BAB II. LANASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka...

13
4 BAB II. LANASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Debu a. Definisi Debu Debu adalah partikel benda padat yang terapung di udara, biasanya, debu dihasilkan oleh proses mekanik seperti penggosokan, pengeboran, pemecahan benda padat, serta cara pengolahan benda padat lainnya, misalnya asbestos dan silika (Harrianto, 2009). Debu adalah partikel padat yang terbentuk oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanis yang mengakibatkan pemecahan atau penghancuran atau pelembutan sehingga terjadi pengecilan ukuran, contohnya kekuatan mekanis; crusher, kekuatan alami; letusan gunung api (Sudirman, 2012). Debu adalah partikel dengan diameter kurang dari 420 mikron atau partikel dapat melewati saringan standar US No. 40 (OSHA 3371-08, 2009). Debu adalah partikel-partikel zat padat yang mempunyai ukuran diamater diatas 1,0 μm yang ditimbulkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan dan lain-lain dari bahan organik maupun anorganik (ILO, 1967; Suma'mur, 1998). b. Mekanisme Penimbunan Debu Dalam Paru dan Reaksi Paru Udara mengandung debu masuk ke dalam paru pada saat orang menarik nafas, apa yang terjadi dengan debu tersebut sangat tergantung kepada ukuran besarnya debu. Debu yang berukuran antara 5< debu <10 mikron akan ditahan oleh saluran pernafasan bagian atas, sedangkan yang berukuran 3< debu <5 mikron ditahan oleh bagian tengah jalan pernafasan. Partikel-partikel yang besarnya antara 1< debu <3 mikron akan ditempatkan langsung di permukaan alveoli paru. Partikel-partikel yang berukuran 0.1 mikron tidak begitu hinggap pada permukaan alveoli, oleh karena partikel dengan ukuran demikian tidak mengendap di permukaan. Debu dengan partikelpartikelnya berukuran kurang dari 0.1 mikron bermassa terlalu kecil, sehingga tidak mengendap di permukaan

Transcript of BAB II. LANASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka...

Page 1: BAB II. LANASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/A131202006_bab2.pdf · pelembutan sehingga terjadi pengecilan ukuran, contohnya kekuatan mekanis; ...

4

BAB II. LANASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Debu

a. Definisi Debu

Debu adalah partikel benda padat yang terapung di udara, biasanya,

debu dihasilkan oleh proses mekanik seperti penggosokan, pengeboran,

pemecahan benda padat, serta cara pengolahan benda padat lainnya, misalnya

asbestos dan silika (Harrianto, 2009).

Debu adalah partikel padat yang terbentuk oleh kekuatan-kekuatan alami

atau mekanis yang mengakibatkan pemecahan atau penghancuran atau

pelembutan sehingga terjadi pengecilan ukuran, contohnya kekuatan mekanis;

crusher, kekuatan alami; letusan gunung api (Sudirman, 2012).

Debu adalah partikel dengan diameter kurang dari 420 mikron atau

partikel dapat melewati saringan standar US No. 40 (OSHA 3371-08, 2009).

Debu adalah partikel-partikel zat padat yang mempunyai ukuran diamater

diatas 1,0 µm yang ditimbulkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanis

seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat,

peledakan dan lain-lain dari bahan organik maupun anorganik (ILO, 1967;

Suma'mur, 1998).

b. Mekanisme Penimbunan Debu Dalam Paru dan Reaksi Paru

Udara mengandung debu masuk ke dalam paru pada saat orang menarik

nafas, apa yang terjadi dengan debu tersebut sangat tergantung kepada ukuran

besarnya debu. Debu yang berukuran antara 5< debu <10 mikron akan ditahan

oleh saluran pernafasan bagian atas, sedangkan yang berukuran 3< debu <5

mikron ditahan oleh bagian tengah jalan pernafasan. Partikel-partikel yang

besarnya antara 1< debu <3 mikron akan ditempatkan langsung di permukaan

alveoli paru. Partikel-partikel yang berukuran 0.1 mikron tidak begitu hinggap

pada permukaan alveoli, oleh karena partikel dengan ukuran demikian tidak

mengendap di permukaan. Debu dengan partikel–partikelnya berukuran kurang

dari 0.1 mikron bermassa terlalu kecil, sehingga tidak mengendap di permukaan

Page 2: BAB II. LANASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/A131202006_bab2.pdf · pelembutan sehingga terjadi pengecilan ukuran, contohnya kekuatan mekanis; ...

