BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevanrepository.ump.ac.id/6176/3/TRI ASTUTI BAB...

31
7 BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevan Penelitian tentang implikatur masih dapat diadakan lebih lanjut, baik penelitian yang bersifat melengkapi dengan menggunakan hasil-hasil yang sudah ada atau penelitian yang bersifat baru. Penelitian mengenai implikatur dalam wacana komik pernah dilakukan oleh Nurlaela (2008), dan Ruswati (2008) sedangkan wacana cerkak oleh Yunita Tresnasari (2009). Penelitian dalam wacana komik dilakukan oleh Nurlaela yang berjudul Implikatur dalam Wacana Komik pada Majalah “Bobo” dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Datanya berupa tuturan dalam wacana komik pada majalah Bobo yang berjumlah 99 tuturan yang mengandung implikatur. Sedangkan sumber datanya adalah tuturan yang terdapat dalam majalah Bobo yang terbit pada Februari-Maret 2008 dan juli 2008. Edisi 7 Februari 2008, 21 Februari 2008, 28 Februari, 6 Maret 2008, 20 Maret 2008, 10 Juli 2008, 17 Juli 2008, dan 24 Juli 2008. Tujuan penelitian tersebut, yaitu: (1) mendeskripsikan implikatur yang terdapat dalam wacana komik pada majalah Bobo, dan (2) mendeskripsikan tuturan dalam wacana komik pada majalah Bobo diwujudkan melalui prinsip kerjasama, prinsip kesopanan, konteks tuturan dan skemata. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Ruswati berjudul Implikatur dalam Wacana Komik Mombi pada Majalah “Album Cerita dan Pengetahuan Mombi SD” dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data pada penelitian tersebut adalah tuturan berupa balon kata yang memiliki implikatur yang berjumlah 26 tuturan Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevanrepository.ump.ac.id/6176/3/TRI ASTUTI BAB...

  • 7

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. Penelitian Sejenis yang Relevan

    Penelitian tentang implikatur masih dapat diadakan lebih lanjut, baik penelitian

    yang bersifat melengkapi dengan menggunakan hasil-hasil yang sudah ada atau

    penelitian yang bersifat baru. Penelitian mengenai implikatur dalam wacana komik

    pernah dilakukan oleh Nurlaela (2008), dan Ruswati (2008) sedangkan wacana cerkak

    oleh Yunita Tresnasari (2009).

    Penelitian dalam wacana komik dilakukan oleh Nurlaela yang berjudul

    Implikatur dalam Wacana Komik pada Majalah “Bobo” dengan menggunakan

    metode deskriptif kualitatif. Datanya berupa tuturan dalam wacana komik pada

    majalah Bobo yang berjumlah 99 tuturan yang mengandung implikatur. Sedangkan

    sumber datanya adalah tuturan yang terdapat dalam majalah Bobo yang terbit pada

    Februari-Maret 2008 dan juli 2008. Edisi 7 Februari 2008, 21 Februari 2008, 28

    Februari, 6 Maret 2008, 20 Maret 2008, 10 Juli 2008, 17 Juli 2008, dan 24 Juli 2008.

    Tujuan penelitian tersebut, yaitu: (1) mendeskripsikan implikatur yang terdapat dalam

    wacana komik pada majalah Bobo, dan (2) mendeskripsikan tuturan dalam wacana

    komik pada majalah Bobo diwujudkan melalui prinsip kerjasama, prinsip kesopanan,

    konteks tuturan dan skemata.

    Penelitian serupa juga dilakukan oleh Ruswati berjudul Implikatur dalam

    Wacana Komik Mombi pada Majalah “Album Cerita dan Pengetahuan Mombi SD”

    dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data pada penelitian tersebut

    adalah tuturan berupa balon kata yang memiliki implikatur yang berjumlah 26 tuturan

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 8

     

    yang terdapat dalam wacana komik Mombi. Sumber data penelitian ini adalah wacana

    komik Mombi Vol. 31-2007, Vol. 32-2007, Vol. 34-2008, Vol. 35-2008, Vol. 37-

    2008, Vol. 39-2008 yang merupakan salah satu wacana komik dalam majalah Album

    Cerita dan Pengetahuan Mombi SD. Penelitian tersebut bertujuan untuk

    mendeskripsikan implikatur dalam wacana komik Mombi pada majalah Album Cerita

    dan Pengetahuan Mombi SD.

    Selain penelitian pada wacana komik juga terdapat penelitian tentang

    implikatur pada wacana cerkak (cerita cekak). Penelitian dalam wacana cerkak (cerita

    cekak) dilakukan oleh Yunita Tresnasari. Penelitian tersebut berjudul Implikatur

    dalam Wacana Cerkak (Cerita Pendek Berbahasa Jawa) pada Majalah “Panjebar

    Semangat” dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Jawa di SMP dengan

    menggunakan metode deskriptif kualitatif. Sedangkan datanya berupa kalimat-kalimat

    yang berbentuk monolog dan dialog yang mengandung implikatur. Sumber data dalam

    penelitian tersebut adalah sumber data tulis yaitu wacana cerkak pada majalah

    Panjebar Semangat. Tujuan penelitian tersebut yaitu: (1) mendeskripsikan bentuk

    implikatur dalam wacana cerkak pada majalah Panjebar Semangat, dan (2)

    mendeskripsikan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa jawa di SMP.

    Dari ketiga penelitian tersebut belum ada yang melakukan penelitian mengenai

    implikatur dalam wacana komik pada majalah Donal Bebek. Maka dari itu, penulis

    tertarik untuk meneliti hal tersebut.

    Dari penelitian tersebut penelitian ini memiliki perbedaan. Adapun

    perbedaannya terdapat pada sumber data dan tujuan penelitian. Pada penelitian

    Nurlaela sumber data penelitiannya adalah wacana komik pada majalah Bobo,

    Ruswati sumber data penelitiannya adalah wacana komik pada majalah Album Cerita

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 9

     

    dan penegetahuan Mombi SD dan Yunita Tresnasari dalam wacana cerkak (cerita

    cekak) berbahasa jawa pada majalah Panjebar Semangat. Sedangkan pada penelitian

    ini sumber data penelitiannya adalah wacana komik pada majalah Donal Bebek.

    Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini ada tambahan

    tujuan ketiga yaitu “mendeskripsikan tuturan dalam wacana komik pada majalah

    Donal Bebek melalui inferensi”.

    B. Hakikat Bahasa

    Chaer dan Leonie Agustina (1995:15) memberikan definisi bahasa adalah

    sebuah sistem, artinya, bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola

    secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sebagai sebuah sistem, bahasa selain bersifat

    sistematis juga bersifat sistemis. Dengan sistematis maksudnya, bahasa itu tersusun

    menurut suatu pola tertentu, tidak tersusun secara acak atau sembarangan. Sedangkan

    sistemis, artinya, sistem bahasa itu bukan merupakan sebuah sistem tunggal,

    melainkan terdiri dari sejumlah subsistem, yakni subsistem fonologi, subsistem

    morfologi, subsistem sintaksis, dan subsistem leksikon. Setiap bahasa biasanya

    memiliki sistem yang berbeda dari bahasa lainnya.

    Sistem bahasa yang dibicarakan adalah berupa lambang-lambang dalam

    bentuk bunyi. Artinya, lambang-lambang itu berbentuk bunyi, yang lazim disebut

    bunyi ujar atau bunyi bahasa. Setiap lambang bahasa melambangkan sesuatu yang

    disebut makna atau konsep (Chaer dan Leonie Agustina, 1995: 15).

