BAB II KMB B
Click here to load reader
-
Upload
susy-julianti -
Category
Documents
-
view
120 -
download
0
Transcript of BAB II KMB B
BAB II
PEMBAHASAN
A. ENSEFALITIS
1. Pengertian
Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh
bakteri cacing, protozoa, jamur, ricketsia atau virus (Kapita selekta kedokteran
jilid 2, 2000). Ensefalitis adalah infeksi yang mengenai sistem saraf pusat (SSP)
yang disebabkan oleh virus atau mikroorganisme lain yang nonpurulen
(Muttaqin, 2008).
Klasifikasi ensefalitis didasarkan pada faktor penyebabnya. Ensefalitis
supuratif akut dengan bakteri penyebab ensefalitis adalah Staphylococcus aureus,
Streptococcus, E. Colli, Mycobacterium, dan T. Pallidum. Sedangkan ensefalitis
virus dengan penyebabnya adalah virus RNA (Virus Parotitits), virus Morbili,
virus Rabies, virus Rubela, virus Dengue, virus Polio, Cockscakie A dan B,
Herpes Zoster, Herpes Simpleks, dan Varicella.
Kondisi ini dimana jaringan otak itu sendiri yang terinfeksi dan
meradang. Virus adalah penyebab yang paling umum. Virus tersebut sering
ditularkan oleh gigitan nyamuk.
Gambar. 1 a. Normal b. Abnormal
Penyebab tersering dari ensefalitis adalah virus kemudian herpes simpleks,
arbovirus, dan jarang disebabkan oleh enterovirus, mumps, dan adenovirus.
Ensefalitis bisa juga terjadi pascainfeksi campak, influenza, varicella, dan
pascavaksinasi pertusis.
2. Epidemiologi
Epidemiologi ensefalitis sangat bervariasi sesuai dengan faktor resiko
yang mempengaruhi masing-masing individu. Penyebab ensefalitis sendiri sangat
banyak, dari mulai virus , bakteri, jamur sampai dengan yang penyebabnya tidak
diketahui secara pasti. Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan, penyebab
ensefalitis terbanyak di Indonesia yaitu virus Japanese B ensefalitis.
Sebagaimana telah dilaporkan pada tahun 1998 hingga 1999 wabah
ensefalitis pada manusia telah terjadi di Malaysia. Hasil identifikasi CDC
menunjukkan bahwa kasus ensefalitis ini disebabkan oleh Japanese B
encephalitis.
Gambar 2. Epidemiologi Encephalitis di dunia
Di Indonesia, kasus ensefalitis pada manusia telah banyak dilaporkan,
tetapi penyebab ensefalitis tersebut masih belum banyak terungkap karena
sulitnya diagnosis dan keterbatasan perangkat diagnostik yang dapat
mendiagnosa antigen dan antibody virus yang menyebabkan ensefalitis pada
manusia. Sementara itu, penyakit ensefalitis di Indonesia sangat dikaitkan erat
dengan infeksi virus Japanese B encephalitis .
Di Indonesia Japanese B encephalitis telah banyak dilaporkan, baik secara
klinis, serologis, maupun isolasi virus. Gejala ensefalitis tidak dipengaruhi oleh
jenis kuman penyebab, karena semua mmanifestasi penyakit yang ditimbulkan
oleh berbagai kuman adalah sama. Hanya dapat dibedakan berdasarkan
anamnesa dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan.
3. Etiologi
a. Mikroorganisme : bakteri, protozoa, cacing, jamur, spirokaeta dan virus.
Macam-macam Encephalitis virus menurut Robin :
1) Golongan enterovirus, yaitu : Poliomyelitis, virus coxsackie, virus
ECHO.
2) Golongan virus ARBO, yaitu : Western equire encephalitis, St. louis
encephalitis, Eastern equire encephalitis, Japanese B. encephalitis,
Murray valley encephalitis.
b. Infeksi virus yang bersifat sporadic : rabies, herpes simpleks, herpes zoster,
limfogranuloma, mumps, limphotic, choriomeningitis dan jenis lain yang
dianggap disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.
c. Encephalitis pasca infeksio, pasca morbili, pasca varisela, pasca rubella,
pasca vaksinia, pasca mononucleosis, infeksious dan jenis-jenis yang
mengikuti infeksi traktus respiratorius yang tidak spesifik.
d. Reaksi toxin seperti pada thypoid fever, campak, chicken pox.
e. Keracunan : arsenic, CO.
5. Gejala Klinis Ensefalitis
Gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat,
dapat berlangsung akut dan perlahan-lahan. Masa prodromal berlangsung antara
1-4 hari. Pada umumnya pasien ensefalitis menunjukkan gejala seperti penyakit
meningitis namun tanpa disertai adanya tanda-tanda perangsangan meningeal.
Perangsangan meningeal dapat dijumpai jika telah melibatkan meningen, yang
disebut sebagai meningoensefalitis, diantaranya berupa :
a. Nyeri kepala
b. Demam
c. Penurunan kesadaran
d. Pusing, gangguan kognitif, perubahan tingkah laku
e. Kejang
f. Kelemahan anggota gerak, sampai dengan kelumpuhan
g. Munculnya tanda-tanda gangguan neurologis fokal bersamaan dengan
demam dan sakit kepala.
Gejala yang terjadi termasuk ditandai dengan tanda-tanda peningkatan
tekanan intracranial seperti sakit kepala yang sangat hebat, vertigo, mual, kejang
dan gangguan mental. Gejala lain yang mungkin terjadi yaitu, fotophobia,
gangguan sensorik dan kekakuan leher. Namun bedanya dengan meningitis, pada
ensefalitis tidak ditemukan adanya tanda-tanda perangsangan meningeal berupa
kaku kuduk, brudziski I & II, ataupun kernig.
B. MENINGITIS
1. Pengertian
Secara anatomi meningen menyelimuti otak dan medulla spinalis. Selaput
otak terdiri atas tiga lapisan dari luar ke dalam yaitu duramater, arakhnoid, dan
piamater. Duramater terdiri atas lapisan yang berfungsi kecuali di dalam tulang
tengkorak, di mana lapisan terluarnya melekat pada tulang dan terdapat sinus
venosus.
Gbr. 3 Anatomi Pembungkus Otak
Falks serebri adalah lapisan vertikal duramater yang memisahkan kedua
hemisfer serebri pada garis tengah. Tentorium serebri adalah ruang horizontal
dari duramater yang memisahkan lobus oksipitalis dari serebellum. Arakhnoid
merupakan membran lembut yang bersatu di tempatnya dengan piamater ,
diantaranya terdapat ruang subarachnoid di mana terdapat arteri dan vena serebri
dan dipenuhi oleh cairan serebrospinal. Sisterna magna adalah bagian terbesar
dari ruang subarachnoid di sebelah belakang otak belakang, memenuhi celah di
antara serebellum dan medulla oblongata.