5

alveoli atau selaput lendir, oleh karena gerakan brown, yang menyebabkan debu

demikian bergerak keluar masuk alveoli (Suma’mur, 2014).

Debu hinggap dan tertimbunnya debu dalam paru terdapat beberapa

mekanisme. Salah satu mekanisme adalah Inertia atau kelembaman dari partikel-

partikel debu yang bergerak, yaitu pada waktu udara membelok ketika melalui

pernafasan yang tidak lurus, maka partikel-partikel debu yang bersama cukup

besar tidak dapat membelok mengikuti aliran udara. Debu terus lurus dan

akhirya menumbuk selaput lendir dan mengendap. Mekanisme sedimentasi,

terutama pada bronkhi sangat kecil dan bronhioli, sebab di tempat itu kecepatan

udara pernafasan pernafasan sangat kurang 1 cm/detik sehingga gaya tarik dapat

bekerja terhadap partikel-partikel debu dan mengendapkannya. Mekanisme

gerakan brown, terutama berlaku bagi partikel-partikel yang berukuran sekitar

atau kurang 0.1 mikron. Partikel-partikel yang kecil ini digerakkan oleh gerakan

brown sehingga kemungkinan membentur permukaan alveoli dan hinggap

disana (Suma’mur, 2014).

Partikel-partikel debu nasibnya tergantung dari tempatnya berada dalam

paru dan sifat-sifat yang dimiliki oleh debu itu sendiri. Debu yang mengendap

pada permukaan bronkhi dan bronkhioli akan dikembalikan kesaluran

pernafasan atas dan akhirnya digerakkan keluar oleh rambut–rambut (cilia-cilia)

yang bergetar, dengan kecepatan 3 cm/jam pada saluran pernafasan bagian atas

dan 1 cm/jam di dalam bronkhus tertius dan bronkhioli. Selain itu, juga batuk

merupakan satu mekanisme untuk mengeluarkan debu dari saluran pernafasan.

Selanjutnya debu yang berada di alveoli dapat mengalami proses mengikuti

beberapa kemungkinan (Suma’mur, 2014).

Partikel debu terdapat kemungkinan tidak mengendap di permukaan

alveoli dan tetap berada dalam udara pernafasan setelah berada dekat batas

bronkhioli tertangkap oleh cilia, yang lalu debu tersebut dikembalikan ke saluran

pernafasan tengah dan atas, lalu dikeluarkan ke rongga mulut atau ke udara luar.

Zat kimia penyusun debu yang mudah larut dalam air, maka zat tersebut akan

larut dan langsung masuk pembuluh darah kapiler alveoli. Zat penyusun debu

tidak mudah larut tetapi ukurannya kecil, maka partikel-partikel dapat

menembus dinding alveoli, lalu masuk ke dalam saluran limfa atau ruang

Page 3: BAB II. LANASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/A131202006_bab2.pdf · pelembutan sehingga terjadi pengecilan ukuran, contohnya kekuatan mekanis; ...

6

peribronkhial, kemungkinan lain adalah ditelannya partikel oleh sel fagosit

(phagocyte), yang biasanya histiosit (histiocyte) atau inti atau sel mesenkhim

(mesenchym) yang tidak berdiferensiasi. Sel-sel fagosit mungkin masuk ke

dalam saluran limfa atau melalui dinding alveoli masuk ke ruang peribronkhial

atau ke luar dari tempat tersebut ke bronkhioli, yang kemudian oleh rambut-

rambut getar (cilia) dipindahkan ke saluran pernafasan atas (Suma’mur, 2014).

c. Debu Kayu

Debu kayu dihasilkan akibat proses penggergajian, penyerutan dan

pengampelasan dapat menyebabkan lingkungan kerja terjadi pencemaran udara

dan berbahaya bagi tenaga kerja. Untuk mengantisipasi efek negatif paparan

debu kayu di tempat kerja, maka perlu dilakukan upaya pencegahan dan

perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan tenaga kerja. Salah satu upaya

pencegahan tersebut adalah menetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) zat kimia

di udara tempat kerja menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI) sehingga para

pengusaha dapat mengendalikan lingkungan kerja perusahaannya dengan

mengacu pada Standar ini. Standar ini memuat tentang Nilai Ambang Batas rata-

rata tertimbang waktu (time weighted average/TWA) zat kimia di udara tempat

kerja, di mana terdapat tenaga kerja yang dapat terpapar zat kimia sehari-hari

selama tidak lebih dari 8 jam per hari atau 40 jam per minggu, serta cara untuk

menentukan Nilai Ambang Batas campuran untuk udara tempat kerja yang

mengandung lebih dari satu macam zat kimia (Yunus , 2006).

