BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_...

24
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Publik 2.1.1. Definsi Kebijakan Publik Sebelum membahas implementasi kebijakan, terlebih dahulu kita perlu mengetahui apa sebenarnya kebijakan itu. Menurut Harold Laswell dan Abraham Kaplan (Tilaar & Nugroho, 2008), kebijakan didefinisikan sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan- tujuan tertentu, dan praktik-praktik tertentu (a project of goals, values, and practice). Sedangkan menurut James E. Anderson yang dikutip oleh Wahab (2002) merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi. Sementara itu, David Easton dalam Tilaar dan Nugroho (2008) mendefinisikan kebijakan sebagai akibat dari aktivitas pemerintah (the impact of government activity). Thomas R. Dye mendefinisikan kebijakan publik sebagai segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda (what government do, why they do

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_...

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan Publik

2.1.1. Definsi Kebijakan Publik

Sebelum membahas implementasi kebijakan, terlebih dahulu kita perlu mengetahui apa sebenarnya kebijakan itu. Menurut Harold Laswell dan Abraham Kaplan (Tilaar & Nugroho, 2008), kebijakan didefinisikan sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, dan praktik-praktik tertentu (a project of goals, values, and practice). Sedangkan menurut James E. Anderson yang dikutip oleh Wahab (2002) merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi. Sementara itu, David Easton dalam Tilaar dan Nugroho (2008) mendefinisikan kebijakan sebagai akibat dari aktivitas pemerintah (the impact of government activity).

Thomas R. Dye mendefinisikan kebijakan publik sebagai segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda (what government do, why they do

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

it, and what difference it makes). George C. Edwards III & Ira Sharkansky (Amtu, 2011) mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Menurut Aminuddin Bakry (2010), setiap perundang-undangan dan peraturan adalah kebijakan, akan tetapi tidak setiap kebijakan diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan atau peraturan. Bridgeman dan Davis yang dikutip oleh Bakry (2010) menjelaskan bahwa dalam konteks pengertian kebijakan publik seperti tersebut, teridentifikasi dimensi-dimensi yang saling bertautan antara kebijakan publik sebagai pilihan tindakan legal secara hukum, kebijakan publik sebagai hipotesis dan kebijakan publik sebagai tujuan.

Kebijakan publik sebagai pilihan tindakan yang legal karena dibuat oleh orang yang memiliki otoritas dan legitimasi dalam sistem pemerintahan. Keputusan-keputusannya mengikat aparatus pemerintahan untuk bertindak dalam menyiapkan rancangan perundang-undangan dan peraturan pemerintah untuk dipertimbangkan oleh parlemen atau mengalokasikan anggaran guna mengimplementasikan program tertentu.

Kebijakan sebagai keputusan legal bukan juga berarti bahwa pemerintah selalu memiliki kewenangan dalam menangani berbagai isu dan masalah publik. Setiap pemerintahan biasanya

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

bekerja berdasarkan warisan kebiasaan-kebiasaan pemerintahan terdahulu. Rutinitas birokrasi yang diterima biasanya merefleksikan keputusan kebijakan lama yang sudah terbukti efektif jika diterapkan. Dalam konteks ini, penting dikembangkan proses kebijakan yang partisipatif dan dapat diterima secara luas sehingga dapat menjamin bahwa usulan dan aspirasi masyarakat dapat diputuskan secara teratur dan mencapai hasil yang baik.

Kebijakan publik sebagai hipotesis artinya kebijakan dibuat berdasarkan teori dan proposisi-proposisi sebab akibat. Oleh karena itu, kebijakan hendaknya bersandar pada asumsi-asumsi mengenai perilaku. Hal ini penting agar kebijakan selalu mendorong orang untuk melakukan sesuatu, serta mampu memprediksi keadaan dan menyatukan perkiraan-perkiraan mengenai keberhasilan yang akan dicapai dengan mekanisme mengatasi kegagalan yang mungkin terjadi.

