan

sekolah.

2.2 Pola Asuh Orang Tua

2.2.1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua

Keluarga merupakan sebuah kelompok sosial pertama di mana anak

melakukan interaksi dan mempunyai pengaruh dalam pembentukan dan

perkembangan sikap sosial yang besar. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut

berpengaruh dalam proses perkembangan anak salah satunya faktor dalam

keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan sikap sosial anak

yaitu faktor latar belakang keluarga, ekonomi, agama dan budaya

Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing, dan

mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan

norma-norma yang ada dalam masyarakat. Faktor lingkungan juga memiliki

pengaruh terhadap perkembangan sikap sosial anak karena di dalam kehidupan

bersosial manusia tidak bisa hanya berinteraksi dengan keluarga sendiri melainkan

dengan masyarakat sekitar.

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1811/3/T1_132008042_BAB II.pdf · terhadap orang lain dalam prestasi, individu puas karena dapat

14

Dalam keluarga orang tua mempunyai cara sendiri dalam menjadikan anak

sebagai pribadi yang berguna dan tidak menyimpang dari norma yang berlaku

dimasyarakat. Bagaimana anak bertindak dan berperilaku tidak lepas dari

bagaimana orang tua menanamkan nilai dan membentuk pribadi anak sejak kecil.

Oleh karena cara pengasuhan yang dilakukan orang tua tidak lepas dalam

membentukan karakter seorang anak.

Menurut Gunarsa (2000) peranan yang ditunjukkan oleh orang tua

terhadap anak adalah memenuhi kebutuhan biologis dan fisik, merawat dan

mengurus keluarga dengan sabar, mendidik, mengatur dan mengendalikan anak,

menjadi contoh dan teladan bagi anak. Oleh karena itu cara pengasuhan yang

dilakukan oleh orang tua tidak lepas dalam pembentukan kepribadian anak.

Hurlock (1999) menyatakan bahwa pola asuh orang tua adalah metode

yang digunakan orang tua dalam menjalin hubungan dengan anak. Dari berbagai

pengertian pola asuh orang tua adalah metode yang mendidik, mengajar,

membimbing untuk mengarahkan perilaku anak serta cara orang tua untuk

berkomunikasi dengan anak.

2.2.2. Jenis-Jenis Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh orang tua ada bermacam-macam antara lain pola asuh orang tua

otoriter, otoritatif (demokratis) dann pola asuh permissive. Adapun jenis pola asuh

orang tua menurut Rice; Santrock; Turner & Helms (dalam Gunarsa, 2004) dan

Hurlock (1999) dikategorikan menjadi tiga yaitu:

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1811/3/T1_132008042_BAB II.pdf · terhadap orang lain dalam prestasi, individu puas karena dapat

15

a. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter orang tua menerapkan pola pengasuhan otoriter pada

anak, orang tua memutuskan segala sesuatu yang berkenaan dengan anak

tanpa mempedulikan pendapat dari anak. Orang tua menerapkan gaya

hukuman kepada setiap tindakan anak yang tidak sesuai dengan keinginan

orang tua. Anak diajarkan mengikuti tuntutan orang tua dan keputusan orang

tua tanpa bertanya dan berdiskusi terlebih dahulu dengan anak. Anak tidak

diperbolehkan mengambil keputusan sendiri.

Orang tua tidak melakukan komunikasi yang baik dengan anak.

Biasanya, komunikasi yang terjadi hanyalah komunikasi satu arah, yaitu dari

orang tua ke anak, dengan orang tua memberikan perilaku kepada anak.

Kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak menyebabkan keterampilan

berkomunikasi anak menjadi berkurang.

b. Pola Asuh Permisif

Pola asuh yang permisif dibedakan menjadi pola pengasuhan yang

mengabaikan dan pola pengasuhan yang memanjakan. Pada pengasuhan yang

mengabaikan, orang tua, dengan tidak mempedulikan anak, memberi izin bagi

anak bertindak semaunya sendiri. Anak-anak yang dibesarkan dengan pola

pengasuhan ini akan menunjukkan kurangnya kontrol diri yang dapat menjadi

salah satu penyebab kenakalan pada anak.

