BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja Organisasi Seseorang akan ...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja Organisasi Seseorang akan ...
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kinerja Organisasi
Seseorang akan selalu mendambakan penghargaan terhadap hasil
pekerjaanya dan mengharapkan imbalan yang adil. Penilaiaan kinerja perlu
dilakukan subyektif mungkin karena akan memotivasi karyawan dalam
melakukan kegiatannya. Disamping itu pula penilaan kinerja dapat memberikan
informasi untuk kepentingan pemberian gaji, promosi dan melihat perilaku
karyawan. Berbagai macam jenis pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan
tentunya membutuhkan kriteria yang jelas, karena masing-masing jenis pekerjaan
tentunya mempunyai standar yang berbeda-beda tentang pencapaian hasilnya.
Makin rumit jenis pekerjaan, maka standard operating procedure yang ditetapkan
akan menjadi syarat mutlak yang harus dipatuhi.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan yang sangat pesat telah melahirkan
ukuran kinerja terbaru yang disebut Balanced Scorecard yang dicetuskan oleh
Robert S Kaplan dan David C Norton. Ukuran kinerja yang terakhir ini sudah
mendekati ukuran ideal karena selain ukuran keuangan juga diukur aspek non
keuangan. Dalam metode pengukuran ini terdapat empat persepektif yang berbeda
yaitu : 1) perspektif keuangan, yaitu pengukuran kinerja keuangan yang mengarah
kepada perbaikan, perencanaan, implementasi, dan pelaksanan strategis;
2) perspektif pelanggan, yaitu menilai kinerja berdasarkan kepuasan pelanggan
atas produk atau jasa yang bernilai lebih bagi konsumen; 3) perspektif
12
operasional, yaitu menilai kinerja berdasarkan inovasi, operasi, dan layanan purna
jual; dan 4) perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, yaitu mengukur kinerja
berdasarkan kemampuan pegawai mencakup tingkat kepuasan pegawai,
kemampuan sistem informasi, motivasi, pembelajaran dan keserasian individu
perusahaan.
Mangkunegara (2006) menyatakan kinerja dapat didefinisikan sebagai
hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dapat dicapai oleh seseorang
pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan
kepadanya. Evaluasi kinerja adalah penilaian yang dilakukan secara sistematis
untuk mengetahui hasil pekerjaan karyawan dan kinerja organisasi.
Simamora (2001) mengartikan kinerja sebagai tingkat peran karyawan
mencapai persyaratan-persyaratan pekerjaan. sedangkan Dharma (2002)
mendefinisikan kinerja sebagai sesuatu yang dikerjakan, produk atau jasa yang
dihasilkan seseorang atau sekelompok orang. Pengertian tersebut, melihat kinerja
dari dua sisi, yaitu dari sisi individu dan dari sisi organisasi.
Bernardin (2003), mengartikan kinerja sebagai suatu catatan perolehan
yang dihasilkan dari tertentu dan kegiatan selama suatu periode waktu tertentu.
Sehingga apabila prestasi kerja atau produktivitas kerja karyawan setelah
mengikuti pengembangan, baik kualitas maupun kuantitas kerjanya meningkat,
fungsi suatu pekerjaan maka berarti metode pengembangan yang ditetapkan
cukup baik (Hasibuan, 2007).
Jusi dalam Moeljono (2003), beberapa indikator kinerja yang berdasarkan
produktivitas pelayanan nasabah adalah berupa etos kerja, keselarasan dengan
13
nasabah, kemampuan penanganan masalah yang dihadapi nasabah, kepuasan
nasabah, perhatian organisasi terhadap karyawan yang cakap/mampu dan dapat
diberdayakan (empowered), serta upaya peningkatan mutu, jasa dan proses yang
dilakukan oleh organisasi.
Kotler (1994) berpendapat bahwa pelayanan adalah aktivitas atau hasil
yang dapat ditawarkan oleh suatu lembaga kepada pihak lain yang biasanya tidak
kasat mata, dan hasilnya tidak dapat dimiliki oleh pihak lain tersebut. Menurut
Hadipranata (Sutrisno, 2010) pelayanan adalah aktivitas tambahan di luar tugas
pokok yang diberikan kepada konsumen, pelanggan atau nasabah, serta dirasakan
baik sebagai penghargaan maupun penghormatan.
CEO Wall-Mart, Sam Walton (Tika 2010) menyatakan bahwa tujuan
perusahaannya adalah untuk memenuhi pelayanan pelanggan yang bukan hanya
terbaik, tetapi juga melegenda, sebab keberhasilan suatu organisasi bisa dilihat
dari kualitas layanan yang dapat memberikan kepuasan maksimal bagi konsumen.
Terlebih lagi untuk perusahaan jasa, pentingnya peran pelayanan memberikan
makna yang lebih jauh, bahwa pada akhirnya apabila timbul persaingan, bukanlah
semata-mata persaingan dari segi produk yang dihasilkan, tetapi lebih daripada itu
yakni persaingan dari segi pelayanan yang diberikan kepada konsumen.
Moeljono (2003), bagi perusahaan jasa, seperti bank, apabila
pelayanannya tidak optimal, sulit diharapkan akan dapat mempertahankan
kesetiaan nasabahnya. Pelayanan nasabah bukan sekedar bermaksud melayani,
tetapi merupakan upaya untuk membangun suatu kerja sama jangka panjang
dengan prinsip saling menguntungkan. Proses ini sudah dimulai sebelum terjadi
14
transaksi hingga tahap evaluasi setelah transaksi. Pelayanan nasabah yang baik
adalah bagaimana mengerti keinginan konsumennya.
Gibson et al. (1995) menyatakan kinerja sebagai “The Outcome of Jobs which
relate to the purpose of the organization such as quality, efficiency and any other
criteria of effectiveness. Sedangkan Bernadin (2003) mendefinisikan kinerja
sebagai “The record of outcomes produced on a specified job function,activity, or
behavior during a specified time period.” Dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa kinerja organisasi adalah prestasi akhir dari suatu organisasi dan
mengandung beberapa hal, seperti adanya target tertentu yang dicapai, memiliki
jangka waktu dalam pencapaian target dan tercapainya efisiensi dan efektifitas.
Penelitian ini akan memggunakan konsep pengukuran kinerja organisasi
hanya dari aspek perspektif pelanggan, yang menilai kinerja organisasi
berdasarkan kepuasan pelanggan atas pelayanan, produk, dan jasa yang bernilai
lebih bagi pelanggan. yang meliputi; 1) kecepatan, 2) kualitas, 3) layanan, dan 4)
nilai. (Furtwengler,2002).
Ukuran ini menjadi semakin penting dalam mencapai dan
mempertahankan keunggulan bersaing. Keempat alat ukur kinerja organisasi yang
fokus pada pelanggan menurut Furtwengler, (2002) dapat dijelaskan sebagai
berikut.
1) Kecepatan, dalam hal ini adalah kemampuan setiap karyawan dalam
memberikan pelayanan terhadap para pelanggan atau nasabah, baik
pelanggan internal maupun pelanggan eksternal yang sesuai dengan
Standard Operating Procedure (SOP).
15
2) Kualitas, adalah kecepatan dalam memberikan pelayanan, pelayanan tanpa
kualitas adalah sia-sia. Pelayanan yang cepat dan berkualitas dapat
membuat para pelanggan merasa puas, dapat menghemat waktu dan biaya.
3) Layanan, adalah layanan yang diberikan oleh setiap karyawan sesuai
dengan jenis pekerjannya yang diberikan pada semua pelanggan baik
internal maupun ekternal akan sangat mendukung kecepatan dan kualitas
pelayanan.
4) Nilai, adalah setiap pelanggan menginginkan nilai layanan yang cepat dan
berkualitas sesuai dengan harapan pelanggan.
2.2 Budaya Organisasi
Budaya organisasi pada bagian ini akan memaparkan kajian budaya yang
dilakukan oleh para ahli antara lain : Hopstede (1994), Robbin (2007), Schein
(1999), Denison (1990), Kotter and Hesket (1994), serta budaya daerah Bali yang
dikaji dalam falsafah kultur Bali yaitu Tri Hita Karana.
