BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG SELF-EFFICACY DAN...
Transcript of BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG SELF-EFFICACY DAN...
14
BAB II
KAJIAN TEORITIS TENTANG SELF-EFFICACY
DAN PRESTASI BELAJAR SISWA
A. Teori Self-Efficacy
Self-efficacy didasarkan pada kerangka teori besar yaitu teori social
cognitive. Teori social cognitive ini berfokus pada cara-cara dimana seseorang
belajar dari hasil pengamatan. Perspektif ini mencerminkan perpaduan antara
konsep behavior dan kognitif. Variabel lingkungan dan kognitif serta perilaku
yang secara terus menerus berinteraksi satu sama lain. Bandura (1997:5-6)
memandang bahwa manusia beroperasi dalam sebuah struktur yang disebut
dengan reciprocal determinism (lihat gambar 2.1).
P
B E
Gambar 2.1 Model Reciprocal Determinism
Reciprocal determinism merupakan konsep penting dalam teori social
cognitive dan merupakan landasan pemahaman perilaku dari Bandura. Bandura
(Hall dan Lindzey, 1985:537) mengungkapkan bahwa teori social cognitive
memperlakukan reciprocal determinism sebagai suatu prinsip dasar untuk
menganalisis fenomena psikososial pada berbagai tingkat kompleksitas, mulai
dari perkembangan intrapersonal, sampai kepada perilaku interpersonal, untuk
memfungsikan interaksi antara organisasi dengan sistem sosial.
15
Gambar 2.1 menunjukkan sebuah hubungan timbal balik dimana dalam
hubungan tersebut terjadi interaksi antar perilaku. B mewakili perilaku, P
mewakili faktor internal personal dalam bentuk kognitif, afektif, dan kondisi
biologis, E mewakili lingkungan eksternal (Bandura, 1997:6). Panah-panah yang
ada dalam gambar tersebut menunjukkan hubungan yang berkesinambungan,
sehingga dapat diartikan semua komponen yang ada saling mempengaruhi satu
dengan yang lainnya.
Dengan melihat model reciprocal determinism dalam gambar 2.1. semua
aspek yang ada digambarkan saling berhubungan dan tidak memiliki pusat yang
mengawali pergerakan hubungan triadic tersebut. Meskipun demikian, Bandura
(Hall dan Lindzey, 1985:539) mengatakan bahwa terdapat pusat atau center yang
merupakan tempat awal dari ketiga komponen tersebut sebagai awal pergerakan
hubungan timbal balik yaitu sistem diri.
Sistem diri mengacu pada struktur kognitif yang menyediakan referensi
mekanisme dan satu set subfungsi untuk mengevaluasi persepsi dalam mengatur
perilaku. Adapun fungsi dari sistem diri itu sendiri dapat kita lihat pada gambar
2.2. Gambar tersebut menunjukkan satu fungsi dari sistem diri untuk mengatur
perilaku secara terus-menerus yang terlibat dalam self-observations (pengamatan
diri), judgmental process (proses menilai) dan self-response (reaksi terhadap
perilaku sendiri). Rangkaian aspek tersebut menggambarkan bahwa perilaku dapat
dinilai menurut standar personal dengan cara membandingkan dengan perilaku
orang lain. Dalam pengamatan dan penilaian tersebut, seseorang dapat
mengevaluasi apakah perilaku seseorang tersebut mencerminkan hal positif atau
16
negatif dan apakah seseorang tersebut berhak mendapatkan hadiah atau hukuman.
Pengembangan standar perilaku dapat dilakukan dengan cara mengamati model
seperti orang tua dan guru, dapat melalui interpretasi umpan balik yang diberikan
oleh figur yang memiliki otoritas, dari evaluasi dan penilaian terhadap diri sendiri,
serta konsekuensi yang seseorang terapkan terhadap dirinya sendiri dan juga
dikembangkan dari pengalaman sendiri.
Gambar 2.2 Proses Self-Regulation dari Perilaku
Komponen kunci dari sistem diri adalah self-efficacy (Hall dan Lindzey,
1985:539). Bandura (1997:3) mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan
seseorang terhadap suatu kemampuan yang dimilikinya untuk mengorganisasikan
dan melaksanakan serangkaian tindakan yang harus dilakukan untuk
menghasilkan tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan definisi di atas, dapat
diketahui mengapa self-efficacy merupakan komponen kunci dari sistem diri. Hal
SELF-RESPONSE
Self-Evaluative Reactions • Positive
• Negative Tangible Self-Applied Consequences
• Rewarding • Punishing
No Self-Response
JUDGMENTAL PROCESS
Personal Standards • Modeling sources
• Reinforcement sources
Referential performances • Standard Norms
• Social Comparison
• Personal Comparison
• Collective Comparison
Valuation of Activity • Regarded highly
• Neutral
• Devalued
Performance Attribution • Personal Locus
• External Locus
SELF-OBSERVATION
Performance Dimension • Quality
• Rate
• Quantity
• Originality
• Authenticity
• Consequentialness
• Deviancy
• ethicalness
17
tersebut dikarenakan serangkaian evaluasi yang telah dilakukan oleh diri tidak
akan melahirkan suatu tindakan tanpa disertai oleh self-efficacy yang tinggi.
Dengan keyakinan yang tinggi, sesuatu yang diharapkan akan berhasil dicapai.
Dengan demikian, seseorang akan berusaha dengan keras untuk mencapai
keberhasilan tersebut. Seseorang akan merancang berbagai tindakan untuk
mewujudkan harapannya setelah mengalami rangkaian evaluasi seperti yang
digambarkan pada gambar 2.2. Sedangkan seseorang yang memiliki self-efficacy
yang rendah, meskipun seseorang tersebut telah melakukan evaluasi terhadap
dirinya dan tanpa disertai dengan keyakinan akan berhasil, seseorang tersebut
tidak akan berusaha keras untuk mewujudkan harapannya dan memilih untuk
berhenti sehingga tidak akan melakukan tindakan apapun untuk memperjuangkan
harapannya tersebut.
1. Pengertian Self-Efficacy
Premis dasar dari teori self-efficacy adalah kepercayaan seseorang
dalam kemampuannya untuk mencapai hasil yang diinginkan dari tindakan
yang dilakukan, hal tersebut merupakan penentu perilaku bagi seseorang
ketika memilih apakah seseorang tersebut akan terlibat dan gigih dalam
menghadapi rintangan dan tantangan atau sebaliknya (Maddux, 2000:2).
