BAB II KAJIAN PUSTAKA -...

48
13 BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bagian Bab II kajian pustaka ini akan dibahas tentang kajian teori yang mencakup : kompetensi guru SD, Kemampuan Guru SD dalam Menyusun Instrumen Penilaian Ranah Sikap, Pengembangan Kemampuan Guru melalui Pelatihan, Tindakan Sekolah dalam bentuk Pelatihan Sebagai Upaya Peningkatan Kemampuan Guru, Pengembangan Kemampuan Guru melalui Model In House Training (IHT). Selanjutnya dipaparkan tentang Kajian Penelitian yang Relevan, Kerangka Pikir, dan Hipotesis Tindakan. 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Kompetensi Guru SD Sebagai pengantar, sebelum penulis memaparkan pengertian kompetensi guru, dikemukakan terlebih dahulu pengertian kompetensi secara umum. Marwansyah (2010: 36) mengemukakan kompetensi adalah perpaduan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan karakteristik pribadi lainnya yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan dalam sebuah pekerjaan, yang bisa diukur dengan standar yang

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA -...

13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Pada bagian Bab II kajian pustaka ini akan

dibahas tentang kajian teori yang mencakup :

kompetensi guru SD, Kemampuan Guru SD dalam

Menyusun Instrumen Penilaian Ranah Sikap,

Pengembangan Kemampuan Guru melalui Pelatihan,

Tindakan Sekolah dalam bentuk Pelatihan Sebagai

Upaya Peningkatan Kemampuan Guru, Pengembangan

Kemampuan Guru melalui Model In House Training

(IHT). Selanjutnya dipaparkan tentang Kajian Penelitian

yang Relevan, Kerangka Pikir, dan Hipotesis Tindakan.

2.1. Kajian Teori

2.1.1. Kompetensi Guru SD

Sebagai pengantar, sebelum penulis

memaparkan pengertian kompetensi guru,

dikemukakan terlebih dahulu pengertian

kompetensi secara umum. Marwansyah (2010: 36)

mengemukakan kompetensi adalah perpaduan

pengetahuan, keterampilan, sikap, dan

karakteristik pribadi lainnya yang diperlukan

untuk mencapai keberhasilan dalam sebuah

pekerjaan, yang bisa diukur dengan standar yang

14

telah disepakati, dan dapat ditingkatkan melalui

pelatihan dan pengembangan. Robbins (2001: 276)

menyebut kompetensi sebagai ability, yaitu

kapasitas seseorang individu untuk mengerjakan

berbagai tugas dalam suatu pekerjaan.

Selanjutnya dikatakan bahwa kemampuan

individu dibentuk oleh dua faktor, yaitu faktor

kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.

Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang

diperlukan untuk melakukan kegiatan mental

sedangkan kemampuan fisik adalah kemampuan

yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas

yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan

keterampilan. Dari pengertian yang dikemukakan

Marwansyah dan Robinson, dapat dikatakan

bahwa sebenarnya kompetensi tidak hanya

mengandung pengetahuan, keterampilan dan

sikap, namun yang penting adalah penerapan dari

pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang

diperlukan tersebut dalam berbagai pekerjaan.

Pekerjaan-pekerjaan itu antara lain sebagai guru,

dokter, polisi, perawat, tentara dan lain-lain.

Berkaitan dengan kompetensi yang

berhubungan dengan pekerjaan guru, Mulyasa

(2003: 20) mengemukakan bahwa kompetensi

guru: “…is a knowledge, skills, and abilities or

15

capabilities that a person achieves, which become

part of his or her being to the extent he or she can

satisfactorily perform particular cognitive, affective,

and psychomotor behaviors”. Dalam hal ini,

kompetensi guru diartikan sebagai pengetahuan,

ketrampilan, dan kemampuan yang dikuasai oleh

guru yang telah menjadi bagian dari dirinya,

sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku

kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-

baiknya. Sejalan dengan itu Mulyasa (2003: 21)

mengartikan kompetensi guru sebagai penguasaan

terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap, dan

apresiasi yang diperlukan untuk menunjang

keberhasilan. Muhaimin (2004: 59) menjelaskan

kompetensi adalah seperangkat tindakan intelegen

penuh tanggung jawab yang harus dimiliki

seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu

melaksanakan tugas-tugas dalam bidang

pekerjaan tertentu. Sifat intelegen harus

ditunjukan sebagai kemahiran, ketetapan, dan

keberhasilan bertindak. Sifat tanggung jawab

harus ditunjukkan sebagai kebenaran tindakan

baik dipandang dari sudut ilmu pengetahuan,

teknologi maupun etika.

Depdiknas (2005: 34) merumuskan definisi

kompetensi guru sebagai pengetahuan,

16

ketrampilan, dan nilai-nilai dasar yang dimiliki

oleh seorang guru, yang direfleksikan dalam

kebiasaan berfikir dan bertindak. Menurut Syah

(2000: 35), “kompetensi” adalah kemampuan,

kecakapan, keadaan berwenang, atau memenuhi

syarat menurut ketentuan hukum. Selanjutnya

masih menurut Syah, dikemukakan bahwa

kompetensi guru adalah kemampuan seorang guru

dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara

bertanggung jawab dan layak.

Robotham (1996: 25), meyakini bahwa

kompetensi yang diperlukan oleh seseorang

tersebut dapat diperoleh baik melalui pendidikan

formal maupun pengalaman. Jadi kompetensi

profesional guru dapat diartikan sebagai

kemampuan dan kewenangan guru dalam

menjalankan profesi keguruannya. Guru yang

kompeten dan profesional adalah guru piawai

dalam melaksanakan profesinya. Berdasarkan

uraian di atas kompetensi guru dapat didefinisikan

sebagai penguasaan terhadap pengetahuan,

keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan

dalam kebiasaan berpikir dan bertindak dalam

menjalankan profesi sebagai guru.

Menurut Undang-Undang No.14 tahun

2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 10 ayat (1)

17

kompetensi guru meliputi: a) kompetensi

pedagogik, b) kompetensi kepribadian, c)

kompetensi sosial, dan d) kompetensi profesional.

Depdiknas (2004) menyebut kompetensi

pedagogik merupakan kemampuan guru dalam

merencanakan program belajar mengajar,

kemampuan melaksanakan interaksi atau

mengelola proses belajar mengajar, dan

kemampuan melakukan penilaian. Dalam Undang-

Undang Guru dan Dosen dikemukakan

kompetensi kepribadian adalah “kemampuan

kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif,

dan berwibawa serta menjadi teladan peserta

didik”. Sedangkan kompetensi profesional adalah

“kemampuan penguasaan materi pelajaran secara

luas dan mendalam” (Undang-Undang No. 14

tahun 2005 tentang Guru dan Dosen).

Secara legal, Standar Kompetensi

Pedagogik Guru SD/MI berdasarkan Permen No.

16 Tahun 2007 meliputi: 1) menguasai

karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral,

sosial, kultural, emosional, dan intelektual, 2)

menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip

pembelajaran yang mendidik, 3) mengembangkan

kurikulum yang terkait dengan mata

pelajaran/bidang pengembangan yang diampu, 4)

18

menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik,

5) memanfaatkan teknologi informasi dan

komunikasi untuk kepentingan pembelajaran, 6)

memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik

untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang

dimiliki, 7) Berkomunikasi secara efektif, empatik,

dan santun dengan peserta didik, 8)

menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses

dan hasil belajar, 9) memanfaatkan hasil penilaian

dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran,

dan 10) melakukan tindakan reflektif untuk

peningkatan kualitas pembelajaran.