Pola pengasuhan yang memanjakan, orang tua sangat menunjukkan

dukungan emosional kepada anak tetapi kurang memberikan kontrol kepada

anak. Orang tua mengizinkan anak untuk melakukan apa yang anak mau,

bahkan tampak bahwa anak lebih berkuasa daripada orang tua dalam

pengambilan berbagai keputusan. Hal ini ternyata menyebabkan remaja tidak

memiliki kontrol diri yang baik, mereka menjadi egois, selalu memaksakan

kehendak sendiri tanpa mempedulikan perasaan orang lain. Dapat dikatakan

bahwa pola asuh permisif, baik yang mengabaikan atau yang memanjakan,

menyebabkan anak tidak memiliki kontrol diri yang baik.

c. Pola Asuh Otoritatif (Demokratis)

Orang tua dengan pola pengasuhan otoritatif (demokratis) selalu

melibatkan anak dalam segala hal yang berkenaan dengan anak itu sendiri dan

dengan keluarga. Orang tua mempercayai pertimbangan dan penilaian dari

anak serta mau berdiskusi dalam mengambil segala keputusan yang berkaitan

dengan anak. Anak pun belajar untuk membuat keputusan bagi dirinya sendiri

dan juga belajar mendengarkan dan berdiskusi dengan orang tua. Orang tua

yang otoritatif (demokratis) menekankan pentingnya peraturan, norma, dan

nilai-nilai, tetapi orang tua juga bersedia untuk mendengarkan, menjelaskan,

dan bernegosiasi dengan anak. Disiplin yang orang tua lakukan lebih bersifat

verbal yang ternyata merupakan sesuatu yang efektif. Orang tua yang

menunjukkan atau menyatakan kekecewaan atas tindakan anak yang

mengecewakan akan lebih memotivasi anak untuk bertindak lebih hati-hati di

kemudian hari daripada orang tua yang menghukum dengan keras (Papalia,

Wendkos & Feldman,, dalam Gunarsa, 2004).

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1811/3/T1_132008042_BAB II.pdf · terhadap orang lain dalam prestasi, individu puas karena dapat

16

Ketiga bentuk jenis pola asuh ini dalam kehidupan sehari-hari yang

diterapkan orang tua dalam mendidik atau mengasuh anak baik secara terpisah

maupun secara bersama yang artinya ada orang tua yang melaksanakan pola

asuh demokratis tetapi juga kadang-kadang menerapkan pola asuh otoriter dan

permisif. Untuk menentukan bentuk pola asuh orang tua yang diterapkan

dalam mengembangkan atau mendidik anak-anaknya sangat sulit karena orang

tua cenderung menggunakan perpaduan ketiga jenis pola asuh tersebut untuk

mendidik anak-anaknya.

Sementara Baumrind mengatakan bahwa ada 4 pola asuh, yang

kemudian dikembangkan oleh Maccoby & Martin; Lamborn, (dalam Tiga,

2010) menjadi empat macam pola asuh, yaitu pola asuh authoritative, pola

asuh authoritarian, pola asuh indulgent, dan neglectful.

a. Pola Asuh Authoritative

Orang tua tipe ini menerapkan tingkat pengawasan yang tinggi terhadap

anak. Orang tua juga mempunyai tingkat penerimaan dan keterlibatan yang

tinggi dalam kehidupan anak. Orang tua menerapkan aturan-aturan dalam

keluarga tetapi juga terbuka secara demokratis kepada anak tentang aturan-

aturan yang orang tua terapkan.

b. Pola Asuh Authoritarian

Orang tua dengan tipe pola asuh ini mempunyai tingkat pengawasan yang

tinggi terhadap anak tanpa adanya kehangatan dari orang tua dan keterlibatan

orang tua yang rendah dalam kehidupan anak.

c. Pola Asuh Indulgent

Orang tua mempunyai penerimaan terhadap anak dan memiliki tingkat

keterlibatan yang tinggi terhadap kehidupan anak. Orang tua menerima dan

mencintai anak, tetapi menerapkan aturan-aturan yang kuat dalam keluarga.

d. Pola Asuh Neglectful

Orang tua mempunyai pengawasan yang rendah terhadap anak dan

mempunyai tingkat penerimaan dan keterlibatan yang rendah terhadap

kehidupan anak serta tidak menetapkan aturan dan pengawasan yang kuat

dalam kehidupan anak.

