BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pengertian...

25
6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pengertian Belajar Menurut Komalasari (2010: 1) Belajar merupakan perubahan seseorang yang asalnya tidak tahu menjadi tahu merupakan hasil proses belajar. Menurut Gagne dalam Komalasari (2010: 2) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku yang meliputi perubahan kecenderungan manusia seperti sikap, minat, atau nilai dan perubahan kemampuannya yakni peningkatan kemampuan untuk melakukan berbagai jenis performance (kinerja). Menurut Sunaryo dalam Komalasari (2010: 2) belajar merupakan suatu kegiatan dimana seseorang membuat atau menghasilkan suatu perubahan tingkah laku yang ada pada dirinya dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Mahfudz Shalahuddin dalam Komalasari (2010: 2) belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku melalui pendidikan atau lebih khusus melalui prosedur latihan. Perubahan itu sendiri berangsur-angsur dimulai dari sesuatu yang tidak dikenalnya, untuk kemudian dikuasai atau dimilikinya dan dipergunakannya sampai pada suatu saat dievaluasi oleh yang menjalani proses belajar itu. Sudah barang tentu tingkah laku tersebut adalah tingkah laku yang positif, artinya untuk mencari kesempurnaan hidup. Dikaitkan dengan pendapat yang sudah ada maka dapat disimpulkan bahwa perubahan yang terjadi melalui belajar tidak hanya mencakup pengetahuan, tetapi juga keterampilan untuk hidup bermasyarakat meliputi keterampilan berpikir (memecahkan masalah) dan keterampilan sosial, yang lebih penting adalah nilai dan sikap. Jadi jika disimpulkan, belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperoleh dalam jangka waktu yang lama dan dengan syarat bahwa perubahan yang terjadi tidak disebabkan oleh adanya kematangan ataupun perubahan

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pengertian...

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Pengertian Belajar

Menurut Komalasari (2010: 1) Belajar merupakan perubahan seseorang

yang asalnya tidak tahu menjadi tahu merupakan hasil proses belajar.

Menurut Gagne dalam Komalasari (2010: 2) mendefinisikan belajar

sebagai suatu proses perubahan tingkah laku yang meliputi perubahan

kecenderungan manusia seperti sikap, minat, atau nilai dan perubahan

kemampuannya yakni peningkatan kemampuan untuk melakukan berbagai jenis

performance (kinerja).

Menurut Sunaryo dalam Komalasari (2010: 2) belajar merupakan suatu

kegiatan dimana seseorang membuat atau menghasilkan suatu perubahan tingkah

laku yang ada pada dirinya dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan.

Mahfudz Shalahuddin dalam Komalasari (2010: 2) belajar adalah suatu

proses perubahan tingkah laku melalui pendidikan atau lebih khusus melalui

prosedur latihan. Perubahan itu sendiri berangsur-angsur dimulai dari sesuatu

yang tidak dikenalnya, untuk kemudian dikuasai atau dimilikinya dan

dipergunakannya sampai pada suatu saat dievaluasi oleh yang menjalani proses

belajar itu. Sudah barang tentu tingkah laku tersebut adalah tingkah laku yang

positif, artinya untuk mencari kesempurnaan hidup.

Dikaitkan dengan pendapat yang sudah ada maka dapat disimpulkan

bahwa perubahan yang terjadi melalui belajar tidak hanya mencakup

pengetahuan, tetapi juga keterampilan untuk hidup bermasyarakat meliputi

keterampilan berpikir (memecahkan masalah) dan keterampilan sosial, yang lebih

penting adalah nilai dan sikap. Jadi jika disimpulkan, belajar adalah suatu proses

perubahan tingkah laku dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang

diperoleh dalam jangka waktu yang lama dan dengan syarat bahwa perubahan

yang terjadi tidak disebabkan oleh adanya kematangan ataupun perubahan

7

sementara karena suatu hal. Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam belajar

meliputi:

1. Prinsip kesiapan

Keberhasilan belajar tergantung dengan kesiapan untuk mengikuti pelajaran.

Bagaimana konsentrasi pikiran atau bahkan kesiapan fisik untuk mengikuti

pelajaran.

