BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga...

26
BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevan Penelitian yang telah dilaksanakan oleh Ipit Dyarini Purnomo tahun 2002, dengan judul Kajian Pragmatik Wacana Kartun Pak Bei Terbitan Suara Merdeka Periode Februari Mei 2001 dilakukan untuk mendeskripsikan bentuk kepragmatikan wacana kartun Pak Bei. Bentuk tersebut berupa tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi, presuposisi, implikatur, entailment, prinsip kerja sama, dan prinsip kesopanan. Dari segi tipe wacana, wacana kartun Pak Bei merupakan wacana kartun dialog karena menampilkan sekurang kurangnya dua tokoh yang berinteraksi secara verbal. Sri Elsita Lisan Ningrum pada tahun 2005 melakukan penelitian yang berjudul Analisis Kohesi Wacana Kartun Majalah Bobo, dia menyimpulkan bahwa terdapat beberapa penanda kohesi pada wacana kartun majalah bobo, diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti, penanda kohesi subsitusi / penggantian, penanda kohesi ellipsis / pelesapan, penanda kohesi konjungsi / perangkai, dan penanda kohesi leksikal. Pada setiap penanda tersebut datanya dijabarkan secara jelas dan rinci. Penelitian berikutnya dilakukan oleh Entin Atikasari tahun 2012, dengan berjudul Kesantunan Berbahasa Dalam Acara Diskusi “Indonesia Lawyers Club” di Stasiun TV ONE. Penelitian tersebut dilakukan untuk mendeskripsikan kepatuhan prinsip kesantunan berbahasa, penyimpangan 13 Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga...

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

13

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang telah dilaksanakan oleh Ipit Dyarini Purnomo tahun

2002, dengan judul Kajian Pragmatik Wacana Kartun Pak Bei Terbitan Suara

Merdeka Periode Februari – Mei 2001 dilakukan untuk mendeskripsikan

bentuk kepragmatikan wacana kartun Pak Bei. Bentuk tersebut berupa tindak

tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi, presuposisi, implikatur, entailment, prinsip

kerja sama, dan prinsip kesopanan. Dari segi tipe wacana, wacana kartun Pak

Bei merupakan wacana kartun dialog karena menampilkan sekurang –

kurangnya dua tokoh yang berinteraksi secara verbal.

Sri Elsita Lisan Ningrum pada tahun 2005 melakukan penelitian yang

berjudul Analisis Kohesi Wacana Kartun Majalah Bobo, dia menyimpulkan

bahwa terdapat beberapa penanda kohesi pada wacana kartun majalah bobo,

diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti, penanda kohesi subsitusi /

penggantian, penanda kohesi ellipsis / pelesapan, penanda kohesi konjungsi /

perangkai, dan penanda kohesi leksikal. Pada setiap penanda tersebut datanya

dijabarkan secara jelas dan rinci.

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Entin Atikasari tahun 2012,

dengan berjudul Kesantunan Berbahasa Dalam Acara Diskusi “Indonesia

Lawyers Club” di Stasiun TV ONE. Penelitian tersebut dilakukan untuk

mendeskripsikan kepatuhan prinsip kesantunan berbahasa, penyimpangan

13

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

14

prinsip kesantunan berbahasa, serta tingkat kesantunan berbahasa dalam acara

diskusi “Indonesia Lawyers Club” di stasiun TV ONE. Dari hasil penelitian

tersebut diharapkan kesantunan berbahasa seseorang di mana pun, kapan pun,

dan dengan siapapun harus dijaga, sehingga komunikasi yang harmonis akan

tetap terjaga.

Penelitian yang peneliti lakukan dengan judul “Pelanggaran Prinsip

Kesantunan di dalam Wacana Kartun Terbitan Kompas Periode Oktober –

Desember 2013” bertujuan untuk mendeskripsikan pelanggaran prinsip

kesantunan berbahasa di dalam wacana kartun terbitan Kompas periode

Oktober – Desember 2013 yang meliputi (1) maksim kebijaksanaan (tact

maxim), (2) maksim kedermawanan (generosity maxim), (3) maksim

penghargaan (approbation maxim), (4) maksim kesederhanaan (modesty

maxim), (5) maksim pemufakatan (agreement maxim), dan (6) maksim simpati

(sympath maxim). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penelitian yang

peneliti lakukan berbeda dengan penelitian Ipit Dyarini Purnomo, Sri Elsita

Lisan Ningrum, dan Entin Atikasari. Di dalam bab hasil penelitian, peneliti

akan menjelaskan hasil penelitian dari permasalahan yang ada di atas.

B. Pragmatik

Menurut Leech (2011: 5) pragmatik sebagai pokok bahasan utama

dalam buku yang menyelidiki makna dalam konteks penggunaan bahasa dan

bukan makna sesuatu yang abstrak. Sementara itu Yule (2006: 3)

mengemukakan bahwa pragmatik adalah studi tentang maksud penutur yang

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

15

ditafsirkan oleh pendengar. Sebagai akibatnya, studi ini lebih banyak

berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan

tuturan – tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang

digunakan dalam tuturan itu sendiri. Sedangkan Levinson (dalam Rahardi,

2005: 48) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari

relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan

terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas, penulis menyimpulkan

bahwa pragmatik dapat diartikan sebagai kajian penggunaan bahasa dalam

konteks yang mendasari penjelasan mengenai makna bahasa dalam

hubungannya dengan konteks penggunaan bahasa. Pragmatik berkaitan dengan

ilmu lain sehingga menghasilkan beberapa kajian. Seluruh bidang kajian ini

berpokok pada penggunaan bahasa dalam konteks.

