BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Kota...

13
6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Kota Cirebon Kota Cirebon merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Barat dan berada di jalur Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat. Kota Cirebon terletak pada 06º42’ LS - 108º33’ BT bentang alamnya merupakan dataran pantai dengan ketinggian dari permukaan laut ± 0-5 meter, memanjang dari barat ke timur sepanjang ± 7 Km dan dari utara ke selatan sepanjang ± 11 Km (Bappeda Kota Cirebon 2003 dalam Supriadi 2012). Kota Cirebon dapat ditempuh melalui jalan darat sejauh 130 km dari arah Kota Bandung dan 258 km dari arah Kota Jakarta. Sebagian besar wilayah merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 0-2000 dpl, sementara kemiringan lereng antara 0-40% dimana 0-3% merupakan daerah berkarateristik kota, 3-25% daerah transmisi dan 25-40% merupakan pinggiran Secara geografis wilayah Kota Cirebon mempunyai luas wilayah 37,36 km 2 dengan batas-batas sebagai berikut (Pemerintah Kota Cirebon 2009) : Batas Utara : Kabupaten Cirebon Batas Selatan : Kabupaten Cirebon Batas Timur : Kabupaten Cirebon Batas Barat : Laut Jawa Kota Cirebon memiliki luas daratan ± 37,36 km 2 dan terbagi menjadi lima kecamatan, yaitu (Pemerintah Kota Cirebon 2009) : 1. Kecamatan Harjamukti (17,62 km 2 ) 2. Kecamatan Lemahwungkuk (6,51 km 2 ) 3. Kecamatan Pekalipan (1,57 km 2 ) 4. Kecamatan Kesambi (8,05 km 2 ) 5. Kecamatan Kejaksan (3,61 km 2 )

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Kota...

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Umum Kota Cirebon

Kota Cirebon merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Barat dan berada

di jalur Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat. Kota Cirebon terletak pada 06º42’ LS -

108º33’ BT bentang alamnya merupakan dataran pantai dengan ketinggian dari

permukaan laut ± 0-5 meter, memanjang dari barat ke timur sepanjang ± 7 Km

dan dari utara ke selatan sepanjang ± 11 Km (Bappeda Kota Cirebon 2003 dalam

Supriadi 2012). Kota Cirebon dapat ditempuh melalui jalan darat sejauh 130 km

dari arah Kota Bandung dan 258 km dari arah Kota Jakarta. Sebagian besar

wilayah merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 0-2000 dpl,

sementara kemiringan lereng antara 0-40% dimana 0-3% merupakan daerah

berkarateristik kota, 3-25% daerah transmisi dan 25-40% merupakan pinggiran

Secara geografis wilayah Kota Cirebon mempunyai luas wilayah 37,36 km2

dengan batas-batas sebagai berikut (Pemerintah Kota Cirebon 2009) :

Batas Utara : Kabupaten Cirebon

Batas Selatan : Kabupaten Cirebon

Batas Timur : Kabupaten Cirebon

Batas Barat : Laut Jawa

Kota Cirebon memiliki luas daratan ± 37,36 km2 dan terbagi menjadi lima

kecamatan, yaitu (Pemerintah Kota Cirebon 2009) :

1. Kecamatan Harjamukti (17,62 km2)

2. Kecamatan Lemahwungkuk (6,51 km2)

3. Kecamatan Pekalipan (1,57 km2)

4. Kecamatan Kesambi (8,05 km2)

5. Kecamatan Kejaksan (3,61 km2)

7

Kota Cirebon memiliki panjang garis pantai ± 7 Km dan luas wilayah

perairan laut kurang lebih 51,86 Km2. Kecamatan Kejaksan dan Lemah Wungkuk

adalah dua kecamatan yang berada di daerah pantai (Supriadi 2012). Sarana dan

prasarana perikanan adalah salah satu faktor pendukung kegiatan perikanan.