Untuk lebih memahami pengertian self-efficacy, Bandura (1997:3)
mendefinisikan bahwa self-efficacy adalah “ refers to beliefs in one’s
capabilities to organize and execute the courses of action required to
produce given attainment” yang artinya self-efficacy mengacu pada
keyakinan seseorang terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk
18
mengorganisasikan dan melaksanakan serangkaian tindakan yang harus
dilakukan untuk menghasilkan tujuan yang telah ditetapkan. Selaras dengan
definisi Bandura, Wagner III dan Hollenbeck (2010:93) mendefinisikan self-
efficacy “ refer to judgements that people make about their ability to execute
courses of action required to deal with prospective situations” yang artinya
self-efficacy mengacu pada penilaian seseorang bahwa mereka mampu
untuk melakukan tindakan yang diperlukan untuk menghadapi situasi yang
akan terjadi.
Lebih tegas lagi Maddux (2000:4-5) menjelaskan bahwa self-efficacy
bukan merupakan keterampilan melainkan lebih kepada kepercayaan
seseorang akan keahlian yang dapat dilakukannya dalam situasi tertentu.
Self-efficacy tidak hanya sebagai prediksi tentang perilaku seperti ungkapan
“saya akan” tetapi lebih kepada ungkapan “saya dapat melakukan.”
Selanjutnya self-efficacy didefinisikan dan diukur bukan sebagai sifat
melainkan sebagai keyakinan tentang kemampuan untuk
mengkoordinasikan keterampilan dan kemampuan untuk mencapai tujuan
yang diinginkan dalam domain dan keadaan tertentu.
Dari ketiga definisi ahli di atas, maka jelas yang dimaksud dengan
self-efficacy merupakan keyakinan yang dimiliki oleh seseorang akan suatu
kemampuan yang dimilikinya dalam mengorganisasikan serangkaian
tindakan yang akan digunakan dalam mencapai tujuannya.
19
2. Sumber-sumber Self-Efficacy
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, self-efficacy dibangun
dalam hubungan triadic antara sifat-sifat pribadi, pola prilaku dan faktor
lingkungan. Hubungan tersebut bukan merupakan hubungan secara otomatis
ditetapkan, bisa jadi ada proses yang panjang dan rumit untuk mencapai
hubungan ini (Setiadi, 2010:30). Proses pembangunan self-efficacy
membutuhkan berbagai jenis informasi. Bandura (1997:79-113)
mengungkapkan ada empat sumber utama informasi yang memberikan
kontribusi penting bagi pembangunan self-efficacy yaitu enactive mastery
experience, vicarious experience, verbal persuation, physiological and
affective states. Bandura mengingatkan bahwa sumber-sumber self-efficacy
tidak secara otomatis membentuk self-efficacy, sumber-sumber tersebut
harus diproses melalui pemikiran kognitif dan pemikiran reflektif (Setiadi,
2010:30). Berikut ini adalah sumber-sumber atau informasi yang
membentuk self-efficacy seseorang.
a. Enactive mastery experience
Salah satu hal yang paling penting yang terkait dengan sifat
manusia adalah bahwa seseorang dapat belajar dari diri mereka
sendiri. Fenomena ini disebut oleh Bandura adalah enactive mastery
experience yang memungkinkan seseorang belajar dari diri mereka
sendiri dalam hal kemampuan yang dimiliki oleh mereka.
Dalam kehidupan, manusia memainkan peran yang berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Dalam memainkan peranannya,
20
manusia menghadapi dua peristiwa yang kontradiktif yaitu
keberhasilan dan kegagalan (Setiadi, 2010:30). Keberhasilan terkait
dengan aspek-aspek positif atau tujuan yang tercapai dengan lancar,
sedangkan kegagalan terkait dengan aspek-aspek negatif yang
mengecewakan dan bahkan menyebabkan frustrasi. Dalam teori self-
efficacy, Bandura (1997) menyebutkan peristiwa kegagalan dan
keberhasilan tersebut disebut dengan mastery experience, Bandura
memandang enactive mastery experience sebagai penentu
keberhasilan seseorang karena hal itu dianggap sebagai salah satu
sumber informasi yang sangat berpengaruh dan mendukung
perkembangan self-efficacy. Meskipun demikian, mastery experience
bukan merupakan input yang secara otomatis meningkatkan
keyakinan keberhasilan seseorang, akan tetapi harus diproses dan
dibangun kembali. Bandura (1997:80) menegaskan bahwa untuk
membangun personal efficacy adalah dengan melalui mastery
experience yang penguasaannya melibatkan kognitif, perilaku dan
self-regulatory untuk membuat dan melaksanakan tindakan yang
efektif.
Menurut Bandura (Setiadi, 2010:31) dalam hubungan antara
pengalaman (mastery experience) dengan tindakan, seseorang akan
membuat perubahan dalam self-efficacy beliefs yang dimilikinya. Hal
tersebut sangat tergantung pada faktor-faktor berikut: (1) anggapan
seseorang pada kemampuan, (2) tingkatan tugas yang dirasakan sulit,
21
(3) upaya yang dilakukan untuk mencapai kemampuan, (4) jumlah
bantuan yang diterima oleh seseorang, (5) keadaan dan kondisi
seseorang dalam melakukan tindakan-tindakan mereka, (6) waktu
ketika seseorang berhasil dan gagal, (7) metode seseorang dalam
memanipulasi dan mengatur enactive mastery experience melalui
proses kognitif. Hal ini dapat diasumsikan bahwa jika seseorang
dapat mengambil banyak informasi tentang kemampuan mereka, maka
mereka akan mampu mempertahankan bahkan meningkatkan self-
efficacy mereka.
b. Vicarious experience
Vicarious experience merupakan sumber informasi dimana
seseorang belajar menerima dari luar dirinya atau orang lain yang
memungkinkan mereka untuk mengamati dan meniru perilaku serta
mengadopsi ke dalam pola perilaku mereka sendiri. Dalam vicarious
experience, pemodelan menjadi bagian paling penting dalam
perkembangan self-efficacy.
Bandura berpendapat bahwa pemodelan merupakan sarana
efektif untuk meningkatkan self-efficacy beliefs seseorang dan
diperlukan untuk menilai kinerja seseorang itu sendiri atau
membandingkan dengan kinerja yang lain (Setiadi, 2010:32).
Pemodelan ini menjadi prasyarat bagi seseorang untuk melakukan
kinerja yang baik, karena seseorang tersebut tidak hidup dalam isolasi
sosial tetapi hidup dalam interaksi sosial.
