BAB II KAJIAN TEORI - eprints.ung.ac.ideprints.ung.ac.id/3133/5/2013-1-87205-221409082-bab2... ·...

16
BAB II KAJIAN TEORI 1.1. Partisipasi Politik Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan politik baik yang bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang bersifat tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan pemerintah. Partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik. Istilah partisipasi politik telah digunakan dalam berbagai pengertian yang berkaitan dengan perilaku, sikap dan persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi partisipasi politik. Huntington dan Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi politik sebagai : By political participation we mean activity by private citizens designed to influence government decision-making. Participation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective. (partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi- pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. 1 Dengan demikian, pengertian Huntington dan Nelson dibatasi beberapa hal, yaitu : pertama, Hutington dan Nelson mengartikan partisipasi politik hanyalah mencakup kegiatan- kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini, mereka tidak memasukkan komponen- komponen subjektif seperti pengetahuan tentang politik, keefektifan politik, tetapi yang lebih ditekankan adalah bagaimana berbagai sikap dan perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk tindakan politik. Kedua, yang dimaksud dengan partisipasi politik adalah warga negara biasa, bukan pejabat-pejabat pemerintah. Hal ini didasarkan pada pejabat-pejabat yang mempunyai 1 Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta : Rineka Cipta, 1994, hal. 4

Transcript of BAB II KAJIAN TEORI - eprints.ung.ac.ideprints.ung.ac.id/3133/5/2013-1-87205-221409082-bab2... ·...

Page 1: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.ung.ac.ideprints.ung.ac.id/3133/5/2013-1-87205-221409082-bab2... · Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi

BAB II

KAJIAN TEORI

1.1. Partisipasi Politik

Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan

taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan politik baik yang bersifat

aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang bersifat tidak langsung guna

mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik. Istilah

partisipasi politik telah digunakan dalam berbagai pengertian yang berkaitan dengan perilaku,

sikap dan persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi partisipasi politik. Huntington dan

Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi

politik sebagai :

By political participation we mean activity by private citizens designed to influence

government decision-making. Participation may be individual or collective, organized or

spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or

ineffective. (partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-

pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah.

Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau

sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.1

Dengan demikian, pengertian Huntington dan Nelson dibatasi beberapa hal, yaitu :

pertama, Hutington dan Nelson mengartikan partisipasi politik hanyalah mencakup kegiatan-

kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini, mereka tidak memasukkan komponen-

komponen subjektif seperti pengetahuan tentang politik, keefektifan politik, tetapi yang lebih

ditekankan adalah bagaimana berbagai sikap dan perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk

tindakan politik. Kedua, yang dimaksud dengan partisipasi politik adalah warga negara biasa,

bukan pejabat-pejabat pemerintah. Hal ini didasarkan pada pejabat-pejabat yang mempunyai

1 Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta : Rineka Cipta, 1994, hal. 4

Page 2: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.ung.ac.ideprints.ung.ac.id/3133/5/2013-1-87205-221409082-bab2... · Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi

pekerjaan profesional di bidang itu, padahal justru kajian ini pada warga negara biasa. Ketiga,

kegiatan politik adalah kegiatan yang dimaksud untuk mempengaruhi keputusan pemerintah.

Kegiatan yang dimaksudkan misalnya membujuk atau menekan pejabat pemerintah untuk

bertindak dengan cara-cara tertentu untuk menggagalkan keputusan, bahkan dengan cara

mengubah aspek-aspek sistem politik. Dengan itu protes-protes, demonstrasi, kekerasan

bahkan bentuk kekerasan pemberontak untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dapat

disebut sebagai partisipasi politik. Keempat, partisipasi juga mencakup semua kegiatan yang

mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak, berhasil atau gagal.

Kelima, partisipasi politik dilakukan langsung atau tidak langsung, artinya langsung oleh

pelakunya sendiri tanpa menggunakan perantara, tetapi ada pula yang tidak langsung melalui

orang-orang yang dianggap dapat menyalurkan ke pemerintah.

Dalam definisi tersebut partisipasi politik lebih berfokus pada kegiatan politik rakyat

secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara atau kegiatan politik lain

yang dipandang dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan politik oleh Pemerintah dalam

konteks berperan serta dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian partisipasi

politik tidak mencakup kegiatan pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist

professional yang bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya.

Dalam perspektif lain McClosky dalam International Encyclopedia of the Social

Science menyatakan bahwa :2

The term “political participation” will refer to those voluntary activities by which

members of a society share in the selection of rulers and, directly or indirectly, in the

formation of public policy (partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga

masyarakat melalui makna mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan

secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum”.