Berkaitan dengan kebijakan publik sebagai tujuan dimaksudkan kebijakan menjadi alat untuk mencapai sebuah tujuan. Artinya, kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diharapkan oleh publik. Pembuat kebijakan harus mampu merumuskan tujuan yang ingin dicapai, karena kebijakan tanpa tujuan tidak memiliki arti, bahkan tidak mustahil akan menimbulkan masalah baru.

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

Dengan demikian, kebijakan yang baik akan dapat merumuskan secara eksplisit pernyataan resmi mengenai pilihan tindakan yang akan dilakukan, dan teori, proposisi dan model sebab-akibat yang mendasari kebijakan, serta hasil-hasil yang akan dicapai dalam kurun waktu tertentu. Artinya, dalam sebuah lingkaran perumusan kebijakan, pilihan-pilihan tindakan yang legal dibuat berdasarkan hipotesis dari proposisi-proposisi berbagai teori guna mencapai tujuan-tujuan kebijakan yang ditetapkan. Rumusan yang sederhana ini menunjukkan hubungan antara ketiga dimensi kebijakan di atas. Artinya, kebijakan publik sebagai pilihan tindakan legal, sebagai hipótesis dan sebagai tujuan merupakan tiga serangkai yang saling berkaitan satu sama lain sehingga ketiganya merupakan prasyarat sekaligus tantangan bagi kebijakan publik yang efektif.

Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi dua jenis, yaitu kebijakan regulatif dan kebijakan alokatif. Kebijakan regulatif yaitu tindakan kebijakan yang dirancang untuk menjamin kepatuhan terhadap standar atau prosedur tertentu. Sedangkan kebijakan alokatif adalah tindakan mengalokasikan sumber daya tertentu pada sasaran kebijakan. Kebijakan regulatif maupun kebijakan alokatif dapat memberikan akibat yang bersifat distributif ataupun redistributif. Bersifat distributif berisi ketentuan tentang pembagian

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

sesuatu yang relatif merata kepada warga masyarakat. Sedangkan redistributif berisi peraturan tingkah laku masyarakat.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka kebijakan publik adalah suatu program yang dikerjakan oleh sejumlah aktor yang dilatarbelakangi oleh alasan-alasan tertentu dan dilaksanakan dengan tujuan dan dalam cara-cara tertentu yang kemudian berdampak pada suatu kehidupan bersama yang berbeda.

2.1.2. Siklus Kebijakan Publik

Dalam penyusunan suatu kebijakan, ada beberapa tahapan yang perlu dilalui. Menurut William N. Dunn (2000) ada lima tahap proses pembuatan suatu kebijakan, yaitu penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.

Gambar 2.1. Lima Tahap Kebijakan menurut William N. Dunn

(2000)

Penyusunan Agenda

Formulasi Kebijakan

Adopsi Kebijakan

Implementasi Kebijakan

Penilaian/Evaluasi Kebijakan

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

Pada tahap penyusunan agenda, para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Selanjutnya dalam formulasi kebijakan, para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan legislatif. Setelah itu, alternatif kebijakan diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus di antara direktur lembaga, atau keputusan peradilan. Dalam implementasi kebijakan, kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasi sumber daya finansial dan manusia. Penilaian/evaluasi kebijakan sebagai tahapan terakhir menurut Dunn terjadi ketika unit-unit pemeriksaan dan akutansi dalam pemerintahan menentukan apakah badan-badan eksekutif, legislatif, dan peradilan memenuhi persyaratan undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.

2.2. Komponen Biaya Pendidikan

Biaya pendidikan merupakan salah satu komponen masukan instrumental (instrumental input) yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan (di sekolah). Supriadi (2006) menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan pendidikan, biaya (cost) adalah semua jenis pengeluaran yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan, baik dalam

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

bentuk uang maupun barang dan tenaga (yang dapat dihargakan dengan uang). Sementara itu menurut Rahmad (www.birohukum.jogjaprov.go.id), biaya pendidikan adalah nilai besar dana yang diprakirakan perlu disediakan untuk mendanai berbagai kegiatan pendidikan. Terkait dengan dana pendidikan, Rahmad menjelaskan bahwa dana pendidikan adalah sumber daya keuangan yang disediakan untuk menyelenggarakan dan mengelola pendidikan. Sedangkan pendanaan pendidikan menurut Rahmad adalah penyediaan sumberdaya keuangan yang diperlukan untuk penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan.