2. Prinsip Asosiasi

Keberhasilan dalam belajar tergantung pada kemampuan menghubungkan apa

yang sudah dipelajari dengan pengetahuan yang dimiliki.

3. Prinsip Latihan

Untuk mempelajari sesuatu perlu adanya latihan yang berulang-ulang baik

pengetahuan mapun keterampilan, agar hasilnya baik karena sering di ulang-

ulang belajarnya.

4. Prinsip Efek (Akibat)

Emosional juga berpengaruh terhadap hasil belajar sesuai dengan emosi yang

terjadi seperti perasaan senang atau tidak senang selama belajar.

Dari pengertian belajar tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa belajar

adalah sebuah proses dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak tahu menjadi tahu.

Perubahan positif dari apa yang sudah dipelajari dengan jangka waktu yang tidak

singkat. Selama proses belajar juga harus memperhatikan prinsip-prinsip yang ada

karena prinsip-prinsip dalam belajar juga berpengaruh pada hasil belajar.

2.1.2 Hakikat Pembelajaran

Komalasari (2010: 3) menyatakan pembelajaran dapat didefinisikan

sebagai suatu sistem atau proses membelajarkan subjek didik/pembelajar yang

direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar

subjek didik/pembelajar dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif

dan efisien.

Pembelajaran dapat dipandang dari dua sudut, pertama pembelajaran

dipandang sebagai suatu sistem, pembelajaran terdiri dari sejumlah komponen

8

yang terorganisasi antara lain tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, strategi,

dan metode pembelajaran, media pembelajaran/alat peraga, pengorganisasian

kelas, evaluasi pembelajaran, dan tindak lanjut pembelajaran (remedial dan

pengayaan).

Kedua, pembelajaran dipandang sebagai suatu proses, maka pembelajaran

merupakan rangkaian upaya atau kegiatan guru dalam rangka membuat siswa

belajar. Proses tersebut meliputi:

a. Persiapan, dimulai dari perencanaan program pengajaran tahunan,

semester, dan penyusunan persiapan mengajar (lesson plan) berikut

penyiapan perangkat kelengkapannya, berupa alat peraga dan alat-alat

evaluasi. Persiapan pembelajaran juga mencakup kegiatan guru untuk

membaca buku atau media cetak jumlah dan keberfungsian alat peraga

yang akan digunakan.

b. Melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan mengacu pada persiapan

pembelajaran yang telah dibuatnya. Pada tahap pelaksanaan pembelajaran

ini, struktur dan situasi pembelajaran yang diwujudkan guru akan banyak

dipengaruhi oleh pendekatan atau strategi dan metode-metode

pembelajaran yang telah dipilih dan dirancang penerapannya, serta filosofi

kerja dan komitmen guru, persepsi, dan sikapnya terhadap siswa.

c. Menindaklanjuti pembelajaran yang telah dikelolanya. Kegiatan pasca

pembelajaran ini dapat berbentuk enrichment (pengayaan) dapat pula

berupa pemberian layanan remedial teachingbagi siswa yang berkesulitan

belajar.

Hakikat pembelajaran merupakan proses pembelajaran yang dilakukan

oleh guru dari awal sampai akhir proses pembelajaran. Berisi tentang komponen-

komponen yang digunakan guru pada saat pembelajaran. Persiapan, pelaksanaan

dan tindak lanjut merupakan komponen-komponen rencana pembelajaran yang

harus dipersiapkan oleh guru

9

2.1.3 Keterkaitan Belajar dengan Pembelajaran

Komalasari (2010: 4) mengungkapkan belajar dan pembelajaran

merupakan dua kegiatan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keterkaitan

belajar dan pembelajaran dapat digambarkan dalam sebuah sistem, proses belajar

dan pembelajaran memerlukan masukan dasar (raw input) yang merupakan bahan

pengalaman belajar dalam proses belajar mengajar (learning teaching process)

dengan harapan berubah menjadi keluaran (output) dengan kompetensi tertentu.

