BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS A. 1...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS A. 1...
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Deskripsi Teori
1. Intensitas Belajar
a. Pengertian Intensitas Belajar
Intensitas berasal dari kata intentio yang artinya derajat
kekuatan tertinggi, kekuatan terbesar, meregang sampai batas terjauh,1
atau dapat diartikan kehebatan.2 Kaitannya dengan belajar adalah
kehebatan atau kesungguhan, giat dalam melakukan belajar baik fisik
maupun psikis, sehingga memperoleh hasil yang maksimal.
Sedangkan pengertian belajar menurut beberapa ahli:
1) Elizabeth B. Harlock, learning is development that comes from
exercise and effort.3 belajar adalah suatu perkembangan setelah
adanya proses (latihan) dan usaha (belajar).
2) Menurut Agus Hardjana, belajar adalah kegiatan untuk
mendapatkan pengetahuan, pemahaman tentang sesuatu hal, atau
penguasaan kecakapan dalam suatu hal atau bidang hidup tertentu
lewat usaha pengajaran dan pengalaman.4
3) Muhammad Ali, belajar adalah proses perubahan perilaku, akibat
interaksi individu dengan lingkungan. 5
Dari definisi yang telah dikemukakan para ahli tersebut dapat
diambil pengertian belajar adalah :
1. Belajar merupakan suatu aktifitas yang disengaja.
2. Aktifitas tersebut menghasilkan perubahan berupa sesuatu yang
baru.
1 Van Hoeve, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru, tt.), hlm. 1462. 2 John M.E Cholas dan Hassan Sadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta :Gramedia,
2000), cet.xxiv, hlm.326. 3 Elizabeth B. Harlock, Child Development, (Tokyo: Mc. Graw-Hill Cogakusha, 1978),
hlm. 28. 4 Agus Hardjana, Kiat Sukses Studi di Peruruan Tinggi, (Yogyakarta: Kanisius, 1994),
hlm. 81. 5 Muhammad Ali, Guru dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru
Algesindo,2000), hlm. 14.
8
9
3. Perubahan ini merupakan hasil interaksi dengan lingkungan.
4. Perubahan-perubahan itu bersifat permanen dan konstan.
Antara definisi yang satu dengan yang lain saling melengkapi
dan berkaitan sehingga menghasilkan suatu pengertian bahwa pada
dasarnya belajar merupakan aktifitas yang menghasilkan perubahan
tingkah laku yang sedikit banyak perubahan tersebut bersifat konstan.
Maka dalam diri seorang siswa yang belajar akan mendapatkan
pengetahuan baru, pengalaman yang baru serta kecakapan baru dari
hasil belajar. Jadi maksud intensitas belajar adalah kesanggupan,
kesungguhan siswa dalam belajar atau giat belajar yang dilakukan
siswa dalam upaya memperoleh pemahaman, pengetahuan serta
tingkah laku yang lebih baik melalui prosedur latihan dan pengalaman
yang dilakukan baik di sekolah maupun di rumah.
Harus disadari bahwa di dalam kehidupan seseorang dalam
bekerja membutuhkan kesungguhan untuk mengerjakannya.
Kesungguhan seseorang dalam melakukan usaha itulah yang
menentukan seberapa jauh hasil yang dicapai. Begitu pula dalam
belajar baik di rumah maupun di sekolah seorang siswa bila ingin
mendapatkan hasil yang baik dan dapat tercapai cita-citanya maka
harus belajar dengan sungguh-sungguh, rajin, tekun, dan giat. Karena
belajar adalah untuk menjadi pandai dalam segala hal baik dalam
bidang ilmu pengetahuan maupun ketrampilan atau kecakapan. 6 Tanpa
kesungguhan dalam belajar, maka mustahil tujuan belajar akan
tercapai dengan baik.
b. Bentuk-bentuk Intensitas Belajar
Belajar adalah kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh
sejumlah ilmu pengetahuan. Dalam belajar, kita tidak bisa melepaskan
dari beperapa hal yang dapat mengantarkan keberhasilan dalam
belajar. Kesungguhan atau intensitas dalam belajar merupakan salah
6 M. Dalyono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), Cet I, hlm. 48.
10
satu prinsip belajar agar mendapat hasil yang maksimal. Belajar tanpa
kesungguhan akan memperoleh hasil yang kurang memuaskan, selain
itu akan bayak waktu dan tenaga yang terbuang percumah, sebaliknya
belajar dengan sungguh-sungguh serta tekun akan memperoleh hasil
yang maksimal dan penggunaan waktu yang efektif.7
Menurut Syaiful Bahri Djamrah, pedoman umum dalam belajar
dapat dilakukan dengan cara belajar dengan teratur, disiplin dan
bersemangat, konsentrasi, pengaturan waktu, istirahat dan tidur yang
cukup.8
Sedangkan menurut Sofchan Sulistiyowati, ada dua konsep
belajar yang utama dalam mencapai keberhasilan, yaitu keteraturan
belajar dan kedisiplinan belajar.9
Sesuai dengan pendapat di atas maka dapat disimpulkan
intensitas atau kesungguhan dalam belajar dapat dilakukan dalam
bentuk:
1) Kedisiplinan dalam belajar.
Kedisiplinan berasal dari kata disiplin, yang artinya
ketaatan atau kepatuhan kepada peraturan, tata tertib.10 Tata tertib
yang dimaksud dapat mengatur tatanan kehidupan baik untuk
pribadinya maupun kelompok.11 Disiplin timbul dari dalam jiwa
karena adanya dorongan untuk menaati tata tertib tersebut. Untuk
itu dalam belajar sangat diperlukan kedisiplinan yang muncul
karena kesadaran diri bukan karena terpaksa. Dengan disiplin
belajar siswa, akan dapat menempatkan sesuatu sesuai dengan
proporsinya. Kemauan yang keras akan mendorong siswa tidak
lekas putus asa dalam menghadapi kesulitan. Sedangkan disiplin
7 Ibid.,hlm. 53. 8 Syaiful Bahri Djamrah, Rahasia Sukses Belajar, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), hlm.
10-22. 9 Sofchah Sulistiyowati, Cara Belajar Yang Efektif dan Efisien, (Pekalongan: Cinta Ilmu,
2001), hlm. 2-3. 10 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 208. 11 Syaiful Bahri Djamroh, op.cit., hlm. 22.
11
yang tinggi diperlukan supaya siswa selalu belajar sesuai dengan
waktu yang diaturnya sendiri.
Disiplin dalam belajar meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Disiplin dalam menepati jadwal belajar (harus mempunyai
jadwal kegiatan belajar untuk diri sendiri)
b. Disiplin dalam mengatasi semua godaan yang akan menunda-
nunda waktu untuk belajar.
c. Disiplin terhadap diri sendiri untuk dapat menumbuhkan
kemauan dan semangat belajar baik di rumah maupun di
sekolah.
d. Disiplin dalam menjaga kondisi fisik agar selalu sehat dan fit
dengan cara makan yang teratur dan bergizi serta berolah raga
secara teratur12.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa kedisiplinan dalam
belajar sebagai wujud dari kesungguhan dalam menuntut ilmu
hendaknya dinilai oleh setiap pelajar, yang akhirnya nanti bisa
menjadi kebiasaan dalam setiap aktifitasnya, maka akan
terbentuklah semangat yang tinggi dalam belajar. Apabila sikap
disiplin selalu diterapkan maka kesungguhan pun akan diperoleh
setip siswa.