Piamater merupakan membran halus yang kaya akan pembuluh darah
kecil yang menyuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak. Piamater adalah
lapisan yang langsung melekat dengan permukaan otak dan seluruh medulla
spinalis.
Gambar 4. Lapisan pembungkus otak
Secara ringkas pengertian dari meningitis adalah radang pada meningen/
membran (selaput) yang mengelilingi otak dan medulla spinalis (Muttaqin,
2008). Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi
otak dan medulla spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ
jamur (Smeltzer & Bare, 2001). Meningitis adalah peradangan pada selaput
meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses
infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001).
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai
piameter (lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang
lebih ringan mengenai jaringan otak dan medulla spinalis yang superficial.
Meningitis diklasifikasikan menjadi, meningitis asepsis, sepsis dan
tuberkulosa. Meningitis aseptik mengacu pada salah satu meningitis virus atau
menyebabkan iritasi meningen yang disebabkan oleh abses otak, ensefalitis,
limfoma, leukimia, atau darah di ruang subarachnoid. Meningitis sepsis
menunjukkan meningitis yang disebabkan oleh organisme bakteri seperti
meningokokus, stafilokokus atau bacillus influenza. Meningitis tuberkulosa
disebabkan oleh basilus tuberkel (Smeltzer & Bare, 2001).
2. Epidemiologi
Umur dan daya tahan tubuh sangat mempengaruhi terjadinya meningitis.
Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dan
distribusi terlihat lebih nyata pada bayi. Meningitis purulenta lebih sering terjadi
pada bayi dan anak-anak karena sistem kekebalan tubuh belum terbentuk
sempurna.
Puncak insidensi kasus meningitis karena Haemophilus influenza di
negara berkembang adalah pada anak usia kurang dari 6 bulan, sedangkan di
Amerika Serikat terjadi pada anak usia 6-12 bulan. Sebelum tahun 1990 atau
sebelum adanya vaksin untuk Haemophilus influenza tipe b di Amerika Serikat,
kira-kira 12.000 kasus meningitis Hib dilaporkan terjadi pada umur < 5 tahun.
Insiden Rate pada usia < 5 tahun sebesar 40-100 per 100.000. Setelah 10 tahun
penggunaan vaksin, Insiden Rate menjadi 2,2 per 100.000. Di Uganda (2001-
2002) Insiden Rate meningitis Hib pada usia < 5 tahun sebesar 88 per 100.000.
Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosio-
ekonomi rendah, lingkungan yang padat (seperti asrama, kamp-kamp tentara dan
jemaah haji), dan penyakit ISPA. Penyakit meningitis banyak terjadi pada negara
yang sedang berkembang dibandingkan pada Negara maju.
Meningitis di daerah Afrika sub-Sahara memiliki pola epidemiologis
yang khusus. Daerah ini yang sering disebut juga sebagai meningitis belt meliputi
kurang lebih 10 negara di antaranya adalah Burkina Faso, Ghana, Togo, Benin,
Niger, Nigeria, Chad, Cameroon, Republik Afrika Tengah, dan Sudan. Di daerah
ini, infeksi meningokok yang disebabkan oleh serogrup A timbul secara berulang
setiap tahun sebagai suatu gelombang. Kejadian meningitis lebih sering terjadi
pada musim panas dimana kasus-kasus infeksi saluran pernapasan juga
meningkat. Derajat serangan penyakit meningkat pada akhir musim kering dan
secara cepat menurun setelah musim hujan mulai. Pada saat puncak terjadinya
epidemik, insidens penyakit dapat mencapai 1000/100.000 penduduk. Di Eropa
dan Amerika utara insidensi infeksi Meningococcus lebih tinggi pada musim
dingin dan musim semi.
3. Etiologi
Meningitis diklasifikasikan sesuai dengan faktor penyebabnya :
a. Asepsis
Meningitis asepsis mengacu pada salah satu meningitis virus atau
menyebabkan iritasi meningen yang disebabkan oleh abses otak,
ensefalitis, limfoma, leukemia, atau darah di ruang subarachnoid.
b. Sepsis
Meningitis sepsis menunjukkan meningitis yang disebabkan oleh
organisme bakteri seperti meningokokus, stafilokokus, atau basilus
influenza.
c. Tuberkulosa
Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh basilus tuberkel.
Infeksi meningen umumnya dihubungkan dengan satu atau dua jalan,
yaitu melalui salah satu aliran darah sebagai konsekuensi dari infeksi-infeksi
bagian lain, seperti selulitis, atau melalui penekanan langsung seperti didapat
setelah cedera traumatic tulang wajah. Dalam jumlah kecil pada beberapa kasus
merupakan iatrogenic atau hasil sekunder prosedur invasive (seperti lumbal
pungsi) atau alat-alat invasive (seperti alat pemantau TIK).
5. Gejala Klinis Meningitis
Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas mendadak,
letargi, muntah dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
cairan serebrospinal (CSS) melalui pungsi lumbal.
Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih
serta rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis yang
disebabkan oleh Mumpsvirus ditandai dengan gejala anoreksia dan malaise,
kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjar parotid sebelum invasi kuman ke
susunan saraf pusat. Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai
dengan keluhan sakit kepala, muntah, sakit tenggorokan, nyeri otot, demam, dan
disertai dengan timbulnya ruam makopapular yang tidak gatal di daerah wajah,
leher, dada, badan, dan ekstremitas. Gejala yang tampak pada meningitis
Coxsackie virus yaitu tampak lesi vasikuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah
dan pada tahap lanjut timbul keluhan berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku
leher, dan nyeri punggung.
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat
pernapasan dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara
akut dengan gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernapasan, kejang,
nafsu makan berkurang, dehidrasi dan konstipasi, biasanya selalu ditandai
dengan fontanella yang mencembung. Kejang dialami lebih kurang 44% anak
dengan penyebab Haemophilus influenza, 25% oleh Streptococcus pneumonia,
21% oleh Streptococcus, dan 10% oleh infeksi Meningococcus. Pada anak-anak
dan dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernapasan bagian atas,
penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat,
malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur,
keruh atau purulen.
Iritasi meningen, mengakibatkan sejumlah tanda yang mudah dikenali
yang umumnya terlihat pada semua tipe meningitis. Rigiditas nukal (kaku leher)
adalah tanda awal. Adanya upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran
karena adanya spasme otot-otot leher. Fleksi paksaan menyebabkan nyeri berat.
Tanda kerinig positif, ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadaan
fleksi ke arah abdomen, kaki tidak dapat diekstensi sempurna. Tanda Brudzinski,
bila leher pasien difleksikan maka hasilya fleksi lutut dan pinggul, bila dilakukan
fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah saatu sisi, maka gerakan yang
sama terlihat pada sisi ekstremitas yang berlawanan.
