BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevanrepository.ump.ac.id/6176/3/TRI ASTUTI BAB...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevanrepository.ump.ac.id/6176/3/TRI ASTUTI BAB...
-
7
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penelitian Sejenis yang Relevan
Penelitian tentang implikatur masih dapat diadakan lebih lanjut, baik penelitian
yang bersifat melengkapi dengan menggunakan hasil-hasil yang sudah ada atau
penelitian yang bersifat baru. Penelitian mengenai implikatur dalam wacana komik
pernah dilakukan oleh Nurlaela (2008), dan Ruswati (2008) sedangkan wacana cerkak
oleh Yunita Tresnasari (2009).
Penelitian dalam wacana komik dilakukan oleh Nurlaela yang berjudul
Implikatur dalam Wacana Komik pada Majalah “Bobo” dengan menggunakan
metode deskriptif kualitatif. Datanya berupa tuturan dalam wacana komik pada
majalah Bobo yang berjumlah 99 tuturan yang mengandung implikatur. Sedangkan
sumber datanya adalah tuturan yang terdapat dalam majalah Bobo yang terbit pada
Februari-Maret 2008 dan juli 2008. Edisi 7 Februari 2008, 21 Februari 2008, 28
Februari, 6 Maret 2008, 20 Maret 2008, 10 Juli 2008, 17 Juli 2008, dan 24 Juli 2008.
Tujuan penelitian tersebut, yaitu: (1) mendeskripsikan implikatur yang terdapat dalam
wacana komik pada majalah Bobo, dan (2) mendeskripsikan tuturan dalam wacana
komik pada majalah Bobo diwujudkan melalui prinsip kerjasama, prinsip kesopanan,
konteks tuturan dan skemata.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Ruswati berjudul Implikatur dalam
Wacana Komik Mombi pada Majalah “Album Cerita dan Pengetahuan Mombi SD”
dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data pada penelitian tersebut
adalah tuturan berupa balon kata yang memiliki implikatur yang berjumlah 26 tuturan
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
8
yang terdapat dalam wacana komik Mombi. Sumber data penelitian ini adalah wacana
komik Mombi Vol. 31-2007, Vol. 32-2007, Vol. 34-2008, Vol. 35-2008, Vol. 37-
2008, Vol. 39-2008 yang merupakan salah satu wacana komik dalam majalah Album
Cerita dan Pengetahuan Mombi SD. Penelitian tersebut bertujuan untuk
mendeskripsikan implikatur dalam wacana komik Mombi pada majalah Album Cerita
dan Pengetahuan Mombi SD.
Selain penelitian pada wacana komik juga terdapat penelitian tentang
implikatur pada wacana cerkak (cerita cekak). Penelitian dalam wacana cerkak (cerita
cekak) dilakukan oleh Yunita Tresnasari. Penelitian tersebut berjudul Implikatur
dalam Wacana Cerkak (Cerita Pendek Berbahasa Jawa) pada Majalah “Panjebar
Semangat” dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Jawa di SMP dengan
menggunakan metode deskriptif kualitatif. Sedangkan datanya berupa kalimat-kalimat
yang berbentuk monolog dan dialog yang mengandung implikatur. Sumber data dalam
penelitian tersebut adalah sumber data tulis yaitu wacana cerkak pada majalah
Panjebar Semangat. Tujuan penelitian tersebut yaitu: (1) mendeskripsikan bentuk
implikatur dalam wacana cerkak pada majalah Panjebar Semangat, dan (2)
mendeskripsikan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa jawa di SMP.
Dari ketiga penelitian tersebut belum ada yang melakukan penelitian mengenai
implikatur dalam wacana komik pada majalah Donal Bebek. Maka dari itu, penulis
tertarik untuk meneliti hal tersebut.
Dari penelitian tersebut penelitian ini memiliki perbedaan. Adapun
perbedaannya terdapat pada sumber data dan tujuan penelitian. Pada penelitian
Nurlaela sumber data penelitiannya adalah wacana komik pada majalah Bobo,
Ruswati sumber data penelitiannya adalah wacana komik pada majalah Album Cerita
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
9
dan penegetahuan Mombi SD dan Yunita Tresnasari dalam wacana cerkak (cerita
cekak) berbahasa jawa pada majalah Panjebar Semangat. Sedangkan pada penelitian
ini sumber data penelitiannya adalah wacana komik pada majalah Donal Bebek.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini ada tambahan
tujuan ketiga yaitu “mendeskripsikan tuturan dalam wacana komik pada majalah
Donal Bebek melalui inferensi”.
B. Hakikat Bahasa
Chaer dan Leonie Agustina (1995:15) memberikan definisi bahasa adalah
sebuah sistem, artinya, bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola
secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sebagai sebuah sistem, bahasa selain bersifat
sistematis juga bersifat sistemis. Dengan sistematis maksudnya, bahasa itu tersusun
menurut suatu pola tertentu, tidak tersusun secara acak atau sembarangan. Sedangkan
sistemis, artinya, sistem bahasa itu bukan merupakan sebuah sistem tunggal,
melainkan terdiri dari sejumlah subsistem, yakni subsistem fonologi, subsistem
morfologi, subsistem sintaksis, dan subsistem leksikon. Setiap bahasa biasanya
memiliki sistem yang berbeda dari bahasa lainnya.
Sistem bahasa yang dibicarakan adalah berupa lambang-lambang dalam
bentuk bunyi. Artinya, lambang-lambang itu berbentuk bunyi, yang lazim disebut
bunyi ujar atau bunyi bahasa. Setiap lambang bahasa melambangkan sesuatu yang
disebut makna atau konsep (Chaer dan Leonie Agustina, 1995: 15).
Lambang bunyi bahasa itu bersifat arbitrer. Artinya, hubungan antara lambang
dengan yang dilambangkan tidak bersifat wajib, bisa berubah, dan tidak dapat
dijelaskan mengapa lambang tersebut mengonsepsi makna tertentu. Kata arbitrer bisa
diartikan sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana suka (Chaer, 2007: 45).
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
10
Konsep bahwa bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk
berkomunikasi, dalam arti, alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau
perasaan. Dalam proses berkomunikasi pikiran hanyalah satu bagian dari sekian
banyak informasi yang disampaikan. Wardhaugh ( dalam Chaer dan Leonie Agustina,
1995: 19) juga mengatakan bahwa fungsi bahasa adalah alat komunikasi manusia,
baik tertulis maupun lisan.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah sebuah
sistem yang bersifat sistematis dan sistemis yang berupa lambang bunyi bahasa yang
berfungsi sebagai alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, alat untuk
menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan baik tertulis maupun lisan.
C. Wacana
1. Pengertian Wacana
Douglas (dalam Mulyana, 2005: 3) menjelaskan istilah ‘wacana’ berasal dari
bahasa Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya ‘berkata’ atau ‘berucap’. Kata tersebut
kemudian mengalami perubahan atau perkembangan menjadi wacana. Bentuk ana
yang muncul di belakang adalah sufiks (akhiran), yang berfungsi membedakan
(nominalisasi). Jadi, kata wacana dapat diartikan sebagai ‘perkataan’ atau ‘tuturan’.
