BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Unit Perawatan Intensif … II.pdf · dimasukkan ke umbilikus. Jalur...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Unit Perawatan Intensif … II.pdf · dimasukkan ke umbilikus. Jalur...
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Unit Perawatan Intensif Neonatus (NICU)
Unit perawatan intensif merupakan bagian dari rumah sakit yang terpisah,
dengan staf khusus dan perlengkapan khusus. Perawatan intensif ditujukan untuk
observasi, perawatan, dan terapi pasien yang menderita penyakit, cedera atau
penyulit yang mengancam jiwa atau potensial mengancam jiwa. Unit tersebut
menyediakan kemampuan, sarana, dan peralatan khusus untuk menunjang fungsi
vital, serta keterampilan staf medik, perawat, dan staf lain yang berpengalaman
dalam pengelolaan keadaan-keadaan tersebut (White dkk., 2005).
Unit perawatan intensif pertama kali muncul dan berkembang tahun 1940-
1950an di Amerika Serikat. Perkembangan unit perawatan intensif berawal dari
kejadian epidemic poliomyelitis di Eropa dan Amerika Utara pada tahun 1947–
1948, banyak pasien meninggal karena paralisis otot pernapasan (Luce dan White,
2009). Penggunaan pipa napas endotrakeal (endotracheal tube) dan alat bantu
napas baik secara manual atau mekanis adalah cara optimal untuk mengamankan
pernapasan. Hal ini mengubah konsep hidup dan mati, serta membuka lembaran
baru dalam sejarah ilmu kedokteran dan pasien yang mengalami henti napas dapat
dipertahankan hidup (Luce dan White, 2009; White dkk., 2005).
Unit perawatan intensif neonatus merupakan ruang perawatan intensif
neonatus dengan kegawatan/sakit kritis di rumah sakit. Unit perawatan intensif
diperlukan untuk perawatan neonatus yang memerlukan penanganan khusus dan
neonatus dengan risiko tinggi mengalami kematian. Penanganan pasien neonatus
8
pada dasarnya tidak bisa disamakan atau disatukan dengan pasien dengan keluhan
dan penyakit lain. Neonatus memerlukan penanganan dan perlakuan khusus
karena memiliki risiko kematian yang tinggi (Powers dan Lund, 2005). Ruang
perawatan khusus neonatus terdiri dari tiga tingkat berdasarkan derajat kesakitan,
risiko masalah, dan kebutuhan pengawasan. Tingkat pertama adalah untuk
neonatus dengan risiko rendah, yaitu: bayi sehat, bayi berat lahir lebih dari 2000
gram, dan bayi rawat gabung (perawatan bersama ibu). Tingkat kedua adalah
untuk neonatus dengan risiko tinggi tetapi belum memerlukan pengawasan
intensif, yaitu bayi dengan berat lahir kurang dari 2000 gram, bayi dengan
persalinan bermasalah, bayi yang menderita sakit seperti diare, infeksi, dan bayi
kuning yang memerlukan terapi sinar. Tingkat ketiga merupakan unit perawatan
intensif neonatus untuk neonatus dengan risiko tinggi dan memerlukan
pengawasan ketat (White dkk., 2005).
Unit perawatan intensif neonatus dilengkapi dengan peralatan khusus
sehingga dapat dilakukan observasi ketat. Peralatan di NICU pada masing-masing
rumah sakit tidak sama tetapi umumnya beberapa peralatan yang umum ada yaitu:
(1) Feeding tube; merupakan selang kecil yang dimasukkan melalui mulut sampai
lambung untuk memasukkan air susu ibu (ASI) atau susu formula. (2) Infant
warmer; merupakan tempat tidur dengan penghangat di atasnya. (3) Inkubator;
merupakan tempat tidur kecil yang tertutup plastik keras transparan, dengan
lubang pada samping untuk jalan memeriksa bayi dan suhu dapat diatur sesuai
kondisi bayi. (4) Jalur infus; sebuah kateter kecil fleksibel yang dimasukkan ke
dalam pembuluh darah vena umumnya pada lengan dan kaki, atau kateter yang
dimasukkan ke umbilikus. Jalur infus diperlukan untuk kebutuhan cairan dan
9
obat-obatan. (5) Monitor; bayi disambungkan ke monitor melalui elektrode dan
dapat terekam tanda-tanda vital antara lain laju jantung, pernapasan, tekanan
darah, suhu dan kandungan (saturasi) oksigen dalam darah. (6) Alat terapi sinar;
digunakan untuk bayi-bayi yang kadar bilirubinnya di atas normal dan
memerlukan terapi sinar. (7) Bubble CPAP (Continuous Positive Airway
Pressure); merupakan alat yang mempertahankan tekanan positip pada saluran
napas bayi dengan pernapasan spontan. (8) Ventilator; merupakan suatu alat
(mesin) yang memompa dan mengatur aliran udara ke dalam saluran pernapasan
bayi melalui pipa (pipa endotrakea) (White dkk., 2005).