Dalam perspektif pengertian yang generik, Budiardjo memaknai partisipasi politik

adalah:

2 Miriam Budiarjo, Partisipasi dan partai Politik,Jakarta : YOI, 1998 Hal. 2

Page 3: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.ung.ac.ideprints.ung.ac.id/3133/5/2013-1-87205-221409082-bab2... · Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi

Kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam

kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara langsung atau

tidak langsung, mempengaruhi kebijakan Pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup

tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum menghadiri rapat umum, menjadi

anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan

pejabat Pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya.3

Berbagai definisi partisipasi politik dari para pakar ilmu politik tersebut diatas, secara

eksplisit mereka memaknai partisipasi politik bersubstansi core political activity yang bersifat

personal dari setiap warga negara secara sukarela untuk berperan serta dalam proses

pemilihan umum untuk memilih para pejabat publik, baik secara langsung maupun tidak

langsung dalam proses penetapan kebijakan publik.

Selanjutnya secara eksplisit, Huntington dan Nelson membedakan partisipasi politik kedalam

dua karakter, yaitu:

a. Partisipasi yang demokratis dan otonom adalah bentuk partisipasi politik yang

sukarela;

b. Partisipasi yang dimanipulasi, diarahkan, dan disponsori oleh Pemerintah adalah

bentuk partisipasi yang dimobilisasikan;4

Kemudian Ramlan Surbakti juga memberikan pengertian yang sejalan dengan pengertian

partisipasi politik diatas yakni:

“Partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses

pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan dalam ikut serta menentukan

pimpinan pemerintahan” Partisipasi politik tersebut didefenisikan sebagai

keikutsertaan warga negara dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik yang

dilakukan oleh warga negara biasa.5

Berangkat dari dua gagasan menganai partisipasi politik tersebut diatas maka, dapat

dikatakan bahwa partisipasi politik dapat dibedakan dalam dua hal. Pertama, partisipasi

dalam warga masyarat dalam keadaan sadar dalam hal untuk memperjuangkan hak otonom

masyarakat yang tanpa didorong oleh kekuataan diluar diri individu atau partisipasi politik

tidak berdasarkan mobilisasi yang dilakoni baik oleh aktor maupun pemerintah. Kedua,

partisipasi politik yang dimobilisasi atau digerakan oleh aktor-aktor politik, sehingganya

partisipasi politik lebih bersifat semu bukan berpartisipasi dalam keadaan sadar.

3 Miriam, Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1998, Hal. 183

4 Samuel P Huntington dan Joan Nelson, op.cit, Hal. 11 5 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta 1992. Hal 118

Page 4: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.ung.ac.ideprints.ung.ac.id/3133/5/2013-1-87205-221409082-bab2... · Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi

Dalam bukunya Mas‟oed dan Mac Andrews tahun 1981, dengan judul perbandingan

sistem politik. Putnam membuat suatu model skematis startifikasi sosial politik. model

tersebut dibangun berdasarkan data dari beberapa negara tentang proporsi warga negara yang

terlibat dalam berbagai tingkat kegiatan politik. Pada puncak piramida terletak pada

kelompok pembuat keputusannya itu individu-individu yang secara langsung terlibat di dalam

pembuatan kebijaksanaan nasional.6

Argumentasi tersebut bisa dimasuki pada dua level pernyataan mendasar, dianatarnya

keterlibatan warga masyarakat dalam proses pembuatan keputusan dan kebijakan publik serta

keterlibatan warga masyarakat dalam memilih pemimpin baik di daerah maupun nasional.

Secara teoritis dapat dipahami bahwa posisi puncak dari bangunan piramida yang mempunyai

pengaruh sentral dalam segala hal, termasuk pada level partisipasi politik. Seperti yang kita

temui pada pembuatan keputusan dan kebijakan pemerintah, posisi ini diperankan dan

dieksekusi oleh orang-orang yang menduduki posisi puncak yang secara formal telah

dimandat atau didaulat oleh rakyat pada saat pemilu. Disisi lain, posisi aktor-aktor puncak

tersebut dapat dengan leluasa dalam menggerakan atau memobilisasi dukungan politik

masyarakat pada setiap perhelatan politik. Atas hal tersebut dapat dikatakan bahwa partisipasi

politik adalah keikutsertaan warga masyarakat dalam proses politik baik dalam keadaan sadar

maupun bersifat semu dalam pengambilan keputusan dan kebijakan umum maupun

keterlibatannya dalam mendudukung dan memilih para pemimpinnya.

