BAB II KAJIAN TEORI 1. Fiqh Demokrasi Multikulturaldigilib.uinsby.ac.id/1346/5/Bab 2.pdfSedangkan...
Transcript of BAB II KAJIAN TEORI 1. Fiqh Demokrasi Multikulturaldigilib.uinsby.ac.id/1346/5/Bab 2.pdfSedangkan...
BAB II
KAJIAN TEORI
1. Fiqh Demokrasi Multikultural
Menurut bahasa Fiqh menurut bahasa berarti ‘paham’, sedangkan menurut
istilah adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah
(praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci) berupa nash-nash al-
Qur’ān dan al-Sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
Sedangkan cakupannya adalah berkaitan dengan ibādah dan muamalah.1
Demokrasi berasal dari bahasa yunani yaitu, demos (rakyat) dan kratos
(pemerintahan) jadi demokrasi adalah suatu bentuk pemerintah dengan kekuasaan
ditangan rakyat2. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia demokrasi
diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak
dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.3
Multikultural secara bahasa terdiri dari dua kalimat multi berarti banyak atau
beraneka ragam, sedangkan kultur berarti budaya. Multikultural juga dapat diartikan
sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan
lainnya.4
Menurut Ngainun Naim dan Ahmad Sauqi multikultural adalah sikap
menerima kemajemukan ekspresi budaya manusia dalam memahami pesan utama
agama, terlepas dari rincian anutannya.5
1 Reza “Fiqh Islam”, www.Reza.com diunduh Pada Tanggal 27 April 2014.
2 Abdullah Idi, Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta; Tiara Wacana, 2006), 152.
3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Yogyakarta; Balai Pustaka, 1990), 195.
4 http:multikultural.chm.blog.re.or.id ( diakses 12 Maret 2014).
5 Ngainun Naim & Acmad Sauqi, Pendidikan Multikutural Konsep dan Aplikasi, 51.
Dengan mengambil istilah sederhana bahwa fiqh demokrasi multikultural
adalah hukum-hukum syara’ dalam Islam yang berwawasan multi perspektif, adanya
kesetaraan dan perlindungan yang sama dalam masyarakat, serta berwawasan
kenegaraan.
Secara detail kajian kitab-kitab fiqh klasik tentang wawasan demokrasi
multikultural memang belum ada, tatapi sebenarnya secara implisit sudah banyak
dilakukan baik dalam metodologi penggalian hukum (Ushulul Fiqh), kaidah-kaidah
fiqh ( qowaidu fiqhiyah) maupun produk kitab fiqh, seperti contoh kaidah fiqhiyah
محكمة العادة “Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum” Kaidah fikih asasi kelima
adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang
berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf.6 Adat adalah suatu perbuatan
atau perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima
akal dan secara kontinyu manusia mau mengulanginya. Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu
perbuatan atau perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam
mengerjakannya karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak
kemanusiaannya.7
Menurut A. Djazuli mendefinisikan, bahwa al-‘ādah atau al-‘urf adalah “Apa
yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘ādah al-‘āmmah) yang
dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan”.8 ‘Urf ada dua macam,
yaitu ‘urf yang shahih dan ‘urf yang fasid. ‘Urf yang shahih ialah apa-apa yang telah
menjadi adat kebiasaan manusia dan tidak menyalahi dalil syara’, tidak menghalalkan
6 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 153.
7 Muhammad Ma’shum Zein, Sistematika Teori Hukum Islam Qawa’id Fiqhiyyah, (Jombang: Al-Syarifah Al-Khadijah, 2006), 79. 8 . Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis (Jakarta: Kencana, 2007), 80.
yang haram dam tidak membatalkan yang wajib. Sedangkan ‘urf yang fasid ialah
apa-apa yang telah menjadi adat kebiasaan manusia, tetapi menyalahi syara’,
menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib.9Suatu adat atau ‘urf dapat
diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Tidak bertentangan dengan syari'at.
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan.
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah.
5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan10
Secara tidak langsung multikulturalisme telah mendapat apresiasi yang kuat dalam
Islam. Para ulama besar masa lalu juga telah menjadikan budaya atau tradisi
masyarakat (setempat) sebagai dasar hukum. Mereka mengatakan, ”al-‘ādah
Muhakkamah”. Cara-cara melaksanakan syari’ah seperti ini juga telah dilakukan para
ulama masa lalu termasuk imam madzab fiqh seperti Imam Malik bin Anas adalah
tokoh yang terkenal dengan teori “Amal Ahli Madinah” (tradisi penduduk Madinah)-
nya. Pendapat-pendapatnya banyak didasarkan atas tradisi Madinah. Lebih dari empat
puluh masalah di mana Imam Malik mendasarkan pandangannya pada tradisi dan
mengabaikan hadits Ahad, meskipun sahih. Katanya “Al ‘Amal Atsbat min al Hadi>ts”
(Tradisi Madinah lebih kokoh daripada hadits) (silahkan baca: Al Hajwi, Al Fikr al
Sami fi al Fiqh al Islamy, I/388-390), begitu juga pendapat safi’i yang membedakan
9 Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), 94. 10 Burhanudin, Fiqih Ibadah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 263.
antara qaul qad i>m dan qaul jadi>d.11 Hal ini sebagai wujud dinamika pemikiran ilmu
fiqih.
Para penyebar agama Islam di Indonesia (para Wali) juga menitik beratkan pada
kondisi masyarakat yang ada sebagai bagian penting. Beberapa contoh meliputi
praktik kenduri baik untuk perkawinan atau khitan atau keperluan lain, penggunaan
kentongan atau bedug untuk memanggil atau mengajak orang untuk shalat, di
samping Adzan, penggunaan kain sarung dan peci. Demikian pula sistem pendidikan
pesantren, bahkan juga istilah pesantren dan santri, atau arsitektur bangunan masjid
yang didirikan para walisanga. Ini semua jelas bukanlah cara-cara yang dipraktekkan
Nabi dan para sahabatnya. Tetapi, justru diserap atau diadopsi dari tradisi dan budaya
masyarakat Hindu atau lainnya.