Kejang dan peningkatan TIK juga berhubungan dengan meningitis.
Kejang terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yang peka. Tanda-tanda
peningkatan TIK sekunder akibat eksudat purulendan edema serebral terdiri dari
perubahan karakteristik tanda-tanda vital, pernafasan tidak teratur, sakit kepala,
muntah dan penurunan tingkat kesadaran. Adanya Ruam merupakan salah satu
ciri yang menyolok pada meningitis meningokokal.
Infeksi fulminating terjadi sekitar 10% pasien dengan meningitis
meningokokus, dengan tanda-tanda septikemia, demam tinggi yang tiba-tiba
muncul, lesi purpura yang menyebar (sekitar wajah dan ekstremitas) syok dan
tanda-tanda koagulopati intravaskuler diseminata (KID). Kematian mungkin
terjadi dalam beberapa jam setelah serangan infeksi.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
ENSEFALITIS DAN MENINGITIS
A. ENSEFALITIS
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan ensefalitis meliputi anamnesis riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial (pada
anak perlu dikaji dampak hospitalisasi).
a. Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa
anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah kejang disertai
penurunan kesadaran.
Riwayat penyakit saat ini
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk mengetahui
jenis kuman penyebab. Di sini harus ditanya dengan jelas tentang gejala
yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk.
Pada pengkajian klien ensefalitis biasanya didapatkan keluhan yang
berhubungan dengan akibat dari infeksi dan peningkatan TIK. Keluhan
gejala awal yang sering adalah sakit kepala dan demam. Sakit kepala
disebabkan ensefalitis yang berat dan sebagai akibat iritasi otak. Demam
umumnya ada dan tetap tinggi selama perjalanan penyakit.
Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih
mendalam, bagaimana sifat timbulnya kejang, stimulus apa yang sering
menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang telah diberikan dalam upaya
menurunkan keluhan kejang tersebut.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan
ensefalitis bakteri. Disorientasi dan gangguan memori biasanya merupakan
awal adanya penyakit. Perubahan yang terjadi bergantung pada beratnya
penyakit, demikian pula respons individu terhadap proses fisiologis.
Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan
penyakit, dapat terjadi latergi, tidak responsive, dan koma.
Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang menjadi predisposisi
keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami campak, cacar air,
herpes, dan bronkopneumonia. Pengkajian pada anak mungkin didapatkan
riwayat menderita penyakit yang disebabkan oleh virus seperti virus
influenza, varicella, adenovirus, kokssakie, echovirus atau parainfluenza,
infeksi bakteri, parasit satu sel, cacing, fungus, riketsia.
Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien seperti
pemakaian obat kortikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotic dan
reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik) dapat
meningkatkan komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat ini dapat
mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan
dasar untuk mengkaji lebih jauh serta untuk memberikan tindakan
selanjutnya.
b. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien ensefalitis meliputi beberapa penilaian yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai
status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping
yang digunakan klien juga penting untuk menilai respon emosi klien
terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-harinya baik dalam keluarga maupun masyarakat. Apakah ada
dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul seperti ketakutan akan
kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra
tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa
digunakan klien selama masa stres meliputi kemampuan klien untuk
mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan
perubahan prilaku akibat stres.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi
dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan
memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasikkan pengkajian
terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan
terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji
terdiri atas dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit
neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana
pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di
dalam sistem dukungan individu.
c. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per sistem (B1-
B6) dengan fokus pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Pemeriksaan fisik dimulai dengan memeriksa tanda-tanda vital (TTV).
Pada klien ensefalitis biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih
dari normal, yaitu 39-410C. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan
proses inflamasidari selaput otak yang sudah mengganggu pusat pengatur
suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-
tanda peningkatan TIK. Apabila disertai peningkatan frekuensi pernapasan
sering berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan
adanya infeksi pada sistem pernapasan sebelum mengalami ensefalitis.
Tekanan darah biasanya normal atau meningkat karena tanda-tanda
peningkatan TIK.
1) B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan
otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering
didapatkan pada klien ensefalitis yang disertai adanya gangguan pada
sistem pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan
kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan
ensefalitis berhubungan akumulasi secret ddari penurunan kesadaran.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok)
hipovolemik yang sering terjadi pada klien ensefalitis.
3) B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
Tingkat kesadaran
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien ensefalitis biasanya berkisar
pada tingkat latergi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah
mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai
tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk memantau pemberian
asuhan keperawatan.
Fungsi serebri
Status mental: obseravasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai
gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik.
Pada klien ensefalitis tahap lanjut biasanya status mental klien
mengalami perubahan.
Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I. Fungsi penciuman biasanya tidak ada kelainan pada klien
ensefalitis.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan
papiledema mungkin didapatkan terutama pada ensefalitis supuratif
disertai abses serebri dan efusi subdural yang menyebabkan terjadinya
peningkatan TIK.
Saraf III, IV, dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada klien
ensefalitis yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya tanpa
kelainan. Pada tahap lanjut ensefalitis yang telah mengganggu
kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan reaksi pupil akan
didapatkan. Dengan alasan yang tidak diketahui, klien ensefalitis
mengeluh mengalami fotofobia atau sensitive yang berlebihan terhadap
cahaya.
Saraf V. Pada klien ensefalitis didapatkan paralisis pada otot sehingga
mengganggu proses mengunyah.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris
karena adanya paralisis unilateral.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik sehingga
mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Adanya usaha dari klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk.
Saraf XI. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
Sistem motorik
Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada
ensefalitis tahap lanjut mengalami perubahan.
Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau
periosteum derajat refleks pada respon normal. Refleks patologis akan
didapatkan pada klien ensefalitis dengan tingkat kesadaran koma.
Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, Tic, dan distonia. Pada keadaan
tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada anak
dengan ensefalitis disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang
dan peningkatan TIK juga berhubungan dengan ensefalitis. Kejang
terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.
Sistem sensorik
Pemeriksaan sensorik pada ensefalitis biasanya didapatkan perasaan
raba normal, perasaan nyeri normal, perasaan suhu normal, tidak ada
perasaan abnormal di permukaan tubuh, perasaan proprioseptif normal,
dan diskriminatif normal.
Peradangan pada selaput otak mengakibatkan sejumlah tanda yang
mudah dikenali pada ensefalitis. Tanda tersebut adalah kaku kuduk,
yaitu ketika adanya upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran
karena adanya spasme otot-otot leher.
4) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume haluaran urin, hal ini berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
5) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien ensefalitis menurun karena
anoreksia dan adanya kejang.
6) B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan
mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari
klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.
