BAB II LANDASAN TEORI - e-journal.uajy.ac.ide-journal.uajy.ac.id/1536/3/2TS12822.pdf · peraturan...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI - e-journal.uajy.ac.ide-journal.uajy.ac.id/1536/3/2TS12822.pdf · peraturan...
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pembebanan
Dalam perencanaan suatu struktur bangunan harus memenuhi peraturan-
peraturan yang berlaku untuk mendapatkan suatu struktur bangunan yang aman
secara konstruksi. Struktur bangunan yang direncanakan harus mampu menahan
beban mati, beban hidup dan beban gempa yang bekerja pada struktur bangunan
tersebut. Menurut Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung 1989,
pengertian dari beban-beban tersebut adalah seperti yang tercantum di bawah ini.
1. Beban mati adalah berat dari semua bagian dari suatu gedung yang bersifat
tetap, termasuk segala unsur tambahan, penyelesaian-penyelesaian
(finishing), mesin-mesin, serta peralatan tetap yang merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari gedung.
2. Beban hidup adalah semua beban yang terjadi akibat penghunian atau
penggunaan suatu gedung, dan termasuk beban-beban pada lantai yang
berasal dari barang-barang yang berpindah, mesin-mesin serta peralatan
yang tidak merupakan bagian yang tak terpisahkan dari gedung dan dapat
diganti selama masa hidup dari gedung itu, sehingga mengakibatkan
perubahan dalam pembebanan atap dan lantai tersebut.
3. Beban gempa adalah semua beban statik ekivalen yang bekerja dalam
gedung atau bagian gedung yang menirukan pengaruh dari gerakan tanah
akibat gempa itu, maka yang diartikan dengan gempa disini ialah gaya-
6
gaya didalam struktur tersebut yang terjadi oleh gerakan tanah akibat
gempa
2.1.1 Analisis Pembebanan
Beban yang akan ditinjau dan dihitung dalam perancangan gedung ini
disesuaikan dalam Standar Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk
Bangunan Gedung (SNI 03-2847-2002).
1) Kuat perlu
a. Kuat perlu untuk menahan beban mati :
U = 1,4 D ................................................... (2-1)
b. Kuat perlu untuk menahan beban mati, beban hidup, dan juga beban
atap atau beban hujan :
U = 1,2 D + 1,6 L + 0,5 R .............................. (2-2)
c. Kuat perlu untuk menahan beban mati, beban hidup, dan beban angin :
U = 1,2 D + 1,0 L + 1,6 W + 0,5 R.............. (2-3)
U = 0,9 D + 1,6 W ........................................ (2-4)
d. Kuat perlu untuk menahan beban mati, beban hidup, dan beban gempa:
U = 1,2 D + 1,0 L + 1,0 E ............................ (2-5)
U = 0,9 D + 1,6 W ........................................ (2-6)
Dengan :
U =kuat perlu
D =beban mati
L =beban hidup
R =beban hujan
W =beban angin
E =beban gempa
7
2) Kuat Rencana
Kuat rencana suatu komponen struktur, sambungannya dengan komponen
struktur lain, dan penampangnya, sehubungan dengan perilaku lentur,
beban normal, geser, dan torsi, harus diambil sebagai hasil kali kuat
nominal, yang dihitung berdasarkan ketentuan dan asumsi dari SNI 03-
2847-2002, pasal 11.3 ayat 2, faktor reduksi kekuatan (ø) ditentukan
sebagai berikut :
1. Lentur, tanpa beban aksial..................................................................0,80
2. Beban aksial, dan beban aksial lentur
a. Aksial tarik dan aksial tarik dengan lentur..................................0,80
b. Aksial tekan dan aksial tekan dengan lentur :
- Komponen struktur dengan tulangan spiral................................ 0,70
- Konponen struktur lainnya......................................................... 0,65
3. Geser dan Torsi..................................................................................0,75
Kecuali pada struktur yang bergantung pada sistem rangka pemikul
momen khusus atau sistem dinding khusus untuk menahan pengaruh
gempa :
a. Faktor reduksi untuk geser pada komponen struktur penahan gempa
yang kuat geser nominalnya lebih kecil daripada gaya geser yang
timbul sehubungan dengan pengembangan kuat lentur nominalnya
................................................................................................ 0,55
8
b. Faktor reduksi untuk geser pada diafragma tidak boleh melebihi
faktor reduksi minimum untuk geser yang digunakan pada
komponen vertikal dari sistem pemikul beban lateral.
c. Geser pada hubungan balok-kolom dan pada balok perangkai yang
diberi tulangan diagonal........................................................ 0,80
4. Tumpuan pada beton kecuali untuk daerah pengangkuran pasca tarik..
.......................................................................................0,65
5. Daerah pengangkuran pasca tarik................................................ 0,85
6. Beton polos struktural................................................................... 0,55
2.1.2. Analisis Pembebanan Gempa
Struktur gedung beraturan dapat direncanakan terhadap pembebanan
gempa nominal akibat pengaruh gempa rencana dalam arah masing-masing
sumbu utama denah struktur tersebut, berupa beban gempa nominal statik
ekuivalen.
1) Apabila kategori gedung memiliki faktor keutamaan I menurut tabel 1
(SNI 03-1726-2002) dan strukturnya untuk suatu arah sumbu utama denah
struktur dan sekaligus arah pembebanan Gempa Rencana memiliki faktor
reduksi gempa R dan waktu getar alami fundamental T1, maka beban geser
dasar nominal statik ekuivalen V yang terjadi di tingkat dasar dihitung
menurut persamaan:
V =R
IC1 Wt ............................................... (2-7)
9
Dengan : V = beban geser dasar nominal
C1 = faktor respon gempa
I = faktor keutamaan gedung
R = faktor reduksi gempa
Wt = berat total bangunan
Berat total struktur Wt ditetapkan sebagai jumlah dari beban-beban
berikut ini:
a. Beban mati total dari struktur bangunan gedung;
b. Bila digunakan dinding partisi pada perencanaan lantai maka harus
diperhitungkan tambahan bebean sebesar 0,5 kPa;
c. Pada gudang-gudang dan tempat-tempat penyimpanan barang
maka sekurang-kurangnya 25% dari beban hidup rencana harus
diperhitungkan;
d. Beban tetap total dari seluruh peralatan dalam struktur bangunan
gedung harus diperhitungkan.