C. Kesantunan Berbahasa

1. Pengertian Kesantunan Berbahasa

Lakoff (dalam Eelen, 2006: 2) mendefinisikan kesantunan sebagai

sistem hubungan interpersonal yang dirancang untuk mempermudah interaksi

dengan memperkecil potensi bagi terjadinya konflik dan konfrontasi yang

selalu ada dalam semua pergaulan manusia. Dari hubungan tersebut, orang

dapat memahami maksud satu sama lain di luar kata – kata harfilah yang

diucapkan. Namun demikian, dalam percakapan informal biasa, seseorang akan

berusaha mengkomunikasikan pesan secara langsung. Jika tujuan utamanya

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

16

dalam berbicara adalah komunikasi, maka ia akan berusaha berbicara dengan

jelas, sehingga tidak ada yang salah dalam memahami maksudnya.

Tujuan utama kesantunan penutur adalah untuk memberikan arah di

antara masing – masing status para partisipan dalam wacana yang

menunjukkan di mana masing – masing dalam perkiraan penutur akan berupa

pencapaian kejelasan yang lebih kecil daripada ekspresi kesantunan sebagai

lawannya. Dengan demikian, jika penutur sangat jelas, maka mungkin mereka

sedang berusaha untuk tidak melakukan sesuatu yang membuat orang marah.

Sebab, sebuah tuturan dapat dikatakan santun apabila tuturan itu tidak

terdengar memaksa atau angkuh sehingga lawan tutur merasa tenang.

2. Prinsip Kesantunan Berbahasa Leech

Prinsip kesantunan (politiness principle) berkenaan dengan aturan

tentang hal – hal yang bersifat sosial, estetis, dan moral di dalam bertindak

tutur. Leech (Rahardi, 2005: 59) merumuskan prinsip kesantunan yang sampai

saat ini dianggap paling lengkap, paling mapan, dan relatif paling

komprehensif. Rumusan itu selengkapnya tertuang dalam enam maksim

interpersonal sebagai berikut : (1) maksim kebijaksanaan (tact maxim), (2)

maksim kedermawanan (generosity maxim), (3) maksim penghargaan

(approbation maxim), (4) maksim kesederhanaan (modesty maxim), (5) maksim

pemufakatan (agreement maxim), dan (6) maksim simpati (sympath maxim).

g. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)

Prinsip kesantunan maksim kebijaksanaan memuat saran agar penutur

membuat kerugian orang lain sekecil mungkin dan membuat keuntungan orang

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

17

lain sebesar mungkin. Tuturan impositif dan komisif lazim digunakan untuk

menyatakan tuturan yang mematuhi maksim ini. Apabila penutur menyimpang

dari saran yang ada, penutur dapat dikatakan melanggar maksim kebijaksanaan.

Tindakan ini dapat dinilai berdasarkan anggapan apakah tindakan tersebut

menguntungkan atau merugikan. Namun setiap peserta tutur untuk

meminimalkan kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan orang lain

(Rahardi, 2005: 60). Sementara itu, Oka (2011: 116) mendefinisikan maksim

kebijaksanaan atau yang disebut maksim kearifan mengacu pada tindakan yang

akan dilaksanakan oleh penutur (komisif) atau oleh petutur (direktif). Tindakan

ini dapat disebut dan dapat dinilai berdasarkan anggapan tindakan tersebut

menguntungkan atau merugikan.

Dari dua pendapat para ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa

maksim kebijaksanaan dapat diartikan sebagai suatu tuturan yang mengacu

pada tindakan yang dilaksanakan oleh penutur kepada mitra tutur. Tindakan

penutur agar mengurangi kerugian orang lain atau mitra tuturnya dan

menambahkan keuntungan orang lain sebanyak mungkin. Berikut ini contoh

tuturan (1) B mematuhi prinsip kesantunan, sedangkan tuturan (2) B melanggar

maksim kebijaksanaan :

(1) A : Mari, saya antarkan Anda ke kampus.

B : Jangan, tidak usah!

(2) A : Mari, saya antarkan Anda ke kampus.

B : Asyik, itu baru namanya sahabat yang baik!

Dalam tuturan (1) B mematuhi maksim kebijaksanaan karena penutur

meminimalkan kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan pada

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

18

mitra tutur. Pemaksimalan keuntungan pada mitra tutur tampak pada tuturan (1)

B, yakni Jangan, tidak usah!. Tuturan itu disampaikan sekalipun penutur

sebenarnya membutuhkan kendaraan agar segera sampai ke kampus.

Sebaliknya pada tuturan (2) B memaksimalkan kerugian orang lain dan

meminimalkan keuntungan pada mitra tutur. Peminimalan keuntungan bagi

mitra tutur tampak pada tuturan, yakni Asyik, itu baru namanya sahabat yang

baik!. Tuturan tersebut disampaikan sekalipun jarak masih dapat dijangkau

dengan berjalan kaki. Penyimpangan penutur dari saran maksim kebijaksanaan

dapat dinilai berdasarkan tindakan menguntungkan atau merugikan.

h. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)

Menurut Rahardi (2005: 61) tentang prinsip kesantunan maksim

kedermawanan ini terbagi dalam ujaran impositif dan komisif yaitu buatlah

keuntungan kepada diri sendiri sekecil mungkin dan buatlah kerugian diri

sendiri sebesar mungkin. Tuturan maksim ini mewajibkan setiap peserta tutur

untuk meminimalisir keuntungan diri sendiri sekecil mungkin dan

memaksimalkan kerugian diri sendiri sebesar mungkin. Begitu ditekannya sifat

kedermawanan itu, penutur harus merelakan keuntungan yang maksimal berada

pada mitra tuturnya. Dengan demikian tuturan dapat dikatakan melanggar

prinsip kesantunan maksim kedermawanan apabila penutur tidak

meminimalkan keuntungan kepada diri sendiri dan tidak memaksimalkan pihak

lain.