Menurut Supriadi (2006) biaya dalam pendidikan meliputi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Biaya langsung adalah segala pengeluaran yang secara langsung menunjang penyelenggaraan pendidikan. Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar siswa berupa pembelian alat-alat pelajaran, sarana belajar, gaji guru, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, orang tua, maupun siswa sendiri (Fattah, 2002). Lebih lanjut Supriadi (2006) menjelaskan bahwa biaya tidak langsung adalah pengeluaran yang secara tidak langsung menunjang proses pendidikan tersebut terjadi di sekolah, misalnya biaya hidup, biaya transportasi, dan biaya kesehatan.

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

Sebagaimana tertuang pada Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2008, pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Dalam pernyataan peraturan tersebut, biaya pendidikan meliputi biaya satuan pendidikan, biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan; dan biaya pribadi peserta didik.

Karding (2008) menjelaskan bahwa Biaya Satuan Pendidikan (BSP) adalah besarnya biaya yang diperlukan rata-rata tiap siswa tiap tahun, sehingga mampu menunjang proses belajar mengajar sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan. Terkait dengan hal tersebut, Fattah (2002) menjelaskan biaya satuan per murid merupakan ukuran yang menggambarkan seberapa besar uang yang dialokasikan ke sekolah-sekolah secara efektif untuk kepentingan murid dalam menempuh pendidikan.

Pada pernyataan Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2008, biaya satuan pendidikan terdiri dari biaya investasi, biaya operasi, bantuan biaya pendidikan, dan beasiswa. Berdasarkan buku panduan BOS tahun 2009, biaya investasi adalah biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya manusia, dan modal kerja tetap. Biaya investasi meliput biaya investasi lahan pendidikan dan biaya investasi selain lahan pendidikan. Menurut Karding (2008), BSP investasi adalah biaya yang dikeluarkan setiap siswa dalam satu tahun untuk pembiayaan sumberdaya yang

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

tidak habis pakai dalam waktu lebih dari satu tahun, seperti pengadaan tanah, bangunan, buku, alat peraga, media, perabot dan alat kantor.

Sedangkan BSP Operasional sebagaimana dikutip dalam Karding (2008) adalah biaya yang dikeluarkan setiap siswa dalam satu tahun untuk pembiayaan sumber daya pendidikan yang habis pakai dalam satu tahun atau kurang. Biaya operasional terdiri atas biaya personalia dan biaya nonpersonalia. Biaya personalia terdiri dari gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta tunjangan-tunjangan yang melekat pada gaji. Biaya nonpersonalia adalah biaya untuk bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain-lain. Sementara itu, bantuan biaya pendidikan yaitu dana pendidikan yang diberikan kepada peserta didik yang orang tua atau walinya tidak mampu membiayai pendidikannya. Sedangkan beasiswa adalah bantuan dana pendidikan yang diberikan kepada peserta didik yang berprestasi.

Biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan adalah biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau penyelenggara/satuan pendidikan yang didirikan masyarakat. Sedangkan biaya pribadi peserta didik adalah biaya personal yang meliputi biaya pendidikan

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.

Berdasarkan sejumlah pendapat tersebut di atas, maka biaya pendidikan adalah sejumlah dana yang dibutuhkan dan dikeluarkan bagi terselenggaranya pendidikan dimana biaya pendidikan terbagi dalam beberapa kelompok, yakni biaya satuan pendidikan, biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan; serta biaya pribadi peserta didik.

2.3. Implementasi Kebijakan

2.3.1. Konsep Implementasi Kebijakan

Proses implementasi sendiri baru akan terlaksana apabila tujuan dan sasaran kebijakan atau program telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan disalurkan untuk mencapai sasaran. Lane dalam Akib (2010) mengemukakan bahwa implementasi merupakan persamaan fungsi dari maksud, output, dan outcome. Hal itu berarti formula implementasi merupakan fungsi yang terdiri dari maksud dan tujuan, hasil sebagai produk, dan hasil dari akibat.

