BAB II Kerangka Konseptual II.1 Konsep 3R -...
Transcript of BAB II Kerangka Konseptual II.1 Konsep 3R -...
7
BAB II Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan sekumpulan konsep-konsep yang digunakan
dalam menjalankan penelitian.
II.1 Konsep 3R
Sampah sering dianggap sebagai benda yang tidak berguna yang secara ekonomis
merupakan komoditas yang bernilai negatif karena untuk menanganinya
diperlukan biaya yang relatif besar. Menurut Azwar (1990) sampah adalah bagian
yang tidak terpakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari
kegiatan konsumsi dan produksi manusia dan umumnya bersifat padat.
Murtadho (1988) membedakan sampah atas sampah organik yang mudah lapuk
(garbage) dan sampah anorganik yang tidak mudah lapuk (rubbish). Sampah
organik meliputi limbah padat semi basah berupa bahan-bahan organik yang
umumnya berasal dari pertanian. Sampah ini mempunyai sifat mudah terurai oleh
mikroorganisma dan mudah membusuk karena mempunyai rantai karbon yang
pendek. Sampah anorganik adalah sampah padat bersifat kering dan sulit terurai
oleh mikroorganisma karena memiliki rantai karbon yang panjang dan komplek
seperti kaca, besi, plastik dan sebagainya.
Pendekatan yang umum dilakukan dalam menyelesaikan masalah persampahan
adalah pendekatan yang konvensional yang bersifat pasif dan instruksional dengan
lebih menekankan kepada penanganan dan pengolahan sampah yang dibuang
(end-off pipe approach). Kebijakan pengelolaan sampah lebih menekankan
kepada bagaimana sampah dikumpulkan, diangkut dan di buang ke suatu tempat
karena dianggap sebagai barang sisa yang sudah tidak ada manfaatnya.
Filosofis pengelolaan sampah selama ini adalah dikumpulkan, ditampung di
tempat penampungan sementara (TPS) dan akhirnya dibuang ke tempat
penampungan akhir (TPA). Hal ini menyebabkan terjadinya penumpukan sampah
di setiap lini rumah tangga, TPS dan TPA. Secara internal keadaan ini disebabkan
oleh kurang tersedianya sarana dan prasarana pengumpulan, keterbatasan armada
8
personil kebersihan dan sulitnya mencari lembaga swadaya yang dapat bermitra
dengan pemerintah dalam penanganan sampah secara baik. Adanya keterbatasan
lahan yang dapat dipergunakan sebagai TPA karena semakin sulitnya memperoleh
ruang yang pantas dan jaraknya semakin jauh dari pusat kota, serta diperlukannya
dana yang besar untuk pembebasan lahan TPA, merupakan faktor eksternal yang
turut mempengaruhi permasalahan persampahan tersebut.
Pengelolaan sampah dengan cara demikian ternyata menimbulkan banyak
persoalan seperti : tingginya biaya operasional yang harus di tanggung oleh
pemerintah dalam hal ini PD. Kebersihan Kota Bandung, karena beban sampah
yang harus diangkut rata-rata/hari sebesar 43% = 3200 m3 atau sebanyak 320
rit/hari dengan biaya pengangkutan sebesar Rp. 500,000 per rit (PD. Kebersihan
2006), maka dapat dikalkulasikan besarnya biaya operasional pengangkutan
sampah yang harus dikeluarkan setiap harinya oleh PD. Kebersihan yakni tidak
kurang dari Rp. 160,000,000/hari. Jelas bukan suatu biaya operasional yang
sedikit.
Tingginya biaya operasional tersebut ditambah dengan minimnya anggaran PD.
Kebersihan akan menyebabkan kualitas pelayanan pengangkutan sampah tidak
akan maksimal. Agenda 21 menyebutkan bahwa secara nasional hanya 40% dari
sampah penduduk perkotaan yang dapat terlayani oleh fasilitas umum sedangkan
sisanya dibakar atau dibuang ke badan-badan sungai. Menurut Walhi1 dengan
adanya perlakuan sampah yang demikian akan menyebabkan terjadinya
pencemaran lingkungan, seperti penurunan kualitas air sungai dan menyebabkan
banjir.
Disamping itu, implementasi kebijakan pengelolaan sampah yang konvensional
menyebabkan peningkatan jumlah kebutuhan sarana dan prasarana, terutama
tempat pembuangan akhir yang semakin sulit didapatkan karena keterbatasan
lahan. Permasalahan lahan menjadi suatu masalah yang sangat kompleks karena
1 http://www.walhi.or.id/ download tanggal 6 Oktober 2007
9
disamping semakin sulit mencari lahan akan tetapi juga mengandung konflik
sosial. Kendala keterbatasan lahan di Kota Bandung menyebabkan lokasi TPA
baru mengandalkan lahan dari kabupaten tetangga. Proses persetujuan
masyarakat dan proses perijinan dari pemerintah setempat memerlukan waktu
yang lama sementara produksi sampah dari sumbernya tidak dapat dihentikan.
Terkadang hal inilah yang menyebabkan terjadinya penumpukan sampah di
berbagai tempat penampungan sementara (PD. Kebersihan,2006).
Dengan berbagai permasalahan di atas maka perlu ada perubahan paradigma dan
strategi dalam pengelolaan sampah. Paradigma baru tentang sampah ini pada
hakikatnya memperluas pandangan lama tentang sampah dan diharapkan
penekanan penanganannya pun akan sedikit bergeser. Dalam paradigma baru ini,
sampah diposisikan selain sebagai limbah juga sebagai potensi sumberdaya yang
dapat dimanfaatkan sehingga mempunyai nilai tambah sebagai produk daur ulang
maupun produk baru. Dengan demikian pada tahap lebih jauh proses ini akan
memberikan nilai tambah bagi sisi income masyarakat dan pemerintah sendiri.
