BAB II KONFLIK DAN MODEL MODEL RESOLUSI KONFLIK
Transcript of BAB II KONFLIK DAN MODEL MODEL RESOLUSI KONFLIK
12
BAB II
KONFLIK DAN MODEL-MODEL RESOLUSI KONFLIK
Pada bagian ini, akan diulas secara mendalam mengenai model-model
penyelesaian konflik. Model yang dimaksudkan disini menjelaskan cara kerja
terhadap suatu realitas yang dikehendaki untuk diselesaikan. Dasar berpikir semacam
ini merupakan pintu masuk untuk menjelaskan bagaimana Gereja dalam hal ini
Majelis Jemaat GPM Rehoboth menyelesaikan konflik. Model-model penyelesaian
konflik dalam tulisan ini tidak identik dengan manajemen konflik atau istilah
sejenisnya sehingga tidak merujuk pada suatu strategi yang dihasilkan. Ia adalah
sebuah upaya dengan strategi yang mana konflik berlangsung sejauh itu digunakan.
Artinya begitu kompleksnya permasalahan tidak lalu menggiring opini untuk
kemudian dipaksakan bahwa suatu upaya yang dikehendaki tepat dan yang lain tidak
tepat.
Dengan begitu, segala peristiwa dapat terekam dengan baik tanpa ada perasaan
membenarkan atau menyalahkan suatu upaya penyelesaian konflik. Berkaitan dengan
itu pula, penting juga menjelaskan soal definisi konflik sehingga kita memiliki
pemahaman yang cukup untuk tugas analisis dan penarikan kesimpulan. Disana juga
akan dijelaskan bagaimana posisi gereja mengambil perannya dan apakah perannya
dilaksanakan secara intensif.
A. Hakikat Konflik
Menurut kamus sosiologi konflik berasal dari kata configure, conflictum yang
artinya saling benturan dan mendapat makna sebagai semua bentuk tabrakan, ketidak
13
sesuaian, pertentangan, ketidakserasian, perkelahian, oposisi dan interaksi -interaksi
yang antagonis bertentangan.15
Maka dapat dikatakan bahwa pada dasarnya konflik
dimaknai sebagai keadaan yang tidak dimungkinkan dalam proses-proses sosial.
Karena dapat menciptakan kondisi tidak seimbang dalam masyarakat. Sehingga
menimbulkan akibat negatif.
Menurut Lewis Coser, konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau
tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa, dan sumber-sumber kekayaan yang
persediaannya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang sedang berselisih tidak
hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkan, melainkan juga
memojokan, merugikan, atau menghancurkan lawan mereka”16
Selanjutnya Coser
juga berpendapat, perselisihan atau konflik tidak semata-mata bersifat negatif.
Karena konflik sebagai unsur interaksi maka dia juga dapat bersifat posit if. Untuk
menentukan fungsional tidaknya suatu konflik, dapat diketahui melalui tipe isyu yang
merupakan subjek suatu konflik.17
Dengan demikian, konflik sosial yang disebabkan
oleh identitas asal yang cenderung menyerang nilai-nilai inti sebuah kelompok,
terlepas dari kedudukannya sebagai penyebab pokok atau pemicu (katalis), berpotensi
melahirkan dis-integrasi sosial dan mengarah pada kekerasan komunitas (communal
violence) yang mengancam tertib kehidupan sosial. Kondisi yang berkembang
melawan struktur ini, terjadi sebagai akibat adanya justifikasi rasional dan justifikasi
kolektif yang membentuk perilaku destruktif kelompok-kelompok masyarakat.18
15
D. Jary dan Julia Jary, Collinss Dictionary of Sociology, (Great Britain: Harper Collinss Publisher,
1991), 56 16
Lewis Coser dalam K.J Veeger, Realitas Sosial: Refleksi filsafat sosial atas hubungan individu
masyarkat dalam cakrawala sejarah sosiologi, (Jakarta: Gramedia Pusaka Utama, 1993), 211 17
M. M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 1979), 115 18
T. R. Gurr, Why Men Rebel, (New Jersey: Princeton University Press, 1971) 22-58
14
Sementara menurut K.J. Veeger, konflik berfungsi mengintegrasikan orang,
menghasilkan solidaritas dan keterlibatan, dan membuat orang lupa perselisihan
intern mereka.19
Sedangkan menurut Dean G. Pruitt, konflik adalah persepsi mengenai
perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest). Kepentingan adalah
perasaan orang mengenai apa sesungguhnya ia inginkan. Ada beberapa dimensi dalam
mendiskripsikan kepentingan. Beberapa kepentingan bersifat universal (seperti
kebutuhan akan rasa aman, identitas, “restu sosial” (social approval), kebahagian,
kejelasan tentang dunianya, dan beberapa harkat kemanusian yang bersifat fisik).
Sedangkan kepentingan spesifik adalah kepentingan yang memiliki prioritas lebih
tinggi. Seperti kepentingan untuk memiliki sesuatu.20
Sebelum kepentingan satu Pihak dapat bertentangan dengan kepentingan Pihak
Lain, kepentingan-kepentingan tersebut harus diterjemahkan ke dalam suatu aspirasi,
yang didalamnya terkandung berbagai tujuan dan standar. Tujuan adalah akhir yang
lebih kurang tepat dari arah yang diperjuangkan oleh seseorang. Standar adalah
tingkat pencapaian minimal yang bila lebih rendah daripadanya orang akan
menganggapnya tidak memadai. Aspirasi-aspirasi ini harus dianggap tidak sesuai
dengan aspirasi Pihak Lain dan begitu pula sebaliknya. Semakin besar
ketidaksesuaian ini, semakin besar pula perbedaan kepentingan itu akan dipersepsi.21
19
K J. Veeger, Op.,Cit. 212 20
Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar), 21 21
Ibid., 22
15
B. Karakteristik Konflik Sosial22
Menurut basisnya karakteristik konflik dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:
Value-based conflict. Konflik yang terjadi karena perbedaan nilai-nilai, norma-
norma, dan kepercayaan pada nilai-nilai subyektif yang tidak universal. Perolehan
pada satu pihak dipandang sebagai kekalahan pada pihak lain. Dalam konflik
semacam ini, manfaat dan kebenaran dari masalah yang dipertikaikan sulit
diverifikasi secara ilmiah sehingga sulit dipecahkan. Kesulitan itu disebabkan karena
para pihak memiliki kriteria yang berbeda dalam menilai gagasan atau perilaku.