Debu Kayu masuk daftar klasifikasi debu keras dan kayu lunak telah

ditentukan TWA selama delapan jam kerja untuk debu kayu lunak maksimal 5

mg/m3 dan 2 mg/m

3 TWA selama 12 jam kerja (Workplace Exposure Standards

and Biological Exposure, 2013)

Penelitian mengenai debu kayu respirabel yang ditimbulkan oleh

pengolahan kayu ( wood working equipment ) telah dilakukan oleh Vanwiclen

dan Beard (1993), membuktikan bahwa prosentase terbesar dari debu kayu

respirabel partikelnya berdiameter antara 1 sampai 2 mikron, sedangkan

prosentase terbesar kedua ditempati dengan diameter 0.5 sampai 0.7 mikron

(Suma’mur, PK, 2002).

Page 4: BAB II. LANASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/A131202006_bab2.pdf · pelembutan sehingga terjadi pengecilan ukuran, contohnya kekuatan mekanis; ...

7

2. Gangguan Fungsi Paru

a. Penyakit Paru Akibat Kerja

Penyakit paru akibat kerja merupakan salah satu kelompok penyakit

akibat kerja yang organ sasarannya dari penyakit tersebut adalah paru. Istilah lain

bagi penyakit akibat kerja adalah penyakit yang timbul berhubung dengan

hubungan kerja, atas dasar hal tersebut, maka untuk penyakit paru akibat kerja

dapat pula dipakai istilah penyakit paru yang timbul karena hubungan kerja atau

penyakit yang timbul berhubung dengan hubungan kerja. Namun untuk

selanjutnya, dalam uraian ini akan lebih banyak digunakan istilah penyakit paru

akibat kerja (Suma’mur, 2014).

Penyakit akibat kerja atau penyakit yang timbul karena hubungan kerja

yang pengertiannya adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau

lingkungan kerja, maka penyakit paru akibat kerja atau penyakit paru yang timbul

karena hubungan kerja diartikan sebagai penyakit paru yang disebabkan oleh

pekerjaan atau lingkungan kerja. Pekerjaan atau lingkungan kerja adalah

penyebab dari penyakit akibat kerja termasuk penyakit paru akibat kerja. Antara

pekerjaan atau lingkungan kerja dengan penyakit akibat kerja termasuk penyakit

paru akibat kerja terdapat hubungan kausalitas, hubungan sebab-akibat. Pekerjaan

atau lingkungan kerja bagi penyakit akibat kerja atau penyakit yang timbul

karena hubungan kerja merupakan penyebab penyakit (agent of disease)

(Suma’mur, 2014).

b. Pneumokoniosis

Pneumokoniosis istilah berasal dari bahasa Yunani (pneumos berarti

paru; konois berarti debu), yang dipublikasikan oleh Zenker (1867), menyatakan

bahwa pneumokoniosis merupakan suatu kondisi gangguan paru akibat

menginhalasi debu, definisi pneumokoniosis diartikan lebih jelas, yaitu sebagai

suaru reaksi non neoplastik paru akibat menginhalasi debu mineral atau debu

organik sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan arsitektur

struktur jaringan perenkim paru.

Jenis debu penyebab yang sering menimbulkan pneumokoniosis yaitu

siliki, batubara, dan asbes. Umumnya, gejala pneumokoniosis baru terjadi setelah

Page 5: BAB II. LANASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/A131202006_bab2.pdf · pelembutan sehingga terjadi pengecilan ukuran, contohnya kekuatan mekanis; ...

8

terpajan oleh debu kerja setelah bekerja paling sedikit 10-20 tahun. Beratnya

gejala yang timbul bergantung pada intensitas dan lamanya pajanan yang terjadi.

Kondisi ini harus dibedakan dengan inhalasi debu inert, yang tidak menyebabkan

terjadinya pneumokoniosis yaitu debu kerja yang tergolong dalam PNOC

(particulates not otherwise classified) (Harrianto, 2010).