Kondisi di atas mendorong upaya pengelolaan sampah kota yang lebih baik
berdasarkan pada usaha penanganan sampah sedini mungkin, sedekat mungkin
dari sumbernya dan sebanyak mungkin mendayagunakan kembali sampah
(Sadoko, 1993), perubahan pola pembuangan sampah serta meningkatkan
pemanfaatan dan pengolahan sampah yang lebih baik melalui proses reduce,
reuse, dan recycle
Mengenai konsep 3R, Sadoko (1993) mengemukakan sebagai berikut :
- Reduce
Mengurangi volume sampah. Kegiatan ini disebut juga tindakan pencegahan
sampah, dilakukan dengan cara mengkonsumsi barang lebih sedikit dan
tidak banyak menggunakan kemasan. Pada umumnya kemasan yang lebih
besar menghasilkan sampah lebih sedikit dibandingkan dengan kemasan
yang lebih kecil dan memiliki kecenderungan sekali pakai.
10
- Reuse
Menggunakan barang kembali yang telah dipakai tanpa melalui proses
pengubahan. Barang yang tidak dapat digunakan lagi dapat disumbangkan
kepada orang lain atau menjualnya.
- Recycle
Mendaur ulang barang yang tidak terpakai dengan melalui suatu proses,
misalnya kertas daur ulang yang diperoleh dari kertas-kertas bekas.
Proses daur ulang adalah salah satu strategi pengelolaan sampah padat yang terdiri
atas kegiatan pemilahan, pengumpulan, pemrosesan, pendistribusian dan
pembuatan produk/material bekas pakai.2 Material yang dapat didaur ulang:
• Botol bekas wadah kecap, saos, sirup, krim kopi, baik yang putih
bening maupun yang berwarna terutama gelas atau kaca yang tebal.
• Kertas, terutama kertas bekas di kantor, koran, majalah, kardus kecuali
kertas yang berlapis (minyak atau plastik)
• Logam bekas wadah minuman ringan, bekas kemasan kue, rangka
meja, besi rangka beton
• Plastik bekas wadah sampo, air mineral, jerigen, ember
• Sampah basah dapat diolah menjadi kompos
Secara garis besar proses yang dialami oleh bahan/material daur ulang adalah
sebagai berikut :
1. Kertas
• Kertas dipilah berdasarkan jenisnya
• Kertas yang sudah terpisah dipotong-potong menjadi kecil-kecil
• Melalui proses peleburan dalam boiler lalu diproses menjadi pulp
• Proses pembuatan kertas
2 http://id.wikipedia.org/wiki/Daur_ulang
11
Gambar II.2. Proses Daur Ulang Kertas
Sumber : Data sekunder Tugas akhir Bainah Wati, Teknik Industri ITB 2002
2. Besi
• Besi dipisahkan menurut kualitasnya
• Dipotong-potong kecil lalu di lebur
• Di campur dengan bahan mentah sesuai kriteria kualitas yang diinginkan
• Taping, penuangan besi cair ke dalam kontainer
• Molding, membuat percetakan untuk dijadikan ingot
• Ingot diproses menjadi besi beton dengan rolling mall
12
Gambar II.3. Proses Daur Ulang Besi
Sumber : Data sekunder Tugas akhir Bainah Wati, Teknik Industri ITB 2002
3. Plastik
• Dipisah-pisahkan sesuai tipe masing-masing seperti PP, HDPE,LDPE,
PVC dan lain-lain
• Dicuci
• Dipotonng-potong
• Digiling/flakes
• Dicairkan dan dicampur bahan kimia sesuai standar produk atau
dijadikan bentuk pelet
• Diolah menjadi batang pipa plastik, kantong plastik, tali rafia,keset
poliester, serat nilon untuk tekstil dan lain-lainnya.
13
Gambar II.4. Proses Daur Ulang Plastik
Sumber : Data sekunder Tugas akhir Bainah Wati, Teknik Industri ITB 2002
4. Gelas
• Dicuci, pencucian dilakukan oleh lapak/bandar, hanya dilakukan pada
botol yang masih utuh. Untuk kaca yang berupa serpihan/pecahan
pencucuian material dilakukan langsung oleh pabrilk pengolah
• Dipisahkan berdasarkan warnanya
• Dihancurkan menjadi buubk halus
• Digunakan sebagai campuran membuat botol kaca yang baru atau
produk-produk kaca lainnya,
14
Gambar II.5. Proses Daur Ulang Kaca
Sumber : Data sekunder Tugas akhir Bainah Wati, Teknik Industri ITB 2002
Seperti yang dilakukan oleh negara Jepang yang telah berhasil mengubah sampah
menjadi produk semen yang kemudian dinamakan dengan ekosemen. Diawali
penelitian di tahun 1992, dengan dibiayai oleh Development Bank of Japan, para
peneliti Jepang telah meneliti kemungkinan abu hasil pembakaran sampah,
endapan air kotor dijadikan sebagai bahan semen. Dari hasil penelitian tersebut
diketahui bahwa abu hasil pembakaran sampah mengandung unsur yang sama
dengan bahan dasar semen pada umumnya. Pada tahun 1998, setelah melalui
proses uji kelayakan akhirnya pabrik pertama didunia yang mengubah sampah
menjadi semen didirikan di Chiba. Pabrik tersebut mampu menghasilkan
ekosemen 110.000 ton per tahunnya. Sedangkan sampah yang diubah menjadi
abu yang kemudian diolah menjadi semen mencapai 62.000 ton per tahun,
endapan air kotor dan residu pembakaran yang diolah mencapai 28.000 ton per
tahun. Hingga saat ini sudah dua pabrik di Jepang yang memproduksi ekosemen.
15
Gambar II.6. Simulasi pembuatan eko semen dari limbah rumah tangga
Berdasarkan hasil pengujian JSA (Japan Standar Association) dinyatakan bahwa
ekosemen mempunyai kualitas yang sama baiknya dengan semen biasa.
Sehingga, hingga saat ini penggunaan ekosemen sudah digunakan dalam
pembangunan jembatan, jalan, rumah, dan bangunan lainnya di Jepang.