22
c. Verbal persuation
Dalam kehidupan adalah wajar bahwa manusia mengharapkan
dan mencari pengakuan sosial ketika bekerja keras dan mencapaian
sesuatu. Verbal persuation biasanya diberikan untuk perilaku tertentu,
hal ini merupakan pengakuan sosial, biasanya seseorang menerima hal
itu ketika mereka telah melakukan kompetensi. Bandura
mengungkapkan bahwa verbal persuation akan mendorong seseorang
untuk melakukan upaya lebih banyak dan mempertahankan itu dalam
rangka mencapai keberhasilan (Setiadi, 2010:33).
Dalam pengembangan self-efficacy, Bandura berpendapat bahwa
verbal persuation sering dijadikan sebagai umpan balik evaluasi
terhadap kinerja yang dilakukan (Setiadi, 2010:33). Evaluasi di sini
tidak selalu bermanfaat karena umpan balik seperti ini akan dapat
mendorong atau menghambat pengembangan self-effcacy. Umpan
balik positif akan meningkatkan keyakinan seseorang, namun
kebanyakan orang menginginkan umpan balik yang realistis yang
berarti harus ada kekonsistenan antara kinerja seseorang dan umpan
balik yang diberikan. Seperti pendapat Bandura bahwa verbal
persuation akan diterima apabila dalam kadar yang cukup (Setiadi,
2010:33).
d. Physiological and affective states
Keadaan fisik dan psikis merupakan sumber informasi penting
yang membawa perubahan terhadap self-efficacy beliefs seseorang.
23
Seseorang membutuhkan energi yang banyak untuk melakukan
kegiatan mekanik dan menimbulkan kelelahan fisik. Umumnya
seseorang dapat mengalami lelah dan stres setelah melakukan kegiatan
fisik atau emosional yang berat. Meskipun keadaaan fisiologi
berpengaruh terhadap perkembangan self-efficacy seseorang, namun
hal ini tidak menimbulkan efek secara langsung.
Tidak seperti fenomena fisik, kondisi afektif atau emosional
sulit untuk diamati dan ditafsirkan. Satu kesatuan afektif atau
emosional yang memberikan kontribusi penting bagi self-efficacy
adalah suasana hati (Setiadi, 2010:34). Dapat digambarkan bahwa
ketika seseorang berada dalam suasana hati yang baik maka mereka
akan tampil dengan baik. Sebaliknya, ketika mereka berada dalam
suasana hati lemah, mereka akan menghadapi kesulitan dalam
melakukan tugas-tugas tertentu.
Keempat sumber self-efficacy di atas dapat menjadi faktor yang
mempengaruhi tinggi rendahnya self-efficacy yang dimiliki oleh
seseorang dalam meraih tujuan yang dikehendakinya. Self-efficacy
dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau di turunkan melalui salah
satu atau kombinasi dari empat sumber tersebut (Selvianti dan Aryani,
2009:280).
24
3. Dimensi Self-Efficacy
Bandura (1997:41-43) menjelaskan bahwa self-efficacy bervariasi
pada beberapa dimensi yang memiliki pengaruh penting. Self-efficacy ini
berbeda dalam level, generality dan strength.
a. Level atau magnitude
Level atau magnitude berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas
yang dirasakan seseorang. Self-efficacy seseorang dapat berbeda
tergantung pada tuntutan tugas yang memiliki derajat kesulitan.
Misalnya dari tuntutan yang sederhana, sedang, lalu meluas kepada
tuntutan yang lebih berat pada satu bidang tertentu. Tingkat
kemampuan seseorang diukur dari tingkatan tuntutan tugas yang
menunjukkan derajat perbedaan tantangan atau hambatan untuk
mencapai kesuksesan. Sifat tantangan pada self-efficacy yang dimiliki
seseorang dengan yang lainnya akan bervariasi tergantung pada ruang
lingkup kegiatan. Tantangan dapat dinilai sesuai tingkat kepandaian,
daya juang, ketepatan, produktivitas, ancaman dan kedisiplinan diri.
Jika tidak ada hambatan dalam mengatasi masalah, maka seseorang
mudah untuk mengerjakan kegiatan dan setiap orang akan memiliki
tingkat self-efficacy yang sama tinggi. Self-efficacy bukan merupakan
sifat yang tanpa memiliki kaitan dengan situasi dan kondisi yang ada,
justru situasi dan kondisilah yang “menentukan” Self-efficacy.
25
b. Generality
Seseorang dapat menilai dirinya sendiri apakah kemampuannya
berada di berbagai bidang atau hanya dalam fungsi bidang tertentu.
Generality dapat bervariasi pada sejumlah dimensi yang berbeda,
termasuk derajat kesamaan kegiatan, kemampuan yang diekspresikan
(perilaku, kognitif, emosi), kualitas dari situasi yang ditampilkan,
karakteristik seseorang berkaitan dengan kepada siapa perilaku
tersebut ditunjukkan. Penilaian yang terkait domain kegiatan dan
situasi kondisi dapat mengungkapkan pola dan tingkat kepercayaan
seseorang dalam self-efficacy mereka. Dalam self-efficacy, beberapa
hal penting datang dari orang lain, terlebih lagi Bandura (1997:43)
mengatakan bahwa self-beliefs yang paling mendasar adalah struktur
kehidupan di sekeliling mereka.
c. Strength
Self-efficacy yang lemah mudah hilang disebabkan oleh
pengalaman yang tidak ditegaskan, sedangkan orang yang memiliki
keyakinan kuat akan kemampuannya mereka akan tetap berusaha
meskipun mereka dihadapkan pada hambatan dan kesulitan. Kekuatan
self-efficacy yang dirasakan belum tentu berhubungan linear dengan
pilihan perilaku, tetapi semakin kuat self-efficacy seseorang, maka
akan semakin besar ketekunan dan semakin tinggi kemungkinan
bahwa apa yang diupayakan akan berhasil dilakukan.
26
4. Proses dan Pengaruh Self-Efficacy Terhadap Tingkah Laku
Proses self-efficacy dimulai sebelum individu memilih pilihan mereka
dan memulai usaha mereka (Luthans, 2002:311). Terlebih dahulu mereka
menimbang, mengevaluasi dan mengintegrasikan informasi tentang
kemampuan mereka. Pada intinya dalam hal ini berhubungan dengan
bagaimana mereka melihat atau percaya bahwa mereka dapat menggunakan
kemampuan dan sumber daya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.
Bandura (1997:3) mengungkapkan bahwa keyakinan seseorang akan
kemampuan yang dimilikinya menimbulkan dampak yang beragam.
