BAB II KAJIAN PUSTAKA -...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA -...
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1.1 Kajian Teori
Kajian teori menyajikan penjelasan mengenai teori pembelajaran bahasan Jawa,
motivasi, model pembelajaran jigsaw, dan media pembelajaran aksara sebagai acuan
dan dasar dalam penelitian.
1.1.1 Pembelajaran Bahasa Jawa
a) Hakikat Bahasa Jawa
Secara geografis, bahasa Jawa merupakan bahasa yang dipakai di daerah Provinsi
Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur. Di Jawa Timur, khusus daerah Besuki sampai
Probolinggo, bagian utara memakai bahasa campuran antara Jawa dan Madura.
Bahasa Jawa merupakan bahasa yang mengenal adanya tingkat tutur (speech levels)
atau undha-usuk atau unggah-ungguhing basa menyebut adanya tingkat tutur ngoko,
madya dan krama dalam bahasa Jawa.
Pembelajaran Bahasa Jawa masih berkaitan erat dengan aspek budaya karena di
dalam budaya mencakup kebiasaan, adat istiadat, aturan-aturan yang umumnya tidak
tertulis (misalnya tata krama, sopan santun, tata pergaulan dengan orang tua sendiri
atau orang lain yang usianya lebih tua, pergaulan dengan tetangga dan teman sebaya).
Dalam kehidupan masyarakat Jawa muncul kesadaran perlunya pembinaan dan
pengembangan bahasa Jawa dengan usaha-usaha yang konkrit sehingga dapat
menyentuh perilaku masyarakat sehari-hari baik melalui pendidikan formal, informal
maupun non formal.
Seperti yang diputuskan dalam konggres Bahasa Jawa IV di Jawa Tengah,
antara lain bahwa bahasa Jawa wajib diajarkan di sekolah-sekolah mulai SD/MI,
SMP/MTs, SMA/SMK/MA di tiga provinsi: Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Provinsi Jawa Timur. Pembelajaran tersebut harus bersifat
9
kontekstual, memanfaatkan teknologi informasi, inovatif, kreatif dengan
memperhatikan varian lokal sebagai pijakan pembelajaran bahasa Jawa baku.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor
22 dan 23 tahun 2000, kurikulum yang berlaku di pendidikan formal saat ini adalah
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang merupakan penyempurna
kurikulum KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Amanat yang terkandung dalam
KTSP adalah bahwa peserta didik akan mendapat bekal berbagai kompetensi sesuai
perubahan dan perkembangan aspirasi terhadap gejala-gelaja yang muncul di
masyarakat. Terkait dengan hal itu maka ditetapkanlah Bahasa, Sastra dan Budaya
Jawa sebagai muatan lokal wajib di jenjang pendidikan SD/MI, SMP/MTs,
SMA/SMK/MA. Penentuan kebijakan tersebut didasari oleh fungsi utama bahasa
Jawa sebagai sarana komunikasi dalam masyarakat Jawa, maka pembelajaran
Berbahasa, Sastra dan Budaya Jawa bertujuan agar siswa terampil berkomunikasi
menggunakan Bahasa Jawa.
Sementara itu dalam Mulyana (2008:238) fungsi lain mata pelajaran Bahasa,
Sastra dan Budaya Jawa adalah sebagai berikut:
1) Sarana pembinaan rasa bangga terhadap bahasa Jawa
2) Sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka pelestarian dan
pengembangan budaya Jawa
3) Sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meraih mengembangkan
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
4) Sarana penyebarluasan pemakaian bahasa Jawa yang baik dan benar untuk
berbagai keperluan menyangkut berbagai masalah
5) Sarana pemahaman budaya Jawa melalui kekusastraan Jawa
b) Prinsip-prinsip Pembelajaran Bahasa Jawa
Pembelajaran memiliki beberapa prinsip yakni, harus bertujuan dan terarah.
Prosesnya memerlukan bimbingan, memerlukan latihan dan ulangan sehingga
diperoleh pemahaman. Pembelajaran merupakan proses aktif peserta didik dengan
10
lingkungannya, disertai keinginan dan kemauan untuk mencapai tujuan, dan diikuti
proses internalisasi diri dari si pembelajar, pembelajaran dianggap berhasil jika telah
sanggup menerapkan dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran Bahasa Jawa berdasarkan Kurikulum 2010 lebih menekankan
kepada pendekatan komunikatif yaitu pembelajaran yang mempermudah para siswa
agar lebih akrab dalam pergaulan dengan menggunakan Bahasa Jawa dan melatih
siswa untuk lebih senang berbicara menggunakan Bahasa Jawa yang benar dan tetap
sesuai dengan situasinya.
Pembelajaran Bahasa Jawa diajarkan dari SD sampai dengan SMP bahkan sampai
SMA secara berkesinambungan, selaras antara kompetensi dasar yang satu dengan
kompetensi dasar lainnya. Dalam pembelajaran ini ada 4 aspek yang diajarkan oleh
guru yaitu:mendengarkan, berbicara, membaca, menulis. Keempat aspek tersebut
tidak dapat terpisah antara satu aspek dengan aspek lainnya, dalam pembelajaran
hanya penekanannya lebih difokuskan pada salah satu aspek, artinya pada
pembelajaran mendengarkan siswa tidak hanya dituntut mendengarkan saja akan
tetapi siswa juga harus dapat berbicara, menulis dan mengapresiasikannya dalam
bentuk sastra. Di bawah ini beberapa contoh model pembelajaran yang dapat
diajarkan kepada siswa, dalam mengemas aspek-aspek yang saling mendukung.
Peranan guru dalam pengembangan Bahasa Jawa terutama penerapan unggah-
ungguh sangat penting dan dominan dalam keberhasilan pembelajaran Bahasa Jawa.
