BAB II LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/43174/3/jiptummpp-gdl-sitiainunm-49971... · 2019-01-11 ·...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/43174/3/jiptummpp-gdl-sitiainunm-49971... · 2019-01-11 ·...
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Low Back Pain
1. Definisi Low Back Pain
Low Back Pain atau nyeri punggung bawah menurut Balague (2012)
didefinisikan sebagai sensasi nyeri, ketegangan otot atau stiffness yang
terlokalisasi di bawah batas costae terakhir sampai dengan bawah lipatan
gluteal dengan ataupun tanpa nyeri menjalar pada kaki. Sedangkan menurut
Karnati dan R Reddy (2015) Low Back Pain menimbulkan
ketidaknyamanan pada bagian bawah punggung dan tulang belakang. Low
Back Pain juga berkaitan dengan kondisi spine dan trunk yang memiliki
penurunan kekuatan dan stabilitas.
Menurut Arya (2014) Low Back Pain akan menimbulkan gejala
nyeri pada area lumbosacral, yakni bagian pinggang dan menjalar ke depan,
samping atau belakang kaki sejajar dengan punggung bawah. Rasa sakit
diperparah dengan aktivitas berlebihan atau pada saat malam hari. Pada
kondisi nyeri punggung bawah karena adanya kompresi saraf tulang
belakang akan menyebabkan kelemahan dan mati rasa pada kaki sehingga
fungsionalnya mengalami penurunan. Sensasi ketidaknyamanan tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor sehingga berkembang menjadi Low Back
Pain, bukan suatu penyakit spesifik, melainkan kumpulan gejala dengan
berbagai proses berbeda (Deyo et al, 2009).
12
2. Prevalensi Low Back Pain
Menurut Vohra, Kasana dan Arya (2016) Low Back Pain merupakan
kondisi yang sering ditemui 60-80% pada suatu populasi. Studi
epidemiologis menyebutkan jika nyeri punggung memiliki prevalensi rata-
rata dalam satu bulan 15-30% dan lebih dari itu secara berurutan 30-40%.
Sedangkan menurut Arya (2014) Low Back Pain mempengaruhi 90%
fungsional tubuh. Lebih dari 50% kejadian Low Back Pain tidak hanya
terjadi sekali, sangat mungkin untuk terjadi kembali. 15% orang dengan
permasalahan Low Back Pain akan merasa terganggu dengan aktivitas
fungsional yang biasanya dikerjakan. Hal tersebut juga menjadi penyebab
kecacatan pada orang di bawah usia 45 tahun apabila tidak secepatnya
ditangani.
Menurut Arya (2014) 85% orang yang mengalami Low Back Pain
dan menjalani serangkaian pemeriksaan lengkap tidak dapat diidentifikasi
penyebab nyeri yang dirasakan. Tidak ada identifikasi yang jelas tersebut
menyebabkan pengklasifikasian dalam non spesifik dan 15% sisanya
merupakan jenis spesifik karena trauma ataupun degeneratif. Lebih
banyaknya prevalensi non spesifik tersebut menurut Hoy et al (2010)
merupakan kondisi yang banyak dikeluhkan oleh remaja. Myogenic pain
atau yang berhubungan dengan gangguan musculoskeletal menjadi
penyebab angka Low Back Pain meningkat pada usia remaja, hal tersebut
disebabkan aktivitas berlebihan seperti duduk yang terlalu lama selama
masa belajar.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Kedra dan Czaprowski (2013)
di Polandia dari 1.089 responden berusia 10-19 tahun, dilaporkan
13
prevalensi terjadinya nyeri punggung adalah 830 atau 76,2%, terutama
di segmen lumbal sebesar 74,8% dan 44,7% nyeri ringan yang dominan.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh A Virat (2000) menunjukkan
jika 77% remaja yang berusia 12-18 tahun mengalami nyeri pada bagian
leher, bawah dan punggung bawah. Dari penelitian yang dilakukan juga
menunjukkan peningkatan prevalensi yang meningkat di akhir masa remaja
atau seiring bertamahnya usia. Penelitian lain yang dilakukan Roudsari dan
Jarvik (2010) menyebutkan bahwa Low Back Pain Myogenic atau non
spesifik lebih banyak angka kejadiannya pada remaja.
3. Etiologi Low Back Pain
Penelitian yang dilakukan oleh Bhangle, Sapru dan Panus (2009)
etiologi atau penyebab terjadinya Low Back Pain sulit untuk diidentifikasi.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik akan mempermudah mengetahui etiologi
dari Low Back Pain, seperti penekanan saraf, inflamasi atau kondisi
patologis lainnya. Menurut Arya (2014) secara umum Low Back Pain terjadi
karena cedera pada otot, tulang dan saraf low back. Sensasi nyeri yang
dirasakan boleh jadi karena kondisi patologis pada organ dalam perut, dada
dan panggul. Sprain ligamen stabilisator low back yang umumnya terjadi
pada orang hamil juga akan mempengaruhi terjadinya Low Back Pain.
Sedangkan menurut Vohra, Kasana dan Arya (2016) secara spesifik atau
penyebab Low Back Pain yang dapat diidentifikasi salah satunya adalah
herniasi diskus. Hal tersebut terjadi karena perpindahan nucleus, kartilago
dan fragmentasi tulang epiphyseal atau fragmentasi anular ke arah luar.
Kondisi herniasi ini terbagi menjadi tiga, yaitu protrusion, extrusion dan
bulging. Penyebab Low Back Pain lainnya adalah canal stenosis, infeksi,
14
ankylosing spondylitis dan metastasis kanker pada area di dekat struktur
punggung bawah.
Secara mekanis Low Back Pain dapat disebabkan osteoarthritis,
kifosis, perbedaan panjang tungkai, restriksi pergerakan hip, torsi pada
pelvic dan bentuk kaki yang abnormal. Kondisi mekanis ini akan
mempengaruhi struktur pada area low back, seperti terjadinya spasme otot-
otot penggerak dan stabilisator low back, imbalance, tightness dan sprain
ligament yang memicu terjadinya nyeri. Selain itu, nyeri pada Low Back
Pain bisa diakibatkan oleh inflamasi karena spndyloarthritis, infeksi dan
rheumatoid arthritis. Dari sisi metabolisme, Low Back Pain dapat
disebabkan oleh osteoporotic, osteomalacia, ochronosis dan
chondrocalcinosis (Arya, 2014).