2. Diagnosis Keperawatan
a. Gangguan perfusi jaringan serebri berhubungan dengan peningkatan
intakranial.
b. Gangguan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekret,
kemampuan batuk menurun penurunan kesadaran.
c. Risiko tinggi defisit cairan dan hipovolemik.
d. Nyeri berhubungan dengan adanya iritasi lapisan otak.
e. Risiko tinggi gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan menelan, keadaan hipermetabolik.
f. Gangguan eliminasi.
g. Risiko tinggi cedera berhubungan dengan kejang, perubahan status mental,
dan penurunan tingkat kesadaran.
h. Risiko kejang berulang.
i. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular,
penurunan kekuatan otot, penurunan kesadaran, kerusakan persepsi/
kognitif.
j. Gangguan persepsi sensorik berhubungan dengan kerusakan penerima
rangsang sensorik, transmisi sensorik, dan integrasi sensori.
k. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan prognosis penyakit,
perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, perubahan aktual
dalam struktur dan fungsi, ketidakberdayaan, dan merasa tidak ada
harapan.
3. Intevensi Keperawatan
a. Gangguan perfusi jaringan serebri berhubungan dengan peningkatan
intakranial.
Data penunjang : Malaise, pusing, nausea, muntah, iritabilitas, kejang,
kesadaran menurun, bingung, delirium, koma.
Perubahan refleks-refleks, tanda-tanda aneurologis,
fokal pada meningitis, tanda-tanda peningkatan tekanan
intracranial (bradikardi, tekanan darah meningkat),
nyeri kepala hebat.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan intervensi
perfusi jaringan otak meningkat.
Kriteria hasil : Tingkat kesadaran meningkat menjadi sadar,
disorientasi negative, konsentrasi baik, perfusi jaringan
dan oksigenasi baik, tanda-tanda vital dalam batas
normal, dan syok dapat dihindari.
Intervensi Rasionalisasi
Monitor klien dengan ketat terutama
setelah lumbal pungsi. Anjurkan klien
Untuk mencegah nyeri kepala yang
menyertai perubahan tekanan
berbaring minimal 4-6 jam setelah
lumbal pungsi.intrakranial
Monitor tanda-tanda peningkatan
tekanan intracranial selama perjalanan
penyakit (nadi lambat, tekanan darah
meningkat, kesadaran menurun, napas
irregular, refleks pupil menurun,
kelemahan).
Untuk mendeteksi tanda-tanda syok,
yang harus dilaporkan ke dokter
untuk intervensi awal.
Monitor tanda-tanda vital dan
neurologis tiap 5-30 menit. Catat dan
laporkan segera perubahan-perubahan
tekanan intracranial ke dokter.
Perubahan-perubahan ini
menandakan ada perubahan tekanan
intracranial dan penting untuk
intervensi awal.
Hindari posisi tungkai ditekuk atau
gerakan-gerakan klien, anjurkan untuk
tirah baring.
Untuk mencegah peningkatan
tekanan intracranial.
Tinggikan sedikit kepala klien dengan
hati-hati, cegah gerakan yang tiba-tiba
dan tidak perlu dari kepala dan leher,
hindari fleksi leher.
Untuk mengurangi tekanan
intracranial.
Bantu klien aktivitas dan gerakan-
gerakan klien. Beri petunjuk untuk BAB
(jangan enema). Anjurkan klien untuk
menghembuskan napas dalam bila
miring dan bergerak di tempat tidur.
Cegah posisi fleksi pada lutut.
Untuk mencegah keregangan otot
yang dapat menimbulkan
peningkatan tekanan intracranial.
Waktu prosedur perawatan disesuaikan
dan diatur tepat waktu dengan periode
relaksasi; hindari rangsangan
Untuk mencegah eksitasi yang
merangsang otak yang sudah iritasi
dan dapat menimbulkan kejang
lingkungan yang tidak perlu.
Beri penjelasan keadaan lingkungan
pada klien.
Untuk mengurangi disorientasi dan
untuk klarifikasi persepsi sensorik
yang terganggu.
Evaluasi selama masa penyembuhan
terhadap gangguan motorik, sensorik,
dan intelektual.
Untuk merujuk ke rehabilitasi.
Kolaborasi pemberian steroid osmotic. Untuk menurunkan tekanan
intracranial.
b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi
sekret, kemampuan batuk menurun penurunan kesadaran.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan tindakan,
jalan napas kembali efektif.
Kriteria hasil : Secara subjektif sesak napas (-), frekuensi napas 16-
20x/ menit, tidak menggunakan otot bantu napas,
retriksi ICS (-), ronkhi (-/-), dapat mendemonstrasikan
cara batuk efektif.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas
tambahan, perubahan irama dan
kedalaman, peggunaan otot-otot
aksesoris, warna, dan kekentalan
sputum.
Memantau dan mengatasi komplikasi
potensial. Pengkajian fungsi
pernapasan dengan interval yang
teratur adalah penting karena
pernapasan yang tidak efektif dan
adanya kegagalan, akibat adanya
kelemahan atau paralisis pada otot-
otot interkostal dan diafragma
berkembang dengan cepat.
Atur posisi fowler dan semifowler. Peninggian kepala tempat tidur
memudahkan pernapasan,
meningkatkan ekspansi dada, dan
meningkatkan batuk lebih cepat.
Ajarkan cara batuk efektif. Klien berada pada risiko tinggi bila
tidak dapat batuk dengan efektif
untuk membersihkan jalan napas dan
mengalami kesulitan dalam menelan,
sehingga menyebabkan aspirasi
saliva dan mencetuskan gagal napas
akut.
Lakukan fisioterapi dada; vibrasi dada. Terapi fisik dada membantu
meningkatkan batuk lebih efektif.
Pemenuhan hidrasi cairan via oral
seperti minum air putih dan pertahankan
asupan cairan 2500 ml/hari.
Pemenuhan cairan dapat
mengencerkan mukus yang kental
dan dapat membantu pemenuhan
cairan yang banyak keluar dari
tubuh.
Lakukan pengisapan lendir di jalan
napas.
Pengisapan mungkin diperlukan
untuk mempertahankan kepatenan
jalan napas menjadi bersih.
c. Risiko tinggi gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan menelan, keadaan hipermetabolik.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi dalam waktu 5 x 24
jam.
Kriteria hasil : Turgor baik, asupan dapat masuk sesuai kebutuhan,
terdapat kemampuan menelan, sonde dilepas, berat
badan meningkat 1 kg, Hb dan albumin dalam batas
normal.
Intervensi Rasionalisasi
Observasi tekstur dan turgor kulit. Mengetahui status nutrisi klien.
Lakukan oral hygiene. Kebersihan mulut merangsang nafsu
makan.
Observasi asupan dan keluaran. Mengetahui keseimbangan nutrisi
klien
Observasi posisi dan kebersihan sonde. Untuk menghindari risiko infeksi/
iritasi.
Tentukan kemampuan klien dalam
mengunyah, menelan, dan refleks batuk.
Untuk menetapkan jenis makanan
yang akan diberikan pada klien.