2) Beban geser dasar nominal V harus dibagikan sepanjang tinggi struktur
gedung menjadi beban-beban gempa nominal statik ekuivalen Fi dengan
persamaan:
Fi =
n
i
ii
ii
zW
zW
1
V ....................................................... (2-8)
Dengan: Fi = beban gempa nominal statik ekuivalen
Wi = berat lantai tingkat ke i
zi = tinggi lantai tingkat ke i diukur dari taraf penjepitan lateral
menurut Pasal 5.1.2 dan Pasal 5.1.3 (SNI 03-1726-2003)
V = beban geser dasar nominal
n = nomor lantai tingkat paling atas
10
3) Waktu getar alami fundamental T1 diperoleh dari output ETABS dengan
syarat:
nT 1 .............................................. (2-9)
Dimana:
T1 = Waktu getar alami fundamental.
ζ = Koefisien yang membatasi waktu getar alami
fundamental struktur gedung.
n = Jumlah tingkatnya.
2.2. Perencanaan Rangka Atap Baja
Analisis struktur kuda-kuda baja berdasarkan SNI 03-1729-2002, dimana
meliputi perencanaan gording, penentuan kombinasi beban, perhitungan profil
kuda-kuda baja, dan perhitungan sambungan.
2.2.1 Perencanaan gording
Pada perencanaan gording beban-beban yang mempengaruhi adalah
sebagai berikut ini.
1. Beban mati, yang terdiri dari : berat penutup atap, berat sendiri gording,
dan penggantung serta berat sagrod.
2. Beban hidup, yang dapat terdiri dari beban terpusat dan beban air hujan.
3. Beban angin, yang terdiri dari beban angin tekan dan beban angin hisap.
Setelah pembebanan direncanakan kemudian menganalisis gording
dengan melihat beban arah gravitasi yang diuraikan ke arah sumbu z dan sumbu y
11
Gambar 2.l Beban arah gravitasi diuraikan ke arah sumbu z dan sumbu y
Dengan kombinasi pembebanan pada gording adalah
1) 1,2 D + 1,3 W + γL L + 0,5 (La atau H)
2) 1,2 D + 1,6 (La atau H) + (γL L atau 0,8 W)
Setelah kombinasi didapatkan, digunakan kombinasi dengan hasil yang
terbesar untuk menghitung nilai Mz (momen yang timbul akibat beban pada arah
sumbu y) dan My (momen yang timbul akibat beban pada arah sumbu z).
Untuk perencanaan gording, dilakukan pemeriksaan penampang profil
kanal berdasarkan kelangsingan elemen-elemen
1. Menurut SNI 03-1729-2002 pasal 8.2 ayat 3, penampang kompak adalah
untuk penampang-penampang yang memenuhi λ ≤ λp. dengan kuat lentur
nominal penampang adalah,
Mn = M p ......................................................... (2-10)
2. Menurut SNI 03-1729-2002 pasal 8.2 ayat 4, penampang tak-kompak
adalah untuk penampang-penampang yang memenuhi λp < λ ≤ λr, dengan
kuat lentur nominal penampang ditentukan sebagai berikut: λ
α
Q cosα Q sin α
Q
Y
Z
12
Mn = Mp – ( Mp – Mr) pr
p
- ......................... (2-11)
3. Menurut SNI 03-1729-2002 pasal 8.2 ayat 5, penampang langsing adalah
untuk penampang yang memenuhi λr < λ.
Mn = Mr (λr / λ)2 .................................................. (2-12)
Dimana,
Mr = s (fy –fr) .............................................. (2-13)
t
b ................................................. (2-14)
fyp
170 .............................................. (2-15)
frfyr
370 ............................................ (2-16)
dengan:
λ = perbandingan lebar terhadap tebal
b = lebar flens
t = tebal flens
λp = perbandingan maksimum lebar terhadap tebal penampang kompak
λr = perbandingan maksimum lebar terhadap tebal penampang tak-kompak
fy = tegangan leleh material
fr = tegangan sisa
Mn = momen nominal.
Mp = momen lentur yang menyebabkan seluruh penampang mengalami tegangan
leleh.
Mr = momen batas tekuk.
λp = perbandingan maksimum lebar terhadap tebal penampang kompak.
λr = perbandingan maksimum lebar terhadap tebal penampang tak-kompak.
s = modulus penampang elastis.
fy = tegangan leleh material.
fr = tegangan sisa.
13
Dalam perencanaan perlu dihitung momen nominal (Mn) terhadap sumbu
kuat (sumbu z) dan juga momen nominal terhadap sumbu lemah (sumbu y).
Berdasarkan SNI 03-1729-2002, pasal 8.2.1(b), dikatakan bahwa kuat lentur
plastis Mp momen lentur yang menyebabkan seluruh penampang mengalami
tegangan leleh harus diambil yang lebih kecil dari antara:
Mp = fy . Z ................................................. (2-17)
atau,
Mp =1,5. My = 1,5 . fy . S ………………...(2-18)
dengan :
Mp = kuat lentur plastis
fy = tegangan leleh material
Z = modulus penampang plastis
My = momen leleh
S = modulus penampang elastis
Dalam perencanaan juga harus dilakukan kontrol terhadap penampang dan
lendutan.
Kontrol penampang:
1ny
uy
nx
ux
M
M
M
M
........................................ (2-19)
dengan:
Mux, Muy = momen lentur terfaktor terhadap sumbu-x dan sumbu-y
Mnx, Mny = kuat nominal lentur penampang terhadap sumbu-x dan sumbu-y
= faktor reduksi kekuatan
Kontrol lendutan:
22
zy ......................................... (2-20)
240
L ............................................. (2-21)
14
dengan:
δ = lendutan
L = panjang batang
2.2.2 Desain Batang Kuda-Kuda
Kuda-kuda direncanakan dengan menggunakan dobel profil siku.