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1811/3/T1_132008042_BAB II.pdf · terhadap orang lain dalam prestasi, individu puas karena dapat

17

2.2.3. Aspek- Aspek Pengukuran Pola Asuh Orang Tua

Hurlock (1999) mengungkapkan aspek-aspek pola asuh orang tua sebagai

berikut:

1) Kontrol orang tua, yaitu usaha yang dilakukan orang tua untuk membatasi

pola asuh anak yang didasarkan pada sasaran yang bertujuan memodifikasi

perilaku anak.

2) Hukuman dan hadiah, yaitu usaha orang tua dalam memberikan hukuman dan

hadiah yang didasarkan pada perilaku anak.

3) Komunikasi, yaitu pencapaian informasi antara orang tua dan anak yang di

dalamnya bersifat mendidik, menghibur dan pemecahan masalah.

4) Disiplin, yaitu usaha yang dilakukan oleh orang tua untuk mendisiplinkan

nilai agar anak dapat menghargai dan menaati peraturan yang berlaku.

Menurut Baumrind dalam Maccoby & Martin; Lamborn, (dalam Tiga,

2010) aspek-aspek pola asuh orang tua antara lain:

1. Strictness adalah tingkat keketatan orang tua dalam membuat banyak

peraturan untuk mengatur perilaku anak.

2. Supervision adalah tingkat pengawasan orang tua terhadap perilaku dan

aktivitas anak di kehidupan sehari-hari.

3. Acceptance adalah tingkat penerimaan orang tua terhadap perilaku anak.

4. Involvement adalah tingkat keterlibatan orang tua dalam kehidupan anak.

Berdasarkan aspek-aspek yang disebutkan di atas, maka dalam penelitian

ini penulis menggunakan aspek pola asuh bedasarkan teori Hurlock (1999).

Alasan menggunakan teori Hurlock karena aspek-aspek mengarah pada pola asuh

yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam setiap pola asuh mengandung unsur

kontrol, hukuman dan hadiah, komunikasi serta disiplin yang diterapkan orang tua

pada anak.

2.2.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua

Pada masing-masing orang tua mempunyai pola pengasuhan tersendiri

pada anak mereka yang berbeda, dengan bermacam-macam lingkungan keluarga.

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1811/3/T1_132008042_BAB II.pdf · terhadap orang lain dalam prestasi, individu puas karena dapat

18

Perbedaan dapat terlihat dalam hal mengungkapkan pikiran dan perasaan

serta sikap orang tua dan anaknya atau sebaliknya anak dengan orang tua.

Menurut Gunarsa (1983 dalam Kurniawati, 2010) dalam mengasuh dan

mendidik anak, sikap orang tua dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:

1) Pengalaman masa lalu anak berhubungan erat dengan pola pengasuhan atau

sikap orang tua.

Biasanya dalam mendidik anaknya, orang tua cenderung untuk

mengulangi sikap dan pola asuh dahulu apalagi hal tersebut dirasakan manfaatnya.

Sebaliknya orang tua cenderung pula untuk tidak mengulangi sikap atau pola asuh

orang tua bila tidak dirasakan manfaatnya.

2) Nilai-nilai yang dianut orang tua.

Kedua orang tua masing-masing mempunyai nilai tersendiri untuk

mengatur dan mendidik anak, nilai-nilai yang harus dipatuhi oleh anak dan

diterapkan oleh orang tua dalam keluarga.

3) Tipe kepribadian orang tua.

Orang tua mempunyai watak sendiri walaupun berbeda kepribadian tetapi

orang tua selalu menghargai antara pendapat Ayah atau Ibu sehingga dapat

mendidik anak menjadi anak yang dapat diandalkan oleh kedua orang tua.

4) Faktor perkawinan orang tua.