Pneumokoniosis istilah yang digunakan untuk penyakit yang

berhubungan dengan pemajanan debu mineral. Sementara itu debu dengan

spectrum luas dapat ditemui di lingkungan umum, ditempat pekerjaan banyak

terjadi sebagai akibat dari proses industry. Oleh karena itu, berbagai reaksi paru

dapat terjadi sebagai akibat dari pajanan ditempat kerja. pneumoconiosis dapat

disebabkan oleh industri skala kecil yang tidak mengatur tempat kerja di gudang

dengan berventilasi yang buruk (Vinaya S, 2013)

Jaringan parenkim paru pada pneumokoniosis bergantung reaksi yang

terjadi tergantung jenis debu kerja terinhalasi dan besarnya partikel debu. Hanya

dalam jumlah yang bermakna dan kebanyakan partikel tersebut berukuran <0.1

µm. Bronkiolus yang seakan-akan merupakan lorong yang lebih lebar diatasnya

(bronkus sekunder dan primer) menjadi tempat mengendapnya debu-debu kerja

yang terinhalasi. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa pada pneumokoniosis

yang masih dini, debu kerja akan ditemukan sebagi fokus-fokus di jaringan

parenkim paru. Fokus di jaringan tersebut menggambarkan terjadinya akumulasi

debu kerja di alveolus, bronkiolus yang melebar, dan di jaringan paru di

dekatnya. Biasanya, alveoli di antara fokus-fokus ini bebas debu. Pajanan debu

kerja terus berlanjut, debu yang mengendap makin lama makin bertambah,

sehingga fokus-fokus bertambah besar dan akhirnya akan menyatu dengan

lainnya menjadi beberapa lesi multifokal yang besar.

Permukaan alveolus yang tertutupi partikel-partikel debu secara luas

akan menghambat sekresi surfaktan, yang biasanya dilaksanakan oleh sel-sel di

permukaan alveolus. Akibatnya, alveolus-alveolus ini menjadi kolaps sehingga

bagian jaringan paru di tempat ini tidak berfungsi lagi. Reaksi jaringan parenkim

paru, dengan adanya partikel-partikel debu yang menyelimuti permukaan alveoli,

juga akan mengakibatkan terjadinya multiplikasi sel-sel permukaan alveoli

menjadi serabut jaringan ikat. Intensitas reaksi jaringan ini bervariasi bergantung

Page 6: BAB II. LANASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/A131202006_bab2.pdf · pelembutan sehingga terjadi pengecilan ukuran, contohnya kekuatan mekanis; ...

9

pada jenis debu yang diinhalasi (Harrianto, 2010).

Jenis pneumokoniosis diberi nama berdasarkan jenis debu kerja yang

diinhalasi, misalnya silikosis, pneumokoniosis batubara, asbestosis, dan lain-lain.

Debu kerja dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kerja fibrogenik dan debu

kerja nonfibrogenik. Namun perbedaan diantara kedua kelompok ini tidak terlalu

signifikan. Misalnya, silika merupakan debu campuran (fibrogenik dan

nonfibrogenik) atau para pekerja yang menginhalasi beberapa jenis debu kerja

dapat berpotensi menghasilkan lebih banyak fibrosis (jaringan ikat paru). Inhalasi

debu kerja yang nonfibrogenik hanya akan mengakibatkan bertambahnya

jaringan ikat paru dalam jumlah yang sangat sedikit. Debu ini biasanya disebut

debu inert, misalnya koalin, titanium oksida, stannous oksida, barium sulfat,

ferrioksida dan gelas. Pada akumulasi debu inert dalam paru, alveoli tetap utuh,

tidak terbentuk jaringan ikat, dan umumnya bersifat sementara (Harrianto, 2010).

Pneumokoniosis mengakibatkan tidak berfungsinya jaringan paru

bergantung pada banyaknya akumulasi debu, atau bergantung pada banyaknya

jaringan ikat yang terbentuk akibat pneumokoniosis. Debu kerja yang berpotensi

fibrogenetik tinggi memiliki kapasitas untuk menimbulkan kegagalan fungsi paru

keterpajanan yang lebih singkat dibandingkan debu kerja yang berpotensi

fibrogenetik rendah. Umumnya, sangat sedikit para pekerja yang terpajan debu

kerja yang berpotensi fibrogenik rendah (mis, batu bara) mengalami kegagalan

fungsi paru yang bermakna, karena jenis debu kerja ini hanya akan menimbulkan

gangguan fungsi paru yang ringan, biasa disebut pneumokoniosis sederhana.