Dengan adanya pengubahan sampah menjadi semen, menambah alternatif
pengolahan sampah menjadi barang bermanfaat bagi manusia yang telah
membuangnya. Selain itu dengan adanya alternatif pengolahan sampah menjadi
semen, biaya pengolahan sampah di Jepang menjadi lebih murah. Bila
sebelumnya 40.000 yen per ton (pengolahan sampah konvensional) menjadi
39.000 yen per ton (pengolahan sampah hingga menjadi semen)3
Berdasarkan hasil penelitian Stephen J. Miller, Ph.D., seorang ilmuwan senior dan
konsultan peneliti di Chevron yang bersama rekan-rekannya di Pusat penelitian
Chevron Energy Technology Company, Richmond, California, Amerika Serikat
dan University of Kentucky, telah berhasil mengubah limbah plastik menjadi
minyak pelumas. Dalam penelitiannya yang akan dipublikasikan dalam Jurnal
American Chemical Society bagian Energi dan Bahan Bakar (Energy and Fuel)
edisi 20 Juli 2005, Miller memanaskan polietilena menggunakan metode pirolisis, 3 http://www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek-2006-03-22-Semen-dari-Sampah.shtml
16
lalu menyelidiki zat hasil pemanasan tersebut. Ternyata, ketika polietilena
dipanaskan akan terbentuk suatu senyawa hidrokarbon cair. Senyawa ini
mempunyai bentuk mirip lilin (wax). Banyaknya plastik yang terurai adalah
sekitar 60%, suatu jumlah yang cukup banyak. Struktur kimia yang dimiliki
senyawa hidrokarbon cair mirip lilin ini memungkinkannya untuk diolah menjadi
minyak pelumas berkualitas tinggi.4
Berdasarkan berbagai contoh kasus di atas bagaimana ketika sampah diubah
kembali menjadi suatu produk yang bernilai ekonomis perlu upaya-upaya inovasi,
maka bila kita kaitkan sampah ketika menjadi input untuk diproduksi kembali
merupakan input yang dianggap sudah ‘kehilangan’ sumber dayanya sehingga
tidak seperti bahan baku orisinil, untuk menjadi produk baru dari sampah sangat
memerlukan suatu daya cipta/inovasi tinggi.
II.2. INOVASI
Menurut Nonaka seperti yang dikutip oleh Bob Widyantono dalam makalahnya
menyebutkan bahwa inovasi sebagai suatu proses penciptaan pengetahuan dalam
organisasi (organizational knowledge-creation). Bahkan, ia menyebutkan bahwa
pengetahuan dalam dua kelompok, yakni yang tak terucapkan/terungkapkan
(Tacit), dan yang dinyatakan/diungkapkan secara eksplisit (articulable).
Pengetahuan yang nyata (articulable) berkenaan dengan pengetahuan yang
dialihkan (transmittable) termaktub dalam bahasa formal dan sistematik,
sedangkan pengetahuan yang tak terungkapkan (tacit) adalah mempribadi dan
sulit diformulasi, serta tidak mudah dikomunikasikan.
Pengetahuan yang tak terucapkan (tacit), menurut Nonaka, dapat dibagi lebih
lanjut dalam dua jenis, yakni know-how (aspek prosedural), dan semacam frame of
reference. Frame of reference itu oleh para psikolog dikenal sebagai mental
models dan mencakup paradigma, kepercayaan tradisional, yang kita biasa pakai
4 Sandri Justiana, S.Si dan Budiyanti Dwi Hardanie, S.Si http://acswebapplications.acs.org/ pada anggal 21-6-2007
17
dalam mempersepsi dunia beserta lingkungan. Suatu dimensi abstrak dari setiap
individu, dan inovasi seringkali menjadi penting untuk mengartikulasikan
perskpektif atau citra seseorang mengenai dunianya, kini maupun yang akan
datang. Penciptaan pengetahuan yang lebih bermakna terjadi lantaran adanya
interaksi antara yang tak terucapkan (tacit) dan yang nyata (articulable) yang
memerlukan penyesuaian dinamis pada keadaan, serta memainkan peranan dalam
kemampuan organisasi untuk bisa bertahan sekaligus tumbuh kembang. 5
Bila kita kaitkan dalam konteks pengolahan sampah, sistem reduce, reuse, dan
recycle (3R) sampah dapat dikatakan merupakan suatu inovasi karena didalamnya
ada proses penciptaan pengetahuan baru yakni bahwa sampah anorganik seperti
plastik dapat direcycle kembali untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk
membuat produk baru, kertas bekas dapat menjadi bahan baku untuk membuat
kertas lagi atau sampah organik yang dapat direcycle untuk menjadi produk baru
berupa kompos yang dapat dimanfaatkan untuk menyuburkan tanaman.
Ada pula yang mengartikan bahwa inovasi diartikan sebagai hasil interaksi
elemen dalam sebuah sistem yang mencakup antara lain: lingkungan usaha, sistem
pendidikan dan pelatihan, sektor kebijakan publik, dan kondisi sosio-kultural.
Sedangkan Kinerja Sistem Inovasi dipengaruhi oleh pola, karakter, dan intensitas
interaksi antar elemen sistem yang mengarah pada penciptaan pengetahuan baru
serta difusi dan penggunaan pengetahuan pada seluruh masyarakat (termasuk
business oganizations dan government bodies). 6
Pengertian lain dari suatu inovasi seperti yang diungkapkan dalam buku Creating
system Innovation oleh Hans de Bruijn adalah bahwa yang dimaksud dengan
inovasi adalah proses penambahan nilai atau valuae. Adanya kebutuhan akan
suatu proses inovasi dilatarbelakangi oleh adanya resistensi sosial dalam setiap
permasalahan adopsi teknis yang tidak bisa diselesaikan dengan perubahan
5 Bob Widyahartono MA ([email protected]) adalah pengamat ekonomi/bisnis; Dosen Senior Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) Jakarta. Telaah -- SDM Dalam Masyarakat Berbasis Pengetahua, antara news, 26 Februari 2007 6 Pengertian Inovasi menurut Jurnal UI 5 Oktober 2006 hasil down Load tanggal 3 Mei 2007 Internet © 2006 Universitas Indonesia, all right reserved
18
konvensional seperti pada umumnya. Proses perubahan yang dimaksud untuk
dapat menyelesaikan permasalahan yang ada sangatlah kompleks karena biasanya
melibatkan berbagai elemen baik elemen teknis, institusional, struktural dan
kultural yang ada dalam suatu sistem.
