BAB II KEBIJAKAN LUAR NEGERI A. Definisi ... -...
Transcript of BAB II KEBIJAKAN LUAR NEGERI A. Definisi ... -...
BAB II
KEBIJAKAN LUAR NEGERI
A. Definisi Kebijakan Luar Negeri
Ada beberapa definisi tentang kebijakan luar negeri dengan tekanan yang
berbeda-beda. Berikut ini akan diberikan definisi yang sering digunakan oleh
akademisi maupun praktisi.
Menurut Mark R. Amstutz mendefinisikan kebijakan luar negeri sebagai
explicit and of governmental officials designed to promote national interests beyond
a country’s territorial boundries.71 Dalam definisi ini ada tiga tekanan utama yaitu
tindakan atau kebijakan pemerintah, pencapaian kepentingan nasional dan
jangkauan kebijakan luar negeri yang melawati batas kewilayahan negara.72 Dengan
demikian semua kebijakan pemerintah yang membawa dampak bagi aktor lain dari
luar batas wilayahnya secara konseptual merupkan bagian dari kepentingan
kebijakan luar negeri.73
Definisi yang diberikan Kegley dan Wittkopf menekankan kebijakan luar
negeri sebagai decisions governing authorities make to realize international goals. 74 Dalam hal ini kebijakan luar negeri harus memperhatikan nilai-nilai yang
mendasari perumusan tujuan suatu negara serta alat untuk mencapai tujuan
tersebut.75
Kebijakan luar negeri juga bisa diartikan sebagai seperangkat rencana dan
komitmen yang menjadi pedoman bagi perilaku pemerintah dalam berhubungan
dengan aktor-aktor lain di lingkungan eksternal. Akhirnya rencana dan komitmen
tersebut diterjemahkan ke dalam langkah dan tindakan yang nyata berupa
71 Aleksius Jemadu, op. cit., hal.64 72 Ibid., hal. 64 73 Ibid., hal. 64 74 Aleksius Jemadu, op. cit., hal. 65 75 Ibid., hal.65
mobilisasi sumber daya yang diperlukan untuk menghasilkan suatu efek dalam
pencapaian tujuan.76
B. Model-Model Kebijakan Luar Negeri
1. Model Kebijakan Luar Negeri Yang Dipengaruhi Rational Choice Theory Model kebijakan luar negeri yang mendapat pengaruh kuat dari literature
kebijakan publik adalah teori rasional atau rational choice theory.77 William N. Dunn yang merupakan salah satu dari penganut teori ini dalam
kebijakan publik mengatakan analisis kebijakan merupakan rangkaian kegiatan intelektual yang dilaksanakan dalam suatu proses yang bersifat
politik.78 Dunn mengidentifikasikan ada lima tahapan dasar yang dilakukan oleh para pembuat kebijkan dalam konsisi yang ideal.79 Kelima
tahapan itu mencakup agenda setting, policy formulation, policy adoption, policy implementation, dan policy asssement. Para analis kebijakan luar
negeri mengadopsi pemikiran dari literatur kebijakan publik untuk menganalisis proses formulasi kebijakan luar negeri dengan
mengasumsikan bahwa para pembuat kebijakan luar negeri dengan mengasumsikan bahwa para pembuat kebijakan melakukan berbagai
tahapan intelektual ini sebelum menentukkan pilihan kebijakan yang final. Charles W Kegley dan Eugene R. Wittkopf menerapkan pemikiran rational choice model dalam menganalisis kebijkan luar negeri dan mengidentifikasi empat langkah yang ditempuh oleh para pembuat
kebijkaan yaitu: problem recognition and definition, goal selection, identification of alternatives, dan menentukan policy choice.80
Menurut Charles E. Lindblom dan Edward J. Woodhouse apa yang dikemukakan
oleh model pilihan rasioanl tidak menggambarakan secara akurat proses pembuat
kebijakan yang sebenarnya.81 Ahli Hubungan Internasional dari Univeritas Harvad
yang bernama Graham T. Allison dalam bukunya yang berjudul The Essence of
Decision memperkenalkan model pembuatan kebijakan luar negeri yang disebut
bureaucratic politics model. 82 Dengan menggunakan ilustrasi kebijakan AS
76 Aleksius Jemadu, op. cit., hal. 65 77 Aleksius Jemadu, op. cit, hal. 99 78 Ibid., hal. 99 79 Ibid. , hal. 99 80 Ibid., hal. 99 81 Aleksius Jemadu, op. cit., hal.102 82 Ibid., hal. 102
menghadapi krisis nuklir Kuba pada awal tahun 1960-an Alison menggarisbawahi
pentingnya untuk memperhitungkan apa yang disebut Standard Operating
Prosedures (SOP) dan politik pertarungan kepentingan kelemabagaan antara
berbagai instasi pemerintah yang terlibat dalam pembuatan kebijkan luar negeri.