Dilakukan perencanaan terhadap batang akibat gaya tekan dan tarik.
a. Batang Tekan.
Berdasarkan SNI 03-1729-2002 pasal 9.1, suatu komponen struktur tekan,
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) nnu NN . ........................................... (2-22)
dengan:
Nu = gaya tekan konsentris akibat beban terfaktor
Nn = kuat tekan nominal komponen struktur
= faktor reduksi kekuatan ( =0,85)
2) Kelangsingan komponen struktur tekan, 200r
Lk …………………(2-23)
dengan:
λ = faktor kelangsingan
Lk = jarak antara pengekang lateral
r = jari-jari girasi daerah pelat sayap ditambah sepertiga bagian pelat badan
yang mengalami tekan
b. Batang Tarik
Berdasarkan SNI 03-1729-2002 pasal 10.1, suatu komponen struktur tarik,
harus memenuhi:
nu NN . ............................................. (2-24)
dengan:
15
Nu = gaya tarik aksial terfaktor
Nn = kuat tarik rencana
Besarnya kuat tarik rencana .Nn diambil sebagai nilai terendah di antara
dua perhitungan menggunakan harga-harga dan Nn di bawah ini:
= 0,9
ygn fAN . ............................................ (2-25)
dan
= 0,75
uen fAN . ........................................... (2-26)
dengan:
Ag = luas penampang bruto
Ae = luas penampang efektif
fy = tegangan leleh
fu = tegangan tarik putus
2.2.3 Sambungan Las
Besarnya gaya rencana untuk sambungan las ditentukan sebagai berikut:
Nu,1 = h
chN eu )( ....................................... (2-27)
Nu,2 = h
cN eu )( .............................................. (2-28)
dari Nu,1 dan Nu,2 dipilih yang terbesar.
dengan:
Nu = gaya elemen rencana, N
h = tinggi profil siku, mm
ce = jarak garis netral, mm (ada pada tabel profil)
Nu,1 = gaya rencana 1, N
Nu,2 = gaya rencana 2, N
16
Sambungan las menurut SNI 03-1729-2002 pasal 13.5 ayat 3 butir 10, las
sudut yang memikul gaya terfaktor persatuan panjang las, Ru harus memenuhi:
Øf.Rnw ≥ Ru ........................................... (2-29)
dengan :
Øf = faktor reduksi kekuatan saat fraktur sebesar (0,75)
Rnw = kuat nominal sambungan las
Ru = kuat perlu
Kuat rencana las sudut dapat diambil sesuai persamaan (2-27) dan (2-28).
Kekuatan sambungan las (Ru) diambil yang terkecil dari persamaan dibawah ini:
Øf.Rnw = 0,75 tt . 0,6 fuw (untuk las) .................................. (2-30)
Øf.Rnw = 0,75 tt . 0,6 fu (untuk bahan dasar) .................. (2-31)
dengan :
Øf = faktor reduksi kekuatan saat fraktur sebesar (0,75)
tt = tebal rencana las, mm fuw = tegangan ultimit las, MPa
fu = tegangan ultimit bahan dasar, MPa
Peraturan SNI 03-1729-2002 pasal 13.5 ayat 3 butir 2 menetapkan ukuran
minimum las fillet sesuai tabel 2.1.
Tabel 2.1. Ukuran minimum las fillet
Tebal bagian paling tebal (mm) Tebal minimum las fillet (mm)
t ≤ 7
7 < t ≤ 10
10 < t ≤ 15
15 < t
3
4
5
6
17
Panjang efektif las Le ditentukan dengan:
Le =u
u
R
N
2
1, ................................................... (2-32)
2.3 Perencanaan Tangga
Dalam merencanakan tangga, tangga dimodelkan sebagai balok tipis
dengan lebar 1000 mm.
2.3.1 Perencanaan lentur
Perencanaan tulangan lentur dihitung dengan menggunakan balok
bertulangan tunggal, dimana keseimbangan gaya-gaya dalam penampang adalah
seperti berikut ini.
Cc = T ……………………………………….(2-33)
0,85.f’c.a.b = ρ.b.d.fy ………………………..(2-34)
a= '.85,0
..
c
y
f
fd………………………..............…..(2-35)
Dari keseimbangan momen diperoleh :
Mn = Cc.(d-0,5.a) …………………………...(2-36)
= Ts.(d-0,5.a) …………………………...(2-37)
un
MM …………………………………….(2-38)
22 ..8,0. db
M
db
MRn
un …………………...….(2-39)
Penentuan rasio tulangan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut ini.
c
n
y
cperlu
f
R
f
f
'.85,0
.211.
'.85,0 ………..(2-40)
18
Dengan diketahui nilai ρ maka bisa dicari kebutuhan tulangan lentur yang
diperlukan berdasar nilai momen yang terjadi. Batasan tulangan tarik minimum
sesuai SNI 03-2847-2002 pasal 12.5(4) diambil nilai sebesar tulangan susut.
Sedangkan nilai ρ maksimum untuk tulangan tarik tunggal sesuai SNI 03-2847-
2002 pasal 12.3(3) ditentukan dengan persamaan berikut ini.
fyfy
cfmaks
600
600..
'.85,0.75,0 1 ………(2-41)
Perhitungan luas tulangan dengan menggunakan persamaan seperti berikut.
As perlu = ρ perlu . b. d ………………………..(2-42)
As max = ρ max . b. d ………………………….(2-43)
As min = ρg . b. h ……………………………..(2-44)
Cek luas kebutuhan tulangan:
Asmin ≤ Asperlu ≤ Asmax ………….…………….(2-45)
dengan :
Cc = gaya desak beton
Ts = gaya tarik baja
f’c = kuat tekan beton
fy = tegangan leleh baja
c = letak garis netral terhadap tepi desak
a = jarak blok desak beton
b = lebar penampang balok
h = tinggi penampang balok
d = tinggi efektif balok
ρ = rasio penulangan
Mu = momen ultimate balok
Mn = momen nominal balok
2.3.2 Perencanaan Susut
Tulangan susut dipasang tegak lurus terhadap tulangan lentur, berdasarkan
SNI 03-2847-2002 pasal 9.12(2) tulangan susut dan suhu harus paling sedikit
19
memiliki rasio luas tulangan terhadaap luas bruto penampang sebesar seperti yang
tercantum di bawah ini.