Hans de Bruijin (2004) merujuk fenomena kompleks seperti ini untuk
menegaskan adanya karakter sistemik dari suatu inovasi. Bukan hanya sebagian,
tetapi keseluruhan elemen perlu berubah agar suatu inovasi berlangsung dan
mencapai mencapai kestabilan. Dan dalam mencapai kestabilan itu proses
inovasi terus mengalami berbagai pertentangan nilai sebelum akhirnya sebuah
nilai baru akan diterima sebagai suatu nilai yang diproduksi dan dikonsesus
bersama. Proses inovasi juga dikatakan bersifat sistemik lantaran keseluruhan
elemen sistem perlu berubah agar situasi yang baru disertai hasil yang baru yang
lebih diinginkan dapat terwujud. Proses ini tidak jarang berliku-liku dan
menempuh periode yang cukup panjang.
Beberapa aspek mendasar dari Inovasi sistemik (Bruijn,et all, 2004) adalah bahwa
inovasi sistemik selalu melingkupi hal-hal sebagai berikut :
• Inovasi bersifat komprehensif.
• Karena bersifat suatu proses yang sistemik maka pada umumnya
inovasi sistem mengandung makna butuh waktu yang panjang.
• Adanya perubahan perspektif dan pergeseran budaya di antara para
aktor seperti stake holder, konsumen dan produsen.
Perubahan yang diinginkan terjadi dapat diinisiasi oleh pemerintah sehingga
pendekatannya sangat top down karena pemerintahlah yang menetapkan situasi
akhir yang diinginkan dan mempromosikan keberbagai aktor yang terlibat dalam
proses inovasi sistemik. Namun ada kalanya sang inisiator inovasi berasal dari
kelompok yang menamakan akademisi/periset dan pelaku pasar sehingga
pendekatannya bottom down. Atau bisa saja inovasi tersebut diinisiasi oleh
adanya kombinasi dari kepentingan-kepentingan sehingga pendekatannya bersifat
berjejaring.
19
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa ada tiga faktor penting yang membatasi
peluang untuk mengelola suatu inovasi menurut Hans de Bruijin ( 2004 ) adalah :
• Keterbatasan pengetahuan
Adanya keterbatasan pengetahuan menyebabkan munculnya ketidakpastian
atau ketidaktentuan.
• Konsesus berlangsung secara non-linier.
• Pertentangan Nilai
Menurut Bruijn,et all, 2004 dalam bukunya Creating System Innovation ketika
berbicara inovasi sistemik, maka kita dapat kita dapat membedakan substansi dari
inovasi sistemik dan proses untuk dapat mewujudkannya. Gambaran umum dari
substansi dari inovasi sistemik adalah sangat komprehensif dan radikal.
Dikatakan komprehensif karena keseluruhan sistem harus berubah dan bukan
hanya salah satu komponen dari sistem. Tentu saja hal ini akan membuat suatu
perubahan yang sangat radikal di mana keseluruhan sistem mengalami perubahan
baik institusi, nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku.
Ketika kita berbicara proses untuk mewujudkan inovasi sistemik maka masa
transisi manajemen adalah hal yang biasa terjadi. Terkadang membutuhkan waktu
yang sangat panjang untuk mengimplementasikan inovasi sistemik. Masa transisi
manajemen dapat diketahui dari beberapa prinsip berikut ini :
• Inovasi sistemik dapat dengan sengaja direncanakan di mana tujuan dapat
ditentukan dan ditargetkan.
• Inovasi sistemik dilakukan dengan hati-hati di mana masyarakat mengetahui
dan menyadari pentingnya inovasi dan implementasinya.
• Inovasi sistemik didominasi oleh interaksi di mana tujuan ditentukan bersama
oleh sejumlah elemen terkait
• Inovasi sistemik merujuk pada perubahan paradigma, inisiator perubahan bisa
datang dari pemerintah atau elemen lain yang memimpin untuk mencapai
tujuan yang telah disepakati bersama.
20
Inisiator suatu sistem inovasi menurut Bruijn,et all, 2004 dalam bukunya Creating
System Innovation bisa dari berbagai elemen dan merupakan interaksi berbagai
elemen sebagai berikut :
• Sumber pengetahuan dapat menjadi pendorong sehingga terjadi proses sistem
inovasi. Hal ini berarti dari arena science dan riset, pengetahuan dihasilkan
untuk memenuhi kebutuhan sistem inovasi dan memungkinkan terjadinya
suatu proses inovasi.
• Pemerintah sebagai inisiator sistem inovasi. Sistem inovasi merupakan hasil
dari kebijakan politik pemerintah di mana hal itu diperlukan untuk mendukung
bagi penerimaan masyarakat akan suatu proses inovasi.
• Pasar sebagai pendorong sistem inovasi. Kemungkinan terjadi proses sistem
inovasi juga dapat tumbuh dari kebutuhan pasar. Industri dapat menciptakan
teknologi baru, sebagai contoh revolusi IT pada tahun 1990 sebagai pendorong
suatu sistem inovasi di bidang informasi dan komunikasi.
Yang menarik dari berbagai kasus terjadinya proses sistem inovasi bahwa
untuk terjadinya proses tersebut membutuhkan keterkaitan/interaksi minimalnya
dua arena baik itu arena Universitas-Pemerintah, arena Universitas-Industri
maupun Industri-Pemerintah bahkan untuk idealnya agar sistem inovasi terwujud
dibutuhkan interaksi ketiga arena.