2. Model Birokratik Politik
Model bureaucratic politics sangat meragukan klaim dari kaum realis dan
neorealist bahwa negara yang diwakili pemerintah selalu bertindak sebagai unitary
actor dan selalu berorientasi pada pencapian kepentingan nasional.83 Penjelasan
kebijakan luar negeri mendapatkan kontribusi yang nyata dari ilmu psikologi yang
menenkankan peran kepribadian pemimpin atau pembuat kebijakan luar negeri
secara individual.84 Dalam model ini yang mendapat penekanan bukan lagi institusi
pembuat kebijkan tetapi kepribadian serta nialinilai yang dianut para pemimpin
yang menjadikan kebijakan luar negeri sebagai instrumen untuk mewujudkan
obsesi dan ambisi pribadinya. Model kebijakan luar negeri yang didasarkan pada
ilmu psikologi sudah banyak dikembangkan dalam literatur tentang hubungan
internasional atau politik global tetapi tentu saja model tersebut tidak bisa
diterapkan pada semua kondisi karena agak sulit ketika menerima asumsi bahwa
kebijakan luar negeri hanaya bergantung pada beberapa individu yang kebetulan
sednag memegang kekuasaan.85
Dalam perkembangan studi kebijakan luar negeri, para analists mulai
menegmbangkan model-model baru dimana para pembuat kebijakan luar negeri
dituntut untuk memeberikan respons teerhadap proses demokratisasi dalam negeri
dan gejolak globalisasi yang terjadi di lingkungan eksternal.86
Pengembangan model keputusan birokrasi (bureaucratic) (dapat dikaitkan
dengan Graham Allison (1971). Esensi Keputusan dan pekerjaan lebih lanjut
83 Aleksius Jemadu, op. cit., hal. 102 84 op. cit., hal. 103 85 Ibid., hal.103 86 Aleksius Jemadu, op. cit., hal.109.
dengan Morton Halperin (Allison 1969; Allison dan Halperin 1972). Karya ini
memelopori konsep teori dan mengembangkan strukturnya sebagai cara untuk
menjelaskan tindakan pemerintah. Ini tidak berarti bahwa ada penerimaan luas dari
model ini dan implikasinya; teks disambut dengan pujian (Holsti 1972; Rourke
1972; Wagner 1974) dan kritik (Caldwell 1977; Krasner 1972). Baru-baru ini, para
sarjana telah mempertanyakan konsistensi logika internal model (Bendor dan
Hammond 1992) dan generalisasi terhadap sistem politik lain (Kasza 1987).87 Ada
dua aspek mendasar dalam memahami pengambilan keputusan dalam pendekatan
ini: (1) bagaimana keputusan dicapai dan (2) mengapa aktor dalam proses
pengambilan memiliki preferensi tertentu. Allison (1971, 144) membuatnya cukup
jelas bahwa nama dari permainan ini adalah politik: tawar sepanjang sirkuit
regularized antara pemain posisi hierarkis dalam pemerintah. Perilaku pemerintah
sehingga dapat dipahami. . . bukan sebagai output organisasi, tetapi sebagai hasil
dari permainan tawar-menawar.88
Pelaku pemerintah lebih murah hasil karena tujuan mereka yang berbeda
kebijakan. Tingkat tinggi posisi para aktor memiliki dalam lingkungan kebijakan
luar negeri memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam permainan
tawarmenawar (Allison 1971, 164). 89
Aktor akan menawar atas kebijakan untuk memaksimalkan pengaruh yang
mereka miliki di wilayah kebijakan (Downs 1994; Eavey 1987; t 'Hart 1990;
Hermann, Geva, dan Bragg 2001; Rhodes 1994). Mereka melakukannya untuk
"mempromosikan posisi organisasi mereka telah diambil di masa lalu" yang
"konsisten dengan kepentingan organisasi mereka mewakili" (Feldman 1989,
13).90
