BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL...

40
13 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL 2.1.1. Pengertian Perilaku Prososial Baron dan Byrne (2004) menjelaskan perilaku prososial sebagai segala tindakan apa pun yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu risiko bagi orang yang menolong. Dayakisni dan Yuniardi (2004) mendefinisikan perilaku prososial merupakan kesediaan orang-orang untuk membantu atau menolong orang lain yang ada dalam kondisi distress (menderita) atau mengalami kesulitan. Faturochman (2006) juga menyatakan perilaku prososial sebagai perilaku yang memiliki konsekuensi positif pada orang lain. William (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) membatasi perilaku prososial sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis. Dayakisni dan Hudaniah, (2006) menyimpulkan perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang memberikan konsekuensi positif bagi si penerima, baik dalam bentuk materi, fisik ataupun psikologis tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pemiliknya. Bentuk yang paling jelas dari prososial adalah perilaku menolong (Faturochman, 2006). Brigham (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) menyatakan bahwa perilaku prososial mempunyai maksud untuk menyokong kesejahteraan orang lain, dengan demikian kedermawanan, persahabatan, kerjasama, menolong,

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL...

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

13

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. PERILAKU PROSOSIAL

2.1.1. Pengertian Perilaku Prososial

Baron dan Byrne (2004) menjelaskan perilaku prososial sebagai segala

tindakan apa pun yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan

suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan

mungkin bahkan melibatkan suatu risiko bagi orang yang menolong. Dayakisni

dan Yuniardi (2004) mendefinisikan perilaku prososial merupakan kesediaan

orang-orang untuk membantu atau menolong orang lain yang ada dalam kondisi

distress (menderita) atau mengalami kesulitan. Faturochman (2006) juga

menyatakan perilaku prososial sebagai perilaku yang memiliki konsekuensi

positif pada orang lain.

William (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) membatasi perilaku

prososial sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik

atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam

arti secara material maupun psikologis. Dayakisni dan Hudaniah, (2006)

menyimpulkan perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang

memberikan konsekuensi positif bagi si penerima, baik dalam bentuk materi,

fisik ataupun psikologis tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi

pemiliknya. Bentuk yang paling jelas dari prososial adalah perilaku menolong

(Faturochman, 2006).

Brigham (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) menyatakan bahwa

perilaku prososial mempunyai maksud untuk menyokong kesejahteraan orang

lain, dengan demikian kedermawanan, persahabatan, kerjasama, menolong,

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

14

menyelamatkan, dan pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku prososial.

Menurut Staub (1978) ada tiga indikator yang menjadi tindakan prososial, yaitu:

pertama, tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan

pada pihak pelaku; kedua, tindakan itu dilahirkan secara sukarela; dan ketiga,

tindakan itu menghasilkan kebaikan.

Berdasarkan batasan-batasan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan

bahwa perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku positif yang

memberikan sesuatu manfaat bagi si penerima, baik dalam bentuk materi, fisik

ataupun psikologis yang memberi keuntungan pada orang lain atau dirinya

sendiri.

2.1.2. Aspek-aspek Perilaku Prososial

Aspek-aspek dalam prososial menurut Eisenberg dan Mussen (1989)

adalah sebagai berikut:

a. Berbagi (Sharing).

Kesediaan berbagi perasaan dengan orang lain dalam suasana suka dan

duka. Sharing diberikan bila penerima menunjukkan kesukaran dan ada

tindakan melalui dukungan. Perilaku berbagi dapat ditunjukkan pula dengan

perilaku saling bercerita tentang pengalaman hidup, mencurahkan isi hati.

b. Kerjasama (Cooperative).

Kesediaan untuk bekerja bersama-sama dengan orang lain demi

tercapainya suatu tujuan cooperative dan biasanya saling menguntungkan,

saling memberi atau saling menolong dan menyenangkan.

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

15

c. Menyumbang (Donating).

Kesediaan berderma, memberi secara sukarela sebagian barang miliknya

untuk orang yang membutuhkan dan dapat juga ditunjukkan dengan perbuatan

memberikan sesuatu kepada orang yang memerlukan.

d. Menolong (Helping).

Kesediaan untuk berbuat kepada orang lain yang sedang dalam kesulitan

meliputi membagi dengan orang lain, memberitahu, menawarkan bantuan

terhadap orang lain atau menawarkan sesuatu yang menunjang berlangsungnya

kegiatan orang lain.

e. Kejujuran (Honesty)

Kesediaan untuk berkata, bersikap apa adanya serta menunjukkan

keadaan yang tulus hati.

f. Kedermawanan (Generosity)

Kesediaan memberi secara sukarela untuk orang lain yang

membutuhkan.

Selanjutnya, Staub (1978) mengemukakan bahwa nilai-nilai pribadi dan

norma sosial yang diinternalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi

itu merupakan sebagian nilai-nilai serta norma tersebut berkaitan dengan

tindakan prososial, seperti:

a. Tanggung jawab.

Kemauan atau kesiapan seseorang untuk memberikan ganjaran berupa

jasa yang dibutuhkan orang lain.

b. Kedekatan (proximity).

Kemudahan dalam pendekatan pada setiap kontak yang terjadi dengan

orang lain. Dalam hal ini dimana adanya suatu hubungan yang sering dilakukan.

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

16

c. Keadilan.

Kesediaan seseorang untuk membantu orang lain serta memberikan

ganjaran yang tepat sesuai kebutuhan orang lain. Dimensi ini menekankan pada

sikap yang cepat dan tepat dalam pertanyaan, keluhan, dan masalah orang lain.

d. Kebenaran.

Dimensi yang menekankan kemampuan seseorang untuk menyampaikan

kepastian dan membangkitkan rasa percaya dan keyakinan diri orang lain.

Raven dan Rubin (Rizal, 1997) membagi perilaku prososial menjadi dua

bentuk, antara lain:

a. Kerja sama (cooperation).

Kerja sama adalah perilaku prososial yang memiliki peran dalam

pencapaian tujuan bersama.

b. Altruisme.

Altruisme berbeda dengan kerja sama dalam hal keuntungan yang

diperoleh orang yang terlibat, altruisme dilakukan tanpa mengharapkan

keuntungan bagi diri sendiri.

Wispe (dalam Mahmud, 2003) juga mengklasifikasikan bentuk perilaku

prososial, antara lain:

a. Simpati (Sympathy)

Perilaku yang didasarkan atas perasaan yang positif terhadap orang lain.

Peduli dan ikut merasakan kesedihan dan kesakitan yang dialami orang lain.

b. Bekerja sama (Cooperation)

Kerja sama diartikan sebagai bentuk perilaku saling membantu pihak-

pihak yang terlibat untuk mencapai tujuan bersama.

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

17

c. Membantu atau menolong (Helping)

Perilaku mengambil bagian atau membantu urusan orang lain agar orang

tersebut dapat mencapai tujuannya.

d. Berderma atau menyumbang (Donating)

Perilaku menghadiahkan atau memberikan suatu sumbangan kepada

orang lain, biasanya berupa amal.

e. Altruistik (Altruism)

Merujuk pada tindakan yang dilakukan untuk memberikan keuntungan

kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-

aspek prososial yaitu berbagi, kerjasama, menyumbang, menolong, kejujuran,

dan kedermawanan. Selanjutnya, aspek-aspek prososial dari Eisenberg dan

Munssen inilah yang juga akan digunakan peneliti untuk menyusun alat ukur

perilaku prososial.

2.1.3. TEORI PERILAKU PROSOSIAL

2.1.3.1. Secara Umum

Penulis menggunakan teori yang dikembangkan oleh Albert Bandura.

Bandura adalah seorang ahli teori belajar sosial tradisional, hampir semua

tingkah laku manusia dipelajari dan dibentuk oleh peristiwa yang terjadi di

lingkungan seperti reward, punishment, dan modelling. Efek dari reward dan

punishment disebut reinforcement sedangkan modeling adalah proses belajar

melalui proses observasi orang lain yang menolong. Ditinjau dari perspektif

teori belajar tradisional, respon prososial diinterpretasi sebagai konsekuensi dari

reinforcement langsung (reward). Karakter moral diartikan sebagai kebiasaan

belajar dan sifat baik yang dipelajari dari orang tua dan guru. Sebagai

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

18

konsekuensi dari pengulangan pengalaman, anak belajar respon mana yang

menyebabkan pujian orang tua.