Gambar II.7. Interaksi dua arena : pemerintah dan market
21
Gambar II.8. Interaksi dua arena : pemerintah dan Akademisi
Gambar II.9. Interaksi dua arena : Universitas dan Industri
Industri Universitas
Pemerintah
Interaksidua
elemen
Interaksitiga
elemen
Industri Universitas
Pemerintah
Interaksidua
elemen
Interaksitiga
elemen
Gambar II.10. Interaksi tiga arena : Universitas, industri dan pemerintah
22
II.3. Konsep Triple helix (ABG)
Model pembangunan triple helix terdiri dari tiga elemen dasar, yakni pertama
peran yang lebih banyak bagi perguruan tinggi untuk melakukan suatu proses
inovasi, kedua adanya perubahan hubungan yang kolaboratif di antara ketiga
institusi di mana dengan adanya inovasi kebijakan akan semakin meningkatkan
hasil interaksi antar universitas-industri-pemerinyah, ketiga sebagai tambahan
fungsi mereka terdahulu maka setiap bagian ’ambil peran dari yang lain’
(Etzkowitz, 2005)7
Masih menurut Etzkowitz model pembangunan triple helix melihat bahwa
perguruan tinggi sebagai suatu sumber elemen penting untuk melakukan
rekombinasi dan inovasi. Hal itu berarti terdapat reinforcement aturan dalam
sebuah perguruan tinggi yakni dari ilmu-ilmu dasar ke proses inovasi dan
produksi yang merupakan awal dari sikap entrepereuener sebuah perguruan
tinggi.
Teori triple helix merupakan model penemuan spiral yang menangkap hubungan-
hubungan yang saling menguntungkan pada kondisi yang berbeda dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Dimensi pertama model triple helix adalah
transformasi internal di setiap helix seperti pembangunan hubungan lateral di
antara perusahaan aliansi yang strategis atau suatu asumsi misi pembangunan
ekonomi oleh universitas. Kedua pengaruh satu helix terhadap yang lain,
misalnya, peran pemerintah federal dalam menerapkan kebijakan industri di
Dermaga Dole tahun 1980. Ketika peraturan yang menyangkut properti
intelektual yang dihasilkan pemerintah melalui penelitian berubah, maka
teknologi mengalihkan kegiatan sebagai wilayah yang dimiliki perguruan tinggi,
sehingga menghasilkan suatu transfer profesi akademik yang menyangkut
teknologi. Dimensi ketiga adalah kreasi jejaring dan organisasi tiga hubungan
7 Henry Etzkowitzs, The Renewal of the African University: Towards a “Triple Helix” Development Model, 2005
23
yang baru dari interaksi antara tiga helix yang dibuat untuk memunculkan
gagasan-gagasan dan format baru dalam pembangunan berteknologi tinggi.8
Masih dalam makalah yang sama Etzkowitz menggambarkan bahwa triple helix
menunjukkan hubungan antara universitas-industri-pemerintah sebagai suatu
variable yang berdiri sejajar dan saling bergantung dan saling berperan satu sama
lain. Disini terjadi gerakan institusional yang terpisah yang menunjukkan paling
tidak adanya suatu ideologi, seperti yang terjadi di Amerika. Ada juga model
pergantian yang dianut suatu negara yang meliputi industri dan akademian seperti
terjadi di Uni-Soviet, tetapi kondisi ini pun dapat ditemukan di Amerika latin dan
negara-negara eropa.
Hubungan bilateral antara pemerintah - perguruan tinggi, universitas - industri
juga industri dan pemerintah telah berkembang menjadi hubungan tripatrit di
antara ke 3 institusi tersebut, terutama di level regional. Hubungan Universitas,
industri dan pemerintah muncul bermula dari institusi yang berbeda di berbagai
bagian dunia, tetapi untuk tujuan yang umum adalah merangsang pengembangan
ilmu pengetahuan berdasarkan pembangunan ekonomi. 9
Dalam model triple helix, penekanan dikonsentraikan pada interaksi, hubungan-
hubungan antar lembaga dan kolaborasi. Jika secara tradisional lembaga
pemerintahan, pendidikan tinggi dan bisnis masing-masing beroperasi dalam
ranah-ranah yang saling terpisah sau dari yang lainnya maka model triple helix
menegaskan pentingnya hubungan-hubungan yang berjejaring. Fokus perhatian
dalam model triple helix adalah pada permasalahan bagaimana ketiga arena
kelembagaan yang berbeda- arena akademik, bisnis dan pemerintah- dapat
melakukan interaksi dan pertukaran sumber-sumber pengetahuan10
8 Henry etzkowitz, The Triple Helix of University - Industry – Government Implications for Policy and Evaluation, Working paper 2002·11,Science Policy Institute, page3 9 ibid 10 Sonny Yuliar dalam makalah Peran Perguruan tinggi dalam Masyarakat Berbasis Pengetahuan : isyu demikrasi dan tantangan kebiajakan
24
Menurut Etkowitz seperti yang dikutip dalam makalah tersebut konsep triple helix
berperan sebagai pemandu dalam pengelolaan interaksi. Dalam masyarakat-
masyarakat yang berbeda proses transisi dapat dimulai dari titik-titik berangkat
yang berbeda-beda (Etkowitz, 2007 )
Dalam dekade terakhir, kebijakan pendidikan tinggi di berbagai negara memberi
penekanan pada hubungan ‘triple helix’ di antara academicians,
businessmen/women, dan government agencies (ABG). Gagasan dasar yang
melatari pengembangan kerangka kerja ABG adalah bahwa agar pengetahuan
dapat menghasilkan nilai (values), proses pencapaian pengetahuan tidak boleh
terisolasi dari lingkungannya. Values merupakan hasil dari interaksi sosial.
Konsep ABG ini berkaitan erat dengan konsep sistem inovasi.
Dalam model triple helix, penekanan dikonsentraikan pada interaksi, hubungan-
hubungan antar lembaga dan kolaborasi. Jika secara tradisional lembaga
pemerintahan, pendidikan tinggi dan bisnis masing-masing beroperasi dalam
ranah-ranah yang saling terpisah satu dari yang lainnya maka model triple helix
menegaskan pentingnya hubungan-hubungan yang berjejaring. Fokus perhatian
dalam model triple helix adalah pada permasalahan bagaimana ketiga arena
kelembagaan yang berbeda- arena akademik, bisnis dan pemerintah- dapat
melakukan interaksi dan pertukaran sumber-sumber pengetahuan11. Dengan
demikian maka proses inovasi lebih dimungkinkan untuk dapat tercipta.