Hopstede (Deresky, 2000), mendefinisikan budaya organisasi sebagai
keseluruhan pola pemikiran, perasaan dan tindakan dari suatu kelompok sosial
yang membedakan dengan kelompok sosial yang lain. Setelah mempelajari
budaya organisasi di berbagai negara yang akhirnya melahirkan empat dimensi
budaya, yaitu : individu-kolektif (Individualism-collectivism), jarak kekuasaan
(power distance), maskulin-feminin (masculinity-feminity), penghindaran
ketidakpastian (un certainty avoidance). Individualisme berarti kecenderungan
akan kerangka sosial yang terajut longgar dalam masyarakat dimana individu
dianjurkan untuk menjaga diri mereka sendiri dan keluarga dekatnya.
16
Kolektivisme berarti kecenderungan akan kerangka sosial yang terajut ketat
dimana individu dapat mengharapkan kerabat, suku, atau kelompok lainnya
melindungi mereka sebagai ganti atas loyalitas mutlak. Isu utama dalam dimensi
ini adalah derajat kesaling-tergantungan suatu masyarakat diantara anggota-
anggotanya. Hal ini berkait dengan konsep diri masyarakat : "saya” atau "kami".
Jarak kekuasaan merupakan suatu ukuran dimana anggota dari suatu masyarakat
menerima bahwa kekuasaan dalam lembaga atau organisasi tidak didistribusikan
secara merata. Hal ini mempengaruhi perilaku anggota masyarakat yang kurang
berkuasa dan yang berkuasa. Orang-orang dalam masyarakat yang memiliki jarak
kekuasaan besar menerima tatanan hirarkis dimana setiap orang mempunyai suatu
tempat yang tidak lagi memerlukan justifikasi. Orang-orang dalam masyarakat
yang berjarak kekuasaan kecil menginginkan persamaan kekuasaan dan menuntut
justifikasi atas perbedaan kekuasaan. Isu utama atas dimensi ini adalah bagaimana
suatu masyarakat menangani perbedaan diantara penduduk ketika hal tersebut
terjadi. Hal ini mempunyai konsekuensi jelas terhadap cara orang-orang
membangun lembaga dan organisasi mereka. Penghindaran ketidakpastian
merupakan tingkatan dimana anggota masyarakat merasa tak nyaman dengan
ketidakpastian dan ambiguitas. Perasaan ini mengarahkan mereka untuk
mempercayai kepastian yang menjanjikan dan untuk memelihara lembaga-
lembaga yang melindungi penyesuaian. Masyarakat yang memiliki penghindaran
ketidakpastian yang kuat menjaga kepercayaan dan perilaku yang ketat dan tidak
toleran terhadap orang dan ide yang menyimpang. Masyarakat yang mempunyai
penghindaran ketidakpastian yang lemah menjaga suasana yang lebih santai
17
dimana praktek dianggap lebih dari prinsip dan penyimpangan lebih dapat
ditoleransi. Isu utama dalam dimensi ini adalah bagaimana suatu masyarakat
bereaksi atas fakta yang datang hanya sekali dan masa depan yang tidak diketahui.
Apakah ia mencoba mengendalikan masa depan atau membiarkannya berlalu.
Seperti halnya jarak kekuasaan, penghindaran ketidak pastian memiliki
konsekuensi akan cara orang-orang mengembangkan lembaga dan organisasi
mereka. Maskulinitas berarti kecenderungan dalam masyarakat akan prestasi,
kepahlawanan, ketegasan, dan keberhasilan material. Lawannya, feminitas berarti
kecenderungan akan hubungan, kesederhanaan, perhatian pada yang lemah, dan
kualitas hidup. Isu utama pada dimensi ini adalah cara masyarakat
mengalokasikan peran sosial atas perbedaan jenis kelamin. Secara skematis
dimensi budaya Hopstede dapat diiktisarkan sebagai berikut pada Gambar 2.1
Hofstede’s Four Dimensions ofCulture : A Summary
Collectivistic Individualism/Collectivism Individualistic
Low power distance Power Distance High power distance
Low uncertainty Uncertainty AvoidanceHigh uncertainty Avoidance avoidance
Feminime Masculinity/Feminimity Masculine
Gambar 2.1 : Model Dimensi Budaya Hopstede.
Sumber : Deresky (2000)
18
Kajian Budaya Organisasi memberikan arti sebagai a system of shared
meaning held by members that distinguishes the organization
from other organizations (Robbins, 2007). Dari istilah ini dapat
dikatakan bahwa budaya organisasi merupakan suatu sistem
makna yang dimiliki bersama oleh anggota organisasi, yang
membedakannya dengan organisasi-organisasi lainnya. Kajian
Robbins (2007) tentang budaya organisasi mengatakan bahwa
sistem makna yang dikemukakan merupakan himpunan
karakteristik kunci dari nilai perusahaan tersebut, dan sekurang-
kurangnya ada 7 karakteristik utama, yaitu: 1). innovation and
risktaking ; 2). attention to detail ; 3). outcome orientation ; 4).
people orientation ; 5). team orientation ; 6). stability.
Mengenai sejauhmana budaya organisasi berfungsi, Robbins, (2007)
menyatakan terdapat 5 fungsi budaya organisasi yaitu : (1) berperan menetapkan
tapal batas ; (2) mengantarkan suatu perasaan identitas bagi anggota organisasi ;
(3) mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas dari pada kepentingan
individu sekarang ; (4) meningkatkan stabilitas sistem sosial karena merupakan
perekat sistem sosial yang membantu mempersatukan organisasi ; (5) sebagai
mekanisme kontrol dan menjadi rasional yang memandu dan membentuk sikap
serta perilaku para karyawan.
Dalam kaitannya dengan kinerja dan kepuasan kerja Robins
mengemukakan sebuah model keterkaitan antara keduanya, yaitu budaya yang
kuat akan mengantarkan kepada kinerja yang tinggi dan kepuasan kerja yang
19
tinggi. Sebaliknya budaya yang lemah akan membawa organisasi kepada kinerja
yang rendah dan kepuasan kerja yang rendah pula. Berikut secara skematis
hubungan ketiga variabel tersebut.
Perceived as
Gambar 2.2 : Model Hubungan Budaya Organisasi terhadap Kinerja dan
Kepuasan Kerja menurut Robins.
Sumber : Robibins, 2007, Organizational Behavior
Kajian budaya organisasi Schein (1999) menyatakan bahwa budaya
organisasi merupakan "a pattern of basic assumptions that a given group has
external adaptation and internal integration, and that have worked well enough
to be considered valid, and therefore, to perceive, think, and feel in relation to
those problems."
Dapat dikatakan bahwa budaya adalah suatu pola asumsi dasar yang diciptakan,
ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai pembelajaran
untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang resmi dan
terlaksana dengan bak dan oleh karena itu diajarkan dan diwariskan kepada
anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat memahami, memikirkan, dan
merasakan terkait dengan masalah-masalah tersebut.
20
Objektif factors:
Innovation and risk taking
Attention to detail Outcome
orietation People orietation Team orietation Agressiveness Stability
Organizational Culture
HI
LOW
Performance
Satisfaction
Lebih lanjut Schein (1999) dalam karyanya yang berjudul corporate
culture and leadership membagi fungsi budaya organisasi berdasarkan tahap
pengembangannya, yaitu : (1) fase awal merupakan tahap pertumbuhan suatu
organisasi, pada tahap ini fungsi budaya organisasi terletak pada pembeda, baik
terhadap lingkungan maupun terhadap kelompok atau organisasi lain ; (2) fase
pertengahan hidup organisasi, pada fase ini budaya organisasi berfungsi sebagai
integrator karena munculnya sub-sub budaya baru sebagai penyelamat krisis
identitas dan membuka kesempatan untuk mengarahkan perubahan budaya
organisasi ; (3) fase dewasa, pada fase ini budaya organisasi dapat sebagai
penghambat dalam berinovasi karena berorientasi pada kebesaran masa lalu dan
menjadi sumber nilai untuk berpuas diri.
