BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS 2.1.1. Pengertian...
Transcript of BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS 2.1.1. Pengertian...
11
BAB II
KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS
2.1.1. Pengertian Pengawasan Fungsional
Revrisond Baswir (2002:118) pengawasan secara umum adalah:
“Segala kegiatan dan tindakan untuk menjamin agar penyelenggaraan
suatu kegiatan tidak menyimpang dari tujuan serta rencana yang telah
digariskan.”
Sedangkan Abdul Halim (2002:145) yaitu : pengawasan adalah suatu
proses kegiatan penilaian terhadap objek pengawasan kegiatan tertentu
dengan tujuan untuk memastikan apakah pelaksanaan tugas dan fungsi
objek pengawasan dan atau kegiatan tersebut telah sesuai dengan yang
telah ditetapkan sehingga dapat disimpulkan bahwa pengawasan bukan
berupa pemeriksaan tetapi pengawasan yang lebih mengarah untuk
menjamin pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam peraturan
daerah. adapun pengertian pengawasan fungsional berdasarkan Pasal 1
Peraturan Pemerintah No 20 tahun 2002 tentang pertimbangan dan
pengawasan atas penyelenggara pemerintah daerah mengemukakan
bahwa: “Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh
lembaga atau badan atau unit yang mempunyai tugas dan fungsi
melakukan pengawasan melalui pemeriksaan, pengkajian, penyusutan
dan penilaian”.
12
Abdul Halim (2002:351) menyatakan pengawasan fungsional
sebagai berikut : “Segala kegiatan dan bentuk tindakan untuk menjamin
agar pelaksanaan suatu kegiatan berjalan dengan sesuai dengan
rencana, aturan-aturan dan tujuan yang telah ditetapkan”.
Siregar dan Siregar (2001:351) pengawasan fungsional adalah :
“Pengawasan oleh aparatur pengawasan fungsional adalah pengawasan
oleh instansi independen dari unsure yang diawasi seperti badan
pengawasan keuangan dan pembangunan (BKP) Inspektor Jendral
Departemen, Unit Pengawasan Lembaga Negara dan Inspektorat
Wilayah.” Secara khusus tujuan pengawasan fungsional menurut Abdul
Halim (2004:306) adalah :
a. Menilai ketaatan terhadap perundang – undangan yang berlaku.
b. Menilai apakah kegiatan berjalan dengan pedoman akuntansi yang
berlaku
c. Menilai apakah yang dilaksanakan secara ekonomis, efisien dan efekti.
d. Mendeteksi adanya kecurangan.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, jelas bahwa penekanan
dari pengawasan lebih pada upaya untuk mengenali penyimpangan atau
hambatan di dalam pelaksanaan kegiatan tersebut disesuaikan dengan
peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah baik pusat maupun
daerah. Bila ternyata kemudian ditemukan adanya penyimpangan atau
hambatan diharapkan agar dapat
13
segera dideteksi atau diambil tindakan koreksi sehingga pelaksanaan
kegiatan yang bersangkutan diharapkan masih dapat mencapai tujuan
sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya.
Sedangkan Statement of Auditing Standars (SAS) dalam Sawyer
(2005:58) mendefenisikan lima komponen kontrol internal yang saling
berkaitan pada pernyataan COSO adalah sebagai berikut: (a) Lingkungan
control. Komponen ini meliputi seikap manajemen di semua tingkatan
terhadap operasi secara umum dan konsep control secara khusus. (b)
Penentuan Resiko. Komponen ini telah menjadi bagian dari aktivitas audit
internal yang telah berkembang. (c) Aktivitas kontrol, komponen ini
mencakup aktivitas-aktivitas yang dulunya dikaitkan dengan konsep
control internal. (d) Informasi dan Komunikasi. Komponen ini merupakan
bagian penting dari proses manajemen. Manajemen tidak dapat berfungsi
tanpa informasi. (5) Pengawasan. Pengawasan merupakan evaluasi
rasional yang dinamis atas informasi yang diberikan pada komunikasi
informasi untuk tujuan manajemen control.
Terdapat hubungan langsung antara tujuan, yang merupakan hal
yang diperjuangkan untuk dicapai perusahaan dan komponen-komponen
tersebut, yang
mencerminkan hal-hal yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Tidak
semua tujuan dan komponen ini relevan untuk audit laporan keuangan.
Kontrol interna, sebaik apa pun dirancang dan dioperasikan, hanya bisa
memberikan keyakinan yang wajar tentang pencapaian tujuan.
14
2.1.2 Aparat Pengawasan Fungsional
Revrisond Baswir (2000:138) aparat pengawasan fungsional adalah
:
a. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
b. Inspektorat Jendral Departemen, Aparat Pengawasan Lembaga
Pemerintah Non Departemen dan Instansi Pemerintah lainnya.
c. Inspektorat Wilayah Provinsi.
d. Inspektorat Wilayah Kabupaten atau Kotamadya.
Selanjutnya uraian mengenai aparat pengawasan fungsional
menurut Siregar dan Siregar (2001:353) adalah :
a. Badan Pengawasan Keuanga dan Pembangunan (BPKP)
BPKP merupakan instansi pengawasan dan pemeriksa yang berada
dilingkungan pemerintah. BPKP harus melaporkan pelaksanaan tugas
dan fungsinya kepada Presiden. Laporan hasil pengawasan dan
pemeriksaan disampikan kepada mentri atau pejabat lain yang
bersangkutan. Apabila laporan hasil pengawasan berkaitan dengan
pemeriksaan, maka dalam tembusan laporan tersebut disampaikan
dalan badan pemeriksaan keuangan (BPK). Apabila diperkirakan
terdapat tindakan pidana korupsi, BPKP harus melaporkan kepada
jaksa agung. Tugas pokok BPKP meliputi ;
1) Merumuskan kebijaksanaan pengawasan keuangan dan
pembangunan
15
2) Melaksanakan pengawasan umum terhadap penguasaan dan
pengurusan keuangan
b. Inspektorat Jendral Departemen atau Unit Pengawasan Lembaga
Negara
Inspektorat Jendral Departemen atau Unit Pengawasan
Lembaga Negara merupakan instansi yang melakukan pengawasan
dan pemeriksaan terhadap seluruh unsure organisasi yang ada di
lingkungan departemen atau lembaga Negara yang bersangkutan.