Dua konsep penting yang dikenalkan adalah observational learning dan

cognitive regulator. Bandura menjadi pelopor dalam observational learning ini.

Menurut pandangan Bandura, observational learning meliputi empat jenis

proses, yakni atensi, retensi, produksi motor dan motivasi. Individu mengimitasi

jika ia mengikuti model, masuk dalam pikirannya apa yang telah diobservasi,

dapat menerjemahkan secara fisik perilaku yang telah diobservasi dan motivasi

untuk melakukan hal seperti itu (Sears, 1999).

Bandura sangat menekankan pada faktor kognitif internal. Pengaruh

eksternal dipercaya mempengaruhi perilaku melalui proses mediasi kognisi.

Individu secara simbolis memanipulasi informasi yang diperoleh dari

pengalaman sehingga ia mampu menguji dan menghasilkan pengetahuan baru.

Aktivitas kognitif juga mengarahkan dan mengatur tingkah laku individu.

Bandura, dengan teori sosial kognitifnya mengungkapkan bahwa intensi dan

proses evaluasi diri memainkan peran yang penting dalam pengaturan diri.

Penggunaan representasi kognitif membuat individu dapat mengantisipasi

perilaku yang keluar dan bertindak dengan cara yang diharapkan. Individu juga

menyusun tujuan untuk dirinya dan mengevaluasinya secara negatif jika mereka

tidak konsisten antara representasi kognitif dengan perilaku yang sesuai.

Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar internal

dan aturan dengan mengimitasi model dan memahami penjelasan perilaku moral

dari orang-orang yang mensosialisasikan nilai. Reaksi orang lain ini pada

tingkah laku anak-anak membantu mereka untuk memahami signifikansi

sosialnya. Oleh karena itu perkembangan moral termasuk perilaku prososial,

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

19

dipandang sebagai hasil interaksi antara tekanan sosial dan perubahan kapasitas

kognitif individu.

2.1.3.2. Secara khusus bagi Prososial

Albert Bandura mengungkapkan teori pembelajaran social yang sangat

menekankan pada komponen kognitif dari pikiran, pemahaman dan evaluasi.

Bandura menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi pembelajaran sosial

adalah faktor sosial dan faktor kognitif serta faktor pelaku yang berperan dalam

pembelajaran sosial. Faktor kognitif berupa ekspektasi atau penerimaan siswa

untuk meraih keberhasilan, faktor sosial mencakup pengamatan siswa terhadap

model pola asuh serta perilaku orang tuanya. Bandura mengembangkan model

desterministic resipkoral yang terdiri dari tiga faktor utama yaitu perilaku,

person atau kognitif dan lingkungan. Ketiga faktor ini dapat saling berinteraksi

dalam proses pembelajaran. Faktor lingkungan memengaruhi perilaku, perilaku

memengaruhi lingkungan, dan faktor person atau kognitif memengaruhi

perilaku, Sears (1999).

Dalam hal ini empati dapat berperan sebagai faktor kognitif dalam

pembelajaran sosial. Di mana salah satu komponen empati adalah ketrampilan

kognitif, ketrampilan ini digunakan untuk mengenal dan memahami pikiran dan

pandangan orang lain. Sedangkan pola asuh demokratis dapat berperan sebagai

faktor lingkungan, dan prososial berperan sebagai perilakunya. Menurut

Bandura, proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai

model merupakan tindakan belajar. Teori Bandura menjelaskan bahwa perilaku

manusia dalam konteks interaksi akan terjadi proses timbal balik yang

berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan lingkungan. Kondisi

lingkungan sangat berpengaruh pada pola belajar sosial karena sebagian besar

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

20

manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku

orang lain. Inti dari pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan

pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam

pembelajaran.

Bandura mengungkapkan bahwa perilaku seseorang adalah hasil

interaksi faktor dalam diri (kognitif) dan lingkungan. Dapat disimpulkan juga

bahwa perilaku prososial adalah hasil interaksi faktor kognitif (empati) dan

lingkungan (pola asuh demoktratis).

2.1.4. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PERILAKU

PROSOSIAL

Menurut Eissenberg dan Mussen (1989), ada tujuh faktor utama yang

mempengaruhi perilaku prososial anak:

a. Faktor Biologis

Faktor biologis memegang peranan penting dalam kapasitas untuk

berperilaku prososial. Ada dasar genetik yang menyebabkan timbulnya

perbedaan individual dalam intensi prososial. Faktor genetik mengendalikan

respon prososial beberapa spesies hewan dan hal ini digeneralisasi pada

manusia.

b. Budaya masyarakat setempat

Perilaku, motivasi, orientasi dan nilai-nilai yang diyakini oleh individu

juga diarahkan oleh budaya tempat individu tersebut tinggal. Semua aspek

perilaku dan fungsi psikologis yang diperoleh paling tidak juga dipengaruhi

oleh aspek budaya. Keanggotaan dalam suatu kelompok budaya hanya bisa

digunakan untuk memperkirakan kecenderungan hati individu untuk bertindak

secara prososial dalam berbagai aspek budaya.

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

21

c. Pengalaman sosialisasi

Pengalaman sosialisasi yang dimaksud adalah banyaknya interaksi anak

dengan agen-agen sosialisasi seperti orang tua yang merupakan agen sosialisasi

utama, teman sebaya, guru dan media massa. Pengalaman sosialisasi ini penting

dalam membentuk kecenderungan prososial anak. Sebagian besar perilaku

prososial anak dipelajari individu dari orang tua pada masa kanak-kanak.

d. Proses kognitif

Perilaku prososial melibatkan beberapa proses kognitif yang

fundamental, yaitu:

1) Intelegensi.

Menurut teori perkembangan kognitif, setiap individu

mempersepsi lingkungan sesuai dengan jalan pikirannya. Individu juga

mempersepsi dan mengorganisasikan stimulus serta berperilaku sesuai

dengan tingkat intelegensinya. Moral reasoning dan moral judgement

merupakan manifestasi dari intelegensi yang selalu berubah dan

berkembang sesuai dengan fungsi kognitif.

2) Persepsi terhadap kebutuhan orang lain.

Anak yang berada pada masa kanak-kanak awal kurang dapat

memperkirakan kebutuhan orang lain secara tepat dan mengalami

kesulitan untuk membedakan antara kebutuhan dirinya sendiri dengan

kebutuhan orang lain. Penelitian Pearl (dalam Eissenberg & Mussen,

1989) menyatakan bahwa seorang anak baru bisa memahami kebutuhan

orang lain ketika berada pada tingkat tiga sekolah dasar. Kemampuan

untuk mengenali permasalahan yang dialami oleh orang lain akan

meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Kemampuan ini nantinya

akan meningkatkan respon prososial anak.

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

22

3) Alih peran (role taking).

Role taking adalah kemampuan untuk memahami dan menarik

kesimpulan dari perasaan, reaksi emosi, pemikiran, pandangan ,

motivasi dan keinginan orang lain. Piaget (dalam Eissenberg & Mussen,

1989) mengemukakan bahwa pada masa kanak-kanak awal, anak tidak

mempunyai kematangan kognitif yang cukup memadai untuk bisa

menerima sudut pandang orang lain. Anak-anak yang belum sampai

pada periode operasional konkrit (usia kurang dari tujuh tahun) hanya

bisa memperhatikan satu dimensi dari suatu situasi pada suatu waktu dan

tidak bisa mempertimbagkan beberapa aspek masalah atau bermacam-

macam perspektif secara serentak. Saat mulai memasuki masa

operasional konkrit (7-12 tahun) anak mulai dapat memperhatikan

beberapa aspek masalah pada satu waktu dan dapat menimbang

hubungan timbal balik serta menerima sudut pandang orang lain.

Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Favell, Botkin, Wright

dan Javus, Kurde, Selman, Shantz (dalam Eissenberg & Mussen, 1989)

mendukung pendapat Piaget dan menyatakan bahwa kemampuan alih

peran akan meningkat pada masa kanak-kanak. Menurut Eissenberg dan

Mussen (1989), kemampuan alih peran sebagai perantara perilaku

prososial secara sistematik telah teruji. Kemampuan alih peran bisa

memfasilitasi perilaku prososial yang dimotivasi oleh kepedulian

terhadap orang lain.