87 Eben J. Christensen; Steven B. Redd. 2004. Bureaucrats versus the Ballot Box in Foreign Policy Decision Making: AN EXPERIMENTAL ANALYSIS OF THE BUREAUCRATIC POLITICS MODEL AND THEPOLIHEURISTIC THEORY. Vol. 48, No.1. Beverly Hills: Sage Publications, Inc. hal. 69 88 Ibid., hal. 69 89 Ibid., hal. 69 90 Eben J. Christensen; Steven B. Redd, op.cit., hal 69
Probabilitas masing-masing pemain dari kesuksesan tergantung pada setidaknya
tiga unsur: keuntungan tawar, keterampilan dan kemauan dalam menggunakan
keuntungan tawar-menawar, dan persepsi pemain lain dari kedua bahan pertama.
(Allison dan Halperin 1972, 50) Dalam penelitian ini dikatakan meneliti bagaimana
kehadiran penasihat beberapa dapat mempengaruhi pilihan kebijakan luar negeri. 91
Rosati (1981) mengartikulasikan argumen asli ketika ia menggambarkan hubungan
yang ada antara aktor dan organisasi yang mereka wakili. Yang pertama adalah
bahwa untuk setiap masalah saja, kelompok kebijakan luar negeri keputusan
memiliki banyak individu dan organisasi, masing-masing dengan berbagai
perbedaan dalam tujuan dan sasaran. Ini mengasumsikan bahwa tidak ada individu
atau organisasi lebih besar ada dalam kelompok. Dengan demikian, presiden hanya
satu dari banyak "kepala" dalam proses pengambilan keputusan. Dalam kasus
tersebut, "tidak memiliki satu saja individu kemampuan untuk secara rutin
menentukan posisi pemerintah pada kelas isu kebijakan luar negeri" (Hermann,
Hermann, dan Hagan 1987, 315).92 Yang lainnya berpendapat bahwa ada cara untuk
pembuat keputusan untuk mempertahankan pengaruh terhadap bawahan,
menghilangkan manipulasi informasi mereka (Bendor, Taylor, dan Van Gaalen
1987). Hal ini dilakukan melalui penggunaan insentif dan sumber informasi
beberapa sebagai pemeriksaan pada bias. Dalam analisis mereka terhadap model
politik birokrasi, para penulis ini berpendapat bahwa presiden dapat melaksanakan
kewenangan atas kelompok. Otoritas ini berasal dari status presiden dan kekuatan
yang melekat dalam posisi. Pertanyaan yang telah menjangkiti model politik
birokrasi (Bendor dan Hammond 1992) adalah bagaimana presiden membuat
keputusannya. 93 Tanpa mengacu secara khusus kepada presiden, Allison dan
Halperin (1972, 43) berpendapat bahwa pemain membuat keputusan pemerintah
bukan oleh pilihan rasional tunggal, tetapi dengan menarik dan pengangkutan. (Ini
tidak berarti menyiratkan bahwa individu pemain tidak bertindak secara rasional,
91 Ibid., hal 69 92 Ibid., hal 69 93 Eben J. Christensen; Steven B. Redd, op.cit., hal 69
mengingat kepentingan mereka.) Dengan demikian, pengambil keputusan (yaitu,
presiden) yang dalam model kebijakan luar negeri ini adalah salah satu yang
mungkin bertindak secara rasional dengan mempertimbangkan situasi keputusan
dan kepentingan tertentunya. 94
Aspek mendasar kedua model politik birokrasi adalah bahwa aktor dalam
permainan tawar mewakili preferensi secara organisasi dibentuk (Drezner 2000;
George 1980). Allison dan Halperin (1972) berpendapat bahwa individu-individu
dalam posisi dalam organisasi memiliki preferensi atas alternatif yang ditentukan
oleh karakteristik psikologis individu dan sifat dari posisi itu sendiri. 95
Model birokratik memberikan landasan teoritis terbaik untuk bagaimana
pilihan kebijakan akan dievaluasi berdasarkan preferensi organisasi seseorang.