2) Keteraturan dalam Belajar
Belajar dengan teratur merupakan pedoman mutlak yang
tidak bisa diabaikan oleh seorang siswa dalam menuntut ilmu di
sekolah.13 Hal ini mengingat banyaknya bahan pelajaran yang
harus dikuasai, menuntut pembagian waktu yang sesuai dengan
kedalaman dan keluasan bahan pelajaran. Penguasaan atas semua
bahan pelajaran dituntut secara dini, tidak harus menunggu sampai
menjelang ulangan dan ujian. Belajar dengan teratur dapat
dilakukan dengan cara teratur masuk sekolah, karena dengan
12 Sofchah Sulistyowati, op.cit., hlm. 3. 13 Syaiful Bahri Djamrah, op.cit., hlm. 10.
12
masuk sekolah siswa akan mendengarkan penjelasan dari guru,
yang mana kita tidak cukup dengan hanya membaca buku.
Penjelasan dari guru pun tidak hanya didengar tetapi harus dicatat
secara teratur sesuai dengan bidang studi masing-masing14. Hal-hal
yang perlu dilakukan secara teratur dalam belajar antara lain :
a. Teratur dalam mengikuti pelajaran di sekolah dan selalu
mengikuti pelajaran dari guru-guru yang mengajar.
b. Teratur dalam belajar di rumah dengan selalu mengulangi
pelajaran yang telah diajarkan di sekolah.
c. Teratur dalam memiliki buku-buku catatan pelajaran, baik
berupa buku terbitan, diktat, dan tulisan tangan.
d. Teratur dalam menyusun perlengkapan yang digunakan untuk
belajar misalnya meja tulis, rak buku, lampu penerangan, ruang
belajar dan alat-alat tulis15.
Penting membiasakan diri dengan sikap teratur dalam
segala hal, yang menyangkut masalah keberhasilan belajar.
Percaya pada diri bahwa dengan sikap teratur itu tidak akan
mendatangkan kegagalan dalam belajar di sekolah.16 Jika sifat
teratur dihayati dan menjadi kebiasaan seorang siswa dalam
perbuatannya, lama kelamaan sifat ini akan mempengaruhi pula
jalan pikirannya. Sedang pikiran yang jernih sangat diperlukan
dalam menuntut ilmu. Belajar secara teratur akan senantiasa
menjadikan tindakan apapun secara teratur dalam kesehariannya.
3) Konsentrasi dalam Belajar
Konsentrasi adalah pemusatan perhatian dan pikiran pada
hal.17 Menurut Judi Al-Falasani, konsentrasi adalah pemusatan
pikiran terhadap suatu hal dengan menyampingkan semua hal
14 Hasbullah Thabrany, Rahasia Sukses Belajar, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
1994), hlm. 69. 15 Sofchan Sulistyowati, op.cit., hlm. 2. 16 Syaiful Bahri Djamrah, op.cit., hlm. 15. 17 Depdikbud, loc.cit., hlm 456.
13
lainnya yang tidak berhubungan.18 Dalam belajar konsentrasi
berarti pemusatan pikiran terhadap suatu mata pelajaran dengan
menyampingkan semua hal lainnya yang tidak berhubungan
dengan pelajaran. Sedangkan menurut The Liang Gie mengutip
pendapat Geofrey Pudley mengartikan konsentrasi sebagai berikut:
Concentration is a habit and habits are perfected by practice.19
Konsentrasi adalah suatu kebiasaan dan kebiasaan-kebiasaan
disempurnakan oleh praktek. Sehingga dapat disimpulkan,
konsentrasi merupakan suatu kemampuan untuk memfokuskan
pikiran, perasaan, kemauan dan segenap panca indera ke satu
obyek di dalam suatu aktifitas tertentu, dengan disertai usaha
untuk tidak mempedulikan obyek-obyek lain yang tidak ada
hubungannya dengan aktifitas itu. Perlu diketahui bahwa
kemampuan untuk melakukan konsentrasi itu memerlukan
kemampuan dalam menguasai diri atau daya penguasaan diri.
Dengan adanya penguasaan diri inilah seorang siswa akan dapat
menguasai pikiran, perasaan, kemauan dan segenap panca indera
untuk dikonsentrasikan atau difokuskan kepada satu obyek yang
dikehendakinya. Seorang siswa yang tidak mempunyai pendirian,
mudah terpengaruh, tidak mempunyai kestabilan mental dan
mempunyai penguasaan diri yang lemah, biasanya akan mengalami
kesulitan dalam mengkonsentrasikan pikirannya.
2. Keberagamaan Siswa
a. Pengertian Keberagamaan
Keberagamaan dari kata dasar agama yang berarti segenap
kepercayaan kepada Tuhan. Beragama berarti memeluk atau
18 Djudi Al-Falasani dan Fauzan Na’if, Kiat Sukses Belajar Bagi Pelajar dan Mahasiswa,
(Semarang: Aneka Ilmu, 1991), hlm. 58. 19 The Liang Gie, Cara Belajar yang Efisien, Jilid 2, (Yogyakarta: Library, 1995), hlm.
138.
14
menjalankan agama.20 Sedangkan keberagamaan adalah adanya
kesadaran diri individu dalam menjalankan suatu ajaran dari suatu
agama yang dianut.21 Keberagamaan juga berasal dari bahasa Inggris
yaitu religiosity dari akar kata religy yang berarti agama. Religiosity
merupakan bentuk kata dari kata religious yang berarti beragama,
beriman.22
Jalaluddin Rahmat mendefinisikan keberagamaan sebagai
perilaku yang bersumber langsung atau tidak langsung kepada Nash. 23
Keberagamaan juga diartikan sebagai kondisi pemeluk agama dalam
mencapai dan mengamalkan ajaran agamanya dalam kehidupan atau
segenap kerukunan, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
dengan ajaran dan kewajiban melakukan sesuatu ibadah menurut
agama.
Sehingga dapat disimpulkan tingkat keberagamaan yang
dimaksud adalah seberapa jauh seseorang taat kepada ajaran agama
dengan cara menghayati dan mengamalkan ajaran agama tersebut yang
meliputi cara berfikir, bersikap, serta berperilaku baik dalam
kehidupan pribadi dan kehidupan sosial masyarakat yang dilandasi
ajaran agama Islam (Hablum Minallah dan Hablum Minannas) yang
diukur melalui dimensi keberagamaan yaitu keyakinan, praktek agama,
pengalaman, pengetahuan, dan konsekwensi atau pengamalan.
Keberagamaan (religiusity) dalam dataran situasi tentang
keberadaan agama diakui oleh para pakar sebagai konsep yang rumit
(complicated) meskipun secara luas ia banyak digunakan. Secara
subtantif kesulitan itu tercermin terdapat kemungkinan untuk
mengetahui kualitas untuk beragama terhadap sistem ajaran agamanya
20 Purwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), hlm.
19. 21 Ibid. 22 E. Pino dan T Wittermans, Kamus Inggris-Indonesia , cetakan xii, (Jakarta: Pramudya
Paramita, 1980), hlm. 370. 23 Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah
Pengantar, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1989), hlm.93.
15
yang tercermin pada berbagai dimensinya.24 Beragama berarti
mengadakan hubungan dengan sesuatu yang kodrati, hubungan
makhluk dengan khaliknya, hubungan ini mewujudkan dalam sikap
batinnya serta tampak dalam ibadah yang dilakukannya dan tercermin
pula dalam sikap kesehariannya.25
Adapun perwujudan keagamaan itu dapat dilihat melalui dua
bentuk atau gejala yaitu gejala batin yang sifatnya abstrak
(pengetahuan, pikiran dan perasaan keagamaan), dan gejala lahir yang
sifatnya konkrit, semacam amaliah-amaliah peribadatan yang
dilakukan secara individual dalam bentuk ritus atau upacara
keagamaan dan dalam bentuk muamalah sosial kemasyarakatan.26
b. Dimensi atau Aspek Keberagamaan
Keberagamaan atau religiositas dapat diwujudkan dalam
berbagai sisi kehidupan manusia. Aktifitas beragama tidak hanya
terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi
juga melakukan aktifitas lain yang didorong oleh kekuatan
supranatural dan bukan hanya yang berkaitan dengan aktifitas yang
tampak dan dapat dilihat dengan mata, tetapi juga aktifitas yang tidak
tampak dalam hati seseorang. Sehingga untuk melihat seberapa jauh
keberagamaan seseorang maka dapat dilihat bagaimana ia
melaksanakan dimensi keberagamaan. Karena itu keberagamaan
seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi, Glock and
Stark dalam bukunya Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso,
yang berjudul Psikologi Islam menjelaskan bahwa agama adalah
sistem keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku yang
24 Chabib Thoha, dkk, Metodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), cet I, hlm. 14. 25 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), cet I hlm. 210. 26Ridin Sofwan, Penyiaran Islam di Jawa Hubungannya dalam Keberagamaan
Penghayatan Kepercayaan, (Dalam Jurnal Penelitian Walisongo edisi: XXXVII, Agustus 1992), hlm. 9.