Fasilitas kegiatan penangkapan ikan yang ada di Cirebon yaitu Pelabuhan

Perikanan Nusantara (PPN) dan Pangkalan pendaratan Ikan (PPI). Kegiatan

penangkapan ikan di Kota Cirebon di tunjang dengan adanya tiga fasilitas

Pangkalan Pendaratan Ikan dan satu Pelabuhan Perikanan Nusantara, yaitu :

1. PPI Cangkol : Kampung Cangkol Kelurahan Lemahwungkuk

Kecamatan Lemah Wungkuk

2. PPI Pesisir : Kampung Pesisir Kelurahan Panjunan

Kecamatan Lemah Wungkuk

3. PPI Kesenden : Kampung Kesenden Kelurahan Kesenden

Kecamatan Kejaksan

4. PPN Kejawanan : Kelurahan Pegambiran Kecamatan Lemah Wungkuk

PPI Cangkol yang merupakan PPI yang diambil sebagai lokasi penelitian berada

pada koordinat 06° 43’20,8” LS - 108° 34’ 35,1“ BT. PPI Cangkol memiliki

Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dengan luas bangunan sebesar 175,20 m2 yang

dibangun pada tanah dengan luas area 912 m2

(Supriadi 2012). PPI Cangkol juga

dilengkapi dengan jembatan tempat berlabuhnya kapal-kapal nelayan dengan

panjang ± 200 m. Pemanfaatan TPI ini masih kurang maksimal sehingga TPI ini

kurang berfungsi dengan baik. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah nelayan di

Cangkol yang terhitung sedikit jika dibandingkan dengan daerah pesisir yang

lainnya.

Kota Cirebon termasuk daerah iklim tropis Kelembaban udara berkisar

antara ± 48-93% dengan kelembaban udara tertinggi terjadi pada bulan Januari-

Maret dan angka terendah terjadi pada bulan Juni-Agustus. Rata-rata curah hujan

tahunan di kota Cirebon ± 2260 mm/tahun dengan jumlah hari hujan ± 155 hari.

Musim hujan jatuh pada bulan Oktober-April, dan musim kemarau jatuh pada

bulan Juni-September (Pemerintah Kota Cirebon 2009).

8

2.2 Pancing Ulur (Hand line)

Pancing ulur (hand line) adalah alat penangkap ikan jenis pancing yang

paling sederhana. Berdasarkan klasifikasi DKP tahun 2008, pancing ulur termasuk

dalam klasifikasi alat tangkap hook and line. Struktur utamanya terdiri dari

pancing, tali pancing dan pemberat atau umpan. Alat tangkap pancing ulur

tersebar luas di Indonesia dan merupakan alat tangkap yang sering digunakan

nelayan tradisional. Pancing ulur tidak banyak menggunakan alat bantu seperti

alat tangkap pukat ikan dan pukat cincin, pengoperasiannya yang sederhana,

ramah lingkungan dan dapat dioperasikan diberbagai jenis perairan. Pancing ulur

juga relatif mudah dibuat dan umumnya para nelayan dengan skala kecil

membuatnya sendiri. Ilustrasi konstruksi alat tangkap pancing ulur yang

digunakan oleh para nelayan secara umum adalah seperti gambar di bawah ini :

Gambar 1. Konstruksi pancing ulur

(Sumber : Kementrian Kelautan dan Perikanan 2011)

9

Waktu pengoperasian pancing ulur dapat dilakukan baik pada siang hari

ataupun malam hari. Daerah pengoperasiannya cukup terbuka dan beragam, dari

perairan laut atau tawar, di tengah perairan atau di sisi perairan maupun disekitar

permukaan sampai dengan dasar perairan (Kementrian Kelautan dan Perikanan

2011).

a. Penggulung Tali Pancing

Penggulung tali pancing umumnya terbuat dari kayu atau plastik,

berbentuk bundar dan ukurannya disesuaikan dengan panjang tali pancing

(Subani et al 1989). Penggulung ini bertujuan supaya pada saat

pengoperasian tali tidak kusut.

b. Mata Pancing

Jumlah mata pancing pada satu tali pancing jumlahnya bervariasi, ada

yang hanya satu mata pancing atau lebih. Mata pancing ini dapat

menggunakan umpan hidup maupun umpan buatan. Dibawah ini adalah

konstruksi pancing ulur dengan satu pancing atau tunggal dan banyak mata

pancing.

Gambar 2. a) Pancing ulur dengan satu mata pancing;

b) Pancing ulur dengan banyak mata pancing.