Kaji kemampuan klien dalam menelan,
batuk, dan adanya sekret.
Dengan mengkaji faktor-faktor
tersebut dapat menentukan
kemampuan menelan klien dan
mencegah risiko aspirasi.
Auskultasi bising usus, amati penurunan
atau hiperaktivitas bising usus.
Fungsi gastrointestinal bergantung
pada kerusakan otak. Bising usus
menentukan respons pemberian
makan atau terjadinya komplikasi
misal pada ileus.
Timbang berat badan sesuai indikasi. Untuk mengevaluasi efektivitas
asupan makanan.
Berikan makanan dengan cara
meninggikan kepala.
Menurunkan risiko regurgitasi atau
aspirasi.
Letakkan posisi kepala lebih tinggi pada Untuk klien lebih mudah menelan
waktu, selama dan sesudah makan. karena gaya gravitasi.
Kolaborasi dengan tim dokter untuk
memberikan cairan melalui IV atau
makanan melalui selang.
Mungkin diperlukan untuk
memberikan cairan pengganti dan
juga makanan jika klien tidak
mampu untuk memasukkan segala
sesuatu melalui mulut.
d. Nyeri kepala berhubungan dengan iritasi lapisan otak.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam keluhan nyeri berkurang/ rasa
sakit terkendali.
Kriteria hasil : Klien dapat tidur dengan tenang, wajah rileks, dank lien
memverbalisasikan penurunan rasa sakit.
Intervensi Rasionalisasi
Usahakan membuat lingkungan aman
dan tenang
Menurunkan reaksi terhadap
rangsangan eksternal atau
kesensitifan terhadap cahaya dan
menganjurkan klien untuk
berinstirahat.
Kompres dingin (es) pada kepala Dapat menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah otak
Lakukan penatalaksanaan nyeri dengan
metode distraksi dan relaksasi napas
dalam.
Membantu menurunkan
(memutuskan) stimulasi sensasi
nyeri.
Lakukan latihan gerak aktif atau pasif
sesuai kondisi dengan lembut dan hati-
hati.
Data membantu relaksasi otot-otot
yang tegang dan dapat menurunkan
nyeri/ rasa tidak nyaman.
Kolaborasi pemberian analgesik. Mungkin diperlukan untuk
menurunkan rasa sakit.
Catatan: Narkotika merupakan
kontraindikasi karena berdampak
pada status neurologis sehingga
sukar untuk dikaji.
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular,
penurunan kekuatan otot, penurunan kesadaran, kerusakan persepsi/
kognitif.
Tujuan : Tidak terjadi kontraktur, footdrop, gangguan integritas
kulit, fungsi pencernaan dan kandung kemih optimal,
serta peningkatan kemampuan fisik.
Kriteria hasil : Skala ketergantungan klien meningkat menjadi bantuan
minimal.
Intervensi Rasionalisasi
Tinjau kemampuan fisik dan kerusakan
yang terjadi.
Mengidentifikasi kerusakan fungsi
dan menentukan pilihan intervensi.
Kaji tingkat imobilisasi, gunakan skala
tingkat ketergantungan.
Tingkatkan ketergantungan minimal
care (hanya memerlukan bantuan
minimal), oartial care (memerlukan
bantuan sebagian), dan total care
(memerlukan bantuan komplit dari
perawat dank lien yang memerlukan
pengawasan khusus karena risiko
cedera yang tinggi).
Berikan perubahan posisi yang teratur Perubahan posisi teratur dapat
pada klien. mendistribusikan berat badan secara
menyeluruh dan memfasilitasi
peredaran darah serta mencegah
dekubitus.
Pertahankan kesejajaran tubuh yang
adekuat, berikan latihan ROM pasif jika
klien sudah bebas panas dan kejang.
Mencegah terjadinya kontraktur atau
footdrop serta dapat mempercepat
pengembalian fungsi tubuh nantinya.
Berikan perawatan kulit secara adekuat,
lakukan masase, ganti pakaian klien
dengan bahan linen, dan pertahankan
tempat tidur dalam keadaan kering.
Memfasilitasi sirkulasi dan
mencegah gangguan integritas kulit.
Berikan perawatan mata, bersihkan
mata, dan tutup dengan kapas yang
basah sesekali.
Melindungi mata dari kerusakan
akibat terbukanya mata terus-
menerus.
Kaji adanya nyeri, kemerahan, bengkak
pada area kulit.
Indikasi adanya kerusakan kulit.
B. MENINGITIS
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan meningitis meliputi anamnesis riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial (pada
anak perlu dikaji dampak hospitalisasi).
a. Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa
anaknya meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang
dan penurunan tingkat kesadaran.
Riwayat penyakit saat ini
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui untuk mengetahui jenis
kuman penyebab. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang
timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada
pengkajian klien meningitis, biasanya didapatkan keluhan yang
berhubungan dengan akibat dari infeksi dan peningkatan TIK.
Keluhan gejala awal tersebut biasanya sakit kepala dan demam. Sakit
kepala dihubungkan dengan meningitis yang selalu berat dan sebagai
akibat iritasi meningen. Demam umumnya ada dan tetap tinggi selama
perjalanan penyakit. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk
dilakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat timbulnya kejang,
stimulus apa yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang telah
diberikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan
dengan meningitis bakteri. Disorientasi dan gangguan memori biasanya
merupakan awal adanya penyakit. Perubahan yang terjadi bergantung pada
beratnya penyakit, demikian pula respon individu terhadap proses
fisiologis. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan koma.
Pengkajian lainnya yang perlu ditanyakan seperti riwayat selama
menjalani perawatan di RS, pernahkah menjalani tindakan invasif yang
memungkinkan masuknya kuman ke meningen terutama melalui pembuluh
darah
Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernahkah klien mengalami infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media,
mastoiditis, anemia sel sabit, dan hemoglobinopatis lain, tindakan bedah
saraf, riwayat trauma kepala, dan adanya pengaruh immunologis pada masa
sebelumnya. Riwayat sakit TB paru perlu ditanyakan pada klien terutama
apabila ada keluhan batuk produktif dan pernah menjalani pengobatan obat
antituberkulosis yang sangat berguna untuk mengidentifikasi meningitis
tuberkulosa. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien,
seperti pemakaian obat kortikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan
reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah
komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung
pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk
mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
b. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien meningitis meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai
status emosi, kognitif, dan prilaku klien. Sebagian besar pengkajian ini
dapat diselesaikan melalui interaksi menyeluruh dengan klien dalam
pelaksanaan pengkajian lain dengan member pertanyaan dan tetap
melakukan pengawasan sepanjang waktu untuk menentukan kelayakan
ekspresi emosi dan pikiran. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan
klien juga penting untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit
yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-
harinya baik dalam keluarga maupun masyarakat. Apakah ada dampak
yang timbul pada klien, yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal,
dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa
digunakan klien selama masa stres meliputi kemampuan klien untuk
mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan
perubahan prilaku akibat stres.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi
dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan
memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasikkan pengkajian
terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan
terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji
terdiri atas dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit
neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana
pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di
dalam sistem dukungan individu.
c. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per sistem (B1-
B6) dengan focus pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Pemeriksaan fisik dimulai dengan memeriksa tanda-tanda vital (TTV).