16
terlembagakan, yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan
yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning)27
Menurut Glock and Stark ada lima dimensi dalam agama yang
perlu diperhatikan untuk mengembangkan keberagamaan yang bersifat
integralistik yaitu dimensi keyakinan, dimensi peribadatan atau
praktek agama, dimensi pengalaman, dimensi pengetahuan dan
konsekwensi-konsekwensi.28
1. Dimensi Keyakinan (ideologi)
Dimensi ini berisikan pengharapan-pengharapan di mana
orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu,
mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut dan mentaatinya.
Walaupun demikian isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi,
tidak hanya diantara agama-agama tetapi sering kali di antara
tradisi-tradisi dalam agama yang sama.29 Dimensi ini berkaitan
dengan seperangkat kepercayaan dan keyakinan seseorang
terhadap realitas mutlak. Semua agama memberikan penekanan
yang penting terhadap dimensi ini, mengingat fungsinya sebagai
pondasi dalam beragama.30
Dalam Islam dimensi ini berisikan tentang keyakinan orang
Islam untuk meyakini keberadaan dan eksistensi Allah serta
mengimani Rukun Iman dan mengaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Dimensi keyakinan atau akidah Islam menunjukkan
seberapa tingkat keyakinan muslim terhadap kebenaran ajaran-
ajaran agamanya, terutama ajaran-ajaran yang bersifat fundamental
dan dogmatik.31 Akidah merupakan dimensi agama dari aspek
keyakinan yang menjadi unsur pokok dalam beragama. Sedangkan
27 DJamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islam¸(Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), cet. 4, hlm. 76. 28 Ibid., hlm. 77. 29 Roland Robertson (ed), Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, terj.
Achmad Fedyani Saifuddin, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet 4., hlm. 295 30 Syamsul Arifin, Merambah Jalan Baru dalam Beragama, (Yogyakarta: Ittaqa Press,
2000), cet. 1, hlm. Ix-x. 31 Djamaludin Ancok dan Fuad Nashari Saroso, op.cit. hlm. 80.
17
akidah Islam menurut Abudin Nata, akidah Islam bukan sekedar
keyakinan dalam hati melainkan pada tahap selanjutnya harus
menjadi dasar bertingkah laku dan berbuat yang pada akhirnya
menimbulkan amal shaleh.32 Dengan adanya akidah yang kuat
akan dapat membentuk suatu kepribadian yang kuat, artinya salah
satu dari pembentukan pribadi yang baik itu harus disadari dari
keyakinan yang kuat. Dengan demikian akidah dapat menjadi
modal dasar seseorang dalam melaksanakan hukum-hukum Allah
dan mengikuti petunjuk Rasul Saw.
2. Dimensi Peribadatan atau Praktek Agama
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-
hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap
agama yang dianutnya.33 Praktek-praktek keberagamaan menurut
Glock and Start terdiri dari dua kelas penting yaitu:
a. Ritual, mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan
keberagamaan formal dan praktek-praktek suci yang semua
mengharapkan para pemeluk melaksanakan.
b. Ketaatan, ketaatan dan ritual bagaikan ikan dengan air meski
ada perbedaan penting. Apabila aspek ritual dari komitmen
sangat formal atau khas publik semua agama yang kenal juga
mempunyai perangkat tindakan persembahan dan kontemplasi
personal yang relatif spontan, informal dan khas pribadi.34
Dimensi praktek agama dalam Islam disebut juga dimensi
peribadatan atau syari’ah beragama untuk menunjukkan seberapa
taat dan patuh seorang muslim terhadap perintah dan larangan
agama Islam.35 Artinya dimensi ini sebagai manifestasi dari
kepercayaan oleh keyakinan-keyakinan kepada Allahlah yang
32 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 2000), cet
4, hlm. 85. 33 Ronald Robertson (ed), op.cit., hlm. 295. 34 Ibid., hlm. 296. 35 Djamaludin Ancok dan Fuad Nashari Suroso, op.cit., hlm. 77.
18
diwujudkan dalam bentuk ibadah dan mengabdikan diri secara
utuh, lahir batin kepada Allah swt. Ibadah merupakan aspek
keagamaan yang dapat diamati dan diukur serta merupakan aspek
beragama yang paling mudah diamati perbedaannya antara satu
agama dengan agama lainnya.36 Di dalam agama Islam dimensi ini
dapat berbentuk shalat, zakat, puasa, haji membaca Al-Qur’an,
qurban, i’tikaf di masjid pada bulan Ramadhan, dsb.37
3. Dimensi Pengalaman
Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan
pesan-pesan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami
seseorang atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan atau
suatu masyarakat yang melihat komunitas, walaupun kecil dalam
suatu esensi ketuhanan yaitu dengan Tuhan, pernyataan terakhir
dengan otoritas transendental38. Pengalaman agama adalah unsur
perasaan dalam kesabaran agama, yaitu perasaan yang membawa
pada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan.39
Pengalaman keagamaan merupakan bagian dari
keberagamaan yang bersifat efektif, yaitu keterlibatan emosional
dan sentimental pada pelaksanaan ajaran agama. Pengalaman
keagamaan ini bersifat subyektif dan sulit dijelaskan lewat
ungkapan bahasa, tetapi cukup dirasakan oleh individu yang
bersangkutan sebagai realisasi penghayatan dan pengalaman yang
dirasakan individu dalam hubungannya dengan Tuhan. Oleh karena
itu pengalaman dapat juga disebut sebagai perasaan keagamaan
(Religion Feeling).40
36 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), cet. 1,
hlm. 99. 37 Djamaludin Ancok dan Fuad Nashari, op.cit., hlm. 80. 38 Ronald Robertson (ed)¸ op.cit., hlm. 296. 39 Hafi Ashari, Dasar-dasar Ilmu Jiwa Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hlm.
10. 40 Ridin Sofyan, op.cit., hlm. 10-11
19
Menurut Jalaluddin Rahmat perasaan keberagamaan
(religion feeling) ini terbagi dalam empat tingkatan yaitu:
a. Konfirmatif, suatu perasaan akan kehadiran tuhan atau apa saja
yang diamatinya.
b. Responsif, merasa bahwa Tuhan menjawab kehendaknya atau
keluhannya.
c. Eskatik, merasakan hubungan yang akrab dan penuh cinta
dengan Tuhan.
d. Partisipatif, merasa menjadi kawan setia, kekasih atau wali
Allah dan menyertai Tuhan dalam melakukan karya Ilahiyah.41
Dimensi penghayatan atau pengalaman menunjuk pada
seberapa jauh tingkat muslim dalam merasakan dan mengalami
perasaan dan pengalaman religius. Dalam agama Islam dimensi ini
tertuju dalam perasaan akrab atau dekat dengan Allah, perasaan
do’a-do’anya sering terkabul, perasaan tentram, bahagia karena
men-Tuhankan Allah, perasaan bertawakkal atau pasrah diri secara
positif kepada Allah, perasaan khusu’ ketika melaksanakan shalat
atau berdo’a, perasaan bersyukur, perasaan mendapat peringatan
atau pertolongan dari Allah.42
4. Dimensi Pengetahuan atau Intelektual
Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang
yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal
pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab
suci dan tradisi-tradisi.43 Dimensi pengetahuan atau ilmu
menunjukkan pada seberapa tingkat pengetahuan dan pemahaman
muslim terhadap ajaran agamanya, terutama mengenai ajaran-
ajaran pokok dari agamanya sebagaimana termuat dalam kitab
sucinya. Dimensi ini menyangkut pengetahuan tentang isi Al-
Qur’an, pokok-pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan
41 Jalaluddin Rahmat, op.cit., hlm. 97. 42 Djamaludin Ancok dan Fuad Nashari Suroso, op.cit., hlm. 82. 43 Ronald Robertson, op.cit., hlm. 297.