Tujuan yang hendak dicapai secara intrinsik bersifat eksklusif. Diperkuat dengan
perbedaan cara hidup, ideologi, dan agama
Interest-based conflict. Di dalam konflik ini, terjadi persaingan yang nyata
maupun yang dipersepsikan mengenai substansi kepentingan. Konflik terjadi
berdasarkan perbedaan isu pokok yang substansial dari kepentingan obyektif para
pihak. Di dalam konflik ini, terdapat kepentingan obyektif para pihak. Di dalam
konflik ini, terdapat kepentingan secara psikologis maupun secara prosedural.
Structural conflict. Konflik yang terjadi karena pola perilaku atau interaksi yang
destruktif, serta tidak adanya distribusi dan pemilikan sumberdaya yang merata dan
disertai dengan kewenangan yang tidak seimbang. Isu utama yang dihadapi konflik
jenis ini yaitu masalah keadilan.
22
Theofransus Litaay dalam Evalien Suryati dkk, Lokakarya Membangun Perdamaian Didalam
Masyarakat Ber-Bhineka Tunggal Ika”, (Salatiga: Griya Media, 2011), 31
16
Relationship conflict. Disebabkan oleh emosi yang tinggi, disertai dengan
stereotype sosial dan mispersepsi dan ketiadaan komunikasi ataupun komunikasi yang
lemah. Konflik terjadi karena ada pengulangan sikap yang negative.
Data conflict. Penyebabnya adalah kurangnya informasi, perbedan pandangan
mengenai relevansi suatu masalah, perbedaan interpretasi data dan perbedaan
prosedur penilaian mengenai maslaah tertentu.
C. Model-Model Resolusi Konflik.
Untuk kepentingan ini, beberapa ahli telah mencoba untuk mengembangkan
pemikiran-pemikiran yang konstruktif untuk menemukan formula yang tepat bagi
suatu proses penyelesaian konflik.
Burton misalnya menawarkan titik-titik navigasi yang dapat dipakai untuk
mencari sebab-sebab dasar (deeprooted) dari konflik.23
Bagi Burton, titik-titik
navigasi tersebut adalah keterkaitan resiprokal antara struktur sosial, institusi sosial,
dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia (basic human needs). Pruitt ketika
memberikan tiga model konflik (model Agresor-Defender, model Spiral-Konflik dan
perubahan struktural). Dia mengkategorikan Burton kedalam model konflik
perubahan struktural.24
Model perubahan struktural ini menjelaskan bahwa konflik,
beserta taktik-taktik yang digunakan untuk mengatasinya, menghasilkan residu.
Residu berupa perubahan-perubahan yang terjadi baik pada pihak-pihak yang
berkonflik maupun masyarakat dimana mereka tinggal. Ada tiga macam bentuk
23
Dalam Tonji Soumokil, Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku, (Salatiga: Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Komunikasi, Univeritas Kristen Satya Wacana Press, 2011), 18 24
Dean G. Pruitt, Op. Cit., 200-206
17
perubahan struktural. Yaitu perubahan psikologis, dari perubahan psikologis
membentuk ke perubahan kolektif dan perubahan dalam masyarakat di sekeliling
yang berkonflik.25
Perubahan psikologis dimungkinkan terjadi seiring tingginya
eskalasi kontroversi terhadap perbedaan yang dianggap merugikan dan
mediskreditkan pihak-pihak berkonflik. Baik yang pelakunya perorongan maupun
kolektif. Ketika kolektif (kelompok, organisasi atau negara) yang terlibat konflik,
maka perubahan struktural juga dapat terjadi pada tingkat kolektif. Perubahan dari
psikologis ke kolektif terjadi dengan asumsi adanya kecenderungan esklasi
kontroversi tadi menjadi norma kolektif. Kohesivitas yang semakin meningkat, yang
timbul karena adanya musuh dari luar kelompok, memberikan sumbangan terhadap
kekuatan norma ini maupun terhadap cara untuk mengimplementasikannya.26
Kajian tentang dinamika konflik juga dilakukan oleh Kriesberg27
. Dia
mengelompokan dinamika konflik dalam dua perspketif. Pertama, Dia melihat adanya
variasi yang beragam terhadap konflik. Variasi dari suatu konflik dapat dilihat dari
karakteristik pihak yang bertikai, hubungan antar pihak yang bertikai, konteks sosial
konflik, sarana konflik, dan hasil konflik. Kedua, yaitu berkaitan dengan sumber-
sumber konflik, dalam kaitan itu Kriesberg membaginya dalam tiga kelompok.
Kelompok pertama, menekankan perlunya mengkaji faktor-faktor internal, seperti
karakter dasar manusia, interaksi sosial dan sistem sosial. Kelompok kedua cenderung
pada konteks sistemik suatu konflik. Hal tersebut biasanya membahas masalah
institusi budaya, scarcity, distribusi kekuatan, serta konsistensi dan stabilitas sistem.
25
Ibid., 206-207 26
Ibid., 208-209 27
Syamsul Hadi dalam Tontji Soumokil, Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku, (Salatiga: Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, 2011), 17-18
18
Kelompok Ketiga, mengkaji karakter dan hubungan antar pihak yang bertikai.