Menurut Almoallim et al (2014) Low Back Pain non spesifik atau
yang penyebabnya sulit diidentifikasi bisa dipicu karena overweight,
kehamilan, stress, depresi, postur yang jelek serta berdiri dan duduk atau
melakukan kondisi statis terlalu lama. Selain itu permasalahan strain dan
sprain pada musculoskeletal, secara berkembang sering dijumpai pada
remaja hingga dewasa muda dengan ataupun tanpa red flags merupakan
kondisi yang menjadi penyebab low back.
4. Klasifikasi Low Back Pain
Menurut Balague et al (2012) klasifikasi Low Back Pain berdasarkan
durasi gejala dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Akut, yakni gejala Low Back Pain dirasakan kurang dari 6
minggu.
15
b. Sub Akut, yakni gejala Low Back Pain dirasakan kurang lebih
6-12 minggu.
c. Kronis, yakni gejala Low Back Pain dirasakan lebih dari 12
minggu.
Pembagian klasifikasi yang berbeda dikemukakan oleh Chou dan
Qaseem (2007) terdapat dua macam kategori Low Back Pain, yaitu spesifik
dan non spesifik. Spesifik merupakan gambaran penyebab Low Back Pain
yang dapat diidentifikasi secara jelas, seperti terjadinya degenerasi, kanker
atau suatu penyakit serta trauma langsung. Sedangkan non spesifik berarti
masih menimbulkan kerancuan untuk mengidentifikasi penyebab dari Low
Back Pain.
5. Patofisiologi Low Back Pain
Pada Low Back Pain spesifik, perjalanan gangguan hingga
menimbulkan gejala Low Back Pain sudah jelas diidentifikasi dengan
memperhatikan penyebabnya. Pada Low Back Pain non spesifik memang
lebih banyak mengarah pada gangguan musculoskeletal ataupun myogenic,
seperti permasalahan postur, kondisi tubuh serta beban berlebih yang akan
mempengaruhi kondisi low back muscle (Belague, 2012).
Menurut Roudsari dan Jarvik (2010) baik itu strain, atrophy, spasm
dan imbalance akan meningkatkan nosiseptif input ke sistem sehingga
munculah sensasi nyeri. Semua struktur tersebut mengandung nosiseptor
yang peka terhadap berbagai stimulus (mekanikal, termal dan kimiawi).
Bila reseptor dirangsang oleh berbagai stimulus lokal, akan dijawab
dengan pengeluaran berbagai mediator inflamasi dan substansi lainnya
yang menyebabkan timbulnya persepsi nyeri, hiperalgesia maupun
16
alodinia yang bertujuan mencegah pergerakan untuk memungkinkan
berlangsungnya proses penyembuhan. Salah satu mekanisme untuk
mencegah kerusakan atau lesi yang lebih berat ialah spasme otot yang
membatasi pergerakan. Spasme otot ini menyebabkan iskemia dan
sekaligus menyebabkan munculnya titik picu (trigger points) yang
merupakan salah satu kondisi nyeri. Sensasi nyeri inilah yang nantinya
berkembang mengganggu fungsional tubuh dan menyebabkan disabilitas
(Puentedura & Flynn, 2016).
Pada keadaan lain, yakni postur membungkuk yang dipertahankan
dalam jangka waktu lama disertai dengan kelemahan otot-otot
paravertebral memicu proses adaptasi postur yang berkontribusi terhadap
terjadinya pembebanan abnormal pada tepi anterior dari korpus vertebra.
Pembebanan ini ditransmisikan pada seluruh segmen tulang belakang
termasuk di dalamnya diskus intervertebralis. Pembebanan anterior ini
menyebabkan robekan pada struktur lamellar dari annulus fibrosus.
Robekan ini kemudian digantikan oleh sel-sel fibroblast yang berdampak
pada proliferasi jaringan fibrous. Hal tersebut menurunkan kemampuan
tension serabut annulus fibrosus, menyebabkan adanya protrusi nucleus
pulposus yang kemudian menekan struktur dibagian belakang diskus. Pada
keadaan yang lebih lanjut, akan memicu respon autoimun dan infiltrasi
sel mediator inflamasi (sitokin, makfrofag, interleukin-1, TNF-α) yang
memicu proses inflamasi pada daerah akar saraf. Hal ini akan
menimbulkan nyeri sesuai dengan area dermatom yang dipersarafi oleh
akar saraf yang terlibat. Pada umumnya nyeri dirasakan pada daerah
pinggang bawah dan paha belakang (Puentedura & Flynn, 2016).
17
Postur hiperekstensi juga berkontribusi terhadap kejadian nyeri
punggung bawah. Pada saat posisi tulang belakang dalam keadaan
hiperekstensi, terjadi pembebanan yang sangat besar pada bagian
posterior pillar tulang belakang terutama permukaan processus
articularis pada tulang vertebra dengan permukaan pasangannya.
Pembebanan ini menyebabkan stress contact yang berlebihan antara
kedua permukaan sendi, meningkatkan gaya friksi pada setiap gerakan
artrokinematika lumbal. Nosiseptor pada facet joint merespon terhadap
pembebanan ini dan menghasilkan nyeri pada punggung bawah yang
dikenal dengan istilah hyperextension syndrome. Posisi ini juga
mempengaruhi kontraksi berlebihan pada otot ekstensor low back sehingga
menyebabkan stress yang akan meningkatkan nosiseptif input ke sistem
sehingga munculah sensai nyeri (Muttaqin, 2011).
6. Pemeriksaan Low Back Pain
Menurut Almoallim et al (2014) pemeriksaan yang dilakukan
untuk membuktikan seseorang terkena Low Back Pain adalah dengan:
a. Tes berjalan menggunakan Trendelenburg, apabila positif
maka terjadi kelemahan otot gluteus medius.
b. Inpeksi postur, apabila ditemukan kondisi kifosis, lordosis dan
skoliosis maka dimungkinkan terjadi ketidakseimbangan low
back muscle.
c. Palpasi, ini digunakan untuk memeriksa terjadinya tenderness,
kondisi ligament dan spasme otot.