Pada klien meningitis biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih
dari normal, yaitu 38-410C, dimulai dari fase sistemik, kemerahan, panas,
kulit kering, berkeringat. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses
inflamasi dan iritasi meningen yang sudah mengganggu pusat pengatur
suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-
tanda peningkatan TIK. Apabila disertai peningkatan frekuensi pernapasan
sering berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan
adanya infeksi pada sistem pernapasan sebelum mengalami meningitis.
Tekanan darah biasanya normal atau meningkat karena tanda-tanda
peningkatan TIK.
1) B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan
otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering
didapatkan pada klien meningitis yang disertai adanya gangguan pada
sistem pernapasan. Palpasi thoraks hanya dilakukan apabila terdapat
deformitas pada tulang dada klien dengan efusi pleura masif (jarang
terjadi pada klien dengan meningitis). Auskultasi bunyi napas tambahan
seperti ronkhi pada klien dengan meningitis tuberkulosa dengan
penyebaran primer dari paru.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular terutama dilakukan pada klien
meningitis pada tahap lanjut seperti apabila klien sudah mengalami
renjatan (syok). Infeksi fulminating terjadi pada sekitar 10% klien
dengan meningitis meningokokus, dengan tanda-tanda septicemia:
demam tinggi yang tiba-tiba mincul, lesi purpura yang menyebar
(sekitar wajah dan ekstrimitas), syok, dan tanda-tanda koagulasi
intravaskular diseminata (disseminated intravascular coagulation –
DIC). Kematian mungkin terjadi dalam beberapa jam setelah serangan
infeksi.
3) B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
Tingkat kesadaran
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar
dan parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian.
Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa
sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam
kewaspadaan dan kesadaran.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien meningitis biasanya
berkisar pada tingkat latergi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien
sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk
menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk memantau
pemberian asuhan keperawatan.
Fungsi serebri
Status mental: obseravasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai
gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik
yang pada klien meningitis tahap lanjut biasanya status mental klien
mengalami perubahan.
Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I. Biasanya pada klien meningitis tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman normal.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan
papiledema mungkin didapatkan terutama pada meningitis supuratif
disertai abses serebri dan efusi subdural yang menyebabkan terjadinya
peningkatan TIK berlangsung lama.
Saraf III, IV, dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada klien
meningitis yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya tanpa
kelainan. Pada tahap lanjut meningitis yang telah mengganggu
kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan reaksi pupil akan
didapatkan. Dengan alasan yang tidak diketahui, klien meningitis
mengeluh mengalami fotofobia atau sensitif yang berlebihan terhadap
cahaya.
Saraf V. Pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan paralisis
pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan baik.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Adanya usaha dari klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk
(rigiditas nukal).
Saraf XI. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
Sistem motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada
meningitis tahap lanjut mengalami perubahan.
Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau
periosteum derajat refleks pada respon normal. Refleks patologis akan
didapatkan pada klien meningitis dengan tingkat kesadaran koma.
Adanya refleks Babinski (+) merupakan tanda adanya lesi UMN.
Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kedutan saraf, dan distonia. Pada
keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada
anak dengan meningitis disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi.
Kejang dan peningkatan TIK juga berhubungan dengan meningitis.
Kejang terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.
Sistem sensorik
Pemeriksaan sensorik pada meningitis biasanya didapatkan sensasi raba,
nyeri, dan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan
tubuh. Sensasi proprioseptif dan diskriminatif normal.
Pemeriksaan fisik lainnya terutama yang berhubungan dengan
peningkatan TIK. Tanda-tanda peningkatan TIK sekunder akibat
eksudat purulen dan edema serebri terdiri atas perubahan karakteristik
tanda-tanda vital (melebarnya tekanan pulsa dan bradikardia),
pernapasan tidak teratur, sakit kepala, muntah, dan penurunan tingkat
kesadaran.
4) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume haluaran urin, hal ini berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
5) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah karena peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia dan
adanya kejang.
6) B6 (Bone)
Adanya bengkak dan nyeri pada sensi-sendi besar (khususnya lutut dan
pergelangan kaki). Ptekia dan lesi purpura yang didahului oleh ruam.
Pada peyakit yang berat dapat ditemukan ekimosis yang besar pada
wajah dan ekstremitas. Klien sering mengalami penurunan kekuatan otot
dan kelemahan fisik secara umum sehingga mengganggu aktivitas hidup
sehari-hari (ADL).
d. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik rutin pada klien meningitis meliputi laboratorium
klinik rutin (Hb, leukosit, LED, trombosit, retikulosit, glukosa).
Pemeriksaan faal hemostasis diperlukan untuk mengetahui secara awal
adanya DIC. Serum elektrolit dan serum glukosa dinilai untuk
mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan elektrolit terutama
hiponatremia.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisis cairan
otak. Lumbal pungsi tidak bisa dikerjakan pada klien dengan peningkatan
tekanan intrakranial. Analisis cairan otak diperiksa untuk mengetahui
jumlah sel, protein, dan konsentrasi glukosa. Kadar glukosa darah
dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya, kadar glukosa
cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum serum glukosa dan paada klien
meningitis kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal.
Pemeriksaan lainnya diperlukan sesuai klinis klien meliputi foto Rontgen
paru, CT scan kepala. CT scan dilakukan untuk menentukan adanya
edema serebri atau penyakit saraf lainnya. Hasilnya biasanya normal,
kecuali pada penyakit yang sudah sangat parah.
Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis lebih bersifat mengatasi etiologi dan perawat perlu
menyesuaikan dengan standar pengobatan sesuai tempat bekerja yang
berguna sebagai bahan kolaborasi dengan tim medis. Secara ringkas
penatalaksanaan pengobatan meningitis meliputi:
Pemberian antibiotic yang mampu melewati brier darah otak ke ruang
subarachnoid dalam konsentrasi yang cukup untuk menghentikan
perkembangbiakan bakteri. Biasanya menggunakan sefaloposforin generasi
keempat atau sesuai dengan hasil uji resistensi antibiotic agar pemberian
antimikroba lebih efektif digunakan. Obat anti-infeksi (meningitis
tuberkulosa):
1) Isoniazid 10-20 mg/kgBB/24 jam, oral, 2x sehari maksimal 500 mg
selama 1,5 tahun.