Keyakinan tersebut akan mempengaruhi tindakan yang akan dilakukan,
besarnya usaha, ketahanan dalam menghadapi rintangan dan kegagalan, pola
pikir, stres dan depresi yang dialami. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Perencanaan tindakan yang akan dilakukan
Setelah proses evaluasi yang dilakukan oleh seseorang
menghasilkan suatu keyakinan untuk dapat mencapai tujuannya, maka
selanjutnya seseorang tersebut akan membuat perencanaan tindakan
yang akan dilakukan untuk mencapai tujuannya tersebut. Seseorang
yang memiliki self-efficacy yang tinggi tidak akan merasa ragu untuk
membuat perencanaan dan serangkaian tindakan-tindakan yang akan
menguntungkan dalam mencapai tujuan yang dikehendakinya.
27
b. Besarnya usaha
Besarnya usaha seseorang untuk mencapai tujuan yang
dikehendakinya sangat dipengaruhi oleh self-efficacy yang
dimilikinya. Dengan self-efficacy yang tinggi seseorang akan
menampilkan usaha yang maksimal dan akan mengerahkan segala
kemampuan yang dimiliki untuk mendapatkan apa yang menjadi
tujuannya. Sedangkan orang yang memiliki self-efficacy yang rendah
akan menampilkan sedikit usaha dalam mencapai tujuannya.
c. Daya tahan dalam menghadapi rintangan dan kesulitan
Dalam usaha mencapai tujuan terkadang banyak rintangan dan
kesulitan yang harus dihadapi terebih lagi tujuan tersebut sangat ideal
sehingga memerlukan usaha yang cukup hebat dalam mencapainya.
Seseorang dengan self-efficacy yang tinggi, akan dapat bertahan dan
terus berjuang untuk mencapai tujuan karena seseorang tersebut
memiliki keyakinan untuk mampu mewujudkan harapannya.
Sedangkan seseorang dengan self-efficacy yang rendah maka akan
sulit bertahan dan bahkan cenderung berhenti untuk terus
mengusahakan apa yang menjadi tujuannya.
d. Resiliensi terhadap kegagalan
Dalam melihat kegagalan, seseorang dengan self-efficacy yang
tinggi tidak akan menjadi putus asa, lebih dari itu justru akan
memaknai hal tersebut sebagai cambuk untuk dapat lebih giat dalam
berusaha dan menjadikan kegagalan sebagai sebuah langkah awal
28
dalam mencapai keberhasilan sehingga akan berusaha memperbaiki
usaha-usaha yang dikeluarkan sebelumnya untuk mencapai
keberhasilan. Berbeda dengan seseorang yang memiliki self-efficacy
rendah yang cenderung berputus asa dan cenderung berhenti berusaha
karena memiliki keyakinan bahwa tidak akan pernah dapat mencapai
keberhasilan.
e. Pola pikir
Ketika seseorang memiliki tujuan, langkah pertama yang harus
dimiliki adalah pemikiran positif terhadap kemampuan yang dimiliki.
Pemikiran positif tersebut akan membuat seseorang berani untuk
bertindak. Tinggi rendahnya self-efficacy yang dimiliki oleh seseorang
akan mempengaruhi pola pikir seseorang tersebut dalam usaha
mencapai tujuan.
f. Stres dan depresi
Tidak sedikit dalam meraih apa yang diharapkan terkadang
dalam perjalanannya menemui kesulitan yang luar biasa sehingga
dapat menyebabkan tekanan yang menjadikan seseorang mengalami
stres maupun depresi. Stres dan depresi dapat disebabkan oleh
kecemasan yang berlebihan. Kecemasan yang berlebihan akan
membuat usaha-usaha yang dilakukan menjadi berantakan. Penelitian
yang dilakukan oleh Musfirah, Rahmahana dan Kumolohadi (2003)
tentang self-efficacy dengan kecemasan dalam menggunakan
komputer yang menunjukkan bahwa semakin tinggi self-efficacy yang
29
dimiliki seseorang semakin rendah kecemasan dalam menggunakan
komputer begitu pula sebaliknya.
g. Tingkat prestasi yang direalisasikan
Seseorang akan menentukan target, dengan terlebih dahulu
melihat kemampuan yang dimilikinya. Dengan self-efficacy yang
tinggi seseorang akan menetapkan target yang tinggi sedangkan
seseorang yang memiliki self-efficacy yang rendah maka seseorang
tersebut akan menetapkan target yang dapat direalisasikannya dan
tidak akan menetapkan target yang tidak dapat direalisasikannya.
5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self-efficacy Remaja
Masa remaja merupakan masa yang penting dalam tahap transisi
seseorang (Bandura, 1997). Masa ini disebut juga masa yang penuh
tantangan, disebut demikian karena tidak sedikit remaja yang mengalami
masalah dan kekacauan. Pada masa remaja, seseorang dihadapkan pada
berbagai aturan orang dewasa yang harus diterapkan dalam setiap segi
kehidupan. Oleh sebab itu, remaja harus mulai berpikir serius tentang apa
yang harus mereka lalukan untuk hidup mereka. salah satunya adalah remaja
harus mulai belajar menguasai keterampilan dan belajar bagaimana cara
hidup orang dewasa. Pada sebagian remaja, bukan merupakan hal yang
mudah untuk menjalani tuntutan tersebut, sehingga pada masa ini remaja
harus memiliki keyakinan yang kuat bahwa mereka mampu melewati dan
menjalankan tuntutan yang ada. Keyakinan tersebut disebut dengan self-
efficacy. Remaja yang memiliki self-efficacy yang positif ialah remaja yang
30
yakin bahwa dirinya mampu menjalankan tugas perkembangan sebagai
seorang remaja dan cenderung mampu melewati masa remaja ini dengan
baik. Sebaliknya remaja yang memiliki self-efficacy yang negatif akan
cenderung mengalami kebingungan dan bermasalah pada masa remaja ini.
Pembentukan self-efficacy pada remaja tidak terlepas dari pengaruh yang
menyertainya. Pengaruh tersebut diantaranya adalah pengaruh dari keluarga,
teman sebaya dan lingkungan sekolah.
1. Keluarga
Dalam hal ini orang tua dan anggota keluarga memiliki peranan
penting dalam pembentukan self-efficacy remaja. Pola asuh orang tua
dan interaksi yang baik dengan anggota keluarga merupakan faktor
pendukung untuk membentuk self-efficacy yang positif pada remaja.