Pada pajanan terus berjalan pneumokoniosis sederhana dapat berubah menjadi

fibrosis masif progesif sehingga gejala sesak napas dan kegagalan paru lainnya

dapat terjadi dengan sangat cepat (Harrianto, 2010).

c. Faktor-Faktor Internal yang Mempengaruhi Gangguan Fungsi Paru

Gangguan fungsi paru dapat terjadi secara bertahap dan bersifat kronis

sebagai akibat frekuensi, lamanya seseorang bekerja pada lingkungan yang

berdebu dan faktor-faktor internal yang terdapat dalam pekerja seperti jenis

kelamin, usia, masa kerja, paparan debu kayu, status gizi, kebiasaan merokok,

alat pelindung diri, kebiasaan olah raga, dan lama paparan. Gangguan fungsi paru

dapat terjadi secara bertahap dan bersifat kronis sebagai akibat frekuensi,

Page 7: BAB II. LANASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/A131202006_bab2.pdf · pelembutan sehingga terjadi pengecilan ukuran, contohnya kekuatan mekanis; ...

10

lamanya seseorang bekerja pada lingkungan yang berdebu dan faktor-faktor

internal yang terdapat dalam pekerja seperti jenis kelamin, usia, masa kerja,

paparan debu kayu, status gizi, kebiasaan merokok, alat pelindung diri, kebiasaan

olah raga, dan lama paparan (Triatmo, dkk, 2006).

Pneumokoniosis merupakan penyakit paru akibat kerja yang

disebabkan oleh deposisi debu di dalam paru dan reaksi jaringan paru akibat

pajanan debu tersebut. Reaksi utama akibat pajanan debu di paru adalah fibrosis.

Faktor utama yang berperan pada patogenesis. Pneumokoniosis adalah

karakteristik partikel debu, jumlah, lama pajanan dan respons saluran napas

terhadap partikel debu ( Susanto, 2011).

Pekerja yang terpajan debu kayu secara kontinyu pada usia 15 sampai

dengan 25 tahun akan terjadi menurunan kemampuan kerja, usia 25 sampai

dengan 35 tahun timbul batuk produktif dan penurunan VEP 1 (volume ekspirasi

paksa 1 detik atau Force Expiratory Volume 1 second (FEV 1), usia 45 sampai

dengan 55 tahun terjadi sesak dan hipoksemia, usia 55 sampai dengan 65 tahun

terjadi cor pulmonal sampai kegagalan pernapasan dan kematian, hal ini dapat

dideteksi dengan pemeriksaan spirometer (Triatmo, dkk, 2006).

d. Tes Fungsi Paru

Tes fungsi paru merupakan tes kuantitatif dari faal paru, digunakan

untuk menentukan kapasitas fungsi paru dan kemampuannya untuk melakukan

pekerjaan. Dengan demikian dapat digunakan untuk pula untuk membantu

menentukan ciri-ciri dan beratnya penyakit paru akibat kerja.

1) Spirometri

Spirometri dapat dihasilkan pengukuran volume ekspirasi dan

inspirasi individu. Membandingkan hasilnya dengan nilai normal populasi

individu yang sehat, berguna untuk menilai kegagalan fungsi paru, serta

untuk menentukan jenis-jenis penyakit paru yang berbeda.

a) Spirometri Konvensional

Spirometri konvensional hanya mengukur udara yang masuk dan keluar

dari mulut selama inspirasi dan ekspirasi maksimal, yaitu volume paru

statis, yang meliputi :

Page 8: BAB II. LANASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/A131202006_bab2.pdf · pelembutan sehingga terjadi pengecilan ukuran, contohnya kekuatan mekanis; ...

11

(1) Kapasitas Vital (Vital capacity, VC) adalah volume ekspirasi

maksimal setelah individu melakukan inspirasi maksimal.

(2) Kapasitas vital paksa (forced vitas capacity) ditentukan dengan cara

mengukur volume ekspirasi maksimal yang dimulai secepatnya

secara paksa setelah individu melakukan inspirasi maksimal.