Perkawinan orang tua dalam dua belah pihak baik Ayah atau Ibu pasti

mempunyai sifat bawaan yang berbeda dan kebiasaan yang berbeda dibawa dari

masing-masing pola pengasuhan orang tuanya, dari sinilah orang tua memadukan

cara tersendiri dalam mendidik dan mengasuh anak agar menjadi anak yang dapat

menjadi kebanggaan bagi orang tua.

5) Alasan orang tua mempunyai anak.

Keinginan setiap orang dalam menjalani sebuah perkawinan adalah

mempunyai keturunan yang diharapkan akan menjadi penerus generasi dari orang

tua, dengan cara mendidik dengan pengasuhan yang baik orang tua mengharapkan

anak dapat menjadi individu yang dapat berguna bagi keluarga dan lingkungan

sekitarnya sendiri.

Dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua

yaitu: pengalaman masa lalu, nilai-nilai yang dianut orang tua, tipe-tipe

kepribadian orang tua, faktor perkawinan orang tua, dan alasan orang tua

mempunyai anak.

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1811/3/T1_132008042_BAB II.pdf · terhadap orang lain dalam prestasi, individu puas karena dapat

19

2.3. Hasil Penelitian yang relevan tentang Pola Asuh Orang Tua dan

Motivasi Berprestasi

Hasil penelitian Aswar pada tahun 2003 yang berjudul Hubungan Pola

Asuh Orang Tua dengan Motivasi Berprestasi (Studi Kasus Siswa Kelas 2 SMA

Muhammadiyah Se-Kota Malang) menunjukkan bahwa jenis pola asuh orang tua

termasuk dalam kategori Authoritarian yaitu sebesar 68,32%, sedangkan tingkat

motivasi berprestasi termasuk dalam kategori sedang yaitu sebesar 66,30%. Dari

hasil analisis diperoleh Chi square hitung (105,811) > Chi square tabel (5,99)

yang berarti semakin positif pola asuh orang tua maka semakin baik motivasi

berprestasi pada bidang studi matematika. Dengan koefisien kontingensi C = 0.72

dan C maks. = 0.82 yang berarti derajat hubungan sangat besar. Adapun

sumbangan efektif pola asuh orang tua terhadap motivasi berprestasi sebesar

66.34%, sehingga dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan

antara pola asuh orang tua dan motivasi beprestasi pada bidang studi matematika

Motivasi berprestasi siswa erat kaitannya dengan motivasi belajar siswa

saat di sekolah yang akan menghasilkan prestasi bagi siswa dan pola asuh orang

tua sebagai hubungan dari motivasi belajar siswa maka penulis juga

mencantumkan hasil penelitian dari Arif Isnani pada tahun 2010 sebagai hasil

penelitian yang bertentangan dengan penelitian sebelumnya berjudul Hubungan

antara Pola Asuh Orang Tua dan Motivasi Berprestasi Belajar Siswa dengan

Prestasi Belajar Siswa Kelas V Semester I SD Negeri Gugus Kalimasada

Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung 2010/2011, yang menyatakan

bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1811/3/T1_132008042_BAB II.pdf · terhadap orang lain dalam prestasi, individu puas karena dapat

20

prestasi belajar sedangkan motivasi belajar ada hubungan yang signifikan dengan

prestasi belajar siswa karena diperoleh C = 0,263 dengan sig 7,359 < 9,488.

Sedangkan analisis korelasi Spearman rho menunjukkan ada hubungan signifikan

antara motivasi belajar dengan prestasi belajar siswa karena diperoleh sig: 0,00.

Berdasarkan uraian di atas bahwa pola asuh memiliki hubungan dengan

motivasi berprestasi siswa, dengan ini peneliti akan membuktikan adakah

hubungan pola asuh orang tua dengan motivasi berprestasi siswa kelas VIII SMP

Negeri 28 Semarang tahun pelajaran 2011/2012.

2.4. Hipotesis

Hipotesis dapat diartikan sebagai jawaban yang bersifat sementara

terhadap permasalahan yang diteliti sampai terbukti melalui data yang terkumpul

(Arikunto, 2002).

Hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut “Ada hubungan

yang positif dan signifikan antara Pola Asuh Orang Tua dan Motivasi Berprestasi

Siswa Kelas VIII SMP Negeri 28 Semarang Tahun Pelajaran 2011/2012”.