4) Keterampilan memecahkan masalah interpersonal.

Keterampilan memecahkan masalah interpersonal meliputi

adanya sensitivitas terhadap permasalahan interpersonal, kemampuan

untuk menentukan beragam solusi dan langkah-langkah yang diperlukan

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

23

untuk merealisasikan solusi tersebut dan kemampuan

mempertimbangkan konsekuensi sosial suatu perilaku bagi orang lain

sebagaimana konsekuensi bagi dirinya sendiri.

5) Atribusi terhadap orang lain.

Atribusi yang dimaksud adalah penilaian terhadap motivasi dan

penyebab suatu perilaku yang dilakukan oleh orang lain. Penyebab suatu

permasalahan bisa berkaitan dengan faktor yang bisa dikontrol oleh

seseorang misalnya faktor ketidakmampuan fisik karena kelainan

genetik. Menurut Eissenberg dan Mussen (1989) anak usia sekolah lebih

cenderung membantu orang lain yang mengalami masalah akibat faktor

yang tidak bisa dikontrol.

6) Penalaran moral.

Tahap penalaran moral merupakan faktor signifikan yang

mempengaruhi kecenderungan hati seseorang untuk bertindak secara

prososial. Menurut Eissenberg dan Mussen (1989) korelasi antara tahap

penalaran moral dengan perilaku moral tidak begitu tinggi karena

perilaku prososial dipengaruhioleh banyak faktor seperti reaksi emosi,

kompetensi, kebutuhan dan keinginan seseorang pada suatu waktu.

e. Respon emosional

Respon emosional adalah adanya perasaan bersalah, kepedulian terhadap

orang lain. Respon emosi ini akan muncul baik ketika ada ataupun tidak ada

orang lain.

f. Faktor karakteristik individu

Faktor karakteristik individu yang berhubungan dengan intensi prososial

adalah jenis kelamin, tingkat perkembangan yang tercermin melalui usia serta

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

24

tipe kepribadian. Karakter tertentu pada diri individu yang merupakan kondisi

tetap dan hasil belajar juga berpengaruh pada perilaku prososial.

g. Faktor situasional

Tekanan-tekanan eksternal, peristiwa sosial juga mempengaruhi respon

prososial seseorang. Faktor situasional terdiri dari dua subkategori yaitu

peristiwa yang baru saja terjadi pada diri secara kebetulan dan mempunyai efek

panjang serta mempengaruhi seluruh sisi kehidupan seseorang. Subkategori

yang kedua adalah sesuatu yang berhubungan dengan konteks sosial yaitu

situasi atau keadaan yang menghambat individu, misalnya situasi emosi pada

suatu waktu dan karakteristik personal.

Menurut Staub (1978), faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang

melakukan prososial:

a. Pemerolehan diri (Self Gain).

Harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari kehilangan

sesuatu, misalnya : ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut dikucilkan.

b. Norma-norma (Personal value and norms).

Adanya nilai-nilai dan norma-norma sosial pada individu selama

mengalami sosialisasi dan sebagian nilai serta norma tersebut berkaitan dengan

tindakan prososial, seperti menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya

norma timbal balik.

c. Empati (Empathy)

Kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman

orang lain, jadi kemampuan empati ini erat kaitannya dengan pengambilan

peran. Terbukti dalam penelitian yang dilakukan oleh Agnes Permatasari (2008)

dalam jurnalnya yang berjudul hubungan antara empati dengan kecenderungan

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

25

perilaku prososial pada perawat di RSU Kardinah Tegal, menunjukkan

hubungan positif yang sangat signifikan antara variabel empati dengan variabel

kecenderungan perilaku prososial pada perawat dengan koefisien korelasi (r)

sebesar 0,790 peluang kesalahan (p) sebesar 0,000 (p< 0,01). Hal senada juga

diungkapkan oleh Agustin Pujiyanti (2000) mengenai kontribusi empati

terhadap perilaku prososial pada siswa siswi SMA negeri 1 Setu Bekasi dan

hasil perhitungan diperoleh nilai F sebesar 69,183 dan p = 0,000 dimana p <

0,05. Nilai R diperoleh sebesar 0,710 dan R square sebesar 0,504. Dengan

demikian, dapat disimpulkan adanya kontribusi empati secara signifikan

terhadap perilaku prososial pada siswa siswi, dan empati memberikan kontribusi

terhadap prososial sebesar 50,4 %.

Menurut Piliavin (dalam Hudaniah dan Dayakisni, 2006) ada beberapa

faktor situasional dan faktor dari dalam diri yang menentukan tindakan

prososial, yaitu :

a. Faktor situasional

i. Bystander

Bystander atau orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian

mempunyai pengaruh sangat besar dalam mempengaruhi seseorang saat

memutuskan antara menolong atau tidak ketika dihadapkan pada keadaan

darurat. Staub (1978) dalam penelitiannya terbukti bahwa individu yang

berpasangan atau bersama orang lain lebih suka bertindak prososial

dibandingkan bila individu seorang diri. Sebab dengan kehadiran orang lain

akan mendorong individu untuk lebih mematuhi norma-norma social yang

dimotivasi oleh harapan untuk mendapat pujian.

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

26

ii. Daya tarik

Sejauh mana seseorang mengevaluasi korban secara positif (memiliki

daya tarik) akan mempengaruhi kesediaan orang untuk memberikan

bantuan. Apapun factor yang dapat meningkatkan ketertarikan bystander

kepada korban, akan meningkatkan kemungkinan terjadinya respons untuk

menolong, (Clark, dalam Baron, Byrne, Branscombe, 2006).

Seseorang cenderung akan menolong orang yang dalam beberapa hal

mirip dengan dirinya (Krebs, dalam Deaux, Dane, Wrightsman, 1993).

Kedekatan hubungan ini dapat terjadi karena adanya pertalian keduanya,

kesamaan latar belakang atau ras (Staub, 1979. Bringham. 1991; dalam

Hudaniah dan Dayakisni, 2006).

iii. Atribusi terhadap korban

Seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan pada orang lain

bila ia mengasumsikan bahwa ketidakberuntungan korban adalah di luar

kendali korban (atribusi internal) (Weiner, 1980). Oleh karena itu, seseorang

akan lebih bersedia member bantuan kepada pengemis yang cacat dan tua

dibandingkan dengan pengemis yang sehat dan muda.

iv. Ada model

Adanya model yang melakukan tingkah laku menolong dapat

mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan pada orang lain.

Bandura menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi pembelajaran sosial

adalah faktor social dan faktor kognitif serta faktor pelaku yang berperan

dalam pembelajaran sosial. Faktor sosial mencakup pengamatan siswa

terhadap model pola asuh serta perilaku orang tuanya. Penelitian yang juga

dilakukan oleh Grusec (dalam Mahmud, 2003) menunjukkan bahwa ada

bukti kuat jika model memperlihatkan perilaku menolong, berbagi atau

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

27

menunjukkan perhatian kepada orang lain, maka anak akan melakukan hal

yang sama, karena ada proses identifikasi mandiri (dominasi sosial,

nonkonformitas dan bertujuan) termasuk didalamnya penggunaan perilaku

menolong yang dilakukan oleh orang tuanya.

v. Desakan waktu

Orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung tidak menolong,

sedangkan orang yang punya waktu luang lebih besar kemungkinannya

untuk memberikan pertolongan kepada yang memerlukannya (Sarwono,

2005).

vi. Sifat kebutuhan korban

Kesediaan untuk menolong dipengaruhi oleh kejelasan bahwa korban

benar-benar membutuhkan pertolongan (clarity of need), korban memang

layak mendapatkan bantuan yang dibutuhkan (legitimacy of need), dan

bukanlah tanggung jawab korban sehingga ia memerlukan bantuan dari

orang lain (atribusi ekternal) (Deaux, Dane, Wrightsman, 1993).

b. Faktor dari dalam diri.

i. Suasana hati (mood).