Vital Capacity dan Forced Vital Capacity keadaan normal

adalah > 80 % nilai prediksi, pada kasus obstruksi paru (asma akibat

kerja) maupun kasus penyakit paru retriktif (asbestosis), hasil

pengukuran FVC keduanya berkurang,Untuk membedakan keduanya

dengan lebih akurat, di butuhkan nilai volume paru statis lainnya, yaitu

pengukuran kapasitas total paru (total lung capacity, TLC), kapasitas

residu (Residual Volume, RV) dengan cara mengukur body

plethysmography, atau dengan bantuan dilusi gas inert. Pada kasus

penyakit paru restriktif, hasil pengukuran TLC dan volume paru lainnya

akan berkurang, sedangkan pada kasus penyakit paru obstruksi terjadi

hiperinflasi, maka TLC dan rasio RV/TLC hasilnya meningkat (Harrianto,

2010).

b) Spirometri Modern

Spirometri yang lebih modern (pneumotakograf) dapat dinilai

volume paru dinamik, yang meliputi volume ekspirasi paksa detik

pertama (FEV-1) dan Maximal Voluntary Ventilation (MVV).

Forced Expiration Volume-1 keadaan normal adalah > 80% nilai

prediksi dan FEV-1/FVC > 75 % nilai prediksi. Pada kasus penyakit paru

obstruksi hasil pengukuran FEV-1 berkurang lebih banyak dibanding

dengan FVC, maka rasio FEV1/FVC hasilnya menurun. Sedangkan pada

kasus penyakit paru restriktif, baik hasil pengukuran FEV-1 maupun

FVC, sama-sama berkurang sedikit sehingga rasio FEV-1/FVC hasilnya

dapat kembali normal atau meningkat, menjamin keakuratannya,

pengukuran paling sedikit dilaksanakan 3 kali dan hasilnya diambil dari 2

pengukuran yang menghasilkan hasil tertinggi (Harrianto, 2010).

Page 9: BAB II. LANASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/A131202006_bab2.pdf · pelembutan sehingga terjadi pengecilan ukuran, contohnya kekuatan mekanis; ...

12

c) Tes Pernafasan Tunggal (Single-Breath Test)

Mini-wright peak–flow meter portable peralatan yang dapat

digunakan untuk tes pernafasan tunggal, yang merefleksikan beratnya

obstruksi saluran pernapasan, dengan mengukur kecepatan hembusan

ekspirasi paksa (peak expiratory, Flow rate, PEFR). Pengukuran serial

PEFR mencatat hembusan ekspirasi paksa sebelum, selama, dan setelah

jam kerja, serta selama liburan, paling tidak selama 1 minggu. Setiap

pengukuran diambil data maksimum, minimum, dan rata-ratanya, yang

tercatat dalam grafik. Metode ini sangat penting dalam mendiagnosis

kasus asma akibat kerja dan bisinosis. Karena pengukuran PEFR

dilaksanakan oleh pasien sendiri, ada kemungkinan pasien berbohong

sehingga hasilnya sering kali kurang dapat dipercaya. Bila dilaksanakan

dengan benar dan jujur, sesungguhnya tes ini sangat berguna dalam

mendeteksi perubahan obstruksi saluran pernafasan dari waktu kewaktu.

Variasi diurnal atau perbedaan data maksimum dan mimimum yang

berkisar 20% atau lebih akan menggambarkan adanya gejala asma

(Harrianto, 2010).

d) Kapasistas Difusi CO (DLCO)

Kapasistas di fusi CO ini pasien menginhalasi dosis rendah gas CO

dengan menggunakan nebulizer dengan tarikan napas tunggal ataupun

multipel yang sesuai protokol yang sudah di siapkan. Prinsip penilaian

hasilnya berdasarkan gas CO yang diabsorbsi O2. Dengan demikian,

berkurangnya nilai DLCO menggambarkan terjadinya kegagalan

pertukaran gas di alveoli yang dapat terjadi pada kelainan paru obstruksi,

restriktif atau akibat gangguan vaskuler (Harrianto, 2010).

e) Tes Provokasi Bronkus (Bronchial Provocation Test)

Pasien asma memiliki hipertensitivitas bronkus yang nonspesifik,

sehingga akan terjadi obstruksi bronkus bila menginhalasi dosis rendah

matakolin klorida atau hastamin. Hasilnya dinyatakan positif (+) bila

terjadi penurunan FEV-1 sebesar 20 % atau lebih. Tes dengan

menggunakan antigen spesifik merupakan tes yang spesifik untuk

Page 10: BAB II. LANASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/A131202006_bab2.pdf · pelembutan sehingga terjadi pengecilan ukuran, contohnya kekuatan mekanis; ...