18
d. Pemeriksaan lingkup gerak sendi, apabila ditemukan
keterbatasan, maka kemungkinan besar terjadi permasalahan
pada low back muscle.
e. Pemeriksaan spesifik, melibatkan beberapa pemeriksaan
seperti slump test, straight leg raise test dan patrick test.
Apabila ditemukan nyeri pada low back muscle baik menjalar
atau tidak maka akan sangat membantu dalam menegakkan
diagnosis dan membuat underliying proses.
Pada kondisi Low Back Pain myogenic membutuhkan pemeriksaan
yang membantu menegakkan diagnosis bahwa Low Back Pain yang terjadi
karena permasalahan pada musculoskeletal. Mc Kenzie Lumbar Assessment
merupakan suatu pemeriksaan melalui kuisioner yang harus dipenuhi. Data
yang diperlukan oleh Mc Kenzie Lumbar Assessment ini berupa riwayat, tanda-
gejala, hasil dari pemeriksaan sehingga melalui kuisioner Mc Kenzie Lumbar
Assessment dapat mengidentifikasi klasifikasi Low Back Pain tertentu. Mc
Kenzie Lumbar Assessment juga membantu dalam mencatat evaluasi, serta
pemilihan treatment yang seharusnya dilaksanakan (Peterson et al, 2003)
B. Anatomi dan Fisiologi Vertebra Lumbar
Vertebra lumbalis memiliki ciri-ciri, corpus besar yang berbentuk
ginjal, mempunyai pediculus kuat yang mengarah ke belakang, mempunyai
lamina tebal, foraminanya bebentuk segitiga dengan processus transversus
panjang dan processus spinosus yang pendek, rata, berbentuk segi empat, serta
mengarah ke belakang. Panjang kelima korpus vertebra lumbal adalah 25%
dari total panjang tulang belakang. vertebra lumbalis mempunyai peranan
19
terhadap wilayah low back lebih besar dan lebih berat dibandingkan dengan
vertebra lainnya (Snell, 2011).
Gambar 2.1 Lumbar Vertebra (Feneis & Dauber, 2011)
Vertebra lumbalis merupakan salah satu bagian dari kolumna
vertebralis, yakni gabungan dari 7 ruas tulang cervical, 12 ruas thoracal, 5 ruas
lumbal, 5 ruas sacrum, dan 1 ruas tulang ekor. Fungsi dari kolumna vertebralis
adalah penyangga kranium, gelang bahu, ektremitas atas, dinding toraks serta
melalui gelang panggul menyangga berat badan ke ekstremitas inferior dan
merupakan pilar utama tubuh. Terdapat pula medula spinalis, radix nervus
spinalis dan lapisan penutup meningen yang dilindungi di dalam rongga
kanalis vertebralis (Cael, 2010).
Menurut Johanes (2010) salah satu struktur penting vertebra adalah
diskus intervertebralis yang tersusun atas tulang-tulang vertebra, sendi dan
bantalan fibrocartilage. Fungsi dari diskus intervertebralis ini sebagai
penyangga beban dan peredam kejut. Diskus terbentuk oleh annulus fibrosus
yang merupakan anyaman serat-serat fibroelastik dan lebih sensitif pada
strain rotasi daripada beban kompresi, tension, dan shear. Secara mekanis,
annulus fibrosus berperan sebagai coiled spring (gulungan pegas) terhadap
20
beban tension dengan mempertahankan korpus vertebra secara bersamaan
melawan tahanan dari nukleus pulposus yang bekerja seperti bola. Tepi atas
dan bawah annulus fibrosus melekat pada “end plate” vertebra, sedemikian
rupa hingga terbentuk rongga antar vertebra. Rongga ini berisi nukleus
pulposus, yaitu suatu bahan mukopolisakarida kental yang banyak
mengandung air. Nukleus pulposus tidak mempunyai pembuluh darah dan
saraf. Kandungan cairan yang sangat tinggi membuat annulus fibrosus mampu
menahan beban kompresi serta berfungsi untuk mentransmisikan beberapa
gaya ke annulus dan sebagai shock absorber (Zhou, Holder & Leahy, 2014).
Gambar 2.2 Intervertebral Disc (Moore et al, 2012)
Menurut Cael (2010) tulang vertebra dibagi menjadi dua bagian, yakni
anterior dan posterior. Bagian anterior tulang vertebra dari korpus vertebra
yang dihubungkan satu dengan yang lain oleh diskus invertebralis dan ditahan
satu sama lain oleh ligament longitudinal ventral dan dorsal, berfungsi sebagai
penyangga berat badan. Bagian posterior tulang vertebra terdiri dari pedikel,
prossesus spinosus, prossesus transversus dan lamina yang diikat satu sama
lain oleh berbagai ligament di antaranya ligament interspinal, ligament
intertransvers dan ligament flavum. Pada prossesus spinosus dan prosessus
21
transversus melekat otot-otot yang turut menunjang dan melindungi kolumna
vertebrae (Wingender, 2009).
Selain diskus intervertebralis struktur lain yang mempunyai peran besar
dalam stabilisasi adalah prosesus tranversus. Bagian ini menjadi titik dimana
ligament dan otot memulai gerakan vertebra. Selain itu, juga sebagi stabilisasi
ligament dengan memandu gerakan segmental, serta menjaga stabilisasi
intrinsik vertebra dengan membatasi gerakan yang berlebihan. Ligamen-
ligamen pada vertebra menjaga gerakan agar tidak berlebihan dan tidak
menimbulkan tergelincirnya gerakan akibat struktur vertebra yang tidak tertata
apabila tidak adanya ligament. Terdapat dua sistem utama ligament pada
vertebra, yaitu intrasegmental dan intersegmental. Intrasegmental terdiri dari
ligament flavum yang berperan memelihara keutuhan permukaan atas kanalis
vertebralis, ligament interspinosus yang berperan dalam mencegah terpisahnya
2 vertebra, ligament intertranversus, serta facet joint yang bersama-sama
memegang kendali pada satu vertebra. Intersegmental terdiri dari ligament
longitudinal anterior-posterior dan ligament supraspinosus (Snell, 2011).