Selain itu Schein dalam Tika (2010) memberikan beberapa asumsi dasar
yang membentuk budaya organisasi. Asumsi dasar ini dapat dipergunakan sebagai
alat untuk menilai budaya suatu organisasi. Beberapa dimensi asumsi dasar
tersebut adalah sebagai berikut.
1) Keterkaitan lingkungan organisasi. Terdapat tiga dimensi dari aspek ini.
Pertama, tentang bagaimana mereka memandang peran organisasi
dalam masyarakat yang mana hal ini dapat dilihat melalui jenis produk
yang dihasilkan atau cara pelayanan yang diberikan, atau dimana pasar
utamanya, atau segmentasi pelanggan yang dibidik. Kedua, tentang apa
pandangan mereka terhadap lingkungan yang relevan dengan organisasi,
apakah lingkungan ekonomi, politik, teknologi, sosial-budaya, atau
yang lainnya. Ketiga, bagaimana pandangan mereka tentang posisi
21
organisasi terhadap lingkungan, apakah organisasi mendominasi, atau
didominasi oleh, atau seimbang dengan lingkungannya tersebut.
2) Hakikat realitas dan kebenaran. Terdapat empat dimensi dari aspek ini.
Pertama, realitas fisik yang menyangkut persoalan kriteria obyektif atas
fakta. Kedua, realitas sosial yang mempersoalkan konsensus atas opini,
kebiasaan, dogma, dan prinsip. Ketiga, realitas subyektif yang
mempersoalkan pengalaman subyektif atas pendapat, kecenderungan,
dan cita rasa pribadi. Keempat, Mengenai kriteria kebenaran yang
berarti bagaimana kebenaran itu seharusnya ditentukan, apakah oleh
tradisi, dogma, moral atau agama, pendapat orang-orang bijak atau
orang-orang yang berwenang, proses hukum, resolusi konflik, uji coba,
atau pengujian ilmiah.
3) Hakikat sifat manusia. Terdapat dua dimensi dari aspek ini. Pertama,
tentang sifat dasar manusia yaitu apakah manusia pada dasarnya bersifat
baik, buruk, atau netral. Kedua, mengenai perubahan sifat tersebut yaitu
apakah sifat manusia itu tetap (tidak dapat berubah) ataukah dapat
berubah dan disempurnakan ? Mana yang lebih baik misalnya antara
teori X atau teori Y ?
4) Hakikat kegiatan manusia. Dimensi utama dari aspek ini adalah sikap
mental manusia terhadap lingkungan, yaitu apakah proaktif, reaktif,
ataukah harmoni ?
5) Hakikat hubungan antar manusia. Terdapat dua dimensi dari aspek ini.
Pertama, struktur hubungan manusiawi yang memiliki alternatif
22
linealitas, kolateralitas, atau individualitas. Kedua, struktur hubungan
organisasi yang mempunyai variasi otokrasi, paternalisme, konsultasi,
partisipasi, delegasi, kolegialitas. Selanjutnya Schein (1999)
menambahkan pula dua asumsi dasar lagi dalam karyanya tersebut
sebagai sub dimensi hakikat realitas dan kebenaran. Dua asumsi
tambahan ini adalah sebagai berikut.
6) Hakikat waktu. Terdapat tiga dimensi dari aspek ini. Pertama, arahan
fokus yang menyangkut masa lalu, kini, dan masa mendatang. Kedua,
konsep dasar waktu tentang apakah waktu itu bersifat linear
(monokronik), atau polikronik, atau siklikal. Ketiga, tentang apakah
ukuran waktu yang relevan yang berlaku dalam organisasi tersebut,
yaitu apakah mempergunakan satuan detik, menit, jam, hari, minggu,
bulan, tahun, dan seterusnya.
7) Hakikat Ruang. Terdapat tiga dimensi dalam aspek ini. Pertama,
ketersediaan ruang yang menyangkut apakah ruang itu tersedia, ataukah
tersedia namun terbatas, ataukah terbatas dalam pandangan orang-orang
tersebut. Kedua, penggunaan ruang sebagai simbol yang berkenaan
dengan pandangan apakah ruang itu berfungsi sebagai status dan
kekuasaan, atau untuk keakraban, atau berfungsi sangat pribadi. Ketiga,
fungsi ruang sebagai norma 'jarak', yaitu jarak antara formal-informal,
dan jarak antara sahabat-teman, serta jarak dalam pertemuan dan
hubungan dengan orang luar.
23
Lebih lanjut Schein, (1999) mengkaitkan budaya organisasi terhadap
kepemimpinan. Dikemukakan bahwa terdapat dua mekanisme pemimpin dan
kelompok dalam menanamkan dan mewariskan budaya organisasi, yaitu sebagai
berikut.
1) Mekanisme utama pewarisan yang terdiri dari 5 (lima) macam mekanisme
utama yang sangat berpotensi dalam usaha menanamkan budaya organisasi
yaitu : apa yang diperhatikan, diukur dan dikendalikan oleh pemimpin; reaksi
para pemimpin terhadap berbagai bisnis terutama jika terjadi krisis; model
peranan, pelatihan dan pengajaran terkait dengan panutan seorang pemimpin;
kriteria imbalan dan status; kriteria perekrutan, seleksi, promosi, pensiun, dan
ekskomunikasi.
2) Mekanisme sekunder artikulasi dan perkuatan yang terdiri dari : menyusun
design dan struktur organisasi; sistem dan prosedur organisasi; mendesign
ruang fisik dan ruang kantor; menanamkan sejarah, kejadian-kejadian dan
orang-orang penting ; pernyataan formal filosofi organisasi, keyakinan dan
piagam.
Nimran, (2004) juga mengkaitkan antara budaya organisasi terhadap
motivasi kerja. Budaya organisasi dalam kajian ini dapat ditemukan dalam tiga
tingkatan yaitu : Artifac, esposed value, dan underlyng assumption. Dikatakan
bahwa Budaya organisasi sebagai pencerminan sifat-sifat atau ciri-ciri yang
terdapat dalam lingkunan kerja dan muncul karena adanya kegiatan dalam
organisasi, yang dilakukan secara sadar atau tidak, dan dianggap mempengaruhi
perilaku, sehingga budaya yang ada pada perusahaan dapat dipandang sebagai
24
kepribadian organisasi. Hal ini berarti bahwa dalam meningkatkan motivasi kerja
sangat ditentukan oleh budaya organisasi yaitu kesetiakawanan, saling percaya
dan rasa hormat sehingga dapat meningkatkan motivasi kerja karyawan.
Kajian budaya organisasi Denison (1990), mengemukakan bahwa ada
empat prinsip integratif mengenai hubungan timbal balik antara budaya organisasi
dan efektifitas kerja perusahaan. Keempat prinsip ini diberi nama empat sifat
utama (main cultural traits) yang menyangkut keterlibatan (involvement),
konsistensi (concistency), adaptabilitas (adaptibility), dan misi (mission).
Keempat sifat utama tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Keterlibatan (involvement).
Keterlibatan merupakan faktor kunci dalam budaya organisasi.
Keterlibatan yang tinggi dari anggota organisasi berpengaruh terhadap kinerja
perusahaan khususnya menyangkut manajemen, strategi perusahaan, struktur
organisasi, biaya-biaya transaksi, dan sebagainya. Nilai-nilai, norma-norma, dan
tradisi organisasi bisa merupakan konsensus bagi anggota organisasi untuk
melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan organisasi
2) Konsistensi (concistency).
Konsistensi menyangkut keyakinan, nilai-nilai, simbul dan peraturan-
peraturan mempunyai pengaruh terhadap kinerja perusahaan khususnya
menyangkut, metode melakukan bisnis, perilaku karyawan dan tindakan-tindakan
bisnis lainnya.
25
3) Adaptabilitas (adaptibility)
Ada tiga aspek adaptabilitas yang mempunyai dampak pada efektifitas
organisasi, yaitu sebagai berikut.
(1) Kemampuan untuk menyadari dan bereaksi pada lingkungan ekternal.
(2) Kemampuan untuk bereaksi pada lingkungan internal.
(3) Kemampuan untuk bereaksi pada pelanggan internal maupun ekternal.
Ketiga aspek di atas merupakan hasil perkembangan dari asumsi-asumsi, nilai-
nilai, dan norma-norma dasar yang memberikan struktur dan arah bagi organisasi.