Emosi seseorang dapat mempengaruhi kecenderungannya untuk

menolong (Baron, Byrne, Branscombe, 2006). Emosi positif secara umum

meningkatkan tingkah laku menolong. Pada emosi negatif, seseorang yang

sedang sedih mempunyai kemungkinan menolong yang lebih kecil.

ii. Sifat

Beberapa penelitian membuktikan terdapat hubungan antara

karakteristik seseorang dengan kecenderungannya untuk menolong seperti

sifat pemaaf (forgiveness), pemantauan diri (self monitoring), adanya

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

28

kebutuhan akan persetujuan (need of approval), memiliki internal locus of

control dan egosentris yang rendah (Baron, Byrne, Branscombe, 2006).

iii. Jenis Kelamin.

Peranan gender terhadap kecenderungan seseorang untuk menolong

sangat bergantung pada situasi dan bentuk pertolongan yang dibutuhkan.

iv. Tempat tinggal

Orang yang tinggal di daerah pedesaan cenderung lebih penolong

daripada orang yang tinggal di daerah perkotaan.

Menurut Vasta (dalam Weiner,1980) ada beberapa faktor penentu dalam

perkembangan perilaku prososial anak, yaitu :

a. Faktor kognitif dan afektif

1) Penalaran moral

Menurut Piaget dan Kohlberg, proses penalaran moral

merupakan inti dari perkembangan moral. Oleh karena itu ada hubungan

yang positif antara penalaran moral dengan perilaku prososial. Eisenberg

(1989) menyatakan bahwa hubungan positif antara penalaran moral

dengan perilaku prososial sedikit lemah.

2) Pengambilan perspektif

Pengambilan perspektif merupakan kemampuan seseorang untuk

mengerti situasi dan sudut pandang orang lain. Pengambilan perspektif

ini bisa secara fisik, sosial, maupun afektif.

3) Empati

Empati yaitu kemampuan untuk merasakan emosi, perasaan, dan

kesulitan orang lain. Menurut Hoffman (Eisenberg & Mussen, 1989),

pada masa kanak-kanak akhir, empati berkembang secara penuh dan

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

29

memungkinkan anak untuk menggeneralisasi respon empatik kepada

semua kelompok orang.

4) Atribusi

Anak akan bersikap lebih simpatik dan prososial ketika mereka

bisa menganggap bahwa permasalahan yang terjadi berada di luar

kontrol atau tanggung jawab orang yang memerlukan bantuan.

b. Faktor sosial dan keluarga

Faktor sosial dan keluarga yang mempengaruhi perilaku prososial anak

yaitu :

1) Penguatan

Pujian akan mendorong anak untuk menampilkan perilaku

prososial apabila pujian itu ditujukan langsung pada diri anak yaitu

bahwa anak tersebut adalah anak yang suka membantu dan baik hati

daripada ditujukan pada cara anak memberikan bantuan. Penguatan yang

memberikan peran yang amat penting meskipun tidak ada keterlibatan

psikologis dalam proses memberikan bantuan.penguatan yang

diberikana bisa berupa balasan kebaikan anak dengan sesuatu yang

meyenangkan mereka.

2) Modelling dan media

Perilaku prososial anak sangat dipengaruhi oleh apa yang mereka

lihat dari tingkah laku orang lain. Penelitian Eron (dalam Vasta, 1995)

menunjukkan bahwa anak-anak akan lebih mudah menunjukkan perilaku

berbagi dan membantu setelah mereka mengamati model atau seseorang

yang menunjukkan perilaku yang hampir sama. Kehadiran orang lain

dengan perilaku prososial tertentu juga bisa menjadi model sosial bagi

orang di sekitarnya. Model yang berkuasa, lebih berkompeten dan

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

30

mempunyai kedudukan penting akan lebih sering ditiru. Model yang

ditiru bisa ditampilkan melalui berbagai media, misalnya televisi

pendidikan anak yang menyiarkan tema-tema moral dan perilaku

prososial dan buku bacaan. Model sosial di layar televisi juga dapat

menciptakan norma sosial yang mendukung terbentuknya perilaku

prososial para penontonnya.

Berdasarkan uraian di atas, perilaku prososial tidak selamanya sama

pada setiap individu. Hal ini disebabkan banyaknya faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku prososial tersebut seperti pemerolehan diri, norma-

norma, empati, bystander, daya tarik, atribudi terhadap korban, model pola asuh

atau perilaku orang tua, desakan waktu, sifat kebutuhan korban, suasana hati,

sifat, jenis kelamin, dan tempat tinggal.

2.2. EMPATI

2.2.1. PENGERTIAN EMPATI

Empati (dari Bahasa Yunani εµπάθεια yang berarti "ketertarikan fisik")

didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi,

dan merasakan perasaan orang lain. Karena pikiran, kepercayaan, dan keinginan

seseorang berhubungan dengan perasaannya, seseorang yang berempati akan

mampu mengetahui pikiran dan mood orang lain.

Sejalan dengan pendapat ahli di atas Johnson, Check, dan Smither

(1983), mengemukakan empati adalah kecenderungan untuk memahami kondisi

atau keadaan orang lain. Seseorang yang empati digambarkan sebagai orang

yang toleran, mampu mengendalikan diri, ramah, mempunyai pengaruh, serta

bersifat humanistik. Selain itu Kartono (1987) mengatakan empati adalah

pemahaman pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan orang lain dengan cara

menempatkan diri ke dalam kerangka pedoman psikologi orang tersebut, tanpa

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

31

sungguh-sungguh mengalami yang dirasakan oleh orang yang bersangkutan.

Pendapat tersebut selaras dengan penjabaran Koestner, Franz & Weinberger

(1990) yang mengartikan empati sebagai kemampuan menempatkan diri dalam

pikiran dan perasaan orang lain, tanpa harus terlibat secara nyata di dalamnya.

Higgins (1982) juga mengungkapkan pendapat senada yang menyatakan

bahwa dengan empati seseorang dapat memahami pandangan orang lain,

kebutuhan-kebutuhannya serta pemikiran dan tindakannya. Ditambahkan oleh

Chaplin (2000) bahwa empati adalah realisasi dan pengertian terhadap perasaan,

kebutuhan dan penderitaan pribadi orang lain.

Menurut Walgito (2002), empati sebagai tanggapan afeksi seseorang

terhadap suatu hal yang dialami orang lain seolah-olah mengalami sendiri hal

tersebut dan diwujudkan dengan bentuk menolong, menghibur, berbagi dan

bekerjasama dengan orang lain, sedangkan Djauzi dan Supartondo (2004)

mengartikan empati adalah kemampuan untuk menghayati perasaan orang lain,

yang secara garis besar empati ini dibagi dalam proses deteksi keadaan efektif

dan respon yang sesuai.

Di samping itu masih ada lagi pendapat (Eisenberg, 1994) yang

menyebutkan bahwa empati merupakan respon emosional, berasal dari

pemahaman terhadap keadaan keadaan emosi dan keadaan orang lain, dan

sangat sesuai dengan pengalaman yang diterima oleh orang lain. Pada

umumnya, para ahli menyetujui bahwa respon empatik melibatkan komponen

kognitif dan afektif, namun mereka berbeda dalam penekanannya masing-

masing. Pendapat Hoffman (dalam Elvin, 2001), peneliti perkembangan empati

antara lain mengenai skema empati, penyusunan teori tentang peranan empati

dalam proses internalisasi, dasar empati dalam filosofi Barat, berpendapat

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

32

bahwa empati merupakan respon afektif seseorang yang sangat sesuai dengan

situasi orang lain yang diamati.

Satu aspek terpenting dari empati adalah apa yang disebut sebagai

pengambilan perspektif (perspective taking), yaitu sebuah kemampuan khas

yang dimiliki individu untuk mengambil alih secara spontan sudut pandang

orang lain. Perspective taking memungkinkan seseorang mampu mengantisipasi

perilaku dan reaksi emosi orang lain, sehingga dari sana dapat terbangun

hubungan interpersonal yang baik dan penuh penghargaan.

Empati dengan simpati adalah dua hal yang bisa dikatakan “serupa tapi

tak sama”. Simpati dipandang sebagai kesadaran yang tinggi terhadap

penderitaan orang lain, dan biasanya orang ingin meringankannya. Simpati

merupakan kecenderungan terlibat atau menempatkan diri pada posisi orang lain

secara emosional dan terdorong untuk mengurangi penderitaan, kekecewaan

atau kemarahan orang lain secara nyata.

Kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan inilah yang

membedakan simpati dengan empati. Simpati dianggap berpangkal dari empati

karena simpati merupakan konsekuensi adanya empati. Sedangkan empati tidak

hanya menempatkan diri pada posisi orang lain, tetapi lebih jauh dan dalam diri

kita masuk kekejadian atau peristiwa yang menimpa orang lain secara nalar.

Kita ikut merasakan sekaligus memikirkan kejadian itu sebagaimana dirasakan

dan dipikirkan orang lain.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa empati

merupakan kecenderungan seseorang untuk memahami pikiran-pikiran,

perasaan-perasaan, kondisi, keadaan orang lain tanpa harus terlibat secara nyata

di dalamnya.

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

33

2.2.2. ASPEK-ASPEK EMPATI

Davis (1983) menjabarkan komponen kognitif dari empati terdiri dari

aspek perspective taking and fantasy, sedangkan komponen afektifnya terdiri

dari aspek empatic concern dan personal distress. Penjabaran tersebut menjadi

dasar pada penelitian ini.

a. Pengambilan Perspektif (perspective taking).

Kecenderungan seseorang untuk mengambil alih sudut pandang orang

lain secara spontan. Aspek ini akan mengukur sejauh mana individu

memandang kejadian sehari-hari dari perspektif orang lain. Pentingnya

kemampuan pengambilan perspektif untuk perilaku non-egosentrik, yaitu

perilaku yang tidak berorientasi pada kepentingan diri tetapi pada kepentingan

orang lain. Pengambilan perspektif yang tinggi berhubungan dengan baiknya

fungsi sosial seseorang. Kemampuan ini, seiring dengan antisipasi seseorang

terhadap perilaku dan reaksi emosi orang lain, sehingga dapat dibangun

hubungan interpersonal yang baik dan penuh penghargaan. Pengambilan

perspektif juga berhubungan secara positif dengan reaksi emosional dan

perilaku menolong pada orang dewasa.

b. Imajinasi (Fantasy)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, imajinasi adalah daya pikir

untuk membayangkan (dalam angan-angan) atau menciptakan gambar (lukisan,

karangan, dsb) kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang.

Kecenderungan seseorang untuk mengubah diri ke dalam perasaan dan tindakan

yang dialami orang lain. Kecenderungan seseorang untuk mengubah diri ke

dalam perasaan dan tindakan dari karakter-karakter khayalan yang terdapat pada

buku-buku, layar kaca, bioskop, maupun dalam drama. Fantasi berdasarkan

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

34

penelitian Stotland, dkk (Davis1983) berpengaruh pada reaksi emosi terhadap

orang lain dan menimbulkan perilaku menolong.

c. Perhatian Empatik (Empatic concern).

Menyatakan bahwa perhatian empatik meliputi perasaan simpatik, belas

kasihan dan peduli (lebih terfokus pada orang lain). Orientasi seseorang

terhadap orang lain yang ditimpa kemalangan. Aspek ini berpijak pada

penelitian Coke (dalam Davis, 1983) yang berhubungan positif dengan reaksi

emosional dan perilaku menolong pada orang dewasa. Selanjutnya (Davis,

1983) menyatakan bahwa perhatian empatik merupakan cermin dari perasaan

kehangatan dan simpati yang erat kaitannya dengan kepekaan serta kepedulian

terhadap orang lain.

d. Distress Pribadi (Personal Distress).

Sears, Freedman, dan Peplau (1994) mendefinisikan personal Distress

sebagai kepedulian terhadap ketidaknyamanan diri sendiri dalam menghadapi

kesulitan orang lain, dan motivasi untuk mengurangi ketidaknyamanan tersebut.

Dalam skala pengukur distress pribadi, reaksi-reaksi yang dianggap

mencerminkan hal ini adalah ketakutan, kegelisahan, cemas, khawatir kalau

tidak menolong, terganggu, dan terkejut atau bingung dalam menghadapi orang

lain yang kesulitan. Distress pribadi yang tinggi berhubungan dengan rendahnya

fungsi sosial. Tingginya distress pribadi menunjukkan kurangnya kemampuan

dalam sosialisasi.

Rose (dalam Hogan, 1980) mengemukakan lima aspek yang merupakan

karakterstik orang yang berempati tinggi (highly empathic concern) yaitu :

a. Kemampuan dalam berperan imajinatif

b. Sadar akan pengaruh seseorang terhadap orang lain.

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

35

c. Memiliki kemampuan untuk mengevaluasi motif-motif orang lain.

d. Memiliki pengetahuan tentang motif dan perilaku orang lain.

e. Mempunyai rasa pengertian sosial.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-

aspek empati adalah pengambilan perspektif, imajinasi, perhatian empatik,

distress pribadi. Aspek-aspek di atas inilah yang akan digunakan peneliti untuk

membuat skala penelitian.

2.2.3. MANFAAT EMPATI

Ada beberapa manfaat yang dapat ditemukan dalam kehidupan pribadi

dan sosial saat mempunyai kemampuan berempati, diantaranya adalah :

2.2.3.1. Secara Umum

1) Menghilangkan kesombongan.

Salah satu cara mengembangkan empati adalah membayangkan apa

yang terjadi pada diri orang lain akan dapat terjadi pula pada diri kita. Disaat

membayangkan kondisi ini maka seseorang akan terhindar dari kesombongan

atau tinggi hati karena apapun akan dapat terjadi pada diri kita jika Tuhan

berkehendak. Orang yang mempunyai kemampuan empati akan cenderung

memiliki jiwa rendah hati dan memahami kehidupan ini dengan baik. Roda

senantiasa berputar, itulah kehidupan.

2) Menyesuaikan diri.

Empati mempermudah proses adaptasi karena ada kesadaran dalam diri

bahwa sudut pandang setiap orang berbeda. Dymon (dalam Hadiyanti, 1992)

menyatakan bahwa orang yang baik penyesuaian dirinya akan dimanifestasikan

dalam sifat optimis, fleksibel, dan kematangan emosi.

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

36

3) Meningkatkan harga diri.

Empati berperan besar dalam hubungan sosial. Richard (dalam Jones,

1992) menyatakan bahwa hubungan sosial merupakan media berkreasi dana

menyatakan identitas diri. Adanya hubungan sosial dan media berkreasi

menyebabkan tumbuhnya rasa harga diri dalam diri seseorang (Kurtinez dan

Gewirts, 1984).

4) Meningkatkan pemahaman diri.

Kemampuan dalam memahami perspektif orang lain, menyebabkan

seorang individu sadar bahwa orang lain dapat melakukan penilaian berdasarkan

perilakunya. Hal ini akan menyebabkan individu lebih sadar dan

memperhatikan pendapat orang lain tentang dirinya.

2.2.3.2. Secara Khusus bagi Prososial

1) Menghilangkan sikap egois dan mudah memberikan pertolongan.

Orang yang telah mampu mengembangkan kemampuan empati dapat

menghilangkan sikap egois (mementingkan diri sendiri). Dengan

mengembangkan kemampuan empati, maka seseorang akan berusaha berbicara,

berpikir, dan berperilaku yang dapat diterima juga oleh orang lain serta akan

mudah memberikan pertolongan kepada orang lain.

2) Mengembangkan kemampuan evaluasi dan kontrol diri.

Pada dasarnya empati adalah salah satu usaha untuk melakukan evaluasi

diri sekaligus mengembangkan kontrol diri yang positif. Kemampuan melihat

diri orang lain baik perasaan, pikiran maupun perilakunya merupakan bagian

dari merefleksikan keadaan tersebut dalam diri sendiri sehingga mampu

menolong orang lain dengan tulus ikhlas.

Page 25: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

37

3) Mempercepat hubungan dengan orang lain.

Lauster (1995) berpendapat bahwa jika setiap orang berusaha untuk

berempati, maka salah paham, perdebatan, dan ketidaksepakatan antar individu

dapat dihindari sehingga dimungkinkan terjadinya kerjasama sangat besar dan

mudah.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa manfaat

empat secara umum adalah, menghilangkan kesombongan, meningkatkan harga

diri, meningkatkan pemahaman diri dan menyesuaikan diri sedangkan secara

khusus bagi prososial adalah menghilangkan sikap egois dan mudah

memberikan pertolongan mengembangkan kemampuan evaluasi dan kontrol

diri, dan mempercepat hubungan dengan orang lain.