2.2 Kegawatan pada Neonatus
Kegawatan pada neonatus merupakan keadaan yang berdampak pada
kematian atau kecacatan neonatus. Kegawatan terjadi akibat kegagalan adaptasi
neonatus pada keadaan ekstra uterin terutama pada bayi kurang bulan atau pada
bayi cukup bulan dengan adanya banyak faktor risiko infeksi atau kegawatan
(Kim dkk., 2008).
Neonatus dengan faktor risiko tinggi mengalami kegawatan akan
membutuhkan ruang perawatan intensif. Faktor risiko tersebut berhubungan
dengan kondisi ibu, proses persalinan, dan faktor dari neonatus itu sendiri. Faktor
ibu yang memengaruhi yaitu: umur ibu kurang dari 16 tahun atau lebih dari 40
tahun, diabetes, hipertensi, perdarahan, ibu dengan penyakit menular seksual,
kehamilan ganda, cairan amnion yang kurang atau berlebihan, dan ketuban pecah
dini. Proses persalinan yang bisa memengaruhi kondisi neonatus adalah fetal
distress/asfiksia, aspirasi mekoneum, belitan tali pusat, persalinan forsep, dan
10
presentasi bokong atau presentasi abnormal lainnya. Neonatus dengan risiko
tinggi yaitu: umur kehamilan kurang dari 37 minggu atau lebih dari 42 minggu,
berat lahir kurang dari 2500 gram, kecil masa kehamilan, resusitasi saat
persalinan, kelainan kongenital, gawat napas, infeksi, kejang, hipoglikemia, dan
memerlukan tunjangan suportif cairan, oksigen, tansfusi darah atau yang lainnya
(Suradi, 2008).
Penggunaan sarana pelayanan intensif diharapkan mampu mengurangi
angka kematian neonatus, meskipun demikian tidak selalu neonatus yang dirawat
di NICU terhindar dari kematian. Beberapa kelainan atau kondisi neonatus yang
sering dirawat di NICU yaitu: anemia, apneu, bradikardia, hidrosefalus,
perdarahan intrakranial, hiperbilirubinemia, enterokolitis nekrotikan, patent
ductus arteriosus (PDA), gawat napas, sepsis, transient tachypnea of the newborn,
dan kondisi klinis lainnya (Butsashvili dkk., 2009). Perawatan neonatus di ruang
intensif diindikasikan untuk neonatus dengan: asfiksia, kegawatan pada
pernapasan, prematuritas dan berat lahir sangat rendah, kejang, perdarahan
intrakranial, syok, hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar,
enterokolitis nekrotikan dan sepsis (Meadow dkk., 2008; White dkk., 2005).
2.2.1 Asfiksia
Asfiksia merupakan keadaan neonatus lahir tidak bernapas secara spontan,
teratur dan adekuat. Keadaan ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: lanjutan
asfiksia intra partum; aspirasi cairan amnion, darah, mekonium, dan muntahan;
imaturitas paru; kelainan jantung bawaan dan paru; anemia pada fetus; retardasi
pertumbuhan intra uterin; kehamilan lewat waktu; infeksi fetus. Asfiksia dapat
11
terjadi pada hipoksia ibu karena anemia berat, penyakit paru kronis; menurunnya
aliran darah dari ibu ke fetus pada hipotensi karena perdarahan, preeklamsia,
eklamsia, diabetes melitus; obat anastesi yang berlebihan pada ibu; serta infark
dan perdarahan plasenta (Dharmasetiawani, 2008).
Pada neonatus dengan asfiksia akan terjadi penurunan kadar tekanan
oksigen (PaO2) tubuh, peningkatan tekanan karbondioksida (PCO2), penurunan
keasaman (pH) darah, dan gangguan sirkulasi darah (Dharmasetiawani, 2008).
Adanya asfiksia pada neonatus ditentukan dengan nilai APGAR (Tabel 2.1) pada
menit ke-1, 5, 10, dan 15.
Tabel 2.1 Nilai APGAR
APGAR Tanda Nilai
0 1 2
Appearance Warna kulit Biru/pucat Tubuh merah, ekstremitas biru
Merah seluruh tubuh
Pulse Laju Jantung
Tidak ada < 100 x/mnt > 100 x/mnt
Grimace Refleks Tidak ada Menyeringai/gerakan sedikit
Batuk, bersin, menangis kuat
Activity Tonus otot Lunglai Fleksi ekstremitas lemah
Gerakan aktif
Respiration Laju Nafas Tidak ada Tidak teratur, dangkal
Menangis kuat, teratur
Sumber: American Academy of Pediatrics, Committee on Fetus and Newborn, American
College of Obstetricians and Gynecologists and Committee on Obstetric Practice, 2006.
12
2.2.2 Gawat napas
Berbagai kondisi dapat menyebabkan gawat napas pada neonatus seperti
penyakit membran hialin, pneumonia neonatal, transient tachypnea of the
newborn, sindrom aspirasi mekoneum, sepsis, serta kelainan atau gagal jantung
(Kosim, 2008a).
Penyakit membran hialin biasanya terjadi pada neonatus kurang bulan
yang timbul segera atau beberapa saat setelah lahir akibat kekurangan surfaktan.
Pneumonia neonatal merupakan infeksi pada paru yang terjadi perinatal atau
pascanatal. Gawat napas pada transient tachypnea of the newborn terjadi segera
setelah lahir akibat penyerapan cairan paru-paru janin terlambat pada sistem
limfatik atau akibat kekurangan surfaktan ringan. Pada neonatus dengan cairan
amnion yang terkontaminasi mekoneum bisa mengakibatkan sindrom aspirasi
mekoneum akibat janin menghirup cairan amnion tersebut. Pada sepsis terjadinya
gawat napas akibat respon sistemik dan atau kegagalan multiorgan terutama pada
paru akibat infeksi, sedangkan pada gagal jantung akan terjadi bendungan pada
paru (Kosim, 2008a).
Umumnya gawat napas ditandai dengan napas cepat, napas cuping hidung,
grunting, letargi, tidak mau minum, retraksi dinding dada, distensi abdomen,
perfusi perifir kurang, dan atau sianosis. Pemeriksaan analisis gas darah
menunjukkan hipoksemia sampai asidosis. Pemeriksaan radiologi diperlukan
untuk menunjang diagnosis gawat napas dan gambarannya sesuai dengan kelainan
atau penyebab gawat napas (Kosim, 2008a).
13
2.2.3 Neonatus kurang bulan
Neonatus kurang bulan atau neonatus prematur adalah neonatus yang
dilahirkan ibu pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu (kurang dari 259 hari).
Neonatus kurang bulan umumnya mempunyai berat lahir rendah dengan variasi
berat lahir yaitu: kecil untuk masa kehamilan, sesuai untuk masa kehamilan atau
besar untuk masa kehamilan (Damanik, 2008). Insiden bayi berat lahir rendah
(BBLR) sekitar 19% atau kurang lebih 24 juta pertahun dari seluruh neonatus,
dan merupakan salah satu faktor penyebab yang penting dalam kematian neonatal
(Almeida dkk., 2008).
Kegawatan pada neonatus kurang bulan berkaitan dengan prematuritas,
infeksi, asfiksia pada waktu lahir, hipotermia dan gangguan pemberian minum.
Sebagian besar dari neonatus tersebut lahir dari usia kehamilan ibu sangat
prematur dengan berat lahir sangat rendah. Masalah yang ditemukan pada
neonatus kurang bulan adalah kegagalan adaptasi kehidupan di luar rahim,
disebabkan kurang matangnya sistem organ. Pernapasan neonatus kurang bulan
kurang dapat beradaptasi dengan pergantian gas dan terjadi depresi perinatal di
ruang bersalin. Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebabkan defisiensi
surfaktan. Apneu disebabkan kurang matangnya mekanisme pengaturan napas.
Neonatus kurang bulan juga mempunyai risiko terjadi Bronchopulmonary
dysplasia (BPD), dan chronic pulmonary insufficiency (Damanik, 2008; Kosim,
2006).
Neonatus dengan berat lahir rendah berisiko mengalami asfiksia karena
faktor paru yang belum matang (prematur), atau karena distres pernapasan
(gangguan napas) pada neonatus yang kecil untuk masa kehamilannya (Wang
14
dkk.,2012). Neonatus dengan berat lahir rendah mempunyai dua risiko yang
mengancam kehidupannya yaitu prematuritas dengan berat lahir rendah dan
asfiksia. Insiden asfiksia pada usia kehamilan kurang dari 36 minggu adalah 9%,
sedang lebih dari 36 minggu sekitar 0,5% dan menyebabkan kematian 20% kasus
(Kosim, 2006).
Gangguan atau masalah neurologi sering menjadi masalah pada neonatus
kurang bulan. Penyebab utama kelainan atau gangguan neurologis pada bayi baru
lahir kurang bulan adalah ensefalopati iskemik hipoksik (EIH), perdarahan
periventrikular, dan intraventrikular (Damanik, 2008). Pada neonatus kurang
bulan insidens EIH, kematian dan cacat secara bermakna lebih tinggi dibanding
bayi cukup bulan. Kelainan neurologis pada neonatus kurang bulan sebagai
penyebab utama kematian, gangguan neurologis berat, dan terjadi dampaknya
dalam jangka panjang (Kosim, 2006).
Neonatus kurang bulan berisiko mengalami gangguan kardiovaskular
seperti hipotensi dan patent ductus arteriosus (PDA). Hipotensi pada neonatus
kurang bulan terjadi akibat hipovolemia, seperti kehilangan volume karena
memang volumenya yang relatip kecil atau gangguan fungsi jantung dan
vasodilatasi akibat sepsis. Pada neonatus kurang bulan kejadian PDA cukup
sering dan dapat mengakibatkan terjadinya gagal jantung kongestif (Damanik,
2008; Kosim, 2006).
Berbagai risiko lainnya pada neonatus kurang bulan yaitu: (1) Gangguan
hematologi seperti anemia dan hiperbilirubinemia. Anemia sering terjadi pada
neonatus kurang bulan akibat berbagai macam penyebab termasuk imaturitas
sistem hematopoitik atau akibat hipoksia oleh berbagai sebab. (2) Gangguan
15
metabolik; terjadi gangguan metabolisme glukosa dan kalsium, terutama pada
neonatus kurang bulan dengan gangguan nutrisi, sakit berat atau gangguan
intrauterin. (3) Masalah nutrisi; pada neonatus kurang bulan memerlukan
perhatian khusus tentang jenis, jumlah dan cara pemberiannya. (4) Gangguan
gastrointestinal; prematuritas merupakan risiko terbesar terjadinya enterokolitis
nekrotikans. (5) Masalah imaturitas ginjal; ditandai dengan kecepatan filtrasi
glomerulus yang rendah dan ketidak mampuan untuk mengatasi beban air,
kepekatan dan keasaman. Neonatus kurang bulan perlu perhatian khusus karena
bisa terjadi kesulitan dalam manajemen cairan dan elektrolit akibat imaturitas
ginjal. (6) Gangguan pengaturan suhu; pada neonatus kurang bulan cenderung
terjadi hipotermi dan hipertermi. (7) Imaturitas sistem imun; pada neonatus
kurang bulan terjadi defisiensi respons imun seluler dan humoral, neonatus kurang
bulan mempunyai risiko terjadinya infeksi lebih besar dibanding bayi cukup
bulan. (8) Masalah oftalmologik; dapat terjadi retinopathy of prematurity ( ROP)
pada neonatus kurang bulan karena retina imatur (Kosim, 2006; Damanik, 2008;
Filho dkk., 2009).
2.2.4 Kejang pada neonatus
Neonatus yang mengalami kejang merupakan indikasi untuk perawatan
intensif. Kejang dapat mengakibatkan hipoksia otak yang mengancam
kelangsungan hidup neonatus atau dapat mengakibatkan sekuele. Manifestasi
kejang pada neonatus mulai dari kejang fokal sampai kejang umum termasuk
mioklonik dan gerakan motor automatism (subtle) (Sarosa, 2008).
16
Umumnya kejang yang dialami neonatus adalah kejang fokal berupa
kontraksi ritmis otot-otot tungkai, muka, dan batang tubuh yang simultan pada
dua sisi tubuh. Serangan kejang yang terjadi pada masa neonatus disebabkan
ensefalopati iskemik hipoksik (EIH) (50-60%), perdarahan intrakranial (10%),
infeksi intrakranial (5-10%), defek perkembangan (5-10%), gangguan metabolik
(hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesemia, hiponatremia, hipernatremia,
gangguan metabolisme asam amino dan asam organik), dan lain-lain (Sarosa,
2008; Ismael, 1999).
2.2.5 Perdarahan intrakranial
Perdarahan intrakranial pada neonatus sering menyebabkan kematian, dan
merupakan indikasi untuk perawatan intensif. Perdarahan terjadi karena robekan
pembuluh darah akibat proses persalinan, trauma, asfiksia, atau pada neonatus
kurang bulan (Sarosa, 2008).
Perdarahan yang sering terjadi adalah perdarahan subarachnoid, subdural,
dan perdarahan periventrikular/intraventrikular. Manifestasi klinis yang umum
dijumpai adalah kejang, apneu, sianosis, letargi, jitterness, muntah, ubun-ubun
besar menonjol, tangis melengking dan perubahan tonus otot (Sarosa, 2008).
2.2.6 Syok pada neonatus
Syok merupakan sindrom klinis akibat kegagalan sistem sirkulasi sehingga
pasokan oksigen dan substrat metabolik ke jaringan tidak memadai. Syok pada
neonatus merupakan kedaruratan karena berisiko tinggi mengalami kematian
(Kosim, 2008b).
17
Penurunan volume sirkulasi darah adalah penyebab utama syok pada
neonatus dan dapat diakibatkan oleh berbagai hal: perdarahan plasenta, transfusi
feto maternal, donor fetus pada transfuse feto-fetal, trauma persalinan yang
mengakibatkan perdarahan, perdarahan intrakranial, perdarahan intraabdomial,
perdarahan paru yang hebat, pembekuan intravaskular menyeluruh (PIM) atau
DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) atau gangguan koagulasi lain,
keluarnya plasma ke kompartemen ekstravaskular pada keadaan sepsis dan
hipoproteinemia, serta kehilangan cairan dan elektrolit yang berlebihan terjadi
pada keadaan dehidrasi (Kosim, 2008b).
2.2.7 Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar bilirubin indirek plasma dua
standar deviasi atau lebih dari kadar normal berdasarkan umur bayi. Efek toksis
bilirubin pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan bilirubin ensefalopati atau
kern ikterus yang bisa menyebabkan kematian. Bilirubin ensefalopati timbul pada
kadar bilirubin yang tinggi dan memerlukan transfusi tukar. Neonatus dengan
kondisi ini memerlukan ruang perawatan intensif untuk pemantauan terjadinya
bilirubin ensefalopati dan tindakan transfusi tukar (Sukadi, 2008).
2.2.8 Enterokolitis nekrotikan
Enterokolitis nekrotikan (EKN) neonatal merupakan penyakit kerusakan
usus yang berat terutama pada usus yang imatur yang disebabkan oleh kerusakan
vaskular, kerusakan mukosa usus dan kelainan metabolik, serta terjadi iskemia,
inflamasi, dan nekrosis pada usus. Insiden enterokolitis nekrotikan sekitar 2 kasus
setiap 1000 kelahiran hidup. Pada neonatus yang dirawat di unit perawatan
18
intensif neonatal 2%-5% mengalami EKN. Pada bayi berat lahir sangat rendah
insidennya berkisar antara 5%-10% (Kosim, 2006).
Manifestasi klinis EKN ada dua tipe berdasarkan saat timbulnya, yaitu
EKN dini dan EKN lambat. Tipe dini terjadi pada minggu pertama dan seringkali
24-48 jam sesudah lahir. Tipe lambat terjadi lebih dari umur satu minggu, terjadi
terutama pada neonatus kurang bulan. Gejala klinis dapat berupa manifestasi
sistemik seperti apnea berulang, bradikardi, letargi, hipotonia, pengisian kapiler
(capillary refill time/CRT) lebih dari tiga detik, suhu yang tidak stabil, asidosis
metabolik. Manifestasi gastrointestinal antara lain perut kembung, residu dalam
lambung, muntah mengandung empedu atau darah, dan adanya darah dalam feses.
Pada neonatus dengan EKN memerlukan perawatan intensif karena risiko
kematian akibat manifestasi sistemik yang berat (Kosim, 2006).
2.2.9 Sepsis neonatorum
Sepsis Neonatorum adalah infeksi bakteri pada aliran darah neonatus
selama bulan pertama kehidupan (Stoll, 2007). Sepsis bakterial pada neonatus
adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi sistemik dan diikuti dengan
bakteremia pada bulan pertama kehidupan (usia 0 sampai 28 hari). Sepsis
merupakan suatu proses berkelanjutan mulai dari infeksi, systemic inflammatory
response syndrome (SIRS), sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik, disfungsi
multiorgan, dan akhirnya kematian (Aminullah, 2008). Sebagian besar neonatus
yang dirawat di ruang intensif dicurigai mengalami sepsis neonatorum karena
memiliki gambaran klinis yang luas.
19
Sepsis neonatus dapat menimbulkan kerusakan otak yang disebabkan oleh
meningitis, syok septik atau hipoksemia, dan juga kerusakan organ-organ lainnya
seperti gangguan fungsi jantung, paru-paru, hati, dan lain-lain. Sepsis neonatorum
ini sering tidak terdeteksi dan menyebabkan kematian dalam waktu yang singkat
(Kardana, 2011; Rohsiswatmo, 2005). Gambaran klinis pasien sepsis neonatorum
tidak spesifik. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi empat
variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan,
dan variabel inflamasi (Tabel 2.2) (Haque, 2005).
Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis Sepsis pada Neonatus
Variabel Klinis - Suhu tubuh yang tidak stabil - Laju nadi > 180 x/menit atau < 100 x/menit - Laju nafas > 60 x/menit dengan retraksi/desaturasi oksigen - Letargi - Intoleransi glukosa (plasma glukosa > 10 mmol/L) - Intoleransi minum
Variabel Hemodinamik - Tekanan darah < 2SD menurut usia bayi - Tekanan darah sistolik < 50 mmHg (bayi usia 1 hari) - Tekanan darah sistolik < 65 mmHg (bayi usia < 1 bulan)
Variabel perfusi jaringan - Pengisian kembali kapiler/capillary refill > 3 detik - Asam laktat plasma > 3 mmol/L
Variabel inflamasi - Leukositosis (> 34.000 /ml3) - Leukopenia (< 5000/ml3) - Netrofil muda > 10% - Imatur neotrofil : total neutrofil (I:T ratio) > 0,2 - Trombositopenia < 100.000/ml - CRP > 10 mg/dl atau > 2 SD atas nilai normal - Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau > 2SD dari nilai normal - IL -6 atau IL -8 > 70 pg/ml - 16 S rRNA gene PCR : positif
Sumber: Haque, 2005.
20
2.3 Sistem Skoring sebagai Alat Duga Kematian Neonatus
2.3.1 Perkembangan sistem skoring
Penilaian derajat keparahan penyakit diperlukan untuk mengetahui
kemungkinan prognosis mengenai perjalanan penyakit, mekanisme fisiologi
spesifik suatu penyakit serta penatalaksanaannya. Penilaian ini akan memberikan
informasi yang sesuai sehingga antara rumah sakit dan pasien (orangtua pasien)
mempunyai persepsi yang sama (Ricardson dkk., 1993b).
Sistem skoring diharapkan mempertimbangkan kondisi fisiologis, klinis
neonatus, dan tempat demografis. Sistem skoring untuk menentukan derajat
keparahan penyakit dikembangkan secara luas. Beberapa sifat sistem skoring
keparahan penyakit neonatal yang baik yaitu: (1) Kemudahan penggunaan; (2)
Kemampuan untuk diterapkan pada awal pemeriksaan atau rawat inap; (3)
Kemampuan untuk menduga kematian, morbiditas, atau biaya untuk neonatus; (4)
Kegunaan untuk semua kelompok neonatus. Secara umum kemungkinan masing-
masing sistem skoring sulit untuk memenuhi semua sifat. Berbagai pendekatan
digunakan untuk menyusun beberapa kondisi yang dipakai dan diberikan
skor/penilaian (Richardson dkk., 2001).
Beberapa skor alat duga kematian neonatus dirancang untuk neonatus.
Pilihan variabel yang dimasukkan dalam skor tersebut benar-benar dapat
mengukur faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas neonatus. Beberapa
sistem skoring diantaranya: Clinical Risk Index of Babies (CRIB), CRIB II,
Neonatal Therapeutic Intervention Scoring System (NTISS), Score for Neonatal
Acute Physiology (SNAP) dan Score for Neonatal Acute Physiology Perinatal
Extension (SNAPPE), dan Score for Neonatal Acute Physiology II (SNAP II) dan
21
Score for Neonatal Acute Physiology Perinatal Extension II (SNAPPE II)
(Dorling dkk., 2005).
Clinical Risk Index of Babies (CRIB) digunakan untuk memprediksi
kematian untuk bayi lahir pada usia kehamilan kurang dari 32 minggu. Penilaian
ini dikembangkan di Inggris pada empat NICU dari tahun 1988 sampai 1990
melibatkan 812 neonatus dengan berat lahir sangat rendah. Clinical Risk Index of
Babies II (CRIB II) merupakan revisi dari CRIB, dengan variabel penilaian
berdasarkan usia kehamilan dan berat lahir, suhu tubuh saat masuk, jenis kelamin,
dan kehilangan basa untuk memprediksi kematian. Penilaian NTISS merupakan
modifikasi dari skor perawatan intensif dewasa, didasarkan pada perlakuan atau
tindakan yang diberikan kepada neonatus (Dorling dkk., 2005; Richardson dkk.,
1993b).
2.3.2 Score for Neonatal Acute Physiology Perinatal Extension II
Score for Neonatal Acute Physiology Perinatal Extension II merupakan
sistem skoring hasil revisi dari SNAP/SNAPPE. Score for Neonatal Acute
Physiology dikembangkan di Boston Amerika Serikat pada tahun 1990
menggunakan data dari tiga unit perawatan neonatus. Penilaian derajat keparahan
sakit neonatus berdasarkan ketidakstabilan fisiologi neonatus yang diperoleh dari
skor parameter klinis dan laboratorium dalam 24 jam pertama (Dorling dkk.,
2005; Richardson dkk., 1993b).
Score for Neonatal Acute Physiology mempunyai 27 parameter penilaian
(Tabel 2.3), tiap parameter dinilai berdasarkan skor tingkat ketidakstabilan
fisiologi yang terburuk. Score for Neonatal Acute Physiology didesain untuk
22
menilai secara objektif kuantitas derajat berat sakit neonatus (Richardson dkk.,
1993b).
Penentuan skala dan variabel SNAP ditentukan oleh para ahli dengan
pertimbangan variabel tersebut berhubungan dengan kondisi neonatus. Penilaian
SNAP terdiri dari skor 1, 3, dan 5. Skor 1 menunjukkan adanya keadaan fisiologis
abnormal dan memerlukan pemantauan lebih lanjut. Skor 3 merupakan keadaan
atau gangguan fisiologis yang memerlukan alternatif perubahan terapi. Skor 5
menunjukkan suatu keadaan akut yang dapat mengancam jiwa (Richardson dkk.,
1993b).
Penelitian sistem skoring (SNAP) oleh Richardson dkk. (1993b)
mendapatkan hubungan yang bermakna skor SNAP dengan kematian neonatus.
Tidak ada pengaruh terhadap perbedaan jenis kelamin dan ras (kulit putih/ kulit
hitam). Score for Neonatal Acute Physiology berkorelasi dengan NTISS dan
derajat berat sakit berhubungan dengan kebutuhan pengobatan di ruang intensif
dan peningkatan penggunaan peralatan NICU. Penilaian dengan SNAP
berhubungan secara bermakna terhadap perkiraan kematian neonatus oleh ahli
berdasarkan keahlian dan pengalaman perawatan neonatus, dan terdapat hubungan
yang bermakna antara SNAP dengan lama perawatan (Richardson dkk., 1993b).
Setelah terbentuk SNAP beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai
sensitivitas SNAP sebagai alat duga kematian neonatus. Penelitian Escobar dkk.
(1995) di California Amerika Serikat pada tiga NICU, mendapatkan SNAP
memiliki validitas yang baik sebagai alat duga kematian neonatus (Escobar dkk.,
1995).
23
Tabel 2.3 Score for Neonatal Acute Physiology
Parameter Rentang Skor 1 3 5
Tekanan darah (rerata), mmHg
Hi
66-80
81-100
>100
Lo 30-35 20-29 <20 Laju jantung Hi 180-200 201-250 >250 Lo 80-90 40-79 <40 Laju napas 60-100 >100 -- Suhu tubuh °F 95-96 92-94.9 <92 PaO2, mmHg 50-65 30-50 <30 Rasio PaO2/FiO2 2,5-3,5 0,3-2,49 <0,3 PCO2, mmHg 50-65 66-90 >90 Indeks oksigenasi 0,07-0,20 0,21-0,40 >0,40 Hematokrit, % Hi 66-70 >70 -- Lo 30-35 20-29 <20 Jumlah lekosit (K/uL) 2,0-5,0 <2,0 -- Rasio immature/total >0,21 -- -- Jumlah netrofil absolut (/uL) 500-999 <500 -- Jumlah trombosit (K/uL) 30-100 0-29 -- Nitrogen urea darah, md/dL 40-80 >80 -- Kreatinin, mg/dL 1,2-2,4 2,5-4,0 >4,0 Keluaran urin, ml/kg/jam 0,5-0,9 0,1-0,49 <0,1 Bilirubin indirek (sesuai berat lahir), mg/dL >2 kg 15-20 >20 -- ≤2 kg 5-10 >10 -- Bilirubin direk, mg/dL ≥2,0 -- -- Natrium, mEq/L Hi 150-160 161-180 >180 Lo 120-130 <120 -- Kalium, mEq/L Hi 6,6-7,5 7,6-9,0 >9,0 Lo 2,0-2,9 <2,0 -- Kalsium terionisasi, mg/dL Hi ≥1,4 -- -- Lo 0,8-1,0 <0,8 -- Kalsium total, mg/dL Hi ≥12 -- -- Lo 5,0-6,9 <5,0 -- Gula darah, mg/dL Hi 150-250 >250 -- Lo 30-40 <30 -- Serum bikarbonat, mEq/L Hi ≥33 -- -- Lo 11-15 ≤10 -- pH serum 7,20-7,30 7,10-7,19 <7,10 Kejang Tunggal Multipel -- Apneu Respon
dengan stimulus
Tidak respon dengan
stimulus
Henti napas
Perdarahan saluran cerna Ada -- -- Sumber: Richardson dkk., 1993b. Hi: nilai tertinggi; Lo: nilai terendah Penelitian oleh Mohkam dkk. (2011) yang membandingkan SNAP dengan CRIB
sebagai alat duga kematian neonatus, mendapatkan bahwa sensitivitas SNAP
(94,4%) lebih tinggi dibandingkan CRIB (87,9%). Penelitian lanjutan oleh
24
Richardson dkk. (1993a) untuk pengembangan SNAP dengan memperhitungkan
berat lahir, usia kehamilan, dan nilai APGAR. Penelitian tersebut menghasilkan
Score for Neonatal Acute Physiology Perinatal Extension (SNAPPE) (Tabel 2.4).
Para ahli meyakini bahwa berat lahir neonatus yang sangat rendah
merupakan faktor yang bermakna menimbulkan kematian. Risiko kematian
meningkat pada neonatus dengan berat lahir amat sangat rendah. Dengan
peningkatan dan perawatan ruang intensif risiko kematian tersebut menjadi sangat
bervariasi untuk tiap negara maupun tiap ruang perawatan intensif pada satu
negara (Richardson dkk., 1993a).
Tabel 2.4 Score for Neonatal Acute Physiology Perinatal Extension
Skor SNAP
ditambah:
Berat lahir <749 gram 30
Berat lahir 750-999 gram 10
Nilai Apgar <7 pada menit ke-5 10
Kecil masa kehamilan (< persentil 5) 5
Sumber: Richardson dkk., 1993a. SNAP: Score for Neonatal Acute Physiology
Penelitian Escobar dkk. (1995) meneliti validitas SNAPPE mendapatkan
bahwa SNAPPE memiliki nilai diskriminasi yang sangat baik dengan Area Under
the Curve (AUC) sebesar 95%. Penelitian oleh Mohkam dkk. (2011) juga
mendapatkan nilai diskriminasi yang sangat baik untuk SNAPPE yaitu Area
Under the Curve (AUC) sebesar 91,8% dengan sensitivitas 89,8%.
Sistem skoring yang dikembangkan oleh Richardson dkk. yaitu SNAP
dan SNAPPE merupakan alat duga yang baik untuk mengetahui luaran neonatus
25
yang dirawat di ruang intensif. Keterbatasan SNAP dan SNAPPE adalah kesulitan
pengumpulan data untuk 30 parameter dan kadang-kadang tidak lengkap sehingga
nilai total skor sulit diperoleh. Richardson dkk. melakukan penyederhanaan
variabel pada SNAP/SNAPPE sehingga menjadi 9 variabel dan versi terbaru ini
dinamakan SNAPPE II (Tabel 2.5) (Richardson dkk., 2001).
Tabel 2.5 Score for Neonatal Acute Physiology Perinatal Extension II
Variabel Pengukuran Skor
Tekanan arteri rata-rata >29 mmHg 0 20-29 mmHg 9 <20 mmHg 19 Suhu tubuh >35,6 °C 0 35-35,5 °C 8 <35 °C 15 Rasio PaO2/FiO2 >2,49 0 1,0-2,49 5 0,3-0,99 16 <0,3 28 pH serum >7,19 0 7,10-7,19 7 <7,10 16 Kejang Tidak ada 0 Multipel 5 Keluaran urin >0,9 ml/kg/jam 0 0,1-0,9 ml/kg/jam 5 <0,1 ml/kg/jam 18 Berat lahir >999 gram 0 750-999 gram 10 <750 gram 17 Kecil masa kehamilan ≥persentil 3 0 <persentil 3 12 Nilai Apgar pada menit ke-5 ≥7 0 <7 18
Sumber: Richardson dkk., 2001.
Penyederhanaan variabel SNAP/SNAPPE dilakukan dengan melakukan
analisis univariat dan analisis multivariat terhadap semua variabel
26
SNAP/SNAPPE. Variabel yang tidak bermakna secara statistik tidak dipakai lagi
dalam penilaian SNAPPE II. Skor masing-masing variabel yang bermakna secara
statistik memengaruhi kematian neonatus ditetapkan berdasarkan koefisien
regresinya. Penelitian ini mendapatkan bahwa SNAPPE II memiliki nilai
diskriminasi yang sangat baik dengan Area Under the Curve sebesar 91% sebagai
alat duga kematian neonatus (Richardson dkk., 2001).
Penelitian SNAPPE II di Iran oleh Kadivar dkk. (2007) mendapatkan
bahwa skor SNAPPE II bermakna secara statistik berhubungan dengan kematian
neonatus (P=0,04). Pada penelitian tersebut didapatkan skor rata-rata SNAPPE II
adalah 21,6 dengan simpangan deviasi 1,1. Penelitian oleh Zardo dan Procianoy
(2003) mendapatkan nilai diskriminasi yang sangat baik untuk SNAPPE II yaitu
Area Under the Curve sebesar 94 %. Penelitian yang dilakukan oleh Mia dkk.
(2005) di Surabaya juga mendapatkan bahwa SNAPPE II memiliki diskriminasi
yang baik yaitu AUC sebesar 86,3 %. Hal ini sejalan dengan penelitian SNAPPE
II di Bandung oleh Thimoty dkk. (2009) yang mendapatkan AUC 93,3%.
Komponen SNAPPE II terdiri dari sembilan variabel yaitu: tekanan arteri
rata-rata, suhu tubuh, rasio tekanan parsial oksigen berbanding fraksi oksigen
(PaO2/FiO2), pH serum, adanya kejang, keluaran urin, berat lahir, kecil masa
kehamilan, dan nilai Apgar pada menit ke lima (Richardson dkk., 2001). Tekanan
darah berhubungan dengan sirkulasi dan perfusi pada neonatus. Tekanan darah
yang rendah dapat mengakibatkan syok pada neonatus. Keadaan hipoperfusi atau
syok akan mengakibatkan metabolisme menurun yang berakibat suhu tubuh
menurun, dan keluaran urin juga menurun (Kosim, 2008b).
27
Risiko kematian neonatus meningkat pada keadaan pH serum yang rendah
(asidosis). Neonatus kurang bulan dengan berat lahir sangat rendah, kecil masa
kehamilan, dan asfiksia neonatorum akan meningkatkan risiko gawat napas dan
terjadinya hipoksia jaringan. Keadaan ini akan mengakibatkan sindrom gawat
napas yang ditandai dengan penurunan rasio tekanan parsial oksigen berbanding
fraksi oksigen dan penurunan pH serum. Hipoksia pada otak akan menimbulkan
kejang dan sering bersifat multipel apabila hipoksia berlangsung lama (Sarosa,
2008; Kosim, 2006).
Score for Neonatal Acute Physiology Perinatal Extension II secara empiris
menentukan derajat berat sakit neonatus dari penilaian sembilan parameter
fisiologis neonatus yang dirawat di NICU. Sistem skoring pada SNAPPE II lebih
sederhana, akurat, dan mudah diterapkan (Richardson dkk., 2001).