1. ρg > 0,0014
2. untuk fy = 300 MPa, ρg = 0,0020
3. untuk fy = 400 MPa, ρg = 0,0018
4. untuk fy > 400 MPa yang diukur pada regangan leleh sebesar 0,35 %,
ρg = 0,0018 x 400/fy
Untuk nilai fy = 240 MPa, ρg didapat dari interpolasi 0,0020 dan 0,0018,
yaitu seperti yang tercantum di bawah ini.
00212,0240400.
300400
0018,00020,00018,0
g
2.4 Perencanaan Balok
2.4.1 Estimasi Balok
Ukuran balok dapat diestimasi terlebih dahulu dengan ketentuan tinggi
minimum berdasarkan Tabel 8, SNI 03-2847-2002,
Tabel 2.2 Tinggi minimum balok
Komponen
Struktur
Dua tumpuan
sederhana
Satu ujung
menerus
Dua ujung
menerus
kantilever
Balok ℓ/20 ℓ/24 ℓ/28 ℓ/10
Untuk mutu baja fy selain 400 Mpa, nilai diatas masih dikalikan dengan
0,4 – fy/700, Lebar balok dapat digunakan antara ½ tinggi balok sampai dengan
2/3 tinggi balok.
20
2.4.2 Perencanaan Tulangan Lentur Balok
Gambar 2.2 Distibusi tegangan regangan balok.
Gaya desak beton :
Cc = 0,85 . f’c. a. b ...................................... (2-46)
Gaya desak baja tulangan :
Cs = As’. '
sf ................................................. (2-47)
Gaya tarik baja tulangan :
Ts = As . yf ................................................. (2-48)
Keseimbangan gaya-gaya horizontal penampang memenuhi :
C = T ............................................................ (2-49)
Cc + Cs = Ts .................................................... (2-50)
ysssc fAfAabf ''..'...85,0 ..................................... (2-51)
Menghasilkan persamaan
a = bfc
fyAsfyAs
'..85,0
''.. ............................................. (2-52)
Diagram
Regangan Tegangan
Tekan Aktual
Tegangan
Tekan
Ekivalen
21
letak garis netral
c = a /β1 ..................................................... (2-53)
dari persamaan 2-33 jika diasumsikan tulangan baja desak leleh harus memenuhi:
εs’ = 0,003 c
dc '= 0,003
a
da '.1 ≥ s
y
E
f ................... (2-54)
a ≥ ys
s
fE
E
.003,0
.003,0 β1 . d ........................................ (2-55)
untuk menunjukkan tulangan desak belum leleh jika :
ρ – ρ’ ≤ df
df
y
c
.
'...85,0 1
'
ys
s
fE
E
.003,0
.003,0 ........................... (2-56)
jika tulangan desak belum leleh, maka:
'sf = εs’. Es = 0,003 a
da '.1 .Es ............................... (2-57)
bd
As' ........................................................ (2-58)
As
As ' ........................................................ (2-59)
Dari keseimbangan momen diperoleh :
Mn =0,85 . f’c.(a. b – As’). (d – 2
a)+ As’.fs’ (d – d’) ........... (2-60)
= Cc (d – 2
a)+ Cs (d – d’) ............................................. (2-61)
d
df
d
a
y
ffR s
syn
'1.5,011 '
'
. ................ (2-62)
22
Dengan tahanan momen Rn didefinisikan sebagai :
.............................................................(2-63)
.............................................................(2-64)
Pada SNI 03-2847-2002 pasal 12.3 ayat 3 di tetapkan untuk komponen
struktur lentur rasio tulangan tidak boleh melebihi 75% tulangan baja pada
kondisi seimbang.
b 75,0 ...............................................(2-65)
Dengan nilai rasio tulangan ( :
cf
Rn
fy
cf
'.85,0
.211.
'.85,0 ..............................(2-66)
fyfy
cfmaks
600
600..
'.85,0.75,0 1 ..........................(2-67)
Luas tulangan yang digunakan:
dbAs .. ..............................................(2-68)
Batasan tulangan minimum sesuai dengan SNI 03-2847-2002 pasal 12.5
ayat 1, luas tulangan As tidak boleh kurang dari :
dbf
fA w
y
c
s ...4
'
min, .........................................(2-69)
dan tidak lebih kecil dari:
dbf
A w
y
s ..4,1
min, .........................................(2-70)
2.db
MR n
n
u
n
MM
23
2.4.3 Perencanaan Tulangan Geser
Menurut SNI 03-2847-2002 pasal 13.1(1), perencanaan penampang
terhadap geser harus memenuhi persamaan sebagai berikut.
Ø Vn ≥ Vu …………………………..……………......(2-71)
Besarnya kuat geser nominal (Vn), yang dihitung dari :
Vn = Vc + Vs ……………..…………………………...(2-72)
Dengan Vc adalah kuat geser yang disumbangkan oleh beton dan Vs adalah kuat
geser nominal yang disumbangkan oleh tulangan geser.
SNI 03-2847-2002 pasal 13.3(1(1)) menetapkan kuat geser beton
untuk komponen struktur yang hanya dibebani oleh geser dan lentur sebagai
berikut ini.
dbfV wcc ..'.
6
1 …………………………………....(2-73)
Tetapi harus diperhatikan bahwa menurut SNI 03-2847-2002 pasal 13.5(6(9)) kuat
geser Vs tidak boleh lebih dari Vs maksimum, dengan persamaan sebagai berikut.
Vs maks = dbf wc ..'.3
2……............................................(2-74)
Batasan spasi maksimum tulangan geser ditentukan dengan SNI 03-2847-2002
pasal 13.5(4(1)) dan 13.5(4(3)).