Perbedaan pandangan para ulama tersebut, menurut Faruq Abu Zaid, tidak lain
adalah refleksi mereka atas perkembangan kehidupan sosial-budaya mereka masing-
masing (Al-Syari’ah al-Islamiyah Baina al-Muhafizhin wa al-Mujaddidin, 16).12
Dalam perkembangan-nya kajian-kajian fiqh sebenarnya sudah banyak yang
mengarah pada penanaman sikap demokrasi dan multikultural seperti contoh kitab
madzahibul arbaa’h, majmu’ syarah muhadzab, rahmatul ummah dan lain sebagainya,
apalagi kajian-kajian fiqh kontemporer yang terus berkembang saat ini secara tidak
langsung sudah mengakomodir berbagai pendapat imam-imam madzab secara
proporsional sehingga para pembaca bisa menghargai berbagai pendapat para imam
mujtahid yang sudah mengakar diberbagai kalangan umat Islam, sehingga umat Islam
11 Muhammad al-Hajwi, al-Fikr al-Sami fi> Tarikh al-Fikr al-Islami (Beirut:Dar al-Kutb al-'Ilmiyyah, 1995), 388-390.
12 Faruq Abu Zaid, Al Syari’ah al Islamiyah Baina al Muhafizhin wa al Mujaddidin (Kairo, Dar al Makmun, tt), 16.
bisa bersifat arif, terbuka terhadap perbedaan baik internal maupun eksternal, hal ini
sesuai dengan apa yang di contohkan oleh nabi dan para ulamā, sesuai dengan sabda
Nabi:
قد وي و ن ر ه الله صلى النيب ع ي سلم عل و ختالف: " قال أنه ة أميت ا " رمح Sungguh telah diriwayatkan dari nabi saw beliau bersabda perbedaan ummat saya adalah rahmat.13
Keterangan dalam kitab Hasiyah al-Bujairami, juz 9, hal. 71, disebutkan:
ختالف اء ا م ل ة الع رمح”Setiap perbedaan ulamā’ itu membawa rahmah,”.14
2. Hakikat Pendidikan Multikultural
1) Pengertian Pendidikan Multikultural
Choirul Mahfud, dalam bukunya pendidikan multikultural, mengutarakan
beberapa pendapat para ahli mengenai maksud pendidikan multikultural. Andersen
dan Cusher, sebagaimana yang dikutip, memaknai pendidikan multikultural sebagai
pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Menurut james Banks pendidikan
multikultural adalah untuk People of color, serah dengan pendapat di atas, Muhaimin
el-Ma’hadi mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan tentang
keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demegrafis dan kultural
lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.15
Ainurrafiq Dawam menjelaskan bahwa pendidikan multikultural adalah proses
pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan
13 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ja’fai, Shahi>h Bukhāri (Beirut :Dar al Kutb al Ilmiyah, tt ), 401.
14 Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairami, al-Bujairami ala al-Khathib (Beirut :Dar al Kutb al Ilmiyah, tt ), 71.
15 Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2008), 175-176.
heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, aliran (agama).
Pengertian pendidikan multikultural yang demikian tentu mempunyai implikasi yang
sangat luas dalam pendidikan. Karena pendidikan itu sendiri secara umum dipahami
sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan
multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya
terhadap harkat dan martabat manusia dari manapun dia datangnya dan berbudaya
apapun dia. Harapannya adalah terciptanya kedamaian sejati, keamanan yang tidak
dihantui kecemasan, dan kebahagiaan tanpa rekayasa. 16
Dalam pendidikan multikultural selalu muncul dua kata kunci yaitu pluralitas dan
kultural. Sebab pemahaman terhadap pluralitas mencakup segala perbedaan dan
keragaman, apapun bentuk perbedaan dan keragamannya. Sedangkan kultur itu
sendiri tidak bisa terlepas dari empat tema penting:aliran (agama), ras, (etnis), suku,
dan budaya.17
Diskursus tentang pendidikan pluralisme multikultural sebenarnya sudah mulai
bermunculan dalam beberapa waktu terakhir. Frans Margin Suseno, misalnya,
mendefinisikan pendidikan pluralisme sebagai suatu pendidikan yang yang
mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang lebih luas serta mampu
melintas batas kelompok etnis atau tradisi budayadan agama kita, sehingga kita
mampu melihat”kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan
maupun kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan
untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.18
16 Ainurrafiq Dawam, “Emoh Sekolah”: Menolak “Komersialisasi Pendidikan” dan “Kanibalisme Intelektual”, Menuju Pendidikan Multikultural, 100.
17 Ibid., 99-100.
18 Frans margin suseno, Suara Pembaharuan, 23 September 2000. Diakses melalui www. Pluralisme opini
Pendidikan multikultural adalah suatu cara untuk mengajarkan keragaman
(teaching diversity). Pendidikan multikultural menghendaki rasionalitas, etnis,
intelektual, sosial pragmatis inter-relatif; yaitu mengajarkan ideal-ideal inklusivisme,
pluralisme dan saling menghargai semua orang dan kebudayaan merupakan imperatif
humanistik yang menjadi prasyarat bagi kehidupan etis dan partisipasi sipil secara
penuh dalam demokrasi multikultural dan dunia yang beragam, mengintegrasikan
studi tentang fakta-fakta, sejarah kebudayaan, nilai-nilai, struktur, perspektif, dan
kontribusi semua kelompok kedalam kurikulum sehingga dapat membangun
pengetahuan yang lebih kaya, kompleks, dan akurat tentang kondisi kemanusiaan di
dalam melintasi konteks waktu ruang dan kebudayaan tertentu.19
Meskipun cukup beragam definisi yang dikemukakan para ahli mengenai
pendidikan multikultural, namun satu sama lain tidak ada yang berbenturan dalam
memamkanai pendidikan multikultural tersebut, tetapi dianggap saling melengkapi
dan memperkuat satu sama lain. Dari beberapa pemaknaan di atas dapat di pahami
bahwa pendidikan multikultural hadir di tengah-tengah pendidikan sebagai
konsekuensi logis yang diharapkan dapat menegahai berbagai persoalan yang
berspektif, soial, budaya politik dan agama.
2) Latar Belakang dan Perkembangan Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural sudah sejak lama dikembangkan di Eropa, Amerika
dan Negara-negara maju lainnya. Di negara-negara bekas jajahan muncullah gerakan
yang disebut poskolonialisme yang melihat aib dari peraktik-peraktik kolonial yang
membedakan harkat manusia. Dalam pandangan ada spermasi kulit hitam dan kulit
19 Zakiyuddin Baidhaway, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (Jakarta; Erlangga, TTh), 2.
putih sehingga menimbulkan reaksi terhadap pandangan biner ini seperti munculnya
gerakan orientalisme dan gerakan poskolonialisme lainnya.20
Bagaimankah dengan keadaan di Indonesia? Sebenarnya Indonesia di dalam
gerakan kemerdekaannya sejak kebangkitan nasional telah menunjukkan upaya
membangun masyarakat dan bangsa Indonesia berdasarkan kesetaraan kultural. Proses
ini terus berlanjut samapai pada proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus
1945, kita lihat wacana multikutural muncul, misalanya pada waktu penyusunan
pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Ketika pada 18 Agustus 1945 Bung Hatta
menolak dimasukkannya tujuh suku kata dalam pembukaan Undang-undang Dasar
1945 hal ini menunjukkan kesepakatan para pemimpin rakyat Indonesia terhadap
kebhinekaa bangsa dan eksistensi kebudayaan masyarakat Indonesia. Pandangan
multikulturalisme ini juga tergambar dalam amandemen UUD 1945 melalui TAP
MPR Tahun 2002 yang menyatakan bahwa seluruh pembukaan UUD 1945 diterima
tanpa amandemen.21
Pandangan multikulturaslisme dalam masyarakat Indonesia ini belum
dijalankan sepenuhnya sebagaimana dalam lambang Negara kita Bhinneka Tunggak
Ika. Kita bisa melihat dalam perkembangan dari masa ke-masa dari orde lama, orde
baru samapai orde Reformasi yang membawa angin demokrasi telah kembali
menghidupkan wacana pendidikan multikulturalisme sebagai kekuatan bangsa
Indonesia.