4) Misi (Mission).
Penghayatan misi memberikan dua pengaruh besar pada fungsi
perusahaan: (1) menentukan manfaat dan makna dengan cara mendefinisikan
peran sosial dan sasaran eksternal bagi institusi serta mendefinisikan peran
individu berkenaan dengan peran institusi, (2) memberikan kejelasan dan arah/
aturan. Kesadaran akan misi memberikan arah dan sasaran yang jelas yang
berfungsi untuk mendefinisikan serangkaian tindakan yang tepat bagi organisasi
dan para anggotanya. Kedua faktor tersebut memiliki efek positif pada kinerja
organisasi.
Ke empat aspek di atas bisa diintegrasi sebagai berikut.
1) Keterlibatan dan konsistensi memberikan dinamika internal sebuah organisasi,
tetapi tidak membicarakan interaksi dengan lingkungan ekternal.
2) Adaptabilitas dan penghayatan misi memfokuskan hubungan antara organisasi
dengan lingkungan ekternal.
26
Cara lain untuk dapat digunakan untuk mengintegrasikan adalah sebagai berikut.
1) Keterlibatan dan adaptabilitas merupakan pasangan yang menekankan
kapasitas organisasi pada fleksibilitas dan perubahan;
2) Konsistensi dan penghayatan misi berorientasi pada stabilitas.
Secara Skematis dimensi budaya Denison dapat dilihat dalam gambar berikut :
Error: Reference source not found
Gambar 2.3 : Model dimensi budaya Denison (1990)
Sumber : Tika, Budaya Organisasi, 2010.
Kajian budaya organisasi Kotter and Heskett (1992) menyatakan budaya
perusahaan adalah nilai dari praktek yang dimiliki bersama diseluruh kelompok
dalam suatu perusahaan, sekurang-kurangnya dalam manajemen senior. Budaya
dalam suatu organisasi terdiri dari nilai yang dianut bersama dan norma perilaku
kelompok. Lebih lanjut Kotter and Heskett (1994) menyatakan bahwa sepanjang
studi yang dilakukan, paling tidak ada 3 macam budaya perusahaan yang mampu
meningkatkan kinerja, yaitu :
(1) budaya yang kuat. Dalam perusahaan yang memiliki budaya perusahaan yang
kuat, hampir semua manajer menganut seperangkat nilai dan metode dalam
menjalankan bisnis yang relatif kosisten. Di sisi lain, pada budaya perusahaan
yang kuat, karyawan baru akan mengadopsi nilai dengan sangat cepat. Dalam
budaya perusahaan yang seperti itu, seseorang manajer bisa saja dikoreksi
27
oleh bawahannya, selain juga oleh pimpinannya jika melanggar aturan yang
ada;
(2) budaya perusahaan yang mampu meningkatkan kinerja adalah budaya yang
secara strategis cocok, artinya, budaya perusahaan haruslah tepat secara
kontekstual. Konteks yang dimaksud adalah kondisi objektif dari industri
perusahaan tersebut, segmen industri yang dispesifikasi oleh strategi
perusahaan atau strategi bisnis itu sendiri. Semakin besar kecocokan antara
budaya perusahaan dengan strategi yang direncanakan, semakin baik kinerja,
begitu juga sebaliknya.
(3) budaya perusahaan yang adaptif. Hanya budaya yang adaptif dapat membantu
organisasi dalam mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan
lingkungan. Budaya yang adaptif akan diasosiasikan dengan kinerja yang
superior sepanjang periode waktu yang panjang. Dalam pandangan ini,
dikatakan bahwa ciri budaya perusahaan yang tidak adaptif adalah yang penuh
birokrasi, anggotanya sangat reaktif, menolak resiko dan sangat tidak kreatif,
informasi tidak mengalir cepat dan mudah di seluruh organisasi. Atas dasar
itu, jika ingin membentuk budaya yang adaptif, harus memiliki karakteristik
yang berbeda. Ciri budaya perusahaan yang adaptif adalah siap menanggung
resiko, percaya diri, proaktif terhadap kehidupan perusahaan dan juga
kehidupan individu karyawannya.
2.2.1 Pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja organisasi.
Penelitian dilakukan oleh Gina (2000), peneliti dari University of South
Africa yang berjudul “The relationship between Organisational culture and
28
Financial performance in a south African Investment Bank, meneliti Bank
Investasi di Afrika selatan dengan sample sebanyak 327 orang pekerja bank
tersebut dengan model pengukuran yang dikemukakan oleh Likert. Tujuan
penelitiannya adalah menemukan keterkaitan budaya organisasi terhadap kinerja
keuangan bank tersebut. Konsep pengukuran budaya organisasi diadopsi dari
survey empat dimensi budaya Denison (Sutriso,2010) yang terdiri dari :
(1) Keterlibatan (Involvement), (2) Konsistensi (concistency), (3) Adaptibilitas
(adaptibility) dan (4) Mission. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa ada
hubungan yang kuat dan positif antara budaya organisasi terhadap kinerja
keuangan.
Penelitian yang dilakukan oleh Denison, peneliti yang masing-masing
berasal dari Stockholm School of Economics dan University of Michigan
Business School yang berjudul “Organizational Culture and Effectiveness : The
case of foreign firm in Russia”, meneliti perusahaan Negara di Rusia, dengan
sample sebanyak 179 perusahaan di Rusia dengan model pengukuran yang
dikemukakan oleh Likert. Tujuan penelitiannya adalah menemukan keterkaitan
budaya organisasi terhadap efektifitas organisasi perusahaan Negara tersebut.
Konsep pengukuran budaya organisasi diadopsi dari survey empat dimensi
budaya Danison (1990) yang terdiri dari : (1) Involpment (2) Consistency (3)
Adaptibility dan (4) Mission.
Efektifitas organisasi diukur berdasarkan : (1) overall performance, (2) Market
share, (3) Sales Grwth, (4) Profitability, (6) Employe Satisfaction, (7) Quality of
product dan (8) service and new product development. Penelitian terhadap empat
29
dimensi budaya ini yang menentukan efektifitas organisasi perusahaan tersebut,
yaitu : (1) Involpment (2) Consistency, (3) Adaptibility dan (4) Mission. Hasil
penelitiannya menyimpulkan bahwa ada hubungan yang kuat dan positif antara
budaya organisasi terhadap efektifitas organisasi.
Penelitian dilakukan oleh Mark Toncar, Lycoming Collage dan Ilan Alon
(Tika, 2010). Penelitiannya berjudul “Cultural Determinations of International
Franchising: An Empirical Examination of Hofstade’s cultural Dimensions”.
Penelitian ingin menguji empat dimensi budaya yang telah dikembangkan
Hofstede pada perdagangan internasional di sejumlah negara maju antara lain :
(1) Israel ; (2) Yugoslavia; (3) Argentina ; (4) Hungaria ; (5) Hongkong ;
(6) Philipina ; (7) Portugal ; (8) Sweden ; (9) Chile ; (10) Malaysia ; (11)
Denmark ; (12) Nederlands ; (13) Brazil ; (14) Norway ; (15) Finland ; (16)
Columbia ; (17) Australia ; (18) New Zealend ;(19) Ilaty ; (20) Singapore ; (21)
Austria ; (22) Mexico ; (23) Britain ; (24) France and (24) the United State.
Adapun Indikator penelitiannya adalah : (1) Individualis/Collectifism ; (2) Power
Distance ; (3) Uncertainty-avoidance dan (4) Sex-role-Differentiation. Sedangkan
variabel terikatnya adalah GDP perkapita. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa tiga dari empat dimensi budaya organisasi yang dikembangkan Hofstade
yaitu : (1) Individualis/Collectifism ; (2) Power Distance ; (dan (3) Sex-role-
Differentiation. berpengaruh signifikan terhadap GDP perkapitan di negara
tersebut, sedangkan Uncertainty-avoidance berpengaruh tidak signifikan terhadap
GDP di negara tersebut.
30
Penelitian yang dilakukan oleh Marina (1998) dari Florida Gulf Coast
Univrsity, Fost Myers, Florida, USA melakukan penelitian dengan judul :
Temporal elements of organizational culture and impact on firm performance.