Menurut Lester dan Stewart (Winarno, 2012), secara luas implementasi dipandang sebagai pelaksanaan undang-undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program. Ripley dan Franklin dalam Winarno (2012) berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Istilah implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah. Sebagaimana implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah, van Meter dan van Horn (dalam Akib, 2010) juga mengemukakan bahwa tugas implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan pihak yang berkepentingan.

Berdasarkan sejumlah pendapat yang ada, maka implementasi kebijakan merupakan suatu tindakan atau proses realisasi kegiatan setelah kebijakan dibuat, yang dilakukan oleh para pelaksana kebijakan untuk mencapai tujuan kebijakan yang telah dirancang sebelumnya dan berdampak pada suatu kehidupan bersama yang diharapkan sesuai tujuan kebijakan.

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

2.3.2. Model Implementasi Kebijakan George C. Edwards

Implementasi kebijakan adalah salah satu tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya (Winarno, 2012). Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang telah direncanakan dengan sangat baik, mungkin juga akan mengalami kegagalan, jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.

Implementasi kebijakan merupakan suatu kegiatan yang kompleks dengan begitu banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Dalam mengkaji implementasi kebijakan, Edwards dalam Winarno (2012) mulai dengan mengajukan dua pertanyaan, yakni :

1. Prakondisi-prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil?

2. Hambatan-hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal?

Edwards berusaha menjawab dua pertanyaan tersebut dengan mengkaji empat faktor atau variabel

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

penting dalam implementasi kebijakan, yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi.

a. Komunikasi

Secara umum Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan. Menurut Edwards, persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan-keputusan dan perintah-perintah itu dapat diikuti. Tentu saja, komunikasi-komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana.

Untuk proses transmisi dalam komunikasi, Edwards menjelaskan bahwa sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal tersebut tidak selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana nampaknya. Banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan tersebut diabaikan atau

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

jika tidak demikian, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan.

Ada beberapa hambatan yang timbul dalam mentransmisikan perintah-perintah implementasi (Winarno, 2012). Pertama, pertentangan pendapat antara para pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan. Kedua, informasi melewati berlapis-lapis hierarki birokrasi. Ketiga, penangkapan komunikasi-komunikasi mungkin dihambat oleh persepsi yang selektif dan ketidakmauan para pelaksana untuk mengetahui persyaratan-persyaratan suatu kebijakan

Faktor kedua dalam proses komunikasi kebijakan, menurut Edwards adalah kejelasan. Jika kebijakan-kebijakan ingin diimplementasikan sebagaimana mestinya, maka petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus diterima dan dipahami oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas. Seringkali instruksi-instruksi yang diteruskan kepada pelaksana-pelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan dan bagaimana suatu program dilaksanakan. Ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaikan berkenaan dengan implementasi kebijakan akan

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

mendorong terjadinya interpretasi yang salah bahkan mungkin bertentangan dengan makna pesan awal.

Edwards mengidentifikasi enam faktor yang mendorong terjadinya ketidakjelasan komunikasi kebijakan (dalam Winarno, 2012). Faktor-faktor tersebut adalah kompleksitas kebijakan publik, keinginan untuk tidak mengganggu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan, dan sifat pembentukan kebijakan pengadilan.

Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah konsistensi. Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah-perintah yang disampaikan kepada para pelaksana kebijakan mempunyai unsur kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik. Di sisi yang lain, perintah-perintah implementasi kebijakan yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil tindakan yang sanggat longgar dalam

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan. Bila hal ini terjadi, maka akan berakibat pada ketidakefektifan implementasi kebijakan karena tindakan yang sanggat longgar besar kemungkinan tidak dapat digunakan untuk melaksanakan tujuan-tujuan kebijakan.

b. Sumber Daya

Menurut Edwards (Winarno, 2012), sumber daya merupakan faktor penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Adapun sumber daya tersebut meliputi staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menerjemahkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan-pelayanan publik.

1. Staf. Sumber yang paling penting dan

terutama dalam melaksanakan suatu kebijakan adalah staf. Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan, salah-satunya disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup menyelesaikan persoalan implementasi

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

kebijakan, tetapi diperlukan sebuah kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan.