Selain kedua faktor tersebut, keluargapun dapat dijadikan sumber
modeling bagi remaja. Ketika dalam sebuah keluarga banyak terdapat
anggota keluarga yang berhasil, secara tidak langsung seorang remaja
akan memiliki keyakinan bahwa kelak dirinya akan berhasil seperti
keluarganya. namun jika kebanyakan dalam anggota keluarga tidak
ada yang berhasil, maka remaja yang ada dalam keluarga tersebut
akan cenderung tidak memiliki harapan dan tidak memiliki keyakinan
bahwa ia mampu untuk berhasil. Sehingga dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa keluargalah yang menjadi tempat awal seorang
remaja dapat mengembangkan self-efficacy dalam menghadapi
kehidupannya.
31
2. Teman sebaya
Self-efficacy seseorang remaja berkembang melalui
keikutsertaan mereka dalam komunitas yang luas (Bandura, 1997).
Dalam komunitas tersebut, seorang remaja akan mulai memaknai arti
dari teman sebaya. Teman sebaya memegang peranan penting
terhadap perkembangan self-effiaccy remaja. Hal tersebut dilakukan
dengan melihat tingkatan usia. Dimana anak yang lebih dewasalah
menjadi model mereka dalam meningkatkan kemampuan berpikir dan
bertingkah laku (Bandura, 1997). Banyak pembelajaran nilai sosial
terjadi antara teman sebaya. Biasanya remaja lebih cenderung sensitif
terhadap perbandingan dengan teman sebayanya dalam hal pencapaian
prestasi dan keterarahan.
remaja akan cenderung memilih teman yang memiliki kesukaan
dan paham yang sama. Pemilihan teman sebaya yang selektif akan
meningkatkan self-efficacy dalam melakukan hal-hal yang
menguntungkan. Pengaruh sosial berkembang dalam berinteraksi
dengan teman sebaya terbagi menjadi menjadi dua arah yaitu yang
pertama adalah remaja mengambil contoh atau model yang dijadikan
sumber acuan dalam melakukan suatu hal dan diri remaja sendiri yang
menentukan sikap teman sebaya dan hal apa saja yang dilakukan.
Karena teman sebaya sebagai perantara utama dalam perkembangan
self-efficacy, maka pilihan teman sebaya akan mempengaruhi
perkembangan self-efficacy remaja.
32
3. Sekolah sebagai sarana meningkatkan self-efficacy
Selama periode perkembangan kehidupan remaja, sekolah
berfungsi sebagai pengatur utama dalam mengembangkan dan
menerapkan kemampuan kognitif (Bandura, 1997). Sekolah
merupakan tempat remaja mengembangkan kompetensi kognitif dan
memperoleh pengetahuan serta keterampilan pemecahan masalah
untuk berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat. Di sini
pengetahuan dan keterampilan berpikir secara terus-menerus diuji,
dievaluasi, dan dibandingkan.
Saat remaja menguasai kemampuan kognitif, mereka pun mulai
mengembangkan kemampuan intelektualnya (Bandura, 1997). Schunk
(Bandura, 1997) mengungkapkan terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi penilaian remaja terhadap kemampuan intelektual
yang dimilikinya yaitu keterampilan teman sebaya, perbandingan
tindakan mereka dengan tindakan orang lain dan penilaian guru
terhadap kegagalan dan keberhasilan mereka. selanjutnya Bandura dan
Schunk (Bandura, 1997) mengingatkan bahwa keyakinan akan
kemampuan yang kuat, akan meningkatkan motivasi, prestasi belajar
dan menambah rasa suka terhadap mata pelajaran.
Dalam pengembangan self-efficacy siswa di sekolah, penilaian
diri siswa yang kurang pandai, akan semakin menurun ketika dalam
kelas tersebut seluruh siswa mempelajari materi yang sama dan guru
sering melakukan evaluasi perbandingan. Ketika perbandingan sosial
33
itu standar, para siswa akan menilai diri mereka berdasarkan
kemampuan mereka yang diakui oleh orang lain. siswa lebih senang
menilai perkembangan mereka dengan standar mereka sendiri
dibandingkan dengan standar orang lain. mereka berhak menyeleksi
siapa saja yang pantas dijadikan perbandingan yang kemudian akan
mereka ikuti.
Pemaparan di atas, berkaitan dengan metode pembelajaran di
kelas. Terdapat dua metode pembelajaran yang dapat di terapkan
sekolah, yaitu metode pembelajaran yang kooperatif dan kompetitif.
Metode pembelajaran kooperatif dapat mendorong siswa untuk
menghasilkan pencapaian prestasi yang lebih baik dan para siswapun
akan merasa bahwa mereka mampu, lebih mudah mengerti dan lebih
mudah merasa puas. Lain halnya dengan metode pembelajaran
kompetitif dimana siswa yang pandai akan merasa lebih hebat dan
mengejek siswa yang gagal. Tetapi dampak negatif ini akan dapat
dihindari jika masing-masing siswa memiliki hal-hal yang berbeda
untuk ditunjukan dan tentu saja harus ada usaha kerjasama yang
disusun dengan baik. Meskipun demikian, siswa pun harus belajar
menghadapi situasi yang tidak menyenangkan seperti adanya
perbedaan pengetahuan dan kemampuan. Oleh sebab itu seharusnya
pendidikan dilakukan tidak hanya untuk mendapatkan pengetahuan
dan keterampilan untuk digunakan saat ini saja, tetapi harus lebih dari
itu yaitu harus mampu memberikan siswa keyakinan bahwa mereka
34
mampu melakukan apa yang harus dilakukan di masa yang akan
datang.
Bandura (1997) mengungkapakan bahwa siswa yang memiliki
keyakinan bahwa dirinya mampu berprestasi secara akademik dan
mampu mengatur proses belajarnya, maka siswa tersebut akan
cenderung prososial dan jarang ditolak oleh teman sebayanya.
Berbeda dengan siswa yang terlalu di bebani dengan rasa
ketidakpercayaan kepada kemampuan yang dimilikinya ia akan
cenderung tidak berhubungan baik dengan teman sebayanya bahkan
dapat menyebabkan tingkah laku agresif.
6. Cara Meningkatkan Self-Efficacy
Santrock (1999) mejelaskan bahwa terdapat empat langkah dalam
meningkatkan self-efficacy.
a. Memilih suatu tujuan yang di harapkan untuk berhasil.
b. Memisahkan pengalaman masa lalu dengan rencana yang
sedang dijalani saat ini.
c. Tetap mempertahankan prestasi yang telah dicapai saat ini dan
sebelumnya.
d. Membuat daftar atau urutan kegiatan dari yang paling mudah
hingga kegiatan yang paling sulit.