Vs ≤ dbf wc ..'.3
1 .......................................................... (2-75)
Maka spasi tulangan geser yang dipasang tidak boleh melebihi d/2 atau
600 mm, Apabila kebutuhan tulangan geser lebih besar dari persamaan 3-55,
maka spasi maksimum yang diberikan pada SNI 03-2847-2002 pasal 13.5(4(1))
24
dan 13.5(4(2)) harus dikurangi setengahnya. Spasi tulangan geser yang tegak lurus
terhadap sumbu aksial komponen struktur dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan seperti yang tercantum pada SNI 03–2847–2002, pasal 13.5(6(2)).
s
yv
V
dfAS
.. ………………………………………... (2-76)
SNI 03-2847-2002 pasal 23.10(3) menyatakan gaya geser rencana balok
untuk Sistem Rangka Pemikul Momen Menengah adalah seperti berikut ini.
Vu = 2
nu
n
nrnl WMM
………………………….…...(2-77)
Wu = 1,2 . DL + 1,0 . LL …………………………….....(2-78)
Batas spasi tulangan geser sesuai SNI 03-2847-2002 pasal 23.10(4(2))
pada kedua ujung komponen struktur lentur harus dipasang sengkang sepanjang
dua kali tinggi komponen struktur diukur dari muka perletakan kearah tengah
bentang. Sengkang pertama harus dipasang pada jarak tidak lebih daripada 50 mm
dari muka perletakan. Spasi maksimum sengkang tidak boleh melebihi :
a. d/4
b. Delapan kali diameter tulangan longitudinal tulangan terkecil
c. 24 kali diameter sengkang
d. 300 mm
Dan sengkang harus dipasang di sepanjang bentang balok dengan spasi
tidak melebihi d/2.
2.4.4 Perencanaan Tulangan Torsi
Menurut SNI 03-2847-2002 pasal 13.6 ayat 1a pengaruh puntir dapat
diabaikan bila:
25
cp
cp
uP
AfcT
2
12
'.....................................(2-79)
Dimana: Tu = Momen puntir terfaktor pada penampang.
Ф = Faktor reduksi kekuatan.
Pcp = Keliling luas penampang beton.
Acp = Luas yang dibatasai oleh keliling luar penampang beton.
Menurut SNI 03-2847-2002 pasal 13.6.(2(2a)) pada struktur statis tak
tentu, momen puntir terfaktor maksimum Tu dapat dikurangi menjadi :
Tu = Φ a
da '.1
cp
cp
P
A ............................................... (2-80)
Dari 03-2847-2002 pasal 13.6.(3(1a)), dimensi penampang harus memenuhi :
2
2
2
.7,1
.
.
oh
hu
w
u
A
pT
db
V≤ Ф
3
2
.
'
c
w
cf
db
V ................ (2-81)
Merencanakan tulangan gabungan torsi dan geser
s
totalAv =
s
A
s
A vt2 .............................................. (2-82)
Menurut SNI 03-2847-2002 pasal 13.6 ayat 5.2 luas minimum tulangan
sengkang harus dihitung dengan ketentuan:
Av + 2At = yv
w
f
sb ..
3
1 ................................................... (2-83)
Av + 2At = yv
wc
f
sbf ..
1200
.75 '
.......................................... (2-84)
Dari kedua nilai tersebut dipilih yang terbesar.
26
Keterangan :
s = spasi tulangan geser
d = jarak dari serat tekan ke pusat tulangan tarik
Av = luas tulangan geser
At = luas tulangan torsi
bw = lebar balok
Acp = luas dimensi balok yang diamati
Pcp = keliling dimensi balok yang diamati
Aoh = luas tampang balok untuk penulangan
Ph = keliling tampang balok untuk penulangan
Vc = kuat geser nominal yang disumbangkan oleh beton
fyv = tegangan luluh baja untuk sengkang
f’c = kuat tekan beton
2.5 Perencanaan Kolom
Kolom adalah komponen struktur bangunan yang tugas utamanya
menyangga beban aksial tekan vertikal dengan bagian tinggi yang tidak ditopang
paling tidak tiga kali dimensi lateral terkecil. Dalam SNI 03-2847-2002 analisis
kuat tekan rencana struktur tekan non-prategang tidak boleh diambil lebih besar
dari :
a. Untuk kolom dengan tulangan sengkang pengikat :
yststgcn fAAAfP )(85,080,0 ' ........................... (2-85)
b. Untuk kolom dengan tulangan spiral:
yststgcn fAAAfP )(85,085,0 ' ........................... (2-86)
Menurut SNI 03-2847-2002 kuat tekan rencana tersebut harus dikalikan
dengan suatu faktor reduksi kekuatan Ø yang diatur sebagai berikut:
Ø = 0,65 (untuk kolom dengan tulangan pengikat)
nu PP 65,0 ........................................... (2-87)
Ø = 0,70 (untuk kolom dengan tulangan spiral)
27
nu PP 7,0 ............................................ (2-88)
dengan :
Pn = kuat tekan rencana
Pu = kuat tekan ultimit
Ag = luas tampang brutto
Ast = luas total tulangan lentur
Ø = faktor reduksi kekuatan
2.5.1 Kelangsingan kolom
Kolom langsing didefinisikan sebagai kolom yang mengalami pengurangan
kapasitas tekan aksial yang cukup besar akibat pengaruh PΔ. Kolom pendek
adalah kolom yang keruntuhannya disebabkan karena kelelehan tulangan pada
zona tarik dan tekan aksial.
1) Cek batasan angka kelangsingan untuk kolom langsing dengan ketentuan
berikut :
a. Untuk kolom tidak bergoyang atau kolom dengan tumpuan sendi (kolom
menggunakan bresing):
..................................................... (2-89)
b. Untuk kolom bergoyang (kolom tidak diberi bresing)
22.
r
lk u ................................................................(2-90)
dengan :
k = faktor panjang efektif komponen struktur tekan,
r = radius girasi suatu penampang komponen struktur tekan, boleh
diambil 0,3 kali dimensi total dalam arah stabilitas yang ditinjau,
untuk komponen struktur persegi, sama dengan 0,25 kali diameter
untuk komponen struktur tekan bulat. Untuk bentuk penampang lain r
boleh dihitung dari penampang bruto.