Tujuan penelitiannya adalah menguji dua elemen temporal budaya organisasi
yaitu polychronicity dan speed value serta pengaruhnya terhadap kinerja
organisasi. Penelitian mengambil data pada 20 perusahaan telekomunikasi dan
perusahaan penerbitan dengan 90 responden. Dengan teknik analisis korelasi
diperoleh kesimpulan bahwa .
1) Terdapat hubungan positif antara polycronicity values dan speed values
secara bersama-sama terhadap kinerja organisasi.
2) Terdapat hubungan positif antara polycronicity values terhadap kinerja
organisasi.
3) Terdapat hubungan positif antara speed values secara bersama-sama
terhadap kinerja organisasi.
4) Terdapat pengaruh positif antara polycronicity values terhadap kinerja
organisasi (dengan dimediasi oleh hypercompetitive environments).
5) Terdapat pengaruh positif antara speed values terhadap kinerja organisasi.
(dengan dimediasi oleh hypercompetitive environments).
Dalam penelitian ini identifikasi variabel budaya organisasi mengacu pada
penelitian yang dilakukan oleh Denison (1990) yang terdiri dari : (1) Involpment
(2) Consistency (3) Adaptibility dan (4) Mission.
2.3 Teori Kepemimpinan
31
Berbagai teori kepemimpinan telah memperluas khasanah pengetahuan
tentang kepemimpinan yang ditandai dari banyaknya pendapat tentang
kepemimpinan.
Pemimpin adalah seseorang yang karena kecakapan-kecakapan pribadinya
dengan atau tanpa pengangkatan resmi dapat mempengaruhi kelompok yang
dipimpinnya untuk mengarahkan usaha bersama ke arah pencapaian sasaran-
sasaran tertentu (Winardi, 2006). Lebih lanjut Luthans, (2006) mendefinisikan
sebagai proses kelompok, personalitas, pemenuhan perilaku tertentu, persuasi,
kekuatan, tujuan, pencapaian, diferensiasi peran, anisiasi struktur, serta kombinasi
dari dua atau lebih dari hal tersebut.
Menurut Timple (Umar, 2004) pemimpin adalah orang yang menerapkan
prinsip dan teknik yang memastikan motivasi, disiplin, dan produktivitas jika
bekerjasama dengan orang, tugas, dan situasi agar dapat mencapai sasaran
perusahaan. Menurut Hersey dan Blanchard, pemimpin adalah orang yang dapat
mempengaruhi kegiatan individu atau kelompok dalam usaha untuk mencapai
tujuan dalam situasi tertentu. Gannon (Toha,2010) definisi pemimpin yaitu
seorang atasan yang mempengaruhi perilaku bawahannya. Jadi secara garis besar
pemimpin dapat didefinisikan sebagai sosok karismatik yang mampu membuat
keputusan yang baik dan mampu mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Peran utama pemimpin adalah mempengaruhi orang lain
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Toha (2010) kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi perilaku
orang lain (para pengikut atau para bawahan) sehingga orang lain mau mengikuti
32
apa yang menjadi kehendaknya. Dari definisi tersebut, orang lain dapat diartikan
sebagai pengikut atau para bawahan.
Lebih lanjut Fleishman (Gibson, Ivancevich, dan Donnelly, (1995)
menerangkan bahwa kepemimpinan adalah upaya mempengaruhi kegiatan
pengikut melalui proses komunikasi untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi ini
menunjukkan bahwa kepemimpinan melibatkan penggunaan pengaruh dan
karenanya semua hubungan dapat merupakan upaya kepemimpinan. Unsur kedua
dari definisi itu menyangkut pentingnya proses komunikasi. Kejelasan dan
ketepatan proses komunikasi mempengaruhi perilaku dan prestasi pengikut. Unsur
lain dari definisi tersebut berfokus pada pencapaian tujuan. Menurut Anoraga,
(1995) kepemimpinan adalah seni mempengaruhi orang lain untuk mengarahkan
kemauan mereka, kemampuan dan usaha untuk mencapai tujuan pimpinan.
Rangkaian kegiatan penataan berupa kemampuan mempengaruhi perilaku
orang lain dalam situasi tertentu agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan adalah pengertian kepemimpinan yang dikemukakan oleh
Sutarto(2002). Boone dan Kurtz (Anoraga dan Suyati, 1995) berpendapat bahwa
kepemimpinan merupakan tindakan memotivasi orang lain atau menyebabkan
orang lain melakukan tugas tertentu dengan tujuan untuk mencapai tujuan
spesifik. Sementara Gibson, (1995) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu
upaya penggunaan jenis pengaruh bukan paksaan (concoersive) untuk memotivasi
orang-orang mencapai tujuan tertentu. Sedangkan menurut Nimran (2004)
kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi perilaku orang lain agar berprilaku
seperti yang dikehendaki, juga mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu
33
proses mempengaruhi aktivitas dari individu atau kelompok untuk mencapai
tujuan dalam situasi tertentu. Demikian pula dengan Davis dan Newstrom (1996)
yang menerangkan bahwa kepemimpinan merupakan proses mendorong dan
membantu orang lain untuk bekerja dengan antusias mencapai tujuan.
Kepemimpinan yang berhasil memerlukan perilaku yang menyatukan dan
merangsang pengikut untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam situasi
tertentu. Menurut Stoner (Umar, 2004) kepemimpinan adalah proses pengarahan
dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari para anggota
kelompok.
Jadi di dalam kepemimpinan terdapat seorang pemimpin dan bawahan.
Dari definisi-definisi tersebut jelas bahwa inti dari kepemimpinan adalah
kemampuan mempengaruhi orang lain. Kemampuan mempengaruhi orang lain ini
mempunyai maksud yaitu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan
kata lain, tujuan dari kepemimpinan adalah mempengaruhi orang lain, dalam hal
ini adalah karyawan atau bawahan untuk mencapai tujuan perusahaan. Pencapaian
tujuan perusahaan merupakan cerminan dari keefektifan kepemimpinan seorang
pemimpin. Sedangkan karyawan atau bawahan menilai keefektifan pemimpin dari
sudut kepuasan yang mereka rasakan selama pengalaman kerja secara
menyeluruh. Kepemimpinan menjalankan dua fungsi utama yaitu fungsi “yang
bertalian dengan tugas” atau fungsi pemecahan masalah, dan fungsi “pembinaan
kelompok” atau fungsi sosial.
Menurut Siagian (2003) ada 5 fungsi dari kepemimpinan, yaitu :
1) fungsi penentu arah. Tujuan yang ada pada setiap organisasi dapat dicapai
34
melalui kerja sama yang dipimpin oleh seorang pemimpin. Keterbatasan sumber
daya organisasi mengharuskan pemimpin mengelola secara efektif. Jadi, arah
yang hendak dicapai oleh organisasi menuju tujuannya harus sedemikian rupa
sehingga mengoptimalkan pemanfaatan dari segala sarana dan prasarana yang
tersedia. Arah yang dimaksud tertuang dalam strategi dan taktik yang disusun oleh
pemimpin. 2) fungsi sebagai juru bicara. Fungsi pemimpin sebagai juru bicara
menekankan pada kemampuan seorang pemimpin untuk berperan sebagai
penghubung antara organisasi dengan pihak-pihak luar yang berkepentingan
(ekstern). 3) fungsi sebagai komunikator. Fungsi pemimpin sebagai komunikator
menekankan pada kemampuannya untuk mengkomunikasikan sasaran-sasaran,
strategi, dan tindakan yang harus dilakukan oleh bawahan (intern). 4) fungsi
sebagai mediator. Kemampuan menjalankan fungsi kepemimpinan selaku
mediator yang rasional, objektif, dan netral merupakan salah satu indikator
efektifitas seorang pemimpin. Hal ini disebabkan karena konflik-konflik yang
terjadi atau adanya perbedaan-perbedaan kepentingan dalam organisasi menuntut
kehadiran seorang pemimpin dalam menyelesaikan permasalahan yang ada.