35
B. Teori Belajar dan Prestasi Belajar
1. Pengertian Belajar
Dalam kehidupan sehari-hari tentunya tidak asing dengan kata belajar.
Kata belajar sering kita kaitkan dengan pendidikan formal atau seting
sekolah dimana ada guru sebagai pendidik dan murid sebagai peserta
didiknya yang disertai dengan proses belajar mengajar di dalamnya. Padahal
tidak selamanya proses belajar mengajar hanya dilakukan dalam seting
sekolah akan tetapi dapat dilakukan juga di lingkungan keluarga dan
masyarakat.
Winkel (2009) menyatakan bahwa belajar merupakan suatu aktifitas
mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan
lingkungan yang menghasilkan sejumlah perubahan dalam pengetahuan,
keterampilan dan nilai serta sikap. Syah (2008:68) mendefinisikan belajar
sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif
menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang
melibatkan proses kognitif. Slameto (2010:2) menyatakan belajar sebagai
suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Dari ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa belajar
merupakan aktifitas mental atau proses kognitif yang dihasilkan dari
pengalaman yang berlangsung dalam interaksi dengan lingkungan untuk
menghasilkan perubahan perilaku. Thursan Hakim (Sunarto, 2009)
36
mengatakan bahwa perubahan tersebut dapat diartikan adanya peningkatan
dalam beberapa hal seperti misalnya perubahan dalam penambahan
pengetahuan, peningkatan prestasi, keterampilan, daya pikir, dan lain
sebagainya. Selaras dengan ungkapan Thursan Hakim bahwa perubahan
tingkah laku ditandai dengan adanya peningkatan kualitas dan kuantitas
kemampuan seseorang dalam berbagai bidang, namun jika tidak ada
peningkatan secara kualitas maupun kuantitas maka dapat dikatakan bahwa
seseorang itu mengalami kegagalan dalam proses belajarnya (Sunarto,
2009).
2. Pengertian Prestasi Belajar
Prestasi belajar terdiri dari dua suku kata yaitu prestasi dan belajar.
Prestasi diartikan sebagai bukti usaha yang dapat dicapai, sedangkan belajar
diartikan sebagai suatu proses mental yang mengarah kepada penguasaan
pengetahuan, kecakapan/skill, kebiasaan atau sikap, yang semuanya
diperoleh, disimpan dan dilaksanakan sehingga menimbulkan tingkah laku
yang progresif dan adaptif (Winkel, 1983).
Prestasi terbagi menjadi tiga bagian yaitu prestasi akademis, prestasi
belajar dan prestasi kerja (Sudibyo AP, 2005). Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1989:787) prestasi belajar diartikan sebagai penguasaan
pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran,
lazimnya ditunjukan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh
guru. Prestasi belajar juga diartikan sebagai hasil yang diperoleh atau di
capai siswa setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar yang diberikan oleh
37
guru (Kertamuda, 2008:28). Sedangkan menurut Arikunto (2010a:4)
prestasi belajar adalah hasil dari kegiatan belajar mengajar.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar
merupakan hasil yang diperoleh oleh siswa selama mengikuti kegiatan
pembelajaran yang diberikan oleh guru berupa angka atau nilai.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Belajar merupakan suatu proses untuk menghasilkan suatu prestasi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi belajar yang sekaligus
mempengaruhi prestasi belajar yang dicapai seseorang. Faktor-faktor
tersebut digolongkan ke dalam dua faktor yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu,
sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang ada di luar individu (Slameto,
2010:54).
a. Faktor Internal
Faktor internal yang dapat mempengaruhi prestasi belajar adalah
faktor jasmaniah, faktor psikologis, dan faktor kelelahan (Slameto,
2010:54).
1) Faktor jasmaniah
Faktor jasmaniah di sini ialah kesehatan. Kesehatan
seseorang berpengaruh terhadap proses belajarnya dan dapat
berpengaruh juga pada pencapaian prestasi belajarnya. Agar
seseorang dapat belajar dan meraih prestasi belajar dengan baik
maka seseorang tersebut harus mengusahakan agar kesehatan
38
badannya tetap terjaga agar dapat berusaha dengan maksimal
dalam meraih prestasi.
2) Faktor psikologis
Faktor psikologis dapat mempengaruhi kuantitas dan
kualitas belajar dan prestasi seseorang. Banyak faktor yang
merupakan aspek psikis berpengaruh terhadap proses belajar dan
prestasi belajar. Faktor-faktor tersebut adalah inteligensi,
perhatian, minat, bakat, motif, kematangan dan kesiapan
(Slameto, 2010:55).
3) Faktor kelelahan
Kelelahan yang dialami seseorang dibedakan menjadi dua,
yaitu kelelahan jasmani dan kelelahan rohani (Slameto,
2010:59). Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglainya
tubuh, kelelahan ini terjadi karena terjadinya kekacauan
substansi sisa pembakaran di dalam tubuh sehingga darah
kurang lancar pada bagian-bagian tubuh tertentu. Sedangkan
kelelahan rohani dapat terjadi karena terus-menerus memikirkan
permasalahan yang dianggap berat. Kelelahan rohani terlihat
dengan adanya kelesuan, kelelahan ini terasa pada bagian kepala
dengan pusing-pusing sehingga sulit untuk berkonsentrasi
seolah kehabisan daya untuk bekerja.
39
b. Faktor eksternal
Faktor eksternal yang mempengaruhi belajar dan prestasi belajar
dapat digolongkan menjadi tiga golongan yaitu faktor keluarga, faktor
sekolah dan faktor masyarakat (Slameto, 2010:60).
1) Faktor keluarga
Keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan
utama. Sebelum seorang anak mendapatkan pendidikan di
sekolah, seorang anak mendapatkan pendidikan yang pertama
dari keluarganya. Keluarga menjadi faktor terpenting dalam
membentuk dan peningkatan prestasi anak. Hal yang dapat
mempengaruhi belajar maupun prestasi belajar anak adalah cara
orang tua dalam mendidik anak, relasi antaranggota keluarga,
suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, perhatian orang tua
dan latar belakang kebudayaan.
2) Faktor sekolah
Sekolah merupakan sarana belajar anak setelah lingkungan
keluarga. Lingkungan skolah memiliki pengaruh yang kuat
dalam proses belajar maupun pencapaian hasil belajar (prestasi
belajar). Terdapat beberapa hal dalam lingkungan sekolah yang
mempengaruhi belajar dan prestasi siswa yaitu metode mengajar
yang digunakan oleh guru, kurikulum, relasi guru dengan siswa,
relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu
sekolah, standar pelajaran diatas ukuran, keadaan gedung,
40
metode belajar siswa dan tugas rumah (Slameto, 2010). Semua
faktor tersebut dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa.