Menurut Wingender (2009) ligamen longitudinal anterior,
merupakan ligament yang lebar dan kuat dengan struktur fibrosa. Fungsi dari
ligament longitudinal anterior ini adalah stabilisator gerakan ekstensi lumbal.
Selanjutnya adalah ligament longitudinal posterior yang membentuk batas
anterior kanalis spinalis. Fungsi dari ligament longitudinal posterior adalah
stabilisator gerakan fleksi lumbal. Selain itu dalam penelitian Kisner dan Colby
(2012) masih terdapat ligament supraspinosus yang merupakan serabut
terdinous dari otot punggung dan ligament iliolumbal yang menahan
22
tergelincirnya korpus ke depan, menekuk ke lateral dan rotasi aksial vertebra
L5 terhadap sakrum.
Gambar 2.3 Ligament pada Vertebra (Pearson, 2011)
Untuk menimbulkan suatu gerakan antar tulang vertebra, tentunya
terdapat sendi yang menghubungkan antar kedua tulang tersebut. Persendian
yang berperan penting dalam penyusunan struktur vertebrae adalah Facet
Joint. Menurut Zhou, Holder dan Leahy (2014) facet joint merupakan sendi
yang terbentuk dari prosessus artikular vertebra yang berdekatan untuk
memberikan sifat mobilitas dan fleksibilitas. Fungsi dari facet joint adalah
stabilisasi pergerakan antara dua vertebra dengan adanya translasi dan torsi
saat melakukan fleksi dan ekstensi karena bidang geraknya yang sagital.
Persendian pada corpus vertebra merupakan jenis symphysis (articulatio
kartilago sekunder) yang dirancang untuk menahan berat tubuh dan
memberikan kekuatan (Moore et al, 2013).
Lumbal memegang kendali lebih besar untuk punggung bawah
dibandingkan dengan vertebra lainnya. Ketika melakukan gerakan ataupun
mempertahankan stabilitasi, selain persendian kompenen lain yang berperan
23
adalah otot. Menurut Vohra, Kasana dan Arya (2016) pembagian otot-otot pada
vertebra lumbalis meliputi:
1. Otot-Otot Posterior : Otot latissimus dorsi, otot paraspinalis yang
terdiri dari otot erector epine (otot iliocostalis, otot longissimus
dan otot spinalis), berfungsi sebagai ekstensor utama tulang
belakang.
2. Otot-Otot Dalam : Otot rotator, otot multifidus yang merupakan otot
stabilisator segmental kecil yang berfungsi untuk mengontrol
fleksi lumbal karena otot ini tidak menghasilkan kekuatan yang
cukup untuk mengekstensikan tulang belakang.
3. Otot-Otot Anterior : Otot psoas, otot quadratus lumborum yang
berfungsi membantu melakukan fleksi lateral pada lumbal dan
berperan pada sisi flesibilitas.
Kelompok otot quadratus lumborum berperan dalam mekanika
tubuh normal. Kelompok otot ini terdiri dari beberapa otot kecil yang
terletak jauh di dalam massa otot punggung bawah. Quadratus lumborum
membantu untuk menyebabkan gerakan fleksi lateral dan juga merupakan
stabilisator penting dari tulang belakang lumbal. Kontraksi quadratus
lumborum yang berkelanjutan diperlukan selama duduk, berjalan, berbaring
dan kegiatan fungsional lainnya dalam rangka menstabilkan trunk dan
menjaga mekanika tubuh. Postur yang jelek dan kontraksi terus-menerus
pada otot quadratus lumborum menyebabkan spasme, iskemik dan
imbalance yang mana dapat menyebabkan nyeri punggung bawah
(Puentedura & Flynn, 2016).
24
Gambar 2.4 Low Back Muscle (Pearson, 2009)
Pada bagian abdomen, menurut Cael (2010) otot-otot yang melekat
pada bagian ini yang juga berperan dalam stabilisasi tulang belakang
diantara lain:
1. Otot Abdomen Superficial : Otot Rektus Abdominis dan otot Obliqus
Eksternus.
2. Otot Lapisan Dalam : Otot Obliqus Internus dan otot Transversus
Abdominis.
Gambar 2.5 Abdominal Muscle (Encyclopedia Britannica, 2008)
Ketika terjadi gerakan fleksi dan ekstensi, vertebra akan mengalami
perubahan secara dinamis. Pada posisi berdiri yang lama dengan
25
mempertahankan postur hiperekstensi vertebra, foramen intervertebralis akan
mengalami penyempitan karena gerakan slide ke bawah selama ekstensi, lebih
lanjut hal ini akan memicu penekanan akar saraf sehingga menimbulkan
sensasi nyeri (Laderman, 2010).
Pada posisi netral, garis gravitasi akan melewati tubuh melalui prosesus
mastoideus, bagian anterior sacrum 2 dan di depan lutut. Posisi anatomis
seperti ini akan memberikan gaya efektif untuk mempertahankan tubuh tanpa
kerja otot yang berlebihan. Sedangkan pada kondisi postur yang jelek seperti
membungkuk, beban akan jatuh di depan tulang belakang, menyebabkan
momen gaya eksternal lebih besar, serta overstretch otot ekstensor sehingga
memicu terjadinya kontraksi ekstensor trunk dan strain pada otot ekstensor.
Posisi duduk yang tidak ergonomis juga menimbulkan kurva lordosis lumbal,
penekanan diskus intervertebralis dan penekanan pada bagian posterior karena
jumlah berat badan ditransmisikan ke belakang. Sama halnya dengan
mempertahankan posisi statis dalam waktu yang lama akan menyebabkan
kontraksi berlebihan pada otot-otot stabilisator lumbal (Kisner & Colby, 2012).
C. Nyeri
1. Definisi Nyeri
Menurut International Association for the Study of Pain atau IASP
(1986) dalam Meoyedi dan Davis (2012) nyeri didefinisikan sebagai
pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan terkait
dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial yang dijelaskan dalam hal
kerusakan jaringan, atau keduanya. Pada tahun 1662, Rene Descartes
sebagai orang pertama yang mampu mendeskripsikan somatosensorik
pathway pada tubuh manusia mendefinisikan nyeri sebagai persepsi yang
26
ada di otak dan membuat perbedaan antara fenomena tranduksi sensorik dan
pengalaman persepsi nyeri.