    Lambang bunyi bahasa itu bersifat arbitrer. Artinya, hubungan antara lambang

    dengan yang dilambangkan tidak bersifat wajib, bisa berubah, dan tidak dapat

    dijelaskan mengapa lambang tersebut mengonsepsi makna tertentu. Kata arbitrer bisa

    diartikan sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana suka (Chaer, 2007: 45).

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 10

     

    Konsep bahwa bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk

    berkomunikasi, dalam arti, alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau

    perasaan. Dalam proses berkomunikasi pikiran hanyalah satu bagian dari sekian

    banyak informasi yang disampaikan. Wardhaugh ( dalam Chaer dan Leonie Agustina,

    1995: 19) juga mengatakan bahwa fungsi bahasa adalah alat komunikasi manusia,

    baik tertulis maupun lisan.

    Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah sebuah

    sistem yang bersifat sistematis dan sistemis yang berupa lambang bunyi bahasa yang

    berfungsi sebagai alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, alat untuk

    menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan baik tertulis maupun lisan.

    C. Wacana

    1. Pengertian Wacana

    Douglas (dalam Mulyana, 2005: 3) menjelaskan istilah ‘wacana’ berasal dari

    bahasa Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya ‘berkata’ atau ‘berucap’. Kata tersebut

    kemudian mengalami perubahan atau perkembangan menjadi wacana. Bentuk ana

    yang muncul di belakang adalah sufiks (akhiran), yang berfungsi membedakan

    (nominalisasi). Jadi, kata wacana dapat diartikan sebagai ‘perkataan’ atau ‘tuturan’.

    Webster (dalam Mulyana, 2005:4) memperluas makna discourse sebagai

    berikut: (a) komunikasi kata-kata, (b) ekspresi gagasan-gagasan, (c) percakapan, dan

    (d) risalah tulisan: makna pidato, ceramah, dan sebagainya. Jadi discourse atau

    wacana berkaitan dengan kata, kalimat, atau ungkapan komunikatif, baik secara lisan

    maupun tulis.

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 11

     

    Menurut Mulyana (2005: 21) wacana adalah wujud atau bentuk yang bersifat

    komunikatif, interpretatif, dan kontekstual. Artinya, pemakaian bahasa ini selalu

    mengandaikan terjadi secara dialogis, perlu adanya kemampuan menginterpretasikan,

    dan memahami konteks terjadinya wacana.

    Rani, dkk.(2006:3) dalam buku yang berjudul Analisis Wacana menyatakan

    bahwa wacana merupakan satuan bahasa yang paling besar yang digunakan dalam

    komunikasi. Satuan bahasa dibawahnya secara berturut-turut adalah kalimat, frase,

    kata, dan bunyi. Secara berurutan, rangkaian bunyi membentuk kata. Rangkaian kata

    membentuk frase dan rangkaian frase membentuk kalimat. Akhirnya, rangkaian

    kalimat membentuk wacana. Semuanya itu bisa lisan atau tulis.

    Berdasarkan definisi dan pendapat-pendapat di atas, maka wacana dapat

    dirumuskan sebagai berikut: (a) ucapan, perkataan, tuturan, (b) keseluruhan tuturan

    yang merupakan suatu kesatuan, dan (c) satuan bahasa terlengkap, yang realisasinya

    tampak pada bentuk karangan yang utuh, seperti novel, buku, artikel, pidato, khotbah,

    dan lain sebagainya yang berupa tulisan ataupun lisan.

    2. Klasifikasi Wacana

    Klasifikasi diperlukan untuk memahami, mengurai, dan menganalisis wacana

    secara tepat. Ketika analisis diperlukan, perlu diketahui terlebih dahulu jenis wacana

    yang dihadapi. Pemahaman ini sangat penting agar proses pengkajian, pendekatan,

    dan teknik-teknik analisis wacana yang digunakan tidak keliru (Mulyana, 2005: 47)

    Pembagian wacana dapat dipilah atas dasar beberapa segi, yaitu (a)

    berdasarkan bentuk, (b) berdasarkan media penyampaian, (c) berdasarkan jumlah

    penutur, (d) berdasarkan sifat, (e) berdasarkan isi, dan (f) berdasarkan gaya dan

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 12

     

    tujuan. Pemilahan atas dasar segi yang lain jelas masih sangat terbuka. Itulah artinya,

    bahwa wacana akan terus mengalami perkembangan di dalam masyarakat bahasa

    (Mulyana, 2005: 47-66). Di sini penulis membatasi klasifikasi wacana karena sumber

    yang penulis teliti yaitu majalah Donal Bebek, berdasarkan bentuknya merupakan

    wacana naratif, berdasarkan media penyampaiannya termasuk wacana tulis,

    berdasarkan jumlah penutur termasuk wacana monolog, dan wacana dialog, dan

    berdasarkan isi termasuk wacana sosial sehingga penulis memaparkan empat

    klasifikasi wacana tersebut.

    a. Berdasarkan Bentuk

    Dengan mendasarkan pada bentuknya, Robert E. Longacre (dalam Mulyana,

    2005: 47) membagi wacana menjadi 6 (enam) jenis, yaitu: wacana naratif, wacana

    prosedural, ekspositori, hortatori, epistoleri, dan wacana dramatik.

    1) Wacana Naratif

    Wacana naratif adalah bentuk wacana yang banyak dipergunakan untuk

    menceritakan suatu kisah. Uraiannya cenderung ringkas. Bagian-bagian yang

    dianggap penting sering diberi tekanan atau diulang. Bentuk wacana naratif umumnya

    dimulai dengan alinea pembuka, isi, dan diakhiri oleh alinea penutup. Contoh bentuk

    naratif adalah siaran Pembinaan Bahasa Indonesia yang disiarkan oleh Radio

    Republik Indonesia (RRI). Berikut ini adalah contoh wacana naratif.

    (1) Masyarakat Indonesia sebagai pemakai bahasa Indonesia dianjurkan untuk menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Baik artinya sesuai dengan konteksnya. Orang harus selalu berpikir, bagaimana sebaiknya menggunakan bahasa secara tepat sesuai situasi dam kondisinya. Selain tepat, juga harus benar. Artinya, bahasa yang kita ucapkan sebaiknya disampaikan atau ditulis dengan pola dan urutan yang benar sesuai dengan gramtika bahasa.

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 13

     

    2) Wacana Prosedural

    Wacana prosedural dimanfaatkan untuk memberikan petunjuk atau keterangan

    bagaimana sesuatu harus dilaksanakan. Oleh karena itu, kalimat-kalimatnya berisi

    persyaratan atau aturan tertentu agar tujuan kegiatan tertentu berhasil dengan baik.

    Contoh wacana ini adalah resep makanan, aturan pengolahan tanah persawahan, dan

    sebagainnya. Berikut kutipan wacana prosedural tentang resep makanan.