Karena aktor mencoba untuk memaksimalkan tujuan organisasi mereka ', pembuat
keputusan memiliki asumsi tentang evaluasi alternatif. Hollis dan Smith (1986, 275),
dalam menerapkan model politik birokrasi terhadap keputusan Presiden Jimmy
Carter untuk mengejar misi penyelamatan di Iran, berpendapat bahwa organisasi
"kesetiaan begitu mencolok bahwa salah satu bahkan mungkin menduga bahwa,
peserta beralih posisi, mereka juga telah beralih preferensi. " Pengambil keputusan
akan memiliki stereotip dari penasihat berdasarkan organisasi mereka, mengingat
bias melekat penasihat '. Stereotip ini memungkinkan para pembuat keputusan agar
sesuai dengan berbagai peristiwa ke yang jelas, kategori sempit dan dengan
demikian memberikan kontribusi pada kecepatan dan ekonomi dari usaha mental,
pada biaya nuansa. (Vertzberger 1990, 126). Hal ini dapat diharapkan dalam situasi
kebijakan luar negeri karena jumlah besar informasi dan lingkungan yang kompleks.
Para pengambil keputusan mungkin percaya bahwa lembaga-lembaga pertahanan
akan mendukung aksi militer, dan lembaga diplomatik akan memilih alternatif
diplomatik. Stereotip ini memulai dan memandu proses mengingat dan interpretasi
dengan cara yang memberikan individu dengan stereotip-mengkonfirmasikan bukti
94 Ibid., hal 69 95 Ibid., hal 69
bukti lebih mudah daripada dengan stereotip-disconfirming. (Hamilton 1981). Oleh
karena itu, "stereotip adalah konstruk kognitif yang kaku yang sangat sulit untuk
disconfirm" (Vertzberger 1990, 127).
3. Teori Poliheuristik dalam Kebijakan Luar Negeri
Teori poliheuristik pengambilan keputusan dikembangkan sebagai alternatif
untuk kedua model aktor rasional klasik awalnya dikembangkan pada 1940-an dan
pengambilan keputusan cybernetic. Teori Poliheuristic berfokus pada kedua proses
dan hasil dari pengambilan keputusan (Mintz dan Geva 1997). Para poliheuristic
jangka dapat dibagi ke dalam akar poli (banyak) dan heuristik (jalan pintas), yang
menyinggung mekanisme kognitif yang digunakan oleh pengambil keputusan untuk
menyederhanakan keputusan yang kompleks kebijakan luar negeri. (Mintz et al
1997,. 554). 96 Sniderman, Brody, dan Tetlock (1991, 19) menyatakan bahwa
heuristik adalah jalan pintas menghakimi, cara yang efisien untuk mengatur dan
menyederhanakan pilihan politik, efisien dalam arti ganda yang membutuhkan
informasi yang relatif sedikit untuk mengeksekusi, namun jawaban diandalkan
menghasilkan bahkan untuk masalah kompleks pilihan. Cara pintas ini digunakan
dalam sejumlah "strategi keputusan," berbeda yang menentukan prosedur yang
terbaik akan cocok dengan hasil yang diinginkan (Beach dan Mitchell 1978).97
Teori poliheuristik pengambilan keputusan melibatkan proses pengambilan
dua tahap. Pada tahap pertama, pengambil keputusan menyaring alternatif yang ada
menggunakan heuristik keputusan untuk meringankan beban kognitif dengan
mengurangi jumlah alternatif dalam lingkungan keputusan. Hal ini melibatkan
"pencarian nonholistic mana pilihan 'hidup' alternatif biasanya sedang dilakukan di
seluruh dimensi sebelum selesainya pertimbangan semua alternatif bersama semua
dimensi" (Mintz et al 1997,. 554).98 Tahap kedua melibatkan evaluasi dari alternatif
yang tersisa / yang bertahan menggunakan lebih banyak jenis analitik /
96 Eben J. Christensen; Steven B. Redd, op.cit., hal 69. 97 Eben J. Christensen; Steven B. Redd, op.cit., hal 69 98 Ibid., hal 69
memaksimalkan aturan keputusan (Mintz dan Geva 1997;. Mintz et al 1997).