2. Informasi. Informasi merupakan sumber

penting kedua dalam implementasi kebijakan. Ada dua bentuk informasi dalam implementasi kebijakan (Winarno, 2012) yaitu pertama, infomasi mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan. Pelaksana-pelaksana perlu mengetahui apa yang dilakukan dan bagaimana mereka harus melakukannya. Bentuk kedua dari informasi adalah data tentang ketaatan personil-personil lain terhadap peraturan-peraturan pemerintah. Dalam bentuk yang kedua ini, para pelaksana kebijakan harus mengetahui apakah orang-orang lain yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan mentaati undang-undang ataukah tidak.

3. Wewenang. Pada umumnya kewenangan harus

bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan secara efektif. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang tidak ada, maka

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

kekuatan para implementor di mata publik tidak dilegitimasi, sehingga dapat menggagalkan implementasi kebijakan publik. Tetapi dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersedia, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak, efektivitas kewenangan diperlukan dalam implementasi kebijakan; tetapi di sisi lain, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri atau kelompoknya.

4. Fasilitas. Fasilitas fisik merupakan faktor

penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf yang mencukupi, kapabel dan kompeten, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.

c. Disposisi

Disposisi atau kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Disposisi berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk carry out kebijakan publik tersebut (Nugroho, 2009).

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku-tingkah laku atau perspektif-perspektif para pelaksana berbeda dengan cara pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit (Winarno, 2012).

d. Struktur Birokrasi

Birokrasi merupakan badan pelaksana kebijakan. Birokrasi secara sadar atau tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatan kolektif, dalam rangka memecahkan masalah-masalah sosial dalam kehidupan modern. Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara implementasi kebijakan publik. Di Indonesia, implementasi kebijakan sering tidak efektif karena kurangnya koordinasi dan kerja sama di antara lembaga-lembaga negara dan/atau pemerintahan (Nugroho, 2009).

Ripley dan Franklin (Winarno, 2012) mengidentifikasi enam karakteristik birokrasi, yakni :

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

1. Birokrasi dimanapun berada, dipilih sebagai instrumen sosial yang ditujukan untuk menangani masalah-masalah yang didefinisikan sebagai urusan publik.

2. Birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam pelaksanaan program kebijakan, yang tingkat kepentingannya berbeda-beda untuk masing-masing tahap.

3. Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda.

4. Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang luas dan kompleks.

5. Birokrasi jarang mati, naluri untuk bertahan hidup tidak perlu dipertanyakan lagi.

6. Birokrasi bukan merupakan sesuatu yang netral dalam pilihan-pilihan kebijakan mereka, tidak juga secara penuh dikontrol oleh kekuatan-kekuatan yang berasal di luar dirinya.

Pada dasarnya, para pelaksana kebijakan mungkin mengetahui apa yang dilakukan dan mempunyai cukup keinginan serta sumber-sumber untuk melakukannya. Tetapi dalam pelaksanaannya mungkin mereka masih dihambat oleh struktur-struktur organisasi di mana mereka menjalankan kegiatan tersebut. Menurut Edwards (Winarno,

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

2012), ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut sebagai Standard Operationg Procedures (SOP) dan fragmentasi.

Prosedur-prosedur kerja ukuran dasar (Standard Operating Procedures, SOP) merupakan salah satu aspek struktural paling dasar dari suatu organisasi. Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. Selain itu, SOP juga menyeragamkan tindakan-tindakan dari para pejabat dalam organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas, yang pada gilirannya dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan-peraturan (Winarno, 2012).