    (2) NASI KUNING BAHAN: beras 375 g, beras ketan 2 sdm, santan kental 500ml, garam secukupnya, lengkuas 5 cm, serai 2 batang, daun salam 2 lembar, kunyit 7 cm parut dan peras airnya, air jeruk nipis ½ sdm. PENDAMPING: ayam panggang bumbu rujak, perkedel kentang, telur rebus, mentimun, tempe kering, seledri, dan cabai merah besar. CARA MEMBUAT: campur beras dengan beras ketan, cuci bersih dan tiriskan. Rebus santan, tambahkan bumbu-bumbu lainnya. Masak hingga mendidih. Kukus beras hingga setengah matang. Angkat dan masak dalam air rebusan santan. Ratakan, kukus kembali hingga matang. Sajikan nasi kuning bersama pendampingnya. (Nyata, No. 1748, Desember 2004)

    3) Wacana Ekspositori

    Wacana ekspositori bersifat menjelaskan sesuatu secara informasi. Bahasa

    yang digunakan cenderung denotatif dan rasional. Termasuk dalam wacana ini adalah

    ceramah ilmiah, artikel di media massa. Berikut ini adalah contoh wacana ekspositori

    yang diambil darai salah satu kutipan artikel pada suatu media massa bertopik

    telekomunikasi.

    (3) CDMA merupakan salah satu teknologi yang digunakan dalam sistem telekomunikasi. Beberapa operator seluler sebelumnya pernah muncul, menggunakan teknologi AMPS, misalnya Metrosel. Lahir pula operator GSM seperti Telkomsel dan Indosat. Kini ada operator yang memanfaatkan teknologi CDMA. Ketiganya sama-sama teknologi yang diimplementasikan dalam penyediaan layanan komunikasi.

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 14

     

    4) Wacana Hortatori

    Wacana hortatori digunakan untuk mempengaruhi pendengar atau pembaca

    agar tertarik terhadap pendapat yang dikemukakan. Sifatnya persuasif. Tujuannya

    ialah mencari pengikut/penganut agar bersedia melakukan, atau paling tidak

    menyetujui hal yang disampaikan dalam wacana tersebut. Contoh wacana semacam

    ini adalah pidato politik, iklan atau sejenisnya. Berikut ini adalah contoh wacana

    hortatori yang bernada persuasif.

    (4) Saya menangis melihat jalannya pemerintahan. Banyak pejabat yang tidak bisa dijadikan teladan. Bahkan, mereka dengan terang-terangan berani memakan uang rakyat. Sudah saatnya kita menjemput semangat baru bernama demokrasi. Saudara-saudara sekalian, kalian tidak perlu takut, cemas, atau khawatir. Bersama saya, kita maju membuka lembaran baru. Bekerja keras membangun Indonesia baru! Setuju?

    5) Wacana Dramatik

    Wacana dramatik adalah bentuk wacana yang berisi percakapan antar penutur.

    Sedapat mungkin menghindari atau meminimalkan sifat narasi di dalamnya. Contoh

    teks dramatik adalah skenario film/sinetron, pentas wayang orang, ketoprak, dan

    sandiwara, dan sejenisnya.

    Berikut kutipan singkat wacana dramatik.

    (5) Ibu : “Anakku, kamu sudah dewasa. Apalagi sekarang ini ibu sudah tua.”

    Anak : “Maksud Ibu?” Ibu : “Ibu ingin segera punya cucu. Ibu ingin sekali menjadi nenek.

    Kamu harus segera cari istri.” Anak : “Saya kan belum punya pekerjaan tetap, Bu! Bagaimana nanti

    saya menghidupi istri dan anak-anak saya.” Ibu : “Tidak usah khawatir. Ibu ada tabungan yang cukup buat

    kamu buka usaha. Tapi kamu harus pandai cari tambahan modal. Terima ini.”

    Anak : “Terima kasih, Bu.”

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 15

     

    6) Wacana Epistoleri

    Wacana epistoleri digunakan dalam surat-menyurat. Pada umumnya memiliki

    bentuk dan sistem tertentu yang sudah menjadi kebiasaan atau aturan. Secara

    keseluruhan, bagian wacana diawali oleh alinea pembuka, dilanjutkan bagian isi, dan

    diakhiri alinea penutup. Contoh kutipan sebuah surat pribadi berikut.

    (6) Kepada istriku tercinta Retno Evi Widiastuti di rumah. Seperti biasanya suamimu langsung kangen begitu menginjakkan kaki di negeri orang. Tapi aku sehat dan selamat sampai tujuan. Oya, semester ini aku mungkin tidak bisa pulang ke Indonesia. Penelitianku makin sulit. Promotor terus mendorong supaya aku cepat selesai. Sebenarnya badan dan pikiranku agak lelah juga. Tapi aku sudah bertekad tahun ini harus lulus! Istriku, doakan suamimu dari jauh. Terakhir, salam dan cintaku untuk anak-anak kita, Vio dan Vinsa. Bimbing mereka. Semoga Allah menyayangi kita semua.

    b. Berdasarkan Media Penyampaian

    Berdasarkan media penyampaian, wacana dapat dipilah menjadi dua, yaitu

    wacana tulis dan wacana lisan.

    1) Wacana Tulis

    Wacana tulis adalah jenis wacana yang disampaikan melalui tulisan. Berbagai

    bentuk wacana sebenarnya dapat dipresentasikan atau direalisasikan melalui tulisan.

    Sampai saat ini, tulisan masih merupakan media yang sangat efektif dan efisien untuk

    menyampaikan berbagai gagasan, wawasan, ilmu pengetahuan, atau apapun yang

    dapat mewakili kreativitas manusia. Wacana tulis sering dipertukarkan maknanya

    dengan teks atau naskah. Namun, untuk kepentingan bidang kajian wacana yang

    tampaknya terus berusaha menjadi disiplin ilmu mandiri, kedua istilah teresebut

    kurang mendapat tempat dalam kajian wacana. Apalagi istilah teks atau naskah

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 16

     

    tampaknya hanya berorientasi pada huruf (graf), sedangkan gambar tidak termasuk di

    dalamnya.

    2) Wacana Lisan

    Wacana lisan adalah jenis wacana yang disampaikan secara lisan atau langsung

    dengan bahasa verbal. Jenis wacana ini sering disebut sebagai tuturan (speech) atau

    ujaran (utterance). Adanya kenyataan bahwa pada dasarnya bahasa kali pertama lahir

    melalui mulut/lisan. Oleh karena itu, wacana yang utama, primer, dan sebenarnya

    adalah wacana lisan. Kajian yang sungguh-sungguh terhadap wacanapun seharusnya

    menjadikan wacana lisan sebagai sasaran penelitian. Tentunya, dalam posisi ini

    wacana tulis dianggap sebagai bentuk turunan (duplikasi) semata.

    c. Berdasarkan Jumlah Penutur

    1) Wacana Monolog

    Wacana monolog adalah jenis wacana yang dituturkan oleh satu orang.

    Umumnya, wacana monolog tidak menghendaki dan tidak menyediakan alokasi waktu

    terhadap respon pendengar atau pembacanya. Penuturannya bersifat satu arah, yaitu

    dari pihak penutur. Beberapa bentuk wacana monolog, antara lain, adalah pidato,

    pembacaan puisi, khotbah jumat, pembacaan berita, dan sebagainya. Pada

    kenyataannya, dalam suatu orasi, ceramah, atau pidato tertentu, penutur secara

    improvisasi kadang-kadang justru mencoba berinteraksi dengan pendengarnya.

    2) Wacana Dialog

    Wacana dialog adalah jenis wacana yang dituturkan oleh dua orang atau lebih.

    Jenis wacana ini bisa berbentuk tulis ataupun lisan. Wacana dialog tulis, sebagaimana

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 17

     

    telah disinggung sebelumnya, memiliki bentuk yang sama dengan wacana drama

    (dialog skenario, dialog ketoprak, lawakan, dan sebagainya).