(Sumber : Kementrian Kelautan dan Perikanan 2011)

c. Tali Pancing

Pada satu tali pancing dapat dirangkaikan 1 atau lebih mata pancing secara

vertical. Tali penarik yang digunakan bernomor 50-150 dengan bahan

10

monofilament. Penggunaan jenis tali pancing juga sering disesuaikan

dengan waktu peng operasian. Pancing ulur yang sering dioperasikan pada

siang hari adalah pancing ulur dengan bahan monofilament dan pancing

ulur yang dioperasikan pada malam hari terutama digunakan pancing yang

tali ulurnya terbuat dari bahan multifilament. Ukuran tali pancing, besar

mata pancing dan jumlah mata pancinng dalam satu tali pancing

tergantung jenis dan ukuran ukan yang menjadi target

penangkapan.Contohnya tali monofilament dengan diameter 1,5-2,5 mm

dipasang mata pancing nomor 5-1. Berikut adalah gambar jenis mata

pancing yang biasa digunakan pada pancing ulur.

Gambar 3. Mata pancing

(Sumber : Kementrian Kelautan dan Perikanan 2011)

d. Pemberat

Pemberat diikatkan pada ujung tali pancing dan bertujuan untuk menjaga

pancing tetap tegak di dalam air serta mempercepat turunnya tali pancing

di dalam air. Pemasangan pemberat diatur sedemikian rupa sehingga daya

tenggelamnya merata. Pemberat ini bisa terbuat dari timah, mur bekas

bahkan batu.

2.3 Rumpon

Subani (1972) dalam Syafrialdi (2012) menyatakan bahwa cara

pengumpulan ikan dengan ikatan berupa benda terapung merupakan salah satu

bentuk dari FAD (Fish Aggregating Device) yaitu metode, benda atau bangunan

11

yang dipakai sebagai sarana untuk penangkapan ikan dengan cara memikat dan

mengumpulkan ikan-kan tersebut. Rumpon adalah alat bantu untuk menarik

kelompok ikan untuk berkumpul sehingga ikan mudah ditangkap (Genisa 1998b).

Rumpon adalah tempat berkumpulnya ikan di laut, untuk mengefisienkan oprasi

penangkapan bagi para nelayan. Rumpon adalah alat bantu penangkapan ikan

yang berfungsi menarik perhatian ikan agar berkumpul disuatu tempat yang

selanjutnya diadakan penangkapan (Syafrialdi 2012).

Gambar 4. Rumpon yang menggunakan daun lontar dan daun kelapa di Jeneponto

Sulawesi Selatan (Arsyad 1999)

Penggunaan rumpon secara tradisional di Indonesia telah lama dilakukan

terutama oleh nelayan dari Mamuju, Sulawesi Selatan dan Jawa Timur Sedangkan

penggunaan rumpon secara modern baru dimulai pada tahun 1980 oleh Lembaga

Penelitian Perikanan Laut. Desain rumpon, baik rumpon laut dalam maupun

rumpon laut dangkal secara garis besar terdiri atas empat komponen utama yaitu :

(1) pelampung (float),

(2) tali (rope),

(3) pemikat (atractor), dan

(4) pemberat (sinker).

12

Menurut Syafrialdi (2012), rumpon terbagi menjadi beberapa jenis yaitu

berdasarkan pemasangan rumpon, posisi rumpon, kemenetapan pemasangan dan

tingkat teknologi. Berdasarkan pemasangannya rumpon terbagi tiga yaitu :

1. rumpon perairan dangkal,

2. rumpon perairan dasar, dan

3. rumpon laut dalam.

Rumpon berdasarkan posisi pemasangannya yaitu :

1. rumpon permukaan,

2. rumpon lapisan tengah, dan

3. rumpon dasar.

Rumpon berdasarkan kemenetapannya yaitu :

1. rumpon menetap, dan

2. rumpon yang dapat dipindahkan.

Rumpon berdasarkan tingkat teknologi yang digunakan yaitu:

1. rumpon tradisional, dan

2. rumpon modern.

Fungsi Rumpon menurut Direktorat Jendral Perikanan (1995) dalam

Syafrialdi (2012) sebagai alat bantu penangkapan ikan adalah :

a. Sebagai tempat mengkonsentrasi ikan agar lebih mudah ditemukan

gerombolan ikan dan menangkapanya.

b. Sebagai tempat berlindung bagi ikan dari pemangsanya.

c. Sebagai tempat berkumpulnya ikan.

d. Sebagai tempat daerah penangkap ikan.

e. Sebagai tempat mencari makan bagi ikan.berlindung jenis ikan tertentu dari

serangan ikan predator.

f. Sebagai tempat untuk memijah bagi ikan.

g. Banyak ikan-ikan kecil dan plankton yang berkumpul disekitar umpon dimana

.ikan dan plankton tersebut merupaka sumber makanan bagi ikan besar.

h. Ada beberapa jenis ikan seperti tuna dan cakalang yang menjadi rumpon

sebagai tempat untuk bermain sehingga nelayan dapat dengan mudah untuk

menangkapnya.