1.1.1. Bentuk-bentuk Partisipasi Politik

Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi dengan asumsi yang

mendasari demokrasi dan partisipasi, orang yang paling tahu tentang apa yang baik bagi

dirinya adalah orang itu sendiri. Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh

pemerintah dengan menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat maka

6 Damsar Prof, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2010. Hal. 10

Page 5: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.ung.ac.ideprints.ung.ac.id/3133/5/2013-1-87205-221409082-bab2... · Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi

warga masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik. karena itu yang

dimaksud dengan partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam

menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya.

Keputusan politik menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat maka

warga masyarakat berhak mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan.

Maka partisipasi berarti keikutsertaan warga negara biasa atau yang tidak mempunyai

kewenangan dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.

Partisipasi politik dapat dilihat dari beberapa aspek sebagai suatu kegiatan dan

membedakan partisipasi aktif dan partisipasi pasif.7 Partisipasi aktif merupakan mencakupi

semua kegiatan warga negara dengan mengajukan usul tentang kebijakan umum, untuk

mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah,

mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak

dan ikut serta dalam kegiatan pemilihan pemimpin pemerintahan. Pada pihak yang lain

bahwa partisipasi pasif antara lain berupa kegiatan dengan mematuhi peraturan-peraturan

pemerintah, menerima dan melaksanakan dengan demikian saja setiap keputusan pemerintah.

Bermacam-macam partisipasi politik yang terjadi diberbagai negara dan berbagai

waktu. Kegiatan politik konvensional adalah bentukk partisipasi politik yang normal dalam

demokrasi modern. Bentuk non-konvensional seperti petisi, kekerasan dan revolusi. Bentuk-

bentuk dan frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas

sistem politik., integritas kehidupan politik dan kekuasan politik dan kepuasan atau ketidak

puasan warga negara.8

Dalam buku Perbandingan Sistem Politik Indonesia yang dikutip oleh Mas‟oed dan

MacAndrew 1981, Almond membedakan partisipasi politik atas dua bentuk, yaitu :

7 Ramlan surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992 8 Sudjono Sastroatmojo, Perilaku Poitik, Semarang : IKIP Semarang Press, 1995. Hal 74

Page 6: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.ung.ac.ideprints.ung.ac.id/3133/5/2013-1-87205-221409082-bab2... · Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi

a. Partisipasi politik konvensional yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang normal

dalam demokrasi modern.

b. Partisipasi politik non konvensional yaitu suatu bentuk partispasi politik yang tidak

lazim dilakukan dalam kondisi normal, bahkan dapat berupa kegiatan illegal, penuh

kekerasan dan revolusioner.

Adapun rincian dari pandangan Almond tentang dua bentuk partisipasi politik dapat

dilihat ada tabel berikut :

Tabel 1

Bentuk Partisipasi Politik

Konvensional Non-Konvensional

1. Pemberian suara

2. Diskusi politik

3. Kegiatan kampanye

4. Membentuk dan bergabung

dalam kelomok kepentingan

5. Komunikasi individual dengan

pejabat politik dan administratif

1. Pengajuan petisi

2. Berdemonstrasi

3. Konfrontasi

4. Mogok

5. Tindakan kekerasan politik harta

benda(pengeboman, pembakaran)

6. Tindakan kekerasan politik

terhadap manusia (penculikan,

Pembunuhan)

7. Perang grilya dan revolusi

Sumber :Almond dalam Mas’oed dan MacAndrews (1981) dikutip dari dalam buku

DR. Damsar9

Pemikiran Almond tersebut dapat dikatakan bahwa partisipasi politik dapat dilihat

dalam dua bentuk, yakni partisipasi politik yang bersifat umum, atau partisipasi politik tanpa

kekerasan serta partisipasi politik yang dilakukan oleh warga masyarakat dalam bentuk

koersif atau jalur konflik.

Adapun pengertian partisipasi politik menurut David P. Roth dan Wilson dalam

bukunya “The Comparative Study Of Politics” membuat tipologi partisipasi politik atas dasar

piramida partisipasi yang menunjukan bahwa semakin tinggi intensitas dan derajat

9 Damsar Prof, Op.Cit, hal 186

Page 7: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.ung.ac.ideprints.ung.ac.id/3133/5/2013-1-87205-221409082-bab2... · Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi

keterlibatan aktifitas politik seseorang, maka semakin kecil kuantitas orang yang terlibat

didalamnya.10

Piramida Partisipasi Politik

Aktivis

Partisipan

Pengamat

Orang Opulitis

Identitas dan derajat keterlibatan yang tinggi dalam aktifitas politik dikenal sebagai

aktifis. Adapun yang masuk dalam kelompok aktifis adalah pemimpin dan para fungsionaris

partai atau kelompok kepentingan yang mengurus organisasi secara penuh waktu (FullTime).