Lebih lanjut Edwards dalam Winarno (2012) menjelaskan bahwa sifat kedua dari stuktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi organisasi. Tanggung jawab bagi suatu bidang kebijakan tersebar di antara beberapa organisasi, seringkali pula terjadi desentralisasi kekuasaan tersebut dilakukan secara radikal guna mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Konsekuensi yang paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha untuk

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

menghambat koordinasi. Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini menimbulkan dua konsekuensi pokok yang merugikan bagi keberhasilan implementasi. Pertama, tidak ada ada orang yang akan mengakhiri implementasi kebijakan dengan melaksanakan fungsi-fungsi tertentu karena tanggung-jawab bagi suatu bidang kebijakan terpecah-pecah. Di samping itu, karena masing-masing badan mempunyai yurisdiksi yang terbatas atas suatu bidang, maka tugas-tugas yang penting mungkin akan terdampar antara retak-retak struktur organisasi. Kedua, pandangan-pandangan yang sempit dari badan-badan mungkin juga akan menghambat perubahan.

Gambar 2.2. Model Implementasi Kebijakan

George C. Edwards (Winarno, 2012)

Sumber Daya

Komunikasi

Implementasi Kebijakan

Disposisi

Struktur Birokrasi

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

2.4. Penelitian Yang Relevan

1. Penelitian yang dilakukan oleh Marzuki (2011) tentang Kebijakan Program Sekolah Gratis dan Dampaknya terhadap Akses Layanan Memperoleh Pendidikan di Provinsi Sumatera Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Program Sekolah Gratis yang dibiayai dari sumber dana BOS di Provinsi Sumatera Selatan yang dimulai tahun 2009 telah dapat meningkatkan perluasan akses memperoleh layanan pendidikan. Hal tersebut ditunjukkan oleh peningkatan APK dan APM, serta penurunan angka DO.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Aspansius (2010) tentang implementasi kebijakan Bantuan Operasional Sekolah pada sekolah menengah pertama negeri di Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak menunjukkan adanya peningkatan APK pada tahun 2008 yakni 94 % jika dibandingkan dengan tahun 1995-2005 sebelum adanya program BOS dimana Angka Partisipasi Sekolah (APS) hanya menunjukkan kisaran 50 % hingga 60 %.

3. Pendidikan gratis juga telah dilakukan di Propinsi Sumatera Selatan. Dalam penelitiannya, Alfani (2010) menjelaskan bahwa program pendidikan gratis di daerah Sumsel diberlakukan dari jenjang SD-SMA/SMK. Pemerintah propinsi dan daerah kabupaten/kota juga turut berpartisipasi mendukung program pendidikan gratis, yakni dalam bentuk topangan dana pendidikan. Dengan adanya pendidikan gratis di daerah setempat membuka kesempatan bagi anak-anak usia sekolah untuk memperoleh pendidikan. Akan tetapi dalam implementasinya, terjadi penyelewengan dana BOS yang menghambat terlaksananya program pendidikan gratis. Bahkan dana BOS yang diberikan tidak digunakan sesuai dengan juklak maupun juknis.

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6044/2/T2_ 942012001_BAB II...Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi

Temuan di daerah menunjukkan ada 47 sekolah dasar (SD) dan 123 sekolah menengah pertama (SMP) di 15 kabupaten atau kota yang belum membebaskan biaya pendidikan bagi siswa yang tidak mampu.

4. Dalam studi kasus di kota Jayapura-Papua, kebijakan biaya sekolah gratis juga telah diterapkan di sekolah-sekolah pada tingkat pendidikan dasar se-Jayapura (Hartopo, 2011). Pelaksanaan sekolah gratis di kota Jayapura telah dilaksanakan sejak tahun 2005. Sumber dana yang digunakan untuk penyelenggaraan sekolah gratis ialah berasal dari dana BOS (APBN), APBD kota Jayapura, dan BOS Provinsi. Penyelenggaraan sekolah gratis di kota Jayapura sebagai upaya untuk membantu meringankan biaya pendidikan yang ditanggung para orang tua siswa. Setelah diberlakukan sekolah gratis, di dalam penyelenggaraan pendidikan sudah tidak ada lagi pungutan dari sekolah. Meskipun demikian, dari hasil penelitian Hartopo menyatakan 87% orang tua siswa mengaku masih ada pungutan yang harus dibayar di sekolah, sedangkan 13% menyatakan tidak ada pungutan. Pungutan masih dibenarkan dengan persetujuan Komite Sekolah sebagai representatif orang tua yang menjadi forum untuk membantu penyelenggaraan pendidikan di sekolah.