20
(Rukun Islam dan Rukun Iman), hukum-hukum Islam, sejarah
Islam, dsb.44
Pengetahuan yang dimiliki seseorang dalam berbagai segi
mengenai ajaran agama yang diperlukannya akan menjadi referensi
yang memperluas cakrawala pandangannya dalam bertindak,
dengan kata lain gejala keagamaan yang berkenaan dengan
sejumlah pengetahuan pemeluk agama mengenai ajaran agamanya.
Pengetahuan ini biasanya diperoleh melalui proses intelektual yang
cukup panjang lewat pendidikan agama baik formal maupun
nonformal.45
5. Dimensi Konsekuensi atau Pengamalan
Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat
keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan
seseorang dari hari ke hari.46 Dimensi ini juga merupakan pengaruh
agama terutama yang bersifat sosial dalam kehidupan manusia.47
Dimensi ini juga sebagai tolok ukur yang bersifat empirik bagi
kebermaknaan agama seseorang. Hal yang lain penting dengan
adanya dimensi ini, bahwa dalam beragama tidak berhenti pada
tataran keyakinan ritual dan pengetahuan. Dimensi ini menuntut
kepada setiap pemeluk suatu agama untuk menaati segala aturan
agama secara konsekwen, lebih konkrit. Karena dimensi ini
mengacu kepada etika sosial pemilihan perbuatan-perbuatan baik
yang perlu dilakukan dan perbuatan-perbuatan buruk yang perlu
ditinggalkan.48
Dalam Islam dimensi ini menunjukkan kepada seberapa
tingkat muslim berperilaku yang dimotivasi oleh ajaran agamanya
yaitu sebagai mana individu berelasi dengan dunianya, terutama
44 Djamaludin Ancok dan Fuad Nashari Suroso, op.cit., hlm. 81. 45 Ridin Sofwan, op.cit., hlm.10. 46 Muhaimin (ed), Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2001), cet. 1, hlm. 294. 47 Syamsul Arifin, loc.cit. 48 Ridin Sofwan, op.cit., hlm. 11.
21
dengan manusia lain. Meliputi perilaku suka menolong, bekerja
sama, berderma, menyejahterakan dan menumbuh kembangkan
orang lain, menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur,
pemaaf, menjaga lingkungan hidup, tidak berjudi dan minum
minuman keras, serta mematuhi norma-norma Islam dalam
berperilaku sosial49.
Dari kelima dimensi tersebut di atas tidak berdiri sendiri, tetapi
merupakan satu kesatuan yang utuh. Karena itu, kesempurnaan
pemahaman dan penghayatan terhadap agama tergantung agama
seseorang, tergantung seberapa jauh kelima dimensi di atas diapresiasi
secara integral.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberagamaan
Keberagamaan merupakan pola sikap seseorang yang berusaha
menuju kepada pola kehidupan yang sesuai dengan tuntutan ajaran
agama Islam. Perilaku religius seseorang dalam perjalanan hidupnya
tidaklah berlangsung secara baik, tetapi senantiasa diwarnai oleh
perubahan-perubahan yang disebabkan faktor-faktor tertentu.
Perubahan tersebut dapat dilihat dari segi kualitas maupun kuantitas
perilaku religiusnya. Dari segi kualitas sikap dan perilaku keagamaan
dapat meningkat atau menurun, bermutu atau tidak dipandang dari segi
nilainya. Dari segi kuantitas perubahan terjadi dari sisi banyak
sedikitnya amalan keagamaan atau dari sisi pelaksanaan amalan ibadah
yang hanya sebagian atau pelaksanaannya yang menyeluruh.
Jiwa agama atau kesadaran beragama merujuk kepada aspek
ruhani individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah yang
didefinisikan ke dalam peribadatan kepada-Nya, baik yang bersifat
hablum minallah maupun hablum minannas.50 Maka dari itu faktor
49 Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Saroso, op.cit., hlm. 81. 50 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung; PT. Remaja
Rosdakarya, 1992), hlm. 136.
22
yang mempengaruhi keberagaman seseorang terbagi atas dua bagian,
yaitu faktor pembawaan (internal) dan faktor lingkungan (eksternal).51
1) Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang terdapat dalam diri
pribadi manusia itu yakni selektifitasnya sendiri, daya pikirnya
sendiri atau minat perhatiannya untuk menerima dan mengolah
pengaruh-pengaruh yang datang dari luar dirinya.52 Pendapat lain
faktor internal berasal dari dalam diri sendiri yang berupa
pembawaan. Pembawaan adalah semua potensi atau kemungkinan
yang dibawa individu sejak hidup.53 Pembawaan yang dimaksud
fitrah yang berarti suci, yang merupakan bakat bawaan sesuai
dengan fitrah Allah dalam surat Ar-Rum ayat 30 sebagaimana yang
tercantum dalam latar belakang.
Setiap anak yang lahir ke dunia, baik yang lahir di negara
komunis maupun kapitalis, baik yang lahir dari orang tua yang
shalih maupun yang jahat, sejak nabi Adam sampai akhir zaman
menurut fitrah terjadinya mempunyai potensi beragama atau
mempunyai keimanan kepada Tuhan serta kepercayaan adanya
Tuhan di luar dirinya yang mengatur hidup dan kehidupan alam
semesta.54
2) Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar
individu. Faktor pembawaan atau fitrah keberagamaan merupakan
potensi yang mempunyai kecenderungan untuk berkembang,
namun perkembangan itu tidak akan terjadi manakala tidak ada
faktor luar atau eksternal yang memberikan rangsangan atau
51 Ibid. 52 WA. Gerungan, Psikologi Sosial, (Badung: PT.Refika Aditama, 2000), cet. 14. hlm.
155. 53 Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 31. 54 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Belajar Agama (Persepektif Pendidikan Agama Islam),
(Bandung : CV Pustaka Bani Quraisy, 2003), Cet I, hlm. 28.
23
stimulus yang memungkinkan fitrah itu berkembang dengan
sebaik-baiknya.55
Menurut Robert H Thouless bahwa tidak ada seorang pun
yang dapat mengembangkan sikap-sikap keagamaan kita dalam
keadaan terisolasi dalam masyarakat. Sejak masa kanak-kanak
hingga masa tua, kita menerima perilaku dari apa yang mereka
katakan yang berpengaruh terhadap sikap keberagamaan kita.56
Faktor eksternal tersebut adalah keluarga, sekolah dan
masyarakat.57
a) Lingkungan keluarga
Keluarga adalah unit sosial dalam masyarakat yang
peranannya sangat besar terhadap perkembangan sosial.
