BAB II LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/43174/3/jiptummpp-gdl-sitiainunm-49971... · 2019-01-11 ·...

32
11 BAB II LANDASAN TEORI A. Low Back Pain 1. Definisi Low Back Pain Low Back Pain atau nyeri punggung bawah menurut Balague (2012) didefinisikan sebagai sensasi nyeri, ketegangan otot atau stiffness yang terlokalisasi di bawah batas costae terakhir sampai dengan bawah lipatan gluteal dengan ataupun tanpa nyeri menjalar pada kaki. Sedangkan menurut Karnati dan R Reddy (2015) Low Back Pain menimbulkan ketidaknyamanan pada bagian bawah punggung dan tulang belakang. Low Back Pain juga berkaitan dengan kondisi spine dan trunk yang memiliki penurunan kekuatan dan stabilitas. Menurut Arya (2014) Low Back Pain akan menimbulkan gejala nyeri pada area lumbosacral, yakni bagian pinggang dan menjalar ke depan, samping atau belakang kaki sejajar dengan punggung bawah. Rasa sakit diperparah dengan aktivitas berlebihan atau pada saat malam hari. Pada kondisi nyeri punggung bawah karena adanya kompresi saraf tulang belakang akan menyebabkan kelemahan dan mati rasa pada kaki sehingga fungsionalnya mengalami penurunan. Sensasi ketidaknyamanan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor sehingga berkembang menjadi Low Back Pain, bukan suatu penyakit spesifik, melainkan kumpulan gejala dengan berbagai proses berbeda (Deyo et al, 2009).

Transcript of BAB II LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/43174/3/jiptummpp-gdl-sitiainunm-49971... · 2019-01-11 ·...

11

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Low Back Pain

1. Definisi Low Back Pain

Low Back Pain atau nyeri punggung bawah menurut Balague (2012)

didefinisikan sebagai sensasi nyeri, ketegangan otot atau stiffness yang

terlokalisasi di bawah batas costae terakhir sampai dengan bawah lipatan

gluteal dengan ataupun tanpa nyeri menjalar pada kaki. Sedangkan menurut

Karnati dan R Reddy (2015) Low Back Pain menimbulkan

ketidaknyamanan pada bagian bawah punggung dan tulang belakang. Low

Back Pain juga berkaitan dengan kondisi spine dan trunk yang memiliki

penurunan kekuatan dan stabilitas.

Menurut Arya (2014) Low Back Pain akan menimbulkan gejala

nyeri pada area lumbosacral, yakni bagian pinggang dan menjalar ke depan,

samping atau belakang kaki sejajar dengan punggung bawah. Rasa sakit

diperparah dengan aktivitas berlebihan atau pada saat malam hari. Pada

kondisi nyeri punggung bawah karena adanya kompresi saraf tulang

belakang akan menyebabkan kelemahan dan mati rasa pada kaki sehingga

fungsionalnya mengalami penurunan. Sensasi ketidaknyamanan tersebut

dipengaruhi oleh beberapa faktor sehingga berkembang menjadi Low Back

Pain, bukan suatu penyakit spesifik, melainkan kumpulan gejala dengan

berbagai proses berbeda (Deyo et al, 2009).

12

2. Prevalensi Low Back Pain

Menurut Vohra, Kasana dan Arya (2016) Low Back Pain merupakan

kondisi yang sering ditemui 60-80% pada suatu populasi. Studi

epidemiologis menyebutkan jika nyeri punggung memiliki prevalensi rata-

rata dalam satu bulan 15-30% dan lebih dari itu secara berurutan 30-40%.

Sedangkan menurut Arya (2014) Low Back Pain mempengaruhi 90%

fungsional tubuh. Lebih dari 50% kejadian Low Back Pain tidak hanya

terjadi sekali, sangat mungkin untuk terjadi kembali. 15% orang dengan

permasalahan Low Back Pain akan merasa terganggu dengan aktivitas

fungsional yang biasanya dikerjakan. Hal tersebut juga menjadi penyebab

kecacatan pada orang di bawah usia 45 tahun apabila tidak secepatnya

ditangani.

Menurut Arya (2014) 85% orang yang mengalami Low Back Pain

dan menjalani serangkaian pemeriksaan lengkap tidak dapat diidentifikasi

penyebab nyeri yang dirasakan. Tidak ada identifikasi yang jelas tersebut

menyebabkan pengklasifikasian dalam non spesifik dan 15% sisanya

merupakan jenis spesifik karena trauma ataupun degeneratif. Lebih

banyaknya prevalensi non spesifik tersebut menurut Hoy et al (2010)

merupakan kondisi yang banyak dikeluhkan oleh remaja. Myogenic pain

atau yang berhubungan dengan gangguan musculoskeletal menjadi

penyebab angka Low Back Pain meningkat pada usia remaja, hal tersebut

disebabkan aktivitas berlebihan seperti duduk yang terlalu lama selama

masa belajar.

Suatu penelitian yang dilakukan oleh Kedra dan Czaprowski (2013)

di Polandia dari 1.089 responden berusia 10-19 tahun, dilaporkan

13

prevalensi terjadinya nyeri punggung adalah 830 atau 76,2%, terutama

di segmen lumbal sebesar 74,8% dan 44,7% nyeri ringan yang dominan.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh A Virat (2000) menunjukkan

jika 77% remaja yang berusia 12-18 tahun mengalami nyeri pada bagian

leher, bawah dan punggung bawah. Dari penelitian yang dilakukan juga

menunjukkan peningkatan prevalensi yang meningkat di akhir masa remaja

atau seiring bertamahnya usia. Penelitian lain yang dilakukan Roudsari dan

Jarvik (2010) menyebutkan bahwa Low Back Pain Myogenic atau non

spesifik lebih banyak angka kejadiannya pada remaja.

3. Etiologi Low Back Pain

Penelitian yang dilakukan oleh Bhangle, Sapru dan Panus (2009)

etiologi atau penyebab terjadinya Low Back Pain sulit untuk diidentifikasi.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik akan mempermudah mengetahui etiologi

dari Low Back Pain, seperti penekanan saraf, inflamasi atau kondisi

patologis lainnya. Menurut Arya (2014) secara umum Low Back Pain terjadi

karena cedera pada otot, tulang dan saraf low back. Sensasi nyeri yang

dirasakan boleh jadi karena kondisi patologis pada organ dalam perut, dada

dan panggul. Sprain ligamen stabilisator low back yang umumnya terjadi

pada orang hamil juga akan mempengaruhi terjadinya Low Back Pain.