Menurut Undang-Undang No. 14 tahun

2005 tentang Guru dan Dosen, kompetensi

profesional adalah “kemampuan penguasaan

materi pelajaran secara luas dan mendalam”.

Surya (2003: 138) mengemukakan kompetensi

profesional adalah berbagai kemampuan yang

diperlukan agar dapat mewujudkan dirinya

sebagai guru profesional. Kompetensi profesional

meliputi kepakaran atau keahlian dalam

bidangnya yaitu penguasaan bahan yang harus

diajarkan beserta metodenya, rasa tanggung jawab

akan tugas dan rasa kebersamaan dengan sejawat

guru lainnya. Asian Institut for Teacher Education

mengemukakan kompetensi profesional guru

19

mencakup kemampuan dalam hal 1) mengerti dan

dapat menerapkan landasan pendidikan baik

filosofis, psikologis, dan sebagainya, 2) mengerti

dan menerapkan teori belajar sesuai dengan

tingkat perkembangan perilaku peserta didik, 3)

mampu menangani mata pelajaran atau bidang

studi yang ditugaskan kepadanya, 4) mengerti dan

dapat menerapkan metode mengajar yang sesuai,

5) mampu menggunakan berbagai alat pelajaran

dan media serta fasilitas belajar lain, 6) mampu

mengorganisasikan dan melaksanakan program

pengajaran, 7) mampu melaksanakan evaluasi

belajar dan 8) mampu menumbuhkan motivasi

peserta didik.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

(Permendiknas) No. 16 Tahun 2007 tentang

Standar Kompetensi Guru, sebagai penjabaran

dari Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang

Guru dan Dosen menjelaskan bahwa standar

kompetensi profesional guru meliputi: 1)

menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir

keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang

diampu, 2) menguasai standar kompetensi dan

kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu, 3)

mengembangkan materi pembelajaran yang

diampu secara kreatif, 4) mengembangkan

20

keprofesionalan secara berkelanjutan dengan

melakukan tindakan reflektif dan 5)

memanfaatkan teknologi informasi dan

komunikasi untuk mengembangkan diri. Khusus

tentang kompetensi profesional mampu menangani

mata pelajaran atau bidang studi yang ditugaskan

kepadanya, guru SD/MI sebagai guru kelas harus

menguasai lima bidang ke-SD-an.

2.1.2. Kemampuan Guru SD dalam Menyusun

Instrumen Penilaian Ranah Sikap

Kemampuan guru SD dalam menyusun instrumen

penilaian ranah sikap adalah kemampuan dalam

hal: a) memahami hakekat penilaian, b)

memahami hakekat penilaian sikap, c) memilih

instrumen penilaian ranah sikap, d) memahami

langkah-langkah penyusunan penilaian ranah

sikap model skala Likert.

Kemampuan guru tersebut selanjutnya

dipraktekkkan dalam penyusunan instrumen

penilaian ranah skala sikap pada topik-topik

tertentu dalam pembelajaran yang menekankan

pada penilaian ranah afektif.

a. Hakikat Penilaian

Istilah penilaian merupakan suatu ke-

giatan guru selama rentang pembelajaran yang

21

berkaitan dengan pengambilan keputusan

tentang pencapaian kompetensi peserta didik

yang memiliki karakteristik individual yang unik

(Depdiknas. 2006). Dalam rangka pengambilan

keputusan tersebut, diperlukan data sebagai

informasi yang diandalkan sebagai dasar

pengambilan keputusan. Data yang diperoleh

guru selama pembelajaran berlangsung dijaring

dan dikumpulkan melalui prosedur dan alat

penilaian yang sesuai dengan kompetensi atau

indikator yang akan dinilai. Dari proses ini,

diperoleh potret/profil kemampuan peserta didik

dalam mencapai sejumlah standar kompetensi

dan kompetensi dasar yang dirumuskan dalam

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan masing-

masing.

Dari rumusan tentang pengertian asesmen

proses dan hasil belajar tersebut di atas, nampak

jelas bahwa ada empat komponen penting dalam

asesmen proses dan hasil belajar, yaitu:

Pertama, pelacakan terhadap kompetensi

siswa mencakup proses dan hasil belajar.

Asesmen proses dilakukan selama proses

pembelajaran berlangsung pada setiap

pertemuan dan beberapa pertemuan berikutnya

(dilakukan pada awal, pertengahan atau akhir

22

pertemuan). Hasil asesmen proses memberikan

gambaran tentang kompetensi siswa (sementara)

pada pertemuan tersebut. Hasil pemantauan

kompetensi sementara ini menjadi bahan acuan

bagi guru dalam menentukan langkah

pembelajaran berikutnya. Apakah RPP yang telah

direncanakan dapat dilanjutkan atau dilakukan

penyesuaian, perbaikan atau bahkan menyusun

RPP baru. Idealnya siklus asesmen proses ini

dilakukan terus menerus pada setiap pertemuan

dengan mengacu indikator yang telah ditetapkan.

Pada akhirnya setelah terlaksana beberapa

siklus asesmen pembelajaran diperoleh

gambaran pencapaian kompetensi siswa pada

satu kompetensi dasar yang mencakup semua

indikator. Sedangkan asesmen hasil belajar

dilakukan minimal setelah satu kompetensi

dasar dipelajari. Bila cakupan kompetensinya

cukup luas, asesmen hasil belajar dapat

dilakukan lebih dari satu kali, dan tidak perlu

semua indikator diasesmen. Cukup indikator-

indikator esensial yang menjadi parameter

pencapaian kompetensi dasarnya. Oleh karena

basis asesmen proses dan hasil belajar adalah

sejauh mana sebuah kompetensi telah dicapai

oleh siswa, maka Mulyasa (2002:103)

23

menyamakan terminologi asesmen proses dan

hasil belajar ini sebagai Penilaian Berbasis

Kompetensi/PBK (Competency Based Assesment).

Kedua, kompetensi siswa sebagai tujuan

pembelajaran hakikatnya adalah kesatuan utuh

(holistik) pengetahuan, ketrampilan serta nilai-

nilai dan sikap yang dapat ditampilkan siswa

dalam berpikir dan bertindak (bandingkan

dengan Mulyasa, 2002: 37). Oleh karena itu

asesmen harus mencakup ranah kognitif, afektif

dan psikomotor.

Ketiga, asesmen dilakukan selama rentang

pembelajaran; maknanya bahwa asesmen

merupakan satu kesatuan integral dalam

merancang dan melaksanakan pembelajaran,

bukan bagian yang terpisah dari pembelajaran.

Keempat, pengambilan keputusan dalam

asesmen didasarkan pada karakteristik siswa

secara individual. Maknanya bahwa keputusan

tentang tingkat pencapaian kompetensi siswa

harus memperhatikan konstruk pengetahuan

yang dibangun oleh masing-masing siswa secara

individual, seturut dengan paradigma

konstruktivisme. Oleh karena itu guru harus

menggunakan berbagai data/informasi yang

diperoleh dari berbagai teknik dan instrumen

24

asesmen sesuai dengan karakteristik masing-

masing siswa, baik teknik tes maupun non tes.

b. Hakikat Penilaian Ranah Sikap

Salah satu ranah dalam penilaian di

sekolah adalah penilaian tentang sikap. Bahkan

dalam Kurikulum 2013, ranah sikap semakin

ditonjolkan dengan adanya kompetensi inti (KI) 1

dan 2 tentang sikap spiritual dan sikap sosial.