ℓu = panjang bersih komponen struktur tekan, diambil sama dengan jarak
bersih antara plat lantai dan balok
2
11234.
M
M
r
k u
28
M1, M2 = momen-momen ujung terfaktor pada kolom yang posisinya
berlawanan
Bila syarat diatas terpenuhi maka kolom dapat dikategorikan sebagai kolom
pendek. Jika tidak terpenuhi kolom dikategorikan sebagai kolom
langsing/panjang.
2.5.2 Tulangan Longitudinal
Dalam perencanaan kolom pada struktur ini digunakan dengan desain
kapasitas yang momen rencana kolom dicari menggunakan rumus;
.................................(2-91)
Dimana:
Selain itu kolom yang direncanakan merupakan kolom biaksial. Untuk
penyederhanaan perhitungan momen-momen yang bekerja dengan dua arah
dijumlahkan dengan penjumlahan vektor, sehingga analisisnya dapat menjadi
lebih sederhana yaitu secara uniaksial.
Langkah-langkah perencanaan kolom adalah sebagai berikut :
1. Menghitung gaya aksial dan momen dua arah yang diperoleh dari hasil
analisis struktur.
PuPn (2-92)
MgMe .5
6
join dibertemu yang kolom dua Jumlah MnMe
lantaipelat efektifselebar di
pelat \tulangan sumbangan (termasuk join dibertemu yangbalok duaMn Jumlah Mg
29
MuxMnx (2-93)
MuyMny (2-94)
2. Menghitung perkiraan kuat momen uniaksial yang bekerja pada struktur yaitu
seperti berikut ini:
a. Untuk h
b
M
M
nx
ny digunakan rumus:
nynxnoy M
h
bMM
1..: (2-95)
b. Untuk h
b
M
M
nx
ny digunakan rumus:
nxnynox M
h
bMM
1..: (2-96)
3. Berdasarkan nilai M dan P yang telah diperoleh dari perhitungan di atas,
kolom dirancang secara uniaksial dengan menggunakan persamaan berikut ini:
2..' hbf
MM
c
noxod
(2-97)
hbf
PN
c
nod
..' (2-98)
4. Berdasarkan nilai Mod dan Nod yang telah dihitung, dengan menggunakan
diagram interaksi yang ada dapat diperoleh rasio tulangan ρs .
5. Menghitung kuat beban uniaksial maksimum tanpa adanya momen yang
bekerja (lentur murni, ρu = 0) dengan rumus :
Po =
yststgc fAAAf ..'..85,0 ............(2-99)
30
6. Menentukan kekuatan penampang dengan menggunakan “Bresler Resiprocal
Load Methode”, yaitu dengan menjumlahkan kapasitas suatu penampang
kolom yang berada dibawah aksial tekan dan lentur dua arah, yaitu:
(2-100)
dengan :
Pox = kuat beban kolom uniaksial maksimum dengan Mnx = Pn . ey,
Po = kuat beban kolom uniaksial maksimum tanpa adanya momen yang bekerja
(lentur murni, Pu = 0)
Poy = kuat beban kolom uniaksial maksimum dengan Mny = Pn . ex.
2.5.3 Tulangan Transversal
Menurut SNI 03–2847–2002 pasal 13.1(1), perencanaan penampang
terhadap geser harus memenuhi persamaan seperti berikut ini.
Ø Vn ≥ Vu (2-101)
dimana :
Vn adalah kuat geser nominal yang dihitung dari persamaan berikut ini:
Vn = Vc + Vs (2-102)
Dengan:
Vc = kuat geser yang disumbangkan oleh beton.
Sesuai SNI 03-2847-2002 pasal 13.3.(2), kuat geser yang disumbang oleh
beton untuk komponen struktur yang dibebani tekan aksial ditentukan dengan
persamaan sebagai berikut.
Vc = dbf
A
Nw
c
g
u ..6
'
.141
(2-103)
31
dan
sV =s
dfA yv .. (2-104)
Dimana:
Av = luas tulangan geser
Vs = kuat geser nominal yang disumbangkan oleh tulangan geser
Ag = luas bruto penampang kolom
Nu = beban aksial terfaktor yang terjadi bersamaan wu
bw = lebar balok
fy = tegangan leleh yang disyaratkan dari tulangan non pratekan
f’c = kuat tekan beton yang disyaratkan
hx = spasi horisontal maksimum untuk kaki-kaki sengkang
Batasan spasi tulangan transversal yang dipasang sepanjang ℓ0 dari setiap
muka hubungan balok kolom dalam SNI 03-2847-2002 pasal 23.4(4(2)) diatur
tidak lebih daripada:
1. ¼ dimensi terkecil kolom,
2. 6. diameter tulangan longitudinal,
3. Sx = 100 + 3
350 hx.
Dengan nilai Sx tidak perlu lebih besar daripada 150 mm dan tidak perlu
lebih kecil daripada 100 mm, dan hx adalah spasi horisontal maksimum untuk
kaki-kaki sengkang.
Tulangan transversal tersebut menurut SNI 03-2847-2002 pasal 23.4(4(4)),
harus dipasang sepanjang ℓ0 dari setiap muka hubungan balok kolom, dengan
panjang ℓ0 ditentukan tidak kurang daripada :
1. tinggi penampang kolom pada muka hubungan balok-kolom,
2. 1/6 bentang bersih komponen struktur,
3. 500 mm.
32
Sesuai SNI 03-2847-2002 pasal 23.4(4(6)), pada daerah di luar ℓ0 harus
dipasang tulangan spiral atau sengkang tertutup dengan spasi sumbu ke sumbu
tidak lebih daripada nilai terkecil dari:
1. 6 kali diameter tulangan longitudinal,
2. 500 mm.
2.5.4 Hubungan Balok Kolom
Kuat geser nominal hubungan balok kolom tidak boleh diambil lebih besar
dari persamaan – persamaan berikut ini.
1. Untuk hubungan balok kolom yang terkekang pada keempat sisinya adalah:
1,7. jc Af .'