Webster (dalam Mulyana, 2005:4) memperluas makna discourse sebagai
berikut: (a) komunikasi kata-kata, (b) ekspresi gagasan-gagasan, (c) percakapan, dan
(d) risalah tulisan: makna pidato, ceramah, dan sebagainya. Jadi discourse atau
wacana berkaitan dengan kata, kalimat, atau ungkapan komunikatif, baik secara lisan
maupun tulis.
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
11
Menurut Mulyana (2005: 21) wacana adalah wujud atau bentuk yang bersifat
komunikatif, interpretatif, dan kontekstual. Artinya, pemakaian bahasa ini selalu
mengandaikan terjadi secara dialogis, perlu adanya kemampuan menginterpretasikan,
dan memahami konteks terjadinya wacana.
Rani, dkk.(2006:3) dalam buku yang berjudul Analisis Wacana menyatakan
bahwa wacana merupakan satuan bahasa yang paling besar yang digunakan dalam
komunikasi. Satuan bahasa dibawahnya secara berturut-turut adalah kalimat, frase,
kata, dan bunyi. Secara berurutan, rangkaian bunyi membentuk kata. Rangkaian kata
membentuk frase dan rangkaian frase membentuk kalimat. Akhirnya, rangkaian
kalimat membentuk wacana. Semuanya itu bisa lisan atau tulis.
Berdasarkan definisi dan pendapat-pendapat di atas, maka wacana dapat
dirumuskan sebagai berikut: (a) ucapan, perkataan, tuturan, (b) keseluruhan tuturan
yang merupakan suatu kesatuan, dan (c) satuan bahasa terlengkap, yang realisasinya
tampak pada bentuk karangan yang utuh, seperti novel, buku, artikel, pidato, khotbah,
dan lain sebagainya yang berupa tulisan ataupun lisan.
2. Klasifikasi Wacana
Klasifikasi diperlukan untuk memahami, mengurai, dan menganalisis wacana
secara tepat. Ketika analisis diperlukan, perlu diketahui terlebih dahulu jenis wacana
yang dihadapi. Pemahaman ini sangat penting agar proses pengkajian, pendekatan,
dan teknik-teknik analisis wacana yang digunakan tidak keliru (Mulyana, 2005: 47)
Pembagian wacana dapat dipilah atas dasar beberapa segi, yaitu (a)
berdasarkan bentuk, (b) berdasarkan media penyampaian, (c) berdasarkan jumlah
penutur, (d) berdasarkan sifat, (e) berdasarkan isi, dan (f) berdasarkan gaya dan
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
12
tujuan. Pemilahan atas dasar segi yang lain jelas masih sangat terbuka. Itulah artinya,
bahwa wacana akan terus mengalami perkembangan di dalam masyarakat bahasa
(Mulyana, 2005: 47-66). Di sini penulis membatasi klasifikasi wacana karena sumber
yang penulis teliti yaitu majalah Donal Bebek, berdasarkan bentuknya merupakan
wacana naratif, berdasarkan media penyampaiannya termasuk wacana tulis,
berdasarkan jumlah penutur termasuk wacana monolog, dan wacana dialog, dan
berdasarkan isi termasuk wacana sosial sehingga penulis memaparkan empat
klasifikasi wacana tersebut.
a. Berdasarkan Bentuk
Dengan mendasarkan pada bentuknya, Robert E. Longacre (dalam Mulyana,
2005: 47) membagi wacana menjadi 6 (enam) jenis, yaitu: wacana naratif, wacana
prosedural, ekspositori, hortatori, epistoleri, dan wacana dramatik.
1) Wacana Naratif
Wacana naratif adalah bentuk wacana yang banyak dipergunakan untuk
menceritakan suatu kisah. Uraiannya cenderung ringkas. Bagian-bagian yang
dianggap penting sering diberi tekanan atau diulang. Bentuk wacana naratif umumnya
dimulai dengan alinea pembuka, isi, dan diakhiri oleh alinea penutup. Contoh bentuk
naratif adalah siaran Pembinaan Bahasa Indonesia yang disiarkan oleh Radio
Republik Indonesia (RRI). Berikut ini adalah contoh wacana naratif.
(1) Masyarakat Indonesia sebagai pemakai bahasa Indonesia dianjurkan untuk menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Baik artinya sesuai dengan konteksnya. Orang harus selalu berpikir, bagaimana sebaiknya menggunakan bahasa secara tepat sesuai situasi dam kondisinya. Selain tepat, juga harus benar. Artinya, bahasa yang kita ucapkan sebaiknya disampaikan atau ditulis dengan pola dan urutan yang benar sesuai dengan gramtika bahasa.
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
13
2) Wacana Prosedural
Wacana prosedural dimanfaatkan untuk memberikan petunjuk atau keterangan
bagaimana sesuatu harus dilaksanakan. Oleh karena itu, kalimat-kalimatnya berisi
persyaratan atau aturan tertentu agar tujuan kegiatan tertentu berhasil dengan baik.
Contoh wacana ini adalah resep makanan, aturan pengolahan tanah persawahan, dan
sebagainnya. Berikut kutipan wacana prosedural tentang resep makanan.
(2) NASI KUNING BAHAN: beras 375 g, beras ketan 2 sdm, santan kental 500ml, garam secukupnya, lengkuas 5 cm, serai 2 batang, daun salam 2 lembar, kunyit 7 cm parut dan peras airnya, air jeruk nipis ½ sdm. PENDAMPING: ayam panggang bumbu rujak, perkedel kentang, telur rebus, mentimun, tempe kering, seledri, dan cabai merah besar. CARA MEMBUAT: campur beras dengan beras ketan, cuci bersih dan tiriskan. Rebus santan, tambahkan bumbu-bumbu lainnya. Masak hingga mendidih. Kukus beras hingga setengah matang. Angkat dan masak dalam air rebusan santan. Ratakan, kukus kembali hingga matang. Sajikan nasi kuning bersama pendampingnya. (Nyata, No. 1748, Desember 2004)
3) Wacana Ekspositori
Wacana ekspositori bersifat menjelaskan sesuatu secara informasi. Bahasa
yang digunakan cenderung denotatif dan rasional. Termasuk dalam wacana ini adalah
ceramah ilmiah, artikel di media massa. Berikut ini adalah contoh wacana ekspositori
yang diambil darai salah satu kutipan artikel pada suatu media massa bertopik
telekomunikasi.
(3) CDMA merupakan salah satu teknologi yang digunakan dalam sistem telekomunikasi. Beberapa operator seluler sebelumnya pernah muncul, menggunakan teknologi AMPS, misalnya Metrosel. Lahir pula operator GSM seperti Telkomsel dan Indosat. Kini ada operator yang memanfaatkan teknologi CDMA. Ketiganya sama-sama teknologi yang diimplementasikan dalam penyediaan layanan komunikasi.