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

19

Apabila setiap orang melaksanakan inti pokok maksim kedermawanan

ini dalam ucapan dan perbuatan sehari – hari, maka kedengkian, iri hati, sakit

hati antara sesama dapat terhindar. Perlu disadari bahwa dalam praktiknya

terdapat aspek bilateral dalam tindak ujar impositif dan komisif. Bilateral

berarti bahwa dalam praktiknya sedikit sekali manfaatnya membedakan yang

„terpusat pada orang lain‟ dalam maksim kebijaksanaan dari „yang berpusat

pada diri sendiri‟, pada maksim kedermawanan Tarigan (2009: 77).

Dari pendapat dua para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa maksim

kedermawanan memberi penghormatan terhadap orang lain apabila orang dapat

mengurangi keuntungan untuk dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan

bagi pihak lain. Dalam prakteknya sedikit manfaat untuk membedakan terpusat

pada orang lain dan berpusat pada diri sendiri sehingga tidak perlu lagi

dibedakan. Tuturan (3) B berikut ini memenuhi maksim kedermawanan,

sedangkan tuturan (4) B melanggar.

(3) A : Tulisanmu sangat rapi.

B : Saya kira biasa saja, Pak.

(4) A : Tulisanmu sangat rapi.

B : Siapa dulu?

Tuturan (3) B mematuhi maksim kedermawanan karena penutur mengurangi

keuntungan diri sendiri sekecil mungkin. Kesantunan pembicara yang

dilakukan dengan bahasa tutur untuk membuat kerugian sebesar mungkin.

Keuntungan yang dilakukan penutur sementara itu, tuturan (4) B sebaliknya,

membuat keuntungan kepada diri sendiri sebesar mungkin dan membuat

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

20

kerugian diri sendiri sekecil mungkin. Dalam tuturan pembicara terlihat

berusaha memaksimalkan keuntungan untuk dirinya sendiri tanpa memperoleh

kerugian yang didapatkannya.

i. Maksim Penghargaan (Approbation Maxim)

Prinsip kesantunan ini diungkapkan dalam ilokusi – ilokusi ekspresif

dan asertif yaitu kurangilah cacian pada orang lain dan tambahkan pujian pada

orang lain. Dengan demikian, maksim ini berkenaan dengan masalah

penjelekan dan pujian kepada pihak lain. Apabila penutur tidak meminimalkan

penjelekan kepada pihak lain dan tidak memaksimalkan pujian kepada pihak

lain,tuturannya dapat dikatakan sebagai tuturan yang melanggar maksim

penghargaan (Rahardi, 2005: 62). Sementara itu, Oka (2011: 211)

menyebutkan bahwa nama lain yang kurang baik, yakni, „Maksim Rayuan‟

tetapi istilah „rayuan‟ biasanya digunakan untuk pujian yang tidak tulus. Dalam

aspeknya yang lebih negatif lagi, maksim ini melarang orang untuk berkata

yang tidak menyenangkan mengenai orang lain terutama tentang penyimak.

Kesimpulan yang peneliti ambil dari dua pendapat ahli di atas yaitu

penutur dituntut untuk dapat meminimalkan penjelekan kepada pihak lain dan

memaksimalkan pujian kepada pihak lain. Seseorang dilarang berkata kurang

menyenangkan mengenai orang lain, terutama orang itu seorang penyimak.

Ketika dalam hal memberikan pujian kepada pihak lain itu tidak tulus maka

pujian itu merupakan sebuah rayuan. Tuturan (5) B berikut ini mematuhi

maksim penghargaan, sebaliknya tuturan (6) B melanggar.

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

21

(5) A : Maaf Pak, lantainya kotor.

B : Terlalu bersih, sampai – sampai saya takut menginjaknya.

(6) A : Maaf Pak, lantainya kotor.

B : Ya, memang lantai rumah ini tidak sebersih lantai rumah saya.

Dalam tuturan (5) B mematuhi maksim penghargaan karena penutur

mengurangi cacian pada orang lain dan menambahkan pujian pada orang lain

sebanyak mungkin. Tuturan memaksimalkan pujian pada orang lain tersebut

dituturkan saat ia berkunjung dan mendapati lantai yang bersih sehingga ia

takut untuk menginjak lantai itu. Sebaliknya, tuturan (6) B melanggar maksim

ini karena menambah cacian pada orang lain dan mengurangi pujian pada orang

lain. Penyimpangan tuturan ditentukan berdasarkan pujian terhadap orang lain

yang sesedikit mungkin atau yang dilakukan dengan tidak tulus. Dari tuturan

“tidak sebersih lantai rumah saya” menggambarkan bahwa lantai rumah mitra

tutur memang kotor apabila dibandingkan dengan lantai rumah penutur.

j. Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim)

Prinsip kesantunan maksim kesederhanaan ini diungkapkan dalam

ilokusi – ilokusi ekspresif dan asertif yaitu kurangilah pujian pada diri sendiri

dan tambahkan cacian pada diri sendiri. Hal ini terlihat dari kata yang

menggambarkan kesederhanaan atau sikap yang tidak sombong. Penutur

berusaha semaksimal mungkin agar tuturannya tidak terkesan menyombongkan

diri. Tuturan dapat dikatakan melanggar prinsip kesantunan maksim

kesederhanaan apabila tuturan tidak meminimalkan pujian kepada diri sendiri

dan tidak memaksimalkan penjelekan kepada diri sendiri (Rahardi, 2005: 64).