3) Faktor masyarakat
Masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga
mempengaruhi belajar dan prestasi belajar siswa. hal-hal yang
dapat mengganggu proses belajar dan pencapaian prestasi
belajar siswa di lingkungan masyarakat diantaranya adalah
kegiatan dalam masyarakat, mass media, teman bergaul dan
bentuk kehidupan masyarakat. Semua hal tersebut dapat menjadi
faktor-faktor penguat atau bahkan menjadi faktor penghambat
siswa dalam belajar dan pencapaian prestasinya.
4. Pengukuran Prestasi Belajar
Prestasi belajar merupakan hasil dari kegiatan dalam bidang
pendidikan. Untuk mencapai prestasi belajar, terlebih dahulu siswa harus
mengikuti rangkaian kegiatan belajar mengajar (KMB) dan selanjutnya guru
akan mengukur prestasi belajar siswa dengan cara memberikan tes prestasi
belajar kepada siswa. Tes prestasi belajar adalah suatu tes yang disusun
secara terencana untuk mengungkap performansi maksimal subjek dalam
menguasai bahan atau materi yang telah diajarkan (Azwar, 2009:9). Tes
prestasi belajar merupakan alat yang digunakan dalam pengukuran prestasi
belajar siswa.
Dalam bidang pendidikan pengukuran identik dengan kata evaluasi
dan sering disebut dengan evaluasi belajar atau evaluasi pendidikan.
41
Pengertian evaluasi pendidikan selalu dikaitkan dengan prestasi belajar
siswa, selanjutnya Ralph Tyler mendefinisikan evaluasi sebagai sebuah
proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa,
dan bagaimana tujuan pendidikan sudah tercapai evaluasi belajar atau
evaluasi pendidikan sering dikaitkan dengan prestasi siswa (Arikunto,
2010a:3). Dalam pembelajaran di sekolah, guru adalah pihak yang
bertanggung jawab atas hasil pembelajaran yang diberikan kepada siswanya.
Dengan demikian terlebih dahulu guru harus dibekali ilmu atau tata cara
mengevaluasi hasil belajar siswa untuk mendukung tugasnya, yakni
mengevaluasi hasil belajar siswa (Arikunto, 2010a).
Dalam penilaian dan mengevaluasi mengenai prestasi belajar, terdapat
beberapa tujuan dan fungsi (Arikunto, 2010a:10-11) yaitu:
a. Penilaian berfungsi selektif
Penilaian selektif ini berfungsi untuk mengadakan seleksi atau
penilaian terhadap siswanya dengan tujuan:
1) memilih siswa yang dapat diterima di sekolah tertentu,
2) memilih siswa yang dapat naik kelas atau tingkat
berikutnya,
3) memilih siswa yang seharusnya mendapat beasiswa, dan
4) memilih siswa yang sudah berhak meninggalkan sekolah.
42
b. Penilaian berfungsi diagnostik
Penilaian ini dilakukan untuk mendiagnosis kesukaran-
kesukaran, mendeteksi kelemahan-kelemahan siswa untuk dapat
diperbaiki segera.
c. Penilaian berfungsi sebagai penempatan
Penilaian ini dilakukan oleh guru dengan cara menilai
kemampuan masing-masing siswa kemudian siswa yang memiliki
kemampuan sama akan menempati kelompok dengan siswa yang
memiliki kemampuan sama.
d. Penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan
Penilaian ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana suatu
program berhasil diterapkan kepada siswa.
Hasil penilaian guru dapat berupa huruf ataupun angka.
Penilaian tersebut berbeda-beda ada yang menggunakan huruf seperti
A, B, C dan D atau dengan menggunakan angka dengan rentang 0 –
10 dan 0 – 100 (Suyabrata, 2008:296).
C. Hubungan Antara Self-Efficacy dengan Prestasi Belajar
Secara luas, kemampuan siswa dalam bidang akademik dipengaruhi oleh
kemampuan kognitif. Siswa yang memiliki kemampuan kognif yang tinggi
cenderung lebih berhasil daripada siswa yang memiliki kemampuan kognitif yang
rendah. Meskipun kemampuan kognitif sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
siswa dalam meraih prestasi, namun tidak selamanya kemampuan kognitif atau
43
intelektual dapat diterjemahkan sebagai faktor utama dalam menentukan
keberhasilan siswa dalam meraih prestasi mengingat bahwa hubungan IQ dengan
prestasi belajar berada pada kisaran moderat (Zimmerman dan Cleary, 2006).
Banyak orang yang memiliki kemampuan kognitif yang tinggi namun ia tidak
memiliki prestasi yang baik, begitupun banyak orang yang memiliki kemampuan
kognitif yang biasa-biasa saja namun dapat memiliki prestasi yang tinggi. Banyak
faktor lain selain kemampuan kognitif yang mempengaruhi prestasi belajar siswa,
diantaranya faktor yang berkaitan dengan keberanian dan keyakinan diri akan
kemampuan yang dimiliki individu. Hal ini menjadikan self-efficacy dapat
dijadikan suatu pertimbangan dalam menentukan seberapa baik prestasi belajar
yang dapat dicapai oleh individu.
Dalam dunia pendidikan, prestasi belajar yang tinggi merupakan tujuan
semua pihak. Untuk mencapai prestasi belajar yang baik diperlukan berbagai
usaha yang harus dilakukan. Seseorang akan berani untuk melakukan berbagai
macam tindakan, ketika seseorang tersebut merasa yakin bahwa sesuatu yang
ditujunya akan berhasil diraih begitupun sebaliknya. Keyakinan tersebut yang
mendorong seseorang untuk terus bertahan dalam usahanya mencapai tujuan.
Self-efficacy merupakan suatu pemicu bagi seseorang dalam melakukan
tindakan untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya. Self-efficacy dalam bidang
akademik berkaitan dengan keyakinan siswa akan kemampuannya dalam
melakukan tugas-tugas, mengatur kegiatan belajar, hidup dengan harapan
akademis mereka sendiri dan orang lain. Sehingga dapat disimpulksan bahwa
semakin tinggi self-efficacy yang dimiliki oleh seorang siswa, maka siswa tersebut
44
akan mengeluarkan usaha yang cukup besar agar mereka dapat meraih prestasi
yang tinggi.