Selain itu, proses belajar dalam pembelajaran dipengaruhi pula oleh faktor

lingkungan yang menjadi masukan lingkungan (environment input) dan faktor

instrumental (instrumental input) yang merupakan faktor yang secara sengaja

dirancang untuk menunjang proses belajar mengajar dan keluaran yang ingin

dihasilkan. Secara skematik uraian diatas dapat digambarkan sebagai berikut:

Diagram 2.1 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pembelajaran

Faktor-faktor pendukung proses belajar dan pembelajaran di atas tidak

dapat dipisahkan sehingga akan menghasilkan output yang diinginkan. Jika

diuraikan lebih lanjut maka unsur environment input (masukan dari lingkungan

dapat berupa alam dan sosial budaya, sedangkan instrumental berupa kurikulum,

program, sumber daya guru dan fasilitas pendidikan. Raw input merupakan

kondisi siswa, seperti unsur fisiologis dan psikologis siswa. Unsur fisiologis siswa

berupa kondisi fisiologis secara umum serta kondisi panca indera. Sedangkan

unsur psikologi berupa minat, kecerdasan, bakat motivasi dan kemampuan

kognitif. Secara skematik uraian di atas digambarkan sebagai berikut:

ENVIROMENTAL

INPUT

RAW

INPUT

LEARNING

TEACHING

PROCESS

OUTPUT

INSTRUMENTAL

INPUT

10

Diagram 2.2 Faktor-faktor Belajar Siswa

Dari uraian keterkaitan belajar dengan pembelajaran dapat ditarik

kesimpulan bahwa belajar dan pembelajaran adalah kegiatan yang tidak dapat

dipisahkan karena saling mempengaruhi dan berjalan beriringan. Belajar dan

pembelajaran dipengaruhi oleh beberapah hal yang menunjang proses belajar dan

pembelajaran.

2.1.4 Hasil Belajar

Hasil belajar menurut Suprijono, (2011: 5) adalah pola-pola perbuatan,

nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan.

Menurut Bloom dalam Suprijono, (2011: 6) hasil belajar mencakup

kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Yang perlu diingat dalam hasil

belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu

FAKTOR

BELAJAR

SISWA

MINAT

KECERDASAN

MINAT

MOTIVASI

FISIOLOGIS

FISIOLOGIS

UMUM

PANCA

INDERA

PSIKOLOGI

DALAM

LUAR

KURIKULUM

PROGRAM

SARAN

ALAM

SOSIAL

BUDAYA

INSTRUMEN

LINGKUNGAN

11

aspek potensi kemanusiaan saja. Berkenaan dengan hasil belajar kognitif

merupakan hasil belajar intelektual yang terdiri dari 6 aspek yaitu pengetahuan,

pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan penilaian.

Menurut Dimyati dan Mudjiono, dalam Munawar, (2009) hasil belajar

merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi

guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang

lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan

mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif dan

psikomotorik. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat

terselesaikannya bahan pelajaran.

Berdasarkan Hamalik dalam Munawar (2009) hasil belajar adalah bila

seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut

misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.

Menurut Syaiful dan Aswan dalam Umar (2009) hasil belajar adalah hasil

penilaian terhadap kemampuan yang dimiliki siswa yang dinyatakan dalam

bentuk angka yang diperoleh siswa dari serangkaian tes yang dilaksanakan setelah

siswa mengikuti proses pembelajaran.

Menurut Nana, dalam Umar (2009) hasil belajar adalah kemampuan yang

dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Menurut Dimyati dan

Mudjiono, (2006: 3) hasil belajar adalah hasil yang dicapai dalam bentuk angka-

angka atau skor setelah diberi tes hasil belajar pada setiap akhir pelajaran.

Dari pengertian hasil belajar dapat diambil kesimpulan bahwa hasil belajar

merupakan proses perubahan pengetahuan. Hasil belajar biasanya diperoleh siswa

setelah mengikuti poses belajar mengajar. Dimulai dari tidak tahu menjadi tahu.

Hasil belajar juga bisa diperoleh ketika tes diberikan dan kemudian diketahui

angka-angka atau skor yang merupakan hasil dari belajar.

2.1.5 Pembelajaran Matematika SD

Menurut Ruseffendi (1991) dalam Heruman (2010: 1) matematika adalah

bahasa simbol; ilmu deduktif; ilmu tentang pola keteraturan, dan struktur yang

12

terorganisasi, mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke unsur yang

didefinisikan, ke aksioma atau postulat, dan akhirnya ke dalil.