Termasuk didalamnya kategori ini adalah kegiatan politik yang dipandang menyimpang atau

negatif seperti membunuh politik, teroris, atau pelaku pembajakan untuk meraih tujuan

politik. Lapisan berikutnya setelah lapisan puncak piramida dikenal sebagai partisipasi.

Kelompok ini mencakup berbagai aktifitas seperti petugas atau juru kampanye, mereka yang

terlibat dalam program atau proyek sosial, sebagai pelobi politik, aktif dalam partai politik

atau kelompok kepentingan.

Lapisan selanjutnya adalah kelompok pengamat, mereka ikut dalam kegiatan politik

yang menyita waktu, tidak menuntut prakarsa sendiri, tidak intensif dan jarang

melakukannya. Sedangkan lapisan terbawah adalah kelompok yang apolitis yaitu kelompok

orang yang tidak peduli terhadap sesuatu yang berhubungan dengan politik. mereka tidak

memberikan sedikitpun terhadap masalah politik. Partisipasi politik pada negara yang

10 Mariam, Op.Chit, Hal, 7-9

Page 8: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.ung.ac.ideprints.ung.ac.id/3133/5/2013-1-87205-221409082-bab2... · Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi

menerapkan sistem politik demokrasi merupakan hak warga negara tetapi dalam

kenyataannya dengan persentase warga negara yang berpartisipasi berbeda dari satu negara

ke negara lain, dengan kata lain tidak semua warga negara ikut dalam proses politik. fakto-

faktor yang diperkirakan dengan mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik

seseorang adalah kesadaran politik merupakan kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai

warga negara.

Dalam partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk studi tentang

partisipasi dapat menggunakan skema-skema klarifikasi yang berbeda-beda yaitu:

a. Kegiatan pemilihan dengan mencakup suara akan tetapi juga sumbangan untuk

kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, dengan mencari dukungan dibagi seorang

calon atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan.

b. Lobbying merupakan dengan mencakup upaya perorangan atau kelompok untuk

menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin politik dengan maksud untuk

mempengaruhi keputusan tentang persoalan yang telah menyangkut sejumlah besar.

c. Kegiatan organisasi dengan merupakan menyangkut partisipasi sebagai anggota atau

pejabat dalam suatu organisasi yang tujuannnya yang utama dan eksplisit adalah

dengan mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah orang.

d. Mencari koneksi dengan merupakan tindakan perorangan yang akan ditujukan

terhadap pejabat pemerintah dan dengan memperoleh manfaat bagi hanya satu orang

atau segelintir orang.

e. Tindakan kekerasan merupakan salah satu bentuk dari partisipasi politik dan untuk

keperluan analisis ada manfaatnya untuk mendefinisikannya sebagai bentuk kategori

tersendiri dengan sebagai upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dari

pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap orang ataupun harta

benda.11

Oleh sebab itu ada kemungkinan dalam menganalisa partisipasi politik dari segi

organisasi kolektif yang berlainan untuk digunakan dalam menyelenggarakan partisipasi dan

biasanya yang menjadi landasan yang lazim adalah :

a. Kelas yang menyangkut perorangan dengan status sosial, pendapatan pekerjaan yang

sama

b. Kelompok merupakan perorangan yang meliputi ras, agama, bahasa, atau etnisitas

yang sama

c. Golongan, dengan perorangan yang akan dipersatukan oleh interaksi yang akan terus

menerus atau intens dan salah satu manivestasinya adalah pengelompokan patron-

klien. Pembentukan pemerintah yang didasarkan pada partai politik seringkali

11 Samuel Huntington, Joan Nelson, Partisipasi Politik Di Negara Berkembang, Rhieka Cipta, Jakarta.1990, hal 18

Page 9: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.ung.ac.ideprints.ung.ac.id/3133/5/2013-1-87205-221409082-bab2... · Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi

menciptakan harapan yang tersebar luas bahwa orang dalam menjalankan kekuasaan

politik bukan karena kelahiran melainkan berkat kemahiran politik ada beberapa

faktor yang dapat memengaruhi seseorang ataupun masyarakat dalam mengambil

keputusan dalam pemilihan umum yang mempengaruhi partisipasi politik yatu :

- Pendidikan, pendidikan adalah suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan

umum seseorang termasuk didalamnya dengan peningkatan penguasaan teori dan

keterampilan memutuskan terhadap persoalan yang menyangkut kegiatan

mencapai tujuan. Olah karena itu pendidikan tinggi dapat memberikan informasi

tentang politik dan persoalan-persoalan politik dapat juga dengan

mengembangkan kecakapan dalam menganalisa menciptakan minat dan

kemampuan dalam berpolitik.