2) Rifampisin 10-15 mg/kgBB/24 jam, oral, 1x sehari selama 1 tahun.
3) Streptomisin sulfat 20-40 mg/kgBB/24 jam, IM, 1-2x sehari selama 3
bulan.
Obat ati-infeksi (meningitis bacterial):
1) Sefalosporin generasi ketiga.
2) Amfisilin 150-200 mg (400mg)/kgBB/24 jam, IV, 4-6x sehari.
3) Kloramfenikol 50 mg/kgBB/24 jam IV 4x sehari.
Pengobatan simtomatis:
1) Antikonvulsi, Diazepam IV; 0,2-0,5 mg/kgBB/dosis, atau rektal: 0,4-
0,6 mg/kgBB, atau Fenitoin 5 mg/kgBB/24 jam. 3x sehari atau
Fenobarbital 5-7 mg/kgBB/24 jam, 3x sehari.
2) Antipiretik: parasetamol/ asam salisilat 10 mg/kgBB/dosis.
3) Antiedema serebri: Diuretik osmotic (seperti manitol) dapat digunakan
untuk mengobati edema serebri.
4) Pemenuhan oksigenasi dengan O2.
5) Pemeuhan hidrasi atau pencegahan syok hipovolemik: pemberian
tambahan volume cairan intravena.
2. Diagnosis Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan peradangan dan
edema pada otak dan selaput otak.
b. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan infeksi
meningokokus.
c. Hipertermia berhubungan dengan inflamasi pada meningen dan
peningkatan metabolisme umum.
d. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan perubahan tingkat
kesadaran, depresi pusat napas di otak.
e. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi
sekret, penurunan kemampuan batuk, dan perubahan tingkat kesadaran.
f. Risiko tinggi defisit cairan tubuh berhubungan dengan muntah dan demam.
g. Nyeri kepala berhubungan dengan iritasi selaput dan jaringan otak.
h. Risiko tinggi cedera berhubungan dengan adanya kejang berulang, fiksasi
kurang optimal.
i. Risiko peningkatan TIK berhubungan dengan peningkatan volume
intracranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
j. Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik
umum.
3. Intervensi Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan peradangan dan
edema pada otak dan sel otak.
Data penunjang : Malaise, pusing, nausea, muntah, iritabilitas, kejang,
kesadaran menurun, bingung, delirium, koma.
Perubahan refleks-refleks, tanda-tanda neurologis, fokal
pada meningitis, tanda-tanda peningkatan tekanan
intracranial (bradikardi, tekanan darah meningkat),
nyeri kepala hebat.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan intervensi
perfusi jaringan otak meningkat.
Kriteria hasil : Tingkat kesadaran meningkat menjadi sadar,
disorientasi negative, konsentrasi baik, perfusi jaringan
dan oksigenasi baik, tanda-tanda vital dalam batas
normal, dan syok dapat dihindari.
Intervensi Rasionalisasi
Monitor klien dengan ketat terutama
setelah lumbal pungsi. Anjurkan klien
berbaring minimal 4-6 jam setelah
Untuk mencegah nyeri kepala yang
menyertai perubahan tekanan
intrakranial
lumbal pungsi.
Monitor tanda-tanda peningkatan
tekanan intracranial selama perjalanan
penyakit (nadi lambat, tekanan darah
meningkat, kesadaran menurun, napas
irregular, refleks pupil menurun,
kelemahan).
Untuk mendeteksi tanda-tanda syok,
yang harus dilaporkan ke dokter
untuk intervensi awal.
Monitor tanda-tanda vital dan
neurologis tiap 5-30 menit. Catat dan
laporkan segera perubahan-perubahan
tekanan intracranial ke dokter.
Perubahan-perubahan ini
menandakan ada perubahan tekanan
intracranial dan penting untuk
intervensi awal.
Hindari posisi tungkai ditekuk atau
gerakan-gerakan klien, anjurkan untuk
tirah baring.
Untuk mencegah peningkatan
tekanan intracranial.
Tinggikan sedikit kepala klien dengan
hati-hati, cegah gerakan yang tiba-tiba
dan tidak perlu dari kepala dan leher,
hindari fleksi leher.
Untuk mengurangi tekanan
intracranial.
Bantu klien aktivitas dan gerakan-
gerakan klien. Beri petunjuk untuk BAB
(jangan enema). Anjurkan klien untuk
menghembuskan napas dalam bila
miring dan bergerak di tempat tidur.
Cegah posisi fleksi pada lutut.
Untuk mencegah keregangan otot
yang dapat menimbulkan
peningkatan tekanan intracranial.
Waktu prosedur perawatan disesuaikan
dan diatur tepat waktu dengan periode
relaksasi; hindari rangsangan
lingkungan yang tidak perlu.
Untuk mencegah eksitasi yang
merangsang otak yang sudah iritasi
dan dapat menimbulkan kejang
Evaluasi selama masa penyembuhan
terhadap gangguan motorik, sensorik,
dan intelektual.
Untuk merujuk ke rehabilitasi.
Kolaborasi pemberian steroid osmotic. Untuk menurunkan tekanan
intracranial.
b. Resiko peningkatan TIK berhubungan dengan peningkatan volume
intracranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
Tujuan : Tidak terjadi peningkatan TIK pada klien dalam waktu
3 x 24 jam.
Kriteria hasil : Klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala,
mual-mual dan muntah, GCS: 4,5,6, tidak terdapat
papiledema. TTV dalam batas normal.
Intervensi Rasionalisasi
Mandiri
Kaji factor penyebab dari situasi/
keadaan individu/ penyebab koma/
penurunan perfusi jaringan dan
kemungkinan penyebab peningkatan
TIK.
Deteksi dini untuk memprioritaskan
intervensi, mengkaji status
neurologis/ tanda-tanda kegagalan
untuk menentukan perawatan
kegawatan atau tindakan
pembedahan.
Monitor tanda-tanda vital tiap 4 jam. Suatu keadaan normal bila sirkulasi
serebri terpelihara dengan baik atau
fluktuasi ditandai dengan tekanan
darah sistemik, penurunan dari
otoregulator kebanyakan merupakan
tanda penurunan difusi local
vaskularisasi darah serebri.
Pertahankan kepala/ leher pada posisi
yang netral, usahakan dengan sedikit
bantal. Hindari penggunaan bantal yang
tinggi pada kepala.
Perubahan kepala pada satu sisi
dapat menimbulkan penekanan pada
vena jugularis dan menghambat
aliran darah otak (menghambat
drainase pada vena serebri), sehingga
dapat meningkatkan tekanan
intrakarnial.
Observasi tingkat kesadaran dengan
GCS
Perubahan kesadaran menunjukkan
peningkatan TIK dan berguna
menentukan lokasi dan
perkembangan penyakit.