Hakikat matematika menurut Soedjadi (2000) dalam Model Pembelajaran

Matematika, Heruman (2010: 1) yaitu memiliki objek tujuan yang abstrak,

bertumpu pada kesempatan, dan pola pikir yang deduktif. Siswa SD berkisar

berumur 6-7 tahun sampai 12-13 tahun. Menurut Piaget”mereka berada pada

operasional konkret”. Dari perkembangan kognitif pemikiran mereka masih

terikat dengan objek yang konkret yang dapat ditangkap oleh panca indera.

Dalam mengajarkan matematika harus bisa memahami dan mengetahui

bahwa kemampuan setiap siswa itu berbeda, dan semua siswa belum tentu senang

dengan pembelajaran Matematika. Memang tujuan akhir dalam pembelajaran

Matematika di SD agar siswa terampil dalam menggunakan konsep matematika

dalam kehidupan sehari-hari. (Heruman, 2010 : 2)

Bruner (Ruseffendi, 1991) mengemukakan dalam pembelajaran

matematika siswa harus menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang

diperlakukannya. Dengan hal tersebut penyajian pembelajaran matematika tidak

disajikan dalam bentuk akhir dan tidak diberitahu penyelesaiannya. (Heruman,

2010: 4) pada pembelajaran matematika harus terkait dengan pengalaman belajar

siswa sebelumnya.

Sesuai dengan Standar Isi Matematika merupakan ilmu universal yang

mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam

berbagai disiplin dan memeajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di

bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh

perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang

dan matematika diskrit. Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan

diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini.

Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik

mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan

berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan

bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peseta didik dapat memiliki

13

kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk

bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.

Standar kompetensi dan kompetensi dasar metematika dalam dokumen ini

disusun sebagai landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan

tersebut diatas. Selain itu dimaksudkan pula untuk mengembangkan kemampuan

menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan

ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lain.

Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran

matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, dan masalah

dengan berbagai cara penyelesaian. Untuk meningkatkan kemampuan

memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah,

membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya.

Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai

dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem).

Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing

untuk menguasai konsep matematika. Untuk meningkatkan keefektifan

pembelajaran, sekolah diharapkan menggunakan teknologi informasi

pembelajaran seperti komputer, alat peraga, atau media lainnya.

Mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki

kemampuan sebagai berikut.

1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep

dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat,

efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.

2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi

matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau

menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,

merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan

solusi yang diperoleh.

4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau

media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

14

5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,

yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam

mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam

pemecahan masalah.

Mata pelajaran Matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi

aspek-aspek sebagai berikut.

1. Bilangan

2. Geometri dan pengukuran

3. Pengolahan data

Dalam pembelajaran matematika di SD dapat ditarik kesimpulan bahwa

matematika merupakan ilmu yan deduktif dimana ilmu yang bersifat umum ke

dalam ilmu yang bersifat khusus. Dalam pembelajaran siswa juga harus

menemukan sendiri pengetahuan sesuai dengan pengalaman seari-hari siswa dan

menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari pula. Guru juga harus mengetahui

sejauh mana kemampuan siswa dalam belajar karena setiap siswa mempunyai

kemampuan yang berbeda-beda. Siswa SD dalam belajar masih terikat dengan

benda yang konkret yang bisa langsung dilihat oleh panca indra maka dengan itu

guru harus pintar-pintarnya menyusun pembelajaran agar mudah dimengerti oleh

siswa. Karena banyak siswa yang kurang suka dengan matematika. Begitu pula

dengan pokok bahasan bangun datar dan bangun ruang dalam matematika. Siswa

juga harus mengaitkan pembelajaran dengan pengetahuan yang telah dimiliki oleh

siswa.

2.1.6 Model Pembelajaran

Di dalam pembelajaran juga terdapat model pembelajaran. Mills

(Suprijono, 2011: 45) mengemukakan bahwa model pembelajaran adalah bentuk

representasi akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau

sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model tersebut.

Model pembelajaran (Suprijono, 2012: 46) merupakan landasan dalam

praktik pembelajaran hasil dari penurunan teori psikologi pendidikan dan teori

15

belajar yang dirancang berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum dan

implikasinya pada tingkat operasional di kelas.