Tuntutan adanya penilaian sikap tersebut

memaksa guru untuk memahami bagaimana

sikap dan penilaian sikap itu. Azwar (2011: 4)

mendefinisikan sikap sebagai suatu pola

perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif,

predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam

situasi sosial, atau secara sederhana, sikap

adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah

terkondisikan. Lebih lanjut Azwar (2011: 4)

mendefinisikan sikap sebagai keteraturan

tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran

(kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi)

seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan

sekitarnya.

Naniek Sulistyawardani, dkk (2012: 135)

menyebutkan bahwa instrumen yang sering

digunakan untuk mengukur sikap biasanya juga

25

disebut skala sikap. Dan juga menjelaskan

bahwa skala sikap merupakan gambaran tentang

kecenderungan perilaku atau reaksi seseorang

terhadap objek atau stimulus yang datang

padanya. Sikap dapat diartikan juga sebagai

bentuk perasaan mendukung (favourable) dan

perasaan tidak mendukung (unfavourable) pada

suatu objek. Naniek Sulistyawardani, dkk (2012:

137) menjelaskan tentang macam-macam skala

sikap, yaitu skala numerik, skala deskriptif dan

skala grafis. Skala numerik, menggunakan

angka-angka untuk menunjukan gradasi-gradasi

disertai penjelasan singkat pada masing-masing

angka. Skala deskriptif menggunakan

serangkaian frasa untuk menunjukan ciri-ciri

yang dinilai. Frasa disusun dari atas ke bawah,

sedangkan responden diminta membubuhkan

tanda centang pada frasa yang terdekat dengan

ciri-ciri yang dimaksud. Sedangkan skala grafis,

menggunakan suatu garis berkesinambungan.

Gradasi-gradasi ditunjukkan pada garis itu

dengan menyajikan deskripsi singkat di bawah

garis. Pada skala grafis, penilai cukup

membubuhkan tanda cek pada titik yang tepat di

atas garis horizontal yang menghubungkan dua

26

ujung ekstrim tingkah laku yang sedang

dipermasalahkan.

Azwar (2011: 23) menjelaskan bahwa

struktur sikap terdiri dari tiga komponen yang

saling menunjang yaitu kognisi, afeksi dan

konasi. Komponen kognisi merupakan

representasi apa yang dipercayai oleh individu

pemilik sikap. Komponen kognisi berisi tentang

kepercayaan seseorang mengenai apa yang

berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap.

Komponen afeksi merupakan perasaan yang

menyangkut aspek emosional subjektif seseorang

terhadap suatu objek sikap. Secara umum,

komponen ini disamakan dengan perasaan yang

dimiliki terhadap sesuatu. Namun, pengertian

perasaan pribadi seringkali sangat berbeda

perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap.

Komponen konatif merupakan aspek

kecenderungan berperilaku tertentu sesuai

dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang.

Komponen konatif menunjukan bagaimana

perilaku atau kecenderungan berperilaku yang

ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek

sikap yang dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh

asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan

banyak mempengaruhi perilaku. Maksudnya,

27

bagaimana orang berperilaku dalam situasi

tertentu dan terhadap stimulus tertentu akan

banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan

dan perasaannya terhadap stimulus tersebut.

Kecenderungan berperilaku secara konsisten,

selaras, dengan kepercayaan dan perasaan ini

membentuk sikap individual. Karena itu, logis

untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang

akan dicerminkan dalam bentuk tendensi

perilaku terhadap objek.

c. Instrumen Penilaian Ranah Sikap Model Skala

Likert

Skala likert pertama kali dikembangkan

oleh Rensis Linkert pada tahun 1932 dalam

mengukur sikap masyarakat. Skala ini

menggunakan ukuran ordinal sehingga dapat

membuat ranking walaupun tidak diketahui

berapa kali responden yang satu lebih baik atau

lebih buruk dari responden lainnya. Jawaban

setiap item insttrumen yang menggunakan skala

Likert mempunyai gradasi dari sangat positif

sampai sangat negatif, yang dapat berupa kata-

kata antara lain: Sangat Penting (SP), Penting (P),

Tidak Penting (TP), Sangat Tidak Penting (STP)

atau (1) Sangat Setuju, (2) Setuju, (3) Tidak

28

Setuju, (4) Sangat Tidak Setuju. Urutan setuju

atau tidak setuju dapat dibalik mulai dari sangat

tidak setuju sampai dengan sangat setuju.

d. Langkah-langkah Penyusunan Instrumen

Penilaian Sikap Model Skala Likert

Naniek Sulistyawardani, dkk (2012: 208)

menyebutkan langkah-langkah dalam menyusun

skala Likert:

1) Memilih obyek sikap yang akan diukur.

2) Membuat beberapa pernyataan tentang

variabel sikap yang dimaksud.

3) Mengklarifikasikan pernyataan positif atau

negatife.

4) Menentukan jumlah gradual dan frase atau

angka yang dapat menjadi alternatif pilihan.

5) Menyusun pernyataan dan pilihan jawaban

menjadi sebuah penilaian.

6) Melakukan uji coba.

7) Membuang butir-butir pernyataan yang

kurang baik.

8) Melaksanakan penilaian.

Objek sikap merupakan orang, benda,

peristiwa, lembaga, idea, norma, nilai, budaya dan

lainnya. Azwar (2011: 108) menyatakan bahwa

perancangan skala sikap terdapat dua hal penting

yang harus diperhatikan, yaitu penentuan obyek

29

sikap yang akan diukur dan definisi obyek sikap

tersebut. Penentuan dan penyusunan definisi obyek

sikap merupakan langkah penting karena kita

mengetahui persis akan tujuan pengukuran yang

dilakukan dan mempunyai gambaran yang jelas

mengenai objek sikap. Suatu skala hendaknya

mencakup aspek objek sikap yang luas dan relevan.

Cakupan ini menyertakan semua aspek yang

penting bagi objek sikap dan meninggalkan aspek-

aspek yang tidak begitu berarti. Untuk

mengintegrasikan batasan komponen perilaku dan

komponen objek sikap, biasanya digunakan

semacam tabel spesifikasi atau blue-print.

Azwar (2011: 114) juga menjelaskan

beberapa kriteria untuk menulis pernyataan.

Kriteria tersebut sebagai berikut: 1) Hindari menulis

pernyataan yang membicarakan mengenai kejadian

yang berkaitan dengan masa lalu; 2) Hindari

menulis pernyataan yang berupa fakta atau

ditafsirkan sebagai fakta; 3) Hindari menulis

pernyataan yang dapat menimbulkan lebih dari satu

penafsiran; 4) Hindari menulis pernyataan yang

tidak relevan dengan objek psikologisnya; 5) Hindari

menulis pernyataan yang sangat besar

kemungkinannya akan disetujui oleh hampir semua

orang atau bahkan hampir tidak seorangpun yang

30

akan menyetujuinya; 6) Pilihlah pernyataan-

pernyataan yang diperkirakan akan mencangkup

keseluruhan liputan skala afektif yang diinginkan;

7) Usahakan agar setiap pernyataan ditulis dalam

bahasa yang sederhana, jelas dan langsung. Jangan

menuliskan pernyataan dengan menggunakan

kalimat-kalimat yang rumit; 8) Setiap pernyataan

hendaknya ditulis ringkas dengan menghindari

kata-kata yang tidak diperlukan dan yang tidak

akan memperjelas isi pernyataan; 9) Setiap

pernyataan harus berisi hanya satu ide (gagasan)

yang lengkap; 10) Pernyataan berisi unsur universal

seperti “tidak pernah:, “semuanya”, “tak seorang

pun”, dan semacamnya, seringkali menimbulkan

penafsiran yang berbeda-beda dan karenanya

sedapat mungkin hendaklah menghindari; 11) Kata-

kata seperti “hanya”, “sekedar”, “semata”, dan

semacamnya harus digunakan seperlunya saja dan

dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kesalahan

penafsiran isi pernyataan; 12) Hindari menggunakan

kata atau istilah yang mungkin tidak dapat

dimengerti oleh para responden; dan 13) Hindari

pernyataan yang berisi kata negatif ganda.