Tugas pokok Inspektorat Jendral atau Unit pengawasan adalah
melakukan pengawasan terhadap tugas rutin dan pembangunan
semua unsur yang ada di lingkungan departemen atau lembaga
Negara agar pelaksanaan tugas sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
c. Insepktorat Wilayah Kota
Insepktorat Wilayah Kota adalah instansi pengawasan yang
melakukan pengawasan terhadap akativitas pemerintah Kota. Instansi
ini bertanggung jawab kepada Gubernur. Instansi ini mempunyai tugas
melakukan pengawasan umum atas aktivitas pemerintah daerah, baik
yang bersifat rutin maupun yang bersifat pembangunan agar dapat
berjalan sesuai dengan rencana dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
d. Inspektorat Wilayah Kabupaten atau Kotamadya
16
Inspektorat Wilayah Kabupaten atau Kotamadya adalah instansi yang
melakukan pengawasan terhadap aktivitas Pemerintah Daerah.
Termasuk Kecamatan, Kelurahan atau Desa selain itu Inspektorat
Wilayah Kabupaten atau Kotamadya juga melakukan pengawasan
terhadap tugas departemen Dalam Negeri di Kabupaten atau
Kotamadya.
2.1.3 Standar Audit Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah
Berdasarkan Keputusan BPKP No. KEP-378/K/2004 tanggal 30 Mei
2004 Tentang Penetapan Berlakunya Standar Audit Aparat Pengawasan
Fungsional Pemerintah. Jafar dan Sumiati (2006:29) mengemukakan
bahwa Standar Audit APFP merupakan prinsip-prinsip dasar dan
persyaratan yang diperlukan APFP serta akuntan public yang ditugaskan
untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi suatu APFP, untuk menjamin
mutu hasil audit dan konsitensi pelaksanaan tugas audit.
Selanjutnya Jaafar dan Sumiati (2006:29) bahwa maksud dan tujuan
standar audit APFP adalah sebagai berikut :
a. Standar audit APFP ini menjadi acuan dalam menetapkan batas-batas
tanggungjawab pelaksanaan tugas audit yang dilakukan oleh APFP
dan auditornya sesuai dengan jenjang dan ruang lingkup tugas audit.
b. Tujuan standar audit ini adalah untuk menjamin mutu koordinasi,
perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan audit. Standar ini juga
bertujuan untuk mendorong efektivitas tindak lanjut temuan hasil audit
17
serta konsistensi penyajian laporan hasil audit yang bermanfaat bagi
pemakainnya.
Redwan Jaaftar dan Sumiati (2004: 33) mengemukakan “Standar
audit aparat pengawasan fungsional pemerintah (APFP) merupakan
prinsip-prinsip dasra persyaratan yang diperluka untuk menjamin mutu
hasil audit dan konsistensi pelaksanaan tugas audit APFP”.
Badan Pengawasan Daerah Jawa Barat (2002:2) dan Redwan
Jaaftar dan Sumiati (2004: 33) dalam bukunya yang berjudul Kode Etik
dan Standar Audit dan standar audit terdiri dari 24 butir standar yang
terbagi atas lima katogori yaitu :
a. Standar Umum
1) Keahlian
2) Independensi
3) Kecermatamn profesi
4) Kerahasian
b. Standar Koordinasi dan Kendalian Mutu
1) Program kerja pengawasan
2) Koordinasi pengawasan
3) Kendali mutu
c. Standar Pelaksanaan
1) Pelaksanaan dan supervise
2) Pengendalian Internal
3) Bukti audit
18
4) Ketaatan peraturan perundang – undangan
5) Kertas kerja audit
d. Standar Pelaporan
1) Kesesuaian dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum
2) Konsistensi
3) Pengungkapan yang memadai
4) Pernyataan pendapat
5) Laporan audit operasional
6) Kesesuaian dengan standar audit APFP
7) Tertulis dan segera
8) Distribusi laporan
e. Standar Tindak Lanjut
1) Kominikasi dengan auditan
2) Pemantauan tindak lanjut
3) Status temuan
4) Penyelesaian hukum
Uraian di atas masing-masing standar audit adalah sebagai berikut :
a. Standar Umum
Standar umum audit merupakan persyaratan bagi APFP dan para
auditornya untuk dapat melaksanakan penugasan audit secara
kompeten dan efektif. Standar umum ini terdiri dari empat pernyataan,
yaitu :
1) Keahlian
19
Standar ini menegaskan bahwa audit hanya dapat dilakukan oleh
seseorang atau lebih yang memiliki kemampuan, baik secara teori
maupun praktik dibadang audit.standar ini juga menegaskan bahwa
kemampuan seseorang dalam bidang-bidang lain, termasuk dalam
bidang keuangan, ia tidak dapat memenuhi persyaratan yang
dimaksudkan dalam standar audit ini, jika ia tidak memiliki
kemampuan pendidikan serta pengalaman yang memadai dalam
bidang audit.
2) Independensi
Standar ini bertujuan untuk menghasilkan pendapat audit atau
kesimpulan audit yang objektif. Dalam pembuatan laporan pendapat
atau simpulan auditor harus bebas dari pengaruh pihak-pihak yang
berkepentingan, untuk mencapai tujuan tersebut standar ini
mengharuskan APFP dan para auditornya untuk memiliki intergritas,
yaitu sikap kepribadian yang jujur, bijaksana, berani dan
tanggungjawab sehingga dapat menimbulkan kepercayaan dan rasa
hormat masyarakat.