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

22

Menurut Oka (2011: 214) maksim kesederhanaan tampak dalam

bentuk – bentuk asimetris. Akan tetapi, terkadang maksim kesederhanaan

berkonflik dengan maksim – maksim yang lain, dan bila demikian salah satu

maksim harus diberi prioritas. Dari dua pendapat para ahli maka penulis

menyimpulkan bahwa maksim kesederhanaan yaitu tuturan yang

meminimalkan pujian kepada diri sendiri dan memaksimalkan penjelekan

kepada diri sendiri. Namun untuk menghindari konflik maka maksim

kesederhanaan perlu adanya prioritas lebih. Seperti contoh tuturan (7) dan (8)

berikut ini mematuhi maksim kesederhanaan, sebaliknya tuturan (9) dan (10)

melanggar.

(7) Maaf, saya ini orang biasa saja. (8) Sulit bagi saya untuk memiliki mobil sebagus itu. (9) Saya ini orang kaya raya. (10) Hanya saya yang dengan mudah memiliki mobil sebagus itu.

Tuturan (7) dan (8) mematuhi maksim kesederhanaan karena tuturan – tuturan

itu memaksimalkan penjelekan kepada diri sendiri dan meminimalkan pujian

kepada diri sendiri. Dari penjelekan yang disebutkan, penutur tidak

menampakkan kesombongannya akan tetapi dia berusaha untuk bertutur

serendah mungkin dari kenyataan. Sementara itu, tuturan (9) dan (10)

melanggar maksim ini karena tuturannya memaksimalkan pujian kepada diri

sendiri dan meminimalkan penjelekan kepada diri sendiri. Pengucapan tuturan

diri sendiri yang ditunjukan kepada diri kita sendiri pula dengan tidak

sependapat atas pujian orang lain akan mengesankan bahwa tuturan itu

melebih - lebihkan.

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

23

k. Maksim Permufakatan (Agreement Maxim)

Prinsip kesantunan pada maksim ini diungkapkan dalam ilokusi asertif

yaitu kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain dan

tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. Tuturan asertif

lazim digunakan untuk menyatakan kepatuhan penutur terhadap maksim ini.

Sebaliknya, tuturan dapat dikatakan tidak santun atau melanggar prinsip

kesantunan maksim permufakatan apabila tuturan tidak meminimalkan

ketidaksesuaian antara diri sendiri dan pihak lain dan tidak memaksimalkan

persesuaian antara diri sendiri dan pihak lain (Rahardi, 2005: 64). Hal ini

senada dengan pendapat Chaniago (2011: 119), yakni usahakan agar

ketaksepakatan antara diri dan yang lain atau antara pembicara dan lawan

bicara terjadi sesedikit mungkin dan membuat kesepakatan antara diri dan yang

lain terjadi sebanyak mungkin.

Dari dua pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa maksim

permufakatan ditekankan agar para penutur dan mitra tutur dalam kegiatan

bertutur dapat saling membina kemufatakan atau kecocokan. Dari usaha

penutur tersebut maka ketaksepakatan antara diri dengan orang lain dapat

terjadi sesedikit mungkin. Berikut tuturan (11) B mematuhi maksim

permufakatan, sebaliknya tuturan (12) B melanggar.

(11) A : Bagaimana kalau lemari ini kita pindah?

B : Saya setuju sekali.

(12) A : Bagaimana kalau lemari ini kita pindah?

B : Jangan, sama sekali saya tidak setuju.

Tuturan (11) B mematuhi maksim permufakatan karena mengurangi

ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. Tuturan “Saya setuju

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

24

sekali” dituturkan oleh seorang yang menyatakan kesetujuan atas pendapat

mitra tutur sehingga tuturan yang diucapkan menyesuaikan antara dirinya

dengan orang lain. Sementara itu, tuturan (12) B melanggar maksim

permufakatan karena menambah ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan

orang lain dan menurunkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.

Penuturan Jangan, sama sekali saya tidak setuju yang diucapkan penutur pada

pihak lain menunjukkan tidak adanya kesepakatan atas pendapat yang sudah

diajukan penutur (12) A.

l. Maksim Kesimpatisan (Sympath Maxim)

Menurut Rahardi (2005: 65) prinsip kesantunan maksim simpati ini

diungkapkan dalam ilokusi asertif yaitu kurangilah rasa antipati antara diri

dengan pihak lain hingga sekecil mungkin dan tingkatkan rasa simpati

sebanyak-banyaknya antara diri dan pihak lain. Kedua hal tersebut sebagai

saran atau rambu – rambu bagi penutur agar tuturannya santun. Karena

menekankan peminimalan antipati dan pemaksimalan simpati antara diri

sendiri dan pihak lain, penutur harus dengan tulus bersimpati kepada mitra

tuturnya atau pihak lain. Dengan demikian, yang dimaksud wacana yang

melanggar prinsip kesantunan maksim simpati adalah wacana yang

meningkatkan antipati antara diri sendiri dengan pihak lain sebanyak –

banyaknya dan mengurangi rasa simpati antara diri sendiri dengan pihak lain

sekecil mungkin. Tuturan (13) B berikut ini mematuhi maksim simpati,

sebaliknya tuturan (14) B melanggar :

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

25

(13) A : Hari ini saya sukses dalam ujian skripsi.

B : Saya turut bahagia atas kesuksesan kamu dalam ujian skripsi.

(14) A : Tuan, saya belum makan.

B : Semua orang membutuhkan makan.

Tuturan (13) B mematuhi maksim simpati karena meningkatkan rasa simpati

sebanyak – banyaknya antara diri dan pihak lain. Tuturan itu dituturkan oleh

seorang mahasiswa kepada temannya pada saat temannya telah menyelesaikan

ujian skripsinya dengan sukses. Sebaliknya, tuturan (14) B melanggar maksim

simpati karena meningkatkan rasa antipati penutur sebanyak – banyaknya dan

mengurangi rasa simpati sekecil mungkin antara penutur dengan pihak lain.

Pelanggaran pada tuturan “Semua orang membutuhkan makan” terjadi ketika

penutur 14 (A) meminta makanan, namun penutur (B) justru bertutur dengan

rasa antipati yang tinggi. Dengan demikian, tuturan (13) B merupakan tuturan

yang mematuhi prinsip kesantunan maksim. Sedangkan tuturan (24) B

merupakan tuturan yang tidak atau kurang santun.

Terkait dengan prinsip kesantunan, di dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan maksim – maksim prinsip kesantunan yang dikemukakan Leech

sebagai acuan. Sebab, istilah – istilah yang dicipta oleh Leech lebih mudah

dipahami oleh orang banyak dan lebih tepat digunakan untuk judul penelitian

yang telah peneliti pilih. Dalam kemudahan memahami istilah dapat

ditunjukkan dengan sopan, santun kepada pihak lain dari pihak yang tidak hadir

dalam situasi tuturan.

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

26

D. Konteks

Konteks adalah bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat

mendukung atau menambah kejelasan makna situasi yang ada hubungannya

dengan suatu kejadian. Sementara Preston (dalam Supardo, 2000: 46)

menjelaskan bahwa yang dimaksud konteks adalah seluruh informasi yang

berada di sekitar pemakaian bahasa, bahkan termasuk juga pemakaian bahasa

yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, hal – hal seperti situasi, jarak tempat

dapat merupakan konteks pemakaian bahasa. Di dalam pemakaian bahasa

konteks sangat penting karena dapat menentukan makna dan maksud suatu

ujaran.

Pendekatan umum terhadap kajian bahasa adalah suatu pendekatan

yang memberi tekanan pada konteks sosial, yaitu pada fungsi sosial yang

menentukan bentuk bahasa dan bagaimana perkembangannya. (Halliday, 1994: 3).

Selanjutnya, menurut Hymes (dalam Brown dan Yule, 1996: 39) menyebutkan

bahwa ciri – ciri konteks sebagai berikut : (1) pembicara dan mitra bicara

(participant), (2) topik (topic), (3) latar (setting), (4) saluran (channel), (5)

kode (code), (6) bentuk pesan (message form), (7) peristiwa (event), (8) kunci

(key), dan (9) tujuan (purpose).

1. Pembicara dan Mitra Bicara (Participant)

Pembicara adalah penutur atau penulis yang membuat ujaran,

sedangkan mitra bicara adalah pendengar atau pembaca yang menjadi penerima

ujaran. Dengan demikian, pengetahuan tentang pembicara dan mitra bicara

pada peristiwa komunikatif tertentu memungkinkan penganalisis

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

27

membayangkan apa yang mungkin akan dikatakan oleh seseorang. Dalam hal

ini pengetahuan tentang latar belakang partisipan (penutur dan pendengar) pada

suatu situasi akan memudahkan penganalisis menginterpretasikan maksud

penuturnya (Brown dan Yule, 1996: 39). Sementara itu, Moeliono (dalam

Mulyana, 2005: 23) peserta tuturan yaitu orang – orang yang terlibat dalam

percakapan, baik langsung maupun tidak langsung. Hal – hal yang berkaitan

dengan partisipan, seperti usia, pendidikan, latar sosial, dsb juga menjadi

perhatian.

2. Topik (Topic)

Topik adalah apa yang dibicarakan oleh pembicara dan mitra bicara.

Dengan demikian, topik akan memudahkan seseorang untuk menangkap dan

memahami pembicaraan atau tulisan karena banyak kata yang mempunyai

makna lain di dalam bidang – bidang tertentu. Di samping itu, dengan

mengetahui topik pembicaraan, pendengar akan sangat mudah memahami

isi wacana, sebab topik pembicaraan yang berbeda akan menghasilkan bentuk

wacana yang berbeda pula (Brown dan Yule, 1996: 39).

3. Latar (Setting)

Latar (setting) adalah waktu, tempat pembicaraan itu dilakukan,

termasuk hubungan fisik orang yang berinteraksi berkenaan dengan sikap

tubuh, gerakan tangan, dan air muka. Tempat lebih banyak berpengaruh pada

peristiwa tutur lisan tatap muka sedangkan keadaan psikologis partisipan

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

28

disamping berpengaruh pada peristiwa tutur lisan juga banyak berpengaruh

pada peristiwa tutur tulis. Di pasar, orang akan menggunakan bahasa yang

berbeda dengan bahasa di masjid atau gereja; bahasa dalam situasi resmi

berbeda dengan bahasa dalam situasi tidak resmi (Brown dan Yule, 1996: 40).

Sementara itu, Moeliono (dalam Mulyana, 2005: 23) mengartikannya latar

suasana. Latar (setting) lebih bersifat fisik, yang meliputi tempat dan waktu

terjadinya tuturan. Sementara scene adalah latar psikis yang lebih mengacu

pada suasana psikis yang lebih mengacu pada suasana psikologis yang

menyertai peristiwa tuturan.

4. Saluran (Channel)

Saluran (channel) adalah bagaimana hubungan antara para peserta di

dalam peristiwa tutur, misalnya dengan wicara, tulisan, tanda – tanda atau

tanda – tanda asap. Untuk menyampaikan informasi, seorang penutur dapat

mepergunakan saluran dengan bahasa tuturan atau tulisan. Tuturan dibangun

berdasarkan kontruksi yang utuh dalam satu wacana yang lebih luas. Jika

kontruksi tersebut digambarkan dalam satu wacana, maka akan tampak suatu

kesatuan makna yang menyeluruh, sehingga muncul hubungan antara

pragmatik dengan semantik (Brown dan Yule, 1996: 41).

5. Kode (Code)

Kode (code) adalah bahasa, dialek, atau gaya bahasa yang digunakan

dalam interaksi. Kode dipilih diantara salah satu dialek bahasa yang ada. Atau

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

29

bisa juga memakai salah satu register (ragam) bahasa yang paling tepat.

Pemilihan kode ini dimaksudkan untuk kesenangan penutur maupun

pendengar. Akan sangat ganjil jika ragam bahasa baku dipakai untuk tawar-

menawar barang di pasar (Brown dan Yule, 1996: 40).

6. Bentuk Pesan (Message Form)

Bentuk pesan (message form) adalah bentuk yang dimaksudkan,

apakah obrolan, perdebatan, khotbah, dongeng, sonata, surat cinta, dan

sebagainya. Banyak pesan yang tidak sampai kepada si pendengar karena jika

pendengarnya bersifat umum dan dari berbagai lapisan masyarakat maka harus

dipilih bentuk pesan yang bersifat umum. Sebaliknya, jika pendengar kelompok

yang bersifar khusus atau hanya dari satu lapisan masyarakat tertentu, bentuk

pesan haruslah bersifat khusus. Isi dan bentuk pesan harus sesuai karena

apabila keduanya tidak sesuai maka pesan atau informasi yang disampaikan

akan susah dicerna oleh pendengar (Brown dan Yule, 1996: 40). Sementara itu,

Moeliono (dalam Mulyana, 2005: 23) pesan / amanat, terdiri dari bentuk pesan

(message form) dan isi pesan (message content). Dalam kajian pragmatik,

bentuk pesan meliputi; lokusi, ilokusi, dan perlokusi.

7. Peristiwa (Event)

Peristiwa (event) adalah sifat peristiwa komunikatif yang di dalamnya

mungkin disisipkan suatu genre, jadi khotbah atau doa yang mungkin

merupakan bagian dari peristiwa yang lebih besar, misalnya kebaktian di

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

30

gereja. Peristiwa tutur yang dimaksud disini adalah peristiwa tutur tertentu

yang mewadahi kegiatan bertutur. Setiap peristiwa akan berbeda cara

penuturannya karena peristiwa selalu menghendaki tuturan tertentu. Sesuai

dengan konteks situasinya, suatu peristiwa tutur mungkin akan lebih tepat

diantarkan dengan bahasa yang satu sedangkan peristiwa tutur yang lain lebih

cocok diantarkan dengan bahasa yang lain (Brown dan Yule, 1996: 41).

8. Kunci (Key)

Kunci (key) adalah nada suara dan ragam bahasa yang digunakan

dalam menyampaikan pendapatnya dan cara mengemukakan pendapatnya.

Kunci ini melibatkan evaluasi, apakah itu khotbah yang baik, apakah sudah

menggunakan ragam bahasa yang tepat. Hal ini menyebabkan evaluasi

mengenai tuturan dapat dilakukan lebih spesifik lagi dapat lebih spesifik lagi

dalam pembahasannya. (Brown dan Yule, 1996: 41). Sedangkan menurut

Moeliono (dalam Mulyana, 2005: 23) key, meliputi cara, nada, sikap, atau

semangat dalam melakukan percakapan. Semangat percakapan antara lain,

misalnya serius, santai, akrab.

9. Tujuan (Purpose)

Tujuan (purpose) adalah hasil akhir dalam komunikasi antara

pembicara dan mitra bicara. Tujuan komunikasi itu akan menunjukkan ke arah

pembicaraan yang dilakukan oleh si penutur. Dalam komunikasi pembicaraan

yang dilakukan oleh penutur antara pembicara dan mitra bicara haruslah terarah

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

31

agar tidak kelewat tentang isi pembicaraan dari luar jalur akhir yang akan

dituju (Brown dan Yule, 1996: 41). Sementara itu, Moeliono (dalam Mulyana,

2005: 23) end, hasil yaitu hasil atau tanggapan suatu pembicaraan yang

memang diharapkan oleh penutur (ends as outcomens), dan tujuan akhir

pembicaraan itu sendiri (ends in view goals).

Dengan lengkapnya ilmu dan pengetahuan seseorang tentang ciri – ciri

konteks tersebut maka interpretasi yang telah dipahami pelaku ilmu dan

pengetahuan terhadap sebuah makna wacana akan dirasakan lebih tepat.

Namun apabila semakin kurang ilmu dan pengetahuan yang dimiliki pelaku

tentang ciri – ciri konteks maka menjadi kurang tepat pula interpretasinya itu

terhadap makna sebuah wacana (Brown dan Yule, 1996: 41).

E. Wacana

1. Pengertian Wacana

Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki

gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau berarti terdapat konsep,

gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang biasa dipahami oleh pembaca (dalam

wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan). Sebagai satuan gramatikal

yang tertinggi atau terbesar, wacana itu dibentuk dari kalimat atau kalimat –

kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan

lainnya (Chaer, 2007 : 267).

Sementara menurut Norman Fairclough (dalam Sumarlam, 2003: 12),

wacana adalah pemakaian bahasa tampak sebagai sebuah bentuk praktik sosial

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

32

mengenai bagaimana teks bekerja atau berfungsi dalam praktik sosial budaya.

Analisis seperti itu mengutamakan perhatian pada bentuk struktur, dan

organisasi tekstual pada semua tataran fonologis, gramatikal, leksikal

(kosakata) dan tataran yang lebih tinggi dari organisasi tekstual yang berkenaan

dengan sistem perubahan (pembagian giliran percakapan), struktur argumentasi

dan struktur umum (tipe aktivitas).

Berdasarkan dua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa wacana

adalah satuan bahasa yang tertinggi dalam hierarki gramatikal yang

menyatakan satu topik tertentu yang disajikan secara teratur dan sistematis

dalam satu kesatuan yang koheren. Satuan kalimat yang koheren merupakan

satuan gramatikal dalam wacana dan kalimat koheren juga merupakan basis

pokok pembentukan wacana. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk kata,

kalimat, paragraf, atau karangan utuh sehingga menjadi sebuah buku, yang

membawa amanat lengkap.

2. Jenis – Jenis Wacana

Klasifikasi atau pembagian wacana sangat tergantung pada aspek dan

sudut pandang yang digunakan. Itu sebabnya, klasifikasi diperlukan untuk

memahami, mengurai, dan menganalisis wacana secara tepat. Ketika analisis

dilakukan, perlu diketahui terlebih dahulu jenis wacana yang dihadapi.

Pemahaman ini sangat penting agar proses pengkajian, pendekatan, dan teknik

– teknik analisis wacana yang digunakan tidak keliru. Menurut Mulyana (2005:

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

33

47), wacana dapat dipilah atas dasar beberapa segi, yaitu : a) media

penyampaian, dan b) sifat.

a. Berdasarkan Media Penyampaian

1) Wacana Tulis

Menurut Mulyana (2005: 51) wacana tulis (written discourse) adalah

jenis wacana yang disampaikan melalui tulisan. Berbagai bentuk wacana

sebenarnya dapat di-presentasikan atau direalisasikan melalui tulisan. Sampai

saat ini, tulisan masih merupakan media yang sangat efektif dan efisien untuk

menyampaikan berbagai gagasan, wawasan, ilmu pengetahuan, atau apapun

yang dapat mewakili kreativitas manusia.

2) Wacana Lisan

Wacana lisan (spoken discourse) adalah jenis wacana yang

disampaikan secara lisan atau langsung dengan bahasa verbal. Jenis wacana ini

sering disebut sebagai tuturan (speech) atau ujaran (utterance). Untuk dapat

menerima dan memahami wacana lisan, maka sang penerima harus menyimak

atau mendengarkannya. Di dalam wacana lisan terjadi komunikasi secara

langsung antara pembicara dengan pendengar (Mulyana, 2005: 47).

b. Berdasarkan Sifat

1) Wacana Fiksi

Menurut Mulyana (2005: 54) wacana fiksi adalah wacana yang bentuk

dan isinya berorientasi pada imajinasi. Bahasanya menganut aliran konotatif,

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

34

analogis, dan multiinterpretable. Umumnya penampilan dan rasa bahasanya

dikemas secara literer atau estetis. Disamping itu, tidak tertutup kemungkinan

bahwa karya fiksi mengandung fakta, dan bahkan hampir sama dengan

kenyataan. Namun sebagaimana proses kelahiran dan sifatnya karya semacam

ini tetap termasuk dalam kategori fiktif. Wacana fiksi umumnya menganut asas

kebebasan berpuisi dan kebebasan bergramatikal. Dalam hal ini wacana fiksi

dapat dibedakan menjadi tiga jenis; yaitu wacana prosa, wacana puisi, dan

wacana drama.

2) Wacana Nonfiksi

Menurut Mulyana (2005: 54) wacana nonfiksi disebut juga sebagai

wacana ilmiah. Jenis wacana ini disampaikan dengan pola dan cara-cara ilmiah

yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bahasa yang digunakan

bersifat denotatif, lugas, dan jelas. Aspek estetika bukan lagi menjadi tujuan

utama. Secara umum penyampaiannya tidak mengabaikan kaidah-kaidah

gramatika bahasa yang bersangkutan. Beberapa contoh wacana nonfiksi antara

lain adalah laporan penelitian, buku materi perkulaihan, petunjuk

mengoperasikan pesawat terbang, dan sebagainya.

Berdasarkan jenis - jenis wacana di atas, penelitian ini termasuk jenis

wacana tulis dan wacana fiksi. Di dalam penelitian wacana tulis karena sebuah

wacana disampaikan melalui tulisan. Sedangkan penelitian wacana fiksi bentuk

dan isinya berorientasi pada imajinasi yang penampilan dan rasa bahasanya

mengandung fakta yang dikemas secara linier atau estetis.