    Dalam kajian wacana, istilah penutur (addreser) atau orang pertama (O1),

    terkadang disebut pula sebagai penyapa, pembicara, penulis (wacana tulis). Sedangkan

    penutur (addressee) atau orang kedua (O2), sering disamakan dengan sebutan pesapa,

    mitra bicara, lawan bicara, pasangan bicara, pendengar, pembaca (wacana tulis).

    Berikut ini merupakan contoh wacana dialog.

    (7) O1 : “Nggak masuk kuliah?” O2 : “Nggak.” O1 : “Kenapa? Lagi malas?”

    O2 : “Nggak juga. Sebenarnya aku sudah rampung teori. Jadi, ya aku konsentrasi ke skripsi saja.”

    O1 : “Aku jalan dulu, ya.” O2 : “OK!” d. Berdasarkan Isi

    Klasifikasi wacana berdasarkan isi, relatif mudah dikenali. Hal ini disebabkan

    antara lain, oleh tersedianya ruang (space) dalam berbagai media yang secara khusus

    langsung mengelompokkan jenis-jenis wacana atas dasar isinya. Isi wacana

    sebenarnya lebih bermakna sebagai ‘nuansa’ atau ‘muatan’ tentang yang ditulis,

    disebutkan, diberitakan, atau diperbincangkan oleh pemakai bahasa (wacana).

    Berdasarkan keadaan dan kompleksitas kehidupan manusia, nuansa persoalan

    yang satu dengan persoalan lainnya menjadi sulit dipisahkan. Antara wacana sosial

    dan politik misalnya, barangkali tidak dapat dipisahkan dengan mudah. Berdasarkan

    isinya, wacana dapat dipilah menjadi: wacana politik, wacana sosial, wacana ekonomi,

    wacana budaya, wacana militer, wacana hukum, dan wacana kriminalitas.

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 18

     

    1) Wacana Politik

    Sebagian orang memandang dunia politik sebagai dunia siasat, penuh strategi,

    dan mungkin kelicikan. Lingkungan politik yang demikian itu pada gilirannya

    melahirkan istilah-istilah tertentu yang maknanya sangat terbatas.

    Contoh wacana politik.

    (8) Ketika dunia reformasi (pembangunan kembali segala aspek kehidupan bangsa) dirasakan berhenti, banyak pihak kembali berteriak dan berkeluh.Dari sinilah lahir misalnya wacana Reformasi mati suri. Maknanya, hal yang diperjuangkan dalam gerakan reformasi tidak lagi bergerak, alis mati suri. Akibatnya, penyakit bangsa seperti KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) kembali merajalela.Harga-harga bahan pokok (sembako) tetap liar, tidak terkontrol. Kesengsaraan pun tetap menjadi hidangan sehari-hari rakyat kecil.

    2) Wacana Sosial

    Wacana sosial berkaitan dengan kehidupan sosial dan kehidupan sehari-hari

    masyarakat. Memang cukup sulit untuk mengatakan apa persoalan yang bukan

    merupakan persoalan sehari-hari. Masalah makan, pangan, rumah, tabah, pernikahan,

    kematian, dan sebagainya hanyalah sejumlah kecil masalah sosial tersebut.

    Berikut ini adalah contoh wacana sosial.

    (9) Perubahan status tanah dipersoalkan anggota DPRD. Masalah tanah adalah satu dari sejuta masalah hidup manusia yang amat vital dan sensitif. Artinya, sangat mudah menimbulkan konflik sosial. Sebagaimana contoh di atas, persoalan tanah pun melibatkan lembaga wakil rakyat (DPRD). Sebagaimana diketahui, secara hukum formal pertanahan, status tanah dibagi dalam beberapa jenis, seperti (1) HP=Hak Pakai, (2) HGB=Hak Guna Bangunan, (3) HM=Hak Milik. Bahkan, beberapa pendemo tanah di televisi (akhir-akhir ini) juga merentangkan tulisan untuk menuntut status tanah mereka, diantaranya berbunyi: HM=Hak Menetap, TR=Tanah Rakyat, TWT=Tanah Warisan Tuhan, HTSH=Hak Tinggal Sepanjang Hidup, dan seterusnya. Wacana seperti, Bencana terus-menerus mendera Indonesia, Dimana hutanku kini?, Kasus bayi kembar siam hebohkan warga Surabaya, dan seterusnya bisa juga dimasukkan sebagai wacana sosial.

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 19

     

    3) Wacana Ekonomi

    Wacana ekonomi berkaitan dengan persoalan ekonomi. Dalam wacana

    ekonomi, ada beberapa register yang hanya dikenal di dunia bisnis dan ekonomi.

    Ungkapan-ungkapan seperti persaingan pasar, biaya produksi tinggi, langkanya

    sembako, konsumen dirugikan, inflasi, devaluasi, harga saham gabungan, dan mata

    uang merupakan contoh-contoh register ekonomi. Bila dikaitkan dengan wacana,

    beberapa istilah khusus ekonomi akan muncul dan bermakna khusus pula.

    Berikut ini merupakan contoh wacana ekonomi.

    (10) Pemerintah buy back SUN Rp 1 trilyun. Istilah buy back SUN sama sekali tidak berarti ‘membeli kembali

    matahari’. SUN adalah kepanjangan Surat Utang Negara. Pada setiap jatuh tempo SUN, pemerintahan berusaha melakukan pembelian kembali SUN. Langkah ini perlu dilakukan pemerintah untuk mengurangi beban pembayaran pokok utang pada tahun-tahun yang memiliki jatuh tempo besar (misalnya tahun 2004-2009).

    4) Wacana Budaya

    Wacana budaya berkaitan dengan aktivitas kebudayaan. Meskipun sampai saat

    ini makna ‘kebudayaan’ masih terus diperdebatkan, namun pada wilayah kewacanaan

    ini, kebudayaan lebih dimaknai sebagai wilayah ‘kebiasaan atau tradisi, adat, sikap

    hidup, dan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari’. Wilayah

    tersebut kemudian menghasilkan bentuk-bentuk kebahasaan sebagai representasi

    aktivitasnya, yang kemudian sebagai wacana budaya.

    Representasi aktivitas budaya umumnya lebih dekat kepada hal-hal yang

    bersifat kedaerahan. Hal ini bisa dimaklumi mengingat bahasa daaerah merupakan

    sarana asli dan pertama yang digunakan masyarakat untuk mengekspresikan hasil-

    hasil kebudayaan. Ungkapan budaya seperti mitung ndinani (memperingati ke-tujuh

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 20

     

    harinya) adalah salah satu wacana budaya yang hidup dan dikenal oleh masyarakat

    Jawa, yaitu aktivitas budaya yang hidup dan dikenal oleh masyarakat jawa, yaitu

    aktivitas budaya berupa kenduri dan doa bersama yang dilakukan masyarakat Jawa

    untuk memperingati meninggalnya seseorang pada hari ke tujuh.

    5) Wacana Militer

    Wacana jenis ini hanya dipakai, dikembangkan di dunia militer. Instansi

    militer dikenal sangat suka menciptakan istilah-istilah khusus yang hanya dikenal oleh

    kalangan militer. Istilah tersebut umumnya dibentuk dengan cara disingkat dan

    diakronimkan (secara alfabetis)

    Istilah seperti operasi militer, desersi, intelijen, apel pagi, sumpah prajurit,

    dan veteran menjadi istilah yang biasa di dunia militer. Hal-hal tersebut umumnya

    hanya dilakukan oleh kalangan militer. Kata operasi dalam operasi militer, misalnya

    maknanya berbeda jauh dengan operasi yang dilakukan oleh dokter di rumah sakit.