Sebelum menuliskan pernyataan sikap,

umumnya disusun terlebih dahulu tabel kisi-kisi

skala sikap. Suatu tabel kisi-kisi umumnya berupa

31

tabel dua jalan, yaitu berisikan aspek objek sikap

dan komponen sikap seperti tabel 2.1 di bawah ini.

Tabel 2.1 Kisi-kisi Skala Sikap Model Likert

Aspek

objek sikap

Komponen sikap Total

(%) Afeksi Kognisi Konasi

Komponen 1

Komponen 2

Komponen 3

Komponen 4

Dst

Total (%) 100%

Angka-angka dalam setiap kotak atau sel

menunjukan banyaknya pernyataan sikap yang

perlu dibuat agar skala itu nanti setelah selesai

ditulis akan mencakup keseluruhan aspek-aspek

objek sikap secara proporsional sesuai dengan bobot

relevansi setiap aspek dalam komponen objek sikap

yang telah ditentukan. Bobot relevansi ini dapat

ditentukan berdasarkan judgment perancangan

sendiri atau hasil diskusi dengan pihak ahli atau

mungkin dari temuan penelitian yang pernah ada.

Apabila tidak ada dasar yang jelas untuk

32

membedakan bobot relevansi tersebut kita dapat

menyamakan saja semua bobot untuk semua aspek.

Sedangkan langkah untuk menyusun pernyataan

skala sikap adalah sebagai berikut :

a. Memberikan batasan dan tujuan yang berkaitan

dengan obyek sikap.

b. Menyusun kisi-kisi komponen/ indikator

variabel objek sikap.

c. Merumuskan pernyataan sikap sesuai dengan

kisi-kisi yang telah disusun.

d. Menandai pernyataan favorable dan unfavorable,

upayakan jumlah seimbang (Mawardi, 2013: 28).

Langkah berikutnya adalah menentukan

skor setiap pernyataan skala sikap. Menurut Azwar

(2011: 138), penentuan skor setiap pernyataan skala

sikap dilakukan dengan metode rating yang

dijumlahkan. Metode rating yang dijumlahkan

sering dinamakan penskalaan model Likert. Metode

ini merupakan penskalaan pernyataan sikap yang

menggunakan distribusi respon sebagai dasar

penentu nilai skalanya. Dalam pendekatan ini tidak

perlu adanya kelompok panel penilai, dikarenakan

nilai skala setiap pernyataan tidak akan ditentukan

oleh derajat favorabelnya masing-masing akan tetapi

ditentukan oleh distribusi respon setuju atau tidak

setuju dari sekelompok uji coba.

33

Untuk melakukan penskalaan dengan

metode ini, sejumlah pernyataan sikap telah ditulis

berdasarkan kaidah penulisan pernyataan dan

didasarkan pada rancangan skala yang telah

ditetapkan. Responden diminta untuk menyatakan

kesetujuan atau ketidak setujuannya terhadap isi

pernyataan dalam lima macam kategori jawaban,

yaitu Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS),

Entahlah (E), Setuju (S) dan Sangat Setuju (SS)

(Azwar (2011: 140).

Ada dua cara untuk menentukan skala

menurut Azwar (2011: 141), yaitu dengan cara

menentukan skala deviasi normal dan menentukan

nilai skala dengan cara sederhana.

1) Menentukan Skala dengan Deviasi Normal

Azwar (2011: 141) menjelaskan tentang

cara menentukan skala dengan deviasi normal.

Tujuan penentuan nilai skala dengan deviasi

normal adalah untuk memberi bobot tertinggi

bagi kategori jawaban yang paling favorabel dan

memberikan bobot rendah bagi kategori jawaban

yang tidak favorabel. Jawaban favorabel adalah

respon setuju terhadap pernyataan yang

favorabel dan respon tidak setuju terhadap

pernyataan yang tak-favorabel. Jawaban tidak

34

favorabel adalah respon tidak setuju terhadap

pernyataan yang tak-favorabel.

Dari jawaban responden terhadap setiap

pernyataan akan diperoleh distribusi frekuensi

responden bagi setiap kategori, yang kemudian

secara komulatif akan dilihat deviasinya menurut

deviasi normal. Dari sinilah nilai skala dapat

ditentukan. Nilai skala ini kemudian akan

menjadi skor terhadap jawaban individual

responden yang diukur sikapnya.

2) Menentukan Nilai Skala dengan Cara Sederhana

Selain menentukan nilai skala dengan

deviasi normal, menentukan nilai skala dapat

juga dilakukan dengan cara sederhana.

Penentuan nilai skala dengan memberikan bobot

dalam satuan deviasi normal bagi setiap kategori

jawaban merupakan cara yang cermat dan akan

menghasilkan interval yang tepat dalam

meletakkan masing-masing kategori pada suatu

kontinum psikologis. Adanya fasilitas komputer

sangat memudahkan prosedur analisisnya.

Walaupun cara itu memerlukan waktu dan

tenaga yang banyak, setiap penyusunan skala

sikap hendaklah berusaha melakukannya.

Apabila skala sikap yang disusun tidak

untuk digunakan sebagai instrumen pengukuran

35

yang menyangkut pengambilan keputusan yang

penting sekali, seperti pada penelitian

pendahuluan atau studi kelompok secara kecil-

kecilan, kadang-kadang demi kepraktisan

penyusunan skala sikap dapat menempuh cara

sederhana untuk menentukan nilai skala

pernyataan-pernyataan sikap yang ditulisnya.

Dengan cara sederhana, untuk suatu

pernyataan yang bersifat favorabel jawaban STS

diberi 0, jawaban TS diberi nilai 1, jawaban E

diberi nilai 2, jawaban S diberi nilai 3, dan

jawaban SS diberi nilai 4. Dan untuk pernyataan

yang tak-favorabel, respons STS diberi nilai 4, TS

diberi nilai 3, E diberi nilai 2, S diberi nilai 1 dan

respon SS diberi nilai 0. Cara penentuan nilai ini

diberlakukan bagi semua pernyataan sikap yang

ada.

1.1.3. Pengembangan Kemampuan Guru melalui

Pelatihan

a. Pengertian, Tujuan dan Fungsi Pelatihan

Menurut Wexley dan Latham (2002:

153) menyatakan bahwa: “… training is a

planned effort by an organization to facilitate

the learning of job-related behavior on the part

of its employees. The term of behavior is used in

the broad sense to include any knowledge and

36

skill acquired by an employee through practice”

(bahwa pelatihan adalah upaya terencana oleh

sebuah organisasi untuk memfasilitasi

karyawan dalam mempelajari perilaku yang

terkait dengan pekerjaan. Istilah perilaku

merujuk pada setiap pengetahuan dan

keterampilan yang diperoleh karyawan melalui

praktik atau pengalaman langsung).