Sedangkan menurut Vohra, Kasana dan Arya (2016) secara spesifik atau

penyebab Low Back Pain yang dapat diidentifikasi salah satunya adalah

herniasi diskus. Hal tersebut terjadi karena perpindahan nucleus, kartilago

dan fragmentasi tulang epiphyseal atau fragmentasi anular ke arah luar.

Kondisi herniasi ini terbagi menjadi tiga, yaitu protrusion, extrusion dan

bulging. Penyebab Low Back Pain lainnya adalah canal stenosis, infeksi,

14

ankylosing spondylitis dan metastasis kanker pada area di dekat struktur

punggung bawah.

Secara mekanis Low Back Pain dapat disebabkan osteoarthritis,

kifosis, perbedaan panjang tungkai, restriksi pergerakan hip, torsi pada

pelvic dan bentuk kaki yang abnormal. Kondisi mekanis ini akan

mempengaruhi struktur pada area low back, seperti terjadinya spasme otot-

otot penggerak dan stabilisator low back, imbalance, tightness dan sprain

ligament yang memicu terjadinya nyeri. Selain itu, nyeri pada Low Back

Pain bisa diakibatkan oleh inflamasi karena spndyloarthritis, infeksi dan

rheumatoid arthritis. Dari sisi metabolisme, Low Back Pain dapat

disebabkan oleh osteoporotic, osteomalacia, ochronosis dan

chondrocalcinosis (Arya, 2014).

Menurut Almoallim et al (2014) Low Back Pain non spesifik atau

yang penyebabnya sulit diidentifikasi bisa dipicu karena overweight,

kehamilan, stress, depresi, postur yang jelek serta berdiri dan duduk atau

melakukan kondisi statis terlalu lama. Selain itu permasalahan strain dan

sprain pada musculoskeletal, secara berkembang sering dijumpai pada

remaja hingga dewasa muda dengan ataupun tanpa red flags merupakan

kondisi yang menjadi penyebab low back.

4. Klasifikasi Low Back Pain

Menurut Balague et al (2012) klasifikasi Low Back Pain berdasarkan

durasi gejala dibagi menjadi tiga, yaitu:

a. Akut, yakni gejala Low Back Pain dirasakan kurang dari 6

minggu.

15

b. Sub Akut, yakni gejala Low Back Pain dirasakan kurang lebih

6-12 minggu.

c. Kronis, yakni gejala Low Back Pain dirasakan lebih dari 12

minggu.

Pembagian klasifikasi yang berbeda dikemukakan oleh Chou dan

Qaseem (2007) terdapat dua macam kategori Low Back Pain, yaitu spesifik

dan non spesifik. Spesifik merupakan gambaran penyebab Low Back Pain

yang dapat diidentifikasi secara jelas, seperti terjadinya degenerasi, kanker

atau suatu penyakit serta trauma langsung. Sedangkan non spesifik berarti

masih menimbulkan kerancuan untuk mengidentifikasi penyebab dari Low

Back Pain.

5. Patofisiologi Low Back Pain

Pada Low Back Pain spesifik, perjalanan gangguan hingga

menimbulkan gejala Low Back Pain sudah jelas diidentifikasi dengan

memperhatikan penyebabnya. Pada Low Back Pain non spesifik memang

lebih banyak mengarah pada gangguan musculoskeletal ataupun myogenic,

seperti permasalahan postur, kondisi tubuh serta beban berlebih yang akan

mempengaruhi kondisi low back muscle (Belague, 2012).

Menurut Roudsari dan Jarvik (2010) baik itu strain, atrophy, spasm

dan imbalance akan meningkatkan nosiseptif input ke sistem sehingga

munculah sensasi nyeri. Semua struktur tersebut mengandung nosiseptor

yang peka terhadap berbagai stimulus (mekanikal, termal dan kimiawi).

Bila reseptor dirangsang oleh berbagai stimulus lokal, akan dijawab

dengan pengeluaran berbagai mediator inflamasi dan substansi lainnya

yang menyebabkan timbulnya persepsi nyeri, hiperalgesia maupun

16

alodinia yang bertujuan mencegah pergerakan untuk memungkinkan

berlangsungnya proses penyembuhan. Salah satu mekanisme untuk

mencegah kerusakan atau lesi yang lebih berat ialah spasme otot yang

membatasi pergerakan. Spasme otot ini menyebabkan iskemia dan

sekaligus menyebabkan munculnya titik picu (trigger points) yang

merupakan salah satu kondisi nyeri. Sensasi nyeri inilah yang nantinya

berkembang mengganggu fungsional tubuh dan menyebabkan disabilitas

(Puentedura & Flynn, 2016).

Pada keadaan lain, yakni postur membungkuk yang dipertahankan

dalam jangka waktu lama disertai dengan kelemahan otot-otot

paravertebral memicu proses adaptasi postur yang berkontribusi terhadap

terjadinya pembebanan abnormal pada tepi anterior dari korpus vertebra.

Pembebanan ini ditransmisikan pada seluruh segmen tulang belakang

termasuk di dalamnya diskus intervertebralis. Pembebanan anterior ini

menyebabkan robekan pada struktur lamellar dari annulus fibrosus.

Robekan ini kemudian digantikan oleh sel-sel fibroblast yang berdampak

pada proliferasi jaringan fibrous. Hal tersebut menurunkan kemampuan

tension serabut annulus fibrosus, menyebabkan adanya protrusi nucleus

pulposus yang kemudian menekan struktur dibagian belakang diskus. Pada

keadaan yang lebih lanjut, akan memicu respon autoimun dan infiltrasi

sel mediator inflamasi (sitokin, makfrofag, interleukin-1, TNF-α) yang

memicu proses inflamasi pada daerah akar saraf. Hal ini akan

menimbulkan nyeri sesuai dengan area dermatom yang dipersarafi oleh

akar saraf yang terlibat. Pada umumnya nyeri dirasakan pada daerah

pinggang bawah dan paha belakang (Puentedura & Flynn, 2016).

17

Postur hiperekstensi juga berkontribusi terhadap kejadian nyeri

punggung bawah. Pada saat posisi tulang belakang dalam keadaan

hiperekstensi, terjadi pembebanan yang sangat besar pada bagian

posterior pillar tulang belakang terutama permukaan processus

articularis pada tulang vertebra dengan permukaan pasangannya.