2. Klasifikasi Nyeri
Pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengklasifikasi nyeri
adalah berdasarkan durasi (akut, kronik), sumber (cutaneous, deep somatic
dan visceral) dan patofisiologi (nosiseptif, neuropatik). Nyeri akut
berhubungan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang terbatas setelah
nosiseptor kembali ke ambang batas resting stimulus. Sedangkan nyeri
kronis merupakan maglinan ataupun non maglinan yang dialami seseorang
paling tidak 1-6 bulan. Pasien dengan nyeri akut atau kronis bisa
memperlihatkan tanda dan gejala sistem saraf otonom (takikardi, tekanan
darah yang meningkat, diaforesis, nafas cepat) pada saat nyeri muncul
(Sharp, 2001).
Menurut Tamsuri (2007) nyeri berdasarkan sumbernya dibagi
menjadi tiga, yaitu cutaneous (nyeri yang mengenai jaringan sub kutan),
deep somatic (nyeri yang berasal karena permasalahan ligament, tendon,
pembuluh darah dan lebih lama dirasakan daripada nyeri cutaneous) dan
visceral (stimulasi reseptor nyeri dalam rongga abdomen, cranium dan
thorak yang biasa terjadi karena spasme otot, iskemik dan regangan
jaringan). Klasifikasi lain yang dilihat dari patofisiologi adalah neurogenik
dan nosiseptif. Menurut Zhou, Holder dan Leahy (2014) nyeri neurogenik
merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan neural pada saraf
perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf aferen
sentral dan perifer, biasanya digambarkan dengan rasa terbakar dan
menusuk. Sedangkan menurut Treede (2006) nyeri nosiseptif merupakan
27
nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan kimia, mekanik dan suhu
yang menyebabkan aktivasi maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer
(saraf yang bertanggung jawab terhadap rangsang nyeri).
Beberapa gangguan musculoskeletal yang menyebabkan nyeri,
seperti kondisi myogenic diakibatkan struktur anatomi normal yang
digunakan secara berlebihan atau akibat dari trauma yang
menimbulkan stress atau strain pada otot, tendon, dan ligamen. Nyeri
myogenic ini merupakan gangguan atau kelainan pada unsur
musculoskeletal tanpa di sertai dengan gangguan neurologis. Biasanya
berhubungan dengan aktivitas sehari-hari yang berlebihan dan
dilakukan dengan tidak benar, misal mengangkat beban yang berat,
terlalu lama berdiri atau duduk dengan posisi yang salah. Tanda dan gejala
yang terjadi adalah nyeri tekan pada regio yang mengalami gangguan
myogenic, ketegangan otot yang menyebabkan spasme otot sehingga
menyebabkan pasien enggan menggerakkan sendinya. Apabila terjadi
secara terus-menerus dapat menimbulkan keterbatasan gerak sendi
(Vohra, Jaiswal & Pawar, 2014).
Nyeri myogenic sering terjadi pada daerah low back (punggung
bawah) sebagai akibat dari aktivitas regio lumbal yang mengakibatkan
beberapa struktur, seperti kerja otot yang berlebihan. Penyebab nyeri
myogenic dapat dipengaruhi oleh postur tubuh yang salah, khususnya pada
daerah lumbal sehingga mengakibatkan muscle ibalance pada otot-
ototnya. Duduk dan berdiri atau mempertahankan posisi statis kurang lebih
dua jam selama berturut-turut juga akan mengakibatkan permasalahan
pada otot-otot di sekitar regio lumbal. Spasme, pemendekan, muscle
28
imbalance dan hipersensititif akan menimbulkan nyeri myogenic
(Belague, 2012).
3. Pengukuran Nyeri
Skala yang digunakan dalam pengukuran nyeri guna
membandingkan hasil pertama kali dilakukan pemeriksaan dan evaluasi
setelah penanganan adalah Visual Analog Scale (VAS). VAS
merupakan suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus
menerus dan deskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien
kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. Skala yang
pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 merupakan skala
dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri
dan akhir garis (100) menandakan nyeri hebat. Pengukuran nyeri dilakukan
dengan cara pasien diminta untuk menandai sepanjang garis tersebut
guna mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Klasifikasi penilaian untuk
menentukan nyeri apabila nilai 0-4 mm menunjukkan tidak nyeri, 5-44 mm
menunjukkan nyeri ringan, 45-75 mm menunjukkan nyeri sedang dan 76-
100 mm menunjukkan nyeri berat. Selanjutnya, nilai tersebut dicatat untuk
melihat kemajuan dari intervensi yang sudah dilakukan. Pengukuran VAS
merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien
dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa
memilih satu kata atau satu angka (Vohra, Kasana & Arya, 2016).
Gambar 2.6 Visual Analog Scale (BMJ Publishing Group, 2013)
29
Menurut Moeyadi dan Davis (2013) terdapat keuntungan dan
kelemahan dari penggunaan VAS. Keuntungan penggunaan VAS antara lain
adalah VAS merupakan metode pengukuran intensitas nyeri paling sensitif,
murah dan mudah dibuat. VAS mempunyai korelasi yang baik dengan
skala-skala pengukuran yang lain dan dapat diaplikasikan pada semua
pasien serta VAS dapat digunakan untuk mengukur semua jenis nyeri.
Kekurangan dari VAS adalah memerlukan pengukuran yang lebih teliti dan
sangat bergantung pada pemahaman pasien terhadap VAS sendiri.
Pengaplikasian pengukuran nyeri oleh VAS telah banyak dilakukan
dalam penelitian untuk menguji penurunan nyeri, diantaranya dalam
penelitian Kumar, Sneha dan Sivajyothi (2015) tentang Effectiveness of
Muscle Energy Technique, Ischaemic Compression and Strain
Counterstrain on Upper Trapezius Trigger Points. Selain itu dalam
penelitian lain oleh Voohra, Jaiswal dan Pawar (2014) menggunakan VAS
dalam mengukur tingkat nyeri sebelum dan setelah pengaplikasian Strain
Counterstrain pada Low Back Pain akibat trigger point quadratus
lumborum.