Terlebih pada awal perkembangannya yang menjadi landasan
bagi perkembangan kepribadian selanjutnya. Pendidikan
keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa
keagamaan. Keluarga menurut para pendidik merupakan
lapangan pendidikan yang pertama dan pendidiknya adalah
kedua orang tua58.
b) Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang
mempunyai program yang sistematik dalam melaksanakan
berbagai pengajaran dan latihan kepada siswa agar mereka
berkembang sesuai dengan potensinya. Dalam upaya
mengembangkan fitrah beragama pada siswa, maka sekolah
dalam hal ini guru agama mempunyai peranan yang sangat
penting dalam mengembangkan wawasan pemahaman,
pembiasaan, mengamalkan ibadah atau aqidah yang mulia dan
55 Ibid, hlm. 30. 56 Robert H. Thouless, Pengantar Psikologi Agama, terjemahan Machnun Husein,
(Jakarta: PT Raja grafindo Persada, 2000),cet 3, hlm. 37. 57 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Belajar Agama, op. cit. hlm. 30. 58 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm., 204.
24
sikap apresiasif terhadap ajaran agama. Namun demikian tidak
hanya guru agama saja yang harus mempunyai jiwa dan
berakhlak agama, tetapi mencakup semua guru bidang studi
lainnya serta staf pendidikan lain yang terkait. Sehingga anak
didik tertolong untuk mencintai agama dan hidup sesuai dengan
ajaran agama59.
c) Lingkungan Masyarakat
Dalam kehidupan masyarakat dibatasi berbagai norma
dan nilai-nilai yang didukung warganya, karena itu setiap
warga harus bersikap bertingkah laku sesuai dengan norma dan
nilai yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Lingkungan
masyarakat yang agamis akan menciptakan jiwa keagamaan
seseorang atau memperkuat keagamaan. Sedangkan lingkungan
non agamis mungkin akan menghilangkan jiwa keagamaannya.
Fungsi dan peran masyarakat dalam pembentukan jiwa
keagamaan akan sangat tergantung pada seberapa jauh
masyarakat tersebut menjunjung norma-norma keagamaan.60
2. Prestasi Belajar
a. Pengertian Prestasi Belajar PAI
Prestasi berasal dari bahasa Belanda prestatie kemudian dalam
bahasa Indonesia menjadi prestasi yang berarti hasil usaha.61 Menurut
pendapat lain prestasi berarti hasil yang telah dicapai (dari yang telah
dilakukan atau dikerjakan).62 Clifford T. Morgan mengemukakan
bahwa learning may be defined as any relatively permanent change in
behavior which occurs us a result of experience, or practice.63 Belajar
59 Zakiyah Darajat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,
1977), hlm. 89. 60 Jalaluddin, op cit, hlm. 209. 61 Zaenal Arifin, Evaluasi Instruksional; Prinsip-Teknik-Prosedur, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1991), hlm. 2. 62 Departemen Pendidikan Nasional , Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2003), Edisi 3, cet. 3 , hlm. 787. 63 Clifford T. Morgan, Introduction to Psikologi (New York, Mc. Grow-Hill, 1971), hlm.
63.
25
dapat didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku yang relatif tetap
yang merupakan hasil dari pengalaman dan latihan.
Menurut Shohih Abdul Aziz belajar adalah :
تغيري ىف ذهن املتعلم يطرأ على خرية سابقة فيحدث فيها ان التعلم هو TP64PT.تغيريا جديدا
Belajar adalah perubahan di dalam diri siswa berdasarkan penyalinan masa lalu, sehingga terciptanya perubahan yang baru.
W. S. Winkel mengemukakan prestasi belajar merupakan hasil
belajar yang di tampakkan oleh siswa berdasarkan kemampuan internal
yang diperoleh sesuai dengan tujuan instruksional65.
Jadi, prestasi belajar yang dimaksud adalah suatu hasil yang
telah dicapai (dilakukan) oleh siswa setelah adanya aktifitas belajar
suatu mata pelajaran yang telah ditetapkan di sekolah tertentu dalam
waktu yang telah ditentukan pula. Prestasi belajar dapat diketahui
setelah dilakukan evaluasi belajar. Adapun jenis-jenis evaluasi belajar
tersebut antara lain:
1) Tes penempatan, yaitu tes yang disajikan pada awal tahun
pelajaran untuk mengukur kesiapan siswa dan mengetahui tingkat
pengetahuan yang telah dicapai
2) Tes formatif (formative test), yaitu jenis tes yang disajikan pada
saat dilangsungkan proses belajar mengajar untuk memantau
kemajuan belajar siswa.
3) Tes diagnostik (diagnostic test), yaitu tes yang bertujuan untuk
mendiagnosa kesulitan belajar siswa untuk mengupayakan
perbaikan.
4) Tes sumatif (summative test), yaitu test yang biasa diberikan pada
akhir tahun ajaran atau akhir suatu jenjang pendidikan dan
64 Sholeh Abdul Aziz dan Abdul Aziz Abdul Madjid, Al-Tarbiyah wa Turuqu Al-Tadris
(Mesir: Darul Ma’arif, 1979), Juz I, hlm. 169. 65 WS. Winkel, Psikologi Pendidikan , (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), hlm. 319.
26
sekarang maknanya telah diperluas untuk dipakai pada tes akhir
semester atau catur wulan. 66
Dalam pelaksanaan tes prestasi belajar, termasuk di dalamnya
tes prestasi belajar PAI, hendaknya tes tersebut dapat mencakup tiga
ranah pendidikan yaitu: ranah kognitif (cognitive domain), ranah
afektif (affective domain), dan ranah psikomotorik (psychomotor
domain).67
Ranah afektif menyangkut masalah pembentukan sikap dan
kepribadian yang tidak mudah untuk diamati dan karena perubahan
sikap seseorang memerlukan waktu yang relatif lama. Ranah kognitif
lebih menekankan pada pengembangan intelektual dan bersifat linier.
Sedangkan ranah psikomotorik lebih menekankan segi pelatihan
ketrampilan motorik. Pengukuran ranah psikomotorik ini dilakukan
terhadap hasil-hasil belajar yang berupa penampilan. Namun demikian
biasanya pengukuran ranah psikomotorik disatukan atau dimulai
dengan pengukuran ranah kognitif sekaligus.
Selanjutnya setelah diadakan tes prestasi belajar, maka tiap
akhir masa tertentu, misalnya tiap catur wulan atau semester sekolah
mengeluarkan rapot tentang kelakuan, kerajinan dan kepandaian siswa.
Rapot tersebut merupakan rumusan akhir yang diberikan oleh guru
mengenai kemajuan atau prestasi belajar siswa selama masa tertentu
itu.68
Pendidikan Agama Islam Ditbinpaisun (Direktorat Pembinaan
Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum Negeri) yang telah
dikutip oleh Zakiah Darajat:
Pendidikan Agama Islam adalah suatu usaha bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan dapat memahami apa yang terkandung di dalam
66 Suke Silverius, Evaluasi Hasil Belajar dan Umpan Balik, (Jakarta: PT. Grasindo,
1991), hlm. 9-10 67 Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung: PT. Sinar Baru
Algesido, 1995), cet. 3, hlm. 49. 68 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998),
hlm. 69.
27
Islam secara keseluruhan, menghayati makna dan maksud serta tujuannya dan pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan ajaran-ajaran agama Islam yang telah dianutnya itu sebagai pandangan hidupnya sehingga dapat menjadikan keselamatan di dunia dan akhirat.69
Menurut Zuhairini Pendidikan Agama Islam adalah usaha-
usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik
supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam.70
Adapun menurut Muhammad Arifin, Pendidikan Agama Islam
adalah usaha orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar
mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan
fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik
maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.71
Sedangkan yang dimaksudkan Pendidikan Agama Islam di sini
adalah sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Hadjar
yaitu sebutan yang diberikan pada salah satu subyek pelajaran yang
harus dipelajari oleh siswa muslim dalam menyelesaikan
pendidikannya pada tingkat tertentu. Ia merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari kurikulum suatu sekolah sehingga merupakan alat
untuk mencapai salah satu aspek tujuan sekolah yang bersangkutan72
Berdasarkan pengertian di atas jelaslah bahwa yang dimaksud
dengan prestasi belajar Pendidikan Agama Islam adalah hasil yang
telah dicapai oleh siswa karena aktifitas belajarnya dalam bidang studi
Pendidikan Agama Islam yang perwujudannya nilai rapot oleh hasil
belajar berdasarkan kemampuan internal yang diperolehnya sesuai
dengan tujuan instruksional.