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
14
4) Wacana Hortatori
Wacana hortatori digunakan untuk mempengaruhi pendengar atau pembaca
agar tertarik terhadap pendapat yang dikemukakan. Sifatnya persuasif. Tujuannya
ialah mencari pengikut/penganut agar bersedia melakukan, atau paling tidak
menyetujui hal yang disampaikan dalam wacana tersebut. Contoh wacana semacam
ini adalah pidato politik, iklan atau sejenisnya. Berikut ini adalah contoh wacana
hortatori yang bernada persuasif.
(4) Saya menangis melihat jalannya pemerintahan. Banyak pejabat yang tidak bisa dijadikan teladan. Bahkan, mereka dengan terang-terangan berani memakan uang rakyat. Sudah saatnya kita menjemput semangat baru bernama demokrasi. Saudara-saudara sekalian, kalian tidak perlu takut, cemas, atau khawatir. Bersama saya, kita maju membuka lembaran baru. Bekerja keras membangun Indonesia baru! Setuju?
5) Wacana Dramatik
Wacana dramatik adalah bentuk wacana yang berisi percakapan antar penutur.
Sedapat mungkin menghindari atau meminimalkan sifat narasi di dalamnya. Contoh
teks dramatik adalah skenario film/sinetron, pentas wayang orang, ketoprak, dan
sandiwara, dan sejenisnya.
Berikut kutipan singkat wacana dramatik.
(5) Ibu : “Anakku, kamu sudah dewasa. Apalagi sekarang ini ibu sudah tua.”
Anak : “Maksud Ibu?” Ibu : “Ibu ingin segera punya cucu. Ibu ingin sekali menjadi nenek.
Kamu harus segera cari istri.” Anak : “Saya kan belum punya pekerjaan tetap, Bu! Bagaimana nanti
saya menghidupi istri dan anak-anak saya.” Ibu : “Tidak usah khawatir. Ibu ada tabungan yang cukup buat
kamu buka usaha. Tapi kamu harus pandai cari tambahan modal. Terima ini.”
Anak : “Terima kasih, Bu.”
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
15
6) Wacana Epistoleri
Wacana epistoleri digunakan dalam surat-menyurat. Pada umumnya memiliki
bentuk dan sistem tertentu yang sudah menjadi kebiasaan atau aturan. Secara
keseluruhan, bagian wacana diawali oleh alinea pembuka, dilanjutkan bagian isi, dan
diakhiri alinea penutup. Contoh kutipan sebuah surat pribadi berikut.
(6) Kepada istriku tercinta Retno Evi Widiastuti di rumah. Seperti biasanya suamimu langsung kangen begitu menginjakkan kaki di negeri orang. Tapi aku sehat dan selamat sampai tujuan. Oya, semester ini aku mungkin tidak bisa pulang ke Indonesia. Penelitianku makin sulit. Promotor terus mendorong supaya aku cepat selesai. Sebenarnya badan dan pikiranku agak lelah juga. Tapi aku sudah bertekad tahun ini harus lulus! Istriku, doakan suamimu dari jauh. Terakhir, salam dan cintaku untuk anak-anak kita, Vio dan Vinsa. Bimbing mereka. Semoga Allah menyayangi kita semua.
b. Berdasarkan Media Penyampaian
Berdasarkan media penyampaian, wacana dapat dipilah menjadi dua, yaitu
wacana tulis dan wacana lisan.
1) Wacana Tulis
Wacana tulis adalah jenis wacana yang disampaikan melalui tulisan. Berbagai
bentuk wacana sebenarnya dapat dipresentasikan atau direalisasikan melalui tulisan.
Sampai saat ini, tulisan masih merupakan media yang sangat efektif dan efisien untuk
menyampaikan berbagai gagasan, wawasan, ilmu pengetahuan, atau apapun yang
dapat mewakili kreativitas manusia. Wacana tulis sering dipertukarkan maknanya
dengan teks atau naskah. Namun, untuk kepentingan bidang kajian wacana yang
tampaknya terus berusaha menjadi disiplin ilmu mandiri, kedua istilah teresebut
kurang mendapat tempat dalam kajian wacana. Apalagi istilah teks atau naskah
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
16
tampaknya hanya berorientasi pada huruf (graf), sedangkan gambar tidak termasuk di
dalamnya.
2) Wacana Lisan
Wacana lisan adalah jenis wacana yang disampaikan secara lisan atau langsung
dengan bahasa verbal. Jenis wacana ini sering disebut sebagai tuturan (speech) atau
ujaran (utterance). Adanya kenyataan bahwa pada dasarnya bahasa kali pertama lahir
melalui mulut/lisan. Oleh karena itu, wacana yang utama, primer, dan sebenarnya
adalah wacana lisan. Kajian yang sungguh-sungguh terhadap wacanapun seharusnya
menjadikan wacana lisan sebagai sasaran penelitian. Tentunya, dalam posisi ini
wacana tulis dianggap sebagai bentuk turunan (duplikasi) semata.
c. Berdasarkan Jumlah Penutur
1) Wacana Monolog
Wacana monolog adalah jenis wacana yang dituturkan oleh satu orang.
Umumnya, wacana monolog tidak menghendaki dan tidak menyediakan alokasi waktu
terhadap respon pendengar atau pembacanya. Penuturannya bersifat satu arah, yaitu
dari pihak penutur. Beberapa bentuk wacana monolog, antara lain, adalah pidato,
pembacaan puisi, khotbah jumat, pembacaan berita, dan sebagainya. Pada
kenyataannya, dalam suatu orasi, ceramah, atau pidato tertentu, penutur secara
improvisasi kadang-kadang justru mencoba berinteraksi dengan pendengarnya.
2) Wacana Dialog
Wacana dialog adalah jenis wacana yang dituturkan oleh dua orang atau lebih.
Jenis wacana ini bisa berbentuk tulis ataupun lisan. Wacana dialog tulis, sebagaimana
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
17
telah disinggung sebelumnya, memiliki bentuk yang sama dengan wacana drama
(dialog skenario, dialog ketoprak, lawakan, dan sebagainya).
Dalam kajian wacana, istilah penutur (addreser) atau orang pertama (O1),
terkadang disebut pula sebagai penyapa, pembicara, penulis (wacana tulis). Sedangkan
penutur (addressee) atau orang kedua (O2), sering disamakan dengan sebutan pesapa,
mitra bicara, lawan bicara, pasangan bicara, pendengar, pembaca (wacana tulis).
Berikut ini merupakan contoh wacana dialog.
(7) O1 : “Nggak masuk kuliah?” O2 : “Nggak.” O1 : “Kenapa? Lagi malas?”
O2 : “Nggak juga. Sebenarnya aku sudah rampung teori. Jadi, ya aku konsentrasi ke skripsi saja.”