    6) Wacana Hukum dan Kriminalitas

    Persoalan hukum dan kriminalitas, sekalipun bisa dipisahkan, namun keduanya

    bagaikan dua sisi dari mata uang: berbeda tetapi menjadi satu kesatuan. Kriminalitas

    menyangkut hukum, dan hukum mengelilingi kriminalitas. Berikut adalah beberapa

    contoh tentang wacana hukum dan kriminalitas.

    (11) Tersangka DPT bertambah (12) Tim pembela berharap kasasi dikabulkan MA (13) Vonis hakim lebih ringan

    Seperti halnya jenis wacana lainnya, cirri wacana hukum dan kriminalitas dapat dikenali dari pemilihan kata (diksi) yang digunakan. Pada contoh (11), terdapat kata tersangka (orang yang dikenai status sangkaan perbuatan melawan hukum). Pada contoh (12), muncul bentuk-bentuk tim pembela (beberapa orang dengan profesi pembela, bergelar sarjana hokum bergabung untuk membela klien); kasasi (upaya

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 21

     

    mencari keadilan pada tingkat pengadilan tertinggi di Indonesia); dan MA (Mahkamah Agung). Dan pada contoh (13) digunakan diksi vonis (kata putusan akhir sebuah prosesi pengadilan, eksekusi), dan hakim (profesi penegak hukum, berwenang memutuskan vonis di pengadilan).

    7) Wacana Olahraga dan Kesehatan

    Sebagaimana halnya wacana hukum dan kriminalitas, dunia olahraga dan

    kesehatan juga bisa dibedakan, meski sebenarnya tetap berkaitan secara padu dan

    bersifat timbal balik. Dalam hal ini, pilihan kata atau istilah khusus dan bermakna

    tertentu baru dapat ditafsirkan dengan benar sepanjang terlebih dahulu diketahui

    konteks terjadinya wacana tersebut. Berkaitan dengan masalah kesehatan, berikut ini

    adalah contoh wacana olahraga dan kesehatan.

    (14) ‘Sempat jogging 10 menit, didiagnosis jantung ringan’. Istilah jogging adalah aktivitas olahraga ringan yang berkaitan dengan kesehatan. Oleh karena itu, munculnya istilah ‘jantung ringan’ pada bagian berikutnya sama sekali bukan berarti berat jantung yang ringan (tidak berat), tetapi jenis sakit jantung pada stadium awal (masih belum mengkhawatirkan).

    Dari beberapa pendapat para ahli mengenai jenis wacana dapat diperoleh

    kesimpulan bahwa wacana komik dalam majalah Donal Bebek termasuk jenis wacana

    naratif karena wacana yang banyak dipergunakan untuk menceritakan kisah. Wacana

    komik pada majalah Donal Bebek merupakan wacana tulis karena disampaikan secara

    tertulis. Berdasarkan jumlah penutur termasuk wacana monolog dan dialog karena

    dapat tuturkan oleh satu orang, dua orang atau lebih. Sementara itu, wacana komik

    pada majalah Donal Bebek termasuk wacana sosial karena berkaitan dengan

    kehidupan sosial dan kehidupan sehari-hari masyarakat.

    3. Wacana Komik

    Komik dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk kartun yang mengungkapkan

    karakter dan memerankan suatu cerita dalam urutan yang erat hubungannya dengan

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 22

     

    gambar dan dirancang untuk memberikan hiburan kepada para pembaca (Sudjana dan

    Ahmad Rivai, 2010: 64).

    Komik terdiri atas berbagai situasi cerita bersambung dan komik sifatnya

    humor. Komik memusatkan perhatian di sekitar rakyat, cerita-ceritanya mengenai diri

    pribadi sehingga pembaca dapat segera mengidentifikasikan dirinya melalui perasaan

    serta tindakan dari perwatakan-perwatakan tokoh utamanya. Cerita-ceritanya ringkas

    dan menarik perhatian, dilengkapi dengan aksi, bahkan dalam lembaran surat kabar

    dan buku-buku, komik dibuat lebih hidup serta diolah dengan pemakaian warna-warna

    utama secara bebas. Dalam wacana terdapat pemikiran-pemikiran pengarang yang

    dituangkan melalui cerita yang ditulisnya. Pemikiran pengarang tersebut memiliki

    tujuan agar menarik perhatian pembaca, baik melalui bahasa yang digunakan maupun

    melalui pesan yang disamapaikan melalui cerita. Komik merupakan salah satu bentuk

    wacana karena di dalamnya terkandung tuturan-tuturan para tokoh yang menjalin

    cerita.

    Dengan demikian komik merupakan suatu cerita dalam urutan gambar-gambar

    yang berhubungan erat, dirancang untuk menghibur para pembacanya. Komik telah

    mencapai popularitas secara luas terutama sebagai medium hiburan, tetapi juga

    sebagai media pendidikan bagi semua siswa dari berbagai tingkat usia bahkan orang

    dewasa.

    D. Konteks Tuturan

    Mulyana (2005: 21) memberikan definisi konteks adalah situasi atau latar

    terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan

    terjadinya suatu pembicaraan/dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 23

     

    tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat

    tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu.

    Alwi, dkk. (2003: 421-422) menyatakan bahwa konteks wacana terdiri atas

    berbagai unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik,

    peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana. Tiga unsur yang terakhir, yaitu bentuk

    amanat, kode, dan sarana perlu mendapat penjelasan. Bentuk amanat dapat berupa

    surat, esai, iklan, pemberitahuan, pengumuman, dan sebagainya. Kode ialah ragam

    bahasa yang dipakai, misalnya bahasa Indonesia baku, bahasa Indonesia logat daerah,

    atau bahasa daerah. Sarana adalah wahana komunikasi yang dapat berwujud

    pembicaraan bersemuka atau lewat telepon, surat dan televisi.

    Wijana dan Muhammad Rohmadi (2011: 15) mengemukakan bahwa konteks

    tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau seting sosial

    yang relevan dari tuturan bersangkutan. Rahardi (2005: 49) juga mengemukakan

    bahwa konteks mencakup dua macam hal, yakni konteks yang bersifat sosial (social)

    dan konteks yang bersifat sosietal (societal). Konteks sosial (social context) adalah

    konteks yang timbul sebagai akibat dari munculnya interaksi antaranggota masyarakat

    dalam suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu. Sedangkan konteks sosietal

    (societal context) adalah konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan (rank)

    anggota masyarakat dalam institusi-institusi sosial yang ada di dalam masyarakat

    sosial dan budaya tertentu.

    Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa konteks merupakan

    situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, amanat, kode,

    sarana suatu komunikasi. Konteks tuturan dapat mencakup aspek-aspek tuturan yang

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 24

     

    relevan baik secara fisik maupun nonfisik. Konteks merupakan latar belakang

    pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan mitra tutur serta yang

    mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan penutur itu di dalam

    bertutur.