69 Zakiyah Darajat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm 88. 70 Zuhairini, dkk., Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: Usaha Nasional,
1983), hlm. 27. 71 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), cet. 5, hlm. 22. 72 Chabib Thoha, op. cit, hlm. 4.
28
b. Dasar dan Tujuan PAI
1) Dasar PAI
Dasar pendidikan merupakan pandangan yang mendasari
seluruh aktifitas pendidikan. Dasar pendidikan yang dimaksud
tidak lain adalah nilai-nilai tertinggi yang dijadikan pandangan
suatu masyarakat atau bangsa dimana pendidikan itu berlaku.
Adapun dasar PAI menurut Zuhairini dibagi menjadi tiga
macam yaitu: dasar yuridis atau hukum, dasar religius dan dasar
psikologis.73
a) Dasar Yuridis atau Hukum
Yaitu dasar-dasar pelaksanaan pendidikan agama yang
berasal dari peraturan perundang-undangan yang secara
langsung atau pun secara tidak langsung dapat dijadikan
pegangan dalam melaksanakan pendidikan agama di sekolah-
sekolah ataupun di lembaga-lembaga pendidikan formal di
Indonesia.74
Adapun dasar dari segi yuridis formal tersebut ada tiga
macam, yakni:
(1) Dasar ideal, adalah dasar dari falsafah Pancasila sila
pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Dasar struktural atau konstitusional, yakni dasar dari UUD
’45 dalam bab XI pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: (1)
Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (2)
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut
agama dan kepercayaannya itu. Setiap warga negara
Indonesia harus beragama dan beribadah menurut agama
dan kepercayaannya masing-masing agar dapat menunaikan
73 Zuhairini, dkk., op.cit., hlm. 21 74 Ibid.
29
ibadah sesuai dengan ajaran agamanya itu, maka diperlukan
pendidikan agama.
(3) Dasar operasional, adalah dasar yang langsung mengatur
langsung Pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah di
Indonesia75. Seperti yang disebutkan dalam UU RI No. 20
tahun 2003 pasal 37 yang pada pokoknya dinyatakan bahwa
Pendidikan Agama secara langsung dimasukkan ke dalam
kurikulum mulai dari pendidikan dasar, pendidikan
menengah sampai perguruan tinggi76.
b) Dasar Religius
Yang dimaksud dengan dasar religius adalah dasar-
dasar yang bersumber dalam agama islam yang terkandung
dalam ayat-ayat al- Qur’an dan Hadist Nabi77.
Ayat al-Qur’an yang menjadi dasar pelaksanaan PAI,
yaitu QS. AT-Tahrim ayat 6.
)6:التحرم... (يآايها الذين امنوا قوآ انفسكم واهليكم نارا Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka……(QS. AT-Tahrim: 6).78
Sedangkan Hadits Nabi yang menjadi dasar
pelaksanaan PAI yaitu:
ابن عمر وقال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم بلغوا عين ولواية عن TP79PT)رواه البخارى والترمذى(
“Diriwayatkan dari Ibn Amr, Rasulullah SAW bersabda, sampaikanlah ajaranku kepada orang lain, walaupun hanya sedikit.” (HR. Bukhari dan Turmudzi).
75 Ibid., hlm. 22-23. 76 UU RI No. 20 tahun 2003, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional 2003, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2003), hlm. 19-20. 77 Zuharini, dkk., op.cit., hlm. 23. 78 Depag RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Diponegoro, 2000), hlm. 479. 79 Jalaludin Abdur Rahman bin Abi Bakri As-Suyuti, Al-Jami’ushshaghir, Jus. I, (Darul
Kutub Al-Ilmiyyah, t,th), hlm.126.
30
c) Dasar Psikologis
Dalam kehidupan masyarakat selalu membutuhkan
suatu pegangan hidup, yaitu agama. Dalam jiwa manusia ada
suatu perasaan yang mengakui adanya suatu kekuatan dirinya
yakni dzat Yang Maha Kuasa, tempat mereka berlindung dan
tempat memohon pertolongan. Mereka akan merasakan
ketenangan dan ketenteraman hati apabila mereka dapat
mengabdi dan mendekatkan kepada dzat Yang Maha Kuasa.
Hal ini sesuai dengan Allah SWT. Dalam QS. Al-Ra’d: 28
sebagai berikut:
بالقلو ئنطم28:الرعد(أال بذكر اهللا ت( …..Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tentram. (QS. Al-Ra’d: 28).80
Dari ketiga dasar tersebut di atas menunjukkan bahwa
pelaksanaan PAI mempunyai dasar hukum yang pasti dan kuat.
Sehingga tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan pendidikan
agama Islam di sekolah-sekolah di Indonesia.
2) Tujuan PAI
Tujuan adalah suatu yang di harapkan tercapai setelah suatu
usaha atau kegiatan selesai dilakukan. Demikian pula dengan
tujuan pendidikan yaitu suatu yang ingin dicapai dalam
pendidikan, karena pendidikan juga merupakan suatu kegiatan.
Tujuan pendidikan agama Islam pada umumnya untuk
meningkatkan keimanan, penghayatan dan pengalaman siswa
terhadap agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang
beriman dan bertakwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia
dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Menurut M. ‘Athiyah Al-Abrasyi tujuan pokok dan
terutama dari pendidikan islam ialah mendidik budi pekerti dan
pendidik jiwa81.
80 Depag RI., op.cit., hlm. 253.
31
Sedang menurut Ahmad Tafsir tujuan umum pendidikan
Islam ialah muslim yang sempurna atau manusia yang beribadah
kepada Allah82.Sementara itu Hasan Langgulung berpendapat
bahwa tujuan akhir pendidikan agama Islam ialah :
a. persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat.
b. persiapan sendiri sesuai dengan pandangan Islam.
c. Persiapan untuk menjadi warga negara yang baik.
d. Perkembangan yang menyeluruh dan berpadu bagi pribadi
pelajar.83
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Ada banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau
prestasi seorang siswa dalam belajar. Prestasi belajar yang
diperoleh seorang siswa merupakan hasil interaksi antara berbagai
faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam diri (faktor
internal) maupun dari luar diri (faktor eksternal) dari seseorang.
Pengenalan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi
belajar penting sekali artinya dalam rangka membantu siswa dalam
mencapai prestasi belajar yang sebaik-baiknya.
Faktor yang datang dari diri siswa terutama faktor
kemampuan yang dimilikinya. Di samping itu ada faktor lain yaitu
motivasi, minat, dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar,
ketekunan, keadaan sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis84.
Faktor yang datang dari luar diri siswa yang mempengaruhi
prestasi belajar adalah kualitas pengajaran. Kualitas pengajaran
81 Muhammad Atiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, alih bahasa
penerjemah Bustami A. Bani dan Djohar Bahry, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, tt), hlm. 12. 82 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1994), cet 2. hlm. 49. 83 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-
Ma’arif, 1993), hlm. 179. 84 Nana Sudjana, op.cit., hlm. 39.
32
ialah tinggi rendahnya atau efektifitas tidaknya proses belajar
mengajar dalam mencapai tujuan pengajaran85.