Kelompok ini mencari sumber-sumber konflik dalam variabel distribusi kekuatan
yang tidak simetris, perbedaan filosfi kehidupan antar kelompok, dan potensi integrasi
kelompok. Selain Kriesberg, Pruiit dan Rubin menawarkan lima strategi penyelesaian
konflik yang bisa digunakan yaitu:28
1. Contending (bertanding) yaitu mencoba menerapkan solusi yang
lebih disukai oleh satu pihak atas pihak yang lain. Strategi ini meliputi
segala macam usaha untuk menyelesaiakan konflik sesuai dengan
kemauan sendiri tanpa mempedulikan kepentingan pihak lain.
2. Yielding (mengalah) yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia
menerima yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Dalam
strategi ini bukan berarti bahwa mengalah dan menyerah secara total,
tatapi bisa saja menglaah dan mencari alternative pemecahan masalah
yang lain.
3. Problem Solving (pemecahan masalah) yaitu mencari alternatif yang
memuaskan kedua belah pihak. Pihak-pihak yang menggunakan
strategi ini berusaha mempertahankan aspirasinya sendiri tetapi
sekaligus berusaha mendapatkan cara untuk melakukan rekonsiliasi
dengan pihak lain dan mencari solusi yang bisa diterima oleh kedua
belah pihak.
28
Dean G Pruitt dan Jefferey Z. Rubin, Op. Cit., 4-6
19
4. With drawing (menarik diri) memilih meninggalkan situasi konflik
secara fisik maupun psikologis. Penghentian usaha untuk mengatasi
konflik ini biasanya bersifat permanen.
5. inaction (diam) yaitu memilih untuk diam dan tidak melakukan apa-
apa ketika sedang mengalami konflik, tetapi tetap membuka
kemungkinan untuk melakukan upaya penyelesaian konflik.
Dari lima strategi diatas, umumnya strategi problem solving banyak
diterapkan. Karena cara ini bertujuan untuk menghindari penyelesaian konflik atau
pertikaian melalui jalur hukum, yang dirasa kurang efesien. Ada beberapa langkah
yang dapat ditempuh ketika menggunakan strategi problem solving, yaitu; pertama,
memastikan adanya konflik kepentingan yang secara nyata terjadi. Kedua, melakukan
analisis terhadap kepentingan sendiri dan menetapkan aspirasi yang masuk akal, serta
mempertahankannya. Ketiga, mencari cara untuk merekonsiliasikan aspirasi kedua
belah pihak. Keempat, menurunkan aspirasi yang telah ada dan mencari beberapa
aspirasi lagi.29
Dari berbagai macam resolusi yang ada, kovach mencoba untuk
menggolongkan resolusi konflik menjadi beberapa macam, yaitu dengan cara
tradisional, melalui jalur hukum, dan ADR (Alternative Dsipute Resolution).30
29
Ibid., 340-345 30
Kimberlee K. Kovach, Mediation: Principle and Practice, (St. Paul: West Group, 2004), 4
20
a. Penyelesaian Konflik Secara Tradisional
Konflik dipandang sebagai suatu pergulatan, peperangan, atau pertarungan
antara dua belah pihak yang memiliki perbedaan tujuan atau memiliki suatu yang
bertentangan satu dengan yang lain. Penyelesaian konflik dengan cara tradisional
biasnaya menggunakan kekerasan, kekuasaan, dan paksaan yang melibatkan kedua
belah pihak untuk mempertahankan kedudukan masing-masing dan menjatuhkan
pihak yang menjadi ancaman. Dari penyelesaian ini paling tidak ada salah satu pihak
yang tidak memiliki kuasa akan dikecewakan dan merasa dirugikan. Sedangkan pihak
yang memiliki kuasa kemungkinan bisa memenangkan dan dianggap benar terlepas
dari realitas siapa yang benar dan siapa yang salah.
Disamping itu juga, penyelesaian konflik secara tradisional juga ada yang
melibatkan orang-orang di sekitar lingkungan konflik. Penyelesaian konflik dengan
cara ini justru bukan dilakukan oleh pihak-pihak yang berkonflik, tetapi orang-orang
yang ada disekitar pihak yang berkonflik. Cara ini dilakukan dengan melakukan
kompromi-kompromi dengan pihak-pihak lain terhadap pihak yang sedang
berkonflik. Biasanya pihak yang melakukan kompromi tidak selalu dapat memahami
dengan baik konflik yang terjadi, sehingga usaha penyelesaian yang dilakukan tidak
mencapai titik penyelesaian yang diharap dan malah semakin memperkeruh suasana.
Dalam pada itu juga, konseling merupakan salah satu cara penyelesaian
konflik secara tradisional. Cara ini dilakukan dengan memberi pendampingan
terhadap pihak-pihak yang sedang berkonflik. Konseling dilakukan ketika pihak yang
bertugas menjadi konselor mendekati pihak yang dianggap sedang bermasalah dan
21
konselor memberikan beberapa catatan untuk menolong pihak-pihak berkonflik untuk
menyadari akan kesalahannya. Cara seperti ini dikhawatirkan akan menimbulkan
ketidak puasaan salah satu pihak. Sebab pada akhirnya semua pihak akan disuruh
menerima peristiwa dengan konsekuensi yang sudah terjadi.