Literatur sebelumnya (Christensen 2002; Mintz 1993; Mintz dan Geva 1997; Mintz
et al, 1997;. Redd 2002) menunjukkan bahwa pengambil keputusan menggunakan
strategi noncompensatory saat memproses informasi sebelum pilihan. 99100 Prinsip
kompensasi bahwa para pengambil keputusan membuat tradeoff dalam evaluasi
alternatif. Skor yang tinggi di salah satu alternatif yang dapat menggantikan skor
rendah yang lain. Atau, prinsip noncompensatory menyatakan bahwa nilai yang
tinggi tidak akan memberikan kompensasi untuk yang rendah.
112.
Ada ada strategi pilihan dimana "jika sebuah alternatif tertentu tidak dapat
diterima pada dimensi tertentu ... maka skor yang tinggi pada dimensi lain tidak
dapat mengkompensasi / mengatasi untuk itu, dan karenanya alternatif tersebut
tereliminasi" (Mintz 1993, 598). Ini berbeda dari utilitas berbasis model kompensasi
di mana alternatif aditif dan dapat dikombinasikan "untuk menghasilkan nilai
keseluruhan untuk setiap alternatif" atau "alternatif dibandingkan pada setiap
dimensi dan perbedaan antar dimensi dijumlahkan" (Mintz 1993, 597). Dalam kasus
noncompensatory tersebut, pengambil keputusan menggunakan kriteria hanya
relevan dan trivial dan informasi di alternatifalternatif dalam lingkungan pilihan
yang diberikan. 101
Mintz (1993, 601) berpendapat bahwa "sebuah alternatif yang mungkin
merusak prospek politik pemimpin ditolak sebelum mengevaluasi 'skor' pada
dimensi lain." Teori Poliheuristic berpendapat bahwa "para pengambil keputusan
akan menggunakan atribut, atau dimensi berbasis proses bukan pendekatan
alternatif berbasis pengolahan informasi" karena semakin mengurangi tingkat
kompleksitas dalam evaluasi informasi (Redd 2000, 55). Pengambil keputusan
kebijakan luar negeri (misalnya, presiden Amerika) akan mengevaluasi alternatif
99 Ibid., hal 69 100 Ibid., hal 69 101 Eben J. Christensen; Steven B. Redd, op.cit., hal 69.
kebijakan sesuai dengan konsekuensi politik dan militer dari kebijakan tersebut.
Evaluasi ini termasuk dukungan politik pemilihan pemimpin karena keinginan
untuk tinggal di kantor (Mintz dan Geva 1997) tetapi juga dapat mencakup opini
publik, popularitas pemimpin, dan oposisi domestik (Redd 2000). Sebagai contoh,
di (2000, 187) Baca evaluasi terhadap penggunaan Clinton kekerasan di Kosovo,
"Presiden bertekad untuk tidak bertindak di luar negeri sampai tiba politis dan perlu
bagi dia untuk melakukannya." Pemilu yang akan datang dan persetujuan publik
dipimpin Clinton untuk mengevaluasi alternatif dengan cara noncompensatory
sepanjang dimensi politik.102
Asumsi lebih lanjut dari teori poliheuristic adalah bahwa penyajian informasi
akan mempengaruhi bagaimana informasi ini dievaluasi dan apa pilihan yang dibuat.
Mintz dkk. (1997) menemukan bahwa dalam suasana eksperimental, sifat penyajian
informasi melanggar keyakinan sebelumnya diadakan tentang akuisisi informasi.
Para penulis ini menguji efek pada proses keputusan set pilihan statis vs dinamis.