D. Terapi Strain Counterstrain
1. Definisi Strain Counterstrain
Strain Counterstrain (SCS) dikenalkan oleh Lawrence Jones pada
tahun 1981 untuk menangani gangguan fungsi somatik oleh tender point.
Menurut Jones (1990) dalam Lewis, Souvlis dan Sterling (2011) SCS
merupakan positioning release dengan memposisikan sendi secara pasif
kedalam posisi yang menimbulkan rasa paling nyaman atau suatu teknik
penurunan nyeri melalui penurunan dan penahanan aktivitas
30
proprioceptor yang kurang tepat secara terus menerus. Ketika pasien
ditempatkan dalam fine tuning atau posisi paling nyaman dimana nyeri
dapat menghilang dari monitoring palpasi pada tender point, maka
jaringan yang dirasakan stress akan menjadi rilaks. Strain Counterstrain
memungkinkan muscle spindle untuk menghentikan informasi kontraksi
kepada otot sehingga otot dapat rileks. Dengan adanya otot yang rileks
maka akan mengembalikan fungsinya secara optimal, meningkatkan
lingkup gerak sendi, dan meningkatkan fleksibilitas.
Menurut Wong (2012) keakuratan dalam menentukan tender point
merupakan hal utama yang harus diperhatikan. Tender point merupakan
bagian lunak ketika dilakukan palpasi, kecil (kurang dari 1 cm), bulat dan
ditemukan pada otot, tendon, ligamen dan fasia. Tender point digambarkan
seperti halnya taut band pada jaringan musculotendinous. Saat tender
point sudah diidentifikasi, Terapis memposisikan pasien dalam keadaan
yang nyaman. Posisi yang nyaman didapatkan ketika jaringan di sekitar
tender point mengalami pemendekan. Terapis tidak perlu menjaga tekanan
palpasi selama mengkondisikan posisi nyaman pasien, cukup dengan
mempertahankan sentuhan lembut pada tender point. Setelah 90 detik
dilakukan palpasi tender poin dan tuning fine position, Terapis kembali
memposisikan pasien pada keadaan normal (Lewis, Souvlis & Sterling,
2011).
2. Indikasi Strain Counterstrain
Menurut Perreault et al (2009) SCS dapat mereduksi nyeri pada
berbagai kondisi musculoskletal, seperti stiffness, spasm dan artrophy.
Sedangkan menurut Nagrale, Joshi dan Ramteke (2010) SCS mampu
31
mengurangi nyeri sama seperti teknik muscle energy dan ischemic
compression. Pasien yang menjalani SCS mengalami penurunan nyeri saat
dilakukan penekanan tepat pada tender point. Selain mampu mereduksi
nyeri SCS juga menambah ruang lingkup sendi, artinya posisi yang
nyaman selama melakukan teknik SCS juga keakuratan terder point
mampu membuat pasien rileks sehingga tidak ada hambatan saat
melakukan pergerakan (Ibanez et al, 2009).
3. Mekanisme Fisiologis Strain Counterstrain
Mekanisme SCS dalam praktek klinis akan memperhatikan
aktivitas neuromuscular oleh muscle spindle, sirkulasi lokal dan reaksi
inflamasi yang dipengaruhi oleh sistem saraf simpatis. Aktivitas
neuromuscular antara otot agonis dan antagonis atau disebut sebagai teori
propioseptif yang akan membantu menjelaskan efek SCS. Pergerakan
pasif pada muscle yang mengalami disfungsi dan penekanan pada temuan
tender point memungkinkan muscle spindle untuk menghentikan
informasi kontraksi kepada otot sehingga otot dapat rileks. Otot yang rileks
dengan sendirinya kembali ke posisi normal secara spontan. Dengan SCS
yang dikembangkan oleh Lawrence Jones, pergerakan pasif untuk
memperpendek otot agonis memungkinkan spindle otot agonis kembali
normal (Wong, 2012).
Menurut Huijing dan Baar (2008) Strain Counterstrain dapat
meningkatkan sirkulasi lokal, mempercepat pasokan nutrisi dan
pembuangan limbah metabolik pada jaringan. Perbaikan sirkulasi akan
mengurangi pembengkakan yang dapat menghambat fungsi otot serta
menghambat sirkulasi lokal. Efek sirkulasi dari SCS dimana fibroblast
32
yang disekresikan oleh pro-inflamasi interleukin dan sel poliferasi lebih
menurun dibandingkan dengan sel yang beristirahat. Setelah sirkulasi
beristirahat selama satu menit akan terjadi pelepasan posisi dimana
fibroblast disekresikan ke tingkat yang lebih rendah dari proinflamasi
interleukin IL-6 dan poliferasi sel meningkat secara signifikan
dibandingkan dengan peregangan. Hal yang perlu diperhatikan melalui
penurunan IL-6 untuk menangani inflamasi setelah cedera akut begitu
penting, sebagai efek fisiologis pengaplikasian SCS yang dapat
mempengaruhi sirkulasi (Meltzer & Stanley, 2007).
Penekanan yang terjadi pada jaringan otot menyebabkan automatic
resetting pada muscle spindle yang mana akan menyebabkan penambahan
panjang otot dan pengembalian tonus normal jaringan. Penekanan pada
jaringan juga membuat perubahan kimiawi lokal berupa perubahan
kepucatan pada nodul dan diikuti hiperemi ketika penekanan dirilis. Hal
ini menyebabkan lancarnya aliran darah lokal, mengatasi inflamasi pada
otot, metabolisme nyeri, meperbaiki kerusakan jaringan dan menurunkan
tonus otot (Jagad, 2013).
4. Teknik Strain Counterstrain
Pengaplikasian SCS dapat dimulai dengan mencari tender point
dari jaringan otot yang mengalami gangguan. Selanjutnya, Terapis
menempatkan pasien dalam posisi nyaman dengan jalan membuat otot
yang mengalami disfungsi dalam keadaan memendek melalui gerakan
pasif, kemudian dilakukan penekanan kurang lebih 70% pada tender point
yang telah ditemukan (Chaitow, 2009).