Menurut Arends dalam Suprijono (2011: 46) model pembelajaran mengacu

pada pendekatan yang digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan

pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran lingkungan pembelajaran

dan pengelolaan kelas.

Berdasarkan pengertian model pembelajaran dapat diambil kesimpulan

bahwa model pembelajaran diracang pada saat pembelajaran itu berlangsung dari

awal sampai akhir pembelajaran. Sebagai kerangka pembelajaran yang

melukiskan prosedur pembelajaran untuk mencapai tujuan belajar.

2.1.7 Model Pembelajaran Kontekstual

Sa’ud (2010: 173) menyatakan model pembelajaran kontekstual meliputi

empat tahapan, yaitu: invitasi, eksplorasi, penjelasan dan solusi, dan pengambilan

tindakan. Tahapan pembelajaran tersebut dapat dilihat pada diagram berikut.

Diagram 2.3Skema Tahapan Pembelajaran Kontekstual

Tahap invitasi, siswa didorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya

tentang konsep yang dibahas. Bila perlu guru memancing dengan memberikan

pertanyaan yang problematik tentang fenomena kehidupan sehari-hari melalui

kaitan konsep-konsep yang di bahas dengan pendapat yang dimiliki. Siswa diberi

kesempatan untuk mengkomunikasikan, mengikutsertakan pemahamannya

tentang konsep tersebut.

Tahap eksplorasi, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan

menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, penginterpretasikan

INVITASI

EKSPLORASI

PENJELASAN DAN SOLUSI

PENGAMBILAN TINDAKAN

16

data dalam sebuah kegiatan yang telah dirancang guru. Secara berkelompok siswa

melakukan kegiatan dan berdiskusi tentang masalah yang ia bahas. Secara

keseluruhan siswa tentang fenomena kehidupan lingkungan sekelilingnya.

Tahap penjelasan dan solusi, saat siswa memberikan penjelasan-penjelasan

solusi yang didasarkan pada hasil observasinya ditambah dengan penguatan guru,

maka siswa dapat menyampaikan gagasan, membuat model, membuat rangkuman

dan ringkasan.

Tahapan pengambilan tindakan, siswa dapat membuat keputusan,

menggunakan pengetahuan dan keterampilan, berbagai informasi dan gagasan,

mengajukan pertanyaan lanjutan, mengajukan saran baik secara individu maupun

kelompok yang berhubungan dengan pemecahan masalah.

Dari definisi tersebut model pembelajaran kontesktual mempunyai tahap-

tahap yang diterapkan dalam pembelajaran. Dengan tahapan tersebut siswa

dengan mudah mengikuti kegiatan pembelajaran.

2.1.8 Pengertian Kontekstual (CTL)

Trianto, (2011: 103) pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and

Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi

yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa

membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya

dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Hanafia dan Suhana (2010: 67) menyatakan Contextual Teaching

Learningmerupakan suatu proses pembelajaran holistik yang bertujuan untuk

membelajarkan peserta didik dalam memahami bahan ajar secara bermakna

(meaningfull) yang dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata, baik berkaitan

dengan lingkungan, pribadi, sosial, ekonomi, maupun kultural. Sehingga peserta

didik memperoleh ilmu pengetahuandan keterampilan yang dapat diaplikasikan

dan ditransfer dari satu konteks permasalahan yang satu ke permasalahan lainnya.

Trianto, (2011: 101) menyatakan pengajaran dan pembelajaran kontekstual

atau contextual teaching and learning (CTL)merupakan suatu konsepsiyang

membantu guru mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan

17

memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya

dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga Negara, dan tenaga

kerja.

Ferdi (2012) dalam pengertian konsep dasar serta asas contextual teaching

and learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada

proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang

dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan dunia nyata sehingga

mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.

Sanjaya dalam Sa’ud (2010: 162) pembelajaran kontekstual (Contextual

Teaching Learning and Learning) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang

menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat

menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi

kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam

kehidupan mereka.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual

adalah konsep belajar dimana pembelajaran yang menekankan siswa untuk terlibat

penuh dalam pembelajaran dan guru mengaitkan mata pelajaran dengan konten

dunia nyata. Siswa menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkan

dengan situasi dunia nyata dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Komalasari, (2010: 6) yang mengutip dari Blanchard, Berns

dan Erickson mengemukakan bahwa:

Contextual teaching an learning is a conception of teaching

and learning that helps teachers relate subject matter content

to real word situations; and motivates students to make

connections between knowledge and its applications to their

lives as family members, citizens, and workers and engange in

the hard work that learning requires.