Dengan demikian model penyelesaian konflik seperti ini sering dianggap
kurang relevan karena masih menyisahkan ketidakpuasaan dari pihak-pihak yang
mengakui begitu saja realitas yang sudah terjadi. Dan tidak semua orang dengan muda
menerima akan hal itu.
b. Melalui Hukum/Litigasi
Banyak konflik diselesaikan di Meja hijau. Cara itu sudah lama dilakukan
dengan tujuan rasa keadilan kepada pihak yang sedang bertikai. Prosesnya, salah satu
pihak atau kedua belah pihak yang terlibat konflik menyerahkan solusi konfliknya
pada pengadilan perdata di pengadilan Negeri melalui gugatan penggugat kepada
tergugat. Pihak lainnya yang memiliki hubungan dengan objek sengketa bisa juga
mengintervensi proses pengadilan. Hakim kemudian memeriksa kasus tersebut
dengan menggunakan Hukum Acara Perdata. Proses pengadilan umumnya didahului
dengan permintaan hakim agar kedua belah pihak berdamai terlebih dahulu. Jika
perdamain tidak tercapai, hakim akan memeriksa kasusnya dan mengambil keputusan.
Keputusan hakim bisa berupa wi-win solution dimaa salah satu pihak dikalahkan atau
win and win solution di mana solusi kolaborasi atau kompromi terjadi. Jika salah satu
pihak atau kedua belah pihak merasa tidak puas dengan keputusan pengadilan, mereka
bisa mengajukan banding ke pengadilan Tinggi. Jika pengadilan Tinggi tidak
22
memuaskan, mereka bisa mengajukan banding ke lembaga pengadilan yang
jenjangnya lebih tinggi lagi.31
c. Melalui Proses Legislasi
Resolusi konflik melalui pendekatan legislatif adalah penyelesaian konflik
melalui perundang-undangan yang dikeluarkan oleh lembaga legistlatif. Konflik yang
diselesaikan dengan cara ini adalah konflik yang besar dan meliputi populasi yang
besar, tetapi mempunyai pengaruh terhadap individu anggota populasi. Dalam konflik
politik, misalnya konflik mengenai batas daerah dan konflik pemekaran wilayah.
Konflik ini diselesaikan melalui dikeluarkannya undang-undang dan atau peraturan
pemerintah setempat.32
d. Pendampingan Pastoral
Umumnya Gereja dipahami sebagai struktur dan sistem pengorganisasian
(tradisi teologi, doktrin, aturan, liturgi, tata pelayanan dll). Sering juga dipahami tidak
terbatasi pada pengertian spesifik “kelembagaan” atau institusi saja. Dalam pengertian
ini, lebih mengarah pada gerakan sosial-keagamaan yang secara konstan melakukan
dekonstruksi pemikiran dan institusional seiring dinamika perubahan sosial dalam
konteks keberadaannya di tengah-tengah masyarakat.
Sekiranya tidak terjebak pada dikotomi antara dua pemahaman umum
masyarakat tentang defenisi Gereja itu. Namun satu hal yang mungkin pasti, bahwa
Gereja hadir untuk menggumuli masalah-masalah kontekstual. Dalam melakukan hal
31
Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi, dan Penelitian. (Jakarta: Salemba Humanik,
2010), 184 32
Ibid., 185
23
ini tentunya, ia dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan perubahan sosial secara
partikular maupun global.
Dalam rangka melakukan proses-proses kontesktualisasi, Gereja tidak bisa
tidak memanfaatkan perspektif keilmuan tertentu (teori dan metodologi), terutama
ilmu-ilmu humaniora (sosiologi pendidikan, antroplogi, manajemen konflik dll),
sebagai kerangka analisis memahami dan menjelaskan fenomena sosio-religius suatu
masyarakat atau kelompok-kelompok tertentu dalam suatu masyarakat.33
Maka Gereja tidak harus dipandang sebagai institusi religious yang
menggumuli sekedar ritual keagamaan pada saat ibadah minggu dan seterusnya.
Melainkan Ia adalah lembaga kemasyarakatan dibentuk untuk merespons dinamika
kekinian.
Salah satu dinamika kekinian yang harus direspons Gereja ialah mengenai
konflik sosial. Sebab konflik sosial adalah situasi yang bisa saja memecah belah
persekutuan ke-umatan atau ke-masyarakatan. Lantas model yang biasanya ditempuh
sebagai pemecahan konflik yaitu pelayanan dan konseling pastoral.
Pastoral dapat dimengerti sebagai “pelayanan sosial” yang merambat masuk
sampai kedalam dimensi kehidupan yang paling kecil sekalipun.34
Dalam kaitan itu,
ada dimensi pastoral yang harus kita maknai secara luas. Hal itu penting, sebab masih
banyak anggapan yang terkesan memisahkan antara yang “pastoral” dan yang
“kemasyarakatan”. Padahal pelayanan pastoral tidak cukup hanya berdialog dengan
33
Hillary Rodrigues and John S. Harding, Introduction to the Study of Religion (New York: Routledge,
2009), 10 34
Bnd., Seward Hiltner, Prefece to Pastoral Theology, (Nashville: Abingdon Press, 1954), 55
24
iman semata, melainkan juga dia memerlukan pendekatan sosiologi.35
Howard
Clinebell dalam kaitan dengan ini menegaskan bahwa; “pendampingan dan konseling
pastoral adalah alat-alat berharga melaluinya gereja tetap relevan dengan kebutuhan
manusia.36
Pengertian itu menegaskan bahwa pendekatan sosial (bac: resolusi konflik)
untuk menjawab tantangan pelayanan Gereja juga termasuk dalam pendampingan
pastoral.
Eksistensi gereja semacam itu juga rupanya didukung oleh Clebsch dan Jaekle.
Melalui defenisi pendampingan pastoralnya yang didefenisikan sebagai “tindakan
pertolongan yang dilakukan oleh orang Kristen yang representative, yang diarahkan
untuk menyembuhkan, menopang, membimbing, dan mendamaikan orang-orang
bermasalah yang masalanya muncul dalam konteks pengertian dan perhatian yang
mendasar”.37
Dari definisi itu ada beberapa hal khusus yang digaris bawahi sebagai
ciri pendampingan/pelayanan pastoral yang dilakukan gereja:38
Pertama, pelayanan pastoral gereja harus dilakukan oleh orang-orang Kristen
yang representatif. Representatif secara de jure dan de facto sehingga mampu
membawa kebijakan dan otoritas iman serta hidup kristiani ke dalam masalah-
masalah manusia.