Mencermati pengertian pelatihan oleh Wexley

dan Latham terlihat bawa komponen-

komponen pengertian tersebut mencakup:

upaya terencana (berarti kegiatan tersebut

dilakukan secara sistematis melibatkan

sumber-sumber yang tersedia); dilakukan oleh

suatu organisasi (berarti bahwa pelatihan

tersebut berkaitan dengan suatu lembaga yang

akan meningkatkan kinerja karyawan),

bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan

dan keterampilan karyawan (berarti ada

kesadaran bahwa karyawan memiliki

keterbatasan pengetahuan dan keterampilan).

Sementara Ngalim Purwanto (2012: 96)

menyatakan bahwa pelatihan adalah segala

kegiatan yang diberikan dan diterima oleh para

petugas pendidikan (pengawas, kepala

sekolah, penilik sekolah, guru) yang bertujuan

37

untuk menambah dan mempertinggi mutu

pengetahuan, kecakapan dan pengalaman

guru-guru dalam menjalankan tugas

kewajibannya. Batasan pengertian Ngalim

Purwanto ini berisi komponen: kegiatan yang

dilakukan karyawan (berarti aktivitas

peningkatan kemampuan yang dilakukan oleh

praktisi pendidikan) dan bertujuan untuk

menambah dan mempertinggi mutu

pengetahuan, kecakapan dan pengalaman

guru-guru (sama seperti pandangan Wexley

dan Latham, bahwa ada kesadaran bahwa

para pelaku pendidikan tersebut perlu

ditingkatkan).

Menurut Dearden seperti dikutip oleh

Suparno (2014: 82) menyatakan bahwa

pelatihan pada dasarnya meliputi proses

belajar mengajar dan latihan bertujuan untuk

mencapai tingkat kompetensi tertentu atau

efisiensi kerja. Batasan pengertian Dearden

mencakup komponen: suatu proses

pembelajaran (menyangkut belajar dan

mengajar dalam suatu pelatihan), bertujuan

meningkatkan kemampuan tertentu atau

efisiensi kerja (sama seperti pandangan Wexley

dan Latham dan Ngalim Purwanto bahwa ada

38

kesadaran bahwa para pelaku pendidikan

tersebut perlu ditingkatkan).

Dari ketiga pengertian tentang

pelatihan dapat disimpulkan bahwa hakikat

pelatihan adalah suatu kegiatan yang

dilakukan secara sistematis oleh suatu

organisasi yang bertujuan untuk

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan

kerja agar lebih efektif dan efisien.

Berkaitan dengan tujuan pelatihan,

Suparno (2014: 84) menjelaskan bahwa tujuan

pelatihan adalah untuk meningkatkan

produktivitas, kualitas, mendukung

perencanaan SDM, meningkatkan moral

anggota, memberikan kompensasi yang tidak

langsung, meningkatkan kesehatan dan

keselamatan kerja, mencegah kadaluwarsa

kemampuan dan pengetahuan personil,

meningkatkan perkembangan kemampuan

dan keahlian personil.

Fungsi pelatihan menurut Kydd (2004)

seperti dikutip Jejen Musfah (2011: 61)

menyatakan bahwa pelatihan memiliki dua

fungsi, yaitu fungsi peningkatan kinerja dalam

pekerjaan orang yang bersangkutan pada saat

39

sekarang dan menyiapkan orang bagi peluang,

tanggung jawab dan tugas di masa depan.

b. Jenis-jenis Pelatihan

Menurut Sedarmayanti (2014: 167),

ditinjau dari masa pelaksanaannya, pelatihan

dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:

1) Pre-service training (pelatihan pra-tugas)

adalah pelatihan yang diberikan kepada

calon karyawan yang akan mulai bekerja,

atau karyawan baru yang bersifat

pembekalan, agar mereka dapat

melaksanakan tugas yang nantinya

dibebankan kepada mereka.

2) In Service Training (pelatihan dalam tugas)

adalah pelatihan dalam tugas yang

dilakukan untuk karyawan yang sedang

bertugas dalam organisasi dengan tujuan

meningkatkan kemampuan dalam

melaksanakan pekerjaan. Termasuk di

dalamnya sekolah melakukan pelatihan di

tempat sendiri (In House Training).

3) Post Service Training (pelatihan

purna/pasca tugas) adalah pelatihan yang

dilaksanakan organisasi untuk membantu

40

dan mempersiapkan karyawan dalam

menghadapi pensiun.

Sedangkan Najib, (2015: 226)

menyebutkan bahwa ada 8 jenis kegiatan

pelatihan untuk meningkatkan kompetensi

guru yaitu; 1) In House Training (IHT), 2)

Program magang, 3) Kemitraan Sekolah, 4)

Belajar jarak jauh, 5) Pelatihan berjenjang dan

pelatihan khusus, 6) Kursus singkatdi LPTK,

7) Pembinaan internal sekolah, 8) Pendidikan

lanjut.

Berdasarkan pendapat dari

Sedarmayanti dan Najib In House Training

merupakan pelatihan yang dilakukan dalam

masa jabatan. Selanjutnya dari dua

pandangan tentang hakikat dan jenis-jenis

kegiatan pelatihan yang sudah dipaparkan di

atas, dapat dirumuskan bahwa In House

Training (IHT) merupakan training yang sangat

potensial untuk meningkatkan kemampuan

guru. Untuk memberikan gambaran yang

jelas tentang In House Training, selanjutnya

akan dibahas pengertian IHT, tujuan dan

upaya peningkatan kemampuan guru dalam

menyusun instrumen penilaian ranah sikap

melalui In House Training.

41

c. In House Training

Menurut Sujoko (2012: 40) In House

Training merupakan program pelatihan yang

diselenggarakan di tempat sendiri, sebagai

upaya untuk meningkatkan kompetensi guru

dalam menjalankan pekerjaannya dengan

mengoptimalkan potensi-potensi yang ada.

Sedangkan menurut Danim (2011: 94) In

House Training (IHT) merupakan program

pelatihan yang dilaksanakan secara internal

oleh kelompok kerja guru, sekolah atau tempat

lain yang ditetapkan sebagai penyelenggaraan

pelatihan yang dilakukan berdasarkan pada

pemikiran bahwa sebagian kemampuan dalam

meningkatkan kompetensi dan karier guru

tidak harus dilakukan secara eksternal,

namun dapat dilakukan secara internal oleh

guru. Ketentuan peserta dalam IHT minimal 4

orang dan maksimal 15 orang. Berdasarkan

pengertian dari Sujoko dan Danim, nampak

bahwa esensi dari IHT adalah kegiatan untuk

meningkatkan kemampuan guru dengan

menggunakan segala sarana dan prasarana

yang ada di sekolah. Dengan demikian yang

dimaksud IHT dalam penelitian ini adalah

pelatihan guru yang dilaksanakan

42

berdasarkan permintaan pihak sekolah,

pesertanya berasal dari satu sekolah, dengan

materi pelatihan yang disesuaikan oleh pihak

sekolah khususnya dalam penggunaan alat

peraga, dan dilaksanakan di sekolah tempat

guru tersebut bekerja.

Tujuan IHT menurut Lulu Kamaludin

(2011: 2) dan Meldona (2009: 234) yaitu: a)

meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia

(SDM); b) memperbaiki kinerja, c)

menciptakan interaksi antara peserta; d)

mempererat rasa kekeluargaan dan

kebersamaan; serta e) meningkatkan motivasi

dan budaya belajar yang berkesinambungan.