Pembebanan ini menyebabkan stress contact yang berlebihan antara

kedua permukaan sendi, meningkatkan gaya friksi pada setiap gerakan

artrokinematika lumbal. Nosiseptor pada facet joint merespon terhadap

pembebanan ini dan menghasilkan nyeri pada punggung bawah yang

dikenal dengan istilah hyperextension syndrome. Posisi ini juga

mempengaruhi kontraksi berlebihan pada otot ekstensor low back sehingga

menyebabkan stress yang akan meningkatkan nosiseptif input ke sistem

sehingga munculah sensai nyeri (Muttaqin, 2011).

6. Pemeriksaan Low Back Pain

Menurut Almoallim et al (2014) pemeriksaan yang dilakukan

untuk membuktikan seseorang terkena Low Back Pain adalah dengan:

a. Tes berjalan menggunakan Trendelenburg, apabila positif

maka terjadi kelemahan otot gluteus medius.

b. Inpeksi postur, apabila ditemukan kondisi kifosis, lordosis dan

skoliosis maka dimungkinkan terjadi ketidakseimbangan low

back muscle.

c. Palpasi, ini digunakan untuk memeriksa terjadinya tenderness,

kondisi ligament dan spasme otot.

18

d. Pemeriksaan lingkup gerak sendi, apabila ditemukan

keterbatasan, maka kemungkinan besar terjadi permasalahan

pada low back muscle.

e. Pemeriksaan spesifik, melibatkan beberapa pemeriksaan

seperti slump test, straight leg raise test dan patrick test.

Apabila ditemukan nyeri pada low back muscle baik menjalar

atau tidak maka akan sangat membantu dalam menegakkan

diagnosis dan membuat underliying proses.

Pada kondisi Low Back Pain myogenic membutuhkan pemeriksaan

yang membantu menegakkan diagnosis bahwa Low Back Pain yang terjadi

karena permasalahan pada musculoskeletal. Mc Kenzie Lumbar Assessment

merupakan suatu pemeriksaan melalui kuisioner yang harus dipenuhi. Data

yang diperlukan oleh Mc Kenzie Lumbar Assessment ini berupa riwayat, tanda-

gejala, hasil dari pemeriksaan sehingga melalui kuisioner Mc Kenzie Lumbar

Assessment dapat mengidentifikasi klasifikasi Low Back Pain tertentu. Mc

Kenzie Lumbar Assessment juga membantu dalam mencatat evaluasi, serta

pemilihan treatment yang seharusnya dilaksanakan (Peterson et al, 2003)

B. Anatomi dan Fisiologi Vertebra Lumbar

Vertebra lumbalis memiliki ciri-ciri, corpus besar yang berbentuk

ginjal, mempunyai pediculus kuat yang mengarah ke belakang, mempunyai

lamina tebal, foraminanya bebentuk segitiga dengan processus transversus

panjang dan processus spinosus yang pendek, rata, berbentuk segi empat, serta

mengarah ke belakang. Panjang kelima korpus vertebra lumbal adalah 25%

dari total panjang tulang belakang. vertebra lumbalis mempunyai peranan

19

terhadap wilayah low back lebih besar dan lebih berat dibandingkan dengan

vertebra lainnya (Snell, 2011).

Gambar 2.1 Lumbar Vertebra (Feneis & Dauber, 2011)

Vertebra lumbalis merupakan salah satu bagian dari kolumna

vertebralis, yakni gabungan dari 7 ruas tulang cervical, 12 ruas thoracal, 5 ruas

lumbal, 5 ruas sacrum, dan 1 ruas tulang ekor. Fungsi dari kolumna vertebralis

adalah penyangga kranium, gelang bahu, ektremitas atas, dinding toraks serta

melalui gelang panggul menyangga berat badan ke ekstremitas inferior dan

merupakan pilar utama tubuh. Terdapat pula medula spinalis, radix nervus

spinalis dan lapisan penutup meningen yang dilindungi di dalam rongga

kanalis vertebralis (Cael, 2010).

Menurut Johanes (2010) salah satu struktur penting vertebra adalah

diskus intervertebralis yang tersusun atas tulang-tulang vertebra, sendi dan

bantalan fibrocartilage. Fungsi dari diskus intervertebralis ini sebagai

penyangga beban dan peredam kejut. Diskus terbentuk oleh annulus fibrosus

yang merupakan anyaman serat-serat fibroelastik dan lebih sensitif pada

strain rotasi daripada beban kompresi, tension, dan shear. Secara mekanis,

annulus fibrosus berperan sebagai coiled spring (gulungan pegas) terhadap

20

beban tension dengan mempertahankan korpus vertebra secara bersamaan

melawan tahanan dari nukleus pulposus yang bekerja seperti bola. Tepi atas

dan bawah annulus fibrosus melekat pada “end plate” vertebra, sedemikian

rupa hingga terbentuk rongga antar vertebra. Rongga ini berisi nukleus

pulposus, yaitu suatu bahan mukopolisakarida kental yang banyak

mengandung air. Nukleus pulposus tidak mempunyai pembuluh darah dan

saraf. Kandungan cairan yang sangat tinggi membuat annulus fibrosus mampu

menahan beban kompresi serta berfungsi untuk mentransmisikan beberapa

gaya ke annulus dan sebagai shock absorber (Zhou, Holder & Leahy, 2014).

Gambar 2.2 Intervertebral Disc (Moore et al, 2012)

Menurut Cael (2010) tulang vertebra dibagi menjadi dua bagian, yakni

anterior dan posterior. Bagian anterior tulang vertebra dari korpus vertebra

yang dihubungkan satu dengan yang lain oleh diskus invertebralis dan ditahan

satu sama lain oleh ligament longitudinal ventral dan dorsal, berfungsi sebagai

penyangga berat badan. Bagian posterior tulang vertebra terdiri dari pedikel,

prossesus spinosus, prossesus transversus dan lamina yang diikat satu sama

lain oleh berbagai ligament di antaranya ligament interspinal, ligament

intertransvers dan ligament flavum. Pada prossesus spinosus dan prosessus

21

transversus melekat otot-otot yang turut menunjang dan melindungi kolumna

vertebrae (Wingender, 2009).