Mengingat guru Bahasa Jawa adalah orang-orang yang tugasnya setiap hari membina
Bahasa Jawa, orang yang semestinya merasa paling bertanggungjawab akan
perkembangan Bahasa Jawa adalah guru, orang yang selalu akan dituding oleh
masyarakat bila hasil pengajaran bahasa Jawa disekolah tidak memuaskan. Guru
memegang peranan terpenting dalam menentukan keberhasilan pengajaran.
Bagaimanapun baiknya kurikukulum dan lengkapnya sarana prasarana, apabila guru
tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik, maka pengajaran pastilah tidak akan
memberikan hasil yang memuaskan.
11
Sumarlam (2011:29) menyatakan bahwa mengingat pentingnya peranan guru
dalam menentukan keberhasilan pengajaran dengan demikian penting juga
peranannya dalam pembinaan budi pekerti dan pendidikan karakter bangsa, maka
seorang guru harus senantiasa mencari cara terbaik dalam menyajikan pembelajaran.
Cara yang baik dalam menyajikan pembelajaran baiknya didukung oleh kreatifitas,
kompetensi, dan performansi yang baik pula. Maka guruakan mampu
menumbuhkembangkan minat murid dan membangkitkan kecintaan murid kepada
mata pelajaran bahasa Jawa.
c) Pembelajaran Bahasa Jawa di SD
Pembelajaran adalah kegiatan interaksi edukatif antara peserta didik dengan guru.
Kegiatan tersebut merupakan kegiatan tatap muka sebagaimana dimaksud dalam, PP
No. 74 tahun 2008, yang isinya antara lain merupakan kegiatan bimbingan dan
latihan kepada peserta didik yang belum menguasai kompetensi yang harus dicapai.
(Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, 2009).
Pembelajaran Bahasa Jawa untuk jenjang pendidikan SD/SDLB/MI baik negeri
maupun swasta merupakan salah satu mata pelajaran wajib muatan lokal (mulok) di
Jawa Tengah sebagai upaya mempertahankan nilai-nilai budaya Jawa masyarakat
setempat dalam wujud komunikasi dan apresiasi sastra. Hal ini selaras berdasarkan
Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 423.5/5/2010 tanggal 27 Januari
2010 Tentang Kurikulum mata pelajaran Bahasa Jawa Tahun 2004.
Isi materi kurikulum muatan lokal terkait dengan kebiasaan dalam bertutur kata
dengan sopan, membiasakan budi pekerti yang baik, menyanyikan tembang,
mendengarkan dan memahami cerita, membaca dan menulis Aksara Jawa. Berikut
adalah standart kompetensi dan kompetensi dasar pembelajaran Aksara Jawa yang
termuat dalam pembelajaran Bahasa Jawa di kelas 5 sesuai dengan Kurikulum Mata
Pelajaran Muatan Lokal (Bahasa Jawa) untuk Jenjang Pendidikan SD/SDLB/MI
Provinsi Jawa Tengah berdasarkan keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor:
423.5/5/2010 adalah sebagai berikut:
12
Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Bahasa Jawa
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
Membaca
2.2 Mampu membaca dan memahami
ragam teks bacaan dengan berbagai
teknik membaca cepat, membaca
bersuara, membaca indah dan
membaca huruf Jawa
3.5 Membaca kalimat seder-
hana berhuruf Jawa yang
menggunakan pasangan.
Waktu yang sangat terbatas untuk porsi pembelajaran muatan lokal di sekolah
dasar akan sangat efektif jika siwa telah memiliki gairah minat dan motivasi yang
tinggi terhadap pembelajaran bahasa dan satra daerah. Bersamaan dengan
perkembangan zaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju dan
juga mendorong guru untuk mengadakan upaya pembaharuan dalam proses belajar
berupa penggunaan strategi baik model ataupun metode pembelajaran serta
pemanfaatan hasil-hasil teknologi.
2.1.2 Hasil Belajar
Slameto (2003:2) berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkunganya.
Menurut Purwanto (2011: 54) hasil belajar adalah perubahan perilaku yang terjadi
setelah mengikuti proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan pendidikan. Winkel
dalam Purwanto, (2011: 45) hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan
manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya. Bloom dalam Moh Uzer Usman,
(1990: 29) mengusulkan hasil belajar dikelompokkan ke dalam tiga taksonomi yang
disebut dengan ranah belajar yaitu ranah kognitif, ranah afektif, ranah psikomotorik.
Ranah kognitif berkaitan dengan hasil belajar berupa pengetahuan, kemampuan dan
kemahiran intelektual. Ranah kognitif mencakup kategori pengetahuan, pemahaman,
13
penerapan, analisi, sintesis, dan penilaian. Kategori tujuan pembelajaran ranah afektif
meliputi penerimaan, pemberian respon, penilaian, pengorganisasian, dan
karakterisasi. Kategori tujuan pembelajaran ranah psikomotorik meliputi peniruan,
manipulasi, ketetapan, artikulasi, dan pengalamiahan.
Hasil belajar merupakan kemampuan yang diperoleh individu setelah proses
belajar berlangsung, yang dapat memberikan perubahan tingkah laku baik
pengetahuan, pemahaman, sikap dan keterampilan sehingga menjadi lebih baik dari
sebelumnya (Hamalik 1995:48).
Setelah mengkaji pengertian belajar dan hasil belajar dapat disimpulkan bahwa
hasil belajar adalah perubahan tingkah laku siswa baik kognitif, afektif, ataupun
psikomotor yang didapat setelah siswa berinteraksi dengan lingkungan.
2.1.3 Motivasi
a) Pengertian Motivasi
Istilah motif kita temui dalam berbagai aspek kehidupan, diantaranya di dunia
tekstil terdapat kata motif yang berarti gambar, pola, dan sebagainya. Dalam dunia
kriminal kita kenal dengan motif pembunuhan, motif perampokan,dll yang artinya
adalah latar belakang. Dari dua pendekatan pengertian motif di atas, dapat kita ambil
persamaan bahwa keduanya menyatakan suatu kehendak yang melatarbelakangi
perbuatan. Motivasi yang akan kita bahas, erat kaitannya dengan perbuatan atau
perilaku manusia yang pengertiannya dirumuskan sebagai berikut:
Motif berasal dari Bahasa Inggris motive berasal dari kata motivation yang
berarti gerak atau sesuatu yang bergerak. R. Ibrahim (2003:27) menyatakan setiap
perbuatan, termasuk perbuatan belajar, didorong oleh sesuatu atau beberapa motif.
Motif atau biasa disebut sebagai dorongan atau kebutuhan merupakan sesuatu tenaga
yang berada pada diri individu atau siswa yang mendorongnya untuk berbuat
mencapai suatu tujuan.
14
Hamalik (2004:174) mengungkapkan motivasi dipandang sebagai tujuan berarti
motivasi merupakan sasaran stimulus yang akan dicapai. Jika seseorang mempunyai
keinginan untuk belajar sesuatu hal, maka dia akan termotivasi untuk mencapainya.
Siswa belajar karena didorong oleh kekuatan mentalnya. Kekuatan mental itu
berupa keinginan, perhatian, kemauan atau cita-cita. Kekuatan mental tersebut dapat
tergolong rendah dan tinggi. Ada ahli psikologi pendidikan yang menyebut kekuatan
mental yang mendorong terjadinya belajar tersebut sebagai motivasi belajar. Motivasi
dipandang sebagai dorongan mental yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku
manusia, termasuk perilaku belajar. Dalam motivasi terkandung adanya keinginan
yang mengaktifkan, menggerakkan, menyalurkan, dan mengarahkan sikap dan
perilaku individu belajar (Koeswara, 1989; Siagian, 1989; Schein, 1991; Biggs &
Telfer, 1987 dalam Dimtayi dan Mudjiono (2006: 80)
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa motivasi dapat
dipandang sebagai fungsi, proses dan tujuan. Motivasi dipandang sebagai tujuan
berarti motivasi berfungsi sebagai daya penggerak dari dalam individu untuk
melakukan aktivitas tertentu untuk mencapai tujuan. Motivasi sebagai proses, berarti
motivasi dapat dirangsang oleh faktor luar untuk menimbulkan motivasi dalam diri
seseorang. Maka motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak
dalam diri siswa yang melalui proses rangsangan belajar sehingga mencapai tujuan
yang dikehendaki.
b) Macam-Macam Motivasi Belajar
Motivasi merupakan tenaga pendorong bagi seseorang agar memiliki energi atau
kekuatan melakukan sesuatu dengan penuh semangat. Motivasi sebagai suatu
kekuatan yang mampu mengubah energi dalam diri seseorang dalam bentuk aktivitas
nyata untuk mencapai tujuan tertentu. (Aunurrahman 2011:114)
Aunurrahman (2011:115) juga mengungkapkan motivasi dapat bersifat internal
dan eksternal. Beberapa penulis atau ahli menyebutnya motivasi instrinsik dan
ekstrinsik. Motivasi internal atau motivasi instrinsik adalah dorongan dalam diri
individu untuk melakukan suatu aktivitas. Motivasi eksternal adalah dorongan yang
15
berasal dari luar diri individu. Tentu saja setiap siswa melakukan aktivitas belajar
diharapkan didorong oleh motivasi internal, karena hal itu menjadi pertanda telah
tumbuhnya kesadaran dalam diri siswa untuk belajar secara sunguh-sungguh. Namun
demikian tidak berarti bahwa motivasi eksternal tidak memiliki posisi yang penting
bagi para siswa, karena hasil-hasil penelitian juga banyak menunjukkan bahwa
pemberian motivasi menjadi faktor yang memberi pengaruh besar bagi pencapaian
hasil belajar atau kesuksesan seseorang.
c) Prinsip- Prinsip Motivasi Belajar
Dari berbagai teori motivasi belajar yang berkembang, Keller (Sugihartono 2007:
78) telah menyusun seperangkat prinsip-prinsip motivasi yang dapat diterapkan
dalam proses pembelajaran, yaitu:
1) Attention (Perhatian)
Perhatian peserta didik muncul karena didorong rasa ingin tahu. Oleh sebab itu, rasa
ingin tahu ini perlu mendapat rangsangan, sehingga peserta didik akan memberikan
perhatian selama proses belajar.
2) Relevance (Relevansi)
Relevansi menunjukkan adanya hubungan materi pembelajaran dengan kebutuhan
dan kondisi peserta didik. Motivasi peserta didik akan terpelihara apabila mereka
menganggap bahwa apa yang dipelajari memenuhi kebutuhan pribadi atau bermanfaat
dan sesuai dengan nilai yang dipegang.
3) Confidence (Percaya diri)
Merasa diri kompeten atau mampu, merupakan potensi untuk dapat berinteraksi
secara positif dengan lingkungan. Prinsip yang berlaku dalam hal ini adalah bahwa
motivasi akan meningkat sejalan dengan meningkatnya harapan untuk berhasil.
Motivasi dapat memberikan ketekunan untuk membawa keberhasilan (prestasi), dan
selanjutnya pengalaman sukses tersebut akan memotivasi untuk mengerjakan tugas
berikutnya.
16
4) Satisfaction (Kepuasan)
Keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan akan menghasilkan kepuasan. Kepuasan
karena mencapai tujuan dipengaruhi oleh konsekuensi yang diterima, baik yang
berasal dari dalam maupun luar individu. Untuk meningkatkan dan memelihara
motivasi peserta didik, dapat menggunakan pemberian penguatan berupa pujian,
pemberian kesempatan, dan sebagainya.
d) Membangkitkan Motivasi Belajar
Slameto (2010: 175) menyatakan mengingat demikian penting motivasi bagi
siswa dalam belajar. Maka guru diharapkan dapat membangkitkan motivasi belajar
siswa- siswanya. Dalam usaha ini banyaklah cara yang dapat dilakukan. Menciptakan
kondisi- kondisi tertentu dapat membangkitkan motivasi belajar.
Sehubungan dengan pemeliharaan dan peningkatan motivasi siswa, DeCecco &
Grawford (1974) dalam Slameto (2010: 175) mengajukan 4 fungsi pengajar:
1) Mengggairahkan Siswa
Dalam kegiatan rutin di kelas sehari-hari pengajar harus berusaha menghindari
hal- hal yang monoton dan membosankan. Untuk dapat meningkatkan kegairahan
siswa, guru harus mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai disposisi awal
siswa-siswanya.
2) Memberikan harapan realistis
Guru harus memelihara harapan-harapan siswa yang realistis, dan
memodifikasikan harapan-harapan yang kurang atau tidak realistis. Untuk ini
pengajar perlu memiliki pengetahuan yang cukup mengenai keberhasilan atau
kegagalan akademis siswa pada masa lalu.
3) Memberikan intensif
Bila siswa mengalami keberhasilan, pengajar diharapkan memberikan hadiah
pada siswa (dapat berupa pujian, angka yang baik dan lain sebagainya) atas
keberhasilannya sehingga ia terdorong untuk melakukan usaha lebih lanjut guna
mencapai tujuan-tujuan pengajaran.
17
4) Mengarahkan
Pengajar harus mengarahkan tingkah laku siswa, dengan cara menunjukkan pada
siswa hal-hal yang dilakukan secara tidak benar dan meminta mereka melakukan
sebaik-baiknya.
2.1.4 Model Pembelajaran
a) Pengertian Model Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan salah satu pendekatan dalam rangka mensiasati
perubahan perilaku peserta didik secara adaktif maupun generatif (Nanang-Hanafiah,
2009)
Mills dalam Agus Supriyono (2010:45) berpendapat bahwa model adalah
bentuk representasi akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau
sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model. Model merupakan
interpretasi terhadap hasil observasi dan pengukuran yang diperoleh dari beberapa
sistem. Model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil
penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang berdasarkan
analisis terhadap implementasi kurikulum dan implikasinya pada tingkat operasional
di kelas.
Menurut Andreas dalam Agus Supriyono (2010:46) model pembelajaran
mengacu pada pendekatan yang digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan
pembelajar, tahap-tahap pembelajaran, lingkungan pembelajaran dan pengelolaan
kelas. Merujuk pemikiran Joyce, fungsi model pembelajaran yaitu guru dapat
membantu peserta didik mendapat informasi, ide keterampilan, cara berpikir, dan
mengekspresikan ide. Model pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai
pedoman dalam merencanakan pembelajaran atau merancang aktivitas belajar
mengajar secara sistematis.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran pada
hakikatnya merupakan suatu proses interaksi antara guru dan siswa dengan pemilihan
model pembelajaran yang tepat. Model pembelajaran adalah pola yang digunakan
18
sebagai pedoman dalam merencanakan kegiatan belajar mengajar agar tercipta
pembelajaran efektif dan efisien serta mencapai tujuan belajar yang maksimal.
b) Hakikat Model Pembelajaran Jigsaw
Arti jigsaw dalam bahasa Inggris adalah gergaji ukir dan ada juga yang menyebut
dengan istilah puzzle yaitu teka-teki menyusun potongan gambar. Pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw ini mengambil pola cara bekerja sebuah gergaji (zigzag), yaitu
siswa melakukan suatu kegiatan dengan cara bekerja sama dengan siswa lainnya
untuk mencapai tujuan bersama.
Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran
kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai
materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal (Isjoni, 2010:54). Teknik ini
dapat digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan ataupun
berbicara.
Model pembelajaran jigsaw dalam pelaksanaannya memiliki ciri khusus yaitu
terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal merupakan kelompok
awal yang terdiri atas beberapa siswa dengan tugas setiap anggota kelompok
mempelajari materi tertentu. Kelompok ahli merupakan bentukan kelompok baru dari
perwakilan masing-masing anggota di kelompok awal dengan ketentuan setiap satu
kelompok ahli merupakan gabungan dari anggota kelompok awal dengan materi yang
sama. Dalam kelompok ahli dilakukan proses berdiskusi atau bekerjasama
menyelesaikan permasalahan atau tugas dengan atmosfer materi yang sama. Pada
akhirnya masing-masing anggota di kelompok ahli akan bergabung kembali dengan
kelompok asal untuk menyampaikan hasil dari kelompok ahli kepada anggota yang
lain di kelompok asal.
e) Tujuan Model Pembelajaran Jigsaw
Dalam model pembelajaran ini siswa dihadapkan pada kegiatan bekerjasama
dengan bertanggungjawab atas tugas yang telah diberikan dalam kelompok asal.
Berkerjasama dalam kelompok ahli yang memiliki satu ragam materi untuk
menyelesaikan permasalah atau tugas yang diberikan juga merupakan rangkaian
19
proses gotong royong. Dalam mendengarkan apa yang diutarakan oleh temannya
ketika telah bersatu kembali dalam kelompok asal, secara tidak langsung siswa akan
dibawa untuk menyimak apa yang diutarakan oleh anggota kelompok yang sedang
melaporkan hasil diskusi di kelompok ahli. Dalam proses ini, akan terjadi kegiatan
menyimak materi pada siswa.
Dalam model jigsaw ini memiliki tujuan yang sama dengan pendekatan
pembelajaran kooperatif lainya. Siswa di ajak untuk bergotong royong dalam
menemukan suatu konsep. Penggunaan model jigsaw akan mengarahkan siswa untuk
aktif, baik dalam berdiskusi, tanya jawab, mencari jawaban, menjelaskan dan juga
menyimak materi yang dijelaskan oleh teman. Selain itu, tujuan model pembelajaran
jigsaw ini yaitu dalam prosesnya terdapat pembagian kerja kelompok yang jelas tiap
anggota kelompok, siswa dapat bekerjasama dengan temannya, dapat mengatasi
kondisi siswa yang ramai dan sulit diatur saat proses belajar mengajar.
d) Kelebihan Model Pembelajaran Jigsaw
Anita Lie (2005: 69) mengemukakan bahwa dalam teknik jigsaw guru
memperhatikan latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa
mengaktifkannya agar pembelajaran lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja dengan
sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan
untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw memiliki beberapa
kelebihan yaitu:
1) Secara umum siswa pada model kooperatif learning tipe jigsaw lebih aktif dan
saling memberikan pendapat (sharing idea), karena suasana belajar lebih
kondusif, baru dan adanya penghargaan yang diberikan kelompok. Maka masing-
masing kelompok berkompetisi untuk mencapai prestasi yang baik.
2) Siswa lebih memiliki kesempatan berinteraksi sosial dengan temannya.
3) Siswa lebih aktif dan kreatif serta lebih memiliki tanggungjawab secara
individual.
20
Lie dalam Rusman (2011:218) menyatakan bahwa kelebihan pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw yaitu:
1) Siswa yang terlibat di dalam pembelajaran model kooperatif tipe jigsaw ini
memperoleh prestasi yang baik
2) Mempunyai sikap yang lebih baik dan lebih positif terhadap pembelajaran
3) Siswa saling menghargai perbedaan pendapat orang lain.
Jhonson and Jhonson dalam Teti Sobari (Rusman, 2011:219) menunjukkan bahwa
interaksi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw memiliki berbagai keunggulan terhadap
perkembangan anak, meliputi:
1) Meningkatkan hasil belajar
2) Meningkatkan daya ingat
3) Digunakan untuk mencapai tarap penalaran tingkat tinggi
4) Mendorong tumbuhnya motivasi intrinsik (kesadaran individu)
5) Meningkatkan hubungan antarmanusia heterogen
6) Meningkatkan sikap anak yang positif terhadap sekolah
7) Meningkatkan sikap positif terhadap guru
8) Meningkatkan harga diri anak
9) Meningkatkan perilaku penyesuaian sosial yang positif, dan
10) Meningkatkan ketrampilan hidup bergotong-royong.
Beberapa kelebihan tersebut menyiratkan bahwa model pembelajaran kooperatif
tipe jigsaw memiliki kelebihan yaitu, dapat merangsang siswa memberdayakan segala
kemampuan dan potensinya dalam setiap pembelajaran. Siswa diajarkan untuk belajar
bagaimana cara belajar, belajar bagaimana membuat sesuatu, belajar bagaimana
hidup bersama-sama, dan belajar bagaimana cara siswa berkomunikasi dengan baik
untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan mengkomunikasikannya kepada teman-
temannya yang lain. Kemampuan komunikasi siswa dilatih melalui diskusi kelompok
ahli dan kelompok asal. Di kelompok ahli siswa berkumpul saling berbagi
pemahaman terhadap suatu permasalahan, kemudian di kelompok asal siswa saling
memberikan pemahaman dan penjelasan hasil diskusi yang telah mereka peroleh di
21
kelompok ahli kepada anggota kelompok lainnya di kelompok asal. Selain itu, siswa
dituntut untuk mempertanggungjawabkan hasil diskusinya di depan kelas melalui
presentasi kelompok.
e) Langkah-langkah Model Pembelajaran Jigsaw
Isjoni (2010) menyatakan bahwa dalam model pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw terdapat tahap-tahap dalam penyelenggaraanya. Tahap pertama siswa
dikelompokkan dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Pembentukan kelompok ini
dapat dilakukan guru berdasarkan pertimbangan tertentu. Tahap kedua setiap anggota
kelompok ditugaskan untuk mempelajari materi tertentu. Kemudian siswa atau
perwakilan dari masing-masing bertemu dengan anggota-anggota dari kelompok lain
yang mempelajari materi yang sama. Selanjutnya materi tersebut didiskusikan
sehingga setiap perwakilan kelompok tersebut memahami setiap masalah yang
dijumpai sehingga perwakilan tersebut dapat memahami dan menguasai materi
tersebut. Pada tahap ketiga, setelah masing-masing perwakilan tersebut dapat
memahami dan menguasai yang ditugaskan, kemudian masing-masing perwakilan
tersebut kembali ke kelompok masing-masing atau kelompok asal.
Selanjutnya masing-masing anggota tersebut saling menjelaskan pada teman satu
kelompoknya sehingga teman satu kelompoknya dapat memahami materi yang
ditugaskan guru. Pada tahap selanjutnya siswa diberi tes/ kuis, hal tersebut dilakukan
untuk mengetahui apakah siswa memahami suatu materi. Dengan demikian secara
umum penyelenggaraan model jigsaw dalam proses belajar mengajar dapat
menumbuhkan tanggungjawab siswa sehingga terlibat langsung secara aktif dalam
memahami suatu persoalan dan menyelesaiannya secara kelompok. Tahap akhir,
siswa yang memperoleh skor tertinggi diberikan penghargaan.
Slavin (2005: 241) mengidentifikasikan urutan tahapan kegiatan jigsaw jadwal
kegiatan sebagai berikut:
22
Tabel 2.2 Tahapan Model Pembelajaran Jigsaw
No Tahapan Kegiatan
1 Membaca Para siswa menerima topik-topik
ahli dan membaca materi yang
diberikan untuk menemukan
informasi yang berhubungan dengan
topik mereka.
2 Diskusi kelompok-ahli Para siswa dengan topik ahli yang
sama mendiskusikanny adalah
kelompok.
3 Laporan tim Para ahli kembali kepada timnya
masing-masing untuk mengajari
topik mereka kepada teman satu
timnya.
4 Tes Para siswa mengerjakan kuis
5 Rekognisi tim Penghitungan skor dan pemberian
penghargaan kepada tim-tim yang
sukses.
Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan sebagai berikut
(Arends, 1997):
Kelompok Asal
Kelompok Ahli
Gambar 2.1Ilustrasi Kelompok Jigsaw
23
2.1.4 Media Pembelajaran
a) Pengertian Media Pembelajaran
R. Ibrahim dan Nana Syaodih S. (2010:112) menyebutkan bahwa media
pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untukmenyalurkan pesan
atau isi pelajaran, merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan siswa,
sehingga dapatmendorong proses belajar mengajar.
Gagne (1970) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponendalam
lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar. Sementara ituBriggs
(1970) berpendapat bahwa media adalah segala alat fisik yang dapatmenyajikan
pesan serta merangsang siswa untuk belajar. (Arif S. Sadiman, 2003: 6)
Dari berbagai definisi dari media diatas, dapat diambil kesimpulan bahwamedia
adalah segala sesuatu dalam lingkungan siswa dan merupakan non personal(bukan
manusia) yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan atau isipelajaran sehingga
dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dankemampuan siswa dalam proses
belajar mengajar.
b) Fungsi Media Pembelajaran
Penggunaan media pembelajaran adalah sebagai salah satu usaha guru untuk
membuat pengajaran lebih konkret, memperjelas, membuat konsep yang kompleks
menjadi lebih sederhana, dan membuat siswa lebih termotivasi dalam menjalani
kegiatan pembelajaran. Sehingga secara tidak langsung, penggunaan media
pembelajaran dapat membantu meningkatkan pemahaman dan daya serapsiswa
terhadap materi pelajaran yang dipelajari. Diantara fungsi-fungsi daripenggunaan
media pembelajaran menurut M. Basyarudin Usman antara lain adalah:
1) Membantu memudahkan belajar bagi siswa dan membantu memudahkan
mengajar bagi guru.
2) Memberikan pengalaman lebih nyata (yang abstrak dapat menjadi lebih konkrit).
3) Menarik perhatian siswa lebih besar (kegiatan pembelajaran dapat berjalan lebih
menyenangkan dan tidak membosankan).
4) Semua indra siswa dapat diaktifkan.
24
5) Lebih menarik perhatian dan minat murid dalam belajar.
Beberapa manfaat media pembelajaran menurut Nana Sudjana dan Ahmad
Rifai adalah:
1) Pembelajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan
motivasi belajar.
2) Bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami
oleh siswa dan memungkinkan siswa menguasai tujuan pembelajaran lebih baik.
3) Metode pembelajaran akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal
melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak
kehabisan tenaga, apalagi bila guru mengajar untuk setiap jam pelajaran.
4) Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan
uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti pengamatan, melakukan,
mendemonstrasikan dan lain-lain.
c) Klasifikasi Media Pembelajaran
Aneka ragam media pembelajaran menurut R.Ibrahim dan Nana Syaodih S (2003:
144) dapat diklasifikasikan berdasarkan ciri-ciri tertentu. Brets membuat klasifikasi
berdasarkan adanya tiga ciri, yaitu: suara(audio), bentuk (visual) dan gerak (motion).
Atas dasar ini, Brets mengemukakan beberapa kelompok media sebagai berikut:
1) Media audio-motion-visual, yakni media yang mempunyai suara, gerakan dan
bentuk objektif dapat dilihat. Media semacam ini paling lengkap. Jenis media
yang termasuk kelompok ini adalah televise, video, dan film bergerak.
2) Media audio-still-visual, yakni media yang mempunyai suara objeknya dapat
dilihat, namun tidak ada gerakan, seperti film strip bersuara, slide bersuara, dan
rekaman televisi dengan gambar tak bergerak.
3) Media audio-semi-motion, mempunyai suara dan gerakan, namun tidak
menampilkan suatu gerakan secara utuh. Salah satu contoh dari media jenis ini
adalah papan tulis jarak jauh atau tele-blackboard.
4) Media motion-visual, yakni media yang mempunyai gambar objek bergerak, tapi
tanpa mengeluarkan suara, seperti film bisu yang bergerak.
25
5) Media still-visual, yaitu ada objek namun tidak ada gerakan, seperti film strip dan
slide tanpa suara.
6) Media audio, yaitu hanya menggunakan suara, seperti radio, telepon, dan tape.
7) Media cetak, yang tampil dalam bentuk bahan-bahan tercetak/seperti buku,
modul, gambar, kartu, pamphlet, dll.
d) Media Kartu Aksara Jawa
Media kartu Aksara Jawa yang dalam penelitian ini, berisikan pesan atau
informasi mengenai kata, frasa, dan klausa beraksara Jawa nglegena, bersandhangan,
dan berpasangan. Melalui pemainan kartu Aksara Jawa ini dimaksudkan untuk
melatih keterampilan siswa dalam membaca maupun menulis kata, frasa, dan klausa
berhuruf Jawa.
Kartu aksara tersebut berupa kartu-kartu kecil yang terbuat dari potongan kertas
HVS warna-warni dengan ukuran 6 x 9 cm yang bertuliskan kata atau frasa, dan atau
klausa berhuruf Jawa dengan hiasan bingkai pada tepi kartu sebagai penghias agar
menarik perhatian siswa. Kartu Aksara Jawa ini terdiri atas empat set kartu yang
masing-masing set terdiri atas:
1) Set pertama (I) : berisi huruf Jawanglegena;
2) Set kedua (II) : berisipasanganAksara Jawa;
3) Set ketiga (III) : berisi kata yang menggunakansandhanganAksara Jawa;
4) Set keempat (IV) : berisi kata yang menggunakan pasangan serta sandhangan;
5) Set terbaru : berisi kalimat sederhana berhuruf Jawa yang menggunakan
pasangan serta sandhangan.
Set pertama dan set kedua hanya digunakan sebagai permainan awal saat
apersepsi untuk mengingat kembali akan penguasaan Aksara Jawa nglegena atau
huruf asli tanpa sandhangan. Sedangkan set ketiga, set keempat hingga set terbaru
digunakan dalam kegiatan inti dalam pembelajaran dengan berprinsip pada model
pembelajaran jigsaw. Setiap set kartu tersebut terdiri atas 10 kartu dengan 4 warna
yang akan dimainkan oleh masing-masing kelompok. Satu kelompok bermain yang
terdiri atas 5 siswa diberikan 1 set kartu, dengan jumlah anggota kelompok adalah 5
26
(lima) orang siswa yang bersifat heterogen. Para anggota kelompok bekerjasama dan
menekankan dukungan bersama, bukan kompetisi diantara anggota kelompok.
Masing-masing anggota kelompok dalam permainan kartu aksara ini akan
memberikan sumbangan daftar kata, frasa, dan atau klausa sehingga akan tersusun
sebuah kalimat yang baik dan benar.
Media kartu Aksara Jawa ini berfungsi untuk melatih keterampilan membaca
sekaligus menulis Aksara Jawa, baik dalam tataran kata, frasa, maupun klausa.
Namun dalam penelitian ini lebih menekankan pada keterampilan membaca saja.
Cara menggunakan kartu ini adalah dengan bermain. Oleh karena itu, media kartu ini
dapat juga digolongkan dalam kategori permainan bahasa.
Permainan kartu Aksara Jawa dalam penelitian ini dirancangkan dengan
berpedoman pada prinsip-prinsip pembelajaran cooperative learning teknik jigsaw.
Adapun cara bermain kartu Aksara Jawa ini adalah sebagai berikut.
1) Siswa dibagi dalam 4 (empat) kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 5
(lima) orang siswa;
2) Satu kelompok akan mendapatkan 1 set kartu yang berjumlah 10 kartu. Kartu-
kartu tersebut dibedakan menjadi 4 warna, yaitu merah, hijau, putih dan biru.
Masing-masing warna berjumlah 2 buah kartu;
3) Salah seorang pemain membagi kartu untuk masing-masing anggota
kelompoknya. Setiap pemain mendapatkan 1 warna yang berjumlah 2 kartu;
4) Masing-masing pemain membaca kartu berhuruf Jawa yang dibawanya dan
menuliskan ke aksara Latin dalam lembar daftar kata (warna kartu yang
didapatkannya juga dituliskan);
5) Setiap pemain yang telah selesai melaksanakan langkah no. 4, harus menukarkan
kartunya dengan pemain lain sehingga masing-masing pemain akan membaca
kata dari 4 warna kartu (10 kartu);
6) Satu kata yang tertulis dalam lembar daftar kata benar, maka pemain berhak
mendapatkan nilai 1 (masing-masing pemain maksimal mendapatkan nilai 10);
27
7) Setelah menjumlahkan nilai yang didapat masing-masing pemain, maka para
anggota kelompok akan menyebar dan berkumpul dalam kelompok ahli sesuai
dengan warna kartu, tugas di kelompok ahli adalah mendiskusikan susunan kata
yang terkumpul dari masing-masing kartu sehingga akan tersusun kalimat yang
baik dan benar;
8) Setelah menyelesaikan susunan kalimat berhuruf Latin, pemain mengumpulkan
kembali kartu-kartu dalam tumpukan yang rapi dan diletakkan di atas meja;
9) Anggota kelompok saling bekerjasama untuk menyalin kembali susunan kalimat
beraksara Latin ke dalam Aksara Jawa.
10) Bergabung kembali dengan kelompok asal untuk menyapaikan laporan tim ahli.
Penilaian dalam permainan Aksara Jawa ini berupa pada hasil kerja individu dan
kelompok. Hasil kerja individu dapat diketahui dari daftar kata, frasa, dan klausa
masing-masing pemain. Sedangkan hasil kerja kelompok dapat diketahui dari kalimat
yang berhasil disusun secara baik dan benar oleh para anggota kelompok berdasarkan
kata, frasa, dan atau klausa yang telah dikumpulkan dan disumbangkan masing-
masing pemain.
Langkah-langkah permainan kartu Aksara Jawa III sama. Pada permainan set IV
(keempat) langkah-langkahnya pun sama persis hanya saja kartu-kartu berisi kata,
frasa, dan klausa berhuruf Jawa dengan sandhangan dan panyigeg serta pasangan
sehingga permainan akan menyesuaikan untuk penyusunan kalimat yang baik dan
benar. Begitu juga pada set terbaru yang berisikan kalimat sederhana berhuruf Jawa,
jika dirasa terlalu lama dalam tahap pengoreksian di kelompok asal, maka kegiatan
tersebut dapat dihilangkan dengan tetap menekankan kepada siswa untuk mengoreksi
hasil pekerjaan teman dalam satu kelompok asal.
e) Kelebihan Media Kartu Aksara
1) Mudah di bawa-bawa: dengan ukuran yang kecil sehingga membuat media kartu
huruf dapat disimpan di tas bahkan di saku, sehingga tidak membutuhkan ruang
yang luas, dapat digunakan di mana saja, di kelas ataupun di luar kelas.
28
2) Praktis: dilihat dari cara pembuatan dan penggunaannya, media kartu huruf sangat
praktis, dalam menggunakan media ini guru tidak perlu memiliki keahlian khusus,
media ini tidak perlu juga membutuhkan listrik. Jika akan menggunakan kita
tinggal menyusun urutan gambar sesuai dengan keinginan kita, pastikan posisi
gambarnya tepat tidak terbalik, dan jika sudah digunakan tinggal disimpan
kembali dengan cara diikat atau menggunakan kotak khusus supaya tidak
tercecer. Selain itu biaya pembuatan media kartu huruf ini pun sangatlah murah,
karena dapat menggunakan barang-barang bekas seperti kertas kardus sebagai
kartunya.
3) Mudah diingat: karakteristik media kartu huruf adalah menyajikan huruf-huruf
pada setiap kartu yang disajikan. Sajian huruf-huruf dalam kartu ini akan
memudahkan siswa untuk mengingat dan menghafal bentuk huruf tersebut.
4) Menyenangkan: Media kartu huruf dalam penggunannya bisa melalui permainan.
Misalnya siswa secara berlomba-lomba mencari satu kartu yang bertuliskan huruf
tertentu yang disimpan secara acak, dengan cara berlari siswa berlomba untuk
mencari sesuai perintah. Selain mengasah kemampuan kognitif juga melatih
ketangkasan (fisik).
Gambar 2.2 Set I (pertama) Aksara Jawa nglegena
29
Gambar 2.4 Set II (kedua) pasanganAksara Jawa
Gambar 2.5 Set III dan IV kata berhuruf Jawa menggunakan pasangan
dan sandhangan
30
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Beberapa telaah pustaka yang telah dilakukan berikut ini dikemukakan beberapa
penelitian yang ada kaitannya dengan variabel-variabel penelitian yang dilakukan:
1) Penelitian Mawardi dan Puspasari Nur Indah Prihatini (Jurnal, 2010) perbedaan
efektivitas pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dengan pembelajaran
konvensional pada mata pelajaran PKn kelas IV SD Negeri 1 Badran kecamatan
Kranggan Kabupaten Temanggung. Menyimpulkan bahwa, ada perbedaan yang
signifikan antara hasil belajar PKn siswa kelas IV yang menggunakan
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dengan pembelajaran konvensional. Hasil
belajar siswa yang menggunakan kooperatif tipe jigsaw, menunjukkan ketuntasan
belajar sebesar 96% (24 siswa) dari 25 siswa. Sedangkan pembelajaran
konvensional menunjukkan ketuntasan belajar sebesar 60% (15 siswa). Temuan
penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe jigsaw lebih
efektif daripada pembelajaran konvensional.
2) Hasil Penelitian Ratna Nulinnaja (Jurnal, 2012) menunjukkan peningkatan
motivasi belajar siswa kelas III MI Salafiah Baharudin Ngelom Taman Sidoarjo
dengan menggunakan kartu aksara. Bukti secara kualitatif dapat diketahui dari
suasana kelas yang menjadi lebih semangat, senang dan aktif dalam kerjasama
kelompoknya. Sedangkan bukti secara kuantitatif dapat dilihat dari hasil tes
belajar siswa yang mengalami peningkatan sampai 100% karena hampir semua
memenuhi ketuntasan, sedangkan keaktifan peserta didik pada siklus 1 dan siklus
2 juga terjadi peningkatan dari 83% naik menjadi 85%.
Berdasarkan beberapa telaah yang telah dilakukan oleh peneliti di atas dapat
disimpulkan bahwa terjadi perbedaan terhadap pembelajaran konvensional yang biasa
diterapkan guru dan setelah diterapkan model pembelajaran jigsaw. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya peningkatan proses serta hasil yang lenih baik. Maka
dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran
jigsaw dapat meningkatkan motivasi serta hasil belajar siswa.
31
2.3 Kerangka Berpikir
Alur kerangka pemikiran yang ditujukan untuk mengarahkan jalannya penelitian
agar tidak menyimpang dari pokok-pokok permasalahan, maka kerangka pemikiran
dilukiskan dalam sebuah alur penjelasan agar penelitian mempunyai alur yang jelas
dalam melakukan penelitian. Adapun penjelasan tersebut adalah sebagai berikut:
Pada kondisi awal hasil belajar siswa masih rendah pada mata pelajaran bahasa
Jawa khususnya pada materi Aksara Jawa. Sedangkan motivasi siswa dalam mata
pelajaran ini dibuktikan dengan ketidakantusisme siswa pada materi Aksara Jawa
kurang yang berimbas pada hasil belajar tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya
tindakan dalam proses pembelajaran yang dapat meningkatan penguasaan Aksara
Jawa dengan hasil meningkatnya pula hasil belajar siswa serta motivasi/ dorongan
dalam mata pelajaran Bahasa Jawa.
Tindakan melalui pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran jigsaw
dengan media kartu Aksara Jawa. Model pembelajaran ini dapat membantu siswa
secara aktif bekerjasama menyelesaikan tahap-tahap membaca maupun menulis
Aksara Jawa. Setiap anggota dalam kelompok-kelompok kecil tersebut akan
memberikan sumbangan pada keberhasilan kelompok.Siswa diajarkan untuk belajar
bagaimana cara belajar, belajar bagaimana membuat sesuatu, belajar bagaimana
hidup bersama-sama, dan belajar bagaimana cara siswa berkomunikasi dengan baik
untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan mengkomunikasikannya kepada teman-
temannya yang lain. Kemampuan komunikasi siswa dilatih melalui diskusi kelompok
ahli dan kelompok asal dalam model pembelajaran jigsaw.
Untuk menunjang penggunaan model pembelajaran jigsaw agar gagasan atau
materi pelajaran sampai pada siswa, dapat digunakan media pembelajaran kartu
aksara, selain untuk menarik perhatian dan minat belajar siswa, media ini juga dapat
membantu dan mempermudah guru untuk pemyampaian materi membaca Aksara
Jawa. Peneliti berharap dengan penggunaan media kartu aksara pada pembelajaran
Bahasa Jawa dapat meningkatkan motasi serta penguasaan Aksara Jawa pada siswa
kelas 5 SD N Mangunsari 06 Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga.
32
2.4 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan landasan teori dan kerangka pemikiran, maka dapat dirumuskan
hipotesis penelitian tindakan kelas sebagai berikut :
a) Motivasi siswa pada pembelajaran Bahasa Jawa kelas 5 semester II SD Negeri
Mangunsari 06 Salatiga tahun pelajaran 2012/2013 dapat ditingkatkan melalui
penerapan model pembelajaran Jigsaw dengan media kartu aksara.
b) Hasil belajar siswa pada pembelajaran Bahasa Jawa kelas 5 semester II SD
Negeri Mangunsari 06 Salatiga tahun pelajaran 2012/2013 dapat ditingkatkan
melalui penerapan model pembelajaran Jigsaw dengan media kartu aksara.