(2-105)
2. Untuk hubungan balok kolom yang terkekang pada ketiga sisinya atau dua sisi
yang berlawanan adalah:
1,25. jc Af .'
(2-106)
3. Untuk hubungan balok kolom lainnya adalah:
1,0. jc Af .' (2-107)
Dimana:
Aj adalah luas efektif hubungan balok kolom.
2.6 Pelat Lantai
Pelat-pelat beton berperilaku sebagai bagian-bagian konstruksi lentur dan
perencanaannya adalah serupa dengan balok, meskipun secara umum agak lebih
33
sederhana. Perhitungan pelat menggunakan satuan lebar b = 1 m, untuk
menentukan beban terfaktor digunakan:
LLDL QQWu 6,12,1 (2-108)
2.6.1 Penulangan Pelat Satu Arah
Apabila perbandingan antara panjang dan lebar pelat lebih dari dua maka
dapat dikatagorikan sebagai pelat satu arah. Tabel 2.3 memperlihatkan kutipan
dari SNI 03-2847-2002 pasal 11.5 ayat 1 mengenai tebal minimum pelat satu arah.
Tabel 2.3 Tebal minimun pelat satu arah
Komponen
Struktur
Tebal minimum pelat
Dua tumpuan
sederhana
Satu ujung
menerus
Dua ujung
menerus
kantilever
Pelat masif
satu arah
ℓ/20 ℓ/24 ℓ/28 ℓ/10
Catatan:
1. bentang l dalam mm,
2. nilai yang digunakan untuk komponen struktur beton normal Wc = 2400
kg/m3 dan tulangan dengan mutu baja BJTD 40 atau fy = 400 MPa,
3. apabila fy ≠ 400 MPa, maka harus dikalikan dengan
7004,0
fy.
2.6.2 Penulangan Pelat Dua Arah
Apabila perbandingan antara panjang dan lebar pelat kurang atau sama
dengan dua maka dikatagorikan sebagai pelat dua arah. Berdasarkan SNI 03-
2847-2002 pasal 11.5 ayat 3.3, tebal pelat dua arah minimum dengan balok yang
menghubungkan tumpuan pada semua sisinya harus memenuhi ketentuan yang
tercantum di bawah ini.
1) Untuk nilai rata-rata α,αm ≤ 0,2 harus memenuhi:
34
a. Pelat tanpa penebalan..................................................... 120mm
b. Pelat dengan penebalan.................................................. 100mm
2) Untuk nilai-nilai α = 0,2 < αm < 2, ketebalan pelat minimum harus
memenuhi:
)2,0(536
)1500
8,0.(
m
y
n
fl
h
....................................(2-109)
dan tidak boleh kurang dari 120 mm
3) Untuk nilai rata-rata α,αm ≥ 2,0, tebal minimum pelat tidak boleh
kurang dari:
936
)1500
8,0.(
y
n
fl
h ....................................(2-110)
Dan tidak boleh kurang dari 90 mm
Dimana:
α = Rasio kekuatan lentur penampang balok terhadap kekuatan
lentur pelat.
αm = Nilai rata-rata nilai α untuk semua balok pada tepi-tepi dari
suatu panel.
β = Rasio bentang bersih dalam arah menanjang terhadap arah
memendek.
ℓn = Panjang bentang bersih (mm)
2.6.3 Perencanaan Pelat Lantai
Pemilihan tipe pelat diperoleh dari perbandingan bentang panjang (ly)
dengan bentang pendek (lx) dengan syarat sebagai berikut ini:
1. Pelat dua arah.
2x
y
l
l (2-111)
35
2. Pelat satu arah.
x
y
l
l> 2 (2-112)
Menghitung tinggi efektif pelat yang searah sumbu x (dx) dan searah
sumbu y (dy) dengan menggunakan persamaan berikut ini:
dx = h – (p +0,5.Øx) (2-113)
dy = h – (p + Øx + 0,5. Øy) (2-114)
2.db
MR n
n = 2..8,0 db
M u (2-115)
Momen lapangan dan tumpuan arah x maupun y dicari dari menggunakan tabel
pada buku Gideon halaman 26.
Rasio penulangan ditentukan dengan persamaan berikut ini:
c
n
y
c
perluf
R
f
f
'.85,0
.211.
'.85,0 (2-116)
Rasio tulangan maksimum dihitung dengan:
yy
c
maksff
f
600
600..
'.85,0.75,0 1 (2-117)
Perhitungan luas tulangan dengan menggunakan persamaan berikut ini.
As perlu = ρ perlu . b. d (2-118)
As max = ρ max . b. d (2-119)
As min = ρg . b. h (2-120)
Cek luas kebutuhan tulangan:
Asmin ≤ Asperlu ≤ Asmax (2-121)
36
ρmin sesuai SNI 03-2847-2002 pasal 9.12(2(1)), diambil sebesar tulangan susut
yang besarnya sebagai berikut:
1. ρg harus lebih besar dari 0,0014
2. Untuk fy = 300 MPa, ρg = 0,0020
3. Untuk fy = 400 MPa, ρg = 0,0018
4. Untuk fy > 400 MPa, ρg = 0,0018 x 400/fy
dengan:
h = tebal pelat
d = tinggi efektif balok
p = selimut beton
Øx = diameter tulangan arah x
Øy = diameter tulangan arah y
Mn = momen nominal
Mu = momen ultimit
b = lebar pelat = 1000 mm
β1 = 0,85 untuk f’c ≤ 30 MPa
fy = tegangan leleh baja
f’c = kuat tekan beton yang disyaratkan
ρ = rasio penulangan
2.7 Perencanaan Fondasi
Daya dukung pondasi bore pile mengikuti rumus umum yang diperoleh
dari penjumlahan tahanan ujung dan tahanan selimut tiang.