Dalam konsepsi Sistem Inovasi Nasional (SIN), proses inovasi dan pembangunan
yang berbasis IPTEK semakin bergantung pada kemampuan untuk menggunakan
pengetahuan yang dihasilkan di mana saja/di berbagai tempat (bukan sebatas di
lembaga-lembaga iptek formal), dan mengkombinasikan berbagai pengetahuan ini
dengan stok pengetahuan yang telah tersedia.
Untuk ini, kapasitas absorptif (absorptive capacities), kapasitas alih pengetahuan,
dan kemampuan untuk ‘to learn by interaction’ menjadi faktor-faktor krusial bagi
11 ibid
25
keberhasilan inovasi. Pengetahuan baru dan berguna (baik secara sosial maupun
komersial) merupakan hasil interaksi dan proses pembelajaran di antara berbagai
aktor/elemen di dalam sistem inovasi; penghasil (producer), pengguna (user),
pensuplai (supplier), otoritas publik, lembaga ilmiah, kesemuanya membangun
sebuah ‘daya distribusi pengetahuan’. 12
Gambar II.11. Creating Values melalui Jejaring ABG
II.4. Kesimpulan Kerangka Teoritik
Konsep 3R merupakan konsep yang digagas baik di dalam maupun di luar
negeri (Jepang) yang berkaitan dengan upaya mengantisipasi laju timbulan
sampah yang dihasilkan sebagai konsekuensi dari berbagai aktivitas manusia.
Berikut gambaran pelaksanaan praktek 3R sampah di negara Jepang. Berdasarkan
pada pola dasar lingkungan hidup Jepang. Kebijakan penanganan sampah kota
Tokyo dilakukan dengan urutan sebagai berikut: pertama, mengontrol jumlah
12 Perspektif Tentang IPTEK Berimplikasi pada penyusunan indikator IPTEK,: Tesis Magister Studi Pembangunan ITB : Samiran, 2004
26
sampah. Kedua, penggunaan kembali barang produksi yang telah dipakai, dan
ketiga daur ulang (material recycle). Jika mengalami kesulitan dalam proses dan
rawan terhadap lingkungan, maka dijadikan sebagai sumber energi.
Untuk menerapkan sistem daur ulang (Material recycle) maka ada kebijakan
pengumpulan sampah terbakar dua hari dalam seminggu dan sehari untuk sampah
kertas, botol, dan kaleng. Kebijakan ini dilaksanakan di seluruh distrik mulai
bulan Februari tahun 2000. Sedangkan pet botol dikumpulkan pada/oleh toko-toko
tertentu. Sekarang ada sekitar 4.500 toko yang berpartisipasi dalam usaha ini.
Pembentukan tim penyuluh untuk para pengusaha industri besar. Untuk
kelancaran jalannya program pengontrolan buangan sampah dan daur ulang, pada
bulan maret tahun 1991 dimulailah program pengawasan dan penyuluhan. Serta
penyediaan tempat untuk pemrosesan sampah. Untuk menjaga kestabilan sistem
pembakaran sampah sempurna, penyediaan tempat pemrosesan sampah terus
dilakukan. Tahun 1999 telah didirikan tempat pemrosesan sampah di Toshima-ku.
Juga untuk mengurangi jumlah dioxin dilakukan terus penyempurnaan sistem
pembakaran. Selain itu, seluruh tempat pemrosesan sampah diusahakan untuk
mendapatkan ISO 14001. Pada tahun 1999, lima dari 60 tempat pemrosesan
sampah yang ada telah mendapatkan ISO 14001. Bantuan pemerintah pusat
terhadap pemerintah perkotaan dan pedesaan. Bantuan dana dan teknisi dilakukan,
terutama untuk membantu pelaksanaan program penanganan sampah rumah
tangga dan daur ulang.
Selain itu, kebijakan untuk mengikutsertakan pemerintah, masyarakat, dan
pengusaha dalam mengatasi masalah sampah adalah usaha yang tepat untuk
memberikan kesadaran akan tanggung jawab masing-masing individu dalam
mengatasi masalah sampah.13
13 Anto Tri Sugiharto Ph.D, termuat dalam Pikiran rakyat, Kamis, 17 Maret 2005
27
Bila kita lihat implementasi praktek 3R sampah di negara Jepang sangat
membutuhkan adanya interaksi antara pemerintah, pihak industri, dan masyarakat
agar perubahan sistem pengeloaan sampah dalam hal ini erat kaitannya dengan
proses inovasi praktek 3R sampah terus terjadi.
Dari gambaran tersebut di atas implementasi praktek 3R sampah sarat akan
pentingnya proses-proses inovasi sedangkan konsep inovasi sangat menekankan
pentingnya interaksi berbagai elemen sebagai media bagi penyebaran pengetahuan
yang menjadi sumber proses inovasi maka dapat dikatakan bahwa dalam
implementasi praktek 3R perlu adanya interaksi berbagai elemen.
II.5.TEORI ANT
2.5.1. Fenomena Sosioteknis dalam Pandangan Teori Jejaring-Aktor
Teori Jejaring-Aktor (Actor-network Theory, ANT)14 berkembang di dalam
serangkaian kegiatan penelitian sosiologis tentang sains dan teknologi. Para ahli
yang terlibat dalam kegiatan ini berargumen bahwa 'pengetahuan'15 merupakan
produk yang memiliki dimensi sosial, dan bukan merupakan sesuatu yang
dihasilkan melalui pengoperasian metode saintifik secara eksklusif. Para ahli ini
memperluas lingkup pernyataan ini dan menegaskan bahwa agen-agen, institusi-
institusi sosial, mesin-mesin dan organisasi-organisasi merupakan produk atau
efek dari sualu jejaring material yang heterogen.