33
Pedoman umum untuk mencapai posisi nyaman menurut Chaitow
(2009) adalah:
a. Memperpendek jaringan yang mengandung tender point dengan
melakukan pendekatan gerak (menekuk) sendi yang ada di sekitar
tender point.
b. Memperpendek bidang yang relevan, misalnya dengan melakukan
fleksi, lateral fleksi dan internal rotasi.
c. Posisi yang nyaman harus bisa meredakan tender point. Selama
memposisikan pada bidang sekunder dengan nyaman juga diikuti
gerakan-gerakan kecil.
d. Posisi yang nyaman sangat bervariasi dan tidak akan pernah
menyebabkan nyeri. Apabila nyeri masih bisa dirasakan maka posisi
belum akurat.
e. Ketika tender point ditemukan di sepanjang garis tengah tulang
belakang, maka akan dirasakan efek pada bagian proksimal dan distal.
Menurut Vohra, Jaiswal dan Pawar (2014) sebagai salah satu
contoh penatalaksanaan SCS terhadap otot quadratus lumborum adalah
dengan memposisikan pasien secara nyaman pada keadaan pronelying,
kemudian melakukan lateral fleksi pada otot quadratus lumborum yang
mengalami disfungsi, kemudian melakukan tekanan 70% pada tender
point pasien selama 90 detik. Langlah berikutnya, memposisikan pasien
secara pasif pada keadaan netral seperti semula. Penatalaksanaan yang
dilakukan oleh Flex dan Touro (2015) dengan penekanan 70% juga waktu
kontinu 90 detik ketika melakukan penekanan pada tender point.
Sedangkan menurut Nagrale, Joshi dan Ramteke (2010) dalam
34
penatalaksanaan teknik SCS terdapat perbedaan dalam lamanya waktu
penekanan tender point, yakni 20-30 detik dan dilakukan repetisi tiga
sampai dengan empat kali, artinya penekanan bersifat intermitten.
Persamaan terjadi dalam positioning dan besarnya tekanan dengan
penatalaksanaan yang digunakan oleh Vohra, Jaiswal dan Pawar (2014).
Menurut Jones Institute of Strain Counterstrain (2015) berikut
adalah beberapa teknik SCS untuk menangani Low Back Pain:
Gambar 2.7 (Gerakan 1 SCS pada otot Quadratus Lumborum)
Gambar 2.8 (Gerakan 2 SCS pada otot Quadratus Lumborum)
35
Gambar 2.9 (Gerakan 3 SCS pada otot Quadratus Lumborum)
Gambar 2.10 (Gerakan 4 SCS pada otot Quadratus Lumborum)
Gambar 2.11 (Gerakan 5 SCS pada otot Quadratus Lumborum)
36
Gambar 2.12 (Gerakan 6 SCS pada otot Quadratus Lumborum)
Gambar 2.13 (Gerakan 7 SCS pada otot Quadratus Lumborum)
Pengaplikasian SCS pada otot quadratus lumborum sebelumnya
telah dilakukan dalam penelitian Vohra, Jaiswal dan Pawar (2014). Dalam
penelitian tersebut menguji efektivitas SCS terhadap Low Back Pain
karena trigger point pada otot quadratus lumborum. Terdapat kelompok
kontrol dengan pemberian heat therapy dan hasil akhirnya terjadi
perbedaan signifikan penurunan nyeri dengan SCS lebih unggul
dibandingkan kelompok kontrol. Penelitian lain oleh Flex dan Touro
(2016) tentang Effect of Strain Counterstrain on Cervical Pain and
Disability : A case Repot, hasilnya dengan intervensi SCS secara gentle
37
mampu mereduksi nyeri, meningkatkan kekuatan otot-otot leher dan
meningkatkan fungsional regio cervical. Kemudian dalam penelitian
Ellythy (2012) tentang pengaplikasian SCS terhadap Low Back
Dysfunction menunjukkan hasil penurunan nyeri, peningkatan linkup
gerak sendi dan fungsional low back secara signifikan.
E. Post Isometric Relaxation
1. Definisi Post Isometric Relaxation
Menurut Fryer (2013) Post Isometric Relaxation (PIR) dalam
mekanisme Muscle Energy Technique (MET) adalah salah satu jenis
Terapi Manual yang sering diaplikasikan untuk memanjangkan serabut
otot yang mengalami pemendekan, memobilisasi persendian, menguatkan
kelemahan otot dan mereduksi terjadinya edema. PIR dikembangkan oleh
Fred Mitchell dengan menggunakan kontraksi secara sadar oleh pasien
untuk melawan tahanan yang dikendalikan terapis. PIR merupakan teknik
yang dilakukan secara gentle dan bersifat aman. PIR juga memberikan
dampak besar terhadap peningkatan lingkup gerak sendi dan peregangan
statis (Ellythy, 2012).
2. Indikasi Post Isometric Relaxation
Konsep peregangan yang dilakukan saat penatalaksanaan PIR
hampir sama dengan stretching dan kontraksi isometrik yang lebih efektif
daripada stretching pasif. Menurut Fryer (2013) untuk mendapatkan
lingkup gerak sendi yang maksimum dan ekstensibilitas otot, maka dapat
memanfaatkan variasi isometrik dari otot antagonis. Teknik PIR akan
meningkatkan secara efektif lingkup gerak sendi selama tidak dirasakan
nyeri. Penerapan PIR oleh Chaitow (2009) menggunakan durasi 5-7 detik
38
untuk mendapatkan hasil efektif. Kemudian ditambahkan oleh Fryer
(2013) durasi pendek lebih efektif untuk menambah lingkup gerak sendi.
Menurut Fryer (2013) dan Chaitow (2009) kondisi yang dapat
menyebabkan nyeri dan disfungsi spinal seperti trauma, strain dan
inflamasi yang menyebabkan limitasi lingkup gerak sendi, penurunan
ektensibilitas otot, serta nyeri dapat ditangani dengan PIR, yakni
mengandalkan kontraksi berulang secara gentle. PIR juga digunakan
untuk mengatasi permasalahan disfungsi pelvis akibat sprain ligament,
kelemahan otot dan atropi dengan menggunakan kontraksi isometrik
sehingga meningkatkan stabilisasi motorik. Dalam hal lain peranan PIR
digunakan untuk peregangan otot, peningkatan kekuatan otot,
mengkoreksi postur yang benar serta mereduksi edema lokal.