    E. Hubungan Wacana dengan Pragmatik

    Rani, dkk.(2006: 3) dalam buku yang berjudul Analisis Wacana menyatakan

    bahwa wacana merupakan satuan bahasa yang paling besar yang digunakan dalam

    komunikasi. Satuan bahasa dibawahnya secara berturut-turut adalah kalimat, frase,

    kata, dan bunyi. Secara berurutan, rangkaian bunyi membentuk kata. Rangkaian kata

    membentuk frase dan rangkaian frase membentuk kalimat. Akhirnya, rangkaian

    kalimat membentuk wacana. Semuanya itu bisa lisan atau tulis.

    Pragmatik berhubungan dengan wacana melalui bahasa dan konteks. Dalam

    hal ini dapat dibedakan tiga hal yang selalu berhubungan yaitu sintaksis, semantik dan

    pragmatik. Sintaksis merupakan hubungan antar unsur, semantik adalah makna, baik

    dari setiap unsur maupun makna antar hubungan (pertimbangan makna leksikal dan

    gramatikal), dan pragmatik berhubungan dengan hasil ujaran (pembicara dan

    pendengar atau penulis dan pembaca) (Firdawati, 2011).

    Mulyana (2005: 79) menyatakan pendekatan pragmatik terhadap wacana perlu

    mempertimbangkan faktor-faktor nonverbal, seperti:

    1. para lingual (intonasi, nada, pelan, dan keras), 2. kinesik (gerak tubuh dalam komunikasi, gerakan mata, tangan kaki, dan

    sebagainya), 3. proksemik (jarak yang diambil oleh penutur), 4. krosenik (penggunaan dan strukturisasi waktu dalam interaksi).

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 25

     

    Disamping itu prgamatik juga mencakup empat hal, yaitu: (1) deiksis, (2)

    tindak ujar, (3) praanggapan, dan (4) implikatur. Penulis membatasi pada penelitian

    ini akan membahas tentang implikatur.

    F. Pragmatik

    Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau

    penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca) (Yule, 2006:3). Levinson

    (dalam Rahardi, 2005:48) menyatakan pragmatik sebagai studi bahasa yang

    mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi

    dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya.

    Leech (dalam Wijana dan Muhammad Rohmadi, 2011:5) mendefinisikan

    pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang mengkaji penggunaan bahasa berintegrasi

    dengan tatabahasa yang tediri atas fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.

    Dari pengertian beberapa para ahli bahasa dapat disimpulkan bahwa pragmatik

    adalah studi tentang makna yang mempelajari bahasa dengan konteksnya yang tidak

    dapat dilepaskan dari stuktur bahasanya. Dengan kata lain pragmatik mempelajari

    bahasa secara eksternal.

    G. Implikatur

    Echols (dalam Mulyana, 2005: 11) mendefinisikan secara etimologis,

    implikatur diturunkan dari implicatum. Secara nominal, istilah ini hampir sama

    dengan kata implication, yang artinya maksud, pengertian, keterlibatan. Dalam

    lingkup analisis wacana, implikatur berarti sesuatu yang terlibat atau menjadi bahan

    pembicaraan. Secara struktural, implikatur berfungsi sebagai jembatan/rantai yang

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 26

     

    menghubungkan antara yang diucapkan dengan yang diimplikasikan. Jadi, suatu

    dialog yang mengandung implikatur akan selalu melibatkan penafsiran yang tidak

    langsung.

    Di dalam penuturan yang sebenarnya, penutur dan mitra tutur dapat secara

    lancar berkomunikasi karena mereka berdua memiliki semacam kesamaan latar

    belakang pengetahuan tentang pengetahuan yang dipertuturkan itu. Grice (1975) di

    dalam artikelnya yang berjudul Logic and Conversation menyatakan bahwa sebuah

    tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan

    tersebut. Proposisi yang diimplikasikan itu dapat disebut dengan implikatur

    percakapan (Rahardi, 2005: 42-43).

    Grice (dalam Mulyana, 2005:11) mengemukakan bahwa implikatur ialah

    ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang sebenarnya

    diucapkan. Sesuatu yang berbeda tersebut adalah maksud pembicaraan yang tidak

    dikemukakan secara eksplisit. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan,

    atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi.

    Grice (dalam Mulyana, 2005: 12) menyatakan, bahwa ada dua macam

    implikatur yaitu (1) conventional implicature (implikatur konvensional), dan (2)

    conversation implicature (implikatur percakapan).

    1. Implikatur Konvensional (Conventional Implicature)

    Implikatur konvensional ialah pengertian yang bersifat umum dan konvensional

    (Mulyana, 2005: 12). Semua orang sudah mengetahui tentang maksud atau pengertian

    sesuatu hal tersebut. Contohnya tampak pada wacana berikut ini.

    (15) Muhammad Ali adalah petarung yang indah. (16) Lestari putri Solo, jadi luwes.

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 27

     

    Kata petarung pada (15) berarti ‘atlet tinju’. Pemaknaan ini dipastikan benar,

    Karena secara umum (konvensional), orang sudah mengetahui bahwa Muhammad Ali

    adalah atlet tinju, yang legendaris. Jadi dalam konteks wacana tersebut, orang tidak

    akan memahami kata petarung dengan pengertian yang lain. Demikian juga implikasi

    umum yang dapat diambil antara putrid Solo dengan luwes pada contoh (16). Selama

    ini, kota Solo selalu mendapat predikat sebagai kota kebudayaan yang penuh dengan

    kehalusan dan keluwesan putri-putrinya. Implikasi yang muncul adalah, bahwa

    perempuan atau wanita Solo umumnya dikenal luwes penampilannya (Mulyana,

    2005:12).

    2. Implikatur Percakapan (Conversation Implicature)

    Implikatur percakapan memiliki makna dan pengertian yang lebih bervariasi.

    Pasalnya, pemahaman terhadap hal “yang dimaksudkan” sangat tergantung kepada

    konteks terjadinya percakapan. Implikatur percakapan hanya muncul dalam suatu

    tindak percakapan (speech act). Oleh karenanya, implikatur tersebut bersifat temporer

    (terjadi saat berlangsungnya tindak percakapan), dan nonkonvensional (sesuatu yang

    diimplikasikan tidak mempunyai relasi langsung dengan tuturan yang diucapkan)

    Levinson (dalam Mulyana, 2005: 13).

    Dalam suatu dialog (percakapan), sering terjadi seorang penutur tidak

    mengutarakan maksudnya secara langsung. Hal yang hendak diucapkan justru

    disembunyikan, diucapkan secara tidak langsung, atau yang diucapkan sama sekali

    berbeda dengan maksud ucapannya.

    Contoh:

    (17) Guru : “Kelasnya panas sekali, ya.” Murid : “Jendelanya dibuka ya, Pak?”

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 28

     

    Percakapan antara guru dengan murid pada contoh (17) mengandung

    implikatur yang bermakna: perintah guru untuk melakukan sesuatu agar panas di kelas

    berkurang. Dalam tuturan itu, tidak ada sama sekali bentuk kalimat perintah. Tuturan

    yang diucapkan guru hanyalah pemberitahuan bahwa kelasnya panas sekali. Murid

    yang paham maksud gurunya, segera membuka jendela (Mulyana, 2005:13).

    Jika suatu ucapan mempunyai makna dibalik apa yang dikatakan, maka ucapan

    itu dapat dikatakan memiliki implikatur. Implikatur percakapan muncul ketika seorang

    pendengar menilai bahwa pembicara telah melanggar atau menyimpang dari salah satu

    atau beberapa maksim dari prinsip kerjasama.

