BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS 2.1.1. Pengertian...

35
11 BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS 2.1.1. Pengertian Pengawasan Fungsional Revrisond Baswir (2002:118) pengawasan secara umum adalah: “Segala kegiatan dan tindakan untuk menjamin agar penyelenggaraan suatu kegiatan tidak menyimpang dari tujuan serta rencana yang telah digariskan.” Sedangkan Abdul Halim (2002:145) yaitu : pengawasan adalah suatu proses kegiatan penilaian terhadap objek pengawasan kegiatan tertentu dengan tujuan untuk memastikan apakah pelaksanaan tugas dan fungsi objek pengawasan dan atau kegiatan tersebut telah sesuai dengan yang telah ditetapkan sehingga dapat disimpulkan bahwa pengawasan bukan berupa pemeriksaan tetapi pengawasan yang lebih mengarah untuk menjamin pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah. adapun pengertian pengawasan fungsional berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No 20 tahun 2002 tentang pertimbangan dan pengawasan atas penyelenggara pemerintah daerah mengemukakan bahwa: “Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga atau badan atau unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan melalui pemeriksaan, pengkajian, penyusutan dan penilaian”.

Transcript of BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS 2.1.1. Pengertian...

11

BAB II

KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS

2.1.1. Pengertian Pengawasan Fungsional

Revrisond Baswir (2002:118) pengawasan secara umum adalah:

“Segala kegiatan dan tindakan untuk menjamin agar penyelenggaraan

suatu kegiatan tidak menyimpang dari tujuan serta rencana yang telah

digariskan.”

Sedangkan Abdul Halim (2002:145) yaitu : pengawasan adalah suatu

proses kegiatan penilaian terhadap objek pengawasan kegiatan tertentu

dengan tujuan untuk memastikan apakah pelaksanaan tugas dan fungsi

objek pengawasan dan atau kegiatan tersebut telah sesuai dengan yang

telah ditetapkan sehingga dapat disimpulkan bahwa pengawasan bukan

berupa pemeriksaan tetapi pengawasan yang lebih mengarah untuk

menjamin pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam peraturan

daerah. adapun pengertian pengawasan fungsional berdasarkan Pasal 1

Peraturan Pemerintah No 20 tahun 2002 tentang pertimbangan dan

pengawasan atas penyelenggara pemerintah daerah mengemukakan

bahwa: “Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh

lembaga atau badan atau unit yang mempunyai tugas dan fungsi

melakukan pengawasan melalui pemeriksaan, pengkajian, penyusutan

dan penilaian”.

12

Abdul Halim (2002:351) menyatakan pengawasan fungsional

sebagai berikut : “Segala kegiatan dan bentuk tindakan untuk menjamin

agar pelaksanaan suatu kegiatan berjalan dengan sesuai dengan

rencana, aturan-aturan dan tujuan yang telah ditetapkan”.

Siregar dan Siregar (2001:351) pengawasan fungsional adalah :

“Pengawasan oleh aparatur pengawasan fungsional adalah pengawasan

oleh instansi independen dari unsure yang diawasi seperti badan

pengawasan keuangan dan pembangunan (BKP) Inspektor Jendral

Departemen, Unit Pengawasan Lembaga Negara dan Inspektorat

Wilayah.” Secara khusus tujuan pengawasan fungsional menurut Abdul

Halim (2004:306) adalah :

a. Menilai ketaatan terhadap perundang – undangan yang berlaku.

b. Menilai apakah kegiatan berjalan dengan pedoman akuntansi yang

berlaku

c. Menilai apakah yang dilaksanakan secara ekonomis, efisien dan efekti.

d. Mendeteksi adanya kecurangan.

Dari beberapa pendapat tersebut di atas, jelas bahwa penekanan

dari pengawasan lebih pada upaya untuk mengenali penyimpangan atau

hambatan di dalam pelaksanaan kegiatan tersebut disesuaikan dengan

peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah baik pusat maupun

daerah. Bila ternyata kemudian ditemukan adanya penyimpangan atau

hambatan diharapkan agar dapat

13

segera dideteksi atau diambil tindakan koreksi sehingga pelaksanaan

kegiatan yang bersangkutan diharapkan masih dapat mencapai tujuan

sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya.

Sedangkan Statement of Auditing Standars (SAS) dalam Sawyer

(2005:58) mendefenisikan lima komponen kontrol internal yang saling

berkaitan pada pernyataan COSO adalah sebagai berikut: (a) Lingkungan

control. Komponen ini meliputi seikap manajemen di semua tingkatan

terhadap operasi secara umum dan konsep control secara khusus. (b)

Penentuan Resiko. Komponen ini telah menjadi bagian dari aktivitas audit

internal yang telah berkembang. (c) Aktivitas kontrol, komponen ini

mencakup aktivitas-aktivitas yang dulunya dikaitkan dengan konsep

control internal. (d) Informasi dan Komunikasi. Komponen ini merupakan

bagian penting dari proses manajemen. Manajemen tidak dapat berfungsi

tanpa informasi. (5) Pengawasan. Pengawasan merupakan evaluasi

rasional yang dinamis atas informasi yang diberikan pada komunikasi

informasi untuk tujuan manajemen control.

Terdapat hubungan langsung antara tujuan, yang merupakan hal

yang diperjuangkan untuk dicapai perusahaan dan komponen-komponen

tersebut, yang

mencerminkan hal-hal yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Tidak

semua tujuan dan komponen ini relevan untuk audit laporan keuangan.

Kontrol interna, sebaik apa pun dirancang dan dioperasikan, hanya bisa

memberikan keyakinan yang wajar tentang pencapaian tujuan.

14

2.1.2 Aparat Pengawasan Fungsional

Revrisond Baswir (2000:138) aparat pengawasan fungsional adalah

:

a. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

b. Inspektorat Jendral Departemen, Aparat Pengawasan Lembaga

Pemerintah Non Departemen dan Instansi Pemerintah lainnya.

c. Inspektorat Wilayah Provinsi.

d. Inspektorat Wilayah Kabupaten atau Kotamadya.