Responden yang disajikan dengan pilihan set statis diberi semua alternatif dan
dimensi (informasi semua) pada awal percobaan. Dalam pengaturan yang dinamis,
responden disajikan hanya tiga alternatif, tapi setelah jumlah tertentu informasi itu
diakses, keempat muncul. Para penulis menemukan bahwa perubahan tersebut
dalam akuisisi penyajian informasi yang terkena dampak dan bahwa dalam situasi
dinamis, pengambil keputusan lebih cenderung untuk mengabaikan informasi baru
karena biaya tenggelam (Mintz et al 1997,. 556). Redd dan Geva (2001)
menemukan bahwa variasi dalam penyajian informasi pilihan kebijakan
dipengaruhi asing. Khususnya, mereka menyajikan informasi dalam format
alternatif-versus dimensi berbasis. 103
C. Fungsi Umum Kebijakan Luar Negeri
102 Ibid., hal 69. 103 Eben J. Christensen; Steven B. Redd, op.cit., hal 69
Secara analitis, kebijakan luar negeri melayani fungsi politik tertentu untuk
negara, dan fungsi yang paling umum adalah:
1. Melindungi keamanan nasional, misalnya, dengan mengembangkan
kekuatan militer dan masuk ke aliansi keamanan dengan negara lain;
2. Menjaga dan meningkatkan kekuatan ekonomi nasional dan kesejahteraan,
misalnya, dengan membuka pasar luar negeri untuk ekspor dan investasi
asing;
3. Membina pembangunan daerah strategis penting dan negara melalui
bantuan pembangunan bilateral dan multilateral, dan
4. Mendukung martabat manusia melalui, misalnya, bantuan kemanusiaan dan
hak asasi manusia strategi. 104
Mengidentifikasi fungsi-fungsi politik luar negeri tidak berarti bahwa negara
gagal untuk mencapai tujuan lain (misalnya, menyebarkan ideologi politik atau
agama), atau bahwa setiap negara bergerak di bidang kebijakan luar negeri di bawah
setiap fungsi, atau bahwa setiap negara diberikan mengejar fungsi-fungsi ini
koheren atau efektif. Menggambarkan fungsi dasar membantu, namun, untuk
analisis pusat pada apa negara berusaha untuk mencapai melalui kebijakan luar
negeri mereka. Umumnya, negara apa yang di slot kebijakan luar negeri mereka ke
dalam salah satu fungsi tersebut. 117Secara tradisional, fungsi-fungsi kebijakan luar
negeri telah ada dalam hirarki, dengan keamanan nasional dan kekuatan ekonomi
dan kesejahteraan menerima bagian terbesar dari perhatian. Selama Perang Dingin,
keamanan nasional dan kekuatan ekonomi yang erat terhubung, terutama untuk
kekuatan besar, yang menerangi mengapa para pembuat kebijakan luar negeri
dilihat hampir segala sesuatu melalui lensa keamanan dan kekuasaan materi. Oleh
karena itu, penyediaan bantuan pembangunan, bantuan kemanusiaan, dan dukungan
untuk hak asasi manusia sebagian besar terperangkap dalam persaingan geopolitik
104 David P Fidler. 2009. “HEALTH IN FOREIGN POLICY: AN ANALYTICAL OVERVIEW”. Political Journal. Vol.15. No. 3. United Kingdom: Taylor & Francis Ltd., hal. 11. 117 David P Fidler, op.cit., hal.11.