Qu = Qp + Qs ........................................ (2-122)
Qs = ƒ. L. P .......................................... (2-123)
Daya dukung tiang dinyatakan sebagai berikut:
Qp = qp . A ............................................ (2-124)
Dengan :
Qu = Daya dukung ultimit tiang
Qs = Daya dukung ultimit selimut tiang
Qp = Daya dukung ultimit ujung tiang
qp = Tahanan ujung persatuan luas
37
A = Luas penampang tiang bor
P = Keliling panjang tiang
L = Panjang tiang
ƒ = Gesekan selimut tiang persatuan luas
Bore pile disatukan dalam kelompok dengan menggunakan poer yang
dianggap kaku sehingga bila beban yang bekerja pada kelompok tiang
menimbulkan penurunan maka setelah penurunan bidang, poer tetap merupakan
bidang datar dan gaya-gaya yang bekerja pada tiang berbanding lurus dengan
penurunan tiang-tiang tersebut.
Untuk menentukan jumlah tiang dalam kelompok tiang digunakan rumus:
Jumlah tiang = tiangP
V
1
.............................. (2-125)
Untuk kelompok tiang, jarak antar tiang dapat digunakan rumus dan ketentuan
sebagai berikut:
S ≥ 2,5 D ............................................ (2-126)
S ≤ 3,0 D ............................................ (2-127)
Dimana :
S = Jarak antar tiang
D = Diameter tiang
Perencanaan poer
1) Kontrol terhadap geser satu arah
nu VV .......................................... (2-128)
cn VV ......................................... (2-129)
38
dbfV cc ..'6
10 ..................................... (2-130)
LqQV uu ... ......................................... (2-131)
A
PQ u
u ............................................ (2-132)
dkolomhpoerlebarq 2
1
2
1 .................... (2-133)
dengan:
Vu = gaya geser total terfaktor.
Vn = kuat geser nominal.
Vc = kuat geser yang disumbangkan oleh beton.
Pu = daya dukung tiang.
bo = penampang kritis.
A = luas poer.
L = lebar poer.
d = tinggi efektif.
2). Kontrol terhadap geser pons
cn VV …………………………….(2-134)
nVVu ........................................... .(2-135)
Nilai-nilai Vc harus diambil yang terkecil dari persamaan-persamaan
berikut :
dbfV cc ..'3
10 ........................................ (2-136)
6
..'21
0 dbfV
c
c
c
.................................. (2-137)
12
..'2
. 0 dbf
b
daV
c
o
s
c
................................ (2-138)
)( 2
. BAQV uu ....................................... (2-139)
39
B = d + lebar kolom ................................... (2-140)
Dimana: βc = Rasio dari sisi panjang terhadap sisi pendek kolom
3) Kontrol pemindahan beban kolom pada pondasi.
kP > Gaya Aksial Rencana ............................. (2-141)
yststgck fAAAfP )(85,0.7,0 ' .............. (2-142)
Dimana:
Akolom =Luas Penampang kolom
4) Kontrol Beban tiang
Kontrol beban yang diterima satu tiang dalam kelompok tiang adalah
sebagai berikut :
22
..
y
yM
x
xM
n
VP xy
............................ (2-143)
Dengan :
P = Beban maksimum yang diterima tiang
V = Jumlah total beban normal
n = Jumlah tiang dalam satu poer
Mx = Momen yang bekerja pada tiang tegak lurus sumbu x yang
bekerja pada pondasi, diperhitungkan terhadap pusat berat
seluruh tiang yang terdapat dalam poer.
My = Momen yang bekerja pada tiang tegak lurus sumbu y yang
bekerja pada pondasi, diperhitungkan terhadap pusat berat
seluruh tiang yang terdapat dalam poer
x = Absis tiang pancang terhadap titik berat kelompok tiang
y = Ordinat tiang pancang terhadap titik berat kelompok tiang
2x = Jumlah kuadrat absis tiang pancang
2y = Jumlah kuadrat ordinat tiang pancang
40
2.8 Dilatasi
Gambar 2.3 Dilatasi pada bangunan
Dilatasi adalah sebuah sambungan / garis pada sebuah bangunan yang
karena sesuatu hal memiliki sistem struktur yang berbeda. Dilatasi baik digunakan
pada pertemuan antara bangunan yang rendah dengan yang tinggi, antara
bangunan induk dengan bangunan sayap, dan bagian bangunan lain yang
mempunyai kelemahan geometris.
Disamping itu, bangunan yang sangat panjang tidak sapat menahan
deformasi akibat penurunan fondasi, gempa, muai susut, karena akumulasi gaya
yang sangat besar pada dimensi bangunan yang panjang, dan menyebabkan
timbulnya retakan atau keruntuhan struktural. Oleh karenanya, suatu bangunan
yang besar perlu dibagi menjadi beberapa bangunan yang kecil. Dimana tiap
41
beangunan dapat bereaksi secara kkompak dan kaku dalam menghadapi
pergerakan bangunan yang terjadi.
Dalam praktiknya terdapat beberapa bentuk pemisahan bangunan yang
umum digunakan, diantaranya
1. Dilatasi dengan 2 kolom
Pemisahan struktur dengan dua kolom terpisah merupakan hall
yang paling umum digunakan,terutama pada bangunan yang
bentuknya memanjang (linear)
2. Dilatasi dengan balok kantilever
Mengingat bentang balok kantilever terbatas panjagnya (maksimal
1/3 bentang balok induk), maka pada lokasi dilatasi terjadi
perubahan bentang antar kolom, yaitu sekitar 2/3 bentang antar
kolom.
3. Dilatasi dengan balok Gerber
Untuk mempertahankan jarak antara kolom yang sama , maka pada
balok kantilever diberi balok Gerber. Namun dilatasi dengan balok
gerber ini jarang digunakan, karena dikuatirkan akan lepas dan
jatuh, jika mengalami deformasi arah horizontalyang cukup besar
(akibat beban gempa bumi).
4. Dilatasi dengan konsol
Meskipun jarak antar kolom dapat dipertahankan tetap sama,
namun akibat adanya konsol, maka langit-langit pada bentang
kolom berikutnya. Dilatasi jenis ini banyak digunakan pada
42
bangunan yang menggunakan konstruksi prapabrikasi, dimana
keempat sisi kolom diberi konsol untuk tumpuan balok
prapabrikasi.