BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengasuhan pada PAUD...

31
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengasuhan pada PAUD 2.1.1 Pengertian Pengasuh Devinisi pengasuh menurut arti kata, pengasuh memiliki kata dasar asuh yang artinya mengurus, mendidik, melatih, memelihara, dan mengajar. Kemudian diberi awalan peng- (pengasuh) berarti kata pelatih, pembimbing. Jadi pengasuh memiliki makna orang yang mengasuh, mengurus, memelihara, melatih dan mendidik. Menurut Hastuti (2010:1) “Pengasuh adalah pengalaman, ketrampilan, dan tanggung jawab sebagai orang tua dalam mendidik dan merawat anak”. Sebagaimana (Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini,2010:2), Tenaga pengasuh adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan pengasuhan dan perawatan kepada anak untuk menggantikan peran orangtua yang sedang bekerja/ mencari nafkah. lebih lanjut devinisi pengasuhan dapat dilihat dari beberapa pendapat para ahli berikut; Istilah kelekatan (attacment) untuk pertama kalinya dikemukakan oleh seorang psikologi dari Inggris bernama john Bowlby. Kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orangtua (Mc Cartney dan Dearing, 2007:3). Bowlby (Haditono,2007:4) menyatakan bahwa hubungan ini akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang di awali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu. Menurut Ainsworth (Belsky, 2007:4) “hubungan kelekatan berkembang melalui pengalaman bayi dengan pengasuh di tahun-tahun awal kehidupannya”. Intinya adalah kepekaan pengasuh dalam memberikan respon atas sinyal yang diberikan anak, sesegera mungkin atau menunda, respon yang di berikan 6

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengasuhan pada PAUD...

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pengasuhan pada PAUD

2.1.1 Pengertian Pengasuh

Devinisi pengasuh menurut arti kata, pengasuh memiliki kata dasar asuh yang artinya

mengurus, mendidik, melatih, memelihara, dan mengajar. Kemudian diberi awalan peng-

(pengasuh) berarti kata pelatih, pembimbing. Jadi pengasuh memiliki makna orang yang

mengasuh, mengurus, memelihara, melatih dan mendidik. Menurut Hastuti (2010:1) “Pengasuh

adalah pengalaman, ketrampilan, dan tanggung jawab sebagai orang tua dalam mendidik dan

merawat anak”. Sebagaimana (Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini,2010:2), Tenaga pengasuh

adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan pengasuhan dan

perawatan kepada anak untuk menggantikan peran orangtua yang sedang bekerja/ mencari

nafkah.

lebih lanjut devinisi pengasuhan dapat dilihat dari beberapa pendapat para ahli berikut;

Istilah kelekatan (attacment) untuk pertama kalinya dikemukakan oleh seorang psikologi dari

Inggris bernama john Bowlby. Kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang

dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam

kehidupannya, biasanya orangtua (Mc Cartney dan Dearing, 2007:3). Bowlby (Haditono,2007:4)

menyatakan bahwa hubungan ini akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia

yang di awali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu. Menurut Ainsworth

(Belsky, 2007:4) “hubungan kelekatan berkembang melalui pengalaman bayi dengan pengasuh

di tahun-tahun awal kehidupannya”. Intinya adalah kepekaan pengasuh dalam memberikan

respon atas sinyal yang diberikan anak, sesegera mungkin atau menunda, respon yang di berikan 6

tepat atau tidak. Pengasuh memegang peran penting dalam proses perkembangan seorang anak.

Hubungan kelekatan yang di harapkan terjalin adalah kelekatan yang aman. Dengan kelekatan

yang aman di harapkan anak akan mampu mencapai perkembangan yang optimal, sebaliknya

bila kelekatan yang terjadi adalah kelekatan yang tidak aman maka anak akan mengalami

masalah dalam proses perkembangannya. Selanjutnya hal ini dapat menjadi akar dari berbagai

masalah kriminal dan sosial yang marak terjadi akhir-akhir ini.

Parent dalam parenting memiliki beberapa definisi-ibu, ayah, seseorang yang akan

membimbing dalam kehidupan baru, seorang penjaga, maupun seorang pelindung. Parent adalah

seseorang yang mendampingi dan membimbing semua tahapan pertumbuhan anak, yang

merawat, melindungi, mengarahkan kehidupan baru anak dalam setiap tahapan

perkembangannya (Brooks, 2012:1).

Hoghughi (2012:1) menyebutkan bahwa pengasuhan mencakup beragam aktifitas yang

bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik.

Prinsip pengasuhan menurut Hoghughi tidak menekankan pada siapa (pelaku) namun lebih

menekankan pada aktifitas dari perkembangan dan pendidikan anak. Oleh karenanya pengasuhan

meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan emosi dan pengasuhan social. Pengasuhan emosi

mencakup pendampingan ketika anak mengalami kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan

seperti merasa terasing dari teman-temannya, takut, atau mengalami trauma. Pengasuhan emosi

ini mencakup pengasuhan agar anak merasa dihargai sebagai seorang individu, mengetahui rasa

dicintai, serta memperoleh kesempatan untuk menentukan pilihan dan untuk mengetahui

resikonya. Pengasuhan emosi ini bertujuan agar anak mempunyai kemampuan yang stabildan

konsisten dalam berinteraksi dengan lingkungannya, menciptakan rasa aman, serta menciptakan

rasa optimistic atas hal-hal baru yang akan ditemui oleh anak. Sementara itu, pengasuhan sosial

bertujuan agar anak tidak merasa terasing dari lingkungan sosialnya yang akan berpengaruh

terhadap perkembangan anak pada masa-masa selanjutnya. Pengasuhan sosial ini menjadi sangat

penting karena hubungan sosial yang dibangun dalam pengasuhan akan membentuk sudut

pandang terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya. pengasuhan sosial yang baik berfokus pada

memberikan bantuan kepada anak untuk dapat terintegrasi dengan baik di lingkungan rumah

maupun sekolahnya dan membantu mengajarkan anak akan tanggung jawab sosial yang harus

diembannya (Hughoghi, 2012:1).

Sementara itu, menurut Jerome Kagan seorang psikolog perkembangan mendefinisikan

pengasuhan (parenting) sebagai serangkaian keputusan tentang sosialisasi pada anak, yang

mencakup apa yang harus dilakukan oleh orang tua/ pengasuh agar anak mampu bertanggung

jawab dan memberikan kontribusi sebagai anggota masyarakat termasuk juga apa yang harus

dilakukan orang tua/ pengasuh ketika anak menangis, marah, berbohong, dan tidak melakukan

kewajibannya dengan baik (Berns, 2012:1). Berns (2012:1) menyebutkan bahwa pengasuhan

merupakan sebuah proses interaksi yang berlangsung terus-menerus dan mempengaruhi bukan

hanya bagi anak juga bagi orang tua. Senada dengan Berns, Brooks (2012:1) juga

mendefinisikan pengasuhan sebagai sebuah proses yang merujuk pada serangkaian aksi dan

interaksi yang dilakukan orang tua untuk mendukung perkembangan anak. Proses pengasuhan

bukanlah sebuah hubungan satu arah yang mana orang tua mempengaruhi anak namun lebih dari

itu, pengasuhan merupakan proses interaksi antara orang tua dan anak yang dipengaruhi oleh

budaya dan kelembagaan sosial dimana anak dibesarkan.

Menurut Ki Kajar Dewantara pengasuhan berasal dari kata ”asuh” artinya pemimpin,

pengelola, pembimbing. Maka pengasuh adalah orang yang melaksakan tugas membimbing,

memimpin atau mengelola. Dalam hal ini pengasuh anak maksudnya adalah memelihara dan

mendidiknya dengan penuh pengertian. Ki Hajar Dewantara membagi pendidikan di Indonesia

menjadi tiga bagian yaitu : informal, yaitu dalam keluarga, formal yaitu sekolah, dan nonformal

yaitu dalam masyarakat.

Merujuk pada beberapa definisi tentang pengasuhan tersebut menunjukkan bahwa konsep

pengasuhan mencakup beberapa pengertian pokok, antara lain: (i) pengasuhan bertujuan untuk

mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal, baik secara fisik, mental

maupun sosial, (ii) pengasuhan merupakan sebuah proses interaksi yang terus menerus antara

orang tua dengan anak, (iii) pengasuhan adalah sebuah proses sosialisasi, (iv) sebagai sebuah

proses interaksi dan sosialisasi proses pengasuhan tidak bisa dilepaskan dari sosial budaya

dimana anak dibesarkan.

Berdasarkan uraian di atas , pengasuh yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

pengasuh dilembaga penitipan anak. Sebagaimana (Direktorat Pendidikan Anak Usia

Dini,2010:2), Tenaga pengasuh adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk memberikan

pelayanan pengasuhan dan perawatan kepada anak untuk menggantikan peran orangtua yang

sedang bekerja/ mencari nafkah.

2.1.2 Kualifikasi pengasuh dan hal-hal yang menjadi syarat kemampuan pengasuh

Salah satu syarat untuk menjadi pengasuh adalah memiliki syarat-syarat kemampuan

pengasuh. Salah satunya memiliki kualifikasi pengasuh sebagaimana ditinjau dari Kualifikasi

Akademik: Pengasuh harus memiliki kualifikasi akademik minimum SMA sederajat. Dan

ditinjau dari Kompetensi Pengasuh: 1).memahami dasar pengasuhan; 2).terampil melaksanakan

pengasuhan; 3). bersikap dan berperilaku sesuai dengan kebutuhan psikologis. (Direktorat

Pendidikan Anak Usia Dini,2010:13).

1. Pengasuh harus memahami dasar pengasuhan yaitu memahami peran pengasuhan

terhadap pertumbuhan dan perkembangangan anak, memahami pola makan dan

kebutuhan gizi anak, memahami layanan dasar kesehatan dan kebersihan anak,

memahami tugas dan kewenangan dalam membantu guru dan guru pendamping.

2. Pengasuh harus terampil melaksanakan pengasuhan yaitu terampil dalam melakukan

perawatan kebersihan anak, terampil bermain dan berkomunikasi secara verbal dan non

verbal dengan anak, mengenali dan mengatasi ketidak nyamanan anak, terampil merawat

kebersihan fasilitas bermain anak.

3. Pengasuh harus bersikap dan berperilaku sesuai dengan kebutuhan psikologis anak yaitu

menyayangi anak secara tulus, berperilaku sabar, tenang, ceria, penuh perhatian, serta

melindungi anak, memiliki kepekaan dan humoris dalam menyingkapi perilaku anak,

menampilkan diri sebagai pribadi yang dewasa, arif, dan bertanggung jawab.

Berpenampilan rapi bersih dan sehat. Berperilaku santun, menghargai, dan hormat

kepada orangtua anak.

Selanjutnya Menurut (Surya, 2007:2) bahwa “Hal-hal yang menjadi syarat kemampuan

pengasuh adalah: 1). pengetahuan tentang kesehatan. 2). kemampuan berbahasa yang jelas dan

santun. 3). memiliki kecerdasan yang cukup tinggi. 4). berperilaku sopan dan santun.

1. Seorang pengasuh haruslah memiliki pengetahuan tentang kesehatan terutama kesehatan

anak misalnya: makanan apa yang dianjurkan dan makanan apa yang tidak dianjurkan

bagi anak usia 0-4 tahun, bagaimana pertolongan pertama ketika mengalami kecelakaan

atau sakit, Bagaimana menjaga kebersihan dan kesehatan anak dsb.

2. Seorang pengasuh haruslah selalu berbahasa yang santun dan jelas. Pada usia tersebut,

anak sedang melatih ketrampilannya dalam berbicara. Dan pada masa itu, untuk

mengasah ketrampilan anak dalam berbicara dan menjaga kesantunannya, seorang

pengasuh harus menjaga tutur katanya.

3. Seorang pengasuh harus memiliki kecerdasan yang cukup tinggi karena anak usia

tersebut memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan selalu ingin bereksplorasi. Sehingga

dengan kompetensi yang dimilikinya, pengasuh tersebut menstimulasi semua aspek

tumbuh kembang anak.

4. Pengasuh harus berperilaku santun dan sopan Karena pada usia ini anak membutuhkan

figure yang bisa memberikan tauladan dalam perjalanan pengembangan karakternya.

Berdasarkan syarat kemampuan pengasuh yang telah diuraikan di atas, Pengasuh yang

ada di TPA diharapkan benar-benar memahami prinsip-prinsip dasar pendidikan, perawatan dan

pengasuhan terhadap anak usia dini.

2.1.3 Gaya Pengasuhan/Tipe pengasuh

Menurut Kohn (dalam Zahroh, 2012:10), menyatakan bahwa pola asuh merupakan sikap

orangtua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orangtua ini meliputi cara orangtua

memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orangtua menunjukkan otoritasnya

dan juga cara orangtua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anak.

Berdasarkan pengertian tersebut disimpulkan bahwa yang dimaksud orang tua dalam

penelitian ini adalah pengasuh yang ada di TPA Al-Ishlah. Pola asuh dalam penelitian ini

merupakan sikap pengasuh dalam berinteraksi dengan anak asuhnya. Sikap pengasuh ini meliputi

cara memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara pengasuh menunjukkan

otoritasnya dan juga cara pengasuh memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anak

asuhnya.

Menurut Hastuti (2010:1) “Gaya pengasuhan adalah cara interaksi pengasuh kepada anak

asuh. Pada dasarnya ada 2 tipe pengasuhan yaitu: gaya pelatihan emosi (parental emotional

styles) dan gaya pendisiplinan. gaya pelatih emosi terbagi dua yaitu; gaya pelatih emosi

(coaching) dan gaya pengabai emosi. Sedangkan untuk gaya pendisiplinan terbagi atas tiga yaitu;

Otoriter (authoritarian), Demokratis (authoritative), Membiarkan (permissive).

Tipe pengasuhan (Hastuti,2010:1) yaitu;

1. Gaya pelatihan emosi (parental emotional styles) merupakan pola pengasuhan dimana

pengasuh mampu membantu anak asuh untuk menangani emosi terutama emosi negatif.

Pengasuh tipe ini mampu menilai emosi negatif sebagai kesempatan untuk menciptakan

keakraban tanpa kehilangan kesabaran. Bentuk pengasuhan ini berhubungan dengan

kepercayaan pengasuh terhadap anak untuk mengatur emosi dan menyelesaikan suatu

masalah sehingga Pengasuh bersedia meluangkan waktu saat anak sedih, marah dan takut

serta mengajarkan cara mengungkapkan emosi yang dapat diterima orang lain.

2. Gaya pengabai emosi (dismissing parenting style). Pola pengasuhan dimana pengasuh

tidak punya kesadaran dan kemampuan untuk mengatasi emosi anak serta percaya bahwa

emosi negatif sebagai cerminan buruknya ketrampilan pengasuhan. Pengasuh tipe ini

menganggap bahwa anak terlalu cengeng saat sedih sehingga Pengasuh tidak

menyelesaikan masalah anak dan beranggapan bahwa emosi anak akan hilang dengan

sendirinya.

Sementara itu untuk gaya pendisiplinan (Hastuti,2010:1) terbagi atas tiga yaitu;

1). Pendisiplinan otoriter (authoritarian); 2). Pendisiplinan demokratis (authoritative);

3).Pendisiplinan permissive

1. Pendisiplinan otoriter (authoritarian). Yaitu pola asuh dimana pengasuh memberi aturan

yang ketat dan adanya otoritas dari pengasuh untuk menetapkan aturan yang bersifat kaku

dan tanpa penjelasan. pengasuh dengan tipe ini biasanya mendikte segala perbuatan yang

seharusnya dilakukan anak serta tidak mengharapkan anak membantah keputusan yang

telah ditetapkan.

2. Pendisiplinan demokratis (authoritative). Pada pola asuh ini dimana pengasuh memberi

batasan yang tinggi namun juga memberi penjelasan sesuai pola pikir anak (toleran

kepada anak). Pengasuh tipe ini memberikan batasan dan aturan kepada anak tetapi juga

memberikan konsekuensi yang bersifat naluriah kepada anak apabila mereka melakukan

kesalahan kepada anak. Selain itu pengasuh tipe ini juga menjelaskan pentingnya aturan

yang telah di sepakati dan mengapa aturan tersebut harus dijalani oleh anak.

3. Pendisiplinan permissive merupakan pola asuh dimana Pengasuh tipe ini memberi

aturan/batasan yang longgar ke anak dan kurang memberi pengarahan/ penjelasan ke

anak dalam memahami masalah kehidupan. Pengasuh tipe ini lebih responsive terhadap

kebutuhan anak namun tidak memberi batasan yang tepat bagi perilaku anak sehingga

anak dapat membuat aturan, jadwal dan aktifitas sendiri.

Sementara itu Ki Hajar Dewantara(2012:1) menerapkan lima konsep dalam pengasuhan

1). Pembiasaan, 2). Belajar sambil bermain, 3). Belajar dengan cara pemberian contoh atau

teladan. 4). Pengenalan prinsip norma agama, dan 5). Memberikan motivasi dan membangkitkan

kemauan.

Mengacu pada konsep mengasuh tersebut diperoleh bahwa Pola asuh adalah perlakuan

pengasuh dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberikan perlindungan, dan mendidik anak

dalam kehidupan sehari-hari. Pola asuh lebih menyangkut pada perawatan dan perlindungan

anak yang sangat menentukan pembentukan fisik dan mental anak. Pola asah menyangkut

perawatan dalam menyuburkan kecerdasan majemuk, utamanya terkait dengan aspek kognitif

dan psikomotorik. Sedangkan pola asah ini meliputi pembentukan intelektualitas, kecakapan

bahasa, keruntutan logika dan nalar, serta ketangkasan dalam mengolah gerak tubuh. Sementara

pola asih dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan spritual merupakan perawatan anak

anak dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan spritual sehingga mampu menyuburkan

rasa kasih sayang, empati, memiliki norma dan nilai sosial yang bisa diterima oleh masyarakat.

Sedangkan pola asuh yang mempengaruhi perkembangan afeksi anak, meliputi moral, akhlak,

emosi dan perilaku.

2.2 Hakekat Kecerdasan Interpersonal/sosial

2.2.1 Pengertian Kecerdasan Interpersonal/Sosial

Howard Garner (dalam Coqwer, 2012:2) mengemukakan bahwa “Kecerdasan Interpersonal

adalah kemampuan untuk mengamati dan mengerti maksud, motivasi dan perasaan orang lain”.

Gardner menekankan kepekaan kepada ekspresi wajah, suara dan gerakan tubuh orang lain dan

kemampuan memberikan respon secara efektif dalam berkomunikasi.

Dalam pengertian tersebut maka yang dimaksud dengan Kecerdasan interpersonal anak

dalam penelitian ini adalah kemampuan anak untuk berinteraksi dan bekerja sama dengan

pengasuh atau orang lain. Kecerdasan interpersonal anak dalam hal ini peka pada ekspresi,

suara dan gerakan tubuh orang lain dan ia mampu memberikan respon secara efektif dalam

berkomunikasi. Kecerdasan ini juga mampu untuk masuk kedalam diri orang lain, mengerti

pandangan, sikap orang lain dan umumnya dapat memimpin kelompok.

Kecerdasan interpersonal juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berlangsung

antar dua pribadi, mencirikan proses-proses yang timbul sebagai suatu hasil dari interaksi

individu dengan individu lainnya. Kecerdasan interpersonal menunjukkan kemampuan

seseorang untuk peka terhadap perasaan orang lain. Mereka cenderung untuk memahami dan

berinteraksi dengan orang lain sehingga mudah bersosialisasi dengan lingkungan disekelilingnya.

Kecerdassan interpersonal sering disebut sebagai kecerdasan sosial, selain kemampuan menjalin

persahabatan yang akrap dengan teman, juga memcakup kemampuan seperti memimpin,

mengorganisir, menangani perselisihan antar teman, memperoleh simpati dari peserta didik yang

lain, dsb.

Kecerdasan interpersonal yang rendah dapat memunculkan konflik interpersonal. Hal ini

ditegaskan oleh sullivan dalam chaplin (2007:257) bahwa penyakit mental dan perkembangan

kepribadian terutama sekali lebih banyak ditentukan oleh interaksi interpersonalnya dari pada

oleh faktor-faktor konstitusionalnya. Kecerdasan interpersonal merupakan kemampuan

seseorang untuk mengerti maksud, motivasi, hasrat orang lain serta konsekuen bekerja evektif

dengan orang lain walaupun tidak semua begitu tampak, contoh: guru, politikus, orang-orang

klinik(perawat), penjual.

Sedangkan menurut Hastuti,(2010:1) Faktor yang berkaitan dengan tumbuh kembang anak

yaitu interaksi pengasuh dan anak asuh secara timbal balik. dan pemberian stimulasi, sehingga

pengasuhan adalah bentuk interaksi dan pemberian stimulasi dari pengasuh disekitar kehidupan

anak. walaupun orangtua adalah pengasuh utama anak dirumah mempunyai pola pengasuhan

dimana mengharapkan anak untuk mandiri, matang, percaya diri, rasa ingin tahu, bersahabat dan

orientasi untuk sukses. Kecerdasan ini dapat di rangsang melalui bermain bersama teman,

bekerja sama, bermain peran, dan memecahkan masalah serta menyelesaikan konflik.

Menurut Admin, (2010:1-3). Tahap-tahap perkembangan sosil dan emosional bayi 0-12

bulan sampai usia sekolah yaitu;1). Tahap perkembangan sosial dan emosional Bayi: 0-12 bulan.

2).Tahap Anak Usia 1-2 tahun. 3).Tahap prasekolah. 4). Tahap usia sekolah.

1. Tahap perkembangan sosial dan emosional Bayi: 0-12 bulan. Usia 0-1 bulan bayi anda

tidur dengan durasi 17 sampai 19 jam perhari. Tetapi mereka melakukannya tidak

sekaligus melainkan secara berseri dengan periode tidur yang pendek. Bayi menyukai

di gendong dan di ayun-ayun. Bayi mulai menunjukkan karakter awal kepribadiannya.

Bayi mulai mengenali siapa yang sering mengasuhnya. Usia 1-4 bulan Bayi mulai

merespon senyum orang yang tersenyum kepadanya Bayi mulai dapat diajak bermain,

misalkan cilukba. Ajaklah mereka bermain, meskipun responnya minimal, tetapi

permainan itu sangat penting untuk mereka Bayi menyukai digelitik Suara yang mereka

kenali (terutama dari pengasuh utamanya) dapat menenangkannya ketika mereka

menangis. Usia 4-8 bulan Bayi memiliki ikatan yang sangat kuat dengan mereka yang

sering mengasuhnya, bayi lebih menyukai pengasuh utamanya, baik itu bundanya

ataupun pengasuh utama lainnya yang mengasuh mereka. Bayi mengenali pengasuh

utamanya, keluarganya, dan bayangannya dicermin Bayi sudah mengerti ketika mereka

berpisah dari pengasuhnya, mereka akan merasa cemas dan sedih sampai akhirnya

menangis Bayi mulai menunjukkan kecemasan ketika mereka berada ditengah-tengah

orang dewasa yang tidak mereka kenali Bayi akan marah jika mainan yang dipegangnya

direbut darinya. Usia 8-12 bulan Bayi sebisa mungkin akan selalu menempatkan

pengasuh utamanya dalam pandangan mereka, jika pengasuhnya tidak terlihat maka

mereka akan cemas dan sedih Bayi mulai memiliki mainan favorit dan terikat dengan itu

Bayi sudah mulai memiliki ketegasan atas apa yang mereka inginkan, mereka sudah

dapat mendorong pengasuhnya dan berteriak kepada pengasuhnya jika mereka marah

Bayi mulai berbagi barang kepunyaan dengan bayi lain (sesama bayi juga berinteraksi)

Bayi mengerti arti kata “tidak”.

2. Anak Usia 1-2 tahun. Mulai minat terhadap bayi lain Memperlihatkan minat yang tinggi

terhadap orang dewasa dan selalu ingin dekat serta mutasi dengan mereka Dapat

membantu melakukan aktifitas sederhana Menggunakan permainan sebagai alat untuk

hubungan sosial. Disini mereka bermain bersama, tetapi tidak ada interaksi-salutari a

paralel play.

3. Tahap prasekolah. Membuat kontak sosial dengan orang diluar rumahnya Pregang age

dimana anak prasekolah berkelompok belum mengikuti arti dari sosialisasi yang

sebenarnya. Mereka mulai belajar menyesuaikan diri dengan harapan lingkungan sosial

Hubungan dengan orang dewasa baik orangtua maupun guru, mereka selalu berusaha

untuk berkomunikasi dan menarik perhatian orang dewasa. Hubungan dengan teman

sebaya Mulai bermain bersama, mereka tampak mulai mengobrol selama bermain,

memilih teman untuk bermain, mengurangi tingkah laku bermusuhan.

4. Tahap usia sekolah. Yaitu usia 4 Tahun Sudah dapat mengontrol perilakunya sendiri

Sudah dapat merasakan kelucuan (misalnya, ikut tertawa ketika orang dewasa tertawa

atau ada hal-hal yang lucu) Rasa takut dan cemas mulai berkembang, dan hal ini akan

berlangsung sampai usia 5 tahun Keinginan untuk berdusta mulai muncul, akan tetapi

anak takut melakukannya. Usia 5-6 tahun Perasaan humor berkembang lebih lanjut Sudah

dapat mempelajari mana yang benar dan yang salah Sudah dapat menenangkan diri Pada

usia 6 tahun anak menjadi asertif, sering berperilaku seperti bos (atasan), mendominasi

situasi, akan tetapi dapat menerima nasihat Sering bertengkar tetapi cepat berbaikan

kembali Anak sudah dapat menunjukkan sikap marah Sudah dapat membedakan yang

benar dan yang tidak benar, dan sudah dapat menerima peraturan dan disiplin.

Urie Bronfenbrenner (dalam muttaqin, 2008:1-3) memetakan aspek pengembangan secara

komperhensif melalui teori ekologi yang memetakan lima sistem yang berpengaruh terhadap

tumbuh kembang anak, yaitu: Pertama sistem mikro Kedua sistem meso Ketiga, sistem exo

Keempat, sistem makro Kelima, sistem chrono.”

Pertama sistem mikro yang terkait dengan setting individual dimana anak tumbuh dan

berkembang yang meliputi: keluarga, teman sebaya, sekolah dan lingkungan sekitar tetangga.

Kedua sistem meso yang merupakan hubungan diantara mikro sistem, misalnya hubungan

pengalaman-pengalaman yang didapatkan dikeluarga dengan pengalaman disekolah atau

pengalaman teman sebaya. Ketiga, sistem exo yang menggambarkan pengalamandan pengaruh

dalam setting sosial yang berada diluar kontrol tetapi memiliki pengaruh langsung terhadap

perkembangan anak, seperti pekerjaan orangtua dan media massa. Keempat, sistem makro yang

merupakan budaya dimana individu hidup seperti: ideologi, budaya, sub-budaya atau strata sosial

masyarakat. Kelima, sistem chrono yang merupakan gambaran kondisi kritis transisional

(kondisi sosio-historik)

Kelima sistem tersebut harus mampu dioptimalkan secara sinergis dalam pengembangan

berbagai potensi anak sehingga dibutuhkan pola pengasuhan, pola pembelajaran, pola pergaulan,

termasuk penggunaan media massa, dan pola kebiasaan (budaya) yang koheren dan saling

mendukung. Disamping optimalisasi kelima sistem tersebut, perlu dilakukan upaya penanganan

yang tepat terhadap berbagai kemungkinan kondisi kritis dan transisional pada anak. Prof Urie

Bronfenbrenner, dalam teori perkembangan menyampaikan. Pada Proses interaksi banyak

institusi yang akan menyosialisasikan nilai-nilai dan pengetahuan kepada anak. Oleh karena itu,

orang tua tidak dapat dengan sempurna menginginkan anaknya menjadi seperti yang diinginkan,

karena banyak institusi yang turut berperan dalam proses sosialisasi.

Menurut Bronfenbrenner (dalam muttaqin, 2008:1-3) bahwa ”fase-fase dalam proses

sosialisasi yaitu pertama fase laten, kedua fase adaptasi, ketiga fase pencapaian tujuan,

keempat fase integrasi.”

Fase laten, proses sosialisasi belum terlihat jelas. Anak belum merupakan kesatuan individu

yang berdiri sendiri dan dapat melakukan kontak dengan lingkungannya.fase ini masih dianggap

sebagai bagian dari ibu dan anakmasih merupakan kesatuan yang disebut “two persons system”.

Fase adaptasi anak mulai mengenal lingkungan dan memberikan reaksi atas rangsangan dari

lingkungannya. Orangtua berperan besar pada fase adaptasi karena anak hanya dapat belajar

dengan baik atas bantuan dan bimbingan orangtuanya. Fase pencapaian tujuan, pada fase ini

dalam sosialisasinya anak tidak hanya sekedar memberikan umpan balik atas rangsangan yang

diberikan lingkungannya, tapi sudah memilki maksud dan tujuan. Anak cenderung mengulangi

tingkah laku tertentu untuk mendapatkan pujian dan penghargaan dari lingkungannya. Fase

Integrasi, pada fase ini tingkah laku anak tidak hanya sekedar penyesuaian ataupan untuk

mendapatkan penghargaan, tapi sudah menjadi bagian karakter yang menyatu dengan dirinya

sendiri.

2.2.2 Cara Mendidik Dan Pengaruh Pengasuhan

Cara mendidik anak: (1).memilih pola asuh yang akan diterapkan kepada anak. Jangan plin-

plang dan berubah-ubah agar anak tidak menjadi bingung. (2).jadilah orangtua yang pantas

diteladani anak dengan mencontoh hal-hal yang positif dalam kehidupan sehari-hari.

(3).sesuaikan pola asuh dengan situasi, kondisi, kemampuan dan kebutuhan anak.

(4).kedisiplinan tetap terus diutamakan dalam membimbing anak sejak kecil hingga dewasa agar

anak dapat mandiri dan dihormati serta dihargai masyarakat. (5).Tanamkan sejak dini agama dan

moral yang baik. (perpustakaan online, 2008:1). Begitupun ada 2 unsur penting dalam

pengasuhan yaitu: 1)Responsiveness yaitu tingkat responsive dari orang tua ke anak yang berupa

dukungan dan kehangatan kepada anak. 2)Demandingness yaitu tuntutan dari orangtua kepada

anak yang berupa aturan dan konsekuensi atas perbuatan anak. (Hastuti,2010:1).

Komunikasi yang dilakukan secara terbuka dan menyenangkan dengan batasan-batasan

tertentu agar anak terbiasa terbuka pada pengasuh ketika ada hal yang ingin disampaikan atau hal

yang menganggu pikirannya. Jika marah sebaiknya menggunakan ungkapan yang baik dan tidak

langsung yang dapat dipahami anak, agar anak tidak lantas menjadi tertutup dan menganggap

pengasuh tidak menyenangkan. Hindari tindakan negatif seperti memarahi tanpa sebab,

menyuruh anak seenaknya seperti pembantu tanpa batas, menjatuhkan mental anak, merokok,

malas beribadah, membodoh-bodohi anak, sering berbohong, membawa pulang stres dari rumah,

memberi makanan haram, enggan mengurus anak, terlalu sibuk dengan pekerjaan dsb.

Menurut Ilham (2009:16) bahwa”Tindakan yang dapat dilakukan untuk menghindari

kesalahan dari perlakuan pengasuh maka beberapa tindakan berikut perlu dilakukan ; 1).

Perlakukan anak sebagai anak. 2). Memenuhi kebutuhan anak. 3) Memberi anak kesempatan. 4)

Membimbing anak untuk membawa diri. 5)Menumbuhkan rasa percaya diri. 6).Menanamkan

sikap jujur. 7).Menjadi teladan bagi anak asuh.

Pengasuh harus memperlakukan anak asuh sebagai anak. dalam hal ini tidak

memperlakukan anak sebagai orang dewasa kecil dan beranggapan bahwa ia dapat bertindak dan

berpikir seperti orang dewasa. Anak asuh suka mengulang-ulang kegiatannya, memusatkan

perhatian untuk waktu yang pendek, dan suka melakukan percobaan. Pengasuh harus memenuhi

kebutuhan anak asuh. anak banyak kebutuhan diantaranya makanan dengan gizi berimbang,

lingkungan yang sehat dan aman, rasa aman, kondisi yang prima, perasaan yang diterima,

kebutuhan untuk mengembangkan potensi diri pengakuan atas harga diri. Tidak terpenuhi salah

satu dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. Pengasuh harus memberi

anak asuh kesempatan. Anak asuh diberi kesempatan untuk mandiri, kesempatan untuk

melakukan beragam kegiatan yang diperlukan dalam mengembangkan seluruh potensinya sesuai

dengan tahap perkembangannya. Pengasuh adalah fasilitator, pendidik, pelindung dan juga

pengawas. Pengasuh harus membimbing anak asuh untuk membawa diri. Selama hidupnya

manusia selalu berhubungan dengan orang lain demikian halnya dengan anak. pertama-tama

akan menjalin hubungan dengan orang tua dan anggota keluarga lainnya, kemudian dengan

tetangga, saudara, teman sebaya dan selanjutnya akan semakin luaspergaulan dengan memahami

etiket pergaulan akan memupuk kemampuan membawa diri dan menuntunnya kelak menjadi

manusia yang sukses.

Pengasuh harus menumbuhkan rasa percaya diri pada anak asuh. Pengasuh memberi rasa

mampu kepada anak dengan cara memberi pujian sewajarnya setiap kali menyelesaikan sesuatu,

betapa pun kecilnya. Anak dapat memahami dirinya sendiri dan konsep menemukan dirinya

sendiri merupakan kesadaran atas keberadaan diri anak di lingkungannya sehingga akan

menumbuhkan rasa diterima oleh lingkungan. Cara membimbing dilakukan dengan memberi

tugas dan kewajiban sebagai anggota keluarga sesuai dengan kemampuannya. Pengasuh harus

menanamkan sikap jujur kepada anak asuh. Tidak menjuluki pembohong kepada anak asuh saat

menceritakan imajinasinya karena anak belum bisa membedakan antara imajinasi dengan

kenyataan. Pengasuh harus menjadi teladan bagi anak asuh. Anak asuh merupakan peniru paling

ulung. Segala yang dilihat didengar dan dirasakan akan dapat ditirukan dengan tepat.

Faktor kematangan dan pengalaman belajar juga kondisi lainnya mempengaruhi

perkembangan emosi anak asuh. Menurut kurnia (2007:29). “Perkembangan emosi dapat

dipelajari antara lain dengan cara atau metode berikut: 1)belajar emosi dengan cara coba dan

ralat (trial and error); 2)belajar dengan meniru(imitasi); 3)belajar dengan cara mempersamakan

diri (identifikasi); 4)belajar melalui pengkondisian;dan 5)belajar melalui pelatihan (training)

Anak asuh belajar emosi dengan cara coba dan ralat (trial and error) terutama melibatkan

aspek reaksi. Anak asuh belajar dengan meniru(imitasi) dilakukan melalui pengamatan yang

membangkitkan emosi tertentu pada orang lain. Anak asuh belajar dengan cara mempersamakan

diri (identifikasi) dengan orang yang dikagumi atau yang mempunyai ikatan emosional dengan

anak lebih kuat dibanding dengan motivasi untuk meniru sembarang orang. Anak asuh belajar

melalui pengkondisian berarti belajar perkembangan emosi dengan cara asosiasi atau

menghubungkan stimulus (rangsangan) dengan respon (reaksi). Anak asuh belajar melalui

pelatihan (training) di bawah bimbingan dan pengawasan pengasuh.

Menurut Hurlock (dalam hafis, 2008:1) bahwa “Belajar hidup bermasyarakat memerlukan

tiga proses berikut: 1) belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial. 2) memainkan peran

sosial yang dapat diterima oleh kelompok/lingkungan masyarakat. 3) perkembangan sikap sosial.

Untuk dapat bergaul dalam masyarakat, peserta didik juga harus menyukai orang atau

terlibat dalam aktivitas sosial tertentu. Menurut Kurnia (2007:14) bahwa “Faktor-faktor yang

mempengaruhi kemampuan anak asuh melakukan sosialisasi adalah: 1)kesempatan dan waktu

untuk bersosialisasi, hidup dalam masyarakat dengan orang lain. 2)kemampuan berkomunikasi

dengan kata-kata yang dapat dimengerti peserta didik maupun orang dewasa lain. 3)motivasi

peserta didik untuk mau belajar bersosialisasi. 4)metode belajar efektif dan bimbingan

bersosialisasi. Dengan adanya metode belajar sosialisasi melalui kegiatan bermain peran yang

menirukan orang yang diidolakan, maka pesrta didik cenderung mengikuti peran sosial tersebut.

Menurut Zay (2009:15-16) bahwa “Faktor-faktor yang menghambat perkembangan sosial

anak prasekolah, yaitu; 1)Tingkah laku agresif; 2)Daya suai kurang; 3).Pemalu; 4). Anak manja;

5). Perilaku berkuasa dan 6) Perilaku merusak.

Biasanya tingkah laku agresif mulai tampak sejak usia 2 tahun, tetapi sampai usia 4 tahun

tingkah laku ini yang sering muncul, terungkap dari hasil penelitian penyerangan secara fisik

kapan saja bisa terjadi. Misalnya mendorong, memukul atau berkelahi. Daya suai biasanya di

sebabkan karena cakrawala sosial anak masih terbatas pada situasi rumah dan sekolah. Disekolah

pun mereka belum bisa dengan cepat menyesuaikan diri. tapi makin lama di sekolah makin

bertambah daya suainya. Kejadian ini pun terungkap saat penelitian dan sangat mengganggu

karena sifat negatif anak akan terlihat dan pengasuh pun belum banyak mengetahui sifat itu

sehingga kesulitan dalam mengatasi permasalahan akibat tingkah laku anak itu.

Rasa malu malu biasanya terlihat sejak anak sudah mengenal orang-orang di sekitarnya.

Rasa malu sebenarnya normal dan wajar, apabila anak sering kali menunjukkan rasa malu maka

hal ini yang dianggap sebagai masalah. Memanjakan anak adalah sikap orangtua yang selalu

mengalah pada anaknya, membatalkan perintah atau larangan hanya karena anak menjerit,

menentang atau membantah. Perilaku berkuasa muncul sekitar 3 tahun dan semakin meningkat

dengan bertambahnya kesempatan. Anak perempuan cenderung merasa lebih berkuasa dari pada

anak laki-laki. Sikap ini pun terungkap saat penelitian tetapi pengasuh segera memberikan

pengertian pada anak bahwa di lembaga ini semua anak mempunyai hak yang sama. Perilaku

merusak merupakan ledakan amarah anak asuh yang di sertai tindakan merusak barang-barang

yang ada di sekitarnya.

Penyesuaian sosial berarti keberhasilan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap orang

lain pada umumnya, dan terhadap kelompok pada khususnya Anak asuh yang dapat

menyesuaikan dengan baik mempelajari berbagai keterampilan sosial seperti kemampuan untuk

menjalin hubungan dengan orang lain (teman, orang yang tidak/baru dikenal) dan menolong

orang lain sehingga menjadi anak yang disenangi.

Menurut Hurlock (dalam kurnia,2007:18) bahwa “Terdapat beberapa kriteria penyesuaian

sosial yang baik antara lain: 1)Tampilan nyata, 2)penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok,

3)sikap sosial, 4)kepuasan pribadi,

Tampilan nyata anak asuh, dimana perilaku sosial anak sesuai dengan standar kelompok

dan memenuhi harapan kelompok sehingga diterima menjadi anggota kelompok. Penyesuaian

diri anak asuh terhadap berbagai kelompok, dimana anak dapat menyesuaikan diri bukan hanya

dalam kelompoknya sendiri, tetapi juga dengan kelompok lain. Sikap sosial anak asuh, dimana

anak menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain, serta ikut berpartisipasi dan

berperan dalam kelompok dan kegiatan sosial. Kepuasan pribadi anak asuh, karena anak dapat

bersosialisasi dengan orang lain secara baik, dan dapat berperan dalam kelompok, baik sebagai

pemimpin maupun sebagai anggota kelompok.

Pengaruh pengasuh terhadap Anak asuh dalam penelitian antara lain; anak yang selalu

dengan belaian kasih sayang akan mampu tumbuh menjadi pribadi percaya diri dan selalu siap

dalam menghadapi tantangan masa depan. Pengasuh terbaik bukanlah mereka yang suka

menyerahkan urusan pengasuhan pada pengasuh lain. Karena anak asuh dan pengasuh memiliki

hubungan interaksi yang lebih kuat. Pengasuh yang sering melakukan interaksi dan

berhubungan langsung (tetap dan berkesinambungan) dengan anak asuh akan mempengaruhi

kualitas hubungan. Pengasuh yang selalu siap memberikan respon ketika anak asuh merasa tidak

nyaman akan dipilih anak sebagai pengganti ibunya.

2.2.3 Metode Dan Teknik Pengasuhan

Menurut Hastuti (2010:2) bahwa “Dalam mengasuh anak ada beberapa metode yang harus

disesuaikan dengan karakteristik anak diantaranya: 1).Pemberian rewards/penghargaan 2.)

Disiplin. 3.Time-out. 4.Role modeling 5.Encouragement 6.Attention ignore

1. Pemberian rewards/ penghargaan kepada anak asuh biasanya dalam bentuk mainan,

uang, makanan dll. Namun rewards bisa dalam bentuk privilages/keistimewaan yaitu

hadiah yang memungkinkan anak asuh memperoleh banyak kebebasan dan kesempatan.

Bentuknya dapat berupa waktu main yang lebih banyak, memperbolehkan anak asuh

meminjam mainan yang disukainya dll. Saat memberikan rewards, pengasuh harus

memperhatikan bahwa rewards berupa sesuatu yang spontan sebagai penghargaan atas

tindakan anak asuh yang baik dan bukan untuk menyuap anak asuh. Reward bukan untuk

mengubah perilaku anak asuh tapi menghargai hasil karya anak asuh.

2. Disiplin pada anak asuh dapat menentukan kepercayaan diri sehingga mereka memiliki

kontrol yang ada pada dirinya.

3. Time out adalah proses bagi anak asuh untuk menenangkan diri dan menyadari

kesalahannya. Time out bukan hukuman, namun memberi waktu dan kesempatan pada

anak asuh untuk memperoleh kontrol atas perilakunya. Tujuan time out adalah

mengajarkan anak kontrol diri, mengakhiri perilaku keliru dan memberi kesempatan pada

anak asuh untuk memikirkan kembali tindakannya dan dampaknya.

4. Role modeling yang dimaksud yaitu Anak asuh belajar dari mengamati tingkah laku,

perbuatan, persepsi, pemikiran, cara komunikasi dari pengasuh yang ada disekitarnya

sehingga perilaku positif dan cara komunikasi pengasuh dapat ditiru oleh anak asuh.

5. Encouragement Adanya dorongan/ semangat dari pengasuh untuk memperoleh perilaku

positif pada anak asuh.

6. Dan metode Attention ignore dapat dilakukan pengasuh dengan memfokuskan pada

perbuatan baik yang dilakukan oleh anak asuh sehingga akan mengulangi perbuatan

tersebut. Dan mengabaikan perilaku buruk sehingga ia tidak akan mengulanginya lagi.

Pengasuh juga perlu membatasi diri sampai berapa lama ia akan mengabaikan tindakan

anak asuh untuk mengalihkan perhatiannya pada tindakan yang lebih positif.

Selanjutnya Menurut Hastuti (2010:2)”Teknik Disiplin yaitu: 1)memberi batasan dan

aturan. 2)konsekuensi. 3)mengasingkan /menghukum anak diluar. 4)menunjukkan perasaan

kecewa pada saat anak berlaku salah. 5)menahan kebebasan anak.

1. Adanya batasan dan aturan untuk menghindari masalah pada anak asuh, selain itu juga

pastikan anak asuh untuk mengerti alasan ditetapkannya aturan tersebut.

2. Konsekuensi dalam hal ini Bentuk disiplin dengan cara membiarkan anak asuh mencoba

pengalamannya sendiri. Misalnya : ketika anak merusakkan mainan maka anak tidak

dapat bermain lagi.

3. Pengasuh mengasingkan /menghukum anak asuh diluar. Ketika anak kecil dihukum,

dipastikan pengasuh harus duduk bersama dan biarkan mereka menangis. Setelah tenang,

berikan penjelasan kepada anak asuh mengapa mereka tidak boleh melakukan hal itu dan

mengajarkan anak asuh untuk minta maaf sebelum bergabung dengan teman untuk

melanjutkan kegiatan.

4. Pengasuh menunjukkan perasaan kecewa pada saat anak asuh berlaku salah. Saat anak

asuh berlaku salah, pengasuh menunjukkan perasaan/ekspresi kecewa pada anak asuh

yang telah melanggar aturan yang telah ditetapkan.

5. Pengasuh menahan kebebasan anak asuh. Ketika anak asuh berbuat suatu kesalahan,

pengasuh dapat menahan kebebasan anak , misalnya waktu main yang biasanya 1 jam,

dikurangi menjadi setengah jam.

Menurut Utami (2011:2) bahwa “Perkembangan sosio-emosional anak sangat dipengaruhi

oleh beberapa faktor. Perkembangan ini dimulai ketika dia lahir dan akan berakhir ketika dia

mati”.

Berdasar pada pendapat utami maka yang dimaksud dengan perkembangan sosio-emosional

dalam penelitian ini adalah perkembangan sosio-emosional anak asuh di TPA Al-Ishlah.

Perkembangan anak asuh dimulai ketika anak masuk di lembaga TPA ini. Pada saat bayi masuk

TPA ia sudah memiliki seperangkat kepekaan umum terhadap rangsangan-ransangan tertentu. Ia

memiliki kepekaan terhadap suara, cahaya, temperatur, dan sejenisnya. Kepekaan-kepekaan

umum tersebut merupakan dasar bagi proses diferensiasi dan perkembangan-perkembangan

emosi lainnya. Saat bayi akan melakukan emosinya, ia hanya melalui senyuman ataupun

menangis. Perkembangan sosio-emosional anak asuh adalah perilaku bawaan yang merupakan

isi dari teori ethologi, misalnya saja yaitu pada saat bayi/anak asuh selalu membutuhkan bantuan

pengasuh. ketika akan melakukan sesuatu, dia tidak berdaya melakukan sendiri sehingga peran

pengasuh sangat diperlukan. Jalinan antara pengasuh dan anak asuh merupakan hal utama dalam

teori ini.

Sedangkan jika perkembangan sosio-emosionsl anak yang dipengaruhi oleh perilaku-

perilaku yang terjadi antara pengasuh dengan anak asuh merupakan kombinasi dari hal-hal yang

menyenangkan maupun tidak menyenangkan merupakan isi teori belajar-sosial. Misalnya bayi

akan tersenyum jika ia merasa senang dan sebaliknya akan menangis jika merasa tidak nyaman.

Perkembangan konitif merupakan hal yang mempengaruhi perkembangan sosio-emosional anak

adalah anggapan dalam teori kognisi. Perilaku sosial yang ditunjukkan oleh bayi diperoleh dari

upaya mengasimilasi peristiwa-peristiwa yang tidak sesuai kedalam struktur mentalnya.

Dalam perkembangan sosio-emosional anak, Ada beberapa faktor yang ikut

mempengaruhinya. (Utami, 2011:2-3). Empat faktor yang mempengaruhi sosio-emosional anak.

antara lain yaitu: a) Perlakuan dan cara pengasuhan orang tua. b).Kesesuaian antara bayi dan

pengasuh. c).Tempramen bayi. d).Perlakuan guru disekolah.

a) Perlakuan dan cara pengasuhan secara garis besar ada 3 tipe pengasuhan. Perilaku

otoriter seperti kontrol yang ketat dan penilaian yang kritis terhadap perilaku anak asuh,

sedikit dialog (memberi dan menerima) secara verbal, serta kurang hangat dan kurang

terjalin secara emosional. Sikap pengasuh menghasilkan karakteristik anak asuh yang

Menarik diri dari pergaulan serta tidak puas dan tidak percaya terhadap orang lain.

Perilaku permisif pengasuh yang Tidak mengontrol, tidak menuntut, sedikit menerapkan

hukuman dan kekuasaan, penggunaan nalar, hangat dan menerima. Dapat menimbulkan

anak asuh yang kurang dalam harga diri, kendali diri, dan kecenderungan untuk

bereksplorasi. Perilaku pengasuh yang Otoritatif/demokratis seperti Mengontrol,

menuntut, hangat, reseptif, rasional, berdialog (memberi dan menerima) secara verbal,

serta menghargai disiplin, kepercayaan diri, dan keunikan . menghasilkan sikap anak asuh

yang Mandiri, bertanggung jawab secara sosial, memiliki kendali diri, bersifat

eksploratif, dan percaya diri.

b) Kesesuaian antara bayi dan pengasuh. Dalam proses interaksi antara pengasuh dan anak,

perilaku mereka bisa saling mempengaruhi dan menyesuaikan diri satu sama lain

sehingga ada penyesuaian diri antara masing-masing. Jika terjadi ketidak cocokan antara

pengasuh dan anak asuh maka akan berdampak anak mengalami stres, murung, frustasi,

dan bahkan menimbulkan rasa kebencian. Jadi pengasuh harus benar-benar bisa

menangkap respon apa yang anak asuh inginkan, agar terjalin kasih sayang antara

mereka, dan tidak menimbulkan rasa benci anak asuh kepadanya.

c) Tempramen bayi merupakan salah satu hal yang harus dipahami oleh sang pengasuh agar

bisa terjalin hubungan yang akrab antara pengasuh dan anak. Ada tiga gaya perilaku bayi

yakni bayi yang mudah, bayi yang sulit, dan bayi yang lamban. Ciri bayi yang mudah

adalah memiliki keteraturan, adaptif, bahagia dan mau mendekati objek atau orang baru.

Bayi yang sulit cenderung tidak teratur, tidak senang terhadap perubahan situasi, sering

menangis, menampakkan perasaan negatif. Sedangkan bayi yang lamban adalah bayi

yang cenderung kurang adaptif, menarik diri, kurang aktif, dan intensitas respon kurang.

d) Perlakuan pengasuh di lembaga TPA akan berpengaruh terhadap anak asuhnya.

Perlakuan ini memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan sosio-

emosional anak. Pengaruh pengasuh tidak hanya pada aspek kognitif anak, tetapi juga

segenap perilaku dan pribadi yang ditampilkan pengasuh didepan anak asuhnyanya,

karena secara langsung hal tersebut bisa menjadi pengalaman-pengalaman anak.

Sementara itu Hurlock dalam ingridwati (2007:19) mengemukakan “Beberapa pola

perilaku dalam situasi sosial pada awal masa kanak-kanak yaitu sbb: 1)Kerja sama; 2)

Persaingan; 3) Kemurahan; 4) Hasrat akan penerimaan sosial; 5) Simpati, 6) Empati; 7)

Ketergantungan; 8) Sikap ramah; 9) Meniru dan 10) Perilaku Kelekatan.”

1. Anak belajar bermain atau bekerja sama hingga usia mereka 4 tahun. Semakin banyak

kesempatan yang mereka miliki untuk melatih ketrampilan ini, semakin cepat mereka

belajar dan menerapkannya secara nyata dalam kehidupannya.

2. Persaingan Perilaku ini dapat mengakibatkan perilaku baik atau buruk pada anak. Jika

anak melakukannya karena merasa terdorong untuk melakukan sesuatu sebaik mungkin

maka hal ini berakibat baik pada prestasi dan pengolahan motivasinya, namun jika

persaingan dianggap sebagai pertengkaran dan kesombongan maka hal ini dapat

mengakibatkan timbulnya sosialisasi yang buruk.

3. Kemurahan hati merupakan perilaku kesediaan untuk berbagi dengan anak lain. Jika hal

ini meningkat maka perilaku mementingkan diri sendiri akan berkurang. Perilaku

kemurahan hati sangat disukai oleh lingkungan sehingga menghasilkan penerimaan sosial

yang baik.

4. Hasrat akan penerimaan sosial Jika anak memiliki hasrat yang kuat akan penerimaan

sosial. Hal ini akan mendorong anak untuk melakukan penyesuaian sosial secara baik.

5. Simpati seorang anak belum mampu melakukan simpati sehinga mereka pernah

mengalami situasi yang mirip dengan duka cita. Mereka mengekpresikan simpati dengan

berusaha menolong atau menghibur seseorang yang sedang bersedih.

6. Empati merupakan kemampuan meletakkan diri sendiri sdalam posisi orang lain serta

menghayati pengalaman orang tersebut. Hal ini hanya akan berkembang jika anak telah

dapat memahami ekspresi wajah orang lain atau maksud pembicaraan orang lain.

7. Ketergantungan; Kebutuhan anak akan bantuan, perhatian, dan dukungan orang lain

membuat anak memperhatikan cara-cara berperilaku yang dapat diterima lingkungannya.

Namun, berbeda dengan anak yang bebas, ia cenderung mengabaikan ini.

8. Sikap ramah seorang anak memperlihatkan sikap ramah dengan cara melakukan sesuatu

bersama orang lain, membantu teman, dan menunjukkan kasih sayang.

9. Anak-anak melakukan peniruan terhadap orang-orang yang diterima baik oleh

lingkungannya. Dengan meniru anak-anak mendapatkan respons penerimaan kelompok

terhadap diri mereka.

10. Perilaku kelekatan Berdasarkan pengalamannya pada masa bayi, tatkala anak merasakan

kelekatan yang hangat dan penuh cinta kasih bersama ibunya, anak mengembangkan

sikap ini untuk membina persahabatan dengan anak lain.

Ethological explanation john bowlby dalam Ernest (2007:20) Teori ini percaya pada

peranan pengasuh (ibu, nenek, bibi, dll) konsistensi, dan linkungan.

Pengasuh yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengasuh di TPA Al-Ishlah.

Pengasuh yang sering bersama anak dapat membaca tanda-tanda/respon anak. Demikian juga

lingkungan yang konsisten akan membuat anak lebih dekat dengan orang-orang dan situasi yang

selalu bersama anak. Diperlukan objek lekat yang memenuhi kebutuhan psikologis anak.

Bowlby (dalam Haditono,2007:4) menjelaskan bahwa “Sejumlah kunci yang

menunjukkan kelekatan anak pada orang dewasa: 1)seorang anak dilahirkan dengan predisposisi

untuk lekat pada pengasuhnya; 2)seorang anak akan dapat mengatur perilakunya dan menjaga

hubungan kelekatan dengan orang yang dekat dengannya; 3)perkembangan sosial sangat

berhubungan dengan perkembangan kognisi; 4)seorang anak akan memelihara hubungan dengan

orang lain; 5)anak akan menalami hambatan dalam perkembangan emosi dan kemampuan

berpikirnya; 6)perilaku kelekatan pada orang yang ada dihati anak”.

Seorang anak dilahirkan dengan predisposisi untuk lekat pada pengasuhnya. Seorang

anak akan dapat mengatur perilakunya dan menjaga hubungan kelekatan dengan orang yang

dekat dengannya yang merupakan kunci kemampuan bertahan hidupnya secara fisik dan

psikologis. Perkembangan sosial sangat berhubungan dengan perkembangan kognisi. Seorang

bayi berusia 6 bulan keatas bertemu dengan wanita selain ibunya, dia mulai bisa mengenali

bahwa dia bukan ibunya. Seorang bayi mengenali pengasuhnya dengan menunjukkan senyum.

Seorang anak asuh akan memelihara hubungan dengan pengasuh jika pengasuh banyak

menunjukkan fungsinya yang bertanggungjawab pada diri anak itu. Jika pengasuh tidak mampu

menjalankan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan anak asuh, maka anak asuh akan mengalami

hambatan dalam perkembangan emosi dan kemampuan berpikirnya. Perilaku anak seperti

tersenyum, memanggil, menangis, menggelayut menunjukkan perilaku kelekatan pada pengasuh

yang ada dihati anak.

Dalam Ernest (2010:4) bowlby menjelaskan pula bahwa Gangguan perlekatan merupakan

dampak psikologis dari pengalaman negatif dengan pengasuhnya, biasanya sejak kecil, yang

mengganggu hubungan khusus dan eksklusif antara anak dan pengasuh utamanya (ibu). Tingkah

laku bertentangan dan bermusuhan bisa diakibatkan oleh gangguan perlekatan. Banyak anak-

anak yang mengalami kehilangan pengasuh utamanya (ibunya) akibat terpisah secara psikis dari

orangtuanya atau karena pengasuhnya yang kurang mampu memberikan pengasuhan yang

memadai. Dipisahkan dari pengasuh utama dapat mengakibatkan masalah serius dengan merusak

perlekatan primer, sekalipun pengasuh kedua cukup mampu.

Mc Cartney dan Dearing (dalam Harditono, 2007:4) menyatakan bahwa pengalaman

awal akan menggiring dan menentukan perilaku dan perasaan melalui internal working model.

Adapun penjelasan mengenai konsep ini adalah “internal”; karena disimpan dalam pikiran;

“working”: karena membimbing persepsi dan perilaku dan “model”: karena mencerminkan

representasi konitif dari pengalaman dalam membina hubungan. Anak akan menyimpan

pengetahuannya mengenai suatu hubungan, khususnya pengetahun mengenai keamanan dan

bahaya. Model ini selanjutnya akan menggiring mereka dalam berinteraksi dimasa yang akan

datang.

Interaksi interpersonal dihasilkan dan diinterpretasikan berdasarkan gambaran mental yan

dimiliki seorang anak. Model ini diasumsikan bekerja diluar pengalaman sadar (Mc Cartney dan

Dearing, dalam Haditono,2007:5) pengetahuan anak didapatkannya dari interaksi dengan

pengasuh, Anak yang memiliki pengasuh yang mencintai dan dapat memenuhi kebutuhannya

akan mengembangkan model hubungan yang positif yang didasarkan pada rasa percaya (trust).

Selanjutnya secara simultan anak akan mengembangkan model yan parallel dalam dirinya. Anak

asuh dengan pengasuh yang mencintai akan memandang dirinya “berharga”. Model ini

selanjutnya akan digeneralisasikan anak dari pengasuh pada orang lain, misalnya pada pengasuh

lain dan teman sebaya. Anak asuh akan berpendapat bahwa pengasuh dan teman adalah orang

yang dapat dipercaya. Sebaliknya anak yang memiliki pengasuh yang tidak menyenangkan akan

mengembangkan kecurigaan (mistrust) dan tumbuh sebaai anak yang pencemas dan kurang

mampu menjalin hubungan sosial.

Menurut bowlby dalam Eliasa (2011:6) “Ada dua faktor yang dapat meningkatkan

kestabilan internal working model, yaitu: 1).Familiar, dan 2).Dyadic Pattern,

Familiar yaitu pola interaksi yang berulang, cenderung akan menjadi kebiasaan yang

terjadi secara otomatis; sedangkan.Dyadic Pattern, pola timbal balik cenderung akan menubah

pola individual karena harapan yang timbal balik memerintahkan masing-masing

pasangan untuk mengartikan perilaku pihak lainnya.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud tingkah

laku lekat adalah beberapa bentuk perilaku yang dihasilkan dari usaha seseorang untuk

mempertahankan kedekatan dengan seseorang yang dianggap mampu memberikan perlindungan

dari ancaman lingkungan terutama saat anak merasa takut, sakit, dan terancam, tujuannya adalah

mendapat kenyamanan dari fiur lekat. Tingkah laku lekat berupa berbagai macam tingkah laku

yang dilakukan anak untuk mencari, menambah dan mempertahankan kedekatan serta

melakukan komunikasi dengan figur lekatnya.

2.2.4 Kesalahan Dalam Mengasuh.

Lima Kesalahan Pola Asuh yang sering tak kita sadari pengasuh antara lain: 1).SMS tiada

henti; 2).Minta Anak Berbohong; 3).Bermuka Dua; 4).Tidak Sportif; 5).Melanggar Lalulintas

(Ayahbunda,2011:1)

SMS tiada henti;.saat anak minta ditemani bermain, mengajak bicara atau sekedar kangen

minta dipeluk, pengasuh tidak memperdulikannya karena jari sibuk ber-SMS ria. Anak asuh jadi

rewel dan mengganggu ingin merebut ponsel. Anda jengkel, memanggil pengasuh dan meminta

pengasuh membawa balita menjauh. Anak belajar memahami bahwa kehadirannya tidak penting

dan kemudian mengembangkan perilaku masa bodoh. Di usia selanjutnya, saat pengasuh

membutuhkannya bisa-bisa ia tak peduli. Minta Anak asuh berbohong. Anak paham bahwa

berbohong itu boleh. Sedikit demi sedikit ia mulai belajar berbohong, hingga kelak mahir

mengelabui pengasuh. Begitupun dengan pengasuh yang bermuka Dua dan berpura-pura manis

anak belajar sikap munafik, pura-pura baik supaya dianggap baik. Tidak Sportif menyaksikan

kemenangan anak asuh dalam suatu yang membanggakan. Tapi ketika anak asuh kalah

pengasuh berusaha menghibur hatinya dengan kata-kata yang salah, Anak belajar menyalahkan

orang lain, tidak menerima kekalahan dan tidak punya cara lebih baik untuk menghibur diri

selain menyalahkan. Melanggar lalu lintas dalam penelitian ini adalah peraturan dan tata tertib

pengasuh yang sering melanggar aturan pada saat antrian mandi, cuci tangan dll. Kalau anak

sudah paham ia belajar bahwa aturan boleh dilanggar.

Kesalahan yang perlu di hindari oleh pengasuh dalam ayahbunda (2011:1-2) yaitu:

1).Memikirkan yang akan dilakukan; 2).Terlibat dalam kehidupan anak. 3).Sesuaikan

pengasuhan dengan usia anak; 4).Buat aturan; 5).Konsisten; 6).Tak melakukan kekerasan;

7).Hargai dan hormati anak.

Pengasuh memikirkan apa yang akan dilakukan. Dan anak asuh akan memperhatikan

pengasuhnya. pengasuh terlibat dalam kehidupan anak asuh. Memikirkan kembali dan mengatur

perioritas apa yang dibutuhkan anak asuh. Terlibat dalam kehidupan anak. artinya pengasuh

pengasuh menyesuaikan dengan usia anak asuh. Menyadari anak asuhnya terus bertambah, dan

usia anak asuh menentukan perilaku positif anak asuh. Menetapkan aturan bila bermaksud

membentuk perilaku positif anak asuh. Menetapkan aturan apa yang tidak boleh dilakukan anak

asuh. Pengasuh konsisten terhadap aturan yang berlaku. Bila pengasuh menetapkan aturan untuk

anak asuh, pengasuh harus mematuhi aturan yang di buat sendiri. Apabila pengasuh melanggar

aturan, maka anak pun melakukannya. Pengasuh tidak memanjakan, bukan berarti tidak

mencintai. Anak asuh butuh cinta bukan dimanjakan. Perilaku anak asuh yang di manjakan sama

seperti perilaku anak asuh yang tak di cintai yaitu senang membuat keributan. Pengasuh

sebaiknya tak melakukan kekerasan, baik fisik, mental maupun verbal. Hukuman fisik atau

pelecehan secara verbal dari pengasuh akan membangun anak asuh menjadi sosok yang suka

berkelahi. Pengasuh yang selalu menghargai dan hormati anak asuh akan di hargai dan di

hormati anak asuh.

Menurut Hurlock (dalam Kurnia, 2007:15) bahwa: “Manfaat ataupun kerugian bagi

penyesuaian pribadi dan sosial dapat bersifat fisik dan/atau psikis sebagai berikut: 1)emosi

menambah rasa nikmat bagi pengalaman sehari-hari; 2)emosi menyiapkan tubuh untuk

melakukan tindakan; 3)ketegangan emosi dapat mengganggu keterampilan motorik; 4)emosi

merupakan suatu bentuk komunikasi; 5)emosi dapat mengganggu aktifitas mental; 6)emosi

merupakan sumber penilaian diri dan sosial. 7)emosi mewarnai anak mmemandang kehidupan.

8)emosi baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan; 9)emosi memperlihatkan

kesannya pada ekspresi wajah; 10)emosi mempengaruhi suasana psikologis; dan 11)reaksi

emosional apabila diulang-ulang akan berkembang menjadi kebiasaan.

Emosi menambah rasa nikmat bagi pengalaman sehari-hari. Kenikmatan ini ditimbulkan

oleh akibat yang menyenangkan. Emosi menyiapkan tubuh untuk melakukan tindakan.

Ketegangan emosi dapat mengganggu keterampilan motorik. Emosi merupakan suatu bentuk

komunikasi, yang dilakukan melalui perubahan mimik wajah dan fisik yang menyertai emosi.

Emosi dapat mengganggu aktifitas mental. Emosi merupakan sumber penilaian diri dan sosial.

Emosi mewarnai anak memandang kehidupan. Emosi baik yang menyenangkan maupun yang

tidakdapat mempengaruhi interaksi sosial. Emosi memperlihatkan kesannya pada ekspresi wajah.

Emosi mempengaruhi suasana psikologis, baik di rumah, di sekolah, atau di kelompok bermain.

Reaksi emosional apabila diulang-ulang akan berkembang menjadi kebiasaan.