- Perbedaan jenis kelamin, perbedaan jenis kelamin dan status sosial ekonomi juga

dengan mempengaruhi keaktifan seseorang dalam berpartisipasi politik, bahwa

kemajuan sosial ekonomi suatu negara dapat mendorong tingginya tingkat

partisipasi rakyat. Partisipasi itu juga berhubungan dengan kepentingan-

kepentingan masyarakat, sehingga apa yang dilakukan oleh rakyat dalam

partisipasi politiknya dengan menunjukan derajat kepentingan mereka.

- Aktifitas kampanye, pada umumnya kampanye-kampanye politik hanya dapat

mencapai pengikut setiap partai, dengan memperkuat komitmen mereka untuk

memberikan suara. Dengan demikian yang menjadi persoalan dalam kaitannya

dengan tingkatdan bentuk partisipasi politik masyarakat adalah terletak dalam

kedudukan partisipasi tersebut12

Atas landasan tersebut, penulisan ini lebih fokus dalam melihat partisipasi politik yang

didorong oleh semangat kolektif etnisitas Arab di Kota Gorontalo dalam memberikan

dukungan politik pada saat pemilihan gubernur Gorontalo periode 2011-2016. Dalam artian

bahwa keikutsertaan masyarakat etnis Arab sebagai bentuk dari pengejewantahan partisipasi

politik ditengarai oleh kedekatan dan kesamaan kelompok etnis.

1.2. Pengertian Etnis

Menurut Em Zul Fajri dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia bahwa etnis

berkenaan dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai

12 Mochatar Mas’oed dan Collin MacAndrews, Perbandingan sistem politik, Gajahmada University, Yogyakarta, 1986, hal 40-50

Page 10: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.ung.ac.ideprints.ung.ac.id/3133/5/2013-1-87205-221409082-bab2... · Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi

arti atau kedudukan karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Sedangkan

menurut Ariyuno Sunoyo dalam Kamus Antropologi, bahwa: “Etnis adalah suatu kesatuan

budaya dan teritorial yang tersusun rapi dan dapat digambarkan ke dalam suatu peta

etnografi”.13

Setiap kelompok memiliki batasan-batasan yang jelas untuk memisahkan antara satu

kelompok etnis dengan etnis lainnya. Menurut Koentjaraningrat, konsep yang tercakup dalam

istilah etnis adalah golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan

kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa

juga.14

Suku bangsa yang sering disebut etnik atau golongan etnik mempunyai tanda-tanda

atau ciri-ciri karakteristiknya. Ciri-ciri tersebut terdiri dari:15

a. Memiliki wilayah sendiri

b. Mempunyai struktur politik sendiri berupa tata pemerintahan dan pengaturan

kekuasaan yang ada

c. Adanya bahasa sendiri yang menjadi alat komunikasi dalam interaksi

d. Mempunyai seni sendiri (seni tari lengkap dengan alat-alatnya, cerita rakyat, seni

ragam hias dengan pola khas tersendiri)

e. Seni dan teknologi arsitektur serta penataan pemukiman

f. Sistem filsafat sendiri yang menjadi landasan pandangan, sikap dan tindakan

g. Mempunyai sistem religi (kepercayaan, agama) sendiri.

Etnisitas secara substansial bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya tetapi

keberadaannya terjadi secara bertahap. Etnisitas adalah sebuah proses kesadaran yang

kemudian membedakan kelompok kita dengan mereka. Basis sebuah etnisitas adalah berupa

aspek kesamaan dan kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, seperti

misalnya adanya kesamaan dan kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, ada

kesamaan struktural sosial, bahasa, upacara adat, akar keturunan, dan sebagainya. Berbagai

ciri kesamaan tersebut, dalam kehidupan sehari-hari tidak begitu berperan dan dianggap

13 Ariyuno Sunoyo, Kamus Antropologi, Jakarta, Antropologi Press, 1985. 14

Koentjaranigrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1982, hal. 58. 15 Payung Bangun, Sistem Sosial Budaya Indonesia, Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UKI, 1998, hal. 63

Page 11: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.ung.ac.ideprints.ung.ac.id/3133/5/2013-1-87205-221409082-bab2... · Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi

biasa. Dalam kaitannya, etnisitas menjadi persyaratan utama bagi munculnya strategi politik

dalam membedakan “kita” dengan “mereka”.16

Dari beberapa macam argumentasi menganai etnis tersebut di atas, dapat ditarik

benang merah bahwa yang mana etnis adalah sebuah komunitas masyarakat yang memiliki

berbagai macam kesamaan dalam kehidupan sosio-kulturalnya, kesamaan tersebut yang

membedakan mereka dengan komunitas-komunitas lainnya dalam masyarakat. Olehnya itu

yang muncul dalam kehidupan sehara-hari lebih menjurus pada pengklaiman “keakukan dan

kekitaan”.

Orang yang berasal dari suatu kelompok etnis cenderung melihat budaya mereka

sebagai yang terbaik. Kecenderungan ini disebut sebagai etnosentrisme, yaitu kecenderungan

untuk memandang norma dan nilai yang dianut seseorang sebagai hal yang mutlak dan

digunakan sebagai standar untuk menilai dan mengukur budaya lain.17

Dalam interaksi sosial, individu membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai

objek psikologis yang dihadapinya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan

sikap menurut Azwar (1998) adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang

dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan agama, serta faktor

emosi dalam diri individu. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perubahan

sikap ini adalah faktor internal dan eksternal individu18

.

a. Faktor-faktor internal

Pengamatan dalam komunikasi melibatkan proses pilihan di antara seluruh rangsangan

objektif yang ada di luar diri individu. Pilihan tersebut berkaitan erat dengan motif-motif

16 Ivan, A, Hadar, “Etnisitas dan Negara Bangsa”, Kompas, 29 Mei 2000. 17 Coleman, J. & Cressey, D. (1984). Social Problem. New York: Harper & Row

18 Gerungan, 1991. Psikologi Sosial, Bandung: Eresco

Page 12: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.ung.ac.ideprints.ung.ac.id/3133/5/2013-1-87205-221409082-bab2... · Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi

yang ada dalam diri individu. Selektivitas pengamatan berlangsung karena individu tidak

dapat mengamati semua stimulus yang ada.

b. Faktor-faktor eksternal

Sikap dapat dibentuk dan diubah berdasarkan dua hal, yaitu karena interaksi kelompok

dan komunikasi

Gerungan juga menambahkan apabila sikap sudah terbentuk dalam diri manusia,

maka hal tersebut menentukan pola tingkah lakunya terhadap objek-objek sikap.

Pembentukan sikap ini tidak terjadi dengan sendirinya, namun berlangsung dalam interaksi

manusia, yaitu interaksi di dalam kelompok dan diluar kelompok. Pengaruh dari luar

kelompok ini belum cukup untuk merubah sikap sehingga membentuk sikap baru.

Dalam narasi politik Indonesia pasa reformasi 1998 terlihat secara jelas bagaimana

politik etnis sebagai embrio atau dinamika tersendiri dalam perhelatan politik lokal. Seiring

dengan dinamika fragmentasi masyarakat lokal kedalam berbagai macam sub sistem sosial

membuat etnisitas sebagai suatu kekuatan politik dalam mendorong percaturan politik, baik

Pemilu Presiden, DPR dan DPRD maupun pemilihan kepala daerah.

1.3. Pemilu/ Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA)

Pemilu adalah arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik dipemerintahan

yang didasarkan pada pilihan formal dari warga Negara yang memenuhi syarat. Pada zaman

modern ini pemilu menempati posisi penting karena terkait dengan beberapa hal; Pertama,

pemilu menempati posisi penting bagi keberlangsungan demokrasi perwakilan. Kedua,

pemilu mejadi indikator Negara demokrasi. Dhal mengatakan bahwa dua dari enam ciri

lembaga-lembaga politik yang dibutuhkan oleh demokrasi skala besar adalah berkaitan

dengan pemilu, yaitu para pejabat yang dipilih dan pemilu yang bebas adil dan berkala.

Ketiga, pemilu penting dibicarakan juga terkait dengan implikasi-implikasi yang luas dari

pemilu, pada fase tersebut Huntington menyebut pemilu sebagai alat serta tujuan dari

Page 13: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.ung.ac.ideprints.ung.ac.id/3133/5/2013-1-87205-221409082-bab2... · Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi

demokratisasi. Pernyataan tersebut berangkat dari kenyataan tumbangnya penguasa-penguasa

otoriter akibat dari pemilu yang mereka sponsori sendiri karena mencoba memperbaharui

legitimasi melalui pemilu.19

Pemilihan umum adalah suatu contoh partisipasi politik yaitu kegiatan warga negara biasa

dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Pada hakekatnya pemilihan umum merupakan

cara dan sarana yang tersedia bagi rakyat unutk menentukan wakil-wakilnya yang akan

duduk dalam badan-badan perwakilan rakyat untuk menjalankan kedaulatan rakyat. Sangat

bermaknanya pemilu bagi semua orang, maka pemilihan yang menjadi indikator

demokratisnya suatu negara.

Untuk menjaga kelangsungan penyelenggaraan pemerintahan yang dibentuk melalui

mekanisme pemilihan umum maka keterlibatan masyarakat sangat dibutuhkan sebagai energi

demokrasi itu sendiri. Pemilihan umum dengan makna demokratisnya adalah tempat

berkompetisinya partai politik yang secara umum dapat menjadi tempat pembelajaran bagi

elit dan komponen bangsa lainnya. Selain itu pemilihan umum juga terkait dengan peran serta

masyarakat dalam memberikan dukungan kepada kandidat dan partai politik yang ada.20

Pada dasarnya ada tiga hal dalam tujuan pemilihan umum.21

Pertama, sebagai

mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif kebijakan umum.

Sesuai dengan prinsip demokrasi yang memandang rakyat yang berdaulat, tetapi

pelaksanaannya dilakukan oleh wakil-wakilnya (demokrasi perwakilan). Oleh karena itu,

pemilihan umum merupakan mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan

kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai. Untuk menentukan alternatif kebijakan

yang harus ditempuh oleh pemerintah biasanya yang menyangkut hal yang prinsipil beberapa

negara menyelenggarakan pemilihan umum sebagai mekanisme penyeleksian kebijakan

19 Sigit. Pamungkas, Prihal Pemilu. Yokyakarta : Lab. Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM, 2009, Hal. 3-4 20

Doni Hendrik, Perilaku Memilih Etnis Cina dalam Pemilu tahun 1999, Padang, 2003, hal 52 21 Phillips, W. Shively, Power and Choice : An Introduction to Political Science, New York : Random House, 1987, hal. 138-147.

Page 14: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.ung.ac.ideprints.ung.ac.id/3133/5/2013-1-87205-221409082-bab2... · Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi

umum. Biasanya rakyat yang memilih diminta untuk menyatakan ”setuju” atau ”tidak setuju”

terhadap kebijakan yang ditawarkan pemerintah. Pemilihan umum untuk menentukan

kebijakan umum yang fundamental ini disebut referendum.

Kedua, pemilihan umum juga dapat dikatakan sebagai mekanisme memindahkan

konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat melalui wakil-

wakil rakyat yang terpilih atau melalui partai-partai yang memenangkan kursi sehingga

integrasi masyarakat tetap terjamin. Hal ini didasarkan atas anggapan didalam masyarakat

terdapat berbagai kepentingan yang tidak hanya berbeda, tetapi juga kadang-kadang saling

bertentangan, dan dalam sistem demokrasi perbedaan atau pertentangan kepentingan tidak

diselesaikan dengan kekerasan, melainkan melalui proses musyawarah (deliberation).

Ketiga, pemilihan umum merupakan sarana memobilisasikan dan/atau menggalang

dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses

politik. Hal yang ketiga ini tidak hanya berlaku di negara-negara berkembang, tetapi juga di

negara-negara yang menganut demokrasi liberal (negara-negara industri maju), kendati

sifatnya berbeda.

Selanjutnya Joko mengatakan bahwa “Pemilihan kepala daerah merupakan rekuitmen

politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala

daerah, baik Gubernur/Wakil Gubernur maupun Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil

Walikota. Dalam kehidupan politik di daerah, pemilihan kepala daerah merupakan salah satu

kegiatan, yang nilainya equivalen dengan pemilihan anggota DPRD. Equivalensi tersebut

ditunjukkan dengan kedudukan sejajar antara kepala daerah dan DPRD. Hubungan kemitraan

dijalankan dengan cara melaksanakan fungsi masing-masing sehingga terbentuk mekanisme

Page 15: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.ung.ac.ideprints.ung.ac.id/3133/5/2013-1-87205-221409082-bab2... · Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi

chek and balances. Oleh sebab itu, pemilihan kepala daerah sesungguhnya bagian dari sistem

politik di daerah.22

Dalam konteks struktur kekuasaan, kepala daerah adalah kepala eksekutif di daerah.

Istilah jabatan publik mengandung pengertian bahwa kepala daerah menjalankan fungsi

pengambilan kebijakan yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat (publik), berdampak

terhadap rakyat, dan dirasakan oleh rakyat. Oleh sebab itu, kepala daerah harus dipilih oleh

rakyat dan wajib mempertanggungjawabkan kepercayaan yang telah diberikan kepada rakyat.

Adapun dalam pejabat politik terkandung maksud mekanisme rekuitmen kepala daerah

dilakukan dengan mekanisme politik., yaitu melalui pemilihan yang melibatkan elemen-

elemen politik, seperti rakyat dan partai-partai politik.23

Asas yang dipakai dalam pilkada langsung sama persis dengan asas dipakai dalam

pemilu 2009, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Rumusan mengenai asas-

asas pilkada langsung tertuang dalam pasal 56 Ayat (1) UU No.32/2004 dan ditegaskan

kembali pada pasal 4 Ayat (3) PP No. 6/2005. selengakapnya bunyi Pasal 56 Ayat (1)

berbunyi: „Kepala Daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang

dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan

adil.” Dengan asas-asas tersebut, dapat dikatakan bahwa pilkada langsung di Indonesia telah

menggunakan prinsip-prinsip yang berlaku umum dalam rekuitmen pejabat publik atau

pejabat politik yang terbuka. Adapun pengertian asas-asa tersebut adalah sebagai berikut:

Asas yang dipakai dalam pilkada langsung sama persis dengan asas dipakai dalam

pemilu 2004, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Rumusan mengenai asas-

asas pilkada langsung tertuang dalam pasal 56 Ayat (1) UU No.32/2004 dan ditegaskan

kembali pada pasal 4 Ayat (3) PP No. 6/2005. selengakapnya bunyi Pasal 56 Ayat (1)

22

Joko J. Prihatmoko, Pemilihan kepala Daerah Langsung, (Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005, hal 203. 23 Ibid, hal 203.

Page 16: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.ung.ac.ideprints.ung.ac.id/3133/5/2013-1-87205-221409082-bab2... · Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi

berbunyi: „Kepala Daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang

dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan

adil.” Dengan asas-asas tersebut, dapat dikatakan bahwa pilkada langsung di Indonesia telah

menggunakan prinsip-prinsip yang berlaku umum dalam rekuitmen pejabat publik atau

pejabat politik yang terbuka. Adapun pengertian asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:

a. Langsung : Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya

secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.

b. Umum : Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai

dengan ketentuan perundangan berhak mengikuti pilkada. Pemilihan yang bersifat

umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi

semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan,

jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan dan status sosial.

c. Bebas : Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihan tanpa

tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara

dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani

dan kepentingannya.

d. Rahasia : Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan pilihannya tidak akan

diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan

suaranya pada Surat Suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa

pun suaranya diberikan.

e. Jujur :Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap penyelenggara pilkada, aparat

pemerintah, calon/peserta pilkada, pengawas pilkada, pemantau pilkada, pemilih serta

semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

f. Adil :Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap pemilih dan calon/peserta pilkada

mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun. Sistem

pemilihan kepala daerah langsung selalu memberikan ruang implementasi hak pilih

aktif. Seluruh warga asal memenuhi syarat dapat menjadi pemilih dan mencalonkan

diri sebagai kepala daerah.

Berangkat dari penjelasan di atas, maka dapat disampaikan bahwa Pemilu sebagai

salah satu bagian dari kontestasi elite dalam memperebut kekuasaan yang diatur secara

prosedural politik dalam memilih pemimpin atau wakil-wakil rakyat, dilain sisi pemilu adalah

sebagai sarana pengendalian konfik. Dalam pemilu/ Pilkada itu sendiri kita mengenal asas-

asas yang terkandung didalamnya. Penjabaran dari asas tersebut meliputi keterlibatan

langsung warga negara dalam memberikan pilihan politik secara umum yang diatur lewat

peraturan perundang-undangan, warga masyarakat bebas dalam mengekspresikan pilihan

politik dalam keadaan rahasia dan tanpa didorong oleh kemauan orang lain.