5) fungsi sebagai integrator. Adanya pembagian tugas, sistem alokasi sumber
daya, dana dan tenaga serta spesialisasi pengetahuan dan keterampilan dapat
menimbulkan sikap, perilaku dan tindakan bermacam-macam sehingga diperlukan
integrator utama pada hirarki puncak organisasi. Integrator itu adalah pemimpin,
semakin tinggi kedudukan seseorang dalam hirarki kepemimpinan dalam
organisasi, semakin penting pula makna peranan tersebut.
35
Menurut Gibson, Ivancevich, (1995) di dalam mempelajari kepemimpinan
ada banyak teori yang dapat dijadikan acuan. Namun teori-teori tersebut dapat
dikelompokkan ke dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut.
1) Teori Sifat (Trait theory)
Teori sifat merupakan suatu pendekatan yang mempertanyakan sifat-sifat
apakah yang membuat seseorang menjadi pemimpin. Dari teori inilah timbul
pernyataan-pernyataan ilmiah yang mengemukakan bahwa kepemimpinan itu
dilahirkan sebagi pemimpin. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa dapat
ditemukan sejumlah ciri individu terbatas dari pemimpin yang efektif. Unsur-
unsur testing kepegawaian dari manajemen keilmuan dalam kadar yang
signifikan, mendukung teori sifat kepemimpinan. Unsur-unsur testing
kepegawaian tersebut adalah :
(1) kecerdasan (intelligence)
Salah satu penemuan yang penting ialah bahwa perbedaan kecerdasan yang
menyolok antara pemimpin dan pengikutnya mungkin akan tidak fungsional.
Suatu kecenderungan umum menunjukkan bahwa pemimpin lebih cerdas dari
pengikutnya.
(2) kepribadian (personality)
Beberapa hasil riset menunjukkan bahwa sifat kepribadian seperti keuletan,
orisinalitas, integritas pribadi, dan kepercayaan diri berkaitan dengan
36
kepemimpinan yang efektif. Individu yang menampilkan kepribadiannya
adalah pemimpin yang efektif.
(3) karakteristik fisik (physical characteristic). Studi tentang hubungan antara
kepemimpinan yang efektif dengan karakteristik fisik seperti umur, tinggi, dan
berat badan, dan penampilan mengungkapkan hasil yang bertentangan. Di satu
sisi, tubuh yang terlalu tinggi dan terlalu berat dibanding rata-rata kelompok
tentunya tidak menguntungkan untuk mencapai posisi kepemimpinan, namun
di sisi lain banyak organisasi yang membutuhkan orang dengan fisik yang
besar untuk menjamin kepatuhan pengikutnya.
(4) kemampuan supervisi
Kemampuan supervisi didefinisikan sebagai pendayagunaan segala bentuk
praktek supervisi secara efektif ditunjukkan oleh persyaratan situasi tertentu.
Ciri-ciri kepemimpinan tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan kombinasi
dalam upaya mempengaruhi pengikut. Interaksi ini mempengaruhi hubungan
pemimpin dengan pengikut.
2) Teori situasional
Kepemimpinan selanjutnya adalah kepemimpinan situasional yang
mengemukakan bahwa keefektifan kepemimpinan tergantung pada kecocokan
antara kepribadian, tugas, kekuasaan, sikap, dan persepsi. Ada tiga pendekatan
kepemimpinan yang berorientasikan situasi yaitu sebagai berikut.
(1) Model kepemimpinan kontingensi
Karena pentingnya faktor-faktor situasi diketahui, riset kepemimpinan
semakin rumit, dan model-model kontingensi efektivitas pemimpin dirumuskan
37
untuk menjelaskan interaksi antara karakteristik pemimpin dan situasi. Model-
model kontingensi ini telah berusaha mengidentifisir sifat-sifat pemimpin apa
atau pola perilaku apa yang sesuai dengan jenis-jenis situasi kepemimpinan
tertentu. Teori kontingensi ini dikemukakan oleh Fred Fielder. Model yang
dikembangkan disebut Contingency Model of Leadership effectiveness. Model ini
memuat hubungan antara leadership style dengan favorableness of the situation,
di mana untuk favorableness of the situation digambarkan dalam tiga dimensi
empiris yang meliputi :
a) struktur derajat tugas (The degree of task structure)
b) hubungan antara anggota dengan pemimpin (the leader-member
relationship)
c) kekuatan posisi (the leader’s position power)
Dari hasil analisis Fielder menemukan bahwa dalam situasi yang sangat
favorable dan yang sangat tidak favorable maka tipe leader yang paling efektif
adalah task directed atau otoriter. Namun dalam situasi yang moderate favorable
dan moderate tidak favorable maka tipe leader yang paling efektif adalah human
oriented atau demokratis. Visualisasi dari temuan tersebut dapat dilihat pada
Gambar 2.4.
Task
Directed
Leadership style -
Human Oriented
Democratic
Very 1 Very
Unfavorable Unfavorable Favorable Favorable
38
Gambar : 2.4 Model Kepemimpinan Fidler, 1992
Dengan menggunakan empat style contingent dari situational factor,
pemimpin mencoba mempengaruhi persepsi bawahan, memotivasi mereka dalam
rangka untuk mencapai keluaran yang berupa kinerja, kepuasan, kejelasan peran
serta kejelasan sasaran. Hal-hal khusus yang dipenuhi oleh pemimpin adalah
sebagai berikut:
1) mengetahui kebutuhan bawahan
2) meningkatkan imbalan (gaji /upah) bawahan
3) membuat alur (path) agar imbalan lebih mudah dicapai
4) membantu bawahan mengklarifikasi harapan
5) mengurangi frustasi
6) meningkatkan peluang kepuasan personal
Pemimpin mencoba untuk membuat alur dari tujuan bawahan semulus
mungkin. Untuk itu pemimpin harus menggunakan style contingent yang cocok.
(2) Model kepemimpinan Vroom-Yetton
Vroom dan Yetton telah mengembangkan sebuah model pengambilan
keputusan kepemimpinan yang menunjukkan jenis-jenis situasi di mana berbagai
tingkatan pengambilan keputusan partisipatif akan tepat. Mereka mencoba
menyediakan suatu model normatif. Pendekatan mereka berasumsi bahwa suatu
39
gaya kepemimpinan tunggal adalah tepat untuk segala situasi tidak seperti halnya
Fiedler, Vroom dan Yetton berasumsi bahwa pemimpin harus cukup luwes untuk
mengubah gaya kepemimpinan mereka agar sesuai dengan situasi. Fiedler
berpendapat bahwa situasi harus diubah agar cocok dengan gaya kepemimpinan
yang kaku.
(3) Model jalur-tujuan
Model jalur-tujuan mencoba memprakirakan keefektifan kepemimpinan
dalam situasi yang berbeda. Menurut model ini, pemimpin adalah efektif karena
dampak positifnya terhadap motivasi kemampuan bekerja, dan kepuasan
pengikutnya. Dikatakan sebagai jalan-tujuan karena menitikberatkan atas cara
pemimpin mempengaruhi persepsi pengikut tentang tujuan kerja, tujuan
pengembangan diri, dan jalan untuk mencapai tujuan. Beberapa karya pemula
tentang teori jalan tujuan menyatakan bahwa pemimpin akan efektif dengan
menyediakan imbalan bagi bawahan dan menjadikan imbalan tersebut tergantung
pada kemampuan bawahan mencapai tujuan khasnya. Karya pemula jalan-tujuan
ini mengarah pada pengembangan suatu teori yang rumit yang melibatkan empat
gaya khas perilaku pemimpin yaitu direktif, suportif, partisipatif, dan prestasi.
Pemimpin yang direktif cenderung memberikan kesempatan bagi bawahan untuk
mengetahui hal-hal yang diharapkan dari mereka. Pemimpin yang suportif
memperlakukan bawahan sederajat. Pemimpin yang partisipatif berkonsultasi
dengan bawahan dan menggunakan saran dan gagasan mereka sebelum mencapai
keputusan. Pemimpin yang berorientasi prestasi menetapkan tujuan yang
menantang, mengharapkan bawahan berprestasi pada tingkat yang paling tinggi,
40
dan terus berupaya meningkatkan prestasi. Berbagai studi riset mengungkapkan
bahwa keempat gaya tersebut dapat dipraktekkan oleh pemimpin yang sama
dalam berbagai situasi.