D. Penelitian Terdahulu yang Relevan dengan Self-Efficacy dalam Belajar
dan Prestasi Belajar
Penelitian tentang self-efficacy dan prestasi belajar ini bukan merupakan
penelitian yang baru, karena telah ada beberapa penelitian sebelumnya yang
hampir sama dengan penelitian ini. Penelitian-penelitian tersebut menghasilkan
kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan.
Prestasi belajar yang tinggi tidak terlepas dari faktor-faktor yang
mendukungnya. Faktor internal dan eksternal dari siswa sangat berkontribusi
dalam menentukan tinggi rendahnya prestasi yang dicapainya. prestasi belajar
juga berkaitan dengan self-efficacy. Kaitan tersebut telah dibuktikan oleh Partino
(1999) dalam studi meta analisisnya yang mengungkapkan bahwa terdapat
hubungan antara efikasi diri (self-efficacy) dengan unjuk kerja. Unjuk kerja dapat
diartikan sebagai performance dan merupakan konstruk yang tidak dapat secara
langsung diamati. Performance dapat dibatasi sebagai unjuk kerja seseorang
dalam menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan tertentu. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Partino (1999) unjuk kerja yang dimaksud memliki bentuk seperti
prestasi akademik, pengambilan keputusan karir dan pengusaan keterampilan.
Penelitian yang dilakukan oleh Wasito (2004) mengungkapkan bahwa
terdapat hubungan kausal positif antara self-efficacy dengan prestasi akademik
dengan koefisien korelasi sebesar 0,472. Hubungan kausal ini bertindak langsung
45
maupun tidak langsung, namun dari hasil penelitian yang dilakukan hubungan
kausal langsung lebih kuat daripada hubungan kausal tidak langsung sehingga
penelitian tersebut menyimpulkan bahwa prestasi akademik dipengaruhi langsung
oleh self-efficacy.
Penelitian yang dilakukan oleh Susilowati (2009) terhadap siswa-siswi kelas
XII SMA Negeri 8 Surakarta yang berjumlah 123 siswa menyatakan bahwa
terdapat hubungan positif yang signifikan antara efikasi diri (self-efficacy) dengan
prestasi belajar siswa. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2007)
yang berjudul “hubungan antara self-efficacy, penyesuaian diri dengan prestasi
akademik mahasiswa” menunjukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan
signifikan antara self-efficacy dan prestasi akademik mahasiswa. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi self-efficacy maka semakin tinggi pula
prestasi akademik mahasiswa. Mahasiswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi
berusaha atau mencoba lebih keras dalam menghadapi tantangan dan sebaliknya
orang yang memiliki self-efficacy yang rendah akan mengurangi usaha mereka
untuk bekerja dalam situasi yang sulit. Hal tersebut dibuktikan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Litasari (2003) yang menyatakan bahwa semakin tinggi self-
efficacy pada matematika semakin tinggi pula minat mengikuti bimbingan belajar.
Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah terletak
pada karakteristik sampel, kekhasan permasalahan yang ada, lokasi dan metode
penelitian yang digunakan.
46
E. Kerangka Berpikir
Mencapai prestasi belajar yang tinggi merupakan harapan semua
siswa. pencapaian prestasi tersebut tidak terlepas dari faktor-faktor yang
mendukungnya. Bandura (Santrock, 2009:216) mengungkapkan bahwa self-
efficacy merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menentukan
apakah siswa berprestasi atau tidak. Self-efficacy merupakan keyakinan
bahwa seseorang dapat menguasai situasi dan memberikan hasil positif.
Self-efficacy ini dibangun dalam hubungan triadik antara sifat-sifat
pribadi, pola perilaku dan faktor lingkungan. Hubungan tersebut tidak
terjadi secara otomatis, bisa jadi melalui proses yang panjang (Setiadi,
2010). Ketiga komponen tersebut digambarkan saling berhubungan dan
tidak terputus. Hal ini mengindikasikan ketiga komponen tersebut saling
mempengaruhi satu sama lain.
Dalam pembangungan self-efficacy, seseorang akan dipengaruhi oleh
beberapa hal diantaranya pengalaman dan lingkungan. Pengalaman dan
lingkungan ini dapat dijadikan sebagai sumber terbentuknya self-efficacy.
Bandura (Setiadi, 2010) mengungkapkan bahwa terdapat empat sumber
utama yang memberikan kontribusi penting pada pembangunan self-efficacy
seseorang (siswa) yaitu enactive mastery experience (Pengalaman kegagalan
dan keberhasilan), vicarious experience (pengalaman orang lain atau figur
modeling), verbal persuation (pengakuan orang lain) dan physiological and
affective states (kadaan fisik dan emosional). Bandura (Setiadi, 2010)
mengingatkan bahwa sumber-sumber tersebut tidak dapat secara otomatis
47
membentuk self-efficacy, sumber-sumber self-efficacy tersebut harus
diproses terlebih dahulu melalui pemikiran kognitif yang melibatkan sistem
diri. Adapun fungsi dari sistem diri ini adalah untuk mengatur perilaku
secara terus menerus yang terlibat dalam pengamatan diri, proses menilai
dan reaksi terhadap perilaku sendiri.
Pada umumnya, jika siswa memiliki sumber self-efficacy yang positif
dan dapat diterima oleh sistem diri dan sitem kognitif, maka akan
melahirkan self-efficacy yang tinggi sehingga akan melahirkan usaha yang
maksimal sehingga siswa dapat mencapai prestasi yang tinggi. Sedangkan
subjek yang memiliki sumber self-efficacy yang negatif, maka akan
melahirkan self-efficacy yang rendah sehingga akan melahirkan usaha yang
minimal dan siswa hanya mencapai prestasi yang rendah. Selanjutnya,
karena pembangunan self-efficacy seseorang (siswa) ini dibangun dalam
hubungan triadik, maka prestasi belajar atau tujuan-tujuan yang telah
dicapai seseorang (siswa) secara tidak langsung akan mempengaruhi
lingkungan dan dijadikan pengalaman oleh seseorang (siswa) tersebut yang
nantinya akan dijadikan sebagai informasi atau sumber self-efficacy dalam
mencapai tujuan yang sama.
48
Adapun kerangka berpikir dalam penelitian ini, dapat diilustrasikan
dengan gambar berikut ini.
Sistem Diri
Struktur Kognitif
SE Tinggi
Self-Efficacy
SE Rendah
Pengalaman
dan Lingkungan
Usaha
Maksimal
Prestasi
Belajar
Rendah
Prestasi
Belajar
Tinggi
Usaha
Minimal
Gambar 2.3 Kerangka Berpikir Hubungan antara Self-Efficacy
dengan Prestasi Belajar Siswa