Selain diskus intervertebralis struktur lain yang mempunyai peran besar

dalam stabilisasi adalah prosesus tranversus. Bagian ini menjadi titik dimana

ligament dan otot memulai gerakan vertebra. Selain itu, juga sebagi stabilisasi

ligament dengan memandu gerakan segmental, serta menjaga stabilisasi

intrinsik vertebra dengan membatasi gerakan yang berlebihan. Ligamen-

ligamen pada vertebra menjaga gerakan agar tidak berlebihan dan tidak

menimbulkan tergelincirnya gerakan akibat struktur vertebra yang tidak tertata

apabila tidak adanya ligament. Terdapat dua sistem utama ligament pada

vertebra, yaitu intrasegmental dan intersegmental. Intrasegmental terdiri dari

ligament flavum yang berperan memelihara keutuhan permukaan atas kanalis

vertebralis, ligament interspinosus yang berperan dalam mencegah terpisahnya

2 vertebra, ligament intertranversus, serta facet joint yang bersama-sama

memegang kendali pada satu vertebra. Intersegmental terdiri dari ligament

longitudinal anterior-posterior dan ligament supraspinosus (Snell, 2011).

Menurut Wingender (2009) ligamen longitudinal anterior,

merupakan ligament yang lebar dan kuat dengan struktur fibrosa. Fungsi dari

ligament longitudinal anterior ini adalah stabilisator gerakan ekstensi lumbal.

Selanjutnya adalah ligament longitudinal posterior yang membentuk batas

anterior kanalis spinalis. Fungsi dari ligament longitudinal posterior adalah

stabilisator gerakan fleksi lumbal. Selain itu dalam penelitian Kisner dan Colby

(2012) masih terdapat ligament supraspinosus yang merupakan serabut

terdinous dari otot punggung dan ligament iliolumbal yang menahan

22

tergelincirnya korpus ke depan, menekuk ke lateral dan rotasi aksial vertebra

L5 terhadap sakrum.

Gambar 2.3 Ligament pada Vertebra (Pearson, 2011)

Untuk menimbulkan suatu gerakan antar tulang vertebra, tentunya

terdapat sendi yang menghubungkan antar kedua tulang tersebut. Persendian

yang berperan penting dalam penyusunan struktur vertebrae adalah Facet

Joint. Menurut Zhou, Holder dan Leahy (2014) facet joint merupakan sendi

yang terbentuk dari prosessus artikular vertebra yang berdekatan untuk

memberikan sifat mobilitas dan fleksibilitas. Fungsi dari facet joint adalah

stabilisasi pergerakan antara dua vertebra dengan adanya translasi dan torsi

saat melakukan fleksi dan ekstensi karena bidang geraknya yang sagital.

Persendian pada corpus vertebra merupakan jenis symphysis (articulatio

kartilago sekunder) yang dirancang untuk menahan berat tubuh dan

memberikan kekuatan (Moore et al, 2013).

Lumbal memegang kendali lebih besar untuk punggung bawah

dibandingkan dengan vertebra lainnya. Ketika melakukan gerakan ataupun

mempertahankan stabilitasi, selain persendian kompenen lain yang berperan

23

adalah otot. Menurut Vohra, Kasana dan Arya (2016) pembagian otot-otot pada

vertebra lumbalis meliputi:

1. Otot-Otot Posterior : Otot latissimus dorsi, otot paraspinalis yang

terdiri dari otot erector epine (otot iliocostalis, otot longissimus

dan otot spinalis), berfungsi sebagai ekstensor utama tulang

belakang.

2. Otot-Otot Dalam : Otot rotator, otot multifidus yang merupakan otot

stabilisator segmental kecil yang berfungsi untuk mengontrol

fleksi lumbal karena otot ini tidak menghasilkan kekuatan yang

cukup untuk mengekstensikan tulang belakang.

3. Otot-Otot Anterior : Otot psoas, otot quadratus lumborum yang

berfungsi membantu melakukan fleksi lateral pada lumbal dan

berperan pada sisi flesibilitas.

Kelompok otot quadratus lumborum berperan dalam mekanika

tubuh normal. Kelompok otot ini terdiri dari beberapa otot kecil yang

terletak jauh di dalam massa otot punggung bawah. Quadratus lumborum

membantu untuk menyebabkan gerakan fleksi lateral dan juga merupakan

stabilisator penting dari tulang belakang lumbal. Kontraksi quadratus

lumborum yang berkelanjutan diperlukan selama duduk, berjalan, berbaring

dan kegiatan fungsional lainnya dalam rangka menstabilkan trunk dan

menjaga mekanika tubuh. Postur yang jelek dan kontraksi terus-menerus

pada otot quadratus lumborum menyebabkan spasme, iskemik dan

imbalance yang mana dapat menyebabkan nyeri punggung bawah

(Puentedura & Flynn, 2016).

24

Gambar 2.4 Low Back Muscle (Pearson, 2009)

Pada bagian abdomen, menurut Cael (2010) otot-otot yang melekat

pada bagian ini yang juga berperan dalam stabilisasi tulang belakang

diantara lain:

1. Otot Abdomen Superficial : Otot Rektus Abdominis dan otot Obliqus

Eksternus.

2. Otot Lapisan Dalam : Otot Obliqus Internus dan otot Transversus

Abdominis.

Gambar 2.5 Abdominal Muscle (Encyclopedia Britannica, 2008)

Ketika terjadi gerakan fleksi dan ekstensi, vertebra akan mengalami

perubahan secara dinamis. Pada posisi berdiri yang lama dengan

25

mempertahankan postur hiperekstensi vertebra, foramen intervertebralis akan

mengalami penyempitan karena gerakan slide ke bawah selama ekstensi, lebih

lanjut hal ini akan memicu penekanan akar saraf sehingga menimbulkan

sensasi nyeri (Laderman, 2010).

Pada posisi netral, garis gravitasi akan melewati tubuh melalui prosesus

mastoideus, bagian anterior sacrum 2 dan di depan lutut. Posisi anatomis

seperti ini akan memberikan gaya efektif untuk mempertahankan tubuh tanpa

kerja otot yang berlebihan. Sedangkan pada kondisi postur yang jelek seperti

membungkuk, beban akan jatuh di depan tulang belakang, menyebabkan

momen gaya eksternal lebih besar, serta overstretch otot ekstensor sehingga

memicu terjadinya kontraksi ekstensor trunk dan strain pada otot ekstensor.