Robbins (2007) menjelaskan Model Jalur-Tujuan sebagai berikut : Hakikat
teori Jalur-Tujuan yang dikembangkan oleh Robert House ini adalah bahwa
merupakan tugas seorang pemimpin untuk membantu pengikutnya dalam
mencapai tujuan mereka dan untuk memberikan pengarahan yang perlu dan/atau
dukungan guna memastikan tujuan mereka sesuai dengan sasaran keseluruhan
dari kelompok atau organisasi. Jalur tujuan diartikan berdasar keyakinan bahwa
pemimpin yang efektif mampu menjelaskan jalur (path) untuk membantu
pengikutnya (staf) berangkat dari mana mereka berada menuju pencapaian tujuan
kerja mereka dan melakukan perjalanan sepanjang jalur secara lebih mudah
dengan mengurangi hambatan dan perangkap. Jadi pencapaian sasaran terhadap
kinerja organisasi/perusahaan akan dapat dicapai dengan tercapainya tujuan kerja
bawahan. Dalam teori Jalur-Tujuan ini, perilaku seorang pemimpin dapat diterima
baik oleh para bawahan sejauh mereka pandang sebagai suatu sumber dari/atau
kepuasan segera atau sebagai sarana bagi kepuasan masa mendatang. Perilaku
seorang pemimpin akan bersifat motivasional apabila (1) mampu membuat
bawahan memerlukan kepuasan yang bergantung pada kinerja yang efektif, (2)
memberikan latihan (coaching), bimbingan, dukungan dan ganjaran yang perlu
bagi kinerja yang efektif. Untuk menguji pernyataan diatas House,
mengidentifikasi empat perilaku kepemimpinan, yaitu : (1) Pemimpin direktif
yang membiarkan bawahan tahu apa yang diharapkan dari mereka, menjadwalkan
41
kerja untuk dilakukan, dan memberi bimbingan khusus mengenai bagaimana
menyelesaikan tugas. (2) Pemimpin pendukung, bersifat ramah dan menunjukan
kepedulian akan kebutuhan bawahan. (3) Pemimpin partisifatif berkonsultasi
dengan bawahan dan menggunakan saran meraka sebelum mengambil suatu
keputusan. (4) Pemimpin berorientasi prestasi menetapkan tujuan yang
mendatang dan mengharapkan bawahan berprestasi pada tingkat tertinggi mereka.
Menurut House perilaku pemimpin adalah luwes (fleksibel) sehingga teori jalur-
tujuan ini menyiratkan bahwa pemimpin yang sama dapat menampakkan setiap
atau semua perilaku tersebut, bergantung pada situasi. Berarti teori ini
mempertimbangkan variabel yang bersifat situasional, yang meliputi 12 variabel
atau kemungkinan yang melunakan hubungan perilaku-hasil. Secara schematis
teori Jalur-Tujuan sebagaimana Gambar 2.5
42
Hasil :
11.Kinerja 12.Kepuasan
Faktor kemungkinan lingkungan :
5.Struktur tugas6.Sistem otoritas
formal.7.Kelompok kerja
Perilaku pemeimpin
1.Direktif2.Berorientasi prestasi3.Partisipatif4.Mendukung
Gambar 2.5. Teori Jalur – Tujuan
Sumber : Kartini Kartono, 2000
4) Teori atribusi
Teori atribusi (atribution theory) mengemukakan bahwa pemahaman dan
peramalan tentang reaksi orang terhadap peristiwa di sekitar mereka, ditingkatkan
dengan mengetahui alasan kausal mereka atas kejadian tersebut. Penekanan teori
atribusi terutama menyangkut proses kognitif di mana seseorang mengartikan
perilaku sebagai disebabkan oleh (atau diatribusikan dengan) petunjuk tertentu
dalam lingkungan yang relevan. Teori atribusi mencoba menjelaskan “mengapa”
perilaku terjadi. Pendekatan atribusi dimulai dengan pandangan bahwa pemimpin
pada dasarnya adalah seorang pengolah informasi. Dengan kata lain, pemimpin
mencari berbagi petunjuk yang bersifat informasi yang menerangkan alasan
terjadinya sesuatu, dan dari petunjuk itu pemimpin mencoba menata penjelasan
kausal sebagai pedoman bagi perilaku kepemimpinannya.
2.3.1 Gaya kepemimpinan
Gaya kepemimpinan muncul sesuai dengan kebutuhan organisasi. Untuk
dapat mempengaruhi bawahan atau karyawan guna mencapai tujuan dan untuk
43
Faktor kemungkinanBawahan :
8. Tempat Kedudukan kontrol9. Pengalaman10.Kemapuan yang dipersepsikan.
menciptakan kepuasan kerja karyawan, pemimpin harus memperhatikan faktor
komunikasi. Komunikasi ini akan lebih baik jika didukung oleh gaya
kepemimpinan yang dapat diterima oleh para bawahan. Gaya kepemimpinan
adalah cara seseorang memanfaatkan kekuatan yang tersedia untuk memimpin
orang lain (Boone dan Kurtz dalam Anoraga, (1995). Sedangkan menurut Flippo
(1989) gaya kepemimpinan dapat dirumuskan sebagai pola perilaku yang
dirancang untuk memadukan kepentingan-kepentingan organisasi dan personalia
guna mengejar beberapa sasaran. Sementara menurut Thoha (2010) gaya
kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada
saat orang tersebut mencoba mempengaruhi orang lain seperti yang ia lihat.
Davis dan Newstrom (1996) mendefinisikan gaya kepemimpinan sebagai
pola tindakan pemimpin secara keseluruhan, seperti yang dipersepsikan para
pegawainya. Gaya kepemimpinan mewakili filsafat, keterampilan, dan sikap
memimpin dalam politik. Gaya tersebut berbeda-beda atas dasar motivasi, kuasa,
atau orientasi terhadap tugas dan orang.
Penelitian mengenai gaya kepemimpinan yang telah dilakukan oleh para
pakar, ada dua penelitian terbesar yang dilakukan oleh Ohio State University dan
satu penelitian lagi yang dilakukan oleh University of Michigan. Hasil penelitian
dari Ohio State University memberi indikasi bahwa para bawahan memandang
perilaku atasannya pertama-tama dalam kaitannya dengan dua dimensi atau
kategori dari perilaku yaitu consideration dan initiating structure. Sedangkan
hasil dari penelitian dari University of Michigan menggolongkan dua perilaku
atau gaya kepemimpinan yang dapat dijadikan indikator kepemimpinan yang
44
efektif yaitu gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas atau task-oriented
yang sama dengan initiating structure dan gaya kepemimpinan yang berorientasi
pada hubungan atau relationship-oriented yang sama dengan consideration.
Pada intinya, dari kedua penelitian tersebut gaya kepemimpinan yang
digunakan oleh pemimpin digolongkan menjadi dua yaitu gaya kepemimpinan
yang berorientasi pada tugas dan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada
hubungan.
Menurut Yukl (2005) gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas
atau initiating structure adalah tingkat sejauh mana seorang pemimpin
menentukan dan menstruktur perannya sendiri dan peran dari para bawahan ke
arah pencapaian tujuan-tujuan formal kelompok. Initiating structure adalah
tingkat dimana seorang pemimpin mendefinisikan dan merancang peran dirinya
serta peran-peran bawahannya ke arah pencapaian tujuan formal kelompok. Davis
dan Newstrom (1996) berpandangan bahwa para pemimpin yang berorientasi
pada tugas yang terstruktur, percaya bahwa mereka memperoleh hasil dengan
tetap membuat orang-orang sibuk dan mendesak mereka untuk berproduksi.
Gitosudarmo (2000) menyatakan kepemimpinan yang berorientasi tugas
dengan istilah pemrakarsa struktur yaitu berkaitan dengan sejauh mana pemimpin
mengorganisir dan menentukan tugas, menetapkan cara menyelesaikan tugas,
membentuk jaringan komunikasi, dan menilai prestasi kelompok. Robbins (2007)
menyebut berorientasi tugas dengan berorientasi produksi, dimana pemimpin
menekankan aspek teknis atau tugas dari pekerjaan. Perhatian utama mereka
45
adalah pada penyelesaian tugas kelompok mereka, dan anggota-anggota mereka
adalah suatu alat untuk tujuan akhir itu.