O1 : “Aku jalan dulu, ya.” O2 : “OK!” d. Berdasarkan Isi
Klasifikasi wacana berdasarkan isi, relatif mudah dikenali. Hal ini disebabkan
antara lain, oleh tersedianya ruang (space) dalam berbagai media yang secara khusus
langsung mengelompokkan jenis-jenis wacana atas dasar isinya. Isi wacana
sebenarnya lebih bermakna sebagai ‘nuansa’ atau ‘muatan’ tentang yang ditulis,
disebutkan, diberitakan, atau diperbincangkan oleh pemakai bahasa (wacana).
Berdasarkan keadaan dan kompleksitas kehidupan manusia, nuansa persoalan
yang satu dengan persoalan lainnya menjadi sulit dipisahkan. Antara wacana sosial
dan politik misalnya, barangkali tidak dapat dipisahkan dengan mudah. Berdasarkan
isinya, wacana dapat dipilah menjadi: wacana politik, wacana sosial, wacana ekonomi,
wacana budaya, wacana militer, wacana hukum, dan wacana kriminalitas.
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
18
1) Wacana Politik
Sebagian orang memandang dunia politik sebagai dunia siasat, penuh strategi,
dan mungkin kelicikan. Lingkungan politik yang demikian itu pada gilirannya
melahirkan istilah-istilah tertentu yang maknanya sangat terbatas.
Contoh wacana politik.
(8) Ketika dunia reformasi (pembangunan kembali segala aspek kehidupan bangsa) dirasakan berhenti, banyak pihak kembali berteriak dan berkeluh.Dari sinilah lahir misalnya wacana Reformasi mati suri. Maknanya, hal yang diperjuangkan dalam gerakan reformasi tidak lagi bergerak, alis mati suri. Akibatnya, penyakit bangsa seperti KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) kembali merajalela.Harga-harga bahan pokok (sembako) tetap liar, tidak terkontrol. Kesengsaraan pun tetap menjadi hidangan sehari-hari rakyat kecil.
2) Wacana Sosial
Wacana sosial berkaitan dengan kehidupan sosial dan kehidupan sehari-hari
masyarakat. Memang cukup sulit untuk mengatakan apa persoalan yang bukan
merupakan persoalan sehari-hari. Masalah makan, pangan, rumah, tabah, pernikahan,
kematian, dan sebagainya hanyalah sejumlah kecil masalah sosial tersebut.
Berikut ini adalah contoh wacana sosial.
(9) Perubahan status tanah dipersoalkan anggota DPRD. Masalah tanah adalah satu dari sejuta masalah hidup manusia yang amat vital dan sensitif. Artinya, sangat mudah menimbulkan konflik sosial. Sebagaimana contoh di atas, persoalan tanah pun melibatkan lembaga wakil rakyat (DPRD). Sebagaimana diketahui, secara hukum formal pertanahan, status tanah dibagi dalam beberapa jenis, seperti (1) HP=Hak Pakai, (2) HGB=Hak Guna Bangunan, (3) HM=Hak Milik. Bahkan, beberapa pendemo tanah di televisi (akhir-akhir ini) juga merentangkan tulisan untuk menuntut status tanah mereka, diantaranya berbunyi: HM=Hak Menetap, TR=Tanah Rakyat, TWT=Tanah Warisan Tuhan, HTSH=Hak Tinggal Sepanjang Hidup, dan seterusnya. Wacana seperti, Bencana terus-menerus mendera Indonesia, Dimana hutanku kini?, Kasus bayi kembar siam hebohkan warga Surabaya, dan seterusnya bisa juga dimasukkan sebagai wacana sosial.
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
19
3) Wacana Ekonomi
Wacana ekonomi berkaitan dengan persoalan ekonomi. Dalam wacana
ekonomi, ada beberapa register yang hanya dikenal di dunia bisnis dan ekonomi.
Ungkapan-ungkapan seperti persaingan pasar, biaya produksi tinggi, langkanya
sembako, konsumen dirugikan, inflasi, devaluasi, harga saham gabungan, dan mata
uang merupakan contoh-contoh register ekonomi. Bila dikaitkan dengan wacana,
beberapa istilah khusus ekonomi akan muncul dan bermakna khusus pula.
Berikut ini merupakan contoh wacana ekonomi.
(10) Pemerintah buy back SUN Rp 1 trilyun. Istilah buy back SUN sama sekali tidak berarti ‘membeli kembali
matahari’. SUN adalah kepanjangan Surat Utang Negara. Pada setiap jatuh tempo SUN, pemerintahan berusaha melakukan pembelian kembali SUN. Langkah ini perlu dilakukan pemerintah untuk mengurangi beban pembayaran pokok utang pada tahun-tahun yang memiliki jatuh tempo besar (misalnya tahun 2004-2009).
4) Wacana Budaya
Wacana budaya berkaitan dengan aktivitas kebudayaan. Meskipun sampai saat
ini makna ‘kebudayaan’ masih terus diperdebatkan, namun pada wilayah kewacanaan
ini, kebudayaan lebih dimaknai sebagai wilayah ‘kebiasaan atau tradisi, adat, sikap
hidup, dan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari’. Wilayah
tersebut kemudian menghasilkan bentuk-bentuk kebahasaan sebagai representasi
aktivitasnya, yang kemudian sebagai wacana budaya.
Representasi aktivitas budaya umumnya lebih dekat kepada hal-hal yang
bersifat kedaerahan. Hal ini bisa dimaklumi mengingat bahasa daaerah merupakan
sarana asli dan pertama yang digunakan masyarakat untuk mengekspresikan hasil-
hasil kebudayaan. Ungkapan budaya seperti mitung ndinani (memperingati ke-tujuh
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
20
harinya) adalah salah satu wacana budaya yang hidup dan dikenal oleh masyarakat
Jawa, yaitu aktivitas budaya yang hidup dan dikenal oleh masyarakat jawa, yaitu
aktivitas budaya berupa kenduri dan doa bersama yang dilakukan masyarakat Jawa
untuk memperingati meninggalnya seseorang pada hari ke tujuh.
5) Wacana Militer
Wacana jenis ini hanya dipakai, dikembangkan di dunia militer. Instansi
militer dikenal sangat suka menciptakan istilah-istilah khusus yang hanya dikenal oleh
kalangan militer. Istilah tersebut umumnya dibentuk dengan cara disingkat dan
diakronimkan (secara alfabetis)
Istilah seperti operasi militer, desersi, intelijen, apel pagi, sumpah prajurit,
dan veteran menjadi istilah yang biasa di dunia militer. Hal-hal tersebut umumnya
hanya dilakukan oleh kalangan militer. Kata operasi dalam operasi militer, misalnya
maknanya berbeda jauh dengan operasi yang dilakukan oleh dokter di rumah sakit.
6) Wacana Hukum dan Kriminalitas
Persoalan hukum dan kriminalitas, sekalipun bisa dipisahkan, namun keduanya
bagaikan dua sisi dari mata uang: berbeda tetapi menjadi satu kesatuan. Kriminalitas
menyangkut hukum, dan hukum mengelilingi kriminalitas. Berikut adalah beberapa
contoh tentang wacana hukum dan kriminalitas.