Dalam ANT, suatu entitas sosial juga merupakan jejaring elemen-elemen
material yang terpolakan. Dengan pernyataan demikian, ANT mengambil posisi
yang secara radikal berbeda dari teori-leori sosial yang memandang entitas sosial
hanya terdiri atas manusia-manusia saja. Dalam pandangan ini, tugas dari kajian
sosiologi teknologi adalah mempelajari dan memahami karakteristik jejaring
14 ANT dikembangkan berkat hasil kerja dan penelitian yang dilakukan sosiolog Prancis Michael Callon dan Bruno Latour, sosiolog Inggris John Law. 15 Di sini ‘pengetahuan’ yang dirujuk adalah yang memiliki eksistensi atau perluasan material, mulai dari percakapan, presentasi dalam seminar, makalah, paten, saintis yang terlatih untuk riset dan lain-lain
28
dalam heterogenitasnya, dan menggali bagaimana elemen-elemen terpolakan
dalam suatu satuan jejaring yang menghasilkan efek-efek seperti
organisasi, kuasa, birokrasi, fungsi teknologi, dan lain-lain. Pertanyaan-
pertanyaan analitik yang lazim dijawab ANT adalah seperti : Apakah suatu agen
menjadi agen semata-mata dikarenakan dia memiliki tubuh, pengetahuan,
keterampilan, nilai, dan lain-lain? ataukah suatu agen menjadi agen dikarenakan
dia menghuni sekumpulan elemen-elemen yang terbentang di dalam jejaring
elemen-elemen material, termasuk tubuh?
ANT mengakui bahwa manusia memiliki kehidupan dalam (inner life), seperti
kegiatan mental dan kegiatan kognisi. Tetapi yang ditekankan ANT adalah bahwa
sejauh agen sosial yang menjadi perhatian, agency ini diraih bukan karena karena
terwujud di dalam tubuh. Melainkan, agen/aktor merupakan jejaring dari relasi-
relasi heterogen yang terpolakan, atau merupakan efek dari jejaring demikian.
Sejauh efek sosial (keagenan, keaktoran) yang menjadi perhatian, berpikir, beraksi,
mencari nafkah dan hal-hal yang lazimnya diatributkan pada manusia, dihasilkan di
dalam jejaring yang meluas di dalam dan melampaui tubuh. Suatu aktor juga selalu
merupakan suatu jejaring — jejaring aktor.
Definisi yang sama berlaku untuk mesin. Sebuah mesin juga merupakan jejaring
heterogen sekumpulan kaidah yang dijalankan oleh elemen-elemen material,
operator-operator, user dan repair-persons. Begitu pula dengan organisasi dan
institusi, semuanya merupakan peranan-peranan berpola yang dijalankan oleh
orang-orang, mesin-mesin, dokumen-dokumen, gedung-gedung dan lain-lain.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak selalu menyadari keberadaan jejaring di
balik suatu aktor atau institusi. Misalnya, sebuah televisi merupakan objek tunggal
dengan beberapa komponen yang terlihat. Ketika televisi itu rusak, objek tersebut
segera berubah menjadi jejaring komponen-komponen elektronik dan intervensi-
intervensi manusia. Bagi orang yang sehat, organ-organ tubuh tersembunyi. Bagi
orang yang sakit, tubuh segera dikonversi ke dalam jejaring yang terdiri atas
proses, sekumpulan orang, dan intervensi-intervensi yang bersifat farmasitis.
29
Ilustrasi ini menggambarkan bahwa munculnya kesatuan, dan menghilangnya
jejaring, berkaitan dengan simplifikasi. Fenomena merupakan efek atau produk
dari jejaring heterogen. Tetapi dalam kehidupan praktis kita tidak sanggup
menghadapi komplikasi jejaring yang terus meluas. Umumnya kita tidak dalam
posisi yang siap untuk mendeteksi kompleksitas jejaring. Yang terjadi adalah
ketika sebuah jejaring beraksi sebagai entitas tunggal, jejaring tersebut seolah-
olah menghilang, dan digantikan oleh aksi itu sendiri dan aktor dari aksi tersebut.
Pada saat yang sama, cara-cara bagaimana efek dihasilkan juga menghilang. Jadi,
sesuatu yang lebih sederhana seperti televisi yang bekerja baik, bank yang
terkelola dengan baik, menjadi tabir yang menutupi jejaring yang
menghasilkannya.
Punktualisasi merupakan sebuah proses atau efek, dan bukan sesuatu yang dapat
dibentuk sekali untuk selamanya. Jadi, ANT mengasumsikan bahwa istilah
'struktur' dalam frase 'struktur sosial' bukan merupakan kata benda, tetapi kata
kerja. Struktur tidak berdiri bebas, seperti kerangka baja di lokasi bangunan.
Struktur merupakan efek relasional yang secara rekursif mereproduksi dirinya
sendiri. Asumsi ini berimplikasi tidak ada tatanan sosial, organisasi, atau agen
yang pernah mencapai status sempurna, otonom, dan final. ANT tidak mengakui
keberadaan tatanan sosial dengan pusat yang tunggal, atau dengan sekumpulan
relasi-relasi yang stabil. Alih-alih demikian, yang ada adalah tatanan-tatanan
dalam pluralitas (Michael Callon, 2003).
Pernyataan ini bukan berarti bahwa ANT mengakui pluralisme, bahwa yang ada
hanyalah pusat-pusat kuasa (power centers), tatanan-tatanan, yang kurang lebih
setara. Yang ditekankan oleh ANT adalah bahwa efek-efek kuasa, tatanan
dihasilkan dalam cara-cara relasional dan terdistribusi. Penataan struktur dan
efek-efek yang dihasilkan bersifat contestable. Oleh karena ini, analisis
proses penataan atau penstrukturan berada di posisi sentral dalam ANT.
Yang dituju adalah eksplorasi dan deskripsi proses-proses pembentukan pola,
orkestrasi sosial, penataan dan resistansi. yang melalui semua ini hadir efek-efek
seperti agen-agen, instrumen, mesin, institusi, atau organisasi.
30
Inti dari pendekatan ANT adalah berkenaan dengan bagaimana aktor-aktor dan
organisasi-organisasi memobilisasi, mempersandingkan, dan mempertahankan
segenap elemen-elemen heterogen yang melalui ini semua aktor-aktor dan
organisasi-organisasi tersebut terkomposisi. ANT mengangkat pertanyaan tentang
bagaimana aktor-aktor mampu mencegah elemen-elemen ini mengikuti
kecenderungan-kecenderungannya sendiri sehingga terlepas dari jejaring. ANT
mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas secara empiris.