35
Lery Kent Graham, “From Relational Humaness to Relational Justice; Recovering Pastoral Care and
Counseling”, dalam Pamela D. Couture and Rodney J. Hunter (eds), Pastoral Care and Social Conflict,
(Nashville: Abingdon Press, 1995), 221 36
Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Yogjakarta: Kanisius,
2002), 17 37
William A. Clebsch dan Charles S. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspectives, (New York:
Harper and Row Publisher, 1967), 4 38
Asnath N. Natar, Ed, Pelayanan Spiritualitas, & Pelayanan, (Yogjakarta: Taman Pustaka Kristen dan
Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2012), 106
25
Kedua, pelayanan pastoral dilihat sebagai sesuatu yang diarahkan kepada
orang-orang bermasalah dan tujuannya adalah mendukung dan menolong mereka
sebagai individu.
Ketiga, tidak semua pelayanan terhadap orang bermasalah dapat dilihat sebgai
jenis pelayanan pastoral. Pelayanan pastoral hanya dapat terjadi manakala masalah
yang ditangani adalah masalah yang perhatian dan pengertiannya mendasar dan juga
yang hanya dapat terjadi kalau orang tersebut bersedia menanggapi pertolongan yang
ditawarkan oleh orang-orang Kristen yang representatif untuk hal itu.
Keempat, tidak semua tindakan pertolongan dapat dilihat sebagai jenis
pelayanan pastoral. Hanya jenis-jenis pertolongan yang merepresentasikan sumber-
sumber, kebijakan, dan otoritas agama Kristen sajalah yang dapat diklasifikasikan
sebagai pelayanan pastoral.
Kelima, pelayanan pastoral adalah jenis pelayanan yang diarahkan pada
fungsi-fungsi khusus, yakni penyembuhan, penopangan, pendampingan, dan
pendamaian.
Defenisi diatas kemudian ditambahkan beberapa pakar pastoral. Mengenai
siapa (aktor) yang pantas melakakukan pendampingam pastoral? Stephen Pattison39
beranggapan bahwa Pelayanan pastoral merupakan pelayanan yang dapat
dilaksanakan oleh semua orang Kristen tanpa asumsi bahwa pelayanan ini hanya
boleh dan dapat dilakukan para klerus. Artinya anggota gereja yang bukan klerus pun
memiliki kemampuna dan kapasitas untuk melakukan pelayanan pastoral.
39
Stephen Pattison, A Critique of Pastoral Care, (London: SCM Press, 1988), 12
26
Menyangkut ruang lingkup pastoral, Clinebel40
beranggapan bahwa pelayanan
pastoral perlu dipahami sebagai jenis pelayanan gereja yang ditujukan pada
kebutuhan manusia secara luas. Definisi ini lebih memfokuskan pada aspek
pertumbuhan yang juga harus diperhatikan dalam pelayanan pastoral. Sehingga fungsi
pastoral yang lain adalah fungsi memelihara. Sementara Emmnuel Lartey
menambahkan fungsi pemberdayaan. Dengan asumsinya bahwa, individu yang
bermasalah bukan saja perlu ditolong untuk membedardayakan diri keluar dari
belenggu-belenggu psikologis tetapi juga dari belenggu-belenggu struktural
kemasyarakatan yang seringkali memperdaya.41
Pelayanan pastoral bisa berbentuk khotbah, pendampingan, pengembangan,
pengajaran, ibadah, administrasi dst.42
Berdasarkan isi dan bentuk pelayanan pastoral
ini, jelas bahwa pelayanan pastoral tidak saja dilihat sebagai sebuah pelayanan yang
berbentuk spesifik, tetapi juga menjadi suatu dimensi yang mewarnai semua bentuk
pelayanan gereja. Maka tidak berkeberatan jika bentuk dan isi pelayanan pastoral
sejalan dengan bentuk dan isi serta prinsip resolusi konflik.
e. ADR (Alternative Dispute Resolution)43
Penyelesaian konflik alternatif atau yang dikenal dengan sebutan ADR
(Alternative Dispute Resolution) merupakan salah satu cara penyelesaian konflik
yang memungkinkan pihak-pihak berkonflik memperoleh solusi.
40
Howard Clinebell, Op. Cit., 54-55 41
Emmanuel Y. Lartey, In Living Colour: An Intercultural Approach to Pastoral Care and Counseling,
(London: Jessica Kingsley Publisher, 2013), 67-68 42
Howard Clinebell, Op. Cit., 49-51. 43
Kimberlee K. Kovach, Op. Cit., 1-2
27
ADR muncul di dataran Amerika Serikat dengan suatu realita bahwa terlalu
banyak konflik yang dihadapi oleh berbagai pihak, yang kemudian diselesaikan di
pengadilan. Penyelesaian konflik dengan cara tersebut hanya menghabiskan banyak
waktu dan biaya, sehingga penyelesaian konflik dengan cara tersebut dianggap
kurang efisien. Realita kehidupan yang selalu diwarnai dengan konflik mendorong
munculnya ADR sebagai cara penyelesaian konflik alternatif karena dirasa lebih
aman dan efesien (Baru dapat dibawah ke pengadilan ataupun dengan melibatkan
badan hukum yang berkompeten).