13

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Dinas Kelautan, Perikanan,

Perternakan dan Pertanian Kota Cirebon, ada 3 jenis rumpon dasar yang masih

aktif digunakan oleh nelayan Cangkol yaitu rumpon bambu, ban dan beton

(kubus). Rumpon yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumpon bambu.

Rumpon bambu adalah rumpon yang paling banyak digunakan nelayan.

Walaupun rumpon ini tidak bersifat permanen, namun karena biaya

pembuatannya yang terjangkau membuat banyak nelayan menggunakan rumpon

bambu ini. Satu titik lokasi biasanya terdapat 4 – 10 unit rumpon bambu. Biaya

pembuatan rumpon bambu dengan berukuran 1–2 meter sebanyak 7 - 12 unit

adalah sekitar Rp. 600.000.

Rumpon ini terbuat dari bambu, daun kelapa dan batu pemberat.

Pembuatannya memerlukan 7-9 bambu berukuran ± 2 m, 2 bambu berukuran 40

cm, 4 bambu berukuran 50 cm, 4-8 buah daun kelapa dan 2 batu pemberat pada

setiap ujungnya. Bambu yang dirangkai kedua ujungnya dilubangi supaya

mengurangi daya apungnya ketika ditenggelamkan. Rumpon bambu yang biasa

digunakan oleh nelayan Cangkol dapat dilihat pada Gambar 5.

a) b)

Gambar 5. a) Rumpon bambu yang siap dipasang;

b) rangkaian rumpon bambu dengan batu pemberat

Menurut para nelayan, rumpon bambu lebih cepat mengumpulkan ikan

dibanding rumpon lainnya, terutama jika bambu yang digunakan adalah bambu

hijau. Kurang dari satu minggu biasanya rumpon telah berisi ikan. Hal ini

14

disebabkan bahannya yang alami yaitu terbuat dari daun kelapa dan bambu yang

cepat mengundang plankton sehingga cepat mengumpulkan ikan. Namun

kelemahan dari bambu ini adalah mudah hancur jika terkena jaring tidak ramah

lingkungan. Rumpon akan ikut terseret yang mengakibatkan hilangnya tempat

berkumpulnya ikan yang juga tempat memancing bagi nelayan. Jika tidak

terganggu dengan jaring tidak ramah lingkungan, rumpon ini dapat bertahan

hingga dua tahun. Akan tetapi walaupun bisa bertahan hingga dua tahun,

perawatan tetap dilakukan oleh para nelayan setiap tiga bulan sekali. Perawatan

dilakukan dengan kembali menambahkan rumpon baru pada lokasi pemasangan

rumpon. Hal ini mencegah ikan-ikan mencari tempat berkumpul lain dan supaya

menambah ikan-ikan yang berkumpul di rumpon.

Penentuan posisi rumpon dasar nelayan Cangkol dibantu dengan GPS

Garmin type 12. GPS digunakan sebagai alat bantu atau alat penanda dalam

peletakkan rumpon sehingga pada saat nelayan memancing/ mengambil ikan,

nelayan dapat mengetahui posisi lokasi secara pasti dimana dahulu menaruh

rumpon yang digunakan sebagai lokasi penangkapan ikan (fishing ground)

(Supriadi 2012).

2.4 Hasil Tangkapan Pancing Ulur

Ikan hasil tangkapan pancing ulur beragam, baik itu ikan demersal ataupun

pelagis. Hal ini karena pancing Ulur dioperasikan diberbagai jenis perairan,

seperti disekitar pantai, di samudera, di perairan dangkal, diperairan dalam bahkan

di perairan sekitar karang (Kementrian Kelautan dan Perikanan 2011). Jenis ikan

yang tertangkap oleh pancing ulur diantaranya Kakap (Lutjanus sp.),

banyar/kembung (Rastreliger kanagurta), tenggiri (Scomberomorus commersoni),

tongkol (Thunnus sp.), kerapu (Epinephelus sp), layur (Trichiurus lepturus),

cucut botol (Centrophorus squamosus), cucut martil (Sphyrna blochii), pari

kembang (Ampotistius kuhlii), dan lain sebagainya (Dinas Perikanan dan Kelautan

Provinsi Jawa Barat 2011). Selain itu, ukuran ikan yang tertangkap dengan

pancing ulur juga memiliki ukuran ikan yang tidak seragam seperti tongkol

(Thunnus sp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), kembung (Rastreliger kanagurta),

15

layang (Decapterus russelli), bawal (Pampus chinensis), kakap (Lutjanus sp.), dan

lain sebagainya. Seringkali ikan yang berukuran besar juga tertangkap seperti hiu

(Carcharhinus longimanus), tuna (Thunnus sp, marlin dan lain sebagainya.

Ikan-ikan hasil tangkapan pancing ulur di PPI Cangkol diantaranya kakap

merah (Lutjanus campechanus), kerapu karang (Epinephelus fuscoguttatus),

jenaha (Lutjanus russelli), talang-talang (Scomberoides tala), kwe (Caranx

sexfasciatus), kambing, peperek (Leiognatus spp), gulamah (Argyrosomus

amoyensis), barakuda (Sphiraena sspp.), dll (Supriadi 2011). Ikan yang

seringkali tertangkap oleh pancing ulur di pantai Cirebon adalah ikan kakap merah

dan kerapu.

2.5 Fisiologi dan Tingkah Laku Ikan

Fisiologi dan tingkah laku ikan merupakan bagian yang tidak dapat

dipisahkan dalam usaha pengembangan teknologi penangkapan ikan. Pengetahuan

mengenai natural behavior seperti distribusi, migrasi, schooling behavior serta

hal yang lainnya pengetahuan yang menunjang kegiatan perikanan tangkap

sehingga ikan-ikan mudah ditangkap (Purbayanto dkk 2010).

Distribusi ikan di perairan dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi

seperti suhu, intensitas cahaya, gelombang, dll. Migrasi ikan bervariasi terhadap

hari maupun musim. Migrasi vertikal ikan biasanya lebih dipengaruhi oleh

perubahan hari dan intensitas cahaya diperairan. Secara sistematis migrasi vertikal

harian ikan terbagi menjadi enam kategori (Hela dan Laevastu 1961 dalam

Hidayat 2000), yaitu :

1) Spesies pelagis yang berada sedikit di atas termoklin; mengadakan migrasi ke

lapisan permukaan pada saat matahari terbenam; tersebar pada layer diantara

permukaan dengan termoklin pada waktu malam hari; menyelam dan berada di

atas termoklin bersamaan dengan terbitnya matahari. Contoh ikan yang memiliki

pola migrasi harian tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

16

Tabel 1. Ikan Pelagis yang Berada Di Atas Lapisan Termoklin

No Jenis Sumber

1. Lemuru (Sardinella sp) Dwipongo (1982) dalam Fauziyah (2005)

2. Layang (Decapterus russelli) Genisa (1998a)

3. Herring muda (Clupea sp) Reid et al. (1999)

4. Teri (Stolephorus commersonii) Gunarso (1985)

5. Madidihang (Thunnus albacores) Hela & Laevastu (1970) dalam

Nahumury (2001)

2) Spesies pelagis yang ada pada siang hari berada pada lapisan di bawah

termoklin; mengadakan migrasi dengan menembus lapisan termoklin ke lapisan

permukaan selama matahari terbenam; tersebar diantara permukaan dengan dasar

pada waktu malam hari, dengan jumlah terbanyak waktu malam hari di atas

lapisan termoklin; menembus lapisan termoklin menuju ke lapisan yang lebih

dalam bila matahari terbit. Contohnya bigeye tuna (Thunnus obesus) (Howell

2010) dan ikan kembung (Rastreliger kanagurta) (Widyantoro 2009 dalam

Perdanamiharja 2011).

3) Spesies pelagis yang pada siang hari berada pada lapisan di bawah termoklin;

mengadakan migrasi di bawah lapisan termoklin selama matahari terbenam;

tersebar diantara termoklin dengan dasar pada waktu malam hari; turun ke lapisan

yang lebih dalam selama matahari terbit..

4) Spesies demersal pada waktu siang hari berada di atas atau pada dasar perairan;

mengadakan migrasi dan tersebar di dalam massa air di bawah (dan kadang-

kadang di atas) termoklin pada saat matahari terbenam; menuju ke dasar perairan

pada saat matahari terbit.

5) Spesies yang tersebar di seluruh kolom perairan pada waktu siang hari tetapi

akan turun ke dasar pada malam hari. Contohnya ikan layur (Trichiurus lepturus)

(Wojciechowski 1972 dalam Ambarwati 2008).

6) Jenis pelagis, maupun, demersal yang tidak mempunyai migrasi harian yang

jelas.

Umumnya hampir semua jenis ikan pelagis akan naik ke permukaan sebelum

matahari terbenam, menyebar di kolom perairan setelah matahari terbenam dan

17

turun kelapisan yang lebih dalam pada saat matahari terbit. Sedangkan untuk ikan

demersal umunya akan berada di dasar perairan saat siang hari, naik dan

menyebar di kolom perairan pada malam hari (Hidayat 2000).

Menurut Blaxter dan Southward (1990) dalam Hidayat (2000) migrasi

vertikal ikan juga ditentukan oleh ketersediaan makanan, pasang surut dan

predator. Kebiasaan makanan dan interaksi antar jenis ikan dapat merupakan

salah satu dasar bagi pengelolaan sumber daya ikan sebagai salah satu unsur

dalam komunitas ikan tropis yang bersifat multispecies (Badrudin 2004). Setiap

ikan memiliki waktu makan yang berlainan. Pemilihan waktu yang tepat dalam

menangkap ikan terkait waktu makan ikan merupakan faktor yang mendukung

keberhasilan kegiatan penangkapan ikan (Purbayanto dkk 2004).

Ikan demersal adalah ikan yang hidup di dasar atau dekat dasar perairan,

aktivitasnya rendah, gerak ruayanya tidak terlalu jauh, membentuk gerombolan

yang tidak terlalu besar dan umunya bersifat karnivora (Budiman 2006). Menurut

Rounsefell, Everhart (1962) dan (Lowe-McConnell 1987) dalam Assir (2012)

terdapat empat pola gerak ikan demersal, yaitu pergerakan mengikuti kondisi

siang dan malam, pergerakan mengikuti kondisi pasang dan surut air laut,

pergerakan secara acak dan pergerakan secara musiman saat melakukkan

pemijahan. Pola pergerakan ikan karang yang mengikuti kondisi siang dan malam

sesuai dengan sifat ikan demersal yang sebagian bersifat aktif pada siang hari

(diurnal) dan sebagian bersifat aktif pada malam hari (nocturnal). Ikan-ikan yang

aktif pada siang hari umumnya adalah ikan demersal pemakan hewan invertebrata,

herbivora dan omnivora. Sedangkan ikan yang aktif di malam hari merupakan

ikan piscivora dan pemakan krustacea. Suyedi (2001) dalam Lee (2011)

menyatakan bahwa ikan pelagis umumnya bersifat filter feeder hal ini terlihat

dengan adanya tapis insang yang banyak dan halus. Oleh karena itu migrasi harian

ikan secara langsung ataupun tidak langsung dipengaruhi oleh cahaya yang terkait

dengan keberadaan fitoplankton, terutama bagi ikan filter feeder (Hidayat 2000).

Beberapa ikan yang mencari makan dengan mengandalkan indera pembau

dan perasa, sebagian besar aktif mencari makan dimalam hari. Ikan predator

lainnya yang mencari makan dengan mengandalkan indera penglihatannya

18

kebanyakan aktif pada siang hari. Pada kebanyakan spesies ikan, rangsang

kimiawi merupakan isyarat mencari makan , contoh hiu dogfish (Squalus sp) dan

hiu putih (Charcarodon sp). Beberapa jenis ikan ada yang mencari makan

bersama-sama selama musim memijah, seperti salmon (Salmo sp) dan Trout

(Oncorhynchus sp). Stimuli untuk mencari makan pada ikan terdiri dari dua

faktor, yaitu:

a) Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi internal atau mendorong untuk

mencari makan termasuk perubahan waktu dalam satu hari, intensitas cahaya,

waktu dan sifat alami makan terakhir, suhu, musim dan perubahan internal

lainnya.

b) Stimuli makanan yang dirasakan oleh indera penciuman, perasa, penglihatan,

dan sistem linea lateralis.

Banyak perubahan lingkungan perairan yang terjadi walaupun tidak terlalu

kentara setiap waktu dari siang hingga malam atau ketika pasang surut, baik itu

cahaya, suhu, salinitas, pH dan gelombang. Variasi salah satu atau kombinasi

faktor-faktor tersebut dapat dibedakan oleh ikan dan dapat mempengaruhi

aktivitas serta pola makan dari ikan-ikan tersebut (Lagler 1977).