2.3. REMAJA

2.3.1. PENGERTIAN REMAJA

Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang

berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence (dari

bahasa inggris) yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang cukup luas

mencakup kematangan mental, emosional, social dan fisik (Hurlock,1999).

Piaget (dalam Hurlock,1999) mengatakan bahwa masa remaja adalah usia

dimana individu mulai berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Individu tidak

lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada

dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya adalah masalah hak, integrasi

dalam masyarakat, mempunyai banyak aspek afektif, kurang lebih berhubungan

dengan masa puber, termasuk di dalamnya juga perubahan intelektual yang

mencolok, tranformasi yang khas dari cara berfikir remaja memungkinkan

untuk mencapai integrasi dalam sebuah hubungan sosial orang dewasa.

Page 26: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

38

Selanjutnya, Kartono (1990) mengatakan bahwa masa remaja juga sebagai masa

penghubung atau masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa

dewasa. Pada periode remaja terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial

mengenai fungsi-fungsi rohaniah dan jasmaniah.

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil ke simpulan bahwa masa

remaja merupakan masa penghubung antara masa anak-anak menuju dewasa.

Pada masa remaja terdapat berbagai perubahan, diantaranya terjadi perubahan

intelektual dan cara berfikir remaja, terjadinya perubahan fisik yang sangat

cepat, terjadinya perubahan social, di mana remaja memulai berintegrasi dengan

masyarakat luas serta pada masa remaja mulai meyakini kemampuannya,

potensi serta cita-cita diri. Selanjutnya pada masa remaja terdapat tugas-tugas

perkembangan yang sebaiknya dipenuhi sehingga pada akhirnya remaja bisa

dengan menetapkan langkah ke tahapan perkembangan selanjutnya.

2.3.2. BATASAN USIA REMAJA

Banyak batasan usia remaja yang diungkapkan oleh para ahli.

Diantaranya adalah Monks, dkk (1999) yaitu masa remaja awal, masa remaja

pertengahan, dan masa remaja akhir. Batasan remaja yang diungkapkan oleh

Monks, dkk (1999) tidak jauh berbeda dengan pendapat Kartono (1999) yang

membagi masa remaja menjadi masa pra pubertas, masa pubertas dan masa

adolesensi. Monks, dkk (1999) membagi fase-fase masa remaja menjadi tiga

tahap, yaitu ; remaja awal (12-15 tahun), remaja tengah (15-18) dan remaja

akhir (18-21 tahun).

Menurut Hurlock (1999) remaja adalah mereka yang berada pada usia

12-18 tahun. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada

Page 27: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

39

pada rentang 12-23 tahun. Sedangkan menurut Thornburgh (dalam Elvin, 2001)

membagi usia remaja menjadi tiga kelompok, yaitu:

a. Remaja awal : antara 11 hingga 13 tahun.

Pada masa ini terjadi masa peralihan antara tahapan presosialization

(tahap dimana anak tidak peduli pada orang lain, mereka hanya akan menolong

apabila diminta atau ditawari sesuatu agar mau melakukannya, tetapi menolong

itu tidak membawa dampak positif bagi mereka), Sears (1999).

b. Remaja pertengahan: antara 14 hingga 16 tahun.

Pada rentang usia ini, kepribadian remaja masih bersifat kekanak-

kanakan, namun pada usia remaja sudah timbul unsur baru, yaitu kesadaran

akan kepribadian dan kehidupan badaniah sendiri. Remaja mulai menemukan

nilai-nilai tertentu dan melakukan perenungan terhadap pemikiran filosofis dan

etis. Selain itu pada remaja pertengahan akan memasuki tahapan awarness

(tahapan dimana anak belajar bahwa anggota masyarakat di lingkungan tempat

tinggal mereka saling membantu, mengakibatkan mereka menjadi menjadi lebih

sensitif terhadap norma sosial dan belajar bertingkah laku prososial) Sears

(1999).

c. Remaja akhir: antara 17 hingga 19 tahun.

Pada rentang usia ini, remaja sudah merasa mantap dan stabil. Remaja

sudah mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang digarikannya

sendiri, dengan itikad baik dan keberanian. Remaja mulai memahami arah

kehidupannya, dan menyadari tujuan hidupnya. Remaja sudah mempunyai

pendirian tertentu berdasarkan pola yang jelas yang baru ditemukannya

(Kartono, 1990). Selain itu remaja akhir ini mulai memasuki tahap

internalization (tahap ini perilaku menolong dapat memberikan kepuasan secara

intrinsik dan membuat orang merasa nyaman), Sears (1999).

Page 28: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

40

Dari batasan-batasan remaja yang dikemukakan oleh para tokoh di atas,

peneliti menggunakan batasan remaja Thronburgh 11-19 tahun dengan

pertimbangan pada usia remaja sudah mulai memasuki tahapan dimana anak

belajar menolong untuk remaja awal, belajar bertingkah laku prososial dan

sensitif terhadap norma sosial untuk remaja pertengahan, dan untuk remaja

akhir belajar berperilaku menolong yang akan memberikan kepuasan secara

intrinsik dan membuat orang merasa nyaman.

2.3.3. TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN REMAJA

Pada remaja terdapat tugas-tugas perkembangan yang sebaiknya

dipenuhi. Menurut Hurlock (1999), adapun tugas perkembangan remaja itu

adalah :

a. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya sejenis

atau lawan jenis. Remaja belajar untuk bergaul dengan baik, dalam hal ini

remaja juga berusaha untuk dapat menarik perhatian lawan jenis.

b. Mencapai peran sosial pria dan wanita. Remaja belajar untuk memerankan

peran seks yang diakui sesuai dengan adanya tuntutan dari lingkungan.

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

Remaja diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan fisik

yang terjadi padanya dan diharapkan sudah tidak lagi mengalami

kecanggungan.

d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab

perilaku sosial remaja diharapkan dapat sesuai dengan tuntutan sosial yang

ada dilingkungannya.

e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau orang dewasa lainnya.

Remaja diharapkan dapat membawa diri diamanapun dia berada dan tidak

Page 29: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

41

bergantung pada orang lain. Ada suatu tuntutan bahwa remaja harus mampu

mandiri, bukan dalam hal ekonomi tetapi dalam kehidupan sosial.

f. Mempersiapkan karir ekonomi. Remaja diharapkan mulai menata masa

depannya sebagai masa persiapan bekerja.

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga. Remaja mulai membangun

hubungan dengan lawan jenis namun bukan semata-mata bersenang-senang

tetapi untuk mencari pasangan hidup.

Berdasarkan pemaparan di atas, tugas perkembangan remaja yang

berhubungan dengan perilaku prososial adalah mengharapkan dan mencapai

perilaku sosial yang bertanggung jawab perilaku sosial remaja diharapkan dapat

sesuai dengan tuntutan sosial yang ada dilingkungannya.

2.4. POLA ASUH ORANG TUA

2.4.1. PENGERTIAN POLA ASUH

Orang tua dan keluarga merupakan faktor yang paling signifikan pada

perkembangan kepribadian selama masa kanak-kanak akhir. Hubungan orang

tua-anak, situasi keluarga dan interaksi antar saudara kandung memainkan peran

yang penting dalam membentuk kepribadian mereka. Hubungan orang tua-anak

sangat penting dalam menentukan perkembangan kepribadian dan sosial,

sehingga perlu diberikan perhatian khusus.

Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dimana anak dapat

berinteraksi. Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan

kepribadian sangatlah besar artinya. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut

berpengaruh dalam proses perkembangan anak. Salah satu faktornya adalah

praktik pengasuhan anak. Gaya pola asuh adalah kumpulan dari sikap, praktek

dan ekspresi nonverbal orangtua yang bercirikan kealamian dari interaksi

Page 30: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

42

orangtua kepada anak sepanjang situasi yang berkembang (Darling & Steinberg,

1993).