Biasanya, model penyelesaian alternatif bisa menggunakan beberapa cara
seperti; negosiasi, mediasi, rekonsiliasi, dan yang terbaru ialah melalui pendidikan
perdamaian. Negosiasi merupakan proses dimana pihak-pihak yang bertikai mencari
cara untuk mengakhiri dan menyelesaikan konflik mereka. Sedangkan rekonsiliasi
merupakan proses jangka panjang untuk mengatasi permusuhan dan rasa tidak saling
percaya antara kedua belah pihak yang bertikai.44
Kedua model penyelesaian ini
berjalan secara beruntun, dimana setelah terjadi proses negosiasi brulah dilanjutkan
dengan proses rekonsiliasi. Negosiasi biasanya dilakukan ketika sedang menghadapi
pertikaian atau konflik, sedangkan rekonsiliasi dilakukan pasca konflik dengan tujuan
untuk memperbaiki hubungan dan membangun relasi yang lebih baik kedepan.
a). Rekonsiliasi45
Seringkali kali, strategi resolusi konflik yang diselesaikan melalui pengadilan
dan legislasi menyisahkan perasaan tidak puas akan solusi yang dihasilkan. Maka
44
Hugh Miall, Oliver Ramsbotham, dan Tom Woodhouse, Resolusi Damai Konflik Kontemporer,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 32 45
Wirawan, Op. Cit., 194.
28
harus ditempuh dengan strategi lain. Pilihan yang tersedia yakni rekonsiliasi. Istilah
rekonsiliasi berakar pada kata bahasa Inggris to reconcile, artinya membangun
kembali hubungan erat yang menenangkan, membereskan, menyelesaikan, dan
membawa seseorang untuk menerima. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008) kata
rekonsiliasi artinya perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan
semula. Disamping kata rekonsiliasi ada kata konsiliasi yang artinya mempertemukan
keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan
perselisihan itu. Dalam manajemen konflik, istilah konsiliasi dan rekonsiliasi dikenal
sebagai proses manajemen konflik untuk menciptakan solusi konflik.
Rekonsiliasi merupakan agenda yang sangat penting untuk menyembuhkan
trauma sosial masyarakat sekaligus merekatkan kembali kohesi sosial masyarakat
yang terjabik-cabik akibat konflik. Rekonsiliasi bertujuan untuk membangun kembali
kepercayaan (trust) antara kelompok masyarakat yang semula bertikai. Rekonsiliasi
harus menyentuh akibat dari korban konflik di semua lapisan. 46
Penggunaan teknik rekonsiliasi untuk menyelesaikan konflik merupakan
proses tua yang berakar pada agama dan adat istiadat masyarakat. Rekonsiliasi telah
digunakan oleh agama Katolik dalam proses pengakuan dosa pada abad pertengahan.
46
Syambul Hadi, Disintegrasi Pasca Order Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika International,
(Jakarta: Buku Obor, 2007), 182
29
b). Mediasi
Mediasi berasal dari kata latin mediation yaitu suatu cara menyelesaikan
pertikaian dengan menggunakan seorang pengantara (mediator). Fisher47
menyebutkan mediasi sebagai suatu proses interaksi yang dibantu oleh pihak ketiga,
sehingga pihak-pihak yang berkonflik menemukan penyelesaian yang mereka
sepakati sendiri. Menurut Kovach, “mediation is facilitated negotiation. It is a process
by which a neutral third party, the mediator, assists disputing parties in reaching a
mutually satisfactory resolution.48
Artinya, mediasi hanyalah fasilitas untuk
melakukan negosiasi dari pihak ketiga yang bersifat netral menjadi penengah untuk
membantu pihak yang berselisih mencapai jalan keluar yang saling memuaskan satu
dengan yang lain. Menurut pocket Oxford Distionary, mediasi didefinisikan sebagai
“mengintervensi (antara dua orang atau kelompok) untuk tujuan mendamaikan pihak
berkonflik.49
Dari definisi tersebut prinsipnya adalah bahwa, mediasi merupakan
alternatif penyelesaian masalah dengan jalan damai.
c). Ciri-ciri Mediasi50
Pertama, Adanya pihak ketiga yang netral, tidak terlibat atau terkait dengan masalah
yang terjadi, serta tidak memihak pada salah satu pihak yang bertikai.
47
Fisher, dkk, Mengelola Konflik Keterampilan dan Strategi untuk bertindak, (Jakarta: Britis Council,
2001), 7 48
Daniel Nuhamara, mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia: Pengalaman Kristen, dalam Musahadi
ed, Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia, (Semarang: Walisongo Mediation Centre, 2007), 83 49
Hoda Lacey, How to Resolve Conflict in the Workplace., terj. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Uatma,
2003). 277 50
Daniel Nuhamara. Op. Cit., 84
30
Kedua, Dalam kasus yang bersifat individual, mestinya mediator ditunjuk atau
dipilih oleh pihak ketiga yang bertikai, tetapi bisa juga mediator menawarkan diri.
Mediator harus dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bertikai.
Ketiga, Penyelesaian masalah dibuat oleh pihak yang bertikai, dan harus dapat
diterima tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.
Keempat, Tugas utama mediator adalah menjaga agar proses mediasi berjalan lancar,
membantu memperjelas masalah yang sesungguhnya dan menjelaskan tujuan dari
masing-masing pihak yang bertikai. Mediator bertugas mengontrol proses mediasi,
sedangkan pihak yang bertikai bertugas mengontrol isi negosiasi.
Terdapat empat elemen yang harus diperhatikan. Empat elemen itu menurut
Curle yaitu, pertama, tindakan mediator untuk membangun, mempertahankan dan
meningkatkan komunikasi. Kedua, menyediakan informasi untuk dan antara pihak-
pihak yang bertikai. Ketiga, menjadi “sahabat” bagi pihak-pihak yang bertikai.