Posisi duduk yang tidak ergonomis juga menimbulkan kurva lordosis lumbal,

penekanan diskus intervertebralis dan penekanan pada bagian posterior karena

jumlah berat badan ditransmisikan ke belakang. Sama halnya dengan

mempertahankan posisi statis dalam waktu yang lama akan menyebabkan

kontraksi berlebihan pada otot-otot stabilisator lumbal (Kisner & Colby, 2012).

C. Nyeri

1. Definisi Nyeri

Menurut International Association for the Study of Pain atau IASP

(1986) dalam Meoyedi dan Davis (2012) nyeri didefinisikan sebagai

pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan terkait

dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial yang dijelaskan dalam hal

kerusakan jaringan, atau keduanya. Pada tahun 1662, Rene Descartes

sebagai orang pertama yang mampu mendeskripsikan somatosensorik

pathway pada tubuh manusia mendefinisikan nyeri sebagai persepsi yang

26

ada di otak dan membuat perbedaan antara fenomena tranduksi sensorik dan

pengalaman persepsi nyeri.

2. Klasifikasi Nyeri

Pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengklasifikasi nyeri

adalah berdasarkan durasi (akut, kronik), sumber (cutaneous, deep somatic

dan visceral) dan patofisiologi (nosiseptif, neuropatik). Nyeri akut

berhubungan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang terbatas setelah

nosiseptor kembali ke ambang batas resting stimulus. Sedangkan nyeri

kronis merupakan maglinan ataupun non maglinan yang dialami seseorang

paling tidak 1-6 bulan. Pasien dengan nyeri akut atau kronis bisa

memperlihatkan tanda dan gejala sistem saraf otonom (takikardi, tekanan

darah yang meningkat, diaforesis, nafas cepat) pada saat nyeri muncul

(Sharp, 2001).

Menurut Tamsuri (2007) nyeri berdasarkan sumbernya dibagi

menjadi tiga, yaitu cutaneous (nyeri yang mengenai jaringan sub kutan),

deep somatic (nyeri yang berasal karena permasalahan ligament, tendon,

pembuluh darah dan lebih lama dirasakan daripada nyeri cutaneous) dan

visceral (stimulasi reseptor nyeri dalam rongga abdomen, cranium dan

thorak yang biasa terjadi karena spasme otot, iskemik dan regangan

jaringan). Klasifikasi lain yang dilihat dari patofisiologi adalah neurogenik

dan nosiseptif. Menurut Zhou, Holder dan Leahy (2014) nyeri neurogenik

merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan neural pada saraf

perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf aferen

sentral dan perifer, biasanya digambarkan dengan rasa terbakar dan

menusuk. Sedangkan menurut Treede (2006) nyeri nosiseptif merupakan

27

nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan kimia, mekanik dan suhu

yang menyebabkan aktivasi maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer

(saraf yang bertanggung jawab terhadap rangsang nyeri).

Beberapa gangguan musculoskeletal yang menyebabkan nyeri,

seperti kondisi myogenic diakibatkan struktur anatomi normal yang

digunakan secara berlebihan atau akibat dari trauma yang

menimbulkan stress atau strain pada otot, tendon, dan ligamen. Nyeri

myogenic ini merupakan gangguan atau kelainan pada unsur

musculoskeletal tanpa di sertai dengan gangguan neurologis. Biasanya

berhubungan dengan aktivitas sehari-hari yang berlebihan dan

dilakukan dengan tidak benar, misal mengangkat beban yang berat,

terlalu lama berdiri atau duduk dengan posisi yang salah. Tanda dan gejala

yang terjadi adalah nyeri tekan pada regio yang mengalami gangguan

myogenic, ketegangan otot yang menyebabkan spasme otot sehingga

menyebabkan pasien enggan menggerakkan sendinya. Apabila terjadi

secara terus-menerus dapat menimbulkan keterbatasan gerak sendi

(Vohra, Jaiswal & Pawar, 2014).

Nyeri myogenic sering terjadi pada daerah low back (punggung

bawah) sebagai akibat dari aktivitas regio lumbal yang mengakibatkan

beberapa struktur, seperti kerja otot yang berlebihan. Penyebab nyeri

myogenic dapat dipengaruhi oleh postur tubuh yang salah, khususnya pada

daerah lumbal sehingga mengakibatkan muscle ibalance pada otot-

ototnya. Duduk dan berdiri atau mempertahankan posisi statis kurang lebih

dua jam selama berturut-turut juga akan mengakibatkan permasalahan

pada otot-otot di sekitar regio lumbal. Spasme, pemendekan, muscle

28

imbalance dan hipersensititif akan menimbulkan nyeri myogenic

(Belague, 2012).

3. Pengukuran Nyeri

Skala yang digunakan dalam pengukuran nyeri guna

membandingkan hasil pertama kali dilakukan pemeriksaan dan evaluasi

setelah penanganan adalah Visual Analog Scale (VAS). VAS

merupakan suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus

menerus dan deskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien

kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. Skala yang

pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 merupakan skala

dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri

dan akhir garis (100) menandakan nyeri hebat. Pengukuran nyeri dilakukan

dengan cara pasien diminta untuk menandai sepanjang garis tersebut

guna mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Klasifikasi penilaian untuk

menentukan nyeri apabila nilai 0-4 mm menunjukkan tidak nyeri, 5-44 mm

menunjukkan nyeri ringan, 45-75 mm menunjukkan nyeri sedang dan 76-

100 mm menunjukkan nyeri berat. Selanjutnya, nilai tersebut dicatat untuk

melihat kemajuan dari intervensi yang sudah dilakukan. Pengukuran VAS

merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien

dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa

memilih satu kata atau satu angka (Vohra, Kasana & Arya, 2016).

Gambar 2.6 Visual Analog Scale (BMJ Publishing Group, 2013)

29

Menurut Moeyadi dan Davis (2013) terdapat keuntungan dan

kelemahan dari penggunaan VAS. Keuntungan penggunaan VAS antara lain

adalah VAS merupakan metode pengukuran intensitas nyeri paling sensitif,

murah dan mudah dibuat. VAS mempunyai korelasi yang baik dengan

skala-skala pengukuran yang lain dan dapat diaplikasikan pada semua

pasien serta VAS dapat digunakan untuk mengukur semua jenis nyeri.

Kekurangan dari VAS adalah memerlukan pengukuran yang lebih teliti dan

sangat bergantung pada pemahaman pasien terhadap VAS sendiri.