(11) Tersangka DPT bertambah (12) Tim pembela berharap kasasi dikabulkan MA (13) Vonis hakim lebih ringan
Seperti halnya jenis wacana lainnya, cirri wacana hukum dan kriminalitas dapat dikenali dari pemilihan kata (diksi) yang digunakan. Pada contoh (11), terdapat kata tersangka (orang yang dikenai status sangkaan perbuatan melawan hukum). Pada contoh (12), muncul bentuk-bentuk tim pembela (beberapa orang dengan profesi pembela, bergelar sarjana hokum bergabung untuk membela klien); kasasi (upaya
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
21
mencari keadilan pada tingkat pengadilan tertinggi di Indonesia); dan MA (Mahkamah Agung). Dan pada contoh (13) digunakan diksi vonis (kata putusan akhir sebuah prosesi pengadilan, eksekusi), dan hakim (profesi penegak hukum, berwenang memutuskan vonis di pengadilan).
7) Wacana Olahraga dan Kesehatan
Sebagaimana halnya wacana hukum dan kriminalitas, dunia olahraga dan
kesehatan juga bisa dibedakan, meski sebenarnya tetap berkaitan secara padu dan
bersifat timbal balik. Dalam hal ini, pilihan kata atau istilah khusus dan bermakna
tertentu baru dapat ditafsirkan dengan benar sepanjang terlebih dahulu diketahui
konteks terjadinya wacana tersebut. Berkaitan dengan masalah kesehatan, berikut ini
adalah contoh wacana olahraga dan kesehatan.
(14) ‘Sempat jogging 10 menit, didiagnosis jantung ringan’. Istilah jogging adalah aktivitas olahraga ringan yang berkaitan dengan kesehatan. Oleh karena itu, munculnya istilah ‘jantung ringan’ pada bagian berikutnya sama sekali bukan berarti berat jantung yang ringan (tidak berat), tetapi jenis sakit jantung pada stadium awal (masih belum mengkhawatirkan).
Dari beberapa pendapat para ahli mengenai jenis wacana dapat diperoleh
kesimpulan bahwa wacana komik dalam majalah Donal Bebek termasuk jenis wacana
naratif karena wacana yang banyak dipergunakan untuk menceritakan kisah. Wacana
komik pada majalah Donal Bebek merupakan wacana tulis karena disampaikan secara
tertulis. Berdasarkan jumlah penutur termasuk wacana monolog dan dialog karena
dapat tuturkan oleh satu orang, dua orang atau lebih. Sementara itu, wacana komik
pada majalah Donal Bebek termasuk wacana sosial karena berkaitan dengan
kehidupan sosial dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
3. Wacana Komik
Komik dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk kartun yang mengungkapkan
karakter dan memerankan suatu cerita dalam urutan yang erat hubungannya dengan
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
22
gambar dan dirancang untuk memberikan hiburan kepada para pembaca (Sudjana dan
Ahmad Rivai, 2010: 64).
Komik terdiri atas berbagai situasi cerita bersambung dan komik sifatnya
humor. Komik memusatkan perhatian di sekitar rakyat, cerita-ceritanya mengenai diri
pribadi sehingga pembaca dapat segera mengidentifikasikan dirinya melalui perasaan
serta tindakan dari perwatakan-perwatakan tokoh utamanya. Cerita-ceritanya ringkas
dan menarik perhatian, dilengkapi dengan aksi, bahkan dalam lembaran surat kabar
dan buku-buku, komik dibuat lebih hidup serta diolah dengan pemakaian warna-warna
utama secara bebas. Dalam wacana terdapat pemikiran-pemikiran pengarang yang
dituangkan melalui cerita yang ditulisnya. Pemikiran pengarang tersebut memiliki
tujuan agar menarik perhatian pembaca, baik melalui bahasa yang digunakan maupun
melalui pesan yang disamapaikan melalui cerita. Komik merupakan salah satu bentuk
wacana karena di dalamnya terkandung tuturan-tuturan para tokoh yang menjalin
cerita.
Dengan demikian komik merupakan suatu cerita dalam urutan gambar-gambar
yang berhubungan erat, dirancang untuk menghibur para pembacanya. Komik telah
mencapai popularitas secara luas terutama sebagai medium hiburan, tetapi juga
sebagai media pendidikan bagi semua siswa dari berbagai tingkat usia bahkan orang
dewasa.
D. Konteks Tuturan
Mulyana (2005: 21) memberikan definisi konteks adalah situasi atau latar
terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan
terjadinya suatu pembicaraan/dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
23
tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat
tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu.
Alwi, dkk. (2003: 421-422) menyatakan bahwa konteks wacana terdiri atas
berbagai unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik,
peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana. Tiga unsur yang terakhir, yaitu bentuk
amanat, kode, dan sarana perlu mendapat penjelasan. Bentuk amanat dapat berupa
surat, esai, iklan, pemberitahuan, pengumuman, dan sebagainya. Kode ialah ragam
bahasa yang dipakai, misalnya bahasa Indonesia baku, bahasa Indonesia logat daerah,
atau bahasa daerah. Sarana adalah wahana komunikasi yang dapat berwujud
pembicaraan bersemuka atau lewat telepon, surat dan televisi.
Wijana dan Muhammad Rohmadi (2011: 15) mengemukakan bahwa konteks
tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau seting sosial
yang relevan dari tuturan bersangkutan. Rahardi (2005: 49) juga mengemukakan
bahwa konteks mencakup dua macam hal, yakni konteks yang bersifat sosial (social)
dan konteks yang bersifat sosietal (societal). Konteks sosial (social context) adalah
konteks yang timbul sebagai akibat dari munculnya interaksi antaranggota masyarakat
dalam suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu. Sedangkan konteks sosietal
(societal context) adalah konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan (rank)
anggota masyarakat dalam institusi-institusi sosial yang ada di dalam masyarakat
sosial dan budaya tertentu.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa konteks merupakan
situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, amanat, kode,
sarana suatu komunikasi. Konteks tuturan dapat mencakup aspek-aspek tuturan yang
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
24
relevan baik secara fisik maupun nonfisik. Konteks merupakan latar belakang
pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan mitra tutur serta yang
mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan penutur itu di dalam
bertutur.
E. Hubungan Wacana dengan Pragmatik
Rani, dkk.(2006: 3) dalam buku yang berjudul Analisis Wacana menyatakan
bahwa wacana merupakan satuan bahasa yang paling besar yang digunakan dalam
komunikasi. Satuan bahasa dibawahnya secara berturut-turut adalah kalimat, frase,
kata, dan bunyi. Secara berurutan, rangkaian bunyi membentuk kata. Rangkaian kata
membentuk frase dan rangkaian frase membentuk kalimat. Akhirnya, rangkaian
kalimat membentuk wacana. Semuanya itu bisa lisan atau tulis.