Pendidikan multikultural untuk Indenesia memang baru kita mulai, kita belum
punya pengalaman hal ini. Apalagi otonomisasi daerah baru kita cobakan. Oleh sebab
20 H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan (Magelang; Teralitera, 2003). 164-165.
21 Ibid., 165.
itu diperlukan waktu dan persiapan yang cukup lama untuk memperoleh suatu bentuk
yang pas dan pendekatan yang cocok untuk pendidikan multikultural di Indonesia.22
Tetapi pada perkembangan saat ini sudah mulai banyak tokoh-tokoh yang
memformulasi atau merumuskan tentang teori maupun aplikasi tentang pendidikan
multikultural ini.
3) Menggagas Pendidikan Islam Berbasis Multikultural
Kesadaran multikulturalisme masyarakat kita yang terdiri dari banyak suku dan
beberapa agama, maka pencarian bentuk pendidikan alternatif mutlak diperlukan.23 Yaitu
suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan
memindahkannya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan tata nilai, memupuk
persahabatan antar siswa yang beraneka ragam suku, ras dan agama, mengembangkan
sikap saling memahami serta mengerjakan keterbukaan dan dialog. Bentuk pendidikan
seperti inilah yang banyak diharapkan oleh banyak pihak dalam rangka untuk
mengantisipasi konflik sosial-keagamaan menju perdamaian.
Konsep dasar pendidikan multikultural dikatakan oleh bennet terdiri dari dua hal,
yaitu nilai-nilai inti (core values) dari pendidikan multikultural dan tujuan pendidikan
multikultural. Bennet secara tegas menyebutkan bahwa niali-nilai dari pendidikan
multikultural, antara lain,
a. Apresiasi terhadap realitas budaya di dalam masyarakat dengan pluralitasnya;
b. Pengakuan terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia;
c. Kesadaran dan pengembangan tanggungjawab dari masyarakat;
d. Kesadaran dan pengembangan tanggungjawab manusia terhadap alam raya.24
Selanjutnya dikatakan oleh Tilaar, bahwa inti permasalahan pada pendidikan
22 Ibid., 167. 23 Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia , 203.
24 H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan (Magelang:Teralitera, 2003), 170-171.
multikultural terkait dengan permasalahan keadilan, demokrasi dan hak asasi
manusia.25
Dari dua pendapat di atas dapat dimengerti bahwa inti dari pendidikan multikultural
setidaknya mencakup hak asasi manusia, keadilan sosial, demokrasi, dan toleransi
terhadap sesama manusia maupun terhadap kedamaian dan keselamatan.
Berdasarkan nilai-nilai inti tersebut di atas maka dirumuskan tujuan pendidikan
multikultural. Disebutkan oleh Tilaar bahwa terdapat enam tujuan pendidikan
multikultural yaitu:
a) Pengembangan presfektif sejarah yang bergam.
b) Memperkuat kesadaran budaya yang terdapat dalam masyarakat.
c) Memperkuat kompetensi intelektual dari budaya-budaya yang hidup dalam
msyarakat.
d) Menghilangkan rasisme, seksisme, dan berbagai jenis prasangka
e) Mengembangkan kesadaran terhadap kepemilikan pelanet bumi seisinya.
f) Mengembangkan keterampilan aksi sosial.26
1) Landasan Kultural Pendidikan
Perbedaan budaya, agama, aspirasi politik, kepentingan, visi, dan misi, keyakinan
dan tradisi merupakan sebuah konduksi dalam hubungan Interpersonal yang kadang-
kadang juga menjadi perbedaan perilaku dalam memahami sesuatu. Maka dapat
dikatakan berbagai kekisruan etnis yang merebak dibanyak tempat di wilayah Negara
kesatuan Republik Indonesia, bagian dari krisis multi dimensi yang dihadapi Negara
25 Ibid., 167. 26 Ibid., 171-172.
dan bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 pada masa akhirnya rezim orde
baru merupakan akibat dari rendahnya kesadaran dan wawasan multikulturalisme27
Menurut Alwi Syihab yang dikutip dari bukunya Ainul Yakin. Indonesia adalah
salah satu negara multikultural terbesar dunia. Kebenaran dari pernyataan ini dapat
dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas.
Sekarang ini, jumlah pulau yang ada di wilayah NKRI sekitar 13.000 pulau besar dan
kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku
yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga menganut
agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha,
Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaaan.28
Dalam konteks pendidikan pluralis multikultural, multikultural adalah sikap
menerima kemajemukan ekspresi budaya manusia dalam memahami pesan utama
agama, terlepas dari rincian anutannya. Basis utamanya dieksplorasi dengan
melandaskan pada ajaran Islam, sebab dimensi Islam manjadi dasar pembeda sekaligus
titik tekan dari kontruksi pendidikan ini.29
Penggunaan kata pendidikan Islam tidak dimaksudkan untuk menegasikan ajaran
agama lain, atau pendidikan non-Islam, tetapi justru untuk meneguhkan bahwa Islam
dan pendidikan Islam sarat dengan ajaran yang menghargai dimensi pluralitas-
multikultural. Apalagi, pendidikan Islam sendiri telah eksis dan memiliki karakhter
yang khas, khusus-nya dalam diskursus pendidikan di Indonesia.Penggunaan
multikultural yang dirangkai dengan kata pendidikan Islam dimaksudkan untuk
27 Hujair AH. Sanaky, “Paradigma Pembangunan Pendidikan di Indonesia Pasca Reformasi Antara Mitos dan Realitas”, www.sanaky.com diunduh Pada Tanggal 27 April 2014.
28 M. Ainul Yakin, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding, Untuk Demokrasi dan keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), 3-4.
29 Ngainun Naim & Acmad Sauqi, Pendidikan Multikutural Konsepa dan Aplikasi ,51.
membangun sebuah paradigma sekaligus kontruksi teoritis dan aplikatif yang
menghargai keragaman agama dan budaya.
Krontruksi pendidikan semacam ini berorientasi pada proses penyadaran yang
berwawasan pluralis secara agama, sekaligus multi budaya yang ada dimasyarakat
khusus di Indonesia yang kaya akan budaya dan etnis. Dalam kerangka yang lebih jauh
kontruksi model pendidikan yang demikian dapat diposisikan sebagai bagian dari upaya
secara komperhensif dan sistematis untuk mencegah dan menanggulangi konflik etnis
agama, radikalisme agama, separatisme, dan integritas bangsa. Sedangkan nilai dari
konsep pendidikan ini adalah toleransi terhadap suatu perbedaan yang ada.
Pendidikan Islam bukan sekadar diarahkan untuk mengembangkan manusia yang
beriman dan bertaqwa, tetapi juga bagaimana berusaha mengembangkan manusia untuk
menjadi imam atau pemimpin bagi orang yang beriman dan bertaqwa serta mampu
memberikan kesejukan pada semua tanpa terkecuali.
Sebagaimana menurut Sauqi dan Ngainun Naim secara terperinci, ada beberapa
aspek yang dapat dikembangkan dari konsep pendidikan Islam pluralis-multikultural,
pertama, pendidikan pluralis-multikultural adalah pendidikan yang menghargai dan
merangkul segala bentuk keragaman. Dengan demikian diharapkan akan tumbuh
kearifan dalam melihat segala bentuk keragaman yang ada. Kedua pendidikan pluralis-
multikultural merupakan sebuah usaha sistematis untuk membangun pengertian,
pemahaman, dan kesadaran anak didik terhadap realitas yang pluralis-multikultural. Hal
ini penting dilakukan, karena tanpa adanya usaha sadar, sistematis, realitas keragaman
akan dipahami secara sporadis, fragmentaris, atau bahkan akan memunculkan
eksklusivitas yang ekstrem.
Ketiga pendidikan Islam pluralis-multikultural tidak memaksa atau menolak anak
didik karena persoalan identitas suku, agama, ras, dan golongan. Mereka yang berasal
dari beragam perbedaan harus diposisikan secara setara, egaliter, dan diberikan medium
yang tepat untuk mengapresiasi karakterstik yang mereka miliki. Dalam kondisi
semacam ini, tidak ada yang lebih unggul antara salah satu peserta didik. Masing-
masing memiliki posisi yang sama dan harus memperoleh perlakuan yang sama.
Keempat pendidikan Islam pluralis-multikultural memberikan kesempatan untuk
tumbuh dan bekembangnya sense of self kepada setiap anak didik. Ini penting untuk
membangun kepercayaan diri, terutama bagi peserta didik yang berasal dari kalangan
ekonomi kurang mampu, atau kelompok yang relatif terisolasi.
Jika dilacak, pendidikan Islam puralis-multikultural terinspirasi oleh gagasan Islam
transformatif. Islam transformati berarti Islam yang selalu berorientasi pada upaya
untuk mewujudkan cita-cita Islam. Yakni membentuk dan mengubah keadaan
masyarakat kepada cita-cita Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam.30 Dengan
mengacu kepada tujuan ini, pendidikan Islam pluralis-multikultural bertujuan
menciptakan sebuah masyarakat damai, toleran, dan saling menghargai dengan
berlandaskan kepada nilai-nilai katuhanan.
Untuk mencapai tujuan yang mulia ini, pendidikan menjadi ujung tombaknya.
Tugas pendidikan adalah memilih metode dan strategi yang tepat dalam mengawetkan,
memelihara, melanggengkan, mengalih generasikan, serta mewariskan ilmu
pengetahuan, kebenaran, tradisi, yang diyakini sekaligus juga menyadari sepenuhnya
keberadaan tradisi lain.
Adapun metode yang bisa diterapkan dalam pendidikan pluralis multikultural
cukup beragam, disesuaikan dengan situasi dan kondisi dalam pembelajaran, dan kita
juga harus menyadari bahwa tidak ada satupun metode yang paling sempurna masing-
masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Metode yang baik idealnya dalam
30 Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, cet. 2 (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), 79.
pembelajaran adalah bervariatif. Dengan demikian maka kebutuhan dalam
pembelajaran bisa dipenuhi.
Salah satu metode yang dapat diterapkan adalah dengan meggunakan model
komunikatif dengan menjadikan aspek perbedaan sebagai titik tekan. Model dialog ini
sangat efektif, apalagi dalam proses belajar mengajar yang sifatnya kajian perbandingan
agama dan budaya. Sebab dengan dialog memungkinkan setiap komunitas yang
notabene-nya memiliki latar belakang yang berbeda dapat mengemukakan pendapatnya
secara argumentatif. Dalam proses inilah diharapkan nantinya memuungkinkan adanya
sikap leading and borrowing serta saling mengenal antar tradisi dari setiap agama yang
dipeluk oleh masing-masing anak didik ataupun budaya yang lain. 31 Sehingga bentuk-
bentuk truth claim dan salvation claim dapat diminimalkan, bahkan kalau mungkin
dapat dibuang jauh-jauh.
Selain dalam bentuk dialog, perlibatan siswa dalam pembelajaran dapat dilakukan
dalam bentuk “belajar aktif” yang kemudian dapat dikembangkan dalam bentuk
collaborative learning. Belajar aktif adalah belajar yang memperbanyak aktivitas siswa
dalam mengakses berbagai informasi, dan berbagai sumber, buku teks, perpustakaan,
internet, atau sumber-sumber belajar lainnya, untuk mereka bahas dalam proses
pembelajaran dikelas. Dengan demikian, mereka akan memperoleh pengalaman yang
tidak saja pengetahuan mereka, tetapi juga akan menambah kemampuan mereka dalam
menganalisis, mensistesis, dan menilai informasi yang relevan untuk dijadikan sebagai
nilai baru dalam hidupnya. Yang kemudian diimitasi dan dibiasakan dalam
kehidupannya. Belajar dengan model ini biasanya disebut dengan self discovery
learning, yaitu belajar melalui penentuan mereka sendiri.32
31 Ibid., 96-97.
32 Ngainun Naim & Acmad Sauqi, Pendidikan Multikutural Konsepa dan Aplikasi , 57.
Selain pola diatas, pembelajaran yang berpusat pada guru, yang merupakan salah
satu bentuk exposition teaching (mengajar dengan paparan atau ceramah), juga penting
untuk dilakukan. Metode ini efektif dalam menyampaikan pengetahuan dan informasi
yang beragam, namun memiliki keterbatasan waktu. Metode ini akan lebih efektif
denga dibangun iklim yang kondusif bagi tanya jawab. Strategi ini penting untuk
dikembangkan, karena dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan anak didik.
Model ceramah sendiri bervariasi. Salah satunya adalah model socratic teaching
yakni ceramah atau eksposes yang diawali dengan pertanyaan, lalu ada jawaban yang
kemudian terus dikembangkan pertanyaan berbasis jawaban anak didik dan seterusnya,
sehingga terjadi interaksi antara guru dengan peserta didik.33
Sementara model teacher centered teaching merupakan bentuk demonstrasi, yakni
guru atau seseorang mendemonstrasikan informasi didepan kelas, sebagai penguat
visual terhadap informasi yang disampaikan atau sebagai contoh untuk ditiru oleh anak
didik melaui latihan-latihan yang harus mereka kembangkan.34
4) Dasar Pendidikan Multikultural
1) Landasan Epistimologi Pendidikan multikultural
Sudah menjadi sunnatullah bahwa manusia diciptakan dalam keberagaman,
perbedaan dan kesederajatan. Melihat realitas kehidupan manusia banyak yang tidak
menyadari akan esensi dirinya. Hal ini hampir terlihat dalam sepanjang sejarah
kehidupan manusia banyak terjadi konflik dan pertumpahan darah seperti mulai zaman
Qabil dan Habil sampai pada zaman sekarang maraknya terorisme yang mengnggap
33 Ngainun Naim & Acmad Sauqi, Pendidikan Multikutural Konsepa dan Aplikasi , 58.
34 Kenneth D Moore, classroom teaching skill,( New York: Mc Graw Hill, 2001), 133. Sebagaimana dalam Ngainun Naim & Acmad Sauqi, Pendidikan Multikutural Konsepa dan Aplikasi ,59.
dirinya paling benar.35 Terjadinya pertumpahan darah tersebut, karena antara manusia
lainnya tidak menerima atau mengakui perbedaan, keberagaman, dan kesederajatan.
Kemudian dalam dunia pragmatis, kondisi Indonesia sebagai sebuah negara
multikultur adalah sebuah realitas yang tidak terbantahkan, multikulturalisme telah
menjadi paradigma yang tidak saja mengandaikan hadirnya keberagaman ekonomi,
sosial dan budaya, tetapi juga proses peleburan antara elemen yang satu dengan elemen
yang lainnya kedalam sebuah bejana sosial budaya yang selalu berubah-ubah dan
mencair.
2) Landasan Yuridis Pendidikan Multikultural
Secara implisit pendidikan multikultural (PM) terkandung dalam pasal 4 UU
Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang menyebutkan “pendidikan diselenggarakan secara
demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai
kultural dan kemajemukan bangsa”.
Multikultural mengandung arti mengakui adanya keragaman/perbedaan
termasuk dalam agama/ keberagamaan, mengakui kesederajatan dan perlunya
membangun pola hubungan “saling menghargai”, termasuk antara mayoritas dan
minoritas, serta mengembangkan “identitas bersama” (semisal nasionalisme-
keindonesiaan) dalam keragaman yang ada demi kerukunan hidup dan persatuan,
sebagaimana tercermin dalam asas Bhinneka Tunggal Ika.
Pembangunan pendidikan nasional perlu menerjemahkan nilai-nilai yang
terkandung pada budaya bangsa. Budaya bangsa tersebut meniscayakan pemahaman
terhadap tradisi daerah yang tidak boleh dihilangkan dalam proses pembelajaran.36
Proses belajar mengajar perlu menempatkan pendidikan berbasis multikultural yang
menghargai dan melestarikan identitas nasional. 35 Muhammad Tang (dkk), Pendidikan Multikultural Telaah Pemikiran dan Implikasinya dalam Pembelajaran PAI ( Yogyakarta: Idea Press, 2009), 1. 36 Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme Pardigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia, 205.
Salah satu kesadaran yang berakar kuat dalam pandangan seorang Muslim adalah
Islam merupakan agama universal, agama untuk sekalian umat manusia, atau agama
yang “mendunia” karena risalahnya sebagai rahmat bagi semesta alam. Sejarah
menunjukkan, pandangan ini melahirkan sikap sosial-keagamaan yang unik di kalangan
umat Islam terhadap agama-agama lain atas dasar toleransi, kebebasan, keterbukaan,
kewajaran, keadilan dan kejujuran. Itulah manifestasi konkret nilai-nilai madani yang
terbukti pernah menjadi pilar tegaknya masyarakat kosmopolit, masyarakat madani,
Masa Keemasan dunia Islam dan masa awal Islam dahulu.37
Salah satu upaya mewujudkan hubungan yang harmonis adalah melalui kegiatan
pendidikan multikultural, yakni kegiatan edukasi dalam rangka menumbuhkembangkan
kearifan pemahaman, kesadaran, sikap, dan perilaku (mode of action) peserta didik
terhadap keragaman agama, budaya dan masyarakat. Dengan pengertian itu, pendidikan
multikultural bisa mancakup pendidikan agama dan pendidikan umum yang
“mengindonesia” karena responsif terhadap peluang dan tantangan kemajemukan
agama, budaya, dan masyarakat Indonesia. Tentu saja pendidikan multikultural di sini
tidak sekedar membutuhkan “pendidikan agama”, melainkan juga “pendidikan
religiusitas”.38
5) Pendekatan Dalam Pendidikan Multikultural
Ada beberapa pendekatan yang bisa digunakan dalam dikembangkan dalam
rangka mengajarkan pendidikan agama yang diharapkan dapat menumbuhkan
kesadaran pluralitas-multikultural pada peserta didik di antaranya :
1) Pendekatan historis pendekatan ini mengandaikan bahwa materi penddikan agama yang
diajarkan kepada peserta didik dengan menengok kembali kebelakang maksudnya 37 Mahmud Arif , Pendidikan Islam Inklusif-Multikultural (Yogyakarta: Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. I, Nomor I, Juni 2012), 5.
38 Ibid., 5.
adalah agar pendidik dan peserta didik mempunyai kerangka pikir yang komplit untuk
bisa merefleksikannya pada masa sekarang dan mendatang. Pendidikan dengan
pendekatan historis harus dilakukan secara kritis dan dinamis, dalam pengertian bahwa
seorang pendidik harus mampu menjadikan peserta didik sebagai pihak yang memiliki
kedudukan sama sehingga berhak mengkritik pendidikan atas yang telah dikemukakan.
2) Pendekatan sosiologis, pendekatan ini mengandaikan terjadinya “kontekstualisasi” atas
apa yang pernah menjadi sebelumnya. Dalam kerangka berpikir Islam, kontekstualisasi
diidentikkan dengan ijtihad. Dengan pendekatan sosiologis pendidikan agama akan
menjadi lebih aktual. Aktualitas memang selaras dengan dinamikan dan kebutuhan
zaman, namun bukan aktualitas yang dipaksakan.
3) Pendekatan kultural, pendekatan ini merupakan pendekatan dalam pendidikan aqidah
yang menekankan aspek autentisitas dan tradisi yang berkembang. Dengan pendekatan
kultural, peserta didik akan memahami apa yang sebenarnya menjadi tradisi dan yang
mana autentik atau orsinil. Pendekatan ini akan bermanfaat untuk menyelidiki secara
mendalam berkaitan dengan masih bercampur aduknya antara yang orsinil dengan
tradisi-tradisi Arabia, sehingga ummat Islam banyak yang salah memahami antara yang
tradisi dengan Islam.
4) Pendekatan psikologis, pendekatan ini untuk memperhatikan situasi psikologi/kejiwaan
secara tersendiri dan mandiri. Artinya masing-masing peserta didik dilihat sebagai
manusia mandiri dan unik dengan karakter dan kemampuan yang dimilikinya.
5) Pendekatan estetik, pendekatan estetik dalam pendidikan agama akan menjadikan
peserta didik memiliki sifat-sifat yang santun, damai ramah dan mencintai keindahan
dalam prespektif ini, pelajaran agama Islam tidak didekati dengan secara doktrinal yang
cenderung menekankan adanya “otoritas–otoritas” kebenaran agama, tetapi lebih
apresiatif terhadap gejala-gejala yang terjadi di tengah masyarakat yang dilihat sebagai
bagian dari dinamika hidup yang bernilai seni dan estetika.
6) Pendekatan berprespektif gender, pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan
yang tidak membedakan peserta didik dari aspek jenis kelamin. Dengan demikian
pendekatan ini sangat manusiawi.
7) Pendekatan filosofis, pendekatan ini menekankan pentingnya menghargai akal manusia.
akal pikiran merupakan potensi besar manusia yang dapat didayagunakan sebagai alat
untuk menyingkap dan menggali hikmah dari realitas. Filsafat bersumber dari akal
sehat dengan merenungkan secara mendalam terhadap segala hal yang berkaitan
dengan manusia, alam kehidupan dan Tuhan.39
Selain itu pentingnya memformulasikan kembali kurikulum Pendidikan Agama Islam
dengan menampakkan wajah Islam yang toleran dapat dijelaskan dari sudut pandang
filsafat perenialisme, esensialisme dan progresifisme. Agar tercipta suasana belajar yang
tercermin nalai-nalai kemanusian yang tidak menghilangkan budaya sebagai ciri khas
dan kekayaan budaya bangsa, tetapi tetap memperhatikan nilai-nilai Islam.
6) Nilai-nilai Pendidikan Islam Berbasis Multikultural
1) Nilai Andragogi
Ivin Ilich dalam artikelnya sebagaina yang dikutip Puryanto (2006) menegarai
bahwa “ sekolah lebih berbahaya daripada nukli”. Ia adalah candu! Bebaskan warga dari
sekolah”. Kecaman sinis ini hingga saat ini bukanlah sekedar ungkapan apriori terhadap
sekolah. Ini menjadi mantra yang hidup dan menantang bagi para pemikir pendidikan.40
Kata-kata itu menjadi berbobot bukanlah sekedar ungkapan yang bertendensi pada
sikap yang nyeleneh, melainkan fakta yang melatar belakanginya. Ilich saat itu melihat
39 Ngainun Naim & Acmad Sauqi, Pendidikan Multikutural Konsepa dan Aplikasi , 215-218.
40 Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme , 266.
semua sekolah di berbagai negara terjebak pada semangat berpikir yang didasarkan pada
tuntutan-tuntutan kebutuhan formal sekolah. Implikasi dari nominasi budaya ini
kemudian melahirkan satu corak pendidikan yang hanya sekedar agen reproduksi sistem
dan struktur sosial yang tidak adil seperti relasi gender, relasi rasisme, dan sisten relasi
kekuasaan.41
Pendidikan kemudian menjadi sarana bagi ajang kreatifitas, minat dan bakat peserta
didik, visi pendidikan yang demokratis, liberatif kemudian menjadi kebutuhan yang
pokok ketika kita masih punya satu cita-cita tentang bagaiman pentingnya menbangun
kehidupan yang humanis.
2) Nilai Perdamaian
Islam sebagai agama rahmatan lil’alami>n mempunyai misi menyebarkan kedamaian
bagi semua ummat manusia. Islam melarang jihad terhadap orang-orang non-Muslim
yang menyatakan ingin hidup rukun dan damai bagi umat Islam. Sikap hidup damai
bersama penganut agama lain, sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Yang
tidak melancarkan jihad terhadap orang minoritas, yaitu Yahudi karena mereka sudah
menyatakan diri untuk terikat dalam kontrak kenegaraan.42
Manusia dikaruniai akal untuk berpikir sehingga bebas menentukan pilihan baik
dan buruk, iman atau kufur, muslim atau non muslim karena itu, tidak semua manusia
menjadi muslim, sebab pengertian muslim dari segi ini ialah menyerah secara mutlak,
total kepada kehendak Allah dengan jalan takwa, memenuhi segala perintahnya dan
menjauhi segala larangannya.43
41 Ibid., 266.
42 Ibid., 272.
43 Abd. Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan, Tipologi Kondidi, Kasus dan Konsep, (Yogyakarta: Tara Wacana, 2004), 148.
Anjuran untuk membangun kehidupan yang damai dan rukun antar umat beragana
juga di jelaskan dalam al-Qur’ān surat al-Muntahana ayat 8 : Allah tidak melarang
kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
3) Nilai Inklusivisme
Klaim-klaim sepihak seringkali muncul berkaitan dengan kebenaran suatu paham atau
agama yang dipeluk oleh seseorang atau masyarakat. Bahwa hanya agama yang
dianutnya saja atau agama tertentu saja yang benar, madzab ataupun amalan-amalan
keagamaan yang ada dikelompoknya saja yang benar Sementara agama lain/golongan
yang lain tidak dianggap benar. Sementara dalam realitasnya, terdapat beragam agama
dan keyakinan yang berkembang di masyarakat. Pluralitas agama, keyakinan dan
pedoman hidup manusia adalah sebuah fakta sosial yang tidak dapat di pungkiri.
Pemahaman yang bersifat parsial untuk memunculkan klaim-klaim sepihak dari
mereka yang menyatakan diri mukmin dan muslim yang menempatkan segala pihak
sebagai ancaman terhadap keberimanan dan keIslaman tersebut. Dunia sosial kemudian
mereka bagi hanya menjadi dua wilayah: antara mereka yang kafir dan mereka yang
muslim. 44
Untuk mengimbangi arus pemahaman Islam yang sektarial dan parsial ini, muncul
pula gerakan kritis yang memahami Islam secara integral dan inklusif. Gerakan kritis
ini berkeyakinan bahwa Islam adalah agama humanis dan toleran. al-Qur’ān jauh
sebelumnya telah menegaskan saling menghormati dan tercapainya kehidupan
beragama yang harmonis surat Sabā ayat 24-26. Oleh karena itu merupakan
tanggungjawab suci pemuka-pemuka agama untuk memformulasikan teologi yang
44 Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme Pardigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia , 266.
dapat menciptakan kehidupan imani yang damai dalam kontek kemajemukan agama di
nusantara ini.
4) Nilai kearifan
Islam juga memberikan kebebasan kepada manusia untuki mencari sendiri
berbagai hal yang dapat disebut perinsip sekunder.45 Dalam Islam, kearifan dapat
dipelajari melalui ajaran sufi, Sufi artinya kebijkan atau kesucian yaitu suatu cara
membersihkan hati dari kelakuan buruk. Sufi mengajarkan kepada Manusia untuk
membersihkan nafsu, hati, dan jiwa melalui pendekatan esoteris melihat Allah tidak
untuk ditakuti tapi untuk dicintai.
Ajaran Islam juga mengajarkan bertindak secara adil, tidak boleh melakukan
kekerasan dan tidak boleh menuruti hawa nafsu juga. Dalam surat an-Nahl ayat 90
dijeleaskan mengenai ajaran Islam kepada pemeluknya dalam menerima informasi yang
belum jelas asal usulnya. Kunci kearifan adalah kerendahan hati. Sesorang yang arif
menunjukkan kerendahan hati, dapat memposisikan dirinya, tahu kapan menyatakan
tidak, kapan berhenti membantu orang lain, tahu kelemahan manusia dan kesulitan
untuk melakukan perubahan.
5) Nilai Toleransi
Istilah toleransi berasal dari bahasa Inggris, yaitu: “tolerance” berarti sikap
membiarkan. Mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan
persetujuan.46
Pengembangan sikap pluralisme pada peserta didik di era sekarang ini, adalah
mutlak segera dilakukan oleh seluruh pendidikan agama di Indonesia demi kedamaian
45 Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis, (Lokalitas Pluralisme Terosisme) (Yogyakarta: LkiS, 2012), 187.
46 David G. Gularnic, Wabster’s Word Distionary of American languange, dalam bukunya Said Husain Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama ( Jakarta: Ciputat Press, 2000), 13.
sejati. Pendidikan agama Islam perlu segera menampilkan ajaran-ajaran Islam yang
toleran melalui kurikulum pendidikannya dengan tujuan menitikberatkan pada
pemahaman pada pemahaman dan upaya untuk bisa hidup dalam konteks berbeda
agama dan budaya, baik secara individual maupun secara kelompok dan tidak terjebak
pada primordialisme dan eksklusif kelompok agama dan budaya yang sempit.
6) Nilai Humanisme
Tujuan sejati dari pendidikan seharusnya adalah pertumbuhan dan perkembangan
diri peserta didik secara utuh sehingga mereka menjadi pribadi yang dewasa yang
matang dan mapan, mampu menghadapi berbagai masalah dan konflik dalam
kehidupan sehari-hari. Agar tujuan ini dapat tercapai maka diperlukan sistem
pembelajaran dan pendidikan yang humanis serta mengembangkan cara berpikir aktif-
positif dan keterampilan yang memadai.
Dengan gerakan Humanisme dan skolasitisme telah memunculkan oertodoksi
kebahasaan dan hukum keagamaan melahirkan “teradi” tertentu dalam pendidikan
Islam, yakni pendidikan Islam yang bisa dijadikan saluran transmisi dan inkulturasi
keilmuan dan keabsahan hukum-hukum dalam kerangka ortodoksi. Atas dasar inilah
pendidikan (Islam) dinilai sebagai ‘sistem sosial” senantiasa merefleksikan filosofi
komunitas pendukungnya.47 Pendidikan dan pembelajaran yang bersifat aktif-positif
dan berdasarkan pada minat dan kebutuhan siswa sangat penting untuk memperoleh
kemajuan baik dalam bidang intelektual emosi (EQ), afeksi maupun keterampilan yang
berguna untuk hidup peraktis,
7) Nilai Kebebasan
47 Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakata: LkiS, 2008), 106-107.
Setiap manusia memiliki hak yang sama di hadapan Allah. Manusia tidak
dibedakan derajatnya berdasarkan suku, ras, maupun agama. Allah memiliki ukuran
tersendiri dalam memberikan penilaian terhadap kemuliaan seseorang.48
Pendidikan adalah media kultural untuk membentuk manusia. Kaitan antara
pendidikan dan manusia sangat erat sekali tidak bisa dipisahkan. Kata Driyakarta,
pendidikan adalah “humanisasi”, yaitu sebagai media dan peroses pembimbingan
manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi (“humanior”). Jalan yang
ditempuh menggunakan missifikasi jalur kultural. Tidak ada model “kapitalisasi
pendidikan” atau “politisasi pendidikan”. Karena pendidikan secara murni berupaya
membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian manusia.
7) Tantangan-Tantangan Pendidikan Multikultural
Problematika dan tantangan pendidikan berbasis multikultural muncul bukan tanpa
masalah. Bila ditelusuri lebih jauh, persoalannya ternyata sangat kompleks. Berikut ini
acapkali dijumpai permasalahannya atau tantatangan.
a. Globalisasi
Universalitas pengalaman keberagamaan merupakan premis penting dalam ajaran
argumen al-Qur’ān berhadapan dengan kehidupan profan (duniawi) atau sekuler.49
Globalisasi tidak disangkal lagi, telah menghasilkan perubahan-perubahan
mendasar dalam kehidupan manusia. Hampir seluruh sektor kehidupan tersentuh oleh
pengaruh globalisasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks ini,
kita akan melihat perkembangan globalisasi, a). Globalisasi politik, b) globalisasi
ekonomi, dan b). Globalisasi kebudayaan.
b. Gerakan Radikalisme Islam 48Muhammad Ali Lintubesang, Nilai-nilai Pendidikan Multikultural dalam Buku ajar Kebudayaan Sejarah Islam, Tesis (Yogyakarta: PPs. UIN Sunan Kalijaga, 2011), 97. 49 John L. Esposito (ed), Islam, Kekuasaan Pemerintah, Dokrin Iman & Realitas Sosial, terj. M. Khoirul Anan (Jakarta: Inisiasi Press, 2004), 106.
Gerakan radikalisme akhir-akhir ini juga menjadi ancaman persebaran
multikulturalisme di dunia. Pasalnya model gerakan ini ditengarai banyak pihak
cenderung tidak menghendaki kebesan dan kemajemukan. Intinya adalah
mempertahankan eksistensi dan ortodoksi agama sembari menempuh jalan kekerasan.50
c. Dinamika Politik dan Agama
Konflik dan kerusuhan yang terjadi di beberapa kawasan seperti Aceh, Sampit,
Poso, Ambon, tragedi 1998, Tragedi Semanggi I dan II, dan beberapa waktu lalu
penyerbuan laskar FPI kepada Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Bearagama dan
Berkeyakinan yang sedang menggelar aksi damai. Tindakan dan perilaku biadab manusia
atas manusia lain di bumi Indonesia tampaknya bukanlah barang aneh. Indonesia seolah-
olah tak pernah sepi dari peristiwa mencekam dan menakutkan itu.51
Beberapa konflik yang sering terjadi telah menjadi persolan kebangsaan yang tak
pernah surut dari bagunan sejarah Indonesia. Mencoba mengidentifikasi masalah-
masalah ada beberapa yang perlu diapresiasi. Pertama masalah integrasi. Indonesia
sebagai negara kesatuan yang terdiri dari berbagai suku, ras, agama dan keyakinan
menyimpan potensi akan terjadinya konflik. Kedua masalah legitimasi politik kekuasaan.
Sejak orde lama, orde baru samapai reformasi, masala legitimasi ini sering dipersoalkan
sebagai legitimasi dari atas (dari Tuhan atau alam mistik).52
d. Hubungan Agama dan Negara
Ada tiga pandangan hubungan agama dan negara yang sering menjadi perdebatan
di masyarakat dan secar khusus di dunia Islam. Pertama, paradigma integralistik. Agama
dan negara adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (integrated). Wilayah
agama juga wilayah politik. Kedua, paradigma simbiotik. Agama dan negara 50 Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme Pardigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia , 317.
51 Ibid., 339.
52 Ibid., 340.
berhubungan secara simbiotik atau timbal balik dan saling memerlukan. Agama
memerlukan negara, karena dengan negara bisa berkembang. Sebaliknya, negara
memerlukan agama, karena dengan agama negara bisa berkembang dalam hubungan
etika dan moral. Ketiga, paradigmaa sekularistik. Suatu pandangan yang memisahkan
antara agama dan negara, agama dan negara dalam paradigma ini, merupakan dua entitas
yang berbeda dan tidak mungkin disatukan:53
8) Materi Fiqh Berbasis Demokrasi Multikultural
Secara garis besar, materi fiqh berbasis demokrasi multikultural adalah berasal dari
karya siswa/i Madrasah Diniyah Muallimi>n Muallimāt Darut Taqwa Pondok Pesantren
Ngalah Sengonagung Purwosari Pasuruan Program Studi Ilmu Syari> ah dan buku ini
adalah hasil kondifikasi karya dari tiga tahun terakhir dengan judul Fiqh Galak Gampil
sedangkan edisi terbaru ini diberi Judul yang tertera pada bagian sampul “Kitab dan
jawābul masāil” dengan menggunakan istilah “kitab”, karena pada dasarnya kitab berarti
buku bacaan, lembaran kertas yang dijilid, yang menjadi sarana untuk menyalurkan
pengetahuan dan keilmuan, dan jawābul masāil karena memang membahas tentang
masalah keagamaan dan sosial budaya.
Bagian pertama dari tulisan ini memuat tentang pedoman hidup berbangsa dan
bernegara yang merupakan buah hasil dari jerih payah berdirinya Pondok Pesantren
Ngalah untuk menyebarkan kedamaian bagi semua umat manusia, baik yang abangan
maupun yang berpendidikan, baik yang menjabat atau yang tidak menjabat, baik muslim
53 Ibid., 364-365.
maupun non muslim, adapun dalam bagian ini dibahas beberapa bagian serta dengan
beberapa bab penting sebagai berikut.
a) Pendahuluan sebagai pengantar tentang kondisi pluralitas dalam kehidupan ini
diberbagai aspek maka dibutuhkan diperlukan sikap tasammuh, tawazun, dan tawasuth
sekaligus juga i’tidal, dari semua golongan serta menyadari sepenuhnya bahwa
keragaman adalah sebuah hal yang tidak dapat dipungkiri dan dihindari di bumi ini.
b) Islam dan Nasionalisme adapun tema yang dibahas antara lain (Islam dan dasar negara
Indonesia, Islam dan Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila sebagai asas utama Pondok
Pesantren Ngalah dan Yayasan Darut Taqwa selama-lamanya, serta dikuatkan dengan
maklumat pengasuh)
c) Pluralitas dan sosial kemasyarakatan adapun tema yang dibahas didalamnya
(Pendahuluan, Toleransi Antar Umat Beragama, Islam Menghormati dan Melindungi
Sesama (Non Muslim), Islam Melindungi Tempat-tempat Ibadah Lain, Islam Melarang
Mencaci Maki Agama Selain Islam, Perintah Untuk Saling Mengenal, Perintah Hidup
Rukun dan Saling Mengasihi Antar Sesama, Pertikaian Menyengsarakan Banyak
Orang, Perbedaan itu Rahmah, Sikap dan Kepribadian Seorang Ulamā’ Sufi (Tokoh
Nasional), NU: Islam Rohmatan lil ’Ālami>n, Gambaran Kembali ke Khittah NU Tahun
1926 di Situbondo, Maklumat Pengasuh Tentang ”Mengapa Pondok Pesantren Ngalah
Dekat dengan Non Muslim, Maklumat Pengasuh Tentang Sikap, Prilaku dan Wawasan
Kenegaraan dan Kebangsaan
d) Piagam madinah sebagai rujukan kehidupan berbangsa dan bernegara pada bab dibahas
beberapa tema diantaranya (Piagam Madinah dan Keotentikannya, Berbagai Komentar
Terhadap Isi Piagam Madinah, Pengertian Ummah dalam Piagam Madinah, Piagam
Madinah; Suatu Konstitus serta isi dari piagam madinah).
Pada bagian kedua, didalamnya dimuat pembahasan Fiqh jawābul masāil yang
meliputi berbagai aspek kehidupan seperti ibadah atau ritual keagamaan, sosial-budaya,
tasawuf dan etika, toleransi dalam pluralitas agama, dan lain sebagainya dengan beberapa
bab penting yang di tuangkan.
Tujuan utama dari penyusunan buku ini adalah untuk memberikan wawasan kepada
seluruh santri Ngalah dan Alumninya umumnya kepada masyarakat umum tentang
keragaman dan kekayaan khazanah keilmuan Islam dari hasil jerih payah pemikiran dan
ijtihad para ulama terdahulu dengan landasan pada dua sumber pokok hukum (al-Qur’ān
dan al-Hadi>ts). dan dengan gaya paparan yang singkat dan menampilkan beberapa opsi
jawaban yang memang ada dalam literatur-literatur klasik, hal ini bertujuan agar tidak ada
kesan pengkebirian keilmuan bagi siapapun yang meng-konsumsi kitab ini.
Dalam implementasi pembelajaran fiqh berbasis multikultural secara umum terbagi
menjadi dua macam jenjang yaitu pembelajaran di jenjang Muallimi>n Muallimāt dengan
beroriantasi pada penggalian hukum yang berkembang di masyarakat. Jenjang yang kedua
diimplementasikan pada jenjang wustiyah dengan berorientasi pada tahap sekedar
pemahaman dan pembekalan keilmuan. 54
54 Diambil dari intisari Kitab jawābul masāil Bermadzab Empat Menjawab Permasala Lokal, Nasional dan Internasional (Pasuruan: Yayasan Darut Taqwa, 2012),.