Selanjutnya uraian mengenai aparat pengawasan fungsional

menurut Siregar dan Siregar (2001:353) adalah :

a. Badan Pengawasan Keuanga dan Pembangunan (BPKP)

BPKP merupakan instansi pengawasan dan pemeriksa yang berada

dilingkungan pemerintah. BPKP harus melaporkan pelaksanaan tugas

dan fungsinya kepada Presiden. Laporan hasil pengawasan dan

pemeriksaan disampikan kepada mentri atau pejabat lain yang

bersangkutan. Apabila laporan hasil pengawasan berkaitan dengan

pemeriksaan, maka dalam tembusan laporan tersebut disampaikan

dalan badan pemeriksaan keuangan (BPK). Apabila diperkirakan

terdapat tindakan pidana korupsi, BPKP harus melaporkan kepada

jaksa agung. Tugas pokok BPKP meliputi ;

1) Merumuskan kebijaksanaan pengawasan keuangan dan

pembangunan

15

2) Melaksanakan pengawasan umum terhadap penguasaan dan

pengurusan keuangan

b. Inspektorat Jendral Departemen atau Unit Pengawasan Lembaga

Negara

Inspektorat Jendral Departemen atau Unit Pengawasan

Lembaga Negara merupakan instansi yang melakukan pengawasan

dan pemeriksaan terhadap seluruh unsure organisasi yang ada di

lingkungan departemen atau lembaga Negara yang bersangkutan.

Tugas pokok Inspektorat Jendral atau Unit pengawasan adalah

melakukan pengawasan terhadap tugas rutin dan pembangunan

semua unsur yang ada di lingkungan departemen atau lembaga

Negara agar pelaksanaan tugas sesuai dengan peraturan yang

berlaku.

c. Insepktorat Wilayah Kota

Insepktorat Wilayah Kota adalah instansi pengawasan yang

melakukan pengawasan terhadap akativitas pemerintah Kota. Instansi

ini bertanggung jawab kepada Gubernur. Instansi ini mempunyai tugas

melakukan pengawasan umum atas aktivitas pemerintah daerah, baik

yang bersifat rutin maupun yang bersifat pembangunan agar dapat

berjalan sesuai dengan rencana dan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

d. Inspektorat Wilayah Kabupaten atau Kotamadya

16

Inspektorat Wilayah Kabupaten atau Kotamadya adalah instansi yang

melakukan pengawasan terhadap aktivitas Pemerintah Daerah.

Termasuk Kecamatan, Kelurahan atau Desa selain itu Inspektorat

Wilayah Kabupaten atau Kotamadya juga melakukan pengawasan

terhadap tugas departemen Dalam Negeri di Kabupaten atau

Kotamadya.

2.1.3 Standar Audit Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah

Berdasarkan Keputusan BPKP No. KEP-378/K/2004 tanggal 30 Mei

2004 Tentang Penetapan Berlakunya Standar Audit Aparat Pengawasan

Fungsional Pemerintah. Jafar dan Sumiati (2006:29) mengemukakan

bahwa Standar Audit APFP merupakan prinsip-prinsip dasar dan

persyaratan yang diperlukan APFP serta akuntan public yang ditugaskan

untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi suatu APFP, untuk menjamin

mutu hasil audit dan konsitensi pelaksanaan tugas audit.

Selanjutnya Jaafar dan Sumiati (2006:29) bahwa maksud dan tujuan

standar audit APFP adalah sebagai berikut :

a. Standar audit APFP ini menjadi acuan dalam menetapkan batas-batas

tanggungjawab pelaksanaan tugas audit yang dilakukan oleh APFP

dan auditornya sesuai dengan jenjang dan ruang lingkup tugas audit.

b. Tujuan standar audit ini adalah untuk menjamin mutu koordinasi,

perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan audit. Standar ini juga

bertujuan untuk mendorong efektivitas tindak lanjut temuan hasil audit

17

serta konsistensi penyajian laporan hasil audit yang bermanfaat bagi

pemakainnya.

Redwan Jaaftar dan Sumiati (2004: 33) mengemukakan “Standar

audit aparat pengawasan fungsional pemerintah (APFP) merupakan

prinsip-prinsip dasra persyaratan yang diperluka untuk menjamin mutu

hasil audit dan konsistensi pelaksanaan tugas audit APFP”.

Badan Pengawasan Daerah Jawa Barat (2002:2) dan Redwan

Jaaftar dan Sumiati (2004: 33) dalam bukunya yang berjudul Kode Etik

dan Standar Audit dan standar audit terdiri dari 24 butir standar yang

terbagi atas lima katogori yaitu :

a. Standar Umum

1) Keahlian

2) Independensi

3) Kecermatamn profesi

4) Kerahasian

b. Standar Koordinasi dan Kendalian Mutu

1) Program kerja pengawasan

2) Koordinasi pengawasan

3) Kendali mutu

c. Standar Pelaksanaan

1) Pelaksanaan dan supervise

2) Pengendalian Internal

3) Bukti audit

18

4) Ketaatan peraturan perundang – undangan

5) Kertas kerja audit

d. Standar Pelaporan

1) Kesesuaian dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum

2) Konsistensi

3) Pengungkapan yang memadai

4) Pernyataan pendapat

5) Laporan audit operasional

6) Kesesuaian dengan standar audit APFP

7) Tertulis dan segera

8) Distribusi laporan

e. Standar Tindak Lanjut

1) Kominikasi dengan auditan

2) Pemantauan tindak lanjut

3) Status temuan

4) Penyelesaian hukum

Uraian di atas masing-masing standar audit adalah sebagai berikut :

a. Standar Umum

Standar umum audit merupakan persyaratan bagi APFP dan para

auditornya untuk dapat melaksanakan penugasan audit secara

kompeten dan efektif. Standar umum ini terdiri dari empat pernyataan,

yaitu :

1) Keahlian

19

Standar ini menegaskan bahwa audit hanya dapat dilakukan oleh

seseorang atau lebih yang memiliki kemampuan, baik secara teori

maupun praktik dibadang audit.standar ini juga menegaskan bahwa

kemampuan seseorang dalam bidang-bidang lain, termasuk dalam

bidang keuangan, ia tidak dapat memenuhi persyaratan yang

dimaksudkan dalam standar audit ini, jika ia tidak memiliki

kemampuan pendidikan serta pengalaman yang memadai dalam

bidang audit.