Pragmatik berhubungan dengan wacana melalui bahasa dan konteks. Dalam
hal ini dapat dibedakan tiga hal yang selalu berhubungan yaitu sintaksis, semantik dan
pragmatik. Sintaksis merupakan hubungan antar unsur, semantik adalah makna, baik
dari setiap unsur maupun makna antar hubungan (pertimbangan makna leksikal dan
gramatikal), dan pragmatik berhubungan dengan hasil ujaran (pembicara dan
pendengar atau penulis dan pembaca) (Firdawati, 2011).
Mulyana (2005: 79) menyatakan pendekatan pragmatik terhadap wacana perlu
mempertimbangkan faktor-faktor nonverbal, seperti:
1. para lingual (intonasi, nada, pelan, dan keras), 2. kinesik (gerak tubuh dalam komunikasi, gerakan mata, tangan kaki, dan
sebagainya), 3. proksemik (jarak yang diambil oleh penutur), 4. krosenik (penggunaan dan strukturisasi waktu dalam interaksi).
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
25
Disamping itu prgamatik juga mencakup empat hal, yaitu: (1) deiksis, (2)
tindak ujar, (3) praanggapan, dan (4) implikatur. Penulis membatasi pada penelitian
ini akan membahas tentang implikatur.
F. Pragmatik
Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau
penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca) (Yule, 2006:3). Levinson
(dalam Rahardi, 2005:48) menyatakan pragmatik sebagai studi bahasa yang
mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi
dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya.
Leech (dalam Wijana dan Muhammad Rohmadi, 2011:5) mendefinisikan
pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang mengkaji penggunaan bahasa berintegrasi
dengan tatabahasa yang tediri atas fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.
Dari pengertian beberapa para ahli bahasa dapat disimpulkan bahwa pragmatik
adalah studi tentang makna yang mempelajari bahasa dengan konteksnya yang tidak
dapat dilepaskan dari stuktur bahasanya. Dengan kata lain pragmatik mempelajari
bahasa secara eksternal.
G. Implikatur
Echols (dalam Mulyana, 2005: 11) mendefinisikan secara etimologis,
implikatur diturunkan dari implicatum. Secara nominal, istilah ini hampir sama
dengan kata implication, yang artinya maksud, pengertian, keterlibatan. Dalam
lingkup analisis wacana, implikatur berarti sesuatu yang terlibat atau menjadi bahan
pembicaraan. Secara struktural, implikatur berfungsi sebagai jembatan/rantai yang
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
26
menghubungkan antara yang diucapkan dengan yang diimplikasikan. Jadi, suatu
dialog yang mengandung implikatur akan selalu melibatkan penafsiran yang tidak
langsung.
Di dalam penuturan yang sebenarnya, penutur dan mitra tutur dapat secara
lancar berkomunikasi karena mereka berdua memiliki semacam kesamaan latar
belakang pengetahuan tentang pengetahuan yang dipertuturkan itu. Grice (1975) di
dalam artikelnya yang berjudul Logic and Conversation menyatakan bahwa sebuah
tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan
tersebut. Proposisi yang diimplikasikan itu dapat disebut dengan implikatur
percakapan (Rahardi, 2005: 42-43).
Grice (dalam Mulyana, 2005:11) mengemukakan bahwa implikatur ialah
ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang sebenarnya
diucapkan. Sesuatu yang berbeda tersebut adalah maksud pembicaraan yang tidak
dikemukakan secara eksplisit. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan,
atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi.
Grice (dalam Mulyana, 2005: 12) menyatakan, bahwa ada dua macam
implikatur yaitu (1) conventional implicature (implikatur konvensional), dan (2)
conversation implicature (implikatur percakapan).
1. Implikatur Konvensional (Conventional Implicature)
Implikatur konvensional ialah pengertian yang bersifat umum dan konvensional
(Mulyana, 2005: 12). Semua orang sudah mengetahui tentang maksud atau pengertian
sesuatu hal tersebut. Contohnya tampak pada wacana berikut ini.
(15) Muhammad Ali adalah petarung yang indah. (16) Lestari putri Solo, jadi luwes.
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
27
Kata petarung pada (15) berarti ‘atlet tinju’. Pemaknaan ini dipastikan benar,
Karena secara umum (konvensional), orang sudah mengetahui bahwa Muhammad Ali
adalah atlet tinju, yang legendaris. Jadi dalam konteks wacana tersebut, orang tidak
akan memahami kata petarung dengan pengertian yang lain. Demikian juga implikasi
umum yang dapat diambil antara putrid Solo dengan luwes pada contoh (16). Selama
ini, kota Solo selalu mendapat predikat sebagai kota kebudayaan yang penuh dengan
kehalusan dan keluwesan putri-putrinya. Implikasi yang muncul adalah, bahwa
perempuan atau wanita Solo umumnya dikenal luwes penampilannya (Mulyana,
2005:12).
2. Implikatur Percakapan (Conversation Implicature)
Implikatur percakapan memiliki makna dan pengertian yang lebih bervariasi.
Pasalnya, pemahaman terhadap hal “yang dimaksudkan” sangat tergantung kepada
konteks terjadinya percakapan. Implikatur percakapan hanya muncul dalam suatu
tindak percakapan (speech act). Oleh karenanya, implikatur tersebut bersifat temporer
(terjadi saat berlangsungnya tindak percakapan), dan nonkonvensional (sesuatu yang
diimplikasikan tidak mempunyai relasi langsung dengan tuturan yang diucapkan)
Levinson (dalam Mulyana, 2005: 13).
Dalam suatu dialog (percakapan), sering terjadi seorang penutur tidak
mengutarakan maksudnya secara langsung. Hal yang hendak diucapkan justru
disembunyikan, diucapkan secara tidak langsung, atau yang diucapkan sama sekali
berbeda dengan maksud ucapannya.
Contoh:
(17) Guru : “Kelasnya panas sekali, ya.” Murid : “Jendelanya dibuka ya, Pak?”
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
28
Percakapan antara guru dengan murid pada contoh (17) mengandung
implikatur yang bermakna: perintah guru untuk melakukan sesuatu agar panas di kelas
berkurang. Dalam tuturan itu, tidak ada sama sekali bentuk kalimat perintah. Tuturan
yang diucapkan guru hanyalah pemberitahuan bahwa kelasnya panas sekali. Murid
yang paham maksud gurunya, segera membuka jendela (Mulyana, 2005:13).
Jika suatu ucapan mempunyai makna dibalik apa yang dikatakan, maka ucapan
itu dapat dikatakan memiliki implikatur. Implikatur percakapan muncul ketika seorang
pendengar menilai bahwa pembicara telah melanggar atau menyimpang dari salah satu
atau beberapa maksim dari prinsip kerjasama.