Gaya kepemimpinan merupakan pembawaan dari seseorang. Tiga dimensi
kemungkinan yang menurut Fiedler dapat mendefinisikan faktor situasional
utama, yang menentukan keefektifan kepemimpinan, ketiga dimensi itu adalah :
struktur tugas, hubungan pemimpin-anggota dan kekuasaan jabatan. Model ini
disebut teori kepemimpinan situasional, adalah suatu teori kemungkinan yang
memusatkan perhatian pada kesiapan para pengikut. Kepemimpinan yang berhasil
dicapai dengan memilih gaya kepemimpinan yang tepat, yang sangat tergantung
pada tingkat kesiapan dan kedewasaan para pengikutnya. Kesiapan didefinisikan
merujuk pada sejauh mana orang mempunyai kemampuan dan kesediaan untuk
menyelesaikan suatu tugas tertentu. Menggunakan dua dimensi Fiedler dimana
masing-masing dimensi fiedler sebagai tinggi atau rendah sehingga digabung
menjadi empat perilaku yaitu : mengatakan (talling), menjual (salling), berperan-
serta (calling) dan mendelegasikan (delegating). Model kepemimpinan ini
nampaknya sangat adaftif dalam berbagai situasi baik yang menyangkut kesiapan
bawahan maupun lingkungan kerja organisasi.
Penelitian ini akan menggunakan konsep pendekatan situasional
(contingency) yang dipaparkan oleh Fiedler (Toha,2010), yang berorientasi pada
tugas, yaitu kadar struktur tugas yang ditugaskan kepada kelompok untuk
dilaksanakan (struktur tugas).
Perilaku tugas merupakan kadar upaya pemimpin mengorganisasi dan
menetapkan peranan anggota (bawahan); menjelaskan aktivitas setiap anggota
46
serta kapan, di mana, dan bagaimana cara menyelesaikannya. Hal tersebut
dicirikan dengan upaya untuk menetapkan pola organisasi, saluran komunikasi
dan cara penyelesaian pekerjaan secara rinci dan jelas.
2.3.2 Pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja organisasi
Penelitian yang dilakukan oleh Borrill dan Dawson (2005), yang berjudul
“The relationship between Leadership and Trust Performance“. Penelitian ini
mengkaji hubungan antara gaya kepemimpinan dan kinerja trust (badan usaha).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan hubungan antara antara
kepemimpinan dan kinerja organisasional di bidang perawatan kesehatan (rumah
sakit).
Hasil penelitian menghasilkan adanya hubungan positif dan signifikan
antara gaya kepemimpinan tim manajemen puncak dengan kinerja trust. Temuan
penting lain adalah hubungan yang positif dan signifikan antara gaya
kepemimpinan tim manajemen puncak semakin efektif akan semakin signifikan
hubungannya dengan kinerja trust yang berperingkat lebih tinggi. Hasil dan
temuan ini mempertegas hubungan positif dan signifikan yang tidak dapat
disangkal antara gaya kepemimpinan dan kinerja organisasional.
Penelitian Waldman; et al (2005) yang berjudul “Does Leadership matter?
CEO Leadership Attributes and Profitability Under Conditions of Perceived
Environmental Uncertainty“. Penelitian ini mengkaji Hubungan antara atribut
kepemimpinan CEO terhadap pencapaian laba perusahaan, ketika perusahaan
berada di bawah kondisi ketidakpastian lingkungan yang dialami. Data penelitian
terdiri dari 48 Fortune 500 perusahaan.
47
Hasil penelitian menunjukan bahwa gaya kepemimpinan karismatik CEO
erat hubungannya dengan kinerja organisasional, jika lingkungan organisasi
diliputi oleh ketidakpastian dan mudah berubah pendirian. Sebaliknya
kepemimpinan karismatik CEO, hubungannya lemah dengan kinerja
organisasional, jika lingkungan dipandang sebagai sesuatu yang lebih banyak
tetap dan tidak banyak berubah (statis).
Elenkov (2000) melakukan penelitian yang berjudul “Effect of Leadership
on Organizational Performance in Russian Compaines“ (pengaruh kepemimpinan
terhadap kinerja organisasi pada prusahaan di Rusia). Penelitian ini mengukur
gaya kepemimpinan, dukungan inovasi, keterpaduan group dan kinerja organisasi.
Sample penelitian ini terdiri dari 350 perusahaan kecil yang berada di Soscow,
Suzdal, St Petersburg, Novgorod dan Petrozovodsk dengan metode analisis
Regresi Berganda, Hierarchical dan Partial Least Sguare (PLS). Perilaku
kepemimpinan diukur dengan kuesioner kepemimpinan multi factor (MLQ) form
10 yang dikembangkan oleh Bass dan Avodio (1990).
Sebuah penelitian yang mengkaji keterkaitan antara Gaya Kepemimpinan
terhadap Kinerja organisasi lainnya dilakukan oleh Ogbonna dan Harris (2000),
dengan judul Leadership style, organizational culture and performance :
empirical evidence from UK companie. Harris dan Ogbonna (2000)
mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan suportif dan partisifatif secara positif
dan kuat berhubungan dengan orientasi pasar, sementara gaya kepemimpinan
instrumental secara negatif berhubungan dengan orientasi pasar.
2.3.3 Pengaruh gaya kepemimpinan terhadap budaya organisasi
48
Penelitian yang mendukung teori ini dilakukan oleh Fleenor dan Bryant
(2002) dari Center for Creative Leadership, Canada yang berjudul “Leadership
Effectiveness and Organizational Culture : An Exploratory Stdy “, yaitu atribut
kepemimpinan individu terhadap budaya organisasi. Maksud penelitiannya adalah
untuk mengetahui : (1) Hubungan simultan Efektifitas kepemimpinan Individu
terhadap Budaya organisasi ; (2) Hubungan kausal kepemimpinan Individu
terhadap Budaya Organisasi ; (3) Hubungan simultan Kepemimpinan Individu
pada perbedaan level manajemen terhadap Budaya Organisasi dengan
menggunakan 360 instrumen. Kepemimpinan Individu dijadikan sebagai prediktor
terhadap Budaya Organisasi. Indikator Kepemimpinan terdiri dari : (1) Problem
with Interpersonal Interpersonal Relation ; (2) Difficulty Molding a Staff ; (3)
Difficulty Making Strategic Trans ; (4) Lack of Follow-through ; (5)
Overdependence ; Strategic Diff with Management. Indikator Budaya Organisasi
terdiri dari : (1) Involvement ; (2) Consistency ; (3) Adaftability ; (4) Mission.
Penelitian ini menyimpulkan terdapat hubungan simultan dan hubungan kausal
yang kuat antara budaya organisasi terhadap kepemimpinan individu, dan
kesimpulan lain terdapat hubungan yang searah budaya organisasi kepemimpinan
individu pada level manajemen bawah, tangah dan atas terhadap budaya
organisasi. Penelitian ini mendukung teori yang ada.
Penelitian lain yang mengkaji masalah yang sama dilakukan oleh Emmanuel
Ogbonna dan Harris (2000), dengan judul Leadership style, organizational
culture and performance : empirical evidence from UK companie menyimpulkan
bahwa terdapat pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Kinerja yang dimediasi
49
budaya organisasi. Penelitian ini juga mengkaji keterkaitan budaya organisasi
terhadap kepemimpinan, dengan kesimpulan terdapat hubungan yang signifikan.
Dari variabel yang dikaji dalam penelitian ini, maka penelitian ini merekomendasi
tiga hal antara lain : (1) pentingnya meningkatkan kinerja dengan gaya
kepemimpinan; (2) pentingnya meningkatkan kinerja dengan budaya yang baik ;
(3) pentingnya menciptakan kepemimpinan dengan budaya yang baik. Hal yang
ketiga ini nampaknya memerlukan pengkajian secara khusus yaitu bagaimana
keterkaitan budaya organisasi terhadap gaya kepemimpinan.
50