Pengaplikasian pengukuran nyeri oleh VAS telah banyak dilakukan

dalam penelitian untuk menguji penurunan nyeri, diantaranya dalam

penelitian Kumar, Sneha dan Sivajyothi (2015) tentang Effectiveness of

Muscle Energy Technique, Ischaemic Compression and Strain

Counterstrain on Upper Trapezius Trigger Points. Selain itu dalam

penelitian lain oleh Voohra, Jaiswal dan Pawar (2014) menggunakan VAS

dalam mengukur tingkat nyeri sebelum dan setelah pengaplikasian Strain

Counterstrain pada Low Back Pain akibat trigger point quadratus

lumborum.

D. Terapi Strain Counterstrain

1. Definisi Strain Counterstrain

Strain Counterstrain (SCS) dikenalkan oleh Lawrence Jones pada

tahun 1981 untuk menangani gangguan fungsi somatik oleh tender point.

Menurut Jones (1990) dalam Lewis, Souvlis dan Sterling (2011) SCS

merupakan positioning release dengan memposisikan sendi secara pasif

kedalam posisi yang menimbulkan rasa paling nyaman atau suatu teknik

penurunan nyeri melalui penurunan dan penahanan aktivitas

30

proprioceptor yang kurang tepat secara terus menerus. Ketika pasien

ditempatkan dalam fine tuning atau posisi paling nyaman dimana nyeri

dapat menghilang dari monitoring palpasi pada tender point, maka

jaringan yang dirasakan stress akan menjadi rilaks. Strain Counterstrain

memungkinkan muscle spindle untuk menghentikan informasi kontraksi

kepada otot sehingga otot dapat rileks. Dengan adanya otot yang rileks

maka akan mengembalikan fungsinya secara optimal, meningkatkan

lingkup gerak sendi, dan meningkatkan fleksibilitas.

Menurut Wong (2012) keakuratan dalam menentukan tender point

merupakan hal utama yang harus diperhatikan. Tender point merupakan

bagian lunak ketika dilakukan palpasi, kecil (kurang dari 1 cm), bulat dan

ditemukan pada otot, tendon, ligamen dan fasia. Tender point digambarkan

seperti halnya taut band pada jaringan musculotendinous. Saat tender

point sudah diidentifikasi, Terapis memposisikan pasien dalam keadaan

yang nyaman. Posisi yang nyaman didapatkan ketika jaringan di sekitar

tender point mengalami pemendekan. Terapis tidak perlu menjaga tekanan

palpasi selama mengkondisikan posisi nyaman pasien, cukup dengan

mempertahankan sentuhan lembut pada tender point. Setelah 90 detik

dilakukan palpasi tender poin dan tuning fine position, Terapis kembali

memposisikan pasien pada keadaan normal (Lewis, Souvlis & Sterling,

2011).

2. Indikasi Strain Counterstrain

Menurut Perreault et al (2009) SCS dapat mereduksi nyeri pada

berbagai kondisi musculoskletal, seperti stiffness, spasm dan artrophy.

Sedangkan menurut Nagrale, Joshi dan Ramteke (2010) SCS mampu

31

mengurangi nyeri sama seperti teknik muscle energy dan ischemic

compression. Pasien yang menjalani SCS mengalami penurunan nyeri saat

dilakukan penekanan tepat pada tender point. Selain mampu mereduksi

nyeri SCS juga menambah ruang lingkup sendi, artinya posisi yang

nyaman selama melakukan teknik SCS juga keakuratan terder point

mampu membuat pasien rileks sehingga tidak ada hambatan saat

melakukan pergerakan (Ibanez et al, 2009).

3. Mekanisme Fisiologis Strain Counterstrain

Mekanisme SCS dalam praktek klinis akan memperhatikan

aktivitas neuromuscular oleh muscle spindle, sirkulasi lokal dan reaksi

inflamasi yang dipengaruhi oleh sistem saraf simpatis. Aktivitas

neuromuscular antara otot agonis dan antagonis atau disebut sebagai teori

propioseptif yang akan membantu menjelaskan efek SCS. Pergerakan

pasif pada muscle yang mengalami disfungsi dan penekanan pada temuan

tender point memungkinkan muscle spindle untuk menghentikan

informasi kontraksi kepada otot sehingga otot dapat rileks. Otot yang rileks

dengan sendirinya kembali ke posisi normal secara spontan. Dengan SCS

yang dikembangkan oleh Lawrence Jones, pergerakan pasif untuk

memperpendek otot agonis memungkinkan spindle otot agonis kembali

normal (Wong, 2012).

Menurut Huijing dan Baar (2008) Strain Counterstrain dapat

meningkatkan sirkulasi lokal, mempercepat pasokan nutrisi dan

pembuangan limbah metabolik pada jaringan. Perbaikan sirkulasi akan

mengurangi pembengkakan yang dapat menghambat fungsi otot serta

menghambat sirkulasi lokal. Efek sirkulasi dari SCS dimana fibroblast

32

yang disekresikan oleh pro-inflamasi interleukin dan sel poliferasi lebih

menurun dibandingkan dengan sel yang beristirahat. Setelah sirkulasi

beristirahat selama satu menit akan terjadi pelepasan posisi dimana

fibroblast disekresikan ke tingkat yang lebih rendah dari proinflamasi

interleukin IL-6 dan poliferasi sel meningkat secara signifikan

dibandingkan dengan peregangan. Hal yang perlu diperhatikan melalui

penurunan IL-6 untuk menangani inflamasi setelah cedera akut begitu

penting, sebagai efek fisiologis pengaplikasian SCS yang dapat

mempengaruhi sirkulasi (Meltzer & Stanley, 2007).

Penekanan yang terjadi pada jaringan otot menyebabkan automatic

resetting pada muscle spindle yang mana akan menyebabkan penambahan

panjang otot dan pengembalian tonus normal jaringan. Penekanan pada

jaringan juga membuat perubahan kimiawi lokal berupa perubahan

kepucatan pada nodul dan diikuti hiperemi ketika penekanan dirilis. Hal

ini menyebabkan lancarnya aliran darah lokal, mengatasi inflamasi pada

otot, metabolisme nyeri, meperbaiki kerusakan jaringan dan menurunkan

tonus otot (Jagad, 2013).