untuk keamanan dan kekuasaan dipupuk oleh sistem internasional bipolar. Dalam
lingkungan ini, masalah kesehatan pada dasarnya tidak berpengaruh independen
pada pembuatan kebijakan luar negeri. 105
D. Tujuan Kebijakan Luar Negeri
Istilah kepentingan nasional kadang-kadang disalahgunakan sebagai alat untuk
menganalisis tujuan bangsa. Kenyataannya terjadi perebatan ilmiah yang
berkepanjangan mengenai arti konsep ini, namun hanya sedikit kesepakatan yang
dicapai.106 Kelemahan utamanya adalah kekaburan konsep tersebut. Seperti yang
dituliskan oleh Paul Seabury:120 Ide kepentingan nasional mungkin mengacu pada
serangkaian tujuan ideal yang seharusnya diusahakan untuk diwujudkan dalam
tindak hubungan luar negerinya. Dengan istilah yang lebih baik, kita mungkin dapat
menyebutkannya konsep kepentingan nasional yang bersifat normatif dan
kewarganegaraan… Arti kedua yang sama pentingnya mungkin dapat disebut
kepentingan yang bersifat deskriptif. Dalam arti kepentingan nasional mungkin
dapat dianggap sebagai tujuan yang ingin dicapai melalui kepemimpinannya
dengan perjuangan yang gigih. Bila kita bicara tentang kepentingan nasional dalam
arti deskriptif ini, kita keluar dari bidang metafisika ke alam kenyataan… Dapat
juga dikatakan bahwa kepentingan nasional adalah apa yang dikatakan pembuat
kebijakan luar negeri sebagai kepentingan nasional. Definisi ketiga dapat membuat
arti kepentingan nasional agak lebih jelas. Kepentingan nasional Amerika sering
menjadi arena konflik antarindividu dan kelompok masingmasing yang mempunyai
konsepsi yang sangat berbeda. Ketidaksepakatan mengenai kebijakan dan tindakan
mungkin timbul diantara mereka yang pada dasarnya setuju akan tujuan umum
negara mereka di dunia. Namun ketidaksepakatan kebijakan biasanya disebabkan
perbedaan pendapat diantara pembuat kebijakan mengenai konsepsi tentang apakah
105 Ibid., hal.11. 106 K.J. Holsti. 1983. Politik Internasional. Jakarta: Erlangga. hal. 136. 120Ibid., hal. 136.
Amerika Serikat dan apa peranannya dalam politik dunia, bahkan bagaimana
seharusnya misi yang diembannya. 107
Walaupun mungkin terdapat kepentingan nasional yang bersifat tetap seperti
pemeliharaan diri yang disepakati setiap orang namun tidak seorangpun dapat
mengkalim dengan pasti bahwa setiap tujuan kusus dan tujuan lainnya merupkan
serangkaian kepentingan nasional.122 Dalam hal ini untuk menghindari istilah
tersebut maka digunakan konsep tujuan yang sebenarnya adalah gambaran atau
keadaan peristiwa masa depan dan rangkaian kondisi yang dikemudian hari yang
ingin diwujudkan pemerintah melalui pembuat kebijakan luar negeri dengan
menggunakan pengaruh di luar negeri dan dengan mengubah atau mendukung
sikapa negara lain.108
Ada 3 tujuan dalam kebijakan luar negeri yaitu:
1. Tujuan kepentingan dan nilai inti
Kepentingan dan nilai inti dapat digambarakan sebagai sejenis kepentingan
yang untuk mencapainay kebanyakan ornag bersedia melakukan pengorbanan yang
sebesar-besarnya. Nilai dan kepentingan ini biasanya dikemukakan dalam bentuk
asas-asas pokok kebijakan luar negeri dan menjadi keyakinan yang diterima
masyarakat tanpa sikap kritis.109 Kepentingan dan nilai inti seringkali dihubungkan
dengan pemeliharaan diri suatu unit politik. Kepentingan dan nilai inti merupakan
tujuan jangka pendek, karena tujuan lain jelas tidak dapat dicapai apabila unit
politik yang mengejarnya tidak mempertahankan eksistensinya sendiri110 Definisi
yang tepat dari nilai atau kepentingan inti di negara tertentu tergantung pada sikap
mereka yang membuat kebijakan.126
107 K.J. Holsti, op. cit., hal.137 122 Ibid., hal. 137. 108 Ibid., hal. 137. 109 K.J. Holsti,op.cit., hal.86. 110 op.cit., hal.52. 126 Ibid., hal.52.