Menurut Sumadi Suryabrata, faktor-faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar adalah:
a. Faktor eksternal (faktor yang berasal dari luar diri), meliputi:
faktor sosial dan faktor nonsosial.
b. Faktor internal (faktor yang berasal dari dalam diri), meliputi:
faktor fisiologis dan psikologis86.
Sedangkan menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono,
faktor yang mempengaruhi prestasi belajar adalah:
a. Faktor internal, meliputi faktor jasmaniah atau fisiologis, faktor
psikologis, faktor kematangan fisik maupun psikis
b. Faktor eksternal, meliputi faktor sosial (lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat), faktor budaya (adat-istiadat, ilmu
pengetahuan, teknologi), faktor lingkungan fisik (fasilitas
rumah, fasilitas belajar dan iklim), faktor lingkungan spiritual
atau keagamaan.87
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, penulis dapat
simpulkan bahwa terdapat 2 faktor pokok yang dapat
mempengaruhi prestasi belajar yaitu:
a. Faktor Internal
Faktor ini merupakan faktor yang berasal dari dalam
diri individu itu sendiri. Faktor internal terdiri dari faktor
biologis dan faktor psikologis.
1) Faktor Biologis (Jasmani)
Faktor biologis meliputi segala hal yang berhubungan
dengan fisik atau jasmani individu yang bersangkutan.
85 Ibid., hlm. 40. 86 Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002),
cet.11, hlm. 233. 87 Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994),
hlm. 130-131.
33
Keadaan jasmani yang perlu diperhatikan sehubungan
dengan faktor biologis diantaranya sebagai berikut:
b. Kondisi fisik yang normal, artinya tidak memiliki cacat
sejak dalam kandungan sampai sesudah lahir, sudah
tentu merupakan hal yang sangat menentukan
keberhasilan belajar seseorang.
c. Kondisi kesehatan fisik, artinya kesehatan fisik yang
sehat dan segar atau fit sangat mempengaruhi
keberhasilan belajar seseorang, untuk itu perlu dijaga.88
2) Faktor Psikologis (Rohaniah)
Faktor psikologis yang mempengaruhi keberhasilan
belajar ini meliputi segala hal yang berkaitan dengan
kondisi mental seseorang. Kondisi mental yang dapat
menunjang keberhasilan belajar adalah kondisi mental yang
mantap dan stabil yang nampak dalam bentuk sikap mental
yang positif dalam menghadapi segala hal, terutama hal-hal
yang berkaitan dengan proses belajar. Sikap positif dalam
proses belajar yaitu kerajinan dan ketekunan dalam belajar,
tidak mudah putus asa (frustasi) dalam menghadapi
kesulitan dan kegagalan, tidak mudah terpengaruh untuk
lebih mementingkan kesenangan dari pada belajar,
mempunyai inisiatif sendiri dalam belajar, berani bertanya
dan selalu percaya pada diri sendiri.89 Selain berkaitan erat
dengan sikap mental yang positif, faktor psikologis ini juga
meliputi hal-hal sebagai berikut;
a. Intelegensi (Kecerdasan)
Intelegensi dapat diartikan sebagai kemampuan
psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau
menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang
88 Thursan Hakim, Belajar Secara Efektif, (Jakarta: Puspa Swara, 2000), hlm. 11-12. 89 Ibid., hlm. 13.
34
tepat.90 Intelegensi atau tingkat kecerdasan dasar
seseorang memang berpengaruh besar terhadap
keberhasilan belajar. Namun ada kalanya orang yang
intelegensinya tinggi namun tidak ditunjang dengan
faktor-faktor lain seperti kemauan, kerajinan, waktu
atau kesempatan dan fasilitas belajar tidak bisa
mencapai prestasi belajar yang baik. Sebaliknya
seorang siswa yang intelegensinya tidak begitu tinggi,
mungkin juga mencapai prestasi belajar yang baik jika
proses belajarnya ditunjang dengan berbagai faktor lain
yang memungkinkan untuk mencapai prestasi belajar
yang maksimal.
b. Motivasi
Seseorang akan berhasil, kalau pada dirinya
sendiri ada keinginan atau dorongan untuk belajar.
Keinginan atau dorongan untuk belajar inilah yang
disebut dengan motivasi.91 Keinginan akan
menimbulkan suatu dorongan, rangsangan kekuatan
atau motivasi dalam diri individu yang bersangkutan
untuk berusaha keras memperoleh atau mencapai apa
yang diinginkan. Semakin kuat motivasi seseorang
untuk meraih suatu prestasi, maka akan semakin kuat
pula potensinya dalam usaha mencapai prestasi yang
didambakan.
c. Bakat
Secara umum bakat (aptitude) adalah
kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk
mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang.92
90 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan (dengan Pendekatan Baru), (Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya, 2000), cet. 5, hlm. 133. 91 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar, (Jakarta: CV. Rajawali, 1993), hlm. 39. 92 Muhibbin Syah, op.cit., hlm. 135.
35
Bakat dapat berkembang melalui belajar, setiap orang
mempunyai bakat yang berbeda-beda. Seseorang yang
telah mempunyai bakat dalam bidang atau ilmu tertentu,
maka tidak akan suka baginya untuk mempelajari
bidang atau ilmu secara mendalam sehingga besar
kemungkinan ia akan memperoleh prestasi yang tinggi
d. Minat
Secara sederhana, minat (interest) berarti
kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau
keinginan yang besar terhadap sesuatu.93 Siswa yang
mempunyai minat atau memusatkan perhatian yang
intensif terhadap materi pelajaran sehingga
memungkinkan siswa untuk belajar lebih giat dan
akhirnya mencapai prestasi yang diinginkan.
e. Daya Ingat
Daya ingat didefinisikan sebagai daya jiwa
untuk memasukkan, menyimpan dan mengeluarkan
kembali suatu kesan. Perhatian kesan di sini adalah
gambaran yang tertinggal di dalam jiwa atau pikiran
atau setelah kita melakukan pengamatan. Sehingga daya
ingat siswa dalam mempelajari sesuatu sangat
mempengaruhi keberhasilan belajar.94
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor yang bersumber dari
luar individu itu sendiri. Faktor eksternal meliputi faktor
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan
masyarakat dan faktor waktu.95
93 Ibid, hlm. 136. 94 Thursan Hakim, op.cit., hlm. 15. 95 Ibid., hlm.17.
36
1) Faktor Lingkungan Keluarga
Faktor lingkungan rumah atau keluarga merupakan
lingkungan pertama dan utama dalam menentukan
perkembangan pendidikan seseorang, dan tentu saja
merupakan faktor pertama dan utama pula dalam
menentukan keberhasilan belajar seseorang. Faktor orang
tua sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan anak
dalam belajar. Tinggi rendahnya pendidikan orang tua,
besar kecilnya penghasilan, cukup atau kurang perhatian
dan bimbingan orang tua, rukun atau tidaknya kedua orang
tua, akrab atau tidaknya hubungan orang tua dengan anak-
anak, tenang atau tidaknya situasi dalam rumah, semua itu
turut mempengaruhi pencapaian hasil belajar anak.96
2) Faktor Lingkungan Sekolah
Satu hal yang paling mutlak harus ada di sekolah
untuk menunjang keberhasilan belajar adalah adanya tata
tertib dan disiplin yang ditegakkan secara konsekuen dan
konsisten. Disiplin tersebut harus ditegakkan secara
menyeluruh dari pimpinan sekolah yang bersangkutan, para
guru, para siswa, sampai para karyawan sekolah lainnya.