Penelitian kontemporer pada gaya pola asuh berasal dari penelitian

terkenal Baumrind (1991) dalam anak dan keluarganya menunjukkan bahwa

gaya konseptual pola asuh Baumrind didasarkan pada pendekatan tipologis pada

studi praktek sosialisasi keluarga. Pendekatan ini berfokus pada konfigurasi dari

praktek pola asuh yang berbeda dan asumsi bahwa akibat dari salah satu praktek

tersebut tergantung sebagian pada pengaturan kesemuanya. Variasi dari

konfigurasi elemen utama pola asuh (seperti kehangatan, keterlibatan, tuntutan

kematangan, dan supervisi) menghasilkan variasi dalam bagaimana seorang

anak merespon pengaruh orangtua. Dari perspektif ini, gaya pola asuh

dipandang sebagai karakteristik orang tua yang membedakan keefektifan dari

praktek sosialisasi keluarga dan penerimaan anak pada praktek tersebut (Darling

& Steinberg, 1993).

Dengan demikian kebiasaan cara atau gaya orang tua ketika mereka

berinteraksi dengan anak-anaknya merupakan dimensi pola asuh yang penting.

Perkembangan mentalitas anak memiliki proses pencarian yang panjang bagi

orang tua untuk meningkatkan kemampuan perkembangan sosio-emosional

(Bornstein, 2002)

Menurut Diana Baumrind, pola asuh orang tua atau parenting style

adalah suatu cara bagaimana orang tua mengasuh dan mendidik anak. Pola asuh

ini tentunya juga berkaitan erat dengan bagaimana kepribadian anak akan

terbentuk. Pola asuh perilaku orang tua terhadap anaknya terdiri atas dua aspek

penting, yaitu parental responsiveness (derajat seberapa besar respon orang tua

terhadap kebutuhan anak, penerimaan, dan perilaku mendukung) dan parental

Page 31: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

43

demandingness (harapan dan kontrol orang tua terhadap perilaku bertanggung

jawab anak).

Faktor lingkungan sosial yang memiliki sumbangan terhadap

perkembangan sosial anak ialah keluarga, khususnya orang tua terutama pada

masa awal (kanak-kanak) sampai masa remaja. Dalam mengasuh anaknya orang

tua cenderung menggunakan pola asuh tertentu. Penggunaan pola asuh tertentu

ini memberikan sumbangan dalam mewarnai perkembangan terhadap bentuk-

bentuk perilaku sosial tertentu pada anaknya.

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2002), pengertian pola asuh

adalah merupakan suatu bentuk (struktur), system dalam menjaga, merawat,

mendidik dan membimbing anak kecil.

Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

pola asuh adalah segala sesuatu yang dilakukan orang tua (pengasuh) terhadap

anak (yang diasuh) yang meliputi kegiatan seperti memelihara, melindungi dan

mengarahkan tingkah laku anak selama masa perkembangan anak tersebut serta

cara orang tua mengkomunikasikan sikap dan kepercayaan kepada anak-

anaknya.

2.4.2. PENGERTIAN POLA ASUH DEMOKRATIS

Menurut Utami Munandar (1982), pola asuh demokratis adalah cara

mendidik anak, di mana orang tua menentukan peraturan-peraturan tetapi

dengan memperhatikan keadaan dan kebutuhan anak. Pola asuh demokratis

adalah suatu bentuk pola asuh yang memperhatikan dan menghargai kebebasan

anak, namun kebebasan itu tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh

pengertian antara orang tua dan anak (Gunarsa, 1995). Dengan kata lain, pola

asuh demokratis ini memberikan kebebasan kepada anak untuk mengemukakan

Page 32: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

44

pendapat, melakukan apa yang diinginkannya dengan tidak melewati batas-

batas atau aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh orang tua.

Dalam pola asuh ini dipandang bahwa kebebasan pribadi untuk

memenuhi keinginan dan kebutuhannya baru bisa tercapai dengan sempurna

apabila anak mampu mengontrol dan mengendalikan diri serta menyesuaikan

diri dengan lingkungan baik keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini anak diberi

kebebasan namun dituntut untuk mampu mengatur dan mengendalikan diri serta

menyesuaikan diri dan keinginannya dengan tuntutan lingkungan. Oleh karena

itu sebelum anak mampu mengatur dan mengendalikan dirinya sendiri, maka

dalam dirinya perlu ditumbuhkan perangkat aturan sebagai alat kontrol yang

dapat mengatur dan mengendalikan dirinya sesuai dengan aturan yang berlaku

di lingkungannya.

Pengontrolan dalam hal ini, walaupun dalam bentuk apapun hendaknya

selalu ditujukan supaya anak memiliki sikap bertanggung jawab terhadap

dirinya sendiri dan terhadap lingkungan masyarakat. Dengan demikian anak itu

akan memiliki otonomi untuk melakukan pilihan dan keputusan yang bernilai

bagi dirinya sendiri dan bagi lingkungannya. Dalam hal ini perlu disadari bahwa

kontrol yang ketat harus diimbangi dengan dorongan kuat yang positif agar

individu tidak hanya merasa tertekan tetapi juga dihargai sebagai pribadi yang

bebas.

Komunikasi antara orang tua dengan anak atau anak dengan orang tua

dan aturan intern keluarga merupakan hasil dari kesepakatan yang telah

disetujui dan dimengerti bersama. Untuk hal ini Baumrind (1991) menekankan

bahwa dalam pengasuhan autoritatif mengandung beberapa prinsip : pertama,

kebebasan dan pengendalian merupakan prinsip yang saling mengisi, dan bukan

suatu pertentangan. Kedua, hubungan orang tua dengan anak memiliki fungsi

Page 33: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

45

bagi orang tua dan anak. Ketiga, adanya kontrol yang diimbangi dengan

pemberian dukungan dan semangat. Keempat, adanya tujuan yang ingin dicapai

yaitu kemandirian, sikap bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan tanggung

jawab terhadap lingkungan masyarakat.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pola

asuh demokratis adalah cara mendidik anak, di mana orang tua menggunakan

kebebasan dan pengendalian, dan ada kontrol yang diimbangi dengan

pemberian dukungan oleh orang tua kepada anak.

2.4.3. CIRI-CIRI POLA ASUH ASUH DEMOKRATIS.

Pola asuh demokratis, memiliki ciri-ciri seperti yang dikemukakan oleh

beberapa ahli di bawah ini:

a. Stewart dan Koch (dalam Elaine, 1990) menyatakan ciri-cirinya adalah:

1) Orang tua memandang sama kewajiban dan hak antara orang tua dan anak.

2) Secara bertahap orang tua memberikan tanggung jawab bagi anak- anaknya

terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka menjadi dewasa.

3) Orang tua selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan

menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluhan dan pendapat anak-

anaknya.

4) Dalam bertindak, orang tua selalu memberikan alasannya kepada anak,

mendorong anak saling membantu dan bertindak secara obyektif, tegas tetapi

hangat dan penuh pengertian.

Page 34: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

46

b. Menurut Hurlock (1999) pola asuhan demokratis ditandai dengan ciri-ciri:

1) Anak-anak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan kontrol

internalnya.

2) Anak diakui keberadaannya oleh orang tua.

3) Anak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

c. Menurut Zahara Idris (dalam Shochib, 1998), dimensi pola asuh demokratis

meliputi:

1) Musyawarah dalam keluarga. Pola asuh demokratis selalu memberi

kesempatan kepada keluarga dalam hal ini anak untuk membicarakan dan

menyepakati peraturan keluarga, membicarakan kegiatan-kegiatan yang akan

dilakukan bersama keluarga serta memecahkan masalah yang dihadapi keluarga.

2) Kebebasan yang terkendali. Orang tua yang menerapkan pola asuh

demokratis dalam mendidik anak-anak akan selalu memberikan kebebasan

dalam berpendapat, dalam menyampaikan keinginan anak, serta berusaha

mendengarkan keluhan, penjelasan dengan segala pertimbangan yang bijaksana,

3) Pengarahan dari orang tua. Memberi pengarahan adalah salah satu ciri

pola asuh demokratis, karena dalam pengarahan akan termuat penjelasan-

penjelasan mengenai nilai-nilai hidup, moral, norma yang baik dan penting

dalam kehidupan ini.

4) Bimbingan dan perhatian. Pola asuh demokratis memberikan

perhatian mengenai kebutuhan anak dari hal kecil sampai besar, misalnya

adalah kebutuhan pokok anak, kebutuhan sekolah, kebutuhan bermain, namun

tidak lepas dari bimbingan yang mengarah ke pencapaian masa depan anak.