13

diagnosis asma akibat kerja dan pneumonitis hipersensitivitas, tetapi

memakan biaya dan berbahaya. Selain itu, tes ini juga harus dilaksanakan

di rumah sakit. Pada pasien asma akibat kerja. Bronkokonstriksi dapat

terjadi dini (10-20 menit) atau lambat (4-8 jam), sedangkan pada kasus

pneumonitis hipersensitivitas hanya akan terjadi sesak napas ringan dan

batuk (Harrianto, 2010).

e. Pegendalian Paparan Debu

Jenis alat pengumpul (collectors) didasarkan atas pengurangan kadar debu

saja atau kadar debu dan gas. Prinsip pengurangan kadar debu dalam aliran gas

yang dibebaskan ke lingkungan diantaranya:

1) Pemisah Brown

Pemisahan brown menerapkan gerakan partikel menurut Brown. Alat

ini dapat memisahkan debu dengan rentang ukuran 0.01-0.05 mikron. Alat

yang dipatenkan dibentuk dengan susunan filament gelas dengan jarak antar

filament yang lebih kecil dari lintasan bebas rata-rata partikel (Harrianto,

2010).

2) Penapisan

Deretan penapis atau penapis kantung (filter bag) dapat

menghilangkan debu hingga ukuran diameter 0.1 mikron. Penapis ini dibatasi

oleh pembebanan yang rendah, karena pembersihan membutuhkan waktu dan

biaya yang tinggi. Susunan penapis yang bisa digunakan untuk gas buang

yang mengandung minyak atau debu higroskopik. Temperature gas buang

dibatasi oleh komposisi bahan penapis (Suma’mur, 2009).

3) Pengendap Elektrostatik

Pengendap elektrostatik memberikan tegangan tinggi pada aliran gas

berkecepatan rendah. Debu yang telah menempel dapat dihilangkan secara

beraturan dengan cara getaran. Keuntungan yang diperoleh adalah debu yang

kering dengan ukuran rentang 0.3-0.5 mikron. Tetapi secara teoritik ukuran

partikel yang dapat dikumpulkan tidak memiliki batas minimum (Harrianto,

2010).

Page 11: BAB II. LANASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/A131202006_bab2.pdf · pelembutan sehingga terjadi pengecilan ukuran, contohnya kekuatan mekanis; ...

14

4) Pengumpul Sentrifugal

Pengumpul sentrifugal merupakan pemisah debu dari aliran gas

didasarkan atas gaya sentrifugal yang dibangkitkan oleh bantik saluran masuk

alat. Gaya ini melemparkan partikel ke dinding dan gas berputar (vortex)

sehingga debu akan menempel di dinding serta terkumpul di dasar alat. Alat

yang menggunakan prinsip ini dapat digunakan untuk pemisahan partikel

besar dengan rentang ukuran diameter hingga 10 mikron (Harrianto, 2010).

5) Pemisah Inersia

Pemisah inersia bekerja atas gaya inersia yang dimiliki oleh partikel di

dalam aliran gas. Pemisahan ini menggunakan susunan penyekat, sehingga

partikel akan bertumbukan dengan penyekat ini dan akan dipisahkan dari

aliran fasa gas. Kendala daya guna ditentukan oleh jarak antar penyekat. Alat

yang didasarkan atas prinsip gaya inersia bekerja dengan baik untuk partikel

yang memiliki ukuran diameter lebih besar daripada 20 mikron. Rancangan

yang baru dapat memisahkan partikel yang berukuran hingga 5 mikron

(Suma’mur, 2009).

6) Pengendapan Akibat Gaya Gravitasi

Alat ini dirancangan didasarkan perbedaan gaya gravitasi dan

kecepatan yang dialami oleh partikel. Alat ini akan bekerja dengan baik untuk

partikel dengan ukuran diameter yang lebih besar daripada 40 mikron dan

tidak digunakan sebagai pemisah debu tingkat akhir.

Debu ditemui dalam berbagai ukuran, bentuk, komposisi kimia,

densitas (trace, apparent, bulk density), daya kohesi, sifat higroskopik dan

lain-lain. Variable yang aneka ragam ini mengakibatkan pemilihan alat dan

system pengendalian pencemaran udara oleh debu dan gas harus berhubungan

dengan sasaran masalah pembersihan gas dan watak kinerja alat disamping

penilaian ekonomik (Harrianto, 2010).

Page 12: BAB II. LANASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/A131202006_bab2.pdf · pelembutan sehingga terjadi pengecilan ukuran, contohnya kekuatan mekanis; ...