3) Kecermatan Profesi
Standar ini menghendaki auditor untuk melaksanakan tugasnya
dengan cermat dan seksama. Kecermatan dan keseksamaan ini
menekankan bahwa auditor bertanggungjawab untuk mendalami
dan mematuhi standar audit APFP dalam segala kegiatan yang
berkaitan dengan fungsi APFP salah satu wujud penerapan
20
kecermatan dan keseksamaan adalah reviu secara kritis pada
tingkat supervise terhadap pelaksanaan audit dan terhadap
pertimbangan yang digunakan oleh mereka yang membantu audit.
4) Kerahasiaan
APFP dan para auditornya harus menjaga kerahasiaan hal-hal yang
berkaitan dengan audit maupun informasi yang dihasilkan dari audit
tersebut. Kecuali dalam ha-hal yang berkaitan dengan pemerintah
dan pihak yang berwenang, menggunakan informasi yang diperoleh
dari suatu penugasan audit untuk hal-hal di luar lingkup
pembentukan pendapat, penyusunan temuan dan rekomendasi
audit.
b. Standar Koordinasi dan Kendali Mutu
1) Program Kerja Pengawasan
Program kerja pengawasan (PKP) merupakan alat bantu bagi APFP
untuk mencapai hasil pengawasan yang efektif. PKP ini merupakan
masukan yang sangat berguna bagi penyusunan rencana induk
pengawasan dan rencana pengawasan kerja tahunan.
2) Koordinasi Pengawasan
Agar tujuan audit bisa dicapai secara maksimal, harus dilakukan
koordinasi secara terus menerus antara APFP baik dalam bentuk
rapat koordinasi pengawasan maupun bentuk koordinasi lainya.
Koordinasi antara APFP terutama dalam hal ini perencanaan,
pelaksanaan, pelaporan, pembahasan tindak lanjut dan
21
pembentukan tim audit. Koordinasi pengawasan dilakukan dengan
maksud mendorong sinergi pelaksanaan tugas APFP.
3) Kendali Mutu
Sistem kendali mutu yang memadai meliputi struktur organisasi dan
seperangkat kebijakan serta prosedur yang dirancang untuk
memberikan keyakinan yang memadai bahwa pekerjaan audit
APFP telah mengikuti standar yang ditentukan. APFP harus
memantau sistem kendali mutu audit yang ada secara terus-
menerus pemantauan sistem kendali mutu secara intern dilakukan
oleh suatu bagian yang tidak terlibat dalam tugas udit. Untuk lebih
mengefektfkan sistem kendali mutu juga dilakukan secara berkala
oleh pihak ekstern.
c. Standar Pelaksanaan
1) Perencanaan dan Supervisi
Perencanaan dan supervise adalah penting untuk mencapai tujuan
audit dan menjaga mutu pekerjaan audit. Rencana audit harus
dibuat untuk setiap penugasan berdasarkan pengetahuan mengenai
kegiatan dan seluk-beluk usaha auditan, bila perlu rencana tersebut
harus diperbaiki selama proses audit. Supervise berupa bimbingan
dan pengawasan terhadap para asisten, diperlukan untuk mencapai
tujuan audit dan menjaga mutu audit. Supervisi harus dilakukan
dalam semua penugasan tanpa memandang tingkat pengalaman
auditor yang bersangkutan.
22
2) Pengendalian Intern
Standar ini mewajibkan untuk mempelajari dmenilai struktur
pengendalian auditan. Dalam audit keuangan, tujuan penilaian
struktur pengendalian intern adalah untuk menetukan luas dan
lingkup pengujian yang perlu dilakukan. Sedangkan dalam audit
operasional tujuan penilaian struktur pengendalian intern adalah
untuk menentukan keekonomisan, efisiensi dan efektivitas operasi
auditan. Auditor perlu melakukan pengujian terhadap penerapan dan
perancangan struktur pengendalian intern untuk memastikan bahwa
rancanagan tersebut telah diterapkan sebagimana mestinya.
3) Bukti Audit
Bukti audit disebutkan relevan jika bukti tersebut secara logis
mendukung atau menguatkan pendapat atau argument yang
berhubungan dengan tujuan dan simpulan audit. Bukti audit
dikatakan kompeten jika bukti tersebut sah dan dapat diandalkan
untuk menjamin kesesuaian dengan faktanya. Bukti yang sah ialah
bukti yang memenuhi persyaratan hokum dan undang-undang bukti
yang dapat diandalkan berkaitan dengan sumber dan cara perolehan
bukti itu sendiri. Bukti audit yang cukup berkaitan dengan jumlah
bukti yang dapat dijadikan sebagian dasar untuk pemeriksaan
simpulan audit untuk menetukan kecukupan bukti audit, auditor harus
menerapkan pertimbangan keahlian secara sehat dan objektif.
4) Ketaatan terhadap Peraturan Perundang-undangan
23
Dalam audit terhadap entitas pemerintah, ketaatan terhadap
peraturan perundang-undangan mendapat perhatian yang sangat
penting dengan alasan
a) Para pengambil keputusan di sector pemerintah perlu mengetahui
bahwa:
i. Peraturan perundang-undangan sudah diikuti.
ii. Penerapan peraturan perundang-undangan tersebut telah
membuahkan hasil yang diinginkan.
iii. Terdapat alasan yang jelas untuk pengusulan revisi peraturan
yang sedang berlaku.
b) Ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan merupakan
salah satu bentuk utama dari akuntabilitas pemerintah.
5) Kertas Kerja Audit
Hal-hal penting berupa metodologi audit yang dipilih, prosedur audit
yang ditempuh, bukti audit yang dikumpulkan, kesimpulan audit yang
diperoleh selama audit harus di dokumentasikan ke dalam kertas
kerja audit (KKA). Sedangkan pedoman pemeliharaan KKA harus
meliputi :
i. Status pemilikan KKA
ii. Sistem kearsipan KKA yang berisi penentuan lokasi penyimpanan
KKA dan lama penyimpanan KKA
iii. Aturan tingkat kerahasiaan
d. Standar Pelaporan
24
1) Kesesuaian dengan Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum Bahwa
pengertian prinsip akuntansi yang berlaku umum adalah meliputi
baik prinsip dan praktik akuntansi maupun metode penerapannya.
Standar ini mengharuskan auditor menyatakan pendapat apakah
laporan keuangan telah disajikan sesui dengan prinsip akuntansi
yang berlaku umum, jika laporan keuangan disusun dengan basis
akuntansi komprehensif auditor harus mengungkapkan dalam
laporan audit dengan pernyataan pendapat bahwa laporan
keuangan telah disajikan sesuai dengan basis akuntansi
komprehensif tersebut. Jika terdapat pembatasan terhadap lingkup
audit yang tidak memungkinkan auditor untuk memberikan
pendapat mengenai kesesuaian tersebut, maka diperlukan
pengecualian yang semestinya dalam laporan audit.
2) Konsisten
Tujuan standar ini adalah memberikan jaminan adanya daya
banding, jika daya banding laporan keuangan diantara dua priode
secara material berbeda karena perubahan prinsip, auditor harus
mengungkapkan perubahan tersebut dalam laporannya. Daya
banding akan diperoleh jika penyajiaanyasuatu laporan keuangan
criteria yang sama. Standar ini mengharuskan auditor
mengungkapkan setiap perubahan penerapan akuntansi yang
berlaku umum, baik perubahan yang mempengaruhi konsistensi
maupun perubahan yang tidak mempengaruhi konsintensi.
25
3) Pengungkapan yang Memadai
Standar ini mengharuskan auditor mempertimbangkan kecukupan
pengungkapan dalam laporan keuangan. Pengungkapan informasi
memadai atas hal-hal material mencangkup pengungkapan
mengenai bentuk, susunan dan isi laporan keuangan, serta catatan
atas laporan keuangan. Bila terdapat pengungkapan yang tidak
memadai dalam laporan keuangan, auditor harus
mempertimbangkan pengaruhnya terhadap pendapat yang
diperoleh tanpa ikin dari auditan, sepanjang tidak mengungkapan
informasi tersebut tidak bertentangan dengan prinsip akuntansi
yang berlaku umum.
4) Pernyataan Pendapat
Standar ini mengharuskan auditor memberikan pendapat atas
laporan keuangan secara keseluruhan. Jika auditor tidak
memberikan pendapat secara keseluruhan, maka alasan yang tepat
dapat dinyatakan. Tujuan standar ini adalah mengungkapkan tingkat
tanggungjawab auditor bila namanya dikaitkan dengan laporan
keuangan. Jika nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan,
laporan audit harus memuat penjelasan mengenai sifat pekerjaan
dan tingkat tanggung jawab yang dipikulmya. Menurut Standar
Profesional Akuntansi Publik yang dikutif oleh Jedwan Jaafar dan
Sumiati (2006:56) ada lima jenis pendapat akuntan yaitu :
a) Pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion)
26
b) Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan
yang ditambahkan dalam laporan audit standar (unqualified
opinion with explanatory language)
c) Pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion)
d) Pendapat tidak wajar (adverse opinion)
e) Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion)
5) Laporan Audit Operasional
Standar ini mengatur bahwa temuan dan simpulan yang
disampaikan kepada auditan harus dikemukakan secara objektif
dan disertai informasi yang jelas mengenai pokok masalah yang
terkait, sehingga auditan dapat memahami temuan dan
rekomendasi tersebut secara utuh.
Laporan audit harus berisi rekomendasi yang kontruktif. Jika
rekomendasi tidak dapat diberikan, alasan yang memadai harus
dimuat dalam laporan auditan harus lebih memperhatikan
tercapainya perbaikan atas kelemahan auditan dari pada hanya
sekedar terlaksananya rekomendasi audit tertentu.
6) Kesusuaian dengan Standar Audit APFP
Laporan ini harus memuat pernyataan bahwa audit telah
dilaksanakan sesuai dengan standar audit APFP. Karena standar
audit mengacu kepada SPAP, maka untuk audit keuangan
pernyataan kesesuaian dengan standar audit APFP mengandung
arti kesesuaian dengan SPAP.
27
7) Tertulis dan Segera
Lapoaran audit dibuat secara tertulis, hal ini dimaksudkan untuk
menghindari kemungkinan salah tafsir atas temuan dan simpulan
auditor. Laporan tertulis juga dapat dijadikan bahan untuk
perencanaan berikutnya, disamping itu tindak lanjut atas
rekomendasi dapat lebih memiliki dasar dan memudahkan
pembuktian jika terjadi tuntutan dari pihak yang dirugikan.
Keharusan membuat laporan secara tertulis tidak berarti membatasi
atau mencegah pembahasan lisan dengan auditan, bentuk dan isi
laporan harus disususn sedemikian rupa, sehingga memenuhi
tujuan audit, jelas, mudah dimengerti, lengkap dan objektif.
8) Disribusi Laporan
Standar ini mengharuskan auditor mendistribusikan laporan audit
kepada pihak-pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, auditor harus memastikan bahwa laporan tidak jatuh
ketangan pihak yang tidak berwenang.
e. Standar Tindak Lanjut
1) Komunikasi dengan Auditan
Komunikasi mengenai tanggung jawab penyelesaian tindak lanjut
dimaksudkan untuk menegaskan bahwa auditan bertanggung
jawabuntuk menindak lanjuti temuan dan rekomendasi audit.
kesalahan atau kekeliruan yang tidak segera dibenahi atau
diperbaiki dapat memperburuk keadaan yang pada akhirnya dapat
28
menimbulkan kerugian yang lebih besar. sebelum audit berakhir,
auditor memperoleh pernyataan atau penegasan tertulus dari
auditan bahwa hasil audit akan ditindak lanjuti.
2) Pemantauan Tindak Lanjut
APFP harus memelihara data temuan audit untuk keperluan
pemantauan tindak lanjut dan pemutahkiran data temuan sesuai
dengan informasi tentang tindak lanjut yang telah dilaksanakan oleh
auditan. Pemantauan dan penilaian tindak lanjut bertujuan untuk
memastikan bahwa tindakan yang tepat telah dilaksanakan oleh
auditan sesuai dengan rekomendasi. Manfaat audit tidak hanya
terletak pada banyaknya temuan yang dilaporkan, namun juga
terletak pada efektivitas tindak lanjut temuan tersebut. temuan yang
tidak ditindak lanjuti dapat merupakan indikasi lemahnnya
pengendalian auditan dalam mengelola sumber daya yang
diserahkan kepadanya.
3) Status Temuan
APFP harus mengidentifikasi status temuan audit guna menunjang
penyusunan laporan status temuan, hal tersebut dilakukan dalam
upaya penuntasan tindak lanjut temuan. Laporan status temuan
disampaikan oleh APFP kepada pihak yang berkepentingan sesuai
ketentuan yang berlaku. Laporan tersebut memuat antara lain :
temuan dan rekomendasi, sebab-sebab belim ditindak lanjutinya
29
temuan dan komentar dan rencana pihak auditan untuk
menuntaskan temuan.
4) Penyelesaian Hukum
Temuan yang berindikasi adanya tindakan melawan hukum
merupakan temuan yang mengungkapkan kesalahan atau
kesengajaan yang merugikan Negara, atau tindakan yang
menyimpang dari ketentuan yang berlaku yang dapat mengandung
unsur tuntutan pidana atau pidata. Tindak lanjut temuan hasil audit
yang berindikasi tindakan melawan hukum perlu ditangani oleh
instansi terkait dengan cepat dan lugas, sehingga penyelesainnya
tidak berlarut-larut. APFP berkewajiban untuk melaporkan temuan
tersebut melalui jalur yang telah ditetapkan dan wajib membantu
aparat hukum dalam menyelesaikan kasus tersebut.
Auditor harus melakukan kerja sama dengan aparat hukum
terkait dan memiliki sebab-sebab tidak atau belum adanya proses
hukum. Standar audit APFP menjadi acuan dalam menetapkan
batas-batas tanggung jawab pelaksanaan tugas audit yang
dilakukan oleh APFP dan auditornya sesuai dengan jenjang dan
ruang lingkup tugas auditny. Standar audit APFP bertujuan untuk
menjamin mutu koordinasi, perencanaan, pelaksanaan, dan
pelaporan audit. Standar audit bertujuan untuk mendorong aktivitas
tindak lanjut temuan hasil audit serta konsistensinya penyajian
laporan keuangan hasil audit yang bermanfaat bagi pemakainya.
30
2.1.4 Pelaksanaan Pengawasan Fungsional Pemerintah Daerah
Pelaksanaan pengawasan fungsional diarahkan terhadap
pelaksanaan tugas umum pemerintah dan pembangunan. Dengan tujuan
agar pelaksanaan tugas umum dan pembangunan itu berlangsung sesuai
dengan rencana dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2008 Pengawasan
fungsional pemerintah dilakukan melalui proses kegiatan sebagai
berikut :
1. Audit
Dalam konteks pengawasan fungsional yang di maksud dengan audit
adalah proses identifikasi masalah, analisis , dan evaluasi bukti yang
di lakukan secara idependen, obyetif dan operasional berdasarkan
standar audit, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas,
efektivitas, efisiensi, dan keandalan informasi pelaksanaan tugas dan
fungsi instansi pemerintah.
2. Review
Review adalah penalaahan ulang bukti-bukti suatu kegiatan untuk
memastikan bahwa kegiatan tersebut telah dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan, standar, recana, atau norma yang telah
ditetapakan.
3. Evaluasi
Evaluasi adalah rangakaian kegiatan membandingkan hasil atau
prestasi suatu kegiatan dengan standar, rencana, atau norma yang
31
telah di tetapkan, dan menetukan faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan atau kegagalan suatu kegiatan dalam mencapai tujuan.
4. Pemantauan
Pemantauan adalah proses penilaian kemajuan suatu program atau
kegiatan dalam mencapai tujuan yang telah di tetapkan.
5. Kegiatan pengawasan Lainnya
Kegiatan pengawasan lainnya antara lain berupa sosialisasi mengenai
pengawasan, pendidikan dan pelatiahan pengawasan, pembimbingan
dan konsultasi,pengelolaan hasil pengawasan, dan pemaparan hasil
pengawasan.
2.1.5 Akuntabilitas Pegelolaan Keuangan Daerah
Akuntabilitas pada sektor pemerintah merupakan kewajiban
perorangan atau entitas (unit kerja) yang diberi amanat, untuk mengelola
sumber daya Negara guna menuntaskan pertanggungjawaban keuangan,
pengelolaan dan program yang kemudian menyampaikannya dalam
bentuk laporan kepada pihak-pihak yang berkompeten (pusdiklatwas
BPKP, 2007). Sementara Theresia (2007) mengemukakan bahwa
akuntabilitas publik merupakan kewajiban-kewajiban dari individu atau
penguasa yang dipercayakan untuk mengelolah sumber daya publik dan
yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang
menyangkut pertanggungjawaban pegawai pemerintah kepada publik
yang menjadi konsumen layanannya. Dalam struktur pemerintah,
akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban untuk memberikan
32
pertanggungjawaban serta menerangkan kinerja dan tindakan seseorang,
badan hukum atau pimpnan organisasi kepada pihak yang lain yang
memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban dan
keterangan.
Dalam penelitian Taylor (2005), The Oxford English Dictionary
mendefinisikan akuntabilitas sebagai kewajiban untuk memberikan
perhitungan atau penjelasan atas tidakan seseorang.
Akuntabilitas didefinisikan sebagai suatu perwujudan kewajiban
untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan misi
organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang telah
ditetapkan melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilakukan
secara periodik (Halim, 2007: 20). Dalam dunia birokrasi, akuntabilitas
suatu instansi pemerintah ini merupakan perwujudan kewajiban instansi
pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau
kegagalan pelaksanaan misi instansi yang bersangkutan. Akuntabilitas
(accountability) adalah ukuran yang menunjukkan apakah aktivitas
birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah
sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang dianut oleh rakyat dan apakah
pelayanan publik tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan rakyat yang
sesungguhnya (Halim, 2007). Dengan demikian akuntabilitas terkait
dengan falsafah bahwa lembaga eksekutif pemerintah yang tugas
utamanya adalah melayani rakyat harus bertanggung jawab secara
langsung maupun tidak langsung kepada rakyat.
33
2.1.6 Konsep Akuntabilitas
Keberadaan akuntabilitas sebagai suatu sistem sudah cukup lama,
karena sejarah akuntabilitas sudah dimulai sejak zaman Mesopotania
pada tahun 4000 SM, yang pada saat itu sudah dikenal dengan adanya
suatu hukum yang mewajibkan seorang (raja) untuk
mempertanggungjawabkan segala tindakan-tindakannya kepada pihak
yang memberi wewenang.
Hale (2008) menyatakan bahwa akuntabilitas itu seperti seni, lebih
mudah diakui dari pada didefinisikan. Dia melihat akuntabilitas sebagai
sintesis dari dua konsep: answerability hak untuk menerima informasi dan
melangsungkan kewajiban dan penegakan hukum “gagasan bahwa aktor
akuntansi tidak hanya mempertanyakan tetapi juga menghukum perilaku
yang tidak benar. Dengan kata lain, A bertanggung jawab kepada B jika B
dapat (1) mengetahui perilaku A, dan (2) menggunakan tekanan pada A
untuk mempengaruhi perilaku itu.
Dalam akuntabilitas terkandung kewajiban untuk menyajikan dan
melaporkan segala tindak tunduk dan kegiatan terutama dibidang
administrasi keuangan kepada pihak yang lebih tinggi atau atasannya
(Halim, 2007). Menurut Ghartey dalam Halim (2007), akuntabilitas
ditujukan untuk mencari jawaban terhadapa pernyataan yang
berhubungan dengan pelayanan apa, siapa, kepada siapa, milik siapa,
yang mana, dan bagaimana, pertanyaan yang memerlukan jawaban
tersebut antara lain, apa yang harus dipertanggungjawabkan, mengapa,
34
pertanggungjawaban harus diserahkan, kepada siapa
pertangunggjawaban tersebut diserahkan, siapa yang bertanggung jawab
terhadap berbagai bagian kegiatan dalam masyarakat, apakah
pertanggungjawaban berjalan seiring dengan kewenangan yang
memadai.
Haque (2000) membedakan akuntabilitas ke dalam tiga dimensi: (1)
standar akuntabilitas (pertanggungjawaban atas apa), (2) agen
akuntabilitas (bertanggung jawab kepada siapa), dan (3) sarana
akuntabilitas (bagaimana akuntabilitas dapat terjamin).
Akuntabilitas dapat dibedakan dalam beberapa jenis, menurut
Sirajudin dan Aslan dalam Halim (2007), akuntabilitas sebetulnya
merupakan sisi-sisi sikap dan watak kehidupan manusia yang meliputi
akuntabilitas intern seseorang dan ekstern seseorang.
Dari sisi intern seseorang, akuntabilitas merupakan
pertanggungjawaban orang tersebut kepada Tuhannya, akuntabilitas
seperti ini yang meliputi pertanggungjawaban mengenai segala sesuatu
yang dijalankannya yang hanya diketahui dan dipahami oleh dia sendiri.
Akuntabilitas ekstern seseorang, adalah akuntabilitas orang tersebut
kepada lingkungannya baik lingkungan formal maupun lingkungan
masyarakat. Akuntabilitas ekstern meliputi:
a. Internal accountability to the public servant’s own organization, dalam
akuntabilitas setiap tingkatan pada hirarki organisasi, petugas
35
pelayanan publik diwajibkan untuk akuntabel kepada atasannya dan
kepada yang mengontrol pekerjaannya.
b. Eksternal accountability to the individuals and organization outside
public servant’s own organization, akuntabilitas ini mengandung
pengertian akan kemampuan untuk menjawab setiap pertanyaan yang
berhubungan dengan pencapaian kinerja tugas dan wewenang.
Beberapa bentuk dimensi pertanggungjawaban publik oleh
pemerintah daerah disampaikan oleh Ellwood (1993) dalam Halim (2007).
Menurutnya terdapat empat bentuk akuntabilitas publik, yaitu:
a. Akuntabilitas Hukum dan Peraturan (Accountability for Probity and
Legalty)
Akuntabilitas hukum dan peraturan terkait dengan jaminan adanya
kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam
penggunaan sumber dana publik. Untuk menjamin dilaksanakannya
akuntabilitas hukum dan peraturan oleh pemerintah daerah, maka perlu
dilakukan audit kepatuhan (compliance audit).
b. Akuntabilitas Proses (Process Accountability)
Akuntabilitas proses dalam pemerintah daerah dapat diwujudkan
melalui pemeberian pelayanan publik yang cepat, responsif, dan murah
dari sudut biaya. Akuntabilitas proses terkait dengan apakah prosedur
yang digunakan dalam melaksanakan tugas sudah cukup baik dalam hal
kecukupan sistem informasi akuntansi, sistem informasi manajemen, dan
prosedur administrasi. Pengawasan dan pemeriksaan terhadap
36
pelaksanaan akuntabilitas proses dapat dilakukan, misalnya dengan
memeriksa ada tidaknya mark up dan pungutan-pungutan lain diluar yang
ditetapkan, serta sumber-sumber infisiensi dan pemborosan yang
menyebabkan mahalnya biaya pelayanan publik dan kelambanan dalam
pelayanan (Mahsun, 2011).
a. Akuntabilitas Program (Program Accountability)
Akuntabillitas program terkait dengan pertimbangan apakah tujuan
yang ditetapkan dapat dicapai atau tidak dan apakah pemerintah
daerah telah mempertimbangkan alternative program yang
memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang minimal.
b. Akuntabilitas Kebijakan (Policy Accountability)
Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban
pemerintah, baik pusat maupun daerah terhadap kebijakan-kebijakan
yang diambil pemerintah daerah sebagai eksekutif kepada DPRD
sebagai legislative dan masyarakat luas.
7 Ciri-ciri Akuntabilitas yang Efektif Serta Implementasinya
Abdul Halim (2007: 87) cirri-ciri akuntabilitas yang efektif antara
lain:
a. Akuntabilitas harus utuh dan menyeluruh (dalam arti tanggung jawab
terhadap tugas pokok dan fungsi instansi, serta program
pembangunan yang dipercayakan kepadanya, termasuk pelayanan
BUMN/D yang berada dibawah wewenangnya).
37
b. Mencangkup aspek yang menyeluruh mengenai aspek integritas
keuangan, ekonomis, efisien dan prosedur.
c. Akuntabilitas merupakan bagian dari sistem manajemen untuk menilai
kinerja maupun unit organisasi.
d. Akuntabilitas harus dibangun berdasarkan system informasi yang
handal, untuk menjamin keabsahan, akurasi, objektivitas, dan
ketepatan waktu penyampaian informasi.
e. Adanya penilaian yang efektif dan independen terhadap akuntabilitas
suatu instansi.
f. Adanya tindak lanjut terhadap laporan penilaian atas akuntabilitas.
Adapun langkah penting untuk mengimplementasikan akuntabilitas
agar menjadi system yang efektif adalah sebagai berikut:
a. Peryataan yang jelas mengenai tujuan dan sasaran dari kebijakan dan
program, system akuntabilitas menekankan pada pengukuran hasil
yang akan membantu memikirkan hal yang seharusnya diinginkan oleh
pemimpin politik dan membuat kebijakan pada saat mereka
memutuskan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi
masyarakat.
b. Pola pengukuran tujuan, setelah tujuan dibuat dan hasil dapat
diidentifikasikan, perlu ditetapkan suatu indikator kemajuan yang
mengarah pada pencapaian tujuan dan hasil.
c. Pengakomodasian sistem insentif, pengumpulan data mengenai hasil,
sistem akuntabilitas akan menyediakan sistem insentif, bagi para
38
petugas pelayanan, manajer program dan mungkin juga masyarakat
yang dilayani.
d. Pelaporan dan pengumpulan data, sistem akuntabilitas kinerja akan
dapat menghasilkan data yang cukup banyak, informasi yang
dihasilkan tidak akan berguna kecuali dirancang dengan hati-hati,
dalam arti informasi yang dihasilkan benar-benar berguna bagi para
pemimpin, pembuat keputusan, manager-manager program, dan
masyarakat.
e. Pengembangan kebijakan dan manajemen program yang
dikoordinasikan untuk mendorong akuntabilitas pada program
pelayanan public membutuhkan banyak aktivitas dalam perencanaan
dan koordinasi yang efektif agar akuntabilitas tersebut dapat dijaga.
2.1.8 Konsep Pengelolaan Keuangan Daerah
Keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, juga segala satuan, baik
berupa uang maupun barang, yang dapat dijadikan kekayaan daerah
sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh Negara atau daerah yang lebih
tinggi serta pihak-pihak lain seusai ketentuan/peraturan perundangan
yang berlaku dalam (Halim, 2007). Menurut Peraturan Mentri Dalam
Negeri Nomor 21 Tahun 2011, keuangan daerah adalah semua hak dan
kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah
yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk
39
kekayaan yang berhubungan denngan hak dan kewajiban daerah
tersebut.
Halim (2007: 330) mengatakan bahwa pengelolaan keuangan
daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan
pengawasan keuangan daerah. Permendagri No. 21 Tahun 2011
mengemukakan pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan
kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan,
pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.
Berdasarkan UU 33 tahun 2004 pasal 66 ayat 1, keuangan daerah
harus dikelolah secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan,
efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Oleh
karena itu, pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan
pendekatan kinerja yang berorientasi pada output, dengan menggunakan
konsep nilai uang (value for money) serta prinsip tata pemerintahan yang
baik (good governance). Pendekatan anggaran kinerja adalah suatu
sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja
(output) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang telah ditetapkan (PP
58/2005, pasal 39). Kinerja mencerminkan efisiensi dan efektifitas
pelayanan publik dan harus berpihak pada kepentingan publik, yang
artinya memaksimumkan penggunaan anggaran untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat daerah.
40
Ruang lingkup pengelolaan keuangan tidak hanya terbatas pada
kewenangan yang dimiliki pemegang kekuasaan otorisasi, kordinasi dan
perbendaharaan, tetapi mulai dari otoritas penetapan kebijakan yang
berkaitan dengan keuangan itu. Penetapan kebijakan pengelolaan umum
keuangan daerah berhubungan dengan perencanaan umum (penyusunan
arah kebijakan umum anggaran, fungsi penyusunan, fungsi pemungutan
pendapatan, fungsi perbendaharaan umum daerah, fungsi penggunaan
anggaran serta fungsi pengawasan dan pertanggungjawaban).
41
Kajian Penelitian Yang Relevan
Tabel 2.2 Penelitian Relevan
No Nama Judul Fokus
Penelitan Hasil penelitian
1 Andhika syaifullah
(2007)
Pengaruh Pengawasan Fungsional Terhadap Pelaksanaan Efektivitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Kota Cimahi
Memfokuskan pada Inspektorat Pemerintah Kota Cimahi sebagai aparat Pengawasan Fungsional Intern dan Bagian Keuangan Pemerintah Kota Cimahi sebagai pengelola keuangan daerah
Hasil Penelitiannya Menunjukan bahwa pengawasan fungsional mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pelaksanaan Efektivitas APBD. Hal ini ditunjukan dengan nilai koefisien korelasi (rs) sebesar 0,715. Sehingga dapat disimpulkan bahwa besarnya kontribusi pengawasan fungsional Intern terhadap pelaksanaan APBD, sebesar 51,10%.
2 Nirmala Hanum
(2008)
Peranan Pengawasan Fungsional Terhadap Sistem Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah
Memfokuskan pada Pemerinta Daerah Kabupaten Cilacap
Hasil Penelitiannya Menunjukan bahwa pengawasan fungsional memiliki peran yang sangat signifikan terhadap sistem pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
3 Dedi Kusmayadi
(2009)
Pengaruh Pengawasan fungsional Dan Penatausahaan Keuangan Daerah Terhadap Good Government Governance
Memfokuskan pada Pemerintah Kota Tasikmalaya
Hasil Penelitiannya Menunjukan bahwa Pengawasan fungsional Dan Penatausahaan Keuangan Daerah Baik Secara Parsial Maupun Secara Simultan Berpengaruh Terhadap Good Government Governance Pada Pemerintah Kota Tasikmalaya.
4 Bagita Widiyanto
(2010)
Pengaruh Pengawasan fungsional Terhadap Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan
Menfokuskan Pada Aparat Pengawas Intern Pemerintah Di Inspektorat Kota Bandung
Hasil Penelitiannya Menunjukan bahwa pengawasan fungsional memiliki pengaruh yang positif Terhadap Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah .
42
Daerah Pemerintah Kota Bandung
5 Sinta Suhanda Wati
(2010)
Analisis Pengawasan Fungsional Pengaruhnya Terhadap Efektifitas Pengelolaan Keuangan Daerah
Menfokuskan pada Inspektorat Pemerintah Kota Bandung
Hasil Penelitiannya Menunjukan bahwa pengawasan fungsional berpengaruh signifikan terhadap efektivitas pengelolaan keuangan daerah pada pemerintah Kota Bandung. Pengawasan fungsional memberikan kontribusi atau pengaruh sebesar 57,7% terhadap efektivitas pengelolaan keuangan daerah pada pemerintah Kota Bandung.
6 Taylor, W. Micheal, Eva Hiipkes and Marc Quintyn
(2005)
The Accountability Of Financial Sector Supervisors: Principles and Practice
Serve for financial sector supervisors (hereafter called regulatory and supervisory
agencies (RSAs))
An important conclusion from this analysis is that there might be a need to revisit the accountability arrangements of central banks that perform monetary policy and supervisory functions. Very often, accountability arrangements focus on the monetary policy function, and it is implicitly assumed that similar arrangements would satisfy the supervisory objectives. This paper argues that more elaborate arrangements are warranted for the supervisory functions.
7 Vermeer, Cees, Freek Hoek and Cor van Montfort
(2005)
Enhancing Public Accountability in the Netherlands
This is focuses on non-departmental public bodies (NDPBs) in the Netherlands that are funded by public money and whose task is defined by law
It can be concluded that the amount of attention being paid to internal regulation and accountability has increased considerably in the public sector. On the one hand, more is being expected of supervisory boards. On the other, however, their positions relative to their shareholders or ministers and other stakeholders
43
have yet to be fully shaped. In the public sector, the position of the supervisory board varies from area to area. Of particular interest to the public sector are those sections addressing executive accountability, the position of the supervisory board, and the realisation of a system of checks and balances between shareholders and directors.
Sumber: Data diolah
2.4 Hipotesis
Sugiyono (2010: 64) mengatakan bahwa: hipotesis merupakan
jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana
rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat
pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru
didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta
empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Sehubungan dengan
penelitian ini, maka hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini,
yakni diduga terdapat pengaruruh pengawasan fungsional terhadap
akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah di Kota Gorontalo.
44
2.4 Kerangka Berpikir
Rumusan Masalah Seberapa besar pengaruh pengawasan fungsional
terhadap akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah di Pemerintahan Daerah Kota Gorontalo
Dasar Teori
Pengawasan fungsional adalah segala kegiatan dan bentuk tindakan untuk menjamin agar pelaksanaan suatu kegiatan berjalan sesuai dengan rencana, aturan-aturan dan tujuan yang telah ditetapkan (Abdul Halim, 2002:351).
Akuntabilitas merupakan kewajiban perorangan atau entitas (unit kerja) yang diberi amanat, untuk mengelola sumber daya negara guna menuntaskan pertanggungjawaban keuangan, pengelolaan dan program yang kemudian menyampaikannya dalam bentuk laporan kepada pihak yang berkompeten (Pusdiklatwas BPKP, 2007)
Penelitian Terdahulu
1. Andhika syaifullah, (2007). Pengaruh Pengawasan Fungsional Intern Terhadap Pelaksanaan Efektivitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Kota Cimahi
2. Nirmala Hanum, (2008). Peranan Pengawasan Fungsional Terhadap Sistem Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah
3. Dedi Kusmayadi. (2009). Pengaruh Pengawasan Intern Dan Penatausahaan Keuangan Daerah Terhadap Good Government Governance
4. Bagita Widiyanto, (2010). Pengaruh Pengawasan Intern Terhadap Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah Pemerintah Kota Bandung
5. Sinta Suhanda Wati. (2010). Analisis Pengawasan Fungsional Pengaruhnya Terhadap Efektifitas Pengelolaan Keuangan Daerah