5) Saling menghormati antar anggota keluarga. Dalam pengasuhan ini,

ditekankan adanya sikap saling menghormati dan menghargai antar anggota

Page 35: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

47

keluarga baik dalam bersikap, bertutur kata agar tercipta keharmonisan dalam

keluarga.

6) Komunikasi dua arah. Bentuk komunikasi dua arah antara orang tua

dan anak sangat dihargai dan diterapkan dalam pola asuh ini, karena komunikasi

yang baik adalah bila adanya pihak yang mendengarkan dan mengutarakan

pendapat baik dalam mengkomunikasikan masalah, maupun keinginan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dimensi pola asuh

yang nantinya juga digunakan dalam penyusunan angket adalah adanya

musyawarah dalam keluarga, kebebasan yang terkendali, pengarahan dari orang

tua, bimbingan dan perhatian, saling menghormati antar anggota keluarga, dan

komunikasi dua arah.

2.4.4. MANFAAT POLA ASUH DEMOKRATIS.

2.4.4.1. Secara Umum

1) Mengembangkan perasaan diterima.

Indikasi dari hasil penelitian Lutfi (1991), Nur Hidayat (1993) dan Nur

Hidayah (1995) (dalam Mohammad Shocib (1998) adalah bahwa dalam pola

asuh dan sikap orang tua yang demokratis menjadikan adanya komunikasi yang

dialogis antara anak dan orang tua dan adanya kehangatan yang membuat anak

remaja merasa diterima oleh orang tua sehingga ada pertautan perasaan. Oleh

sebab itu, anak remaja yang merasa diterima oleh orang tua memungkinkan

mereka memahami, menerima dan menginternalisasi ”pesan” nilai moral yang

diupayakan untuk diapresiasikan berdasarkan kata hati.

2) Mengembangkan emosional yang positif.

Pendapat Fromm, seperti yang dikutip Abu Ahmadi (1991) bahwa anak

yang dibesarkan dalam keluarga yang bersuasana demokratis,

Page 36: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

48

perkembangannya emosionalnya lebih matang dan dapat menerima kekuasaan

secara rasional. Sebaliknya anak yang dibesarkan dalam suasana otoriter,

memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang harus ditakuti.

2.4.4.2. Secara Khusus bagi Perilaku Prososial

1) Mengembangkan kemandirian dan keyakinan.

Baumrid dan Black (dalam Kusjamilah, 2001), dari hasil penelitiannya

menemukan bahwa teknik-teknik asuhan orang tua yang demokratis akan

menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri maupun mendorong tindakan-

tindakan prososial, mandiri serta mampu membuat keputusan sendiri yang akan

berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggung jawab.

2) Mengembangkan kontrol diri.

Dengan pola asuh ini, anak akan mampu mengembangkan kontrol

terhadap perilaku sendiri dengan hal-hal yang dapat diterima oleh masyarakat.

Hal ini mendorong anak untuk mampu berdiri sendiri, bertanggung jawab dan

yakin terhadap diri sendiri. Daya kreativitasnya berkembang baik karena orang

tua selalu merangsang anaknya untuk mampu berinisiatif baik dalam tingkah

laku menolong (Danny, 1991).

3) Mengembangkan sikap terbuka dan jujur.

Pola asuh demokratis ini ditandai dengan sikap terbuka dan jujur antara

orang tua dan anak. Mereka membuat aturan-aturan yang disetujui bersama.

Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan

keinginannya. Jadi, dalam pola asuh ini terdapat komunikasi yang baik antara

orang tua dan anak. Rumah tangga yang hangat dan demokratis, juga berarti

bahwa orang tua merencanakan kegiatan keluarga untuk mempertimbangkan

kebutuhan anak agar tumbuh dan berkembang sebagai individu dan bahwa

Page 37: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

49

orang tua memberinya kesempatan berbicara atas suatu keputusan semampu

yang diatasi oleh anak. Sasaran orang tua adalah mengembangkan individu yang

berpikir, yang dapat menilai situasi dan bertindak dengan tepat, bukan seekor

hewan terlatih yang patuh tanpa pertanyaan (Elanie, 1990).

Berdasarkan pemamparan di atas, dapat disimpulkan manfaat pola asuh

demokratis secara umum adalah mengembangkan kemandirian dan keyakinan

dan mengembangkan emosional yang positif; sedangkan manfaat secara khusus

bagi prososial adalah mengembangkan kemandirian dan keyakinan,

mengembangkan kontrol diri dan mengembangkan sikap terbuka.

2.5. EMPATI DAN POLA ASUH DEMOKRATIS SEBAGAI

PREDIKTOR PERILAKU PROSOSIAL.

Tingkah laku prososial (prosocial behavior) adalah perilaku yang

memerluka proses pembelajaran dalam rentang kehidupan ini. Definisi prososial

sendiri adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa

harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan

tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu risiko bagi orang yang

menolong. Dalam teori pembelajaran sosial yang dikemukakan oleh Albert

Bandura, ada dua faktor penting yang memengaruhi proses pembelajaran

perilaku individu, pertama adalah faktor kognitif dan faktor lingkungan.

Faktor kognitif dalam penelitian ini adalah empati yang juga merupakan

salah satu faktor munculnya perilaku prososial. Empati adalah kemampuan

seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain, jadi

kemampuan empati ini erat kaitannya dengan pengambilan peran Staub (dalam

Hudaniah & Dayakisni, 2006). Ini merupakan faktor kognitif dari munculnya

tindakan prososial, karena dalam empati terdapat ketrampilan kognitif,

Page 38: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

50

ketrampilan ini digunakan untuk mengenal dan memahami pikiran dan

pandangan orang lain. Dalam empati juga terdapat komponen afektif. Tujuan

dari komponen afektif ini adalah menolong individu menguasai ketrampilan

hidup (life skills). Ketrampilan-ketrampilan psikologis yang termasuk dalam life

skills salah satunya mendengarkan dan memahami secara empatik (empatic

understanding), tidak hanya merasakan penderitaan orang lain tetapi juga

mengekspresikan kepedulian dan mencoba melakukan sesuatu untuk

meringankan penderitaan mereka. Kepedulian untuk menolong seseorang

merupakan definisi penting dari prososial. Tingkah laku prososial (prosocial

behavior) adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain

tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang

melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu risiko bagi

orang yang menolong.

Faktor lingkungan dalam proses pembelajaran sosial yang dalam hal ini

adalah perilaku prososial ini yaitu lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga

ini lebih terfokus pada gaya pola asuh orang tua yang diterapkan untuk

mendidik anak-anaknya. Gaya pola asuh orang tua ini termasuk juga model

perilaku dari orang tua dalam memberikan asuhan bagi anak-anaknya. Menurut

Bandura, proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai

model merupakan tindakan belajar.

Model prososial yang lebih berpengaruh dari yang disediakan oleh

media, adalah model yang disediakan oleh orang tua. Coles (1997) menyatakan

bahwa kuncinya adalah dengan mengajarkan anak untuk menjadi “baik” dan

untuk berpikir mengenai orang lain selain dari diri sendiri. Anak-anak belajar

dengan mengobservasi apa yang dilakukan dan dikatakan orang tua mereka

dalam kehidupan sehari-hari.

Page 39: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

51

Coles yakin bahwa masa sekolah dasar adalah masa yang penting di

mana anak dapat mengembangkan atau gagal mengembangkan suatu kesadaran.

Tanpa model dan pengalaman yang tepat, anak-anak dapat dengan mudah

bertumbuh menjadi remaja yang egois dan kasar dan kemudian menjadi orang

dewasa yang sama tidak menyenangkannya. Rasa empati anak ditingkatkan

ketika ketika orang tua dapat mendiskusikan emosi-emosi, tetapi penghambat

utama perkembangan empati adalah penggunaan rasa marah oleh orang tua

sebagai cara utama untuk mengontrol anak-anaknya.

2.6. MODEL PENELITIAN

Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu, maka model penelitian

yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Model Penelitian

Keterangan:

X1: Empati

X2: Pola Asuh Demokratis

Y : Perilaku Prososial

X1

X2 X2

Y

Page 40: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2274/3/T2_832009021_BAB II… · Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar

52

2.7. HIPOTESIS

Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori, hipotesis yang diajukan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Empati dan pola asuh demokratis

sebagai prediktor perilaku prososial pada remaja PPA Solo.