Dari sisi keuntungan Lulu Kamaludin (2011: 2)

menyebutkan: a) Hasilnya lebih maksimal, b)

Materinya lebih spesifik, c) Biaya lebih murah.

Sedangkan berkaitan dengan langkah-

langkah IHT, Marwansyah (2012: 170),

menjelaskan bahwa IHT dilakukan melalui tiga

fase, yaitu fase perencanaan, fase proses

penyelenggaraan dan fase evaluasi.

(1) Fase Perencanaan

Perencanaan mempunyai fungsi untuk

menentukan tujuan atau kerangka tindakan

yang diperlukan untuk mencapai tujuan

43

tertentu (Syukur, 2011: 9). Hal-hal yang perlu

dilakukan pada fase ini adalah: menentukan

sasaran pelatihan; menentukan tujuan

pelatihan; menentukan pokok bahasan/

materi pelatihan; menentukan pendekatan

dan metodologi pelatihan; menentukan

peserta pelatihan dan fasilitator (trainer);

menentukan waktu dan tempat pelatihan;

menentukan semua bahan yang diperlukan

dalam pelatihan; menentukan model evaluasi

pelatihan; menentukan sumber dana

pembiayaan yang dibutuhkan.

(2) Fase Proses Penyelenggaraan

Proses penyelenggaraan pelatihan pada

dasarnya merupakan implementasi dari

perencanaan. Fase ini dibagi menjadi dua

tahapan yaitu tahap persiapan dan tahap

pelaksanaan pelatihan. Pada tahap

persiapan, proses pelatihan diantaranya

meliputi: mempersiapkan kelengkapan bahan

pelatihan (undangan pemberitahuan, materi,

jadwal, media, daftar hadir, instrumen

evaluasi) dan kesiapan sarana prasarana

(tempat, fasilitas, konsumsi, peserta maupun

trainer) (Nawawi, 2008 : 228).

44

(3) Fase Evaluasi Pelatihan

Fase evaluasi adalah fase penilaian

terhadap kegiatan pelatihan yang telah

dilaksanakan. Fase ini bukan untuk menilai

prestasi hasil belajar peserta pelatihan

melainkan penilaian yang dilakukan selama

pelaksanaan kegiatan dan sesudah kegiatan

pelatihan (Nawawi, 2008:228). Fase evaluasi

tersebut merupakan fase terakhir dari

seluruh pelaksanaan pelatihan, pada fase ini

dimaksudkan untuk menilai kegiatan

pelatihan yang telah dilaksanakan dan

dilakukan selama dan sesudah pelatihan.

Hasil dari evaluasi tersebut kemudian

akan menjadi umpan balik, untuk

melakukan prediksi atau perkiraan

kebutuhan pelatihan selanjutnya. Melalui

beberapa tahapan di atas, maka diharapkan

pelaksanaan IHT dapat mencapai tujuan yang

diharapkan.

2.1.4 Tindakan Sekolah dalam bentuk Pelatihan

Sebagai Upaya Peningkatan Kemampuan Guru

Permasalahan tentang kesenjangan

kemampuan guru dalam melaksanakan penilaian

dapat dipecahkan melalui kegiatan pelatihan. Jika

45

suatu rancangan pelatihan ini dikaitkan dengan

tugas dan fungsi kepala sekolah, maka dapat

dipadukan dengan kegiatan supervisi melalui

kegiatan penelitian Tindakan Sekolah sebagai

salah satu ragam Penelitian Tindakan.

Menurut Sugiyono (2013: 697) Penelitian

Tindakan adalah merupakan cara ilmiah yang

sistematis dan bersifat siklus digunakan untuk

mengkaji situasi sosial, memahami

permasalahannya, dan selanjutnya menemukan

pengetahuan yang berupa tindakan untuk

memperbaiki situasi sosial tersebut. Sedangkan

menurut Mills, 2011 seperti dikutip oleh Craig A.

Mertler (2011: 5) Penelitian tindakan didefinisikan

sebagai penelitian sistematis apa saja yang

dilaksanakan oleh para guru, penyelenggara

pendidikan, guru konseling/ penasehat

pendidikan, atau yang lainnya yang menaruh

minat dan berkepentingan dalam proses atau

lingkungan belajar mengajar (PBM) dengan tujuan

mengumpulkan informasi seputar cara kerja

sekolah, cara mengajar guru dan cara belajar

siswa mereka. Dari dua definisi ini terlihat bahwa

komponen penting dari pengertian penelitian

tindakan adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan

46

untuk memperbaiki kondisi sosial yang kurang

baik.

Selanjutnya jika pengertian tersebut

dikaitkan dengan organisasi sekolah, maka

penelitian tindakan tersebut menjadi penelitian

tindakan sekolah. Menurut Suyadi (2012: 13)

Penelitian Tindakan Sekolah merupakan upaya

untuk meningkatkan kinerja sistem pendidikan,

dan mengembangkan manajemen sekolah agar

menjadi produktif, efektif dan efisien.

a. Model-Model Penelitian Tindakan

Menurut Muhammad Yaumi & Muljono

Damopolli (2014: 19) ada beberapa model

penelitian tindakan yaitu: 1) model Kurt Lewin;

2) model Kemmis dan Mc Taggart; 3) model

John Elliott; 4) model Schmuck; 5) model

Stringer.

Dalam penelitian ini penulis

menggunakan model penelitian tindakan model

Stringer. Model Stringer memiliki kerangka

dasar yang kuat, yang ditandai dengan tiga

kata, Look (melihat atau memandang), Think

(berpikir), dan Act (bertindak) yang memberi

dasar pada setiap orang untuk melakukan

penyelidikan secara langsung dengan

melakukan secara detail hal-hal sebagai

47

berikut: 1) Melihat, yaitu mengumpulkan

informasi yang relevan (pengumpulan data),

menggambarkan situasi (mendefinisikan dan

mendeskripsikan); Memikirkan: Mengeksplorasi

dan menganalisis: apa yang sedang terjadi

(menganalisis), menginterpretasi dan

menjelaskan atau berteori; dan bertindak, yaitu

merencanakan (melaporkan), mengimplemen-

tasikan dan mengevaluasi.

b. Tujuan Penelitian Tindakan

Tujuan utama Penelitian Tindakan

Sekolah menurut Daryanto (2014: 228) adalah

untuk memecahkan permasalahan nyata yang

terjadi di dalam sekolah-sekolah yang berada

dalam binaan pengawas sekolah. Kegiatan

penelitian ini tidak saja bertujuan untuk

memecahkan masalah, tetapi sekaligus mencari

jawaban ilmiah mengapa hal tersebut dapat

dipecahkan dengan tindakan yang dilakukan.

Secara lebih rinci, tujuan Penelitian Tindakan

Sekolah antara lain: 1) meningkatkan mutu isi,

masukan, proses dan hasil pendidikan,

manajemen dan pembelajaran, termasuk mutu

guru, kepala sekolah, khususnya yang

berkaitan dengan tugas profesional

kepengawasan, di sekolah-sekolah yang menjadi

48

binaannya; 2) meningkatkan kemampuan dan

sikap profesional sebagai pengawas sekolah; 3)

menumbuh kembangkan budaya akademik di

lingkungan sekolah sehingga tercipta sikap

proaktif di dalam melakukan perbaikan mutu

pendidikan.

2.1.5 Pengembangan Kemampuan Guru melalui In

House Training (IHT)

Dalam rangka mengembangkan

kemampuan guru dalam menyusun instrumen

penilaian ranah sikap melalui IHT terdapat

beberapa fase yang harus dilakukan meliputi

fase perencanaan, fase penyelenggaraan, fase

evaluasi pelatihan.