18

Komalasari (2010: 6) yang mengutip dari Hull’s and Sounders

menjelaskan bahwa:

In a Contextual Teaching and Learning, student discover

meaningful relationship between abstract ideas and practical

applications in a real world context. Students internalize

concepts through discovery, reinforcement, and

interrelationship. Creates a team, whether in the classroom,

lab, worksite, or on the banks of the incorperate of a river.

CTL encourages educations to design learning environments

that incorporate many form of experience to achieve the

desired outcomes.

Hal ini menunjukkan bahwa di dalam pembelajaran kontekstual, siswa

menemukan hubungan penuh makna antara ide-ide abstrak dengan penerapan

praktis di dalam konteks dunia nyata. Siswa menginternalisasi konsep melalui

penemuan, penguatan, dan keterhubungan. Pembelajaran kontekstual

menghendaki kerja dalam tim, baik di kelas, laboratorium maupun kelas kerja.

Pembelajaran kontekstual menuntut guru mendesain lingkungan belajar yang

merupakan gabungan beberapa bentuk pengalaman untuk mencapai hasil yang

diinginkan.

Komalasari (2010:6) mengutip dari Jhonson mendefinisikan

bahwa:

“Contextual Teaching and Learning enables student to connect

the content of academic subject with the immediate context of

their daily live to discover meaning”.

Hal ini berarti pembelajaran kontekstual memungkinkan siswa

menghubungkan isi materi dengan konteks kehidupan sehari-hari untuk

menemukan makna.

Menurut Wijaya (2012: 21) Pembelajaran dengan menggunakan konteks

tidak harus masalah dunia nyata namun bisa dalam bentuk permainan,

penggunaan alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut bermakna dan bisa

dibayangkan dalam pemikiran siswa.

Dengan demikian kontekstual merupakan konsep belajar dan mengajar

yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi

dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan

19

yang dimilikinya dengan penerapanyya dalam kehidupan mereka sebagai anggota

keluarga, warga negara, dan pekerja.

Berdasarkan definisi pembelajaran kontekstual; tersebut dapat juga

disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang

melibatkan siswa secara penuh untuk menemukan materi pelajaran

2.1.9 Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Kontekstual

Indien (2011) dalam penerapan pembelajaran kontekstual, keunggulan dan

kelemahan pembelajaran kontekstual menyatakan terdapat keunggulan dan

kelemahan pembelajaran kontekstual. Adapun beberapa keunggulan dari

pembelajaran kontekstual adalah:

1) Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk

dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan

kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan kehidupan nyata,

bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional akan tetapi

materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga

tidak akan mudah dilupakan.

2) Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep

kepada siswa karena pembelajaran kontekstual menganut aliran

kontruktivisme, dimana seseorang siswa dituntun untuk menemukan

pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis kontruktivisme siswa

diharapkan belajar melalui “mengalami”menghafal.

3) Kontekstual adalah model pembelajaran yang menekankan pada aktivitas

siswa secara penuh, baik fisik maupun mental.

4) Kelas dalam pembelajaran kontekstual bukan sebagai tempat untuk

memperoleh informasi, akan tetapi sebagai tempat untuk menguji hasil

temuan mereka.

5) Materi pelajaran dapat ditemukan sendiri oleh siswa, bukan hasil pemberian

dari guru.

6) Penerapan pembelajaran Kontekstual dapat menciptakan suasana

pembelajaran yang bermakna.

20

Sedangkan kelemahan dari pembelajaran Kontekstual adalah sebagai

berikut:

1) Diperlukan waktu yang cukup lama saat proses pembelajaran Kontekstual

berlangsung.

2) Jika guru tidak dapat mengendalikan kelas maka dapat menciptakan situasi

kelas yang kurang kondusif.

3) Guru lebih intensif dalam membimbing. Karena dalam pembelajaran

Kontekstual, guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru

adalah mengelola kