BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Yang Relevanrepository.ump.ac.id/4955/3/Nurva Ringga...
13
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang telah dilaksanakan oleh Ipit Dyarini Purnomo tahun
2002, dengan judul Kajian Pragmatik Wacana Kartun Pak Bei Terbitan Suara
Merdeka Periode Februari – Mei 2001 dilakukan untuk mendeskripsikan
bentuk kepragmatikan wacana kartun Pak Bei. Bentuk tersebut berupa tindak
tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi, presuposisi, implikatur, entailment, prinsip
kerja sama, dan prinsip kesopanan. Dari segi tipe wacana, wacana kartun Pak
Bei merupakan wacana kartun dialog karena menampilkan sekurang –
kurangnya dua tokoh yang berinteraksi secara verbal.
Sri Elsita Lisan Ningrum pada tahun 2005 melakukan penelitian yang
berjudul Analisis Kohesi Wacana Kartun Majalah Bobo, dia menyimpulkan
bahwa terdapat beberapa penanda kohesi pada wacana kartun majalah bobo,
diantaranya penanda kohesi pronominal / kata ganti, penanda kohesi subsitusi /
penggantian, penanda kohesi ellipsis / pelesapan, penanda kohesi konjungsi /
perangkai, dan penanda kohesi leksikal. Pada setiap penanda tersebut datanya
dijabarkan secara jelas dan rinci.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Entin Atikasari tahun 2012,
dengan berjudul Kesantunan Berbahasa Dalam Acara Diskusi “Indonesia
Lawyers Club” di Stasiun TV ONE. Penelitian tersebut dilakukan untuk
mendeskripsikan kepatuhan prinsip kesantunan berbahasa, penyimpangan
13
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
14
prinsip kesantunan berbahasa, serta tingkat kesantunan berbahasa dalam acara
diskusi “Indonesia Lawyers Club” di stasiun TV ONE. Dari hasil penelitian
tersebut diharapkan kesantunan berbahasa seseorang di mana pun, kapan pun,
dan dengan siapapun harus dijaga, sehingga komunikasi yang harmonis akan
tetap terjaga.
Penelitian yang peneliti lakukan dengan judul “Pelanggaran Prinsip
Kesantunan di dalam Wacana Kartun Terbitan Kompas Periode Oktober –
Desember 2013” bertujuan untuk mendeskripsikan pelanggaran prinsip
kesantunan berbahasa di dalam wacana kartun terbitan Kompas periode
Oktober – Desember 2013 yang meliputi (1) maksim kebijaksanaan (tact
maxim), (2) maksim kedermawanan (generosity maxim), (3) maksim
penghargaan (approbation maxim), (4) maksim kesederhanaan (modesty
maxim), (5) maksim pemufakatan (agreement maxim), dan (6) maksim simpati
(sympath maxim). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penelitian yang
peneliti lakukan berbeda dengan penelitian Ipit Dyarini Purnomo, Sri Elsita
Lisan Ningrum, dan Entin Atikasari. Di dalam bab hasil penelitian, peneliti
akan menjelaskan hasil penelitian dari permasalahan yang ada di atas.
B. Pragmatik
Menurut Leech (2011: 5) pragmatik sebagai pokok bahasan utama
dalam buku yang menyelidiki makna dalam konteks penggunaan bahasa dan
bukan makna sesuatu yang abstrak. Sementara itu Yule (2006: 3)
mengemukakan bahwa pragmatik adalah studi tentang maksud penutur yang
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
15
ditafsirkan oleh pendengar. Sebagai akibatnya, studi ini lebih banyak
berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan
tuturan – tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang
digunakan dalam tuturan itu sendiri. Sedangkan Levinson (dalam Rahardi,
2005: 48) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari
relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan
terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, penulis menyimpulkan
bahwa pragmatik dapat diartikan sebagai kajian penggunaan bahasa dalam
konteks yang mendasari penjelasan mengenai makna bahasa dalam
hubungannya dengan konteks penggunaan bahasa. Pragmatik berkaitan dengan
ilmu lain sehingga menghasilkan beberapa kajian. Seluruh bidang kajian ini
berpokok pada penggunaan bahasa dalam konteks.
C. Kesantunan Berbahasa
1. Pengertian Kesantunan Berbahasa
Lakoff (dalam Eelen, 2006: 2) mendefinisikan kesantunan sebagai
sistem hubungan interpersonal yang dirancang untuk mempermudah interaksi
dengan memperkecil potensi bagi terjadinya konflik dan konfrontasi yang
selalu ada dalam semua pergaulan manusia. Dari hubungan tersebut, orang
dapat memahami maksud satu sama lain di luar kata – kata harfilah yang
diucapkan. Namun demikian, dalam percakapan informal biasa, seseorang akan
berusaha mengkomunikasikan pesan secara langsung. Jika tujuan utamanya
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
16
dalam berbicara adalah komunikasi, maka ia akan berusaha berbicara dengan
jelas, sehingga tidak ada yang salah dalam memahami maksudnya.
Tujuan utama kesantunan penutur adalah untuk memberikan arah di
antara masing – masing status para partisipan dalam wacana yang
menunjukkan di mana masing – masing dalam perkiraan penutur akan berupa
pencapaian kejelasan yang lebih kecil daripada ekspresi kesantunan sebagai
lawannya. Dengan demikian, jika penutur sangat jelas, maka mungkin mereka
sedang berusaha untuk tidak melakukan sesuatu yang membuat orang marah.
Sebab, sebuah tuturan dapat dikatakan santun apabila tuturan itu tidak
terdengar memaksa atau angkuh sehingga lawan tutur merasa tenang.
2. Prinsip Kesantunan Berbahasa Leech
Prinsip kesantunan (politiness principle) berkenaan dengan aturan
tentang hal – hal yang bersifat sosial, estetis, dan moral di dalam bertindak
tutur. Leech (Rahardi, 2005: 59) merumuskan prinsip kesantunan yang sampai
saat ini dianggap paling lengkap, paling mapan, dan relatif paling
komprehensif. Rumusan itu selengkapnya tertuang dalam enam maksim
interpersonal sebagai berikut : (1) maksim kebijaksanaan (tact maxim), (2)
maksim kedermawanan (generosity maxim), (3) maksim penghargaan
(approbation maxim), (4) maksim kesederhanaan (modesty maxim), (5) maksim
pemufakatan (agreement maxim), dan (6) maksim simpati (sympath maxim).
g. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
Prinsip kesantunan maksim kebijaksanaan memuat saran agar penutur
membuat kerugian orang lain sekecil mungkin dan membuat keuntungan orang
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
17
lain sebesar mungkin. Tuturan impositif dan komisif lazim digunakan untuk
menyatakan tuturan yang mematuhi maksim ini. Apabila penutur menyimpang
dari saran yang ada, penutur dapat dikatakan melanggar maksim kebijaksanaan.
Tindakan ini dapat dinilai berdasarkan anggapan apakah tindakan tersebut
menguntungkan atau merugikan. Namun setiap peserta tutur untuk
meminimalkan kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan orang lain
(Rahardi, 2005: 60). Sementara itu, Oka (2011: 116) mendefinisikan maksim
kebijaksanaan atau yang disebut maksim kearifan mengacu pada tindakan yang
akan dilaksanakan oleh penutur (komisif) atau oleh petutur (direktif). Tindakan
ini dapat disebut dan dapat dinilai berdasarkan anggapan tindakan tersebut
menguntungkan atau merugikan.
Dari dua pendapat para ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa
maksim kebijaksanaan dapat diartikan sebagai suatu tuturan yang mengacu
pada tindakan yang dilaksanakan oleh penutur kepada mitra tutur. Tindakan
penutur agar mengurangi kerugian orang lain atau mitra tuturnya dan
menambahkan keuntungan orang lain sebanyak mungkin. Berikut ini contoh
tuturan (1) B mematuhi prinsip kesantunan, sedangkan tuturan (2) B melanggar
maksim kebijaksanaan :
(1) A : Mari, saya antarkan Anda ke kampus.
B : Jangan, tidak usah!
(2) A : Mari, saya antarkan Anda ke kampus.
B : Asyik, itu baru namanya sahabat yang baik!
Dalam tuturan (1) B mematuhi maksim kebijaksanaan karena penutur
meminimalkan kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan pada
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
18
mitra tutur. Pemaksimalan keuntungan pada mitra tutur tampak pada tuturan (1)
B, yakni Jangan, tidak usah!. Tuturan itu disampaikan sekalipun penutur
sebenarnya membutuhkan kendaraan agar segera sampai ke kampus.
Sebaliknya pada tuturan (2) B memaksimalkan kerugian orang lain dan
meminimalkan keuntungan pada mitra tutur. Peminimalan keuntungan bagi
mitra tutur tampak pada tuturan, yakni Asyik, itu baru namanya sahabat yang
baik!. Tuturan tersebut disampaikan sekalipun jarak masih dapat dijangkau
dengan berjalan kaki. Penyimpangan penutur dari saran maksim kebijaksanaan
dapat dinilai berdasarkan tindakan menguntungkan atau merugikan.
h. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)
Menurut Rahardi (2005: 61) tentang prinsip kesantunan maksim
kedermawanan ini terbagi dalam ujaran impositif dan komisif yaitu buatlah
keuntungan kepada diri sendiri sekecil mungkin dan buatlah kerugian diri
sendiri sebesar mungkin. Tuturan maksim ini mewajibkan setiap peserta tutur
untuk meminimalisir keuntungan diri sendiri sekecil mungkin dan
memaksimalkan kerugian diri sendiri sebesar mungkin. Begitu ditekannya sifat
kedermawanan itu, penutur harus merelakan keuntungan yang maksimal berada
pada mitra tuturnya. Dengan demikian tuturan dapat dikatakan melanggar
prinsip kesantunan maksim kedermawanan apabila penutur tidak
meminimalkan keuntungan kepada diri sendiri dan tidak memaksimalkan pihak
lain.
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
19
Apabila setiap orang melaksanakan inti pokok maksim kedermawanan
ini dalam ucapan dan perbuatan sehari – hari, maka kedengkian, iri hati, sakit
hati antara sesama dapat terhindar. Perlu disadari bahwa dalam praktiknya
terdapat aspek bilateral dalam tindak ujar impositif dan komisif. Bilateral
berarti bahwa dalam praktiknya sedikit sekali manfaatnya membedakan yang
„terpusat pada orang lain‟ dalam maksim kebijaksanaan dari „yang berpusat
pada diri sendiri‟, pada maksim kedermawanan Tarigan (2009: 77).
Dari pendapat dua para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa maksim
kedermawanan memberi penghormatan terhadap orang lain apabila orang dapat
mengurangi keuntungan untuk dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan
bagi pihak lain. Dalam prakteknya sedikit manfaat untuk membedakan terpusat
pada orang lain dan berpusat pada diri sendiri sehingga tidak perlu lagi
dibedakan. Tuturan (3) B berikut ini memenuhi maksim kedermawanan,
sedangkan tuturan (4) B melanggar.
(3) A : Tulisanmu sangat rapi.
B : Saya kira biasa saja, Pak.
(4) A : Tulisanmu sangat rapi.
B : Siapa dulu?
Tuturan (3) B mematuhi maksim kedermawanan karena penutur mengurangi
keuntungan diri sendiri sekecil mungkin. Kesantunan pembicara yang
dilakukan dengan bahasa tutur untuk membuat kerugian sebesar mungkin.
Keuntungan yang dilakukan penutur sementara itu, tuturan (4) B sebaliknya,
membuat keuntungan kepada diri sendiri sebesar mungkin dan membuat
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
20
kerugian diri sendiri sekecil mungkin. Dalam tuturan pembicara terlihat
berusaha memaksimalkan keuntungan untuk dirinya sendiri tanpa memperoleh
kerugian yang didapatkannya.
i. Maksim Penghargaan (Approbation Maxim)
Prinsip kesantunan ini diungkapkan dalam ilokusi – ilokusi ekspresif
dan asertif yaitu kurangilah cacian pada orang lain dan tambahkan pujian pada
orang lain. Dengan demikian, maksim ini berkenaan dengan masalah
penjelekan dan pujian kepada pihak lain. Apabila penutur tidak meminimalkan
penjelekan kepada pihak lain dan tidak memaksimalkan pujian kepada pihak
lain,tuturannya dapat dikatakan sebagai tuturan yang melanggar maksim
penghargaan (Rahardi, 2005: 62). Sementara itu, Oka (2011: 211)
menyebutkan bahwa nama lain yang kurang baik, yakni, „Maksim Rayuan‟
tetapi istilah „rayuan‟ biasanya digunakan untuk pujian yang tidak tulus. Dalam
aspeknya yang lebih negatif lagi, maksim ini melarang orang untuk berkata
yang tidak menyenangkan mengenai orang lain terutama tentang penyimak.
Kesimpulan yang peneliti ambil dari dua pendapat ahli di atas yaitu
penutur dituntut untuk dapat meminimalkan penjelekan kepada pihak lain dan
memaksimalkan pujian kepada pihak lain. Seseorang dilarang berkata kurang
menyenangkan mengenai orang lain, terutama orang itu seorang penyimak.
Ketika dalam hal memberikan pujian kepada pihak lain itu tidak tulus maka
pujian itu merupakan sebuah rayuan. Tuturan (5) B berikut ini mematuhi
maksim penghargaan, sebaliknya tuturan (6) B melanggar.
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
21
(5) A : Maaf Pak, lantainya kotor.
B : Terlalu bersih, sampai – sampai saya takut menginjaknya.
(6) A : Maaf Pak, lantainya kotor.
B : Ya, memang lantai rumah ini tidak sebersih lantai rumah saya.
Dalam tuturan (5) B mematuhi maksim penghargaan karena penutur
mengurangi cacian pada orang lain dan menambahkan pujian pada orang lain
sebanyak mungkin. Tuturan memaksimalkan pujian pada orang lain tersebut
dituturkan saat ia berkunjung dan mendapati lantai yang bersih sehingga ia
takut untuk menginjak lantai itu. Sebaliknya, tuturan (6) B melanggar maksim
ini karena menambah cacian pada orang lain dan mengurangi pujian pada orang
lain. Penyimpangan tuturan ditentukan berdasarkan pujian terhadap orang lain
yang sesedikit mungkin atau yang dilakukan dengan tidak tulus. Dari tuturan
“tidak sebersih lantai rumah saya” menggambarkan bahwa lantai rumah mitra
tutur memang kotor apabila dibandingkan dengan lantai rumah penutur.
j. Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim)
Prinsip kesantunan maksim kesederhanaan ini diungkapkan dalam
ilokusi – ilokusi ekspresif dan asertif yaitu kurangilah pujian pada diri sendiri
dan tambahkan cacian pada diri sendiri. Hal ini terlihat dari kata yang
menggambarkan kesederhanaan atau sikap yang tidak sombong. Penutur
berusaha semaksimal mungkin agar tuturannya tidak terkesan menyombongkan
diri. Tuturan dapat dikatakan melanggar prinsip kesantunan maksim
kesederhanaan apabila tuturan tidak meminimalkan pujian kepada diri sendiri
dan tidak memaksimalkan penjelekan kepada diri sendiri (Rahardi, 2005: 64).
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
22
Menurut Oka (2011: 214) maksim kesederhanaan tampak dalam
bentuk – bentuk asimetris. Akan tetapi, terkadang maksim kesederhanaan
berkonflik dengan maksim – maksim yang lain, dan bila demikian salah satu
maksim harus diberi prioritas. Dari dua pendapat para ahli maka penulis
menyimpulkan bahwa maksim kesederhanaan yaitu tuturan yang
meminimalkan pujian kepada diri sendiri dan memaksimalkan penjelekan
kepada diri sendiri. Namun untuk menghindari konflik maka maksim
kesederhanaan perlu adanya prioritas lebih. Seperti contoh tuturan (7) dan (8)
berikut ini mematuhi maksim kesederhanaan, sebaliknya tuturan (9) dan (10)
melanggar.
(7) Maaf, saya ini orang biasa saja. (8) Sulit bagi saya untuk memiliki mobil sebagus itu. (9) Saya ini orang kaya raya. (10) Hanya saya yang dengan mudah memiliki mobil sebagus itu.
Tuturan (7) dan (8) mematuhi maksim kesederhanaan karena tuturan – tuturan
itu memaksimalkan penjelekan kepada diri sendiri dan meminimalkan pujian
kepada diri sendiri. Dari penjelekan yang disebutkan, penutur tidak
menampakkan kesombongannya akan tetapi dia berusaha untuk bertutur
serendah mungkin dari kenyataan. Sementara itu, tuturan (9) dan (10)
melanggar maksim ini karena tuturannya memaksimalkan pujian kepada diri
sendiri dan meminimalkan penjelekan kepada diri sendiri. Pengucapan tuturan
diri sendiri yang ditunjukan kepada diri kita sendiri pula dengan tidak
sependapat atas pujian orang lain akan mengesankan bahwa tuturan itu
melebih - lebihkan.
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
23
k. Maksim Permufakatan (Agreement Maxim)
Prinsip kesantunan pada maksim ini diungkapkan dalam ilokusi asertif
yaitu kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain dan
tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. Tuturan asertif
lazim digunakan untuk menyatakan kepatuhan penutur terhadap maksim ini.
Sebaliknya, tuturan dapat dikatakan tidak santun atau melanggar prinsip
kesantunan maksim permufakatan apabila tuturan tidak meminimalkan
ketidaksesuaian antara diri sendiri dan pihak lain dan tidak memaksimalkan
persesuaian antara diri sendiri dan pihak lain (Rahardi, 2005: 64). Hal ini
senada dengan pendapat Chaniago (2011: 119), yakni usahakan agar
ketaksepakatan antara diri dan yang lain atau antara pembicara dan lawan
bicara terjadi sesedikit mungkin dan membuat kesepakatan antara diri dan yang
lain terjadi sebanyak mungkin.
Dari dua pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa maksim
permufakatan ditekankan agar para penutur dan mitra tutur dalam kegiatan
bertutur dapat saling membina kemufatakan atau kecocokan. Dari usaha
penutur tersebut maka ketaksepakatan antara diri dengan orang lain dapat
terjadi sesedikit mungkin. Berikut tuturan (11) B mematuhi maksim
permufakatan, sebaliknya tuturan (12) B melanggar.
(11) A : Bagaimana kalau lemari ini kita pindah?
B : Saya setuju sekali.
(12) A : Bagaimana kalau lemari ini kita pindah?
B : Jangan, sama sekali saya tidak setuju.
Tuturan (11) B mematuhi maksim permufakatan karena mengurangi
ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. Tuturan “Saya setuju
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
24
sekali” dituturkan oleh seorang yang menyatakan kesetujuan atas pendapat
mitra tutur sehingga tuturan yang diucapkan menyesuaikan antara dirinya
dengan orang lain. Sementara itu, tuturan (12) B melanggar maksim
permufakatan karena menambah ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan
orang lain dan menurunkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
Penuturan Jangan, sama sekali saya tidak setuju yang diucapkan penutur pada
pihak lain menunjukkan tidak adanya kesepakatan atas pendapat yang sudah
diajukan penutur (12) A.
l. Maksim Kesimpatisan (Sympath Maxim)
Menurut Rahardi (2005: 65) prinsip kesantunan maksim simpati ini
diungkapkan dalam ilokusi asertif yaitu kurangilah rasa antipati antara diri
dengan pihak lain hingga sekecil mungkin dan tingkatkan rasa simpati
sebanyak-banyaknya antara diri dan pihak lain. Kedua hal tersebut sebagai
saran atau rambu – rambu bagi penutur agar tuturannya santun. Karena
menekankan peminimalan antipati dan pemaksimalan simpati antara diri
sendiri dan pihak lain, penutur harus dengan tulus bersimpati kepada mitra
tuturnya atau pihak lain. Dengan demikian, yang dimaksud wacana yang
melanggar prinsip kesantunan maksim simpati adalah wacana yang
meningkatkan antipati antara diri sendiri dengan pihak lain sebanyak –
banyaknya dan mengurangi rasa simpati antara diri sendiri dengan pihak lain
sekecil mungkin. Tuturan (13) B berikut ini mematuhi maksim simpati,
sebaliknya tuturan (14) B melanggar :
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
25
(13) A : Hari ini saya sukses dalam ujian skripsi.
B : Saya turut bahagia atas kesuksesan kamu dalam ujian skripsi.
(14) A : Tuan, saya belum makan.
B : Semua orang membutuhkan makan.
Tuturan (13) B mematuhi maksim simpati karena meningkatkan rasa simpati
sebanyak – banyaknya antara diri dan pihak lain. Tuturan itu dituturkan oleh
seorang mahasiswa kepada temannya pada saat temannya telah menyelesaikan
ujian skripsinya dengan sukses. Sebaliknya, tuturan (14) B melanggar maksim
simpati karena meningkatkan rasa antipati penutur sebanyak – banyaknya dan
mengurangi rasa simpati sekecil mungkin antara penutur dengan pihak lain.
Pelanggaran pada tuturan “Semua orang membutuhkan makan” terjadi ketika
penutur 14 (A) meminta makanan, namun penutur (B) justru bertutur dengan
rasa antipati yang tinggi. Dengan demikian, tuturan (13) B merupakan tuturan
yang mematuhi prinsip kesantunan maksim. Sedangkan tuturan (24) B
merupakan tuturan yang tidak atau kurang santun.
Terkait dengan prinsip kesantunan, di dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan maksim – maksim prinsip kesantunan yang dikemukakan Leech
sebagai acuan. Sebab, istilah – istilah yang dicipta oleh Leech lebih mudah
dipahami oleh orang banyak dan lebih tepat digunakan untuk judul penelitian
yang telah peneliti pilih. Dalam kemudahan memahami istilah dapat
ditunjukkan dengan sopan, santun kepada pihak lain dari pihak yang tidak hadir
dalam situasi tuturan.
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
26
D. Konteks
Konteks adalah bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat
mendukung atau menambah kejelasan makna situasi yang ada hubungannya
dengan suatu kejadian. Sementara Preston (dalam Supardo, 2000: 46)
menjelaskan bahwa yang dimaksud konteks adalah seluruh informasi yang
berada di sekitar pemakaian bahasa, bahkan termasuk juga pemakaian bahasa
yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, hal – hal seperti situasi, jarak tempat
dapat merupakan konteks pemakaian bahasa. Di dalam pemakaian bahasa
konteks sangat penting karena dapat menentukan makna dan maksud suatu
ujaran.
Pendekatan umum terhadap kajian bahasa adalah suatu pendekatan
yang memberi tekanan pada konteks sosial, yaitu pada fungsi sosial yang
menentukan bentuk bahasa dan bagaimana perkembangannya. (Halliday, 1994: 3).
Selanjutnya, menurut Hymes (dalam Brown dan Yule, 1996: 39) menyebutkan
bahwa ciri – ciri konteks sebagai berikut : (1) pembicara dan mitra bicara
(participant), (2) topik (topic), (3) latar (setting), (4) saluran (channel), (5)
kode (code), (6) bentuk pesan (message form), (7) peristiwa (event), (8) kunci
(key), dan (9) tujuan (purpose).
1. Pembicara dan Mitra Bicara (Participant)
Pembicara adalah penutur atau penulis yang membuat ujaran,
sedangkan mitra bicara adalah pendengar atau pembaca yang menjadi penerima
ujaran. Dengan demikian, pengetahuan tentang pembicara dan mitra bicara
pada peristiwa komunikatif tertentu memungkinkan penganalisis
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
27
membayangkan apa yang mungkin akan dikatakan oleh seseorang. Dalam hal
ini pengetahuan tentang latar belakang partisipan (penutur dan pendengar) pada
suatu situasi akan memudahkan penganalisis menginterpretasikan maksud
penuturnya (Brown dan Yule, 1996: 39). Sementara itu, Moeliono (dalam
Mulyana, 2005: 23) peserta tuturan yaitu orang – orang yang terlibat dalam
percakapan, baik langsung maupun tidak langsung. Hal – hal yang berkaitan
dengan partisipan, seperti usia, pendidikan, latar sosial, dsb juga menjadi
perhatian.
2. Topik (Topic)
Topik adalah apa yang dibicarakan oleh pembicara dan mitra bicara.
Dengan demikian, topik akan memudahkan seseorang untuk menangkap dan
memahami pembicaraan atau tulisan karena banyak kata yang mempunyai
makna lain di dalam bidang – bidang tertentu. Di samping itu, dengan
mengetahui topik pembicaraan, pendengar akan sangat mudah memahami
isi wacana, sebab topik pembicaraan yang berbeda akan menghasilkan bentuk
wacana yang berbeda pula (Brown dan Yule, 1996: 39).
3. Latar (Setting)
Latar (setting) adalah waktu, tempat pembicaraan itu dilakukan,
termasuk hubungan fisik orang yang berinteraksi berkenaan dengan sikap
tubuh, gerakan tangan, dan air muka. Tempat lebih banyak berpengaruh pada
peristiwa tutur lisan tatap muka sedangkan keadaan psikologis partisipan
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
28
disamping berpengaruh pada peristiwa tutur lisan juga banyak berpengaruh
pada peristiwa tutur tulis. Di pasar, orang akan menggunakan bahasa yang
berbeda dengan bahasa di masjid atau gereja; bahasa dalam situasi resmi
berbeda dengan bahasa dalam situasi tidak resmi (Brown dan Yule, 1996: 40).
Sementara itu, Moeliono (dalam Mulyana, 2005: 23) mengartikannya latar
suasana. Latar (setting) lebih bersifat fisik, yang meliputi tempat dan waktu
terjadinya tuturan. Sementara scene adalah latar psikis yang lebih mengacu
pada suasana psikis yang lebih mengacu pada suasana psikologis yang
menyertai peristiwa tuturan.
4. Saluran (Channel)
Saluran (channel) adalah bagaimana hubungan antara para peserta di
dalam peristiwa tutur, misalnya dengan wicara, tulisan, tanda – tanda atau
tanda – tanda asap. Untuk menyampaikan informasi, seorang penutur dapat
mepergunakan saluran dengan bahasa tuturan atau tulisan. Tuturan dibangun
berdasarkan kontruksi yang utuh dalam satu wacana yang lebih luas. Jika
kontruksi tersebut digambarkan dalam satu wacana, maka akan tampak suatu
kesatuan makna yang menyeluruh, sehingga muncul hubungan antara
pragmatik dengan semantik (Brown dan Yule, 1996: 41).
5. Kode (Code)
Kode (code) adalah bahasa, dialek, atau gaya bahasa yang digunakan
dalam interaksi. Kode dipilih diantara salah satu dialek bahasa yang ada. Atau
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
29
bisa juga memakai salah satu register (ragam) bahasa yang paling tepat.
Pemilihan kode ini dimaksudkan untuk kesenangan penutur maupun
pendengar. Akan sangat ganjil jika ragam bahasa baku dipakai untuk tawar-
menawar barang di pasar (Brown dan Yule, 1996: 40).
6. Bentuk Pesan (Message Form)
Bentuk pesan (message form) adalah bentuk yang dimaksudkan,
apakah obrolan, perdebatan, khotbah, dongeng, sonata, surat cinta, dan
sebagainya. Banyak pesan yang tidak sampai kepada si pendengar karena jika
pendengarnya bersifat umum dan dari berbagai lapisan masyarakat maka harus
dipilih bentuk pesan yang bersifat umum. Sebaliknya, jika pendengar kelompok
yang bersifar khusus atau hanya dari satu lapisan masyarakat tertentu, bentuk
pesan haruslah bersifat khusus. Isi dan bentuk pesan harus sesuai karena
apabila keduanya tidak sesuai maka pesan atau informasi yang disampaikan
akan susah dicerna oleh pendengar (Brown dan Yule, 1996: 40). Sementara itu,
Moeliono (dalam Mulyana, 2005: 23) pesan / amanat, terdiri dari bentuk pesan
(message form) dan isi pesan (message content). Dalam kajian pragmatik,
bentuk pesan meliputi; lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
7. Peristiwa (Event)
Peristiwa (event) adalah sifat peristiwa komunikatif yang di dalamnya
mungkin disisipkan suatu genre, jadi khotbah atau doa yang mungkin
merupakan bagian dari peristiwa yang lebih besar, misalnya kebaktian di
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
30
gereja. Peristiwa tutur yang dimaksud disini adalah peristiwa tutur tertentu
yang mewadahi kegiatan bertutur. Setiap peristiwa akan berbeda cara
penuturannya karena peristiwa selalu menghendaki tuturan tertentu. Sesuai
dengan konteks situasinya, suatu peristiwa tutur mungkin akan lebih tepat
diantarkan dengan bahasa yang satu sedangkan peristiwa tutur yang lain lebih
cocok diantarkan dengan bahasa yang lain (Brown dan Yule, 1996: 41).
8. Kunci (Key)
Kunci (key) adalah nada suara dan ragam bahasa yang digunakan
dalam menyampaikan pendapatnya dan cara mengemukakan pendapatnya.
Kunci ini melibatkan evaluasi, apakah itu khotbah yang baik, apakah sudah
menggunakan ragam bahasa yang tepat. Hal ini menyebabkan evaluasi
mengenai tuturan dapat dilakukan lebih spesifik lagi dapat lebih spesifik lagi
dalam pembahasannya. (Brown dan Yule, 1996: 41). Sedangkan menurut
Moeliono (dalam Mulyana, 2005: 23) key, meliputi cara, nada, sikap, atau
semangat dalam melakukan percakapan. Semangat percakapan antara lain,
misalnya serius, santai, akrab.
9. Tujuan (Purpose)
Tujuan (purpose) adalah hasil akhir dalam komunikasi antara
pembicara dan mitra bicara. Tujuan komunikasi itu akan menunjukkan ke arah
pembicaraan yang dilakukan oleh si penutur. Dalam komunikasi pembicaraan
yang dilakukan oleh penutur antara pembicara dan mitra bicara haruslah terarah
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
31
agar tidak kelewat tentang isi pembicaraan dari luar jalur akhir yang akan
dituju (Brown dan Yule, 1996: 41). Sementara itu, Moeliono (dalam Mulyana,
2005: 23) end, hasil yaitu hasil atau tanggapan suatu pembicaraan yang
memang diharapkan oleh penutur (ends as outcomens), dan tujuan akhir
pembicaraan itu sendiri (ends in view goals).
Dengan lengkapnya ilmu dan pengetahuan seseorang tentang ciri – ciri
konteks tersebut maka interpretasi yang telah dipahami pelaku ilmu dan
pengetahuan terhadap sebuah makna wacana akan dirasakan lebih tepat.
Namun apabila semakin kurang ilmu dan pengetahuan yang dimiliki pelaku
tentang ciri – ciri konteks maka menjadi kurang tepat pula interpretasinya itu
terhadap makna sebuah wacana (Brown dan Yule, 1996: 41).
E. Wacana
1. Pengertian Wacana
Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki
gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau berarti terdapat konsep,
gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang biasa dipahami oleh pembaca (dalam
wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan). Sebagai satuan gramatikal
yang tertinggi atau terbesar, wacana itu dibentuk dari kalimat atau kalimat –
kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan
lainnya (Chaer, 2007 : 267).
Sementara menurut Norman Fairclough (dalam Sumarlam, 2003: 12),
wacana adalah pemakaian bahasa tampak sebagai sebuah bentuk praktik sosial
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
32
mengenai bagaimana teks bekerja atau berfungsi dalam praktik sosial budaya.
Analisis seperti itu mengutamakan perhatian pada bentuk struktur, dan
organisasi tekstual pada semua tataran fonologis, gramatikal, leksikal
(kosakata) dan tataran yang lebih tinggi dari organisasi tekstual yang berkenaan
dengan sistem perubahan (pembagian giliran percakapan), struktur argumentasi
dan struktur umum (tipe aktivitas).
Berdasarkan dua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa wacana
adalah satuan bahasa yang tertinggi dalam hierarki gramatikal yang
menyatakan satu topik tertentu yang disajikan secara teratur dan sistematis
dalam satu kesatuan yang koheren. Satuan kalimat yang koheren merupakan
satuan gramatikal dalam wacana dan kalimat koheren juga merupakan basis
pokok pembentukan wacana. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk kata,
kalimat, paragraf, atau karangan utuh sehingga menjadi sebuah buku, yang
membawa amanat lengkap.
2. Jenis – Jenis Wacana
Klasifikasi atau pembagian wacana sangat tergantung pada aspek dan
sudut pandang yang digunakan. Itu sebabnya, klasifikasi diperlukan untuk
memahami, mengurai, dan menganalisis wacana secara tepat. Ketika analisis
dilakukan, perlu diketahui terlebih dahulu jenis wacana yang dihadapi.
Pemahaman ini sangat penting agar proses pengkajian, pendekatan, dan teknik
– teknik analisis wacana yang digunakan tidak keliru. Menurut Mulyana (2005:
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
33
47), wacana dapat dipilah atas dasar beberapa segi, yaitu : a) media
penyampaian, dan b) sifat.
a. Berdasarkan Media Penyampaian
1) Wacana Tulis
Menurut Mulyana (2005: 51) wacana tulis (written discourse) adalah
jenis wacana yang disampaikan melalui tulisan. Berbagai bentuk wacana
sebenarnya dapat di-presentasikan atau direalisasikan melalui tulisan. Sampai
saat ini, tulisan masih merupakan media yang sangat efektif dan efisien untuk
menyampaikan berbagai gagasan, wawasan, ilmu pengetahuan, atau apapun
yang dapat mewakili kreativitas manusia.
2) Wacana Lisan
Wacana lisan (spoken discourse) adalah jenis wacana yang
disampaikan secara lisan atau langsung dengan bahasa verbal. Jenis wacana ini
sering disebut sebagai tuturan (speech) atau ujaran (utterance). Untuk dapat
menerima dan memahami wacana lisan, maka sang penerima harus menyimak
atau mendengarkannya. Di dalam wacana lisan terjadi komunikasi secara
langsung antara pembicara dengan pendengar (Mulyana, 2005: 47).
b. Berdasarkan Sifat
1) Wacana Fiksi
Menurut Mulyana (2005: 54) wacana fiksi adalah wacana yang bentuk
dan isinya berorientasi pada imajinasi. Bahasanya menganut aliran konotatif,
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
34
analogis, dan multiinterpretable. Umumnya penampilan dan rasa bahasanya
dikemas secara literer atau estetis. Disamping itu, tidak tertutup kemungkinan
bahwa karya fiksi mengandung fakta, dan bahkan hampir sama dengan
kenyataan. Namun sebagaimana proses kelahiran dan sifatnya karya semacam
ini tetap termasuk dalam kategori fiktif. Wacana fiksi umumnya menganut asas
kebebasan berpuisi dan kebebasan bergramatikal. Dalam hal ini wacana fiksi
dapat dibedakan menjadi tiga jenis; yaitu wacana prosa, wacana puisi, dan
wacana drama.
2) Wacana Nonfiksi
Menurut Mulyana (2005: 54) wacana nonfiksi disebut juga sebagai
wacana ilmiah. Jenis wacana ini disampaikan dengan pola dan cara-cara ilmiah
yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bahasa yang digunakan
bersifat denotatif, lugas, dan jelas. Aspek estetika bukan lagi menjadi tujuan
utama. Secara umum penyampaiannya tidak mengabaikan kaidah-kaidah
gramatika bahasa yang bersangkutan. Beberapa contoh wacana nonfiksi antara
lain adalah laporan penelitian, buku materi perkulaihan, petunjuk
mengoperasikan pesawat terbang, dan sebagainya.
Berdasarkan jenis - jenis wacana di atas, penelitian ini termasuk jenis
wacana tulis dan wacana fiksi. Di dalam penelitian wacana tulis karena sebuah
wacana disampaikan melalui tulisan. Sedangkan penelitian wacana fiksi bentuk
dan isinya berorientasi pada imajinasi yang penampilan dan rasa bahasanya
mengandung fakta yang dikemas secara linier atau estetis.
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
35
F. Kartun
1. Pengertian Kartun
Kartun berasal dari bahasa Inggris cartoon yang diangkat dari bahasa
Italia cartone. Istilah ini muncul setelah tahun 1843 untuk menamai sketsa pada
kertas a lot (siout paper) yang berisi lukisan dinding. Namun sekarang
pengertian kartun menjadi gambar yang bersifat humor atau satire, jadi kartun
merupakan satu wujud ekspresi seni yang bermaksud melucu, menyindir, dan
mengkritik. Ensiklopedi Nasional Indonesia dalam Muslich (2010: 143)
menyebutkan ciri kartun, yaitu pesan atau komentar humoris atau satiris
tentang suatu peristiwa aktual, kartun biasanya berpanel tunggal. Muslich
(2010: 143)
Menurut Sudjana (2005: 58) Kartun adalah penggambaran dalam
bentuk lukisan atau karikatur tentang orang, gagasan atau situasi yang didisain
untuk mempengaruhi opini masyarakat. Walaupun terdapat sejumlah kartun
yang berfungsi untuk membuat orang tersenyum, seperti halnya kartun – kartun
yang dimuat dalam surat kabar. Kartun sebagai alat bantu mempunyai manfaat
penting dalam pengajaran, terutama dalam menjelaskan rangkaian isi bahan
dalam satu urutan logis atau mengandung makna.
Sementara itu, Sadiman (2005: 45) menyatakan bahwa kartun sebagai
salah satu bentuk komunikasi grafis kartun merupakan suatu gambar
interpretatif yang menggunakan simbol – simbol untuk menyampaikan sesuatu
pesan secara cepat dan ringkas atau sesuatu sikap terhadap orang, situasi, atau
kejadian – kejadian tertentu. Kemampuannya besar sekali untuk menarik
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
36
perhatian, mempengaruhi sikap maupun tingkah laku. Kartun biasanya hanya
menangkap esensi pesan yang harus disampaikan dan menuangkannya ke
dalam gambar sederhana. Pembaca sulit memahami kartun tanpa digambar
detail dengan menggunakan simbol – simbol serta karakter yang mudah dikenal
dan dimengerti dengan cepat sehingga pesannya kurang tersampaikan. Itu
sebabnya makna kartun harus mengena, pesan yang besar bisa disajikan secara
ringkas dan kesannya akan tahan lama untuk diingat.
Dari beberapa pendapat di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa
kartun adalah suatu gambar atau serangkaian gambar yang berwujud ekspresi
bernilai seni yang telah didesain seseorang dengan sedemikian rupa untuk
menyampaikan pesan yang berisi sesuatu maksud untuk menyindir, mengkritik
dan melucu yang diekspresikan oleh kartunis atau seseorang kepada para
penikmat kartun maupun kepada para pembaca.
2. Jenis – Jenis Kartun
Sebagai pijakan awal untuk membicarakan kartun di dalam penelitian
ini, peneliti membatasi diri pada kartun yang berkaitan dengan media cetak
saja. Hal ini disebabkan di luar media cetak, masih ada jenis kartun lain yang
sering disebut dengan kartun animasi, yaitu kartun gerak yang dapat disaksikan
melalui tayangan siaran televisi (media elektronik). Menurut Sudarmo (2004:
63), kartun di dalam media cetak terbagi menjadi dua bagian, yaitu kartun
editorial (editorial cartoon) dan kartun bebas atau humor (gag cartoon).
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
37
a. Kartun Editorial (editorial cartoon)
Menurut Sudarmo (2004: 63) kartun editorial merupakan kolom
gambar sindiran di surat kabar yang mengomentari berita dan isu yang sedang
ramai dibahas di masyarakat. Sebagai editorial visual, kartun tersebut
mencerminkan kebijakan dan garis politik media yang memuatnya, sekaligus
mencerminkan pula budaya komunikasi masyarakat pada masanya. Masalah
aspek pragmatik dalam kartun, menyatakan bahwa kartun editorial merupakan
visualisasi tajuk rencana surat kabar atau majalah yang membincangkan
masalah politik atau peristiwa aktual. Oleh karena sifatnya inilah, kartun
editorial sering disebut dengan kartun politik. Kartun politik tidak hanya
sekadar berfungsi sebagai ilustrasi yang sarat kritik tajam, namun merupakan
media untuk refleksi suatu permasalahan.
b. Kartun Bebas atau Humor (gag cartoon)
Kartun bebas atau humor merupakan gambar kartun yang
dimaksudkan hanya sekadar sebagai gambar lucu berbentuk gambar olok-olok
tanpa bermaksud mengulas suatu permasalahan atau peristiwa aktual. Kartun
murni biasanya tampil menghiasi halaman-halaman khusus humor yang
terdapat di surat kabar atau terbitan lainnya. Adapun jaringan pembuat kartun
murni yang terkenal adalah Kokkang yang karyanya banyak dimuat di berbagai
terbitan surat kabar atau majalah. (Sudarmo, 2004: 63)
Berdasarkan pengertian dan karakteristik tentang kedua jenis kartun di
atas, kartun yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah jenis kartun editorial
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014
38
dan kartun bebas atau humor (gag cartoon) karena kartun editorial
perwujudannya tidak hanya sekedar ingin mengomentari permasalahan, tetapi
juga memperbincangkan masalah politik atau peristiwa aktual. Sedangkan
kartun bebas atau humor sifatnya mengolok olok atau lucu tanpa mengulas
permasalahan atau peristiwa aktual.
G. Surat Kabar
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia koran artinya lembaran –
lembaran kertas bertuliskan kabar (berita), dsb, terbagi di kolom – kolom (8-9
kolom), terbit setiap hari atau secara periodik; surat kabar; harian. Berdasarkan
Tampubolon, 1990:194), koran adalah bacaan paling umum dalam masyarakat,
terutama masyarakat modern, mengandung berbagai isi (informasi) yang perlu
bagi para pembaca. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa koran adalah lembaran kertas berisikan kabar berita yang mengandung
berbagai isi (informasi) dan terbagi dalam kolom – kolom (8-9) kolom yang
perlu bagi para pembaca.
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…, Nurva Ringga Romadhona, FKIP UMP, 2014