Pada fase perencanaan dilakukan kegiatan

menyusun proposal kegiatan IHT yang berisi: a)

judul kegiatan, b) tujuan kegiatan, c) materi IHT,

d) waktu dan tempat IHT, e) trainer, f) biaya, g)

jadwal kegiatan, serta organisasi kepanitiaan.

Khusus tentang materi IHT, mencakup: a)

analisis KD, b) Pengantar umum tentang

penilaian, c) hakikat penilaian ranah afektif, d)

instrumen penilaian sikap bentuk skala Likert, e)

langkah-langkah penyusunan skala Likert

menyusun obyek sikap, f) Uji coba skala Likert,

49

g) menentukan skor, h) menghitung tingkat

reabilitas dan validitas instrumen sikap.

Komponen-komponen perencanaan materi IHT

ini dituangkan dalam silabus IHT dan RPP

(Rencana Pelaksanaan Pelatihan).

Pada fase penyelenggaraan dilakukan

kegiatan sesuai dengan perencanaan yang telah

disusun. Manajer pelatihan (dalam hal ini

peneliti) memastikan bahwa trainer dan peserta

pelatihan telah siap mengikuti IHT. Sebelum

dilakukan sesi pelatihan terlebih dahulu

diberikan pretest. Pada proses pelatihan

dilakukan juga observasi (menggunakan

panduan observasi) untuk memantau aktivitas

trainer dan peserta pelatihan.

Pada fase evaluasi dilakukan kegiatan

posttest untuk mengetahui sejauhmana materi

pelatihan dikuasai oleh peserta pelatihan, atau

sejauhmana kemampuan guru dalam menyusun

instrumen skala sikap dapat ditingkatkan.

Kegiatan evaluasi ini ditutup dengan

memberikan evaluasi program IHT secara

keseluruhan mencakup kemanfaatan materi

pelatihan, kompetensi trainer, kepuasan peserta

terhadap akomodasi pelatihan dan lain-lain.

50

2.2 Kajian Penelitian yang Relevan

1) Ester Alake-Tuenter (2006) melakukan penelitian

tentang kompetensi guru sekolah dasar di

Belanda. Tujuan pertama penelitian ini adalah

untuk melihat profil kompetensi profesional,

yang diperlukan untuk mengajar di sekolah

dasar di Belanda. Hasilnya adalah bahwa profil

kompetensi guru sekolah dasar di Belanda

menunjukkan kesenjangan bila dibandingkan

dengan American National Science Education

Standards (NSES). Kesenjangan terdapat dalam

standar yang berkaitan dengan kompetensi

pedagogik guru. Ditemukan juga bahwa

lemahnya penguasaan kompetensi tertentu

berhubungan dengan lemahnya penguasaan

kompetensi yang lain. Evaluasi akhir terhadap

model instrumen evaluasi guru menunjukkan

bahwa kompetensi guru sekolah dasar di

Belanda mencapai 80 %.

Temuan penelitian ini mendukung

penelitian tindakan yang dilakukan penulis

tentang kemampuan guru sekolah dasar.

Meskipun penelitian penulis hanya sebatas

pada kemampuan spesifik penyusunan

instrumen penilaian ranah afektif.

51

2) Camelia dan Umi Chotimah (2012) melakukan

penelitian tentang : Kemampuan Guru dalam

Membuat Instrumen Penilaian Domain Afektif

pada Mata pelajaran PKn di SMP Negeri se-

Kabupaten Ogan Ilir. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam

membuat instrumen penilaian domein afektif

pada mata pelajaran PKn di SMP Negeri se-

Kabupaten Ogan Ilir cukup baik, maka

penilaian domein afektif pada mata pelajaran

PKn di sekolah untuk mengukur sikap, minat,

konsep diri, nilai dan moral siswa harus terus

dilakukan oleh guru.

Temuan penelitian ini mendukung

penelitian yang akan dilakukan oleh penulis

tentang IHT untuk meningkatkan kemampuan

guru SD Laboratorium Kristen Satya Wacana

dalam menyusun instrumen penilaian ranah

sikap. Namun yang membedakan adalah bahwa

penelitian yang akan dilaksanakan nantinya

merupakan Penelitian Tindakan Kelas.

3) Wahyudi (2010) melakukan penelitian tentang

standar kompetensi profesional guru,

menemukan bahwa keberhasilan guru dalam

melaksanakan pendidikan dan pembelajaran

tidak terlepas dari kompetensi dimilikinya.

52

Betapapun tinggi semangat dan motivasi yang

dipunyai oleh guru, kinerja guru tidak dapat

maksimal jika tidak diimbangi dengan

penguasaan kompetensi profesional yang

dipersyaratkan, kompetensi profesional

mencakup sub kompetensi sebagai berikut:

Menguasai substansi keilmuan yang terkait

dengan bidang studi, menguasai konsep konsep

keilmuan dalam kehidupan sehari hari dan

menguasai langkah langkah penelitian dan

kajian kritis untuk menambah wawasan dan

memperdalam pengetahuan atau materi bidang

studi. Hasil penelitian Wahyudi membuktikan

bahwa keberhasilan guru dalam mengajar tidak

terlepas dengan kompetensi yang dimiliki.

Temuan penelitian ini menjadi dasar

penelitian tindakan yang dilakukan penulis

khususnya tentang kompetensi profesional yang

dimiliki oleh guru.

4) Darmansyah (2014) menulis tentang Tehnik

penilaian sikap spiritual dan sosial dalam

pendidikan karakter menemukan bahwa

pemahaman guru tentang konsep dan

implementasi penilaian spiritual dan sikap

sosial masih rendah. Rendahnya kompetensi

guru dalam mengevaluasi sikap spiritual dan

53

sosial telah berdampak negatif terhadap

prsetasi belajar siswa pada kompetensi inti

karena hal tersebut merupakan fokus utama

dalam kurikulum berbasis karakter. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4

model evaluasi yang dapat diterapkan guru

dalam mengevaluasi sikap spiritual dan social

siswa seperti: (1) Evaluasi mandiri; (2) Observasi

guru; (3) Peer assessment; dan (4) Jurnal

harian.

Temuan penelitian Darmansyah

menemukan bahwa pemahaman guru tentang

konsep dan implementasi penilaian spiritual

dan sikap sosial masih rendah. Hal ini senada

dengan hasil studi pendahuluan yang penulis

lakukan di SD Laboratorium Kristen Satya

Wacana menunjukkan pemahaman guru SD

Laboratorium Kristen Satya Wacana dalam

menyusun instrumen penilaian ranah sikap

masih rendah.

5) Fidyawati (2013) melakukan penelitian tentang

Efektifitas In House Training Dalam Peningkatan

Kompetensi Guru di SMA Laboratorium

Percontohan UPI Bandung. menemukan bahwa

In House Training (IHT) mempunyai peranan

yang sangat penting bagi guru PKn dalam

54

meningkatkan kompetensinya melalui

pelatihan-pelatihan.

Temuan penelitian ini mendukung

penelitian tindakan yang dilakukan penulis

khususnya tentang Efektifitas In House Training

dalam meningkatkan kemampuan guru.

6) Heldy Eriston (2011) melakukan penelitian

tindakan sekolah tentang Meningkatkan

Kemampuan Guru dalam Membuat

Powerpoint melalui In House Training di SMK

Teknik Industri Purwakarta. Hasilnya

menyimpulkan In House Training bermanfaat

untuk meningkatkan kemampuan guru

membuat powerpoint untuk media

pembelajaran. Tindakan yang telah mencapai

hasil 86% melampaui indikator yang telah

ditetapkan yaitu 75% menunjukan bahwa IHT

dapat secara signifikan meningkatkan

kemampuan guru membuat powerpoint untuk

media pembelajaran.