15

3. Hasil-Hasil Penelitian yang Berkaitan Dengan Debu dengan Kapasitas Fungsi

Paru

Hasil penelitian tentang hubungan antara kadar debu dan kapasitas paru pada

karyawan PT Eastern Pearl Flour Mill Makasar yang telah dilakukan oleh Amaliyah,

dkk (2013), menunjukan dari 42 orang pekerja yang diukur kapasitas parunya

terdapat 28 orang (66.7%) yang mengalami penurunan kapasitas paru. Pengukuran

debu di 6 lokasi menunjukan terdapat 2 lokasi yang memiliki kadar debu diatas

NAB (4 mg/m3) yaitu bagian ware house dan bagian packing. Hasil uji chi-square

menunjukan terdapat hubungan antara kadar debu dan kapasitas paru (p=0.003).

Hasil penelitian Hubungan Paparan Debu Dengan Kapasitas Vital Paru Pada

Pekerja Penyapu Pasar Johar Kota Semarang yang dilakukan oleh meita (2012)

menunjukan bahwa kadar debu terhirup tidak mempunyai hubungan yang kuat

terhadap kapasitas vital paru (nilai VC, % FVC, % FEV-1) pekerja penyapu pasar

johar kota semarang (0.959; 0.357; dan 0.269 dengan p-value >0.05) (Meita, 2012).

Vallières dkk, 2015 menyimpulkan bahwa terbukti adanya peningkatan risiko

kanker paru-paru di antara pekerja dengan pajanan kumulatif besar dari serbuk

kayu.

Hasil penelitian hubungan kadar debu terhirup (respirable) dengan kapasitas

vital paksa paru pada pekerja mebel kayu di kota jayapura. Hasil uji statistik

menggunakan uji statistik nonparametrik korelasi Kendall’s Tau menunjukan

hubungan (p=0.05) antara kadar debu terhirup (p=0.050) dengan kapasitas vital

paksa paru. Sebanyak 3 responden (7,5 %) yang memiliki kadar debu terhirup

melebihi NAB yaitu 1.075 mg/m3; 1.201 mg/m

3 dan 1.220 mg/m

3 masing-masing

bekerja di bagian pengamplasan sebanyak 2 responden dan 1 responden finishing

(Irjayanti, 2012).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Osman E (2007) paparan pekerja dari

debu Kayu dan Dampak Kesehatan pada System Pernafasan di

Kawasan Industri Kecil di Bursa Turki diperoleh hasil rata-rata FEV-1 dan FVC

nilai tukang kayu, antara perokok dan non perokok, yang secara signifikan rendah,

meskipun nilai FEV1 FVC tinggi (p < 0.05).

Peningkatan keduanya nilai FEV1 dan FVC terdeteksi antara tukang kayu

yang telah masa kerja kurang dari 10 tahun dan terkena debu kayu pada konsentrasi

Page 13: BAB II. LANASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/A131202006_bab2.pdf · pelembutan sehingga terjadi pengecilan ukuran, contohnya kekuatan mekanis; ...

16

lebih dari 4 mg/m3 dibandingkan dengan tukang kayu yang terkena debu kayu di

kurang dari 4 mg/m3 (p < 0.05) Osman dan Pala (2009).

B. Kerangka Berpikir

Gambar 1. Kerangka berpikir Hubungan Pajanan Kadar Debu Kayu Lingkungan

dengan Kapasitas Fungsi Paru Pada Karyawan Bagian Produksi di

CV. Valasindo Sentra Usaha Gondangrejo Kabupaten Karanganyar.

C. Hipotesis

“Ada Hubungan Pajanan Kadar Debu Kayu Lingkungan dengan Kapasitas Fungsi

Paru Pada Karyawan Bagian Produksi di CV. Valasindo Sentra Usaha Kabupaten

Karanganyar”.

Faktor Eksternal 1. Masa Kerja

2. Bagian/Unit kerja.

Faktor Internal

1. Status Gizi

2. Umur

3. Riwayat Penyakit

4. Kebiasaan Berolah

Raga

Pajanan kadar Debu Kayu

Lingkungan

Pernafasan bagian tengah

(rentang ukuran debu 3<-<5

mikron)

Pernafasan bagian atas

(rentang ukuran debu 5<-<10

mikron)

Permukaan Alveoli Paru

(rentang ukuran debu 1<-<3

mikron)

Keluar masuk Alveoli Paru

(rentang ukuran debu 0.1 mikron)

Sedimentasi dan akumulasi

pada bronkhi dan bronkhioli

Pneumukoniosis

Penurunan Kapasitas Fungsi Paru

Karyawan