2) Independensi

Standar ini bertujuan untuk menghasilkan pendapat audit atau

kesimpulan audit yang objektif. Dalam pembuatan laporan pendapat

atau simpulan auditor harus bebas dari pengaruh pihak-pihak yang

berkepentingan, untuk mencapai tujuan tersebut standar ini

mengharuskan APFP dan para auditornya untuk memiliki intergritas,

yaitu sikap kepribadian yang jujur, bijaksana, berani dan

tanggungjawab sehingga dapat menimbulkan kepercayaan dan rasa

hormat masyarakat.

3) Kecermatan Profesi

Standar ini menghendaki auditor untuk melaksanakan tugasnya

dengan cermat dan seksama. Kecermatan dan keseksamaan ini

menekankan bahwa auditor bertanggungjawab untuk mendalami

dan mematuhi standar audit APFP dalam segala kegiatan yang

berkaitan dengan fungsi APFP salah satu wujud penerapan

20

kecermatan dan keseksamaan adalah reviu secara kritis pada

tingkat supervise terhadap pelaksanaan audit dan terhadap

pertimbangan yang digunakan oleh mereka yang membantu audit.

4) Kerahasiaan

APFP dan para auditornya harus menjaga kerahasiaan hal-hal yang

berkaitan dengan audit maupun informasi yang dihasilkan dari audit

tersebut. Kecuali dalam ha-hal yang berkaitan dengan pemerintah

dan pihak yang berwenang, menggunakan informasi yang diperoleh

dari suatu penugasan audit untuk hal-hal di luar lingkup

pembentukan pendapat, penyusunan temuan dan rekomendasi

audit.

b. Standar Koordinasi dan Kendali Mutu

1) Program Kerja Pengawasan

Program kerja pengawasan (PKP) merupakan alat bantu bagi APFP

untuk mencapai hasil pengawasan yang efektif. PKP ini merupakan

masukan yang sangat berguna bagi penyusunan rencana induk

pengawasan dan rencana pengawasan kerja tahunan.

2) Koordinasi Pengawasan

Agar tujuan audit bisa dicapai secara maksimal, harus dilakukan

koordinasi secara terus menerus antara APFP baik dalam bentuk

rapat koordinasi pengawasan maupun bentuk koordinasi lainya.

Koordinasi antara APFP terutama dalam hal ini perencanaan,

pelaksanaan, pelaporan, pembahasan tindak lanjut dan

21

pembentukan tim audit. Koordinasi pengawasan dilakukan dengan

maksud mendorong sinergi pelaksanaan tugas APFP.

3) Kendali Mutu

Sistem kendali mutu yang memadai meliputi struktur organisasi dan

seperangkat kebijakan serta prosedur yang dirancang untuk

memberikan keyakinan yang memadai bahwa pekerjaan audit

APFP telah mengikuti standar yang ditentukan. APFP harus

memantau sistem kendali mutu audit yang ada secara terus-

menerus pemantauan sistem kendali mutu secara intern dilakukan

oleh suatu bagian yang tidak terlibat dalam tugas udit. Untuk lebih

mengefektfkan sistem kendali mutu juga dilakukan secara berkala

oleh pihak ekstern.

c. Standar Pelaksanaan

1) Perencanaan dan Supervisi

Perencanaan dan supervise adalah penting untuk mencapai tujuan

audit dan menjaga mutu pekerjaan audit. Rencana audit harus

dibuat untuk setiap penugasan berdasarkan pengetahuan mengenai

kegiatan dan seluk-beluk usaha auditan, bila perlu rencana tersebut

harus diperbaiki selama proses audit. Supervise berupa bimbingan

dan pengawasan terhadap para asisten, diperlukan untuk mencapai

tujuan audit dan menjaga mutu audit. Supervisi harus dilakukan

dalam semua penugasan tanpa memandang tingkat pengalaman

auditor yang bersangkutan.

22

2) Pengendalian Intern

Standar ini mewajibkan untuk mempelajari dmenilai struktur

pengendalian auditan. Dalam audit keuangan, tujuan penilaian

struktur pengendalian intern adalah untuk menetukan luas dan

lingkup pengujian yang perlu dilakukan. Sedangkan dalam audit

operasional tujuan penilaian struktur pengendalian intern adalah

untuk menentukan keekonomisan, efisiensi dan efektivitas operasi

auditan. Auditor perlu melakukan pengujian terhadap penerapan dan

perancangan struktur pengendalian intern untuk memastikan bahwa

rancanagan tersebut telah diterapkan sebagimana mestinya.

3) Bukti Audit

Bukti audit disebutkan relevan jika bukti tersebut secara logis

mendukung atau menguatkan pendapat atau argument yang

berhubungan dengan tujuan dan simpulan audit. Bukti audit

dikatakan kompeten jika bukti tersebut sah dan dapat diandalkan

untuk menjamin kesesuaian dengan faktanya. Bukti yang sah ialah

bukti yang memenuhi persyaratan hokum dan undang-undang bukti

yang dapat diandalkan berkaitan dengan sumber dan cara perolehan

bukti itu sendiri. Bukti audit yang cukup berkaitan dengan jumlah

bukti yang dapat dijadikan sebagian dasar untuk pemeriksaan

simpulan audit untuk menetukan kecukupan bukti audit, auditor harus

menerapkan pertimbangan keahlian secara sehat dan objektif.

4) Ketaatan terhadap Peraturan Perundang-undangan

23

Dalam audit terhadap entitas pemerintah, ketaatan terhadap

peraturan perundang-undangan mendapat perhatian yang sangat

penting dengan alasan

a) Para pengambil keputusan di sector pemerintah perlu mengetahui

bahwa:

i. Peraturan perundang-undangan sudah diikuti.

ii. Penerapan peraturan perundang-undangan tersebut telah

membuahkan hasil yang diinginkan.

iii. Terdapat alasan yang jelas untuk pengusulan revisi peraturan

yang sedang berlaku.

b) Ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan merupakan

salah satu bentuk utama dari akuntabilitas pemerintah.

5) Kertas Kerja Audit

Hal-hal penting berupa metodologi audit yang dipilih, prosedur audit

yang ditempuh, bukti audit yang dikumpulkan, kesimpulan audit yang

diperoleh selama audit harus di dokumentasikan ke dalam kertas

kerja audit (KKA). Sedangkan pedoman pemeliharaan KKA harus

meliputi :

i. Status pemilikan KKA

ii. Sistem kearsipan KKA yang berisi penentuan lokasi penyimpanan

KKA dan lama penyimpanan KKA

iii. Aturan tingkat kerahasiaan

d. Standar Pelaporan

24

1) Kesesuaian dengan Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum Bahwa

pengertian prinsip akuntansi yang berlaku umum adalah meliputi

baik prinsip dan praktik akuntansi maupun metode penerapannya.

Standar ini mengharuskan auditor menyatakan pendapat apakah

laporan keuangan telah disajikan sesui dengan prinsip akuntansi

yang berlaku umum, jika laporan keuangan disusun dengan basis

akuntansi komprehensif auditor harus mengungkapkan dalam

laporan audit dengan pernyataan pendapat bahwa laporan

keuangan telah disajikan sesuai dengan basis akuntansi

komprehensif tersebut. Jika terdapat pembatasan terhadap lingkup

audit yang tidak memungkinkan auditor untuk memberikan

pendapat mengenai kesesuaian tersebut, maka diperlukan

pengecualian yang semestinya dalam laporan audit.

2) Konsisten

Tujuan standar ini adalah memberikan jaminan adanya daya

banding, jika daya banding laporan keuangan diantara dua priode

secara material berbeda karena perubahan prinsip, auditor harus

mengungkapkan perubahan tersebut dalam laporannya. Daya

banding akan diperoleh jika penyajiaanyasuatu laporan keuangan

criteria yang sama. Standar ini mengharuskan auditor

mengungkapkan setiap perubahan penerapan akuntansi yang

berlaku umum, baik perubahan yang mempengaruhi konsistensi

maupun perubahan yang tidak mempengaruhi konsintensi.

25

3) Pengungkapan yang Memadai

Standar ini mengharuskan auditor mempertimbangkan kecukupan

pengungkapan dalam laporan keuangan. Pengungkapan informasi

memadai atas hal-hal material mencangkup pengungkapan

mengenai bentuk, susunan dan isi laporan keuangan, serta catatan

atas laporan keuangan. Bila terdapat pengungkapan yang tidak

memadai dalam laporan keuangan, auditor harus

mempertimbangkan pengaruhnya terhadap pendapat yang

diperoleh tanpa ikin dari auditan, sepanjang tidak mengungkapan

informasi tersebut tidak bertentangan dengan prinsip akuntansi

yang berlaku umum.

4) Pernyataan Pendapat

Standar ini mengharuskan auditor memberikan pendapat atas

laporan keuangan secara keseluruhan. Jika auditor tidak

memberikan pendapat secara keseluruhan, maka alasan yang tepat

dapat dinyatakan. Tujuan standar ini adalah mengungkapkan tingkat

tanggungjawab auditor bila namanya dikaitkan dengan laporan

keuangan. Jika nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan,

laporan audit harus memuat penjelasan mengenai sifat pekerjaan

dan tingkat tanggung jawab yang dipikulmya. Menurut Standar

Profesional Akuntansi Publik yang dikutif oleh Jedwan Jaafar dan

Sumiati (2006:56) ada lima jenis pendapat akuntan yaitu :

a) Pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion)

26

b) Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan

yang ditambahkan dalam laporan audit standar (unqualified

opinion with explanatory language)

c) Pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion)

d) Pendapat tidak wajar (adverse opinion)

e) Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion)

5) Laporan Audit Operasional

Standar ini mengatur bahwa temuan dan simpulan yang

disampaikan kepada auditan harus dikemukakan secara objektif

dan disertai informasi yang jelas mengenai pokok masalah yang

terkait, sehingga auditan dapat memahami temuan dan

rekomendasi tersebut secara utuh.

Laporan audit harus berisi rekomendasi yang kontruktif. Jika

rekomendasi tidak dapat diberikan, alasan yang memadai harus

dimuat dalam laporan auditan harus lebih memperhatikan

tercapainya perbaikan atas kelemahan auditan dari pada hanya

sekedar terlaksananya rekomendasi audit tertentu.

6) Kesusuaian dengan Standar Audit APFP

Laporan ini harus memuat pernyataan bahwa audit telah

dilaksanakan sesuai dengan standar audit APFP. Karena standar

audit mengacu kepada SPAP, maka untuk audit keuangan

pernyataan kesesuaian dengan standar audit APFP mengandung

arti kesesuaian dengan SPAP.

27

7) Tertulis dan Segera

Lapoaran audit dibuat secara tertulis, hal ini dimaksudkan untuk

menghindari kemungkinan salah tafsir atas temuan dan simpulan

auditor. Laporan tertulis juga dapat dijadikan bahan untuk

perencanaan berikutnya, disamping itu tindak lanjut atas

rekomendasi dapat lebih memiliki dasar dan memudahkan

pembuktian jika terjadi tuntutan dari pihak yang dirugikan.

Keharusan membuat laporan secara tertulis tidak berarti membatasi

atau mencegah pembahasan lisan dengan auditan, bentuk dan isi

laporan harus disususn sedemikian rupa, sehingga memenuhi

tujuan audit, jelas, mudah dimengerti, lengkap dan objektif.

8) Disribusi Laporan

Standar ini mengharuskan auditor mendistribusikan laporan audit

kepada pihak-pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang

berlaku, auditor harus memastikan bahwa laporan tidak jatuh

ketangan pihak yang tidak berwenang.

e. Standar Tindak Lanjut

1) Komunikasi dengan Auditan

Komunikasi mengenai tanggung jawab penyelesaian tindak lanjut

dimaksudkan untuk menegaskan bahwa auditan bertanggung

jawabuntuk menindak lanjuti temuan dan rekomendasi audit.

kesalahan atau kekeliruan yang tidak segera dibenahi atau

diperbaiki dapat memperburuk keadaan yang pada akhirnya dapat

28

menimbulkan kerugian yang lebih besar. sebelum audit berakhir,

auditor memperoleh pernyataan atau penegasan tertulus dari

auditan bahwa hasil audit akan ditindak lanjuti.

2) Pemantauan Tindak Lanjut

APFP harus memelihara data temuan audit untuk keperluan

pemantauan tindak lanjut dan pemutahkiran data temuan sesuai

dengan informasi tentang tindak lanjut yang telah dilaksanakan oleh

auditan. Pemantauan dan penilaian tindak lanjut bertujuan untuk

memastikan bahwa tindakan yang tepat telah dilaksanakan oleh

auditan sesuai dengan rekomendasi. Manfaat audit tidak hanya

terletak pada banyaknya temuan yang dilaporkan, namun juga

terletak pada efektivitas tindak lanjut temuan tersebut. temuan yang

tidak ditindak lanjuti dapat merupakan indikasi lemahnnya

pengendalian auditan dalam mengelola sumber daya yang

diserahkan kepadanya.

3) Status Temuan

APFP harus mengidentifikasi status temuan audit guna menunjang

penyusunan laporan status temuan, hal tersebut dilakukan dalam

upaya penuntasan tindak lanjut temuan. Laporan status temuan

disampaikan oleh APFP kepada pihak yang berkepentingan sesuai

ketentuan yang berlaku. Laporan tersebut memuat antara lain :

temuan dan rekomendasi, sebab-sebab belim ditindak lanjutinya

29

temuan dan komentar dan rencana pihak auditan untuk

menuntaskan temuan.

4) Penyelesaian Hukum

Temuan yang berindikasi adanya tindakan melawan hukum

merupakan temuan yang mengungkapkan kesalahan atau

kesengajaan yang merugikan Negara, atau tindakan yang

menyimpang dari ketentuan yang berlaku yang dapat mengandung

unsur tuntutan pidana atau pidata. Tindak lanjut temuan hasil audit

yang berindikasi tindakan melawan hukum perlu ditangani oleh

instansi terkait dengan cepat dan lugas, sehingga penyelesainnya

tidak berlarut-larut. APFP berkewajiban untuk melaporkan temuan

tersebut melalui jalur yang telah ditetapkan dan wajib membantu

aparat hukum dalam menyelesaikan kasus tersebut.

Auditor harus melakukan kerja sama dengan aparat hukum

terkait dan memiliki sebab-sebab tidak atau belum adanya proses

hukum. Standar audit APFP menjadi acuan dalam menetapkan

batas-batas tanggung jawab pelaksanaan tugas audit yang

dilakukan oleh APFP dan auditornya sesuai dengan jenjang dan

ruang lingkup tugas auditny. Standar audit APFP bertujuan untuk

menjamin mutu koordinasi, perencanaan, pelaksanaan, dan

pelaporan audit. Standar audit bertujuan untuk mendorong aktivitas

tindak lanjut temuan hasil audit serta konsistensinya penyajian

laporan keuangan hasil audit yang bermanfaat bagi pemakainya.

30

2.1.4 Pelaksanaan Pengawasan Fungsional Pemerintah Daerah

Pelaksanaan pengawasan fungsional diarahkan terhadap

pelaksanaan tugas umum pemerintah dan pembangunan. Dengan tujuan

agar pelaksanaan tugas umum dan pembangunan itu berlangsung sesuai

dengan rencana dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2008 Pengawasan

fungsional pemerintah dilakukan melalui proses kegiatan sebagai

berikut :

1. Audit

Dalam konteks pengawasan fungsional yang di maksud dengan audit

adalah proses identifikasi masalah, analisis , dan evaluasi bukti yang

di lakukan secara idependen, obyetif dan operasional berdasarkan

standar audit, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas,

efektivitas, efisiensi, dan keandalan informasi pelaksanaan tugas dan

fungsi instansi pemerintah.

2. Review

Review adalah penalaahan ulang bukti-bukti suatu kegiatan untuk

memastikan bahwa kegiatan tersebut telah dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan, standar, recana, atau norma yang telah

ditetapakan.

3. Evaluasi

Evaluasi adalah rangakaian kegiatan membandingkan hasil atau

prestasi suatu kegiatan dengan standar, rencana, atau norma yang

31

telah di tetapkan, dan menetukan faktor-faktor yang mempengaruhi

keberhasilan atau kegagalan suatu kegiatan dalam mencapai tujuan.

4. Pemantauan

Pemantauan adalah proses penilaian kemajuan suatu program atau

kegiatan dalam mencapai tujuan yang telah di tetapkan.

5. Kegiatan pengawasan Lainnya

Kegiatan pengawasan lainnya antara lain berupa sosialisasi mengenai

pengawasan, pendidikan dan pelatiahan pengawasan, pembimbingan

dan konsultasi,pengelolaan hasil pengawasan, dan pemaparan hasil

pengawasan.

2.1.5 Akuntabilitas Pegelolaan Keuangan Daerah

Akuntabilitas pada sektor pemerintah merupakan kewajiban

perorangan atau entitas (unit kerja) yang diberi amanat, untuk mengelola

sumber daya Negara guna menuntaskan pertanggungjawaban keuangan,

pengelolaan dan program yang kemudian menyampaikannya dalam

bentuk laporan kepada pihak-pihak yang berkompeten (pusdiklatwas

BPKP, 2007). Sementara Theresia (2007) mengemukakan bahwa

akuntabilitas publik merupakan kewajiban-kewajiban dari individu atau

penguasa yang dipercayakan untuk mengelolah sumber daya publik dan

yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang

menyangkut pertanggungjawaban pegawai pemerintah kepada publik

yang menjadi konsumen layanannya. Dalam struktur pemerintah,

akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban untuk memberikan

32

pertanggungjawaban serta menerangkan kinerja dan tindakan seseorang,

badan hukum atau pimpnan organisasi kepada pihak yang lain yang

memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban dan

keterangan.

Dalam penelitian Taylor (2005), The Oxford English Dictionary

mendefinisikan akuntabilitas sebagai kewajiban untuk memberikan

perhitungan atau penjelasan atas tidakan seseorang.

Akuntabilitas didefinisikan sebagai suatu perwujudan kewajiban

untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan misi

organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang telah

ditetapkan melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilakukan

secara periodik (Halim, 2007: 20). Dalam dunia birokrasi, akuntabilitas

suatu instansi pemerintah ini merupakan perwujudan kewajiban instansi

pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau

kegagalan pelaksanaan misi instansi yang bersangkutan. Akuntabilitas

(accountability) adalah ukuran yang menunjukkan apakah aktivitas

birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah

sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang dianut oleh rakyat dan apakah

pelayanan publik tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan rakyat yang

sesungguhnya (Halim, 2007). Dengan demikian akuntabilitas terkait

dengan falsafah bahwa lembaga eksekutif pemerintah yang tugas

utamanya adalah melayani rakyat harus bertanggung jawab secara

langsung maupun tidak langsung kepada rakyat.

33

2.1.6 Konsep Akuntabilitas

Keberadaan akuntabilitas sebagai suatu sistem sudah cukup lama,

karena sejarah akuntabilitas sudah dimulai sejak zaman Mesopotania

pada tahun 4000 SM, yang pada saat itu sudah dikenal dengan adanya

suatu hukum yang mewajibkan seorang (raja) untuk

mempertanggungjawabkan segala tindakan-tindakannya kepada pihak

yang memberi wewenang.

Hale (2008) menyatakan bahwa akuntabilitas itu seperti seni, lebih

mudah diakui dari pada didefinisikan. Dia melihat akuntabilitas sebagai

sintesis dari dua konsep: answerability hak untuk menerima informasi dan

melangsungkan kewajiban dan penegakan hukum “gagasan bahwa aktor

akuntansi tidak hanya mempertanyakan tetapi juga menghukum perilaku

yang tidak benar. Dengan kata lain, A bertanggung jawab kepada B jika B

dapat (1) mengetahui perilaku A, dan (2) menggunakan tekanan pada A

untuk mempengaruhi perilaku itu.

Dalam akuntabilitas terkandung kewajiban untuk menyajikan dan

melaporkan segala tindak tunduk dan kegiatan terutama dibidang

administrasi keuangan kepada pihak yang lebih tinggi atau atasannya

(Halim, 2007). Menurut Ghartey dalam Halim (2007), akuntabilitas

ditujukan untuk mencari jawaban terhadapa pernyataan yang

berhubungan dengan pelayanan apa, siapa, kepada siapa, milik siapa,

yang mana, dan bagaimana, pertanyaan yang memerlukan jawaban

tersebut antara lain, apa yang harus dipertanggungjawabkan, mengapa,

34

pertanggungjawaban harus diserahkan, kepada siapa

pertangunggjawaban tersebut diserahkan, siapa yang bertanggung jawab

terhadap berbagai bagian kegiatan dalam masyarakat, apakah

pertanggungjawaban berjalan seiring dengan kewenangan yang

memadai.

Haque (2000) membedakan akuntabilitas ke dalam tiga dimensi: (1)

standar akuntabilitas (pertanggungjawaban atas apa), (2) agen

akuntabilitas (bertanggung jawab kepada siapa), dan (3) sarana

akuntabilitas (bagaimana akuntabilitas dapat terjamin).

Akuntabilitas dapat dibedakan dalam beberapa jenis, menurut

Sirajudin dan Aslan dalam Halim (2007), akuntabilitas sebetulnya

merupakan sisi-sisi sikap dan watak kehidupan manusia yang meliputi

akuntabilitas intern seseorang dan ekstern seseorang.

Dari sisi intern seseorang, akuntabilitas merupakan

pertanggungjawaban orang tersebut kepada Tuhannya, akuntabilitas

seperti ini yang meliputi pertanggungjawaban mengenai segala sesuatu

yang dijalankannya yang hanya diketahui dan dipahami oleh dia sendiri.

Akuntabilitas ekstern seseorang, adalah akuntabilitas orang tersebut

kepada lingkungannya baik lingkungan formal maupun lingkungan

masyarakat. Akuntabilitas ekstern meliputi:

a. Internal accountability to the public servant’s own organization, dalam

akuntabilitas setiap tingkatan pada hirarki organisasi, petugas

35

pelayanan publik diwajibkan untuk akuntabel kepada atasannya dan

kepada yang mengontrol pekerjaannya.

b. Eksternal accountability to the individuals and organization outside

public servant’s own organization, akuntabilitas ini mengandung

pengertian akan kemampuan untuk menjawab setiap pertanyaan yang

berhubungan dengan pencapaian kinerja tugas dan wewenang.

Beberapa bentuk dimensi pertanggungjawaban publik oleh

pemerintah daerah disampaikan oleh Ellwood (1993) dalam Halim (2007).

Menurutnya terdapat empat bentuk akuntabilitas publik, yaitu:

a. Akuntabilitas Hukum dan Peraturan (Accountability for Probity and

Legalty)

Akuntabilitas hukum dan peraturan terkait dengan jaminan adanya

kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam

penggunaan sumber dana publik. Untuk menjamin dilaksanakannya

akuntabilitas hukum dan peraturan oleh pemerintah daerah, maka perlu

dilakukan audit kepatuhan (compliance audit).

b. Akuntabilitas Proses (Process Accountability)

Akuntabilitas proses dalam pemerintah daerah dapat diwujudkan

melalui pemeberian pelayanan publik yang cepat, responsif, dan murah

dari sudut biaya. Akuntabilitas proses terkait dengan apakah prosedur

yang digunakan dalam melaksanakan tugas sudah cukup baik dalam hal

kecukupan sistem informasi akuntansi, sistem informasi manajemen, dan

prosedur administrasi. Pengawasan dan pemeriksaan terhadap

36

pelaksanaan akuntabilitas proses dapat dilakukan, misalnya dengan

memeriksa ada tidaknya mark up dan pungutan-pungutan lain diluar yang

ditetapkan, serta sumber-sumber infisiensi dan pemborosan yang

menyebabkan mahalnya biaya pelayanan publik dan kelambanan dalam

pelayanan (Mahsun, 2011).

a. Akuntabilitas Program (Program Accountability)

Akuntabillitas program terkait dengan pertimbangan apakah tujuan

yang ditetapkan dapat dicapai atau tidak dan apakah pemerintah

daerah telah mempertimbangkan alternative program yang

memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang minimal.

b. Akuntabilitas Kebijakan (Policy Accountability)

Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban

pemerintah, baik pusat maupun daerah terhadap kebijakan-kebijakan

yang diambil pemerintah daerah sebagai eksekutif kepada DPRD

sebagai legislative dan masyarakat luas.

7 Ciri-ciri Akuntabilitas yang Efektif Serta Implementasinya

Abdul Halim (2007: 87) cirri-ciri akuntabilitas yang efektif antara

lain:

a. Akuntabilitas harus utuh dan menyeluruh (dalam arti tanggung jawab

terhadap tugas pokok dan fungsi instansi, serta program

pembangunan yang dipercayakan kepadanya, termasuk pelayanan

BUMN/D yang berada dibawah wewenangnya).

37

b. Mencangkup aspek yang menyeluruh mengenai aspek integritas

keuangan, ekonomis, efisien dan prosedur.

c. Akuntabilitas merupakan bagian dari sistem manajemen untuk menilai

kinerja maupun unit organisasi.

d. Akuntabilitas harus dibangun berdasarkan system informasi yang

handal, untuk menjamin keabsahan, akurasi, objektivitas, dan

ketepatan waktu penyampaian informasi.

e. Adanya penilaian yang efektif dan independen terhadap akuntabilitas

suatu instansi.

f. Adanya tindak lanjut terhadap laporan penilaian atas akuntabilitas.

Adapun langkah penting untuk mengimplementasikan akuntabilitas

agar menjadi system yang efektif adalah sebagai berikut:

a. Peryataan yang jelas mengenai tujuan dan sasaran dari kebijakan dan

program, system akuntabilitas menekankan pada pengukuran hasil

yang akan membantu memikirkan hal yang seharusnya diinginkan oleh

pemimpin politik dan membuat kebijakan pada saat mereka

memutuskan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi

masyarakat.

b. Pola pengukuran tujuan, setelah tujuan dibuat dan hasil dapat

diidentifikasikan, perlu ditetapkan suatu indikator kemajuan yang

mengarah pada pencapaian tujuan dan hasil.

c. Pengakomodasian sistem insentif, pengumpulan data mengenai hasil,

sistem akuntabilitas akan menyediakan sistem insentif, bagi para

38

petugas pelayanan, manajer program dan mungkin juga masyarakat

yang dilayani.

d. Pelaporan dan pengumpulan data, sistem akuntabilitas kinerja akan

dapat menghasilkan data yang cukup banyak, informasi yang

dihasilkan tidak akan berguna kecuali dirancang dengan hati-hati,

dalam arti informasi yang dihasilkan benar-benar berguna bagi para

pemimpin, pembuat keputusan, manager-manager program, dan

masyarakat.

e. Pengembangan kebijakan dan manajemen program yang

dikoordinasikan untuk mendorong akuntabilitas pada program

pelayanan public membutuhkan banyak aktivitas dalam perencanaan

dan koordinasi yang efektif agar akuntabilitas tersebut dapat dijaga.

2.1.8 Konsep Pengelolaan Keuangan Daerah

Keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan

kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, juga segala satuan, baik

berupa uang maupun barang, yang dapat dijadikan kekayaan daerah

sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh Negara atau daerah yang lebih

tinggi serta pihak-pihak lain seusai ketentuan/peraturan perundangan

yang berlaku dalam (Halim, 2007). Menurut Peraturan Mentri Dalam

Negeri Nomor 21 Tahun 2011, keuangan daerah adalah semua hak dan

kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah

yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk

39

kekayaan yang berhubungan denngan hak dan kewajiban daerah

tersebut.

Halim (2007: 330) mengatakan bahwa pengelolaan keuangan

daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan,

pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan

pengawasan keuangan daerah. Permendagri No. 21 Tahun 2011

mengemukakan pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan

kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan,

pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.

Berdasarkan UU 33 tahun 2004 pasal 66 ayat 1, keuangan daerah

harus dikelolah secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan,

efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan

memperhatikan keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Oleh

karena itu, pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan

pendekatan kinerja yang berorientasi pada output, dengan menggunakan

konsep nilai uang (value for money) serta prinsip tata pemerintahan yang

baik (good governance). Pendekatan anggaran kinerja adalah suatu

sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja

(output) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang telah ditetapkan (PP

58/2005, pasal 39). Kinerja mencerminkan efisiensi dan efektifitas

pelayanan publik dan harus berpihak pada kepentingan publik, yang

artinya memaksimumkan penggunaan anggaran untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat daerah.

40

Ruang lingkup pengelolaan keuangan tidak hanya terbatas pada

kewenangan yang dimiliki pemegang kekuasaan otorisasi, kordinasi dan

perbendaharaan, tetapi mulai dari otoritas penetapan kebijakan yang

berkaitan dengan keuangan itu. Penetapan kebijakan pengelolaan umum

keuangan daerah berhubungan dengan perencanaan umum (penyusunan

arah kebijakan umum anggaran, fungsi penyusunan, fungsi pemungutan

pendapatan, fungsi perbendaharaan umum daerah, fungsi penggunaan

anggaran serta fungsi pengawasan dan pertanggungjawaban).

41

Kajian Penelitian Yang Relevan

Tabel 2.2 Penelitian Relevan

No Nama Judul Fokus

Penelitan Hasil penelitian

1 Andhika syaifullah

(2007)

Pengaruh Pengawasan Fungsional Terhadap Pelaksanaan Efektivitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Kota Cimahi

Memfokuskan pada Inspektorat Pemerintah Kota Cimahi sebagai aparat Pengawasan Fungsional Intern dan Bagian Keuangan Pemerintah Kota Cimahi sebagai pengelola keuangan daerah

Hasil Penelitiannya Menunjukan bahwa pengawasan fungsional mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pelaksanaan Efektivitas APBD. Hal ini ditunjukan dengan nilai koefisien korelasi (rs) sebesar 0,715. Sehingga dapat disimpulkan bahwa besarnya kontribusi pengawasan fungsional Intern terhadap pelaksanaan APBD, sebesar 51,10%.

2 Nirmala Hanum

(2008)

Peranan Pengawasan Fungsional Terhadap Sistem Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah

Memfokuskan pada Pemerinta Daerah Kabupaten Cilacap

Hasil Penelitiannya Menunjukan bahwa pengawasan fungsional memiliki peran yang sangat signifikan terhadap sistem pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah.

3 Dedi Kusmayadi

(2009)

Pengaruh Pengawasan fungsional Dan Penatausahaan Keuangan Daerah Terhadap Good Government Governance

Memfokuskan pada Pemerintah Kota Tasikmalaya

Hasil Penelitiannya Menunjukan bahwa Pengawasan fungsional Dan Penatausahaan Keuangan Daerah Baik Secara Parsial Maupun Secara Simultan Berpengaruh Terhadap Good Government Governance Pada Pemerintah Kota Tasikmalaya.

4 Bagita Widiyanto

(2010)

Pengaruh Pengawasan fungsional Terhadap Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan

Menfokuskan Pada Aparat Pengawas Intern Pemerintah Di Inspektorat Kota Bandung

Hasil Penelitiannya Menunjukan bahwa pengawasan fungsional memiliki pengaruh yang positif Terhadap Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah .

42

Daerah Pemerintah Kota Bandung

5 Sinta Suhanda Wati

(2010)

Analisis Pengawasan Fungsional Pengaruhnya Terhadap Efektifitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Menfokuskan pada Inspektorat Pemerintah Kota Bandung

Hasil Penelitiannya Menunjukan bahwa pengawasan fungsional berpengaruh signifikan terhadap efektivitas pengelolaan keuangan daerah pada pemerintah Kota Bandung. Pengawasan fungsional memberikan kontribusi atau pengaruh sebesar 57,7% terhadap efektivitas pengelolaan keuangan daerah pada pemerintah Kota Bandung.

6 Taylor, W. Micheal, Eva Hiipkes and Marc Quintyn

(2005)

The Accountability Of Financial Sector Supervisors: Principles and Practice

Serve for financial sector supervisors (hereafter called regulatory and supervisory

agencies (RSAs))

An important conclusion from this analysis is that there might be a need to revisit the accountability arrangements of central banks that perform monetary policy and supervisory functions. Very often, accountability arrangements focus on the monetary policy function, and it is implicitly assumed that similar arrangements would satisfy the supervisory objectives. This paper argues that more elaborate arrangements are warranted for the supervisory functions.

7 Vermeer, Cees, Freek Hoek and Cor van Montfort

(2005)

Enhancing Public Accountability in the Netherlands

This is focuses on non-departmental public bodies (NDPBs) in the Netherlands that are funded by public money and whose task is defined by law

It can be concluded that the amount of attention being paid to internal regulation and accountability has increased considerably in the public sector. On the one hand, more is being expected of supervisory boards. On the other, however, their positions relative to their shareholders or ministers and other stakeholders

43

have yet to be fully shaped. In the public sector, the position of the supervisory board varies from area to area. Of particular interest to the public sector are those sections addressing executive accountability, the position of the supervisory board, and the realisation of a system of checks and balances between shareholders and directors.

Sumber: Data diolah

2.4 Hipotesis

Sugiyono (2010: 64) mengatakan bahwa: hipotesis merupakan

jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana

rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat

pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru

didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta

empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Sehubungan dengan

penelitian ini, maka hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini,

yakni diduga terdapat pengaruruh pengawasan fungsional terhadap

akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah di Kota Gorontalo.

44

2.4 Kerangka Berpikir

Rumusan Masalah Seberapa besar pengaruh pengawasan fungsional

terhadap akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah di Pemerintahan Daerah Kota Gorontalo

Dasar Teori

Pengawasan fungsional adalah segala kegiatan dan bentuk tindakan untuk menjamin agar pelaksanaan suatu kegiatan berjalan sesuai dengan rencana, aturan-aturan dan tujuan yang telah ditetapkan (Abdul Halim, 2002:351).

Akuntabilitas merupakan kewajiban perorangan atau entitas (unit kerja) yang diberi amanat, untuk mengelola sumber daya negara guna menuntaskan pertanggungjawaban keuangan, pengelolaan dan program yang kemudian menyampaikannya dalam bentuk laporan kepada pihak yang berkompeten (Pusdiklatwas BPKP, 2007)

Penelitian Terdahulu

1. Andhika syaifullah, (2007). Pengaruh Pengawasan Fungsional Intern Terhadap Pelaksanaan Efektivitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Kota Cimahi

2. Nirmala Hanum, (2008). Peranan Pengawasan Fungsional Terhadap Sistem Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah

3. Dedi Kusmayadi. (2009). Pengaruh Pengawasan Intern Dan Penatausahaan Keuangan Daerah Terhadap Good Government Governance

4. Bagita Widiyanto, (2010). Pengaruh Pengawasan Intern Terhadap Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah Pemerintah Kota Bandung

5. Sinta Suhanda Wati. (2010). Analisis Pengawasan Fungsional Pengaruhnya Terhadap Efektifitas Pengelolaan Keuangan Daerah

45

Judul Pengaruh Pengawasan Fungsional Terhadap Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah Pemerintah Kota

Gorontalo

Pengawasan Tahunan Pengawasan Khusus

Akuntabilitas