4. Teknik Strain Counterstrain

Pengaplikasian SCS dapat dimulai dengan mencari tender point

dari jaringan otot yang mengalami gangguan. Selanjutnya, Terapis

menempatkan pasien dalam posisi nyaman dengan jalan membuat otot

yang mengalami disfungsi dalam keadaan memendek melalui gerakan

pasif, kemudian dilakukan penekanan kurang lebih 70% pada tender point

yang telah ditemukan (Chaitow, 2009).

33

Pedoman umum untuk mencapai posisi nyaman menurut Chaitow

(2009) adalah:

a. Memperpendek jaringan yang mengandung tender point dengan

melakukan pendekatan gerak (menekuk) sendi yang ada di sekitar

tender point.

b. Memperpendek bidang yang relevan, misalnya dengan melakukan

fleksi, lateral fleksi dan internal rotasi.

c. Posisi yang nyaman harus bisa meredakan tender point. Selama

memposisikan pada bidang sekunder dengan nyaman juga diikuti

gerakan-gerakan kecil.

d. Posisi yang nyaman sangat bervariasi dan tidak akan pernah

menyebabkan nyeri. Apabila nyeri masih bisa dirasakan maka posisi

belum akurat.

e. Ketika tender point ditemukan di sepanjang garis tengah tulang

belakang, maka akan dirasakan efek pada bagian proksimal dan distal.

Menurut Vohra, Jaiswal dan Pawar (2014) sebagai salah satu

contoh penatalaksanaan SCS terhadap otot quadratus lumborum adalah

dengan memposisikan pasien secara nyaman pada keadaan pronelying,

kemudian melakukan lateral fleksi pada otot quadratus lumborum yang

mengalami disfungsi, kemudian melakukan tekanan 70% pada tender

point pasien selama 90 detik. Langlah berikutnya, memposisikan pasien

secara pasif pada keadaan netral seperti semula. Penatalaksanaan yang

dilakukan oleh Flex dan Touro (2015) dengan penekanan 70% juga waktu

kontinu 90 detik ketika melakukan penekanan pada tender point.

Sedangkan menurut Nagrale, Joshi dan Ramteke (2010) dalam

34

penatalaksanaan teknik SCS terdapat perbedaan dalam lamanya waktu

penekanan tender point, yakni 20-30 detik dan dilakukan repetisi tiga

sampai dengan empat kali, artinya penekanan bersifat intermitten.

Persamaan terjadi dalam positioning dan besarnya tekanan dengan

penatalaksanaan yang digunakan oleh Vohra, Jaiswal dan Pawar (2014).

Menurut Jones Institute of Strain Counterstrain (2015) berikut

adalah beberapa teknik SCS untuk menangani Low Back Pain:

Gambar 2.7 (Gerakan 1 SCS pada otot Quadratus Lumborum)

Gambar 2.8 (Gerakan 2 SCS pada otot Quadratus Lumborum)

35

Gambar 2.9 (Gerakan 3 SCS pada otot Quadratus Lumborum)

Gambar 2.10 (Gerakan 4 SCS pada otot Quadratus Lumborum)

Gambar 2.11 (Gerakan 5 SCS pada otot Quadratus Lumborum)

36

Gambar 2.12 (Gerakan 6 SCS pada otot Quadratus Lumborum)

Gambar 2.13 (Gerakan 7 SCS pada otot Quadratus Lumborum)

Pengaplikasian SCS pada otot quadratus lumborum sebelumnya

telah dilakukan dalam penelitian Vohra, Jaiswal dan Pawar (2014). Dalam

penelitian tersebut menguji efektivitas SCS terhadap Low Back Pain

karena trigger point pada otot quadratus lumborum. Terdapat kelompok

kontrol dengan pemberian heat therapy dan hasil akhirnya terjadi

perbedaan signifikan penurunan nyeri dengan SCS lebih unggul

dibandingkan kelompok kontrol. Penelitian lain oleh Flex dan Touro

(2016) tentang Effect of Strain Counterstrain on Cervical Pain and

Disability : A case Repot, hasilnya dengan intervensi SCS secara gentle

37

mampu mereduksi nyeri, meningkatkan kekuatan otot-otot leher dan

meningkatkan fungsional regio cervical. Kemudian dalam penelitian

Ellythy (2012) tentang pengaplikasian SCS terhadap Low Back

Dysfunction menunjukkan hasil penurunan nyeri, peningkatan linkup

gerak sendi dan fungsional low back secara signifikan.

E. Post Isometric Relaxation

1. Definisi Post Isometric Relaxation

Menurut Fryer (2013) Post Isometric Relaxation (PIR) dalam

mekanisme Muscle Energy Technique (MET) adalah salah satu jenis

Terapi Manual yang sering diaplikasikan untuk memanjangkan serabut

otot yang mengalami pemendekan, memobilisasi persendian, menguatkan

kelemahan otot dan mereduksi terjadinya edema. PIR dikembangkan oleh

Fred Mitchell dengan menggunakan kontraksi secara sadar oleh pasien

untuk melawan tahanan yang dikendalikan terapis. PIR merupakan teknik

yang dilakukan secara gentle dan bersifat aman. PIR juga memberikan

dampak besar terhadap peningkatan lingkup gerak sendi dan peregangan

statis (Ellythy, 2012).

2. Indikasi Post Isometric Relaxation

Konsep peregangan yang dilakukan saat penatalaksanaan PIR

hampir sama dengan stretching dan kontraksi isometrik yang lebih efektif

daripada stretching pasif. Menurut Fryer (2013) untuk mendapatkan

lingkup gerak sendi yang maksimum dan ekstensibilitas otot, maka dapat

memanfaatkan variasi isometrik dari otot antagonis. Teknik PIR akan

meningkatkan secara efektif lingkup gerak sendi selama tidak dirasakan

nyeri. Penerapan PIR oleh Chaitow (2009) menggunakan durasi 5-7 detik

38

untuk mendapatkan hasil efektif. Kemudian ditambahkan oleh Fryer

(2013) durasi pendek lebih efektif untuk menambah lingkup gerak sendi.

Menurut Fryer (2013) dan Chaitow (2009) kondisi yang dapat

menyebabkan nyeri dan disfungsi spinal seperti trauma, strain dan

inflamasi yang menyebabkan limitasi lingkup gerak sendi, penurunan

ektensibilitas otot, serta nyeri dapat ditangani dengan PIR, yakni

mengandalkan kontraksi berulang secara gentle. PIR juga digunakan

untuk mengatasi permasalahan disfungsi pelvis akibat sprain ligament,

kelemahan otot dan atropi dengan menggunakan kontraksi isometrik

sehingga meningkatkan stabilisasi motorik. Dalam hal lain peranan PIR

digunakan untuk peregangan otot, peningkatan kekuatan otot,

mengkoreksi postur yang benar serta mereduksi edema lokal.

3. Mekanisme Fisiologis Post Isometric Relaxation

Mekanisme fisiologis dari Post Isometric Relaxation (PIR)

menimbulkan suatu efek dari inhibitory golgi tendon reflex yang

teraktivasi selama kontraksi isometrik, hal ini menyebabkan relaksasi

reflek pada otot karena mekanisme Post Ismotric Relaxation (PIR). Ketika

terjadi kontraksi isometrik otot antagonist menyebabkan relaksasi melalui

Reciprocal Inhibition (RI) atau hambatan timbal-balik. Neural muscle

inhibition yang terjadi pada MET dengan kondisi cedera otot, melalui

kontraksi sub maksimal isometrik akan menyebabkan pre-synaps

inhibition (Chaitow, 2009).

Menurut Kumar, Shena dan Sivajyothi (2015) ketika terjadi

aktivasi pada otot dan mechanoreseptor sendi akan membangkitkan

sympathoexcitation dari saraf somatik eferen dan aktivasi lokal

39

periaqueductal gray yang mengurangi modulasi nyeri. Fryer (2013)

menyebutkan dengan mekanisme PIR dan RI yang mampu meningkatkan

ekstensibilitas otot, memungkinkan keterlibatan neuro-fisiologi dan faktor

mekanik, termasuk viskoelastik dan perubahan plastic pada jaringan

konektif otot. PIR lebih baik dibandingkan passive stretching dalam hal

peningkatan lingkup gerak sendi, juga lebih unggul guna mengurangi

persepsi nyeri otot karena gerakan stretching, kontraksi isometrik,

mechanoreceptor sendi dan propioseptif. PIR juga berperan dalam

stimulasi propioseptif dari joint movement, stretching dan reduksi nyeri

nosiseptif di spinal cord. Konsentrasi beberapa biomaker nyeri pada

peredaran darah, seperti endocannabinoid (eCB) dan endorphin

mengalami perubahan. eCB sitem terdiri dari reseptor membran sel, ligan

endogen dan ligan metabolisme enzim. Terdapat dua reseptor

cannabinoid, yaitu CB1 yang terletak di sistem saraf dan CB2 yang

memegang kendali kekebalan tubuh. Dua ligan ECB, anandamide (AEA)

dan 2 arachidonoylglycerol (2-AG) tidak disimpan di dalam vesikel

seperti neurotransmitter, sintesis tergantung dengan fosfolipid prekursor

dalam membran sel neuron dan segera dilepaskan ke sinaps saraf

(Chaitow, 2009).

4. Teknik Penatalaksanaan Post Isometric Relaxation

Menurut H Franke et al (2015) protokol dalam melaksakan PIR

diantara lain:

a. Memposisikan klien dengan baik sehingga baik klien maupun

terapis nyaman. Kemudian mempersiapkan otot yang akan

diregangkan pada posisi tertentu agar peregangan dan tahanan

40

dapat ditingkatkan. Klien diberikan informasi terlebih dahulu

tentang adanya efek regangan dan pengurangan nyeri setelah

treatment.

b. Klien diminta untuk mengkontraksikan ototnya sekitar 25%

sementara terapis melakukan tahanan. Dibutuhkan kerjasama

yang baik antara klien dan terapis agar mempertahankan posisi

statis sehingga efeknya adalah kontraksi isometrik otot yang

teregang.

c. Setelah 10-15 detik klien diminta untuk rileks. Selanjutnya

hanya diberikan waktu istirahat 3-5 detik untuk melanjutkan

PIR dengan ruang lingkup sendi lebih luas dari sebelumnya.

Menurut Chaitow (2009) penatalaksanaan PIR secara efektif

dengan melibatkan kekuatan isometrik pasien kurang dari 30% dengan 5

detik periode kontraksi isometrik. Menurut Carter (2000) repetisi yang

dilakukan sebanyak 3 kali sedangkan menurut Ballantyne et al (2003)

dalam Chaitow (2009) optimalnya adalah 2 kali repetisi untuk

menghasilkan ekstensibilitas dan penambahan lingkup gerak sendi.

Frekuensi ideal aplikasi PIR menurut Klein et al (2002) adalah 2 kali

dalam seminggu.

41

Gambar 2.14 Gerakan 1 Post Isometric Relaxation pada otot

Quadratus Lumborum (Strength Physio, 2017)

Gambar 2.15 Gerakan 2 Post Isometric Relaxation pada otot

Quadratus Lumborum (Strength Physio, 2017)

Penelitian PIR dalam mekanisme MET telah banyak dilakukan,

dalam study Varghese (2012) tentang The Effectiveness of Muscle Energy

Technique as Compared to Manipulation Therapy in Chronic Low Back

Pain, hasilnya lingkup gerak sendi pada regio lumbal bertambah dan

terjadi penurunan nyeri secara signifikan. Sama halnya dengan kondisi

Low Back Pain akut dalam penelitian Wilson et al (2003) tentang Muscle

42

Energy Technique in Patients With Acute Low Back Pain: A Pilot Clinical

Trial, PIR dalam MET mampu mere-edukasi neuromuscular sehingga

menurunkan disabilitas dan meningkatkan fungsional regio lumbal. Selain

dalam kondisi Low Back Pain, PIR dalam MET juga diaplikasikan dalam

Upper Trapezius trigger point. Melalui penelitian Kumar, Sneha dan

Sivajyothi (2015) mendapatkan hasil bahwa PIR dalam MET lebih efektif

dibandingkan Ischemic Compression dan Strain Counterstrain dalam

menurunkan nyeri, meningkatkan lingkup gerak sendi dan menunrunkan

disabilitas. Perbandingan lain PIR dalam MET dengan Strain

Counterstrain terhadap Low Back Pain dalam penelitian Ellythy (2012)

menyebutkan jika keduanya sama-sama bisa menurunkan nyeri,

meningkatkan lingkup gerak sendi dan menurunkan disabilitas, tidak

terdapat perbedaan signifikan walaupun PIR dalam MET lebih unggul

dibandingkan SCS.