Temuan Penelitian Tindakan Sekolah yang

dilakukan oleh Heldy Eriston tentang

meningkatkan kemampuan guru dalam

membuat Powerpoint melalui In House Training

sangat mendukung penelitian yang dilakukan

oleh penulis tentang IHT untuk meningkatkan

55

kemampuan guru SD Laboratorium Kristen

Satya Wacana dalam menyusun instrumen

penilaian ranah sikap.

7) Naill Hegarty (2014) menulis tentang keefektifan

program pelatihan dalam hal tujuan

pembelajaran, sebagai sebuah media untuk

meningkatkan karir individu, dan sebagai suatu

bentuk dari pendidikan yang diakui. Hasil

temuan menunjukkan program pelatihan

sangat penting, karena melalui perbaikan

program pelatihan tujuan organisasi maupun

individu dapat tercapai.

Penelitian ini membuktikan bahwa program

pelatihan sangat penting. Temuan penelitian ini

mendukung penelitian tindakan yang penulis

lakukan khususnya tentang keefektifan

program pelatihan.

8) Shakoor, A., Ghumman, M.S., Mahmood, T.

(2013) meneliti tentang Pengaruh In Service

Training terhadap kapasitas kerja dan kinerja

guru sain di tingkat menengah. Hasil penelitian

menunjukkan In Service Training memiliki

dampak capaian yang tinggi dan positif pada

kompetensi profesional, serta membuat

pelaksanaan kurikulum lebih efektif. Temuan

penelitian ini mendukung penelitian tindakan

56

yang dilakukan penulis khususnya tentang

Efektifitas In Service Training dalam

meningkatkan kemampuan guru.

Penelitian tentang kompetensi guru telah

banyak dilakukan seperti telah dikemukakan pada

review setiap jurnal, yaitu penelitian yang

dilakukan oleh Ester Alake-Tuenter (2006),

Wahyudi (2010), Camelia dan Umi Chotimah (2012)

dan Darmansyah (2014). Penelitian tentang

pelatihan IHT juga telah banyak dilakukan,

diantaranya penelitian yang dilakukan oleh

Fidyawati (2013), Heldy Eriston (2011), Shakoor, A.,

Ghumman, M.S., Mahmood, T. (2013) dan Nail

Hegarty (2014). Namun penelitian-penelitian dengan

variabel pelatihan IHT untuk meningkatkan

kompetensi guru dalam jurnal yang telah direview

oleh penulis lebih dominan sebagai penelitian

korelasional dan eksperimental saja. Kalaupun ada

penelitian pelatihan IHT itupun model konseptual

yang hakikatnya berbeda dengan model prosedural

yang akan digunakan dalam penerapan pelatihan

IHT untuk meningkatkan kemampuan guru SD

Laboratorium Kristen Satya Wacana dalam

menyusun instrumen penilaian skala sikap.

Demikian juga belum dilakukan penelitian yang

secara spesifik IHT untuk meningkatkan

57

kemampuan guru dalam menyusun instrumen

penilaian skala sikap.

2.3. Kerangka Pikir

Pengembangan kemampuan guru SD

merupakan bagian dari pengembangan keprofesian

berkelanjutan. Pengembangan kemampuan guru

SD diyakini lebih efektif dilakukan bersamaan

dengan kegiatan menjalankan profesi keguruannya

sehari-hari, melalui model In House Training.

Mengacu pendapat Noe (2010: 351) diklat

merupakan upaya yang direncanakan oleh suatu

lembaga pendidikan untuk mempermudah

pembelajaran tentang kompetensi-kompetensi yang

berkaitan dengan pekerjaan, yang meliputi

pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku.

Tujuan diklat bagi guru SD secara garis besar ada 2

(dua) yaitu untuk menutup “gap” antara kecakapan

atau kemampuan karyawan dengan permintaan

jabatan; (2) program-program tersebut diharapkan

dapat meningkatkan efesiensi dan efektivitas kerja

guru dalam mencapai sasaran-sasaran kerja yang

telah ditetapkan. Guru SD merupakan profesi yang

cukup berat beban mengajarnya (24 jam/minggu),

maka model belajar yang memungkinkan guru

mengembangkan kemampuannya adalah model

58

IHT. Studi pendahuluan dengan teknik analisis

kebutuhan pelatihan (AKP) menemukan adanya

defisit kemampuan guru SD Laboratorium Kristen

Satya Wacana. dalam hal penyusunan instrumen

penilaian kawasan sikap belum memadai. Oleh

karena diklat dengan model IHT merupakan sarana

yang diyakini mampu meningkatkan kemampuan

guru disela-sela menjalankan tugas profesinya,

maka langkah-langkah belajar yang dipilih adalah

langkah-langkah diklat IHT secara umum. Pelatihan

dilengkapi dengan panduan umum pelatihan,

panduan untuk fasilitator, panduan untuk guru

sebagai peserta pelatihan, paket materi pelatihan

lengkap (silabus, lesson plan pelatihan, bahan ajar

pelatihan dan instrumen evaluasi dalam bentuk tes

dan evaluasi diri). Melalui diklat model IHT, guru

mengasah kemampuannya secara aktif dengan

mengeksplorasi materi pelatihan secara konsisten,

persisten dan mengarah pada tujuan yang ingin

dicapai dan kemudian mengelaborasi dengan

mengerjakan tugas-tugas mandiri maupun

kelompok, akan meningkatkan kemampuan guru

dalam menyusun instrumen penilaian ranah sikap

tersebut. Secara skematik, kerangka berpikir dalam

penelitian ini dapat dicermati melalui gambar 1.

59

Kerangka pikir seperti tersebut dalam

gambar 1 menggambarkan alur logis pemecahan

dalam penelitian tindakan ini.

Defisit kemampuan guru dalam melakukan:

a) Penilaian yang mencakup tiga ranah (kognitif, afektif, dan

psikomotor) sebesar 69 %

b) Penilaian non tes jenis skala sikap

untuk mengukur sikap siswa sebesar 69%

c) Pemahaman yang

cukup untuk mengembangkan penilaian sikap sebesar 77%;

d) Pemahaman yang cukup untuk mengembangkan

instrumen penilaian skala sikap model Likert sebesar 85%

Pelatihan model in house

training

Langkah-

langkah pelatihan in house

traing

Perencanaan

Proses

penyeleng-

garaan

Evaluasi

pelatihan

Kemam-

puan

menyu-

sun ins-

trumen

penilai-

an ranah

sikap mening-

kat

Gambar 2.1. Skema Kerangka Pikir Penelitian Tindakan

Guru

membuat

instrumen

penilaian

ranah

sikap

dalam pembela-

jaran

60

2.4. Hipotesis Tindakan

Hipotesis tindakan dalam penelitian tindakan

sekolah ini adalah:

1) Langkah-langkah pelatihan model In

house Training (IHT) yang dapat

meningkatkan kemampuan guru SD

Laboratorium Kristen Satya Wacana

Salatiga dalam menyusun instrumen

penilaian ranah sikap adalah

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

2) Kemampuan guru SD Laboratorium

Kristen Satya Wacana Salatiga dalam

menyusun instrumen penilaian ranah

sikap dapat ditingkatkan melalui

pelatihan model In house Training (IHT).