    Levinson (dalam Mulyana, 2005: 13-14) menyatakan bahwa keberadaan

    implikatur dalam suatu percakapan (wacana dialog) diperlukan anatara lain untuk:

    a. memberi penjelasan fungsional atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori linguistik struktural,

    b. menjembatani proses komunikasi antar penutur, c. memberi penjelasan yang tegas dan eksplisit tentang bagaimana

    kemungkinan pemakai bahasa dapat menangkap pesan, walaupun hal yang diucapkan secara lahiriah berbeda dengan hal yang dimaksud,

    d. dapat meyederhanakan pemerian semantik dari perbedaan hubungan antarklausa, meskipun klausa-klausa itu dihubungkan dengan kata dan struktur yang sama,

    e. dapat menerangkan berbagai macam fakta dan gejala kebahasaan yang lahiriah tidak berkaitan.

    H. Aturan Percakapan

    Allan (dalam Rahardi, 2005: 52) mengemukakan bahwa bertutur adalah

    kegiatan yang berdimensi sosial. Seperti lazimnya kegiatan-kegiatan sosial lain,

    kegiatan bertutur dapat berlangsung dengan baik apabila para peserta pertuturan itu

    semuanya terlibat aktif dalam proses bertutur tersebut. Apabila terdapat satu atau lebih

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 29

     

    pihak yang tidak terlibat aktif dalam kegiatan bertutur, dapat dipastikan pertuturan itu

    tidak dapat berjalan lancar.

    Proses komunikasi penutur dan mitra tutur dapat berjalan baik dan lancar,

    mereka haruslah dapat bekerja sama. Bekerja sama yang baik di dalam proses bertutur

    itu, salah satunya dapat dilakukan dengan berperilaku sopan kepada pihak lain.

    1. Prinsip Kerja Sama

    Allan (dalam Wijana dan Muhammad Rohmadi, 2011: 43-44) mengatakan

    bahwa berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti halnya aktivitas-aktivitas sosial yang

    lain, kegiatan berbahasa baru terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam

    berbicara, penutur dan lawan tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah

    yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya

    terdapat tindakan dan ucapan lawan tuturnya.

    Dalam komunikasi yang wajar dapat diasumsikan bahwa seorang penutur

    mengartikulasikan ujaran dengan maksud mengkomunikasikan sesuatu agar lawan

    bicaranya dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk itu, penutur

    selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas, dan mudah

    dipahami, padat dan ringkas, dan selalu mengacu pada persoalan (straight forward),

    sehingga tidak menghabiskan waktu lawan bicaranya.

    Grice (dalam Wijana dan Muhammad Rohmadi, 2011: 44-50) mengemukakan

    bahwa dalam rangka melaksanakan prinsip kerjasama itu, setiap penutur harus

    mematuhi 4 (empat) maksim percakapan (conversational maxim) yakni (a) maksim

    kuantitas (maxim of quantity), (b) maksim kualitas (maxim of quality), (c) maksim

    relevansi (maxim of relevance), dan (d) maksim pelaksanaan (maxim of manner).

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 30

     

    a. Maksim Kuantitas (Maxim of Quantity)

    Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan

    kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya.

    Misalnya penutur yang berbicara secara wajar tentu akan memilih (18) dibandingkan

    dengan (19).

    (18) Tetangga saya hamil. (19) Tetangga saya yang perempuan hamil.

    Ujaran (18) disamping lebih ringkas, juga tidak menyimpangkan nilai

    kebenaran (truth value). Setiap orang tentu tahu bahwa hanya orang-orang wanitalah

    yang mungkin hamil. Dengan demikian, elemen yang perempuan dalam tuturan (19)

    sudah menyarankan tuturan itu. Kehadiran yang perempuan dalam (19) justru

    menerangkan hal-hal yang sudah jelas. Hal ini bertentangan dengan maksim kuantitas.

    b. Maksim Kualitas (Maxim of Quality)

    Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan hendaknya didasarkan

    pada bukti-bukti yang memadai. Misalnya seorang harus mengatakan bahwa ibu kota

    Indonesia adalah Jakarta bukan kota-kota lain kecuali kalau benar-benar tidak tahu.

    Akan tetapi, bila terjadi hal yang sebaliknya, tentu ada alasan-alasan mengapa hal

    demikian bisa terjadi.

    (20) Guru :“Coba kamu Andi, apa ibukota Bali?” Andi :“Surabaya, Pak Guru.” Guru: “Bagus, kalau begitu ibukota Jawa Timur Denpasar, ya?”

    Dalam wacana (20) di atas tampak guru memberikan kontribusi yang

    melanggar maksim kualitas. Guru mengatakan ibukota Jawa Timur adalah Denpasar

    bukannya Surabaya. Jawaban yang tidak mengindahkan maksim kualitas ini

    diutarakan sebagai reaksi terhadap jawaban Andi yang salah/dengan jawaban ini sang

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 31

     

    murid (Andi) sebagai individu yang memiliki kompetensi komunikatif

    (communicative competence) kemudian secara serta merta mencari jawaban mengapa

    gurunya membuat pertanyaan yang salah. Mengapa kalimat Bapak guru diutarakan

    dengan nada yang berbeda. Dengan bukti-buktti yang memadai akhirnya Andi

    mengetahui bahwa jawaban terhadap pertanyaan gurunya salah. Kata bagus yang

    diucapkan guru tidak konvensional karena tidak digunakan seperti biasanya untuk

    memuji, tetapi sebaliknya untuk mengejek.

    c. Maksim Relevansi (Maxim of Relevance)

    Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan

    kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Untuk lebih jelasnya perhatikan

    wacana (21) berikut.

    (21) Anak :“Pak, ada tabrakan motor lawan truk di pertigaan depan.” Bapak: “Yang menang apa hadiahnya?”

    Bila sang bapak sebagai peserta percakapan yang kooperatif, tidak selayaknya

    ia mempersamakan peristiwa kecelakaan yang dilihat anaknya itu dengan sebuah

    pertandingan atau kejuaraan. Di dalam kecelakaan, tidak ada pemenang dan tidak ada

    pula pihak yang akan menerima hadiah. Semua pihak akan menderita kerugian,

    bahkan ada kemungkinan salah satu, atau kedua belah pihak meninggal dunia.

    Agaknya di luar maksud untuk melucu kontribusi bapak dalam (21) sulit dicarikan

    hubungan implikasionalnya.

    d. Maksim Pelaksanaan (Maxim of Manner)

    Maksim pelaksanaan mengaharuskan setiap peserta percakapan berbicara

    secara langsung, tidak kabur, tidak taksa (ambiguity) dan tidak berlebih-lebihan, serta

    runtut.

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 32

     

    Contoh: (22) Anak: “Bu, besok saya akan pulang lagi ke kota.”

    Ibu: “Itu sudah saya siapkan di laci meja.”

    Dari cuplikan di atas, tampak bahwa tuturan yang dituturkan sang anak, yakni

    yang berbunyi “Bu, besok saya akan pulang lagi ke kota.” relatif kabur maksudnya.

    Maksud yang sebenarnya dari tuturan si anak ini, bukannya terutama ingin

    memberitahu kepada sang Ibu bahwa ia akan segera kembali ke kota, melainkan lebih

    dari itu, yakni bahwa ia sebenarnya ingin menanyakan apakah sang Ibu sudah siap

    dengan sejumlah uang yang sudah diminta sebelumnya. Seperti telah disampaikan

    terdahulu, di dalam masyarakat tutur Jawa, justru kesantunan berbahasa banyak

    dimarkahi oleh ketidakjelasan, ketidaklangsungan, kekaburan, dan semacamnya.