3. Mekanisme Fisiologis Post Isometric Relaxation
Mekanisme fisiologis dari Post Isometric Relaxation (PIR)
menimbulkan suatu efek dari inhibitory golgi tendon reflex yang
teraktivasi selama kontraksi isometrik, hal ini menyebabkan relaksasi
reflek pada otot karena mekanisme Post Ismotric Relaxation (PIR). Ketika
terjadi kontraksi isometrik otot antagonist menyebabkan relaksasi melalui
Reciprocal Inhibition (RI) atau hambatan timbal-balik. Neural muscle
inhibition yang terjadi pada MET dengan kondisi cedera otot, melalui
kontraksi sub maksimal isometrik akan menyebabkan pre-synaps
inhibition (Chaitow, 2009).
Menurut Kumar, Shena dan Sivajyothi (2015) ketika terjadi
aktivasi pada otot dan mechanoreseptor sendi akan membangkitkan
sympathoexcitation dari saraf somatik eferen dan aktivasi lokal
39
periaqueductal gray yang mengurangi modulasi nyeri. Fryer (2013)
menyebutkan dengan mekanisme PIR dan RI yang mampu meningkatkan
ekstensibilitas otot, memungkinkan keterlibatan neuro-fisiologi dan faktor
mekanik, termasuk viskoelastik dan perubahan plastic pada jaringan
konektif otot. PIR lebih baik dibandingkan passive stretching dalam hal
peningkatan lingkup gerak sendi, juga lebih unggul guna mengurangi
persepsi nyeri otot karena gerakan stretching, kontraksi isometrik,
mechanoreceptor sendi dan propioseptif. PIR juga berperan dalam
stimulasi propioseptif dari joint movement, stretching dan reduksi nyeri
nosiseptif di spinal cord. Konsentrasi beberapa biomaker nyeri pada
peredaran darah, seperti endocannabinoid (eCB) dan endorphin
mengalami perubahan. eCB sitem terdiri dari reseptor membran sel, ligan
endogen dan ligan metabolisme enzim. Terdapat dua reseptor
cannabinoid, yaitu CB1 yang terletak di sistem saraf dan CB2 yang
memegang kendali kekebalan tubuh. Dua ligan ECB, anandamide (AEA)
dan 2 arachidonoylglycerol (2-AG) tidak disimpan di dalam vesikel
seperti neurotransmitter, sintesis tergantung dengan fosfolipid prekursor
dalam membran sel neuron dan segera dilepaskan ke sinaps saraf
(Chaitow, 2009).
4. Teknik Penatalaksanaan Post Isometric Relaxation
Menurut H Franke et al (2015) protokol dalam melaksakan PIR
diantara lain:
a. Memposisikan klien dengan baik sehingga baik klien maupun
terapis nyaman. Kemudian mempersiapkan otot yang akan
diregangkan pada posisi tertentu agar peregangan dan tahanan
40
dapat ditingkatkan. Klien diberikan informasi terlebih dahulu
tentang adanya efek regangan dan pengurangan nyeri setelah
treatment.
b. Klien diminta untuk mengkontraksikan ototnya sekitar 25%
sementara terapis melakukan tahanan. Dibutuhkan kerjasama
yang baik antara klien dan terapis agar mempertahankan posisi
statis sehingga efeknya adalah kontraksi isometrik otot yang
teregang.
c. Setelah 10-15 detik klien diminta untuk rileks. Selanjutnya
hanya diberikan waktu istirahat 3-5 detik untuk melanjutkan
PIR dengan ruang lingkup sendi lebih luas dari sebelumnya.
Menurut Chaitow (2009) penatalaksanaan PIR secara efektif
dengan melibatkan kekuatan isometrik pasien kurang dari 30% dengan 5
detik periode kontraksi isometrik. Menurut Carter (2000) repetisi yang
dilakukan sebanyak 3 kali sedangkan menurut Ballantyne et al (2003)
dalam Chaitow (2009) optimalnya adalah 2 kali repetisi untuk
menghasilkan ekstensibilitas dan penambahan lingkup gerak sendi.
Frekuensi ideal aplikasi PIR menurut Klein et al (2002) adalah 2 kali
dalam seminggu.
41
Gambar 2.14 Gerakan 1 Post Isometric Relaxation pada otot
Quadratus Lumborum (Strength Physio, 2017)
Gambar 2.15 Gerakan 2 Post Isometric Relaxation pada otot
Quadratus Lumborum (Strength Physio, 2017)
Penelitian PIR dalam mekanisme MET telah banyak dilakukan,
dalam study Varghese (2012) tentang The Effectiveness of Muscle Energy
Technique as Compared to Manipulation Therapy in Chronic Low Back
Pain, hasilnya lingkup gerak sendi pada regio lumbal bertambah dan
terjadi penurunan nyeri secara signifikan. Sama halnya dengan kondisi
Low Back Pain akut dalam penelitian Wilson et al (2003) tentang Muscle
42
Energy Technique in Patients With Acute Low Back Pain: A Pilot Clinical
Trial, PIR dalam MET mampu mere-edukasi neuromuscular sehingga
menurunkan disabilitas dan meningkatkan fungsional regio lumbal. Selain
dalam kondisi Low Back Pain, PIR dalam MET juga diaplikasikan dalam
Upper Trapezius trigger point. Melalui penelitian Kumar, Sneha dan
Sivajyothi (2015) mendapatkan hasil bahwa PIR dalam MET lebih efektif
dibandingkan Ischemic Compression dan Strain Counterstrain dalam
menurunkan nyeri, meningkatkan lingkup gerak sendi dan menunrunkan
disabilitas. Perbandingan lain PIR dalam MET dengan Strain
Counterstrain terhadap Low Back Pain dalam penelitian Ellythy (2012)
menyebutkan jika keduanya sama-sama bisa menurunkan nyeri,
meningkatkan lingkup gerak sendi dan menurunkan disabilitas, tidak
terdapat perbedaan signifikan walaupun PIR dalam MET lebih unggul
dibandingkan SCS.