2. Tujuan Jangka Menengah
Terdapat beberapa tujuan jangka menengah yaitu:
Mencakup usaha pemerintah memenuhi tuntutan dan kebutuhan perbaikan
ekonomi melalui tindakan internasioanl. Kesejahteraan sosial dan pembangunan
ekonomi adalah tujuan utama semua pemerintah pada zaman ini tidak dapat dicapai
dengan kekuatan sendiri. Karena terdapat keterbatasan yang dimiliki oleh satu
negara misalnya keterbatasan sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi
maka perlu adanya interaksi dengan negara lain. Hal ini dapat dilakukan melalui
perdagangan, bantuan luar negeri, akses informasi yang dapat juga meningkatkan
kesejahteraan.111
Jenis yang kedua dari tujuan jangka menengah adalah meningkatkan prestise
negara dalam sistem itu. Pada saat ini, prestise dapat diukur melalui tingkat
perkembangan industry dan keterampilan ilmiah serta teknologi. Tujuan jangka
menengah ini tidak mempunayai unsure waktu khsus, tetapi sebagian pemimpin
masa kini dan negara berkembang berharap dapat mulai mengejar negara-negara
yang ekonominya lebih maju. Negara industry dan negara maju dapat meningkatkan
gengsi internasionalnya melalui sejumlah kebijkaan dan tindakan, termasuk
ekspansi kemampuan militer, pembagian bantuan luar negeri, jalur diplomatik serta
kunjungan balasan oleh kepala negara serta pameran
industri.112
Tujuan jangka menengah yang ketiga mencakup banayak bentuk perluasan
diri atau imperialism. Beberpa negara mengklaim wilayah tatangga sekalipun
wilayah itu tidak memenuhi persyaratan militer atau kesatuan etnis yang penting.
Perluasan wilayah menjadi tujuan dalam dirinya sendiri terlepas apakah ia
memenuhi atau tidak memenuhi kebutuha strategis, ekonmis atau sosial.113
111 op.cit., hal.145 112 K.J. Holsti, op.cit., hal. 146 113 Ibid., hal.. 146
3. Tujuan Jangka Panjang
Tujuan jangka panjang adalah rencana, impian, pandangan, mengenai
organisasi politik atau ideologi terakhir sistem internasional, aturan yang mengatur
hubbungan dalam sistem itu dan peran negara tertentu di dalamnya. Perbedaab
antara tujuan jangka menegah dan jangka panjang tidak hanya berhubungan dengan
unsur waktu yang berlainan yang inheren di dalamnya., juga terdapat perbedaan
penting dlam lingkup. Dalam rangka mengejar tujuan jangka menengah, negara
melakukan tekanan tertentu pada negara tertentu untuk menegejar tujuan jangka
panjang, negara biasanya melancarkan tuntutan universal karena tujuannya tidak
kurang dari membangun kembali sistem internasional meneyeluruh nenurut rencana
atau pandangan yang secara internasional dapat
diterapkan.114
E. Tindakan Kebijakan Luar Negeri
Kebijakan juga mengandung komponen tindakan, yakni hal yang dilakukan
pemerintah kepada pihak lain untuk menghasilkan orientasi, memnuhi peran atau
mencapai dan mempertahankan tujuan tertentu. 115 Tindakan pada dasarnya
merupakan satu bentuk komunikasi yang dimaksudkan untuk mengubah atau
mendukung perilaku pemerintah negara lain yang sangat berperan untuk
menentukan berhasil tidaknya pencapaian tujuan pemerintah negara yang
bersangkutan.116
Proses politik internasional dimulai bila negra katakanlah negara A berusaha
melalui berbagai tindakan atau isyarat untuk mengubah atau mendukung perilkau.
Misalnya, tindakan, citra dan kebijakan negra lain. Dengan demikian, kekuasaan
dapat didefenisikan sebagai kemampuan umum suatu negara untuk mengendalikan
114 op.cit. ,hal.147 115 K. J. Holsti, op.cit., hal.186 116 Ibid
perilkau negara lain.117 Hal tersebut dapat digambarkan oleh Gambar 2.1118 berikut
ini:
Pengaruh Negara Negara
A B
Untuk melakukan X
Sumber: K.J. Holsti. 1983. Politik Internasional. Jakarta: Erlangga. hal. 159
117 op.cit, hal.159 118 Ibid., hal. 159