    Orang yang terlibat di dalam pertuturan diharapkan dapat membaca maksud

    tersembunyi dari si mitra tutur. Dengan demikian, jelas bahwa dalam komunikasi

    yang sebenarnya, maksim pelaksanaan pada Prinsip Kerja Sama Grice itu seringkali

    tidak dipatuhi atau bahkan mungkin harus dilanggar (Rahardi, 2005: 58).

    2. Prinsip Kesantunan

    Berbicara tidak selamanya berkaitan dengan masalah yang bersifat tekstual,

    tetapi sering pula berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal. Bila

    sebagai retorika tekstual pragmatik membutuhkan prinsip kerja sama, sebagai retorika

    interpersonal pragmatik membutuhkan prinsip lain, yakni prinsip kesopanan (Wijana

    dan Muhammad Rohmadi, 2011: 53).

    Rahardi (2005: 60-66) menjabarkan prinsip-prinsip kesantunan dalam enam

    maksim, yaitu:(a) maksim kebijaksanaan, (b) maksim kedermawanan atau maksim

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 33

     

    kemurahan hati, (c) maksim penghargaan, (d) maksim kesederhanaan atau kerendahan

    hati, (e) maksim permufakatan atau kecocokan, dan (f) maksim kesimpatian.

    a. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)

    Maksim kebijaksanaan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya

    berpegang teguh pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan

    memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang

    berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai

    orang santun. Jika di dalam bertutur berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia

    akan menghindarkan diri dari sikap dengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang

    santun terhadap mitra tutur.

    Contoh:

    (23) Tuan rumah : “Silakan makan saja dulu, nak! Tadi kami semua sudah mendahului.”

    Tamu : “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”

    Konteks tuturan:

    Dituturkan oleh seorang Ibu kepada anak muda yang sedang bertamu di rumah Ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di rumah Ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda.

    Di dalam tuturan (23) tersebut tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang

    dituturkan si Tuan rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang Tamu.

    Lazimnya, tuturan semacam itu dapat ditemukan dalam keluarga pada masyarakat

    tutur desa. Orang-orang desa biasanya sangat menghargai tamu, baik tamu yang

    datangnya secara kebetulan maupun tamu yang sudah direncanakan kedatangannya.

    Bahkan, seringkali ditemukan bahwa minuman atau makanan yang disajikan kepada

    tamu diupayakan sedemikian rupa sehingga layak diterima dan dinikmati oleh sang

    tamu. Orang dalam masyarakat tutur Jawa mengatakan hal demikian itu dengan istilah

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 34

     

    diada-adakan. Dalam masyarakat tutur Jawa sikap yang demikian sangat sering

    muncul dan dengan mudah dapat ditemukan dalam pertuturan.

    b. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)

    Maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati adalah bahwa para

    peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap

    orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya

    sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Tuturan (24) pada contoh

    berikut dapat memperjelas pernyataan ini.

    (24) Anak kos A: “Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak kok, yang kotor.” Anak kos B: “Tidak usah, Mbak. Nanti saya akan mencuci juga kok.” Konteks tuturan:

    Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antaranak kos pada sebuah rumah kos di kota Yogayakarta. Anak yang satu berhubungan demikian erat dengan anak yang satunya.

    Dari tuturan yang disampaikan si A tersebut, dapat dilihat dengan jelas ia

    berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban

    bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk

    mencucikan pakaian kotornya si B.

    c. Maksim Penghargaan (Approbation Maxim)

    Didalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap

    santun dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain.

    Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek,

    saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain.

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 35

     

    Tuturan (25) pada contoh berikut dapat memperjelas maksim penghargaan.

    (25) Dosen A: “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business English.” Dosen B : “Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari sini.”

    Konteks tuturan:

    Dituturkan oleh sorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi.

    Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B pada

    contoh tersebut, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian atau

    penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam

    pertuturan itu dosen B berperilaku santun terhadap dosen A.

    d. Maksim Kesederhanaan atau Kerendahan Hati (Modesty Maxim)

    Maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati adalah peserta tutur

    diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap

    dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam

    bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri.

    Contoh:

    (26) Ibu A : “Nanti Ibu yang memberikan sambutan ya dalam rapat Dasa Wisma.” Ibu B : “Waduh…nanti grogi aku!”

    Konteks tuturan:

    Dituturkan oleh seorang Ibu anggota Dasa Wisma kepada temannya sesama anggota perkumpulan tersebut ketika mereka bersama-sama berangkat ke tempat pertemuan.

    e. Maksim Permufakatan atau Maksim Kecocokan (Agreement Maxim)

    Maksim permufakatan atau maksim kecocokan ditekankan agar para peserta

    tutur dapat saling membina kecocokan atau permufakatan di dalam kegiatan bertutur.

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 36

     

    Contoh:

    (27) Guru A : ”Ruangannya gelap ya, Bu!” Guru B : “He…eh! saklarnya mana ya?”

    Konteks tuturan:

    Dituturkan oleh seorang guru kepada rekannya yang juga seorang guru pada saat mereka berada di ruang guru.

    f. Maksim Kesimpatian (Sympath Maxim)

    Maksim kesimpatian diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan

    sikap simpati antara pihak satu dengan pihan lainnya. Sikap antipati terhadap salah

    seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun.

    Contoh:

    (28) Karyasiswa A : “Mas, aku akan ujian tesis minggu depan.” Karyasiswa B : “Wah. Proficiat ya! Kapan pesta?”

    Konteks tuturan:

    Dituturkan oleh seorang karyasiswa kepada karyasiswa yang lain pada saat mereka berada di ruang perpustakaan kampus.

    I. Inferensi

    Echols dan Hassan Shadily (2005: 320) dalam Kamus Inggris-Indonesia

    menyatakan inference berarti kesimpulan atau menarik kesimpulan dari. Menurut

    Alwi, dkk. (2003:441) inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh pendengar

    atau pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat dalam

    wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis.

    Dalam wacana lisan yang bersifat dialogis (percakapan), makna-makna ujaran

    tidak hanya ditentukan oleh aspek-aspek formal bahasa (kalimat), melainkan juga oleh

    konteks situasional (Mulyana, 2005:19). Gumperz (dalam Mulyana, 2005:19-20)

    inferensi percakapan adalah proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012

  • 37

     

    konteks. Dengan cara itu, pendengar dapat menduga maksud dari pembicara dan

    meresponnya. Di samping aspek konteks situasional, aspek sosio-kultural juga

    menjadi faktor penting dalam memahami wacana inferensi. Contohnya dalam

    percakapan berikut.

    (29) O1 :“Wah, sudah masuk kota. Kita cari gudeg dulu. O2 :“Langsung ke Parangtritis saja!

    Kota yang dimaksud dalam percakapan tersebut adalah Yogyakarta. Penjelasan

    itu dipastikan benar, karena secara kultural Yogyakarta dikenal sebagai kota gudeg.

    Lebih jelas lagi jawaban O2 yang menekankan lokasi wisata Parangtritis, yang

    memang berada di Yogyakarta. Proses inferensi inilah yang harus dilakukan oleh

    pendengar atau pembaca untuk mendapatkan kesimpulan yang jelas (Mulyana,

    2005:20).

    Implikasi dalam Wacana Komik..., Tri Astuti, FKIP UMP 2012