Levinson (dalam Mulyana, 2005: 13-14) menyatakan bahwa keberadaan
implikatur dalam suatu percakapan (wacana dialog) diperlukan anatara lain untuk:
a. memberi penjelasan fungsional atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori linguistik struktural,
b. menjembatani proses komunikasi antar penutur, c. memberi penjelasan yang tegas dan eksplisit tentang bagaimana
kemungkinan pemakai bahasa dapat menangkap pesan, walaupun hal yang diucapkan secara lahiriah berbeda dengan hal yang dimaksud,
d. dapat meyederhanakan pemerian semantik dari perbedaan hubungan antarklausa, meskipun klausa-klausa itu dihubungkan dengan kata dan struktur yang sama,
e. dapat menerangkan berbagai macam fakta dan gejala kebahasaan yang lahiriah tidak berkaitan.
H. Aturan Percakapan
Allan (dalam Rahardi, 2005: 52) mengemukakan bahwa bertutur adalah
kegiatan yang berdimensi sosial. Seperti lazimnya kegiatan-kegiatan sosial lain,
kegiatan bertutur dapat berlangsung dengan baik apabila para peserta pertuturan itu
semuanya terlibat aktif dalam proses bertutur tersebut. Apabila terdapat satu atau lebih
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
29
pihak yang tidak terlibat aktif dalam kegiatan bertutur, dapat dipastikan pertuturan itu
tidak dapat berjalan lancar.
Proses komunikasi penutur dan mitra tutur dapat berjalan baik dan lancar,
mereka haruslah dapat bekerja sama. Bekerja sama yang baik di dalam proses bertutur
itu, salah satunya dapat dilakukan dengan berperilaku sopan kepada pihak lain.
1. Prinsip Kerja Sama
Allan (dalam Wijana dan Muhammad Rohmadi, 2011: 43-44) mengatakan
bahwa berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti halnya aktivitas-aktivitas sosial yang
lain, kegiatan berbahasa baru terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam
berbicara, penutur dan lawan tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah
yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya
terdapat tindakan dan ucapan lawan tuturnya.
Dalam komunikasi yang wajar dapat diasumsikan bahwa seorang penutur
mengartikulasikan ujaran dengan maksud mengkomunikasikan sesuatu agar lawan
bicaranya dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk itu, penutur
selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas, dan mudah
dipahami, padat dan ringkas, dan selalu mengacu pada persoalan (straight forward),
sehingga tidak menghabiskan waktu lawan bicaranya.
Grice (dalam Wijana dan Muhammad Rohmadi, 2011: 44-50) mengemukakan
bahwa dalam rangka melaksanakan prinsip kerjasama itu, setiap penutur harus
mematuhi 4 (empat) maksim percakapan (conversational maxim) yakni (a) maksim
kuantitas (maxim of quantity), (b) maksim kualitas (maxim of quality), (c) maksim
relevansi (maxim of relevance), dan (d) maksim pelaksanaan (maxim of manner).
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
30
a. Maksim Kuantitas (Maxim of Quantity)
Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan
kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya.
Misalnya penutur yang berbicara secara wajar tentu akan memilih (18) dibandingkan
dengan (19).
(18) Tetangga saya hamil. (19) Tetangga saya yang perempuan hamil.
Ujaran (18) disamping lebih ringkas, juga tidak menyimpangkan nilai
kebenaran (truth value). Setiap orang tentu tahu bahwa hanya orang-orang wanitalah
yang mungkin hamil. Dengan demikian, elemen yang perempuan dalam tuturan (19)
sudah menyarankan tuturan itu. Kehadiran yang perempuan dalam (19) justru
menerangkan hal-hal yang sudah jelas. Hal ini bertentangan dengan maksim kuantitas.
b. Maksim Kualitas (Maxim of Quality)
Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan hendaknya didasarkan
pada bukti-bukti yang memadai. Misalnya seorang harus mengatakan bahwa ibu kota
Indonesia adalah Jakarta bukan kota-kota lain kecuali kalau benar-benar tidak tahu.
Akan tetapi, bila terjadi hal yang sebaliknya, tentu ada alasan-alasan mengapa hal
demikian bisa terjadi.
(20) Guru :“Coba kamu Andi, apa ibukota Bali?” Andi :“Surabaya, Pak Guru.” Guru: “Bagus, kalau begitu ibukota Jawa Timur Denpasar, ya?”
Dalam wacana (20) di atas tampak guru memberikan kontribusi yang
melanggar maksim kualitas. Guru mengatakan ibukota Jawa Timur adalah Denpasar
bukannya Surabaya. Jawaban yang tidak mengindahkan maksim kualitas ini
diutarakan sebagai reaksi terhadap jawaban Andi yang salah/dengan jawaban ini sang
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
31
murid (Andi) sebagai individu yang memiliki kompetensi komunikatif
(communicative competence) kemudian secara serta merta mencari jawaban mengapa
gurunya membuat pertanyaan yang salah. Mengapa kalimat Bapak guru diutarakan
dengan nada yang berbeda. Dengan bukti-buktti yang memadai akhirnya Andi
mengetahui bahwa jawaban terhadap pertanyaan gurunya salah. Kata bagus yang
diucapkan guru tidak konvensional karena tidak digunakan seperti biasanya untuk
memuji, tetapi sebaliknya untuk mengejek.
c. Maksim Relevansi (Maxim of Relevance)
Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan
kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Untuk lebih jelasnya perhatikan
wacana (21) berikut.
(21) Anak :“Pak, ada tabrakan motor lawan truk di pertigaan depan.” Bapak: “Yang menang apa hadiahnya?”
Bila sang bapak sebagai peserta percakapan yang kooperatif, tidak selayaknya
ia mempersamakan peristiwa kecelakaan yang dilihat anaknya itu dengan sebuah
pertandingan atau kejuaraan. Di dalam kecelakaan, tidak ada pemenang dan tidak ada
pula pihak yang akan menerima hadiah. Semua pihak akan menderita kerugian,
bahkan ada kemungkinan salah satu, atau kedua belah pihak meninggal dunia.
Agaknya di luar maksud untuk melucu kontribusi bapak dalam (21) sulit dicarikan
hubungan implikasionalnya.
d. Maksim Pelaksanaan (Maxim of Manner)
Maksim pelaksanaan mengaharuskan setiap peserta percakapan berbicara
secara langsung, tidak kabur, tidak taksa (ambiguity) dan tidak berlebih-lebihan, serta
runtut.
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
32
Contoh: (22) Anak: “Bu, besok saya akan pulang lagi ke kota.”
Ibu: “Itu sudah saya siapkan di laci meja.”
Dari cuplikan di atas, tampak bahwa tuturan yang dituturkan sang anak, yakni
yang berbunyi “Bu, besok saya akan pulang lagi ke kota.” relatif kabur maksudnya.
Maksud yang sebenarnya dari tuturan si anak ini, bukannya terutama ingin
memberitahu kepada sang Ibu bahwa ia akan segera kembali ke kota, melainkan lebih
dari itu, yakni bahwa ia sebenarnya ingin menanyakan apakah sang Ibu sudah siap
dengan sejumlah uang yang sudah diminta sebelumnya. Seperti telah disampaikan
terdahulu, di dalam masyarakat tutur Jawa, justru kesantunan berbahasa banyak
dimarkahi oleh ketidakjelasan, ketidaklangsungan, kekaburan, dan semacamnya.