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

35

F. Kartun

1. Pengertian Kartun

Kartun berasal dari bahasa Inggris cartoon yang diangkat dari bahasa

Italia cartone. Istilah ini muncul setelah tahun 1843 untuk menamai sketsa pada

kertas a lot (siout paper) yang berisi lukisan dinding. Namun sekarang

pengertian kartun menjadi gambar yang bersifat humor atau satire, jadi kartun

merupakan satu wujud ekspresi seni yang bermaksud melucu, menyindir, dan

mengkritik. Ensiklopedi Nasional Indonesia dalam Muslich (2010: 143)

menyebutkan ciri kartun, yaitu pesan atau komentar humoris atau satiris

tentang suatu peristiwa aktual, kartun biasanya berpanel tunggal. Muslich

(2010: 143)

Menurut Sudjana (2005: 58) Kartun adalah penggambaran dalam

bentuk lukisan atau karikatur tentang orang, gagasan atau situasi yang didisain

untuk mempengaruhi opini masyarakat. Walaupun terdapat sejumlah kartun

yang berfungsi untuk membuat orang tersenyum, seperti halnya kartun – kartun

yang dimuat dalam surat kabar. Kartun sebagai alat bantu mempunyai manfaat

penting dalam pengajaran, terutama dalam menjelaskan rangkaian isi bahan

dalam satu urutan logis atau mengandung makna.

Sementara itu, Sadiman (2005: 45) menyatakan bahwa kartun sebagai

salah satu bentuk komunikasi grafis kartun merupakan suatu gambar

interpretatif yang menggunakan simbol – simbol untuk menyampaikan sesuatu

pesan secara cepat dan ringkas atau sesuatu sikap terhadap orang, situasi, atau

kejadian – kejadian tertentu. Kemampuannya besar sekali untuk menarik

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

36

perhatian, mempengaruhi sikap maupun tingkah laku. Kartun biasanya hanya

menangkap esensi pesan yang harus disampaikan dan menuangkannya ke

dalam gambar sederhana. Pembaca sulit memahami kartun tanpa digambar

detail dengan menggunakan simbol – simbol serta karakter yang mudah dikenal

dan dimengerti dengan cepat sehingga pesannya kurang tersampaikan. Itu

sebabnya makna kartun harus mengena, pesan yang besar bisa disajikan secara

ringkas dan kesannya akan tahan lama untuk diingat.

Dari beberapa pendapat di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa

kartun adalah suatu gambar atau serangkaian gambar yang berwujud ekspresi

bernilai seni yang telah didesain seseorang dengan sedemikian rupa untuk

menyampaikan pesan yang berisi sesuatu maksud untuk menyindir, mengkritik

dan melucu yang diekspresikan oleh kartunis atau seseorang kepada para

penikmat kartun maupun kepada para pembaca.

2. Jenis – Jenis Kartun

Sebagai pijakan awal untuk membicarakan kartun di dalam penelitian

ini, peneliti membatasi diri pada kartun yang berkaitan dengan media cetak

saja. Hal ini disebabkan di luar media cetak, masih ada jenis kartun lain yang

sering disebut dengan kartun animasi, yaitu kartun gerak yang dapat disaksikan

melalui tayangan siaran televisi (media elektronik). Menurut Sudarmo (2004:

63), kartun di dalam media cetak terbagi menjadi dua bagian, yaitu kartun

editorial (editorial cartoon) dan kartun bebas atau humor (gag cartoon).

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 25: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

37

a. Kartun Editorial (editorial cartoon)

Menurut Sudarmo (2004: 63) kartun editorial merupakan kolom

gambar sindiran di surat kabar yang mengomentari berita dan isu yang sedang

ramai dibahas di masyarakat. Sebagai editorial visual, kartun tersebut

mencerminkan kebijakan dan garis politik media yang memuatnya, sekaligus

mencerminkan pula budaya komunikasi masyarakat pada masanya. Masalah

aspek pragmatik dalam kartun, menyatakan bahwa kartun editorial merupakan

visualisasi tajuk rencana surat kabar atau majalah yang membincangkan

masalah politik atau peristiwa aktual. Oleh karena sifatnya inilah, kartun

editorial sering disebut dengan kartun politik. Kartun politik tidak hanya

sekadar berfungsi sebagai ilustrasi yang sarat kritik tajam, namun merupakan

media untuk refleksi suatu permasalahan.

b. Kartun Bebas atau Humor (gag cartoon)

Kartun bebas atau humor merupakan gambar kartun yang

dimaksudkan hanya sekadar sebagai gambar lucu berbentuk gambar olok-olok

tanpa bermaksud mengulas suatu permasalahan atau peristiwa aktual. Kartun

murni biasanya tampil menghiasi halaman-halaman khusus humor yang

terdapat di surat kabar atau terbitan lainnya. Adapun jaringan pembuat kartun

murni yang terkenal adalah Kokkang yang karyanya banyak dimuat di berbagai

terbitan surat kabar atau majalah. (Sudarmo, 2004: 63)

Berdasarkan pengertian dan karakteristik tentang kedua jenis kartun di

atas, kartun yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah jenis kartun editorial

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014

Page 26: BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga Romadhona_BAB II... · 2017. 10. 25. · diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti,

38

dan kartun bebas atau humor (gag cartoon) karena kartun editorial

perwujudannya tidak hanya sekedar ingin mengomentari permasalahan, tetapi

juga memperbincangkan masalah politik atau peristiwa aktual. Sedangkan

kartun bebas atau humor sifatnya mengolok olok atau lucu tanpa mengulas

permasalahan atau peristiwa aktual.

G. Surat Kabar

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia koran artinya lembaran –

lembaran kertas bertuliskan kabar (berita), dsb, terbagi di kolom – kolom (8-9

kolom), terbit setiap hari atau secara periodik; surat kabar; harian. Berdasarkan

Tampubolon, 1990:194), koran adalah bacaan paling umum dalam masyarakat,

terutama masyarakat modern, mengandung berbagai isi (informasi) yang perlu

bagi para pembaca. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan

bahwa koran adalah lembaran kertas berisikan kabar berita yang mengandung

berbagai isi (informasi) dan terbagi dalam kolom – kolom (8-9) kolom yang

perlu bagi para pembaca.

Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014