Keempat, mendorong apa yang disebut mediasi aktif, yaitu memperkuat keinginan
untuk terlibat dalam negosiasi kerja sama.51
Terdapat beberapa keuntungan dengan menggunakan stategi mediasi yaitu,
pihak-pihak yang berunding sepakat menunjuk mediator sehingga ada satu unsur
kesamaan dari kedua belah pihak. Mediator berusaha menggunakan pendekatan win-
win solution. Para pihak berada pada posisi sederajat dalam meja perundingan dan
tidak ada salah satu pihak yang lebih unggul dari pihak yang lain. Mediator berfungsi
51
Hugh Miall, Op. Cit., 82
31
mengendalikan situasi. Sehingga pada akhirnya mediasi mendapat satu komitmen
yang akan menjadi solusi untuk tindakan selanjutnya.52
d). Tahapan Mediasi
Lacey mengusulkan beberapa tahapan untuk diperhatikan dalam melakukan
mediasi. Dimana ia membagi tahap mediasi ke dalam empat fase:
1. Fase persiapan, pada fase ini mediator mulai menemui masing-masing
pihak untuk melakukan perkenalan, mencari tahu masalah yang terjadi di
kedua belah pihak dan menjelaskan keuntungan menggunakan mediasi.
Mediator berusaha menggali sedalam-dalamnya informasi tentang masalah
yang terjadi dari kedua belah pihak. Dengan demikian akan diperoleh
penggambaran masalah yang jelas dari sudut pandang kedua pihak yang
berkonflik. Dalam fase ini mediator juga mempersiapkan kemungkinan terbaik
dan terburuk yang mungkin terjadi selama proses mediasi. Hal tersebut harus
ditanyakan kepada kepada pihak yang bertikai, untuk menentukan keputusan
yang akan mereka ambil. Mediator harus menyadari bahwa kedua belah pihak
pada saat ini sedang berada pada suatu hubungan yang kurang baik.
Sedangkan dalam proses mediasi kedua belah pihak harus bertemu secara
sukarela. Mereka membutuhkan perantara untuk bisa menyampaikan maksud
mereka masing-masing dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Dengan demikian mediator harus dapat berfungsi dengan baik, mampu
membuat kesepakatan, dan selalu menjaga kualitas seorang mediator dengan
52
Hoda Lacey, Op. Cit., 279
32
membangun kepercayaan, ketidakberpihakan, dan kerahasian dari kedua belah
pihak.
2. Fase Interaksi, merupakan kelanjutan dari fase persiapan. Mediator mulai
menentukan masalah yang sedang dihadapi oleh kedua belah pihak yang
bertikai dan menentukan tindak lanjut yang harus dilakukan. Perhatikan juga
apakah proses mediasi akan tetap berjalan dengan mediator yang dipilih atau
harus digantikan dengan mediator yang lain oleh karena suatu hal tidak dapat
melanjutkan proses mediasi. Selain memperhatikan hal-hal yang berkaitan
dengan intern proses mediasi, perlu juga diperhatikan lingkungan proses
mediasi. Tempat melakukan mediasi sebaiknya didukung lingkungan yang
nyaman dan terkendali. Ada tiga tahap yang perlu dilewati pada fase ini yaitu:
1) Menetapkan tempat perundingan. Sebaiknya tempat perundingan
merupakan tempat yang representatif. Memberikan keamanan dan
kenyamanan. Sehingga memungkinkan proses mediasi berjalan sejuk
ditengah-tengah situasi yang mungkin saja akan memanas.
2) Menelusuri masalah. Masing-masing pihak diberi kesempatan
untuk memaparkan masalah yang sedang dihadapi. Mediator harus
benar-benar mengarahkan perhatian kepada kedua belah pihak dan
tidak boleh mengerjakan hal-hal lain yang sekiranya mengganggu
proses mediasi.
3) Membangun kesepakatan. Dalam tahap ini mediator menunjukan
pilihan dan solusi yang ditemukan ketika percakapan berlangsung.
33
Kedua belah pihak berhak menentukan sendiri solusi yang akan mereka
tempuh untuk memperbaiki keadan sehingga memperoleh gambaran
situasi yang ideal.
3. Fase Penutupan, dimana kedua belah pihak telah memiliki komitmen
penuh yang telah disepakati bersama. Mereka juga menentukan waktu untuk
menyelenggarakan pertemuan tindak lanjut. Mediator bisa membantu
menuliskan kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat dan diberikan kepada
masing-masing pihak.
4. Fase tindak lanjut, dalam pertemuan tindak lanjut selain untuk
mengevaluasi kesepakatan solusi yang telah dipilih, juga membahas masalah-
masalah yang terjadi berkaitan dengan proses-proses mediasi ataupun upaya
resolusi yang telah dilakukan.
e). Mediator
Mediator merupakan orang atau pihak yang memfasilitasi proses mediasi.
Mediator adalah pihak ketiga yang bertugas menyelesaikan permasalahan yang
terjadi, dan menolong para pihak yang berunding untuk mencapai kesepakatan.53
Berhasil atau tidaknya suatu proses mediasi akan sangat tergantung dengan
sebeberapa besar peran mediator sebagai pihak netral yang menjembatani kedua belah
pihak yang berkonflik. Dengan peran aktif para mediator dalam proses tersebut, akan
sangat membantu pihak-pihak yang berkonflik untuk kembali berkomunikasi agar
53
Ibid., 277
34
dapat mengakhiri konflik secara damai. Seperti konflik antar pemuda di Bantu
Gantung Dalam dan Batu Gantung Ganemo.
Olehnya lazim diperlukan adanya keterlibatan pihak ketiga terutama yang
berfungsi sebagai mediator dalam rangka mendorong proses-proses rekonsiliasi
diantara pihak-pihak yang sementara bertikai. Keterlibatan pihak ketiga ini, pada
dasarnya dimaksudkan untuk membantu mengembangkan mekanisme resolusi
konflik, sehinga bisa diupayakan tercapainya suatu perdamain.