Kolaborasi
Pemberian O2 sesuai indikasi
Menurunkan hipoksemia dapat
meningkatkan vasodilatasi serebri,
volume darah, dan menurunkan TIK.
c. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi
sekret, penurunan kemampuan batuk, dan perubahan kesadaran.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan tindakan,
jalan napas kembali efektif.
Kriteria hasil : Secara subjektif sesak napas (-), frekuensi napas 16-
20x/ menit, tidak menggunakan otot bantu napas,
retriksi ICS (-), ronkhi (-/-), dapat mendemonstrasikan
cara batuk efektif.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas
tambahan, perubahan irama dan
Memantau dan mengatasi komplikasi
potensial. Pengkajian fungsi
kedalaman, peggunaan otot-otot
aksesoris, warna, dan kekentalan
sputum.
pernapasan dengan interval yang
teratur adalah penting karena
pernapasan yang tidak efektif dan
adanya kegagalan, akibat adanya
kelemahan atau paralisis pada otot-
otot interkostal dan diafragma
berkembang dengan cepat.
Atur posisi fowler dan semifowler. Peninggian kepala tempat tidur
memudahkan pernapasan,
meningkatkan ekspansi dada, dan
meningkatkan batuk lebih cepat.
Ajarkan cara batuk efektif. Klien berada pada risiko tinggi bila
tidak dapat batuk dengan efektif
untuk membersihkan jalan napas dan
mengalami kesulitan dalam menelan,
sehingga menyebabkan aspirasi
saliva dan mencetuskan gagal napas
akut.
Lakukan fisioterapi dada; vibrasi dada. Terapi fisik dada membantu
meningkatkan batuk lebih efektif.
Pemenuhan hidrasi cairan via oral
seperti minum air putih dan pertahankan
asupan cairan 2500 ml/hari.
Pemenuhan cairan dapat
mengencerkan mukus yang kental
dan dapat membantu pemenuhan
cairan yang banyak keluar dari
tubuh.
Lakukan pengisapan lendir di jalan
napas.
Pengisapan mungkin diperlukan
untuk mempertahankan kepatenan
jalan napas menjadi bersih.
d. Nyeri kepala berhubungan dengan iritasi selaput dan jaringan otak.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam keluhan nyeri berkurang/ rasa
sakit terkendali.
Kriteria hasil : Klien dapat tidur dengan tenang, wajah rileks, dank lien
memverbalisasikan penurunan rasa sakit.
Intervensi Rasionalisasi
Usahakan membuat lingkungan aman
dan tenang
Menurunkan reaksi terhadap
rangsangan eksternal atau
kesensitifan terhadap cahaya dan
menganjurkan klien untuk
berinstirahat.
Kompres dingin (es) pada kepala Dapat menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah otak
Lakukan penatalaksanaan nyeri dengan
metode distraksi dan relaksasi napas
dalam.
Membantu menurunkan
(memutuskan) stimulasi sensasi
nyeri.
Lakukan latihan gerak aktif atau pasif
sesuai kondisi dengan lembut dan hati-
hati.
Data membantu relaksasi otot-otot
yang tegang dan dapat menurunkan
nyeri/ rasa tidak nyaman.
Kolaborasi pemberian analgesik. Mungkin diperlukan untuk
menurunkan rasa sakit.
Catatan: Narkotika merupakan
kontraindikasi yang berdampak pada
status neurologis, sukar untuk dikaji.
e. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan adanya kejang berulang, fiksasi
kurang optimal.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam perawatan, klien bebas dari
cedera yang disebabkan oleh kejang dan penurunan
kesadaran.
Kriteria hasil : Klien tidak mengalami cedera apabila ada kejang
berulang.
Intervensi Rasionalisasi
Monitor kejang pada tangan, kaki,
mulut, dan otot-otot muka lainnya.
Gambaran iritabilitas sistem saraf
pusat memerlukan evaluasi yang
sesuai dengan intervensi yang tepat
untuk mencegah terjadinya
komplikasi.
Persiapkan lingkungan yang aman
seperti batasan ranjang, papan
pengaman, dan alat suction selalu
berada dekat klien.
Melindungi klien bila kejang terjadi.
Pertahankan bedrest total selama fase
akut.
Mengurangi risiko jatuh/ cedera jika
terjadi vertigo dan ataksia.
Kolaborasi pemberian terapi; diazepam,
fenobarbital.
Untuk mencegah atau mengurangi
kejang.
Catatan: fenobarbital dapat
menyebabkan depresi pernapasan
dan sedasi.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh
bakteri cacing, protozoa, jamur, ricketsia atau virus. Klasifikasi ensefalitis
meliputi : ensefalitis supurativa, ensefalitis siphylis, ensevalitis virus, ensefalitis
karena parasit (malaria serebral, toxoplasmosis, amebiasis dan sistiserkosis),
ensefalitis karena fungus dan riketsiosis serebri. Pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan antara lain pemeriksaan cairan serebrospinal. Penatalaksanaan
dilakukan sesuai dengan faktor penyebab, antara lain berupa pemberian
antibiotik, antifungi, antiparasit, antivirus dan pengobatan simptomatis berupa
pemberian analgetik-antipiretik serta antikonvulsi.
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai
piameter (lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang
lebih ringan mengenai jaringan otak dan medulla spinalis yang superficial.
Gambaran meningeal yang disebabkan oleh infeksi meningokok membuat
profesi medis terpaku sehingga kemungkinan terjadinya infeksi ekstrameningeal
terlewatkan. Keadaan ini telah menimbulkan kegagalan umum dalam mengenali
sifat-sifat dasar penyakit seperti halnya sepsis meningokok yang pada akhirnya
menyebabkan berbagai akibat dalam bidang diagnosis dan pengobatan.
B. Saran
Diharapkan melalui makalah ini, mahasiswa dapat lebih memahami dan
mengerti definisi, etiologi, epidemiologi dari ensefalitis dan meningitis, serta
dapat menjelaskan patofisiologi sehingga dapat memunculkan diagnosa
keperawatan dari ensefalitis dan meningitis. Yang nantinya akan sangat
membantu kita sebagai perawat untuk melakukan tugas dalam pemberian asuhan
keperawatan kepada klien dengan ensefalitis dan meningitis
Namun kelompok menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, olehkarena itu mahasiswa juga diharapkan untuk banyak
membaca dan mencari informasi terbaru dari referensi lain.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth, 2001. Keperwatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Lesmana, Murad. 2000. Epidemiologi Infeksi Meningokok. Jurnal Kedokteran
Trisakti Vol. 19, No.3.
Mansjoer, Arif. Suprohaita. Wardhani, Wahyu Ika. Setiowulan, Wiwiek. 2000.
Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 2, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta : Media Aesculapius.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Ganggguan
Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit, Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta : EGC.
Sacharian, Rosa M. 1993. Prinsip Keperawatan Pediatrik, Edisi 2 Penerbit Buku
Kedokteran Jakarta : EGC.