Orang yang terlibat di dalam pertuturan diharapkan dapat membaca maksud
tersembunyi dari si mitra tutur. Dengan demikian, jelas bahwa dalam komunikasi
yang sebenarnya, maksim pelaksanaan pada Prinsip Kerja Sama Grice itu seringkali
tidak dipatuhi atau bahkan mungkin harus dilanggar (Rahardi, 2005: 58).
2. Prinsip Kesantunan
Berbicara tidak selamanya berkaitan dengan masalah yang bersifat tekstual,
tetapi sering pula berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal. Bila
sebagai retorika tekstual pragmatik membutuhkan prinsip kerja sama, sebagai retorika
interpersonal pragmatik membutuhkan prinsip lain, yakni prinsip kesopanan (Wijana
dan Muhammad Rohmadi, 2011: 53).
Rahardi (2005: 60-66) menjabarkan prinsip-prinsip kesantunan dalam enam
maksim, yaitu:(a) maksim kebijaksanaan, (b) maksim kedermawanan atau maksim
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
33
kemurahan hati, (c) maksim penghargaan, (d) maksim kesederhanaan atau kerendahan
hati, (e) maksim permufakatan atau kecocokan, dan (f) maksim kesimpatian.
a. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
Maksim kebijaksanaan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya
berpegang teguh pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan
memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang
berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai
orang santun. Jika di dalam bertutur berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia
akan menghindarkan diri dari sikap dengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang
santun terhadap mitra tutur.
Contoh:
(23) Tuan rumah : “Silakan makan saja dulu, nak! Tadi kami semua sudah mendahului.”
Tamu : “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”
Konteks tuturan:
Dituturkan oleh seorang Ibu kepada anak muda yang sedang bertamu di rumah Ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di rumah Ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda.
Di dalam tuturan (23) tersebut tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang
dituturkan si Tuan rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang Tamu.
Lazimnya, tuturan semacam itu dapat ditemukan dalam keluarga pada masyarakat
tutur desa. Orang-orang desa biasanya sangat menghargai tamu, baik tamu yang
datangnya secara kebetulan maupun tamu yang sudah direncanakan kedatangannya.
Bahkan, seringkali ditemukan bahwa minuman atau makanan yang disajikan kepada
tamu diupayakan sedemikian rupa sehingga layak diterima dan dinikmati oleh sang
tamu. Orang dalam masyarakat tutur Jawa mengatakan hal demikian itu dengan istilah
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
34
diada-adakan. Dalam masyarakat tutur Jawa sikap yang demikian sangat sering
muncul dan dengan mudah dapat ditemukan dalam pertuturan.
b. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)
Maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati adalah bahwa para
peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap
orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya
sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Tuturan (24) pada contoh
berikut dapat memperjelas pernyataan ini.
(24) Anak kos A: “Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak kok, yang kotor.” Anak kos B: “Tidak usah, Mbak. Nanti saya akan mencuci juga kok.” Konteks tuturan:
Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antaranak kos pada sebuah rumah kos di kota Yogayakarta. Anak yang satu berhubungan demikian erat dengan anak yang satunya.
Dari tuturan yang disampaikan si A tersebut, dapat dilihat dengan jelas ia
berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban
bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk
mencucikan pakaian kotornya si B.
c. Maksim Penghargaan (Approbation Maxim)
Didalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap
santun dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain.
Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek,
saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain.
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
35
Tuturan (25) pada contoh berikut dapat memperjelas maksim penghargaan.
(25) Dosen A: “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business English.” Dosen B : “Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari sini.”
Konteks tuturan:
Dituturkan oleh sorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi.
Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B pada
contoh tersebut, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian atau
penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam
pertuturan itu dosen B berperilaku santun terhadap dosen A.
d. Maksim Kesederhanaan atau Kerendahan Hati (Modesty Maxim)
Maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati adalah peserta tutur
diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap
dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam
bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri.
Contoh:
(26) Ibu A : “Nanti Ibu yang memberikan sambutan ya dalam rapat Dasa Wisma.” Ibu B : “Waduh…nanti grogi aku!”
Konteks tuturan:
Dituturkan oleh seorang Ibu anggota Dasa Wisma kepada temannya sesama anggota perkumpulan tersebut ketika mereka bersama-sama berangkat ke tempat pertemuan.
e. Maksim Permufakatan atau Maksim Kecocokan (Agreement Maxim)
Maksim permufakatan atau maksim kecocokan ditekankan agar para peserta
tutur dapat saling membina kecocokan atau permufakatan di dalam kegiatan bertutur.
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
36
Contoh:
(27) Guru A : ”Ruangannya gelap ya, Bu!” Guru B : “He…eh! saklarnya mana ya?”
Konteks tuturan:
Dituturkan oleh seorang guru kepada rekannya yang juga seorang guru pada saat mereka berada di ruang guru.
f. Maksim Kesimpatian (Sympath Maxim)
Maksim kesimpatian diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan
sikap simpati antara pihak satu dengan pihan lainnya. Sikap antipati terhadap salah
seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun.
Contoh:
(28) Karyasiswa A : “Mas, aku akan ujian tesis minggu depan.” Karyasiswa B : “Wah. Proficiat ya! Kapan pesta?”
Konteks tuturan:
Dituturkan oleh seorang karyasiswa kepada karyasiswa yang lain pada saat mereka berada di ruang perpustakaan kampus.
I. Inferensi
Echols dan Hassan Shadily (2005: 320) dalam Kamus Inggris-Indonesia
menyatakan inference berarti kesimpulan atau menarik kesimpulan dari. Menurut
Alwi, dkk. (2003:441) inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh pendengar
atau pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat dalam
wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis.
Dalam wacana lisan yang bersifat dialogis (percakapan), makna-makna ujaran
tidak hanya ditentukan oleh aspek-aspek formal bahasa (kalimat), melainkan juga oleh
konteks situasional (Mulyana, 2005:19). Gumperz (dalam Mulyana, 2005:19-20)
inferensi percakapan adalah proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012
-
37
konteks. Dengan cara itu, pendengar dapat menduga maksud dari pembicara dan
meresponnya. Di samping aspek konteks situasional, aspek sosio-kultural juga
menjadi faktor penting dalam memahami wacana inferensi. Contohnya dalam
percakapan berikut.
(29) O1 :“Wah, sudah masuk kota. Kita cari gudeg dulu. O2 :“Langsung ke Parangtritis saja!
Kota yang dimaksud dalam percakapan tersebut adalah Yogyakarta. Penjelasan
itu dipastikan benar, karena secara kultural Yogyakarta dikenal sebagai kota gudeg.
Lebih jelas lagi jawaban O2 yang menekankan lokasi wisata Parangtritis, yang
memang berada di Yogyakarta. Proses inferensi inilah yang harus dilakukan oleh
pendengar atau pembaca untuk mendapatkan kesimpulan yang jelas (Mulyana,
2005:20).
Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012