Untuk menegakkan tata tertib dan disiplin yang konsekuen
dan konsisten tentu saja diperlukan seorang kelapa sekolah
yang baik, karena apabila kepala sekolah tidak mempunyai
kepemimpinan (leadership) yang baik, biasanya akan
sering terjadi masalah-masalah yang menghambat jalannya
proses belajar.97 Kondisi lingkungan sekolah yang juga
dapat mempengaruhi kondisi belajar antara lain adanya
guru yang baik dalam jumlah yang memadai sesuai dengan
jumlah bidang studi yang ditentukan, peralatan belajar yang
96 M. Dalyono, op.cit., hlm. 59. 97 Slameto., Belajar dan Fakto-Faktor yang Mempengaruhinya, ( Jakarta: Rineka Cipta,
1995), cet 3, hlm. 67.
37
cukup lengkap, gedung sekolah yang memenuhi
persyaratan bagi berlangsungnya proses belajar yang baik,
adanya teman yang baik, adanya keharmonisan hubungan
antara semua personil sekolah.98 Dari kondisi sekolah yang
mempengaruhi belajar harus berjalan saling melengkapi.
3) Faktor Lingkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat di sekitar kita, ada yang
dapat menunjang keberhasilan belajar, ada pula yang
menghambat keberhasilan belajar. Lingkungan yang dapat
menunjang keberhasilan belajar adalah lembaga pendidikan
non formal yang melaksanakan kursus-kursus tertentu
seperti kursus bahasa asing, ketrampilan tertentu,
bimbingan tes, kursus pelajaran tambahan yang menunjang
belajar di sekolah, sanggar majelis ta’lim, sanggar
organisasi keagamaan dan sanggar karang taruna.
Lingkungan yang dapat menghambat keberhasilan belajar
antara lain tempat hiburan yang lebih mengutamakan
kesenangan atau hura-hura seperti diskotik, bioskop, pusat-
pusat pembelanjaan yang merangsang kecenderungan
konsumerisme. Karena hiburan juga diperlukan untuk
menyegarkan pikiran atau menghilangkan kelelahan
tentunya yang bersifat positif yaitu hiburan yang dapat
melatih ketangkasan dan daya pikir. Untuk itu seorang
siswa harus mampu memilih lingkungan masyarakat yang
dapat menunjang keberhasilan belajar dan lingkungan
masyarakat yang dapat menghambat keberhasilan belajar.
Selain itu peran pendidik di rumah dan di sekolah harus
98 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja
Rosidakarya 2000), hlm. 137.
38
lebih ditekankan untuk mengimbangi pesatnya
perkembangan di lingkungan masyarakat99.
4) Faktor Waktu
Waktu (kesempatan) memang berpengaruh
keberhasilan belajar seseorang. Seorang siswa harus bisa
mengatur waktu untuk belajar. Di satu sisi siswa dapat
menggunakan waktunya untuk belajar dengan baik dan di
sisi yang lain mereka juga bisa melakukan kegiatan yang
bersifat rekreasi atau hiburan yang sangat bermanfaat.
Harus ada keseimbangan antara kegiatan belajar dengan
kegiatan yang bersifat hiburan. Tujuannya agar selain dapat
meraih prestasi belajar yang maksimal, siswa pun tidak
dihinggapi kejenuhan dan kelelahan pikiran yang
berlebihan serta merugikan.100
B. Kajian Penelitian Yang Relevan
Dalam rangka mewujudkan penulisan skripsi yang profesional dan
mencapai target yang maksimal, untuk itu penulis mencoba menampilkan
judul skripsi, sebagai bahan perbandingan. Hal ini untuk menghindari terjadi
kesamaan obyek dalam penelitian. Dan juga buku-buku ini yang terkait
dengan penelitian ini, antara lain sebagai berikut :
1. Judul skripsi tentang “PENGARUH PEMBERIAN TUGAS TERHADAP
INTENSITAS BELAJAR AGAMA SISWA DI SMK NEGERI
PURWODADI KAB. GROBOGAN”, karya NUR JAMALAH (4195118)
tahun 2001. Dalam kajian judul tersebut menekankan pada “Pemberian
tugas yang diberikan guru terhadap siswa pada mata pelajaran PAI akan
menumbuhkan tanggung jawab siswa untuk belajar secara optimal dan
sungguh-sungguh”. Hasil dari penelitian ini yaitu pemberian tugas yang
diberikan guru kepada siswa termasuk kategori yang baik. Begitu juga
99 Thursan hakim,op. cit., hlm.19-20 100 Ibid., hlm. 20.
39
keadaan intensitas belajar agama siswa termasuk kategori yang baik. Jadi
pemberian tugas berpengaruh terhadap intensitas belajar agama siswa. Hal
ini dibuktikan dengan data statistik yang signifikan, artinya ada korelasi
positif antara pemberian tugas dengan intensitas belajar agama siswa di
SMK Negeri Purwodadi Kab. Grobogan dan ada korelasi yang signifikan
antara pemberian tugas dengan intensitas belajar agama siswa. Sedangkan
skripsi yang penulis bahas adalah intensitas belajar pada pelajaran
Pendidikan Agama Islam, baik di sekolah maupun di rumah dalam upaya
meningkatkan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Pendidikan
Agama Islam.
2. Judul skripsi tentang “STUDI KOMPARASI TENTANG
KEBERAGAMAAN SISWA YANG MEMPUNYAI NILAI PAI DI
BAWAH DAN DI ATAS RATA-RATA DI SLTP N I DEMPET KAB.
DEMAK”. Karya QORI’AH (4196095) tahun 2001. Dalam kajian judul
tersebut menekankan pada “Kualitas keagamaan yang dimiliki siswa baik
itu kesadaran diri melakukan ritual keagamaan maupun pengaruh dari luar
dirinya (lingkungan) mempengaruhi nilai PAI. Adanya realita bahwa nilai
merupakan sentral perhatian siswa dalam proses belajar mengajar dan
sekaligus dapat dijadikan indikator keberhasilan belajar PAI, sehingga
kualitas keberagamaan siswa yang mempunyai nilai PAI di atas rata-rata
lebih baik daripada siswa yang mempunyai nilai PAI di bawah rata-rata”.
Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan keberagamaan siswa yang
mempunyai nilai di atas rata-rata baik dan siswa yang mempunyai nilai di
bawahnya. Nilai merupakan salah satu faktor yang dapat, mempengaruhi
keberagamaan siswa secara tidak langsung, nilai dapat mempengaruhi
keberagamaan siswa bila dalam faktor lingkungan yaitu lingkungan
sekolah. Keberagamaan antara siswa yang mempunyai nilai PAI di bawah
dan di atas rata-rata ada perbedaan yang signifikan di SLTP Negeri I
Dempet Kab. Demak. Sedangkan skripsi yang penulis bahas adalah
tingkat keberagamaan siswa yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari
pengaruhnya terhadap prestasi belajar PAI yang tidak hanya sekedar
40
mempelajari materinya saja tetapi harus di praktikan, untuk meningkatkan
prestasi belajar PAI.
C. Pengajuan Hipotesis
Hipotesis adalah dugaan yang mungkin benar mungkin juga salah.101
Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto, hipotesis adalah suatu jawaban yang
bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui
data yang terkumpul.102 Karena hipotesis merupakan dugaan atau jawaban
sementara terhadap permasalahan yang diajukan. Maka berdasarkan judul
yang peneliti ajukan, dapat diambil hipotesis sebagai berikut :
1. Terdapat pengaruh antara intensitas belajar terhadap prestasi belajar PAI di
SMP Negeri I Pagentan Banjarnegara.
2. Terdapat pengaruh antara tingkat keberagamaan terhadap prestasi belajar
PAI di SMP Negeri I Pagentan Banjarnegara.
3. Terdapat pengaruh antara intensitas belajar dan tingkat keberagaman siswa
terhadap prestasi belajar PAI di SMP Negeri I Pagentan Banjarnegara.
101 Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid I, (Yogyakarta : Andi Offset, 1990), hlm.
63. 102 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1998), cet. II, hlm. 67.