2.5.2. Proses Pembingkaian (Framing) dan Efek kalkulasional
Sebagaimana disampaikan di atas, efek-efek kalkulasional tertentu dapat
dihasilkan, sehingga meningkatkan ketegaran jejaring. Tetapi efek kalkulasi
merupakan sekumpulan relasi-relasi yang melibatkan representasi material,
pengawasan dan kontrol. Dengan perkataan lain, efek kalkulasional muncul
melalui proses translasi, yang terjadi ketika agen-agen dan benda-benda yang
terlibat dalam kalkulasi mengalami disentanglement (pemutusan atau pelemahan
relasi) dan dibingkai (framed). Melalui pembingkaian dan disentanglement,
batas-batas ditarik di antara relasi-relasi; batas-batas ini yang menjadi
pertimbangan dalam kalkulasi.
Konsep disentanglement telah lama dikenal dalam teori ekonomi, ketika para
pakar ekonomi mendefinisikan eksternalitas yang menunjuk pada semua
koneksi, relasi, dan efek yang para agen ekonomi tidak perhitungkan dalam
kalkulasi mereka ketika memasuki transaksi pasar. Dalam perspektif ANT,
setiap entitas yang terlibat di dalam jejaring relasi-relasi, dalam aliran
intermediaries yang bersirkulasi, menghubungkan, membentuk identitas-
identitas. Konsep eksternalitas menunjuk pada semua pekerjaan yang
harus dilakukan untuk membuat relasi-relasi dapat dikalkulasi di dalam
jejaring. Ini mencakup pembingkaian aktor-aktor dan relasi-relasi mereka.
31
Pembingkaian (framing) dalam terminologi antropologi adalah:
Framing is a cognitive Contextualization device whereby all rules of
behavioir, symbol and their interpretation are bounded by a particular activity
with its own overall structure. Frames have temporal beginings and endeings
and often embodied specified physical boundaries. Menurut Michel Callon,
seorang sosiolog teknologi, pada konteks ANT pembingkaian merupakan
operasi yang digunakan untuk mendefinisikan agen-agen individual yang
dibedakan secara jelas dan dilepaskan hubungan di antara satu dengan yang
lain. Pembingkaian memungkinkan pendefinisian objek-objek, seperti
komoditas, fakta sosial, objek teknologi yang teridentifikasi dengan sempurna
dan dapat dapat diisolasi.
Gambar II.12. Ilustrasi proses (translasi) pembingkaian yang disederhanakan; relasi antara agen A dengan E, F, G terlepas, dan terbentuk relasi-relasi dengan X, Y, Z. Melalui pembingkaian, agen A mendapatkan kompentensi baru yang terdefinisikan melalui
translasi. Dari ilustrasi pada Gambar II.12, sebuah agen (baik human maupun non human)
mengalami pembingkaian ketika melemah/terputus relasi-relasinya dengan agen-
agen tertentu, dan menguat relasi-relasi dengan agen-agen tertentu yang lain.
Melalui proses pembingkaian demikian, sebuah agen meraih identitas atau
kompetensi yang baru. Salah satu efek penting yang muncul melalui
pembingkaian efek calculativeness—munculnya agen yang dapat melakukan
kalkulasi. Agen-agen yang terelasikan satu pada yang lain meraih efek kalkulatif
dikatakan saling kompatibel (compatible) satu terhadap yang lain.
32
Dalam pembahasannya tentang pasar strawberi di Perancis (Michael Callon,
2003) diilustrasikan bagaimana konstruksi pasar, dan munculnya agen-agen yang
terlibat dalam penentuan harga, terjadi melalui proses pembingkaian yang
menghasilkan efek :
- Hadirnya produk yang memenuhi kualifikasi;
- Terdefinisinya suplai dan permintaan;
- Organisasi transaksi yang memungkinkan tercapainya harga seiimbang.
Pada awalnya, menurut pemaparan Callon, investasi material dialokasikan.
Transaksi yang tak terkoordinasi di antara produser dan penyalur
(intermediaries) yang terlibat dalam relasi antar personal kemudian
dilokalisasikan di sebuah gudang penyimpanan yang khusus dibangun untuk
tujuan ini. Para produser menempatkan produk mereka ke tempat itu setiap hari,
yang diwadahi dalam keranjang-keranjang, dan dipertunjukkan dalam batches di
dalam gudang. Setiap batch memiliki lembar data yang segera diserahkan pada
juru lelang. Juru lelang ini memasukkan data ke dalam komputer dan
mengkompilasi sebuah katalog yang dibagikan kepada para pembeli.
Produsen dan pengepak buah strawberi masuk ke dalam ruang lelang yang
dirancang dengan cara sedemikian rupa, sehingga para pembeli dan para penjual
tidak pernah dapat melihat satu kepada yang lain, tetapi dapat melihat jelas juru
lelang dan papan elektronik yang memeragakan harga. Peragaan strawberi di
dalam ruang dan dalam katalog memungkinkan semua pihak mengetahui secara
persis suplai yang tersedia baik volume maupun mutunya. Terlebih lagi,
peragaan batches yang berbeda secara bersandingan menyoroti perbedaan dalam
kuantitas dan mutu di antara produser-produser. Para produser dapat
memperbandingkan produksinya masing-masing dengan produksi pesaing
mereka. +al demikian tidak mungkin terjadi jika pengumpulan buah strawberi
dilakukan secara lokal, dan tidak dipusatkan di dalam gedung lelang tersebut.
Para petani strawberi yang sebelumnya terikat dalam relasi personal dengan para
33
penyalur (intermediaries) dan pengepak buah kini memasuki hubungan baru yang
bersifal impersonal.
Segenap elemen-elemen yang heterogen berkontribusi pada proses pembingkaian
transaksi dengan cara pemutusan jejaring relasi-relasi, dan dengan demikian
mengkonstruksi sebuah arena di mana setiap entitas terputus hubungannya dan
entitas-entitas yang lain. Teknik lelang secara berangsur-angsur, peragaan
transaksi pada papan elektronik, kualifikasi relatif dari batches strawberi, dan
pengetahuan pasar secara umum semuanya membuat transaksi menjadi dapat
dikalkulasi.