Salah satu pihak ketiga (mediator) yang dipandang mempunyai peran penting
bagi upaya penyeleaian konflik sekaligus mendorong proses perdamain sehubungan
dengan fungsinya untuk memberikan perlindungan dan keamanan bagi warga
masyarkat, adalah negara. Menurut Rule54
negara memiliki peran strategis terlibat
dalam melakukan tekanan-tekanan secara agresif (aggressive agents of coercion)
guna mengendalikan situasi sosial politik yang hancur akibat konflik. Tekanan-
tekanan ini bisa dilakukan negara karena terkait dengan legalitas kekuasaan yang
dimilikinya, sehingga ia mampu mengatasi konflik. Tekanan-tekanan yang
substansinya bermakna kekuasaan ini, pada dasarnya dapat berwujud kekuasaan yang
“keras”, yang seringkali diperlukan dalam konflik yang disertai kekerasan; tetapi,
dapat pula mengambil bentuk kekuasan yang “lunak”, yang dapat lebih penting dalam
konflik yang dikelola secara damai. Namun yang paling sering terjadi ialah impunitas
hak-hak asasi korban konflik dalam upaya memperoleh keadilan dan pemenuhan jika
suatu konflik melibatkan negara dalam hal ini Tentara Naional Indonesia atau TNI.
54
J. B. Rule, Theories of Civil Violence, (Berkeley, Los Angels, London: University of California Press,
1988), 2
35
Selain negara sebagai aktor penting dalam kerangka resolusi konflik, tidak
menjaminnya rekonsiliasi itu berjalan maksimal apalagi pendekatannya lebih pada
pendekatan agresi. Maka dibutuhkannya peranan institusi kemasyarakatan. Salah
satunya Gereja.
f. Pendidikan Perdamaian. (peace education)
Sejak tahun 1988 pendidikan perdamaian telah tumbuh dalam berbagai cara
yang positif. Pendidikan perdamaian dapat dikatakan sebagai lawan dari pendidikan
tradisional yang banyak dikritik sebagai biang keladi kekerasan dan ketidakadilan yang
diperankan dalam struktur kekuasaan yang cenderung mempertahankan status Quo.
Pendidikan perdamaian secara sengaja dimasukan dalam ulasan ini sebagai
alternatif resolusi konflik yang bisa direkomendasikan untuk resolusi dua komunitas
Pemuda Batu Gantung.
Dua hal yang mestinya diperhatikan ketika berbicara tentang Pendidikan
Perdamaian yaitu, Perdamaian dan Pendidikan Perdamaian. Hal ini penting untuk
mengembangkan pemahaman tentang konsep perdamaian. Perdamaian dan pendidikan
perdamaian saling berhubungan erat. Namun pendidikan perdamaian mengasumsikan
setidaknya visi konseptual. Banyak orang berpikir damai anya bersifat positif sebagai
ketenangan atau tidak adanya perang. Sebagai kondisi yang diperlukan untuk
kelangsungan hidup manusia, ini menunjukkan bahwa manusia menyelesaikan konflik
tanpa menggunakan kekerasan, dan itu merupakan cita-cita bahwa manusia telah lama
berjuang untuk mencapai kedamaian. Tetapi, konsep perdamian bisa berbeda-beda
tergantung konteks budaya di suatu tempat.
36
Ian Harris & M.L Morrison55
membagi konsep perdamaian dalam dua segi;
Positif dan Negatif. Dalam konotasi negatif, "perdamaian berarti menghentikan beberapa
bentuk kekerasan sedangkan dalam konotasi positif, perdamain melibatkan standar
keadilan, hidup seimbang dengan alam, dan berpartisipasi dalam keutuhan masyarakat.
Sebelum berbicara tentang Pedidikan Perdamian ada dua hal utama yang
mestinya dibahas dahulu. Yaitu Konsep tentang pendidikan dan konsep tentang
pendidikan perdamaian. Pendidikan secara umum dapat dikatakan sebagai proses
pengubahan sikap dan tatalaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan
mendidik. Sedangkan, pendidikan perdamaian dianggap sebagai suatu filosofi dan
sebagai suatu proses yang melibatkan keterampilan, termasuk mendengarkan, refleksi,
pemecahan masalah, kerjasama dan resolusi konflik. Proses berarti memberdayakan
masyarakat dengan keterampilan, sikap dan pengetahuan untuk menciptakan dunia di
mana konflik diselesaikan tanpa kekerasan dan membangun lingkungan yang
berkelanjutan. Sedangkan filosofi berarti mengajarkan tanpa kekerasan, cinta, kasih
sayang dan rasa hormat untuk semua kehidupan.
Pendidikan perdamaian berusaha mengubah struktur dan pola pemikiran.
Pendidikan perdamaian dapat disebut juga peacelearning, juga memiliki tujuan untuk
mendorong transformasi batin. Transformasi Batin dimaksudkan sebagai jalan
menciptakan kondisi yang tepat untuk membangun perubahan sosial. Berikut ini
diuraikan tujuan pendidikan perdamain56
:
55
Ian M. Harris & Mary Lee Morrison, Peace Education, (Jeferson, N,C: McFarland and Company,
2004), 13 56
Ibid., 11
37
1. Memberikan pengetahuan mengenai bahaya-bahaya kekerasan, dan mendorong
mereka untuk menarik kesimpulan tentang cara terbaik mencapai perdamaian.
2. Merekonstruksi budaya kekerasan dan mempromosikan nilai-nilai yang dipandang
sebagai hal penting bagi pembentukan masyarakat.
3. Mempromosikan penghormatan terhadap budaya yang berbeda dan membantu
mereka menghargai keragaman komunitas manusia.
4. Mempersiapkan agen-agen transformatif untuk perubahan sosial. Pendidikan
perdamaian dapat diajarkan dalam berbagai jenjang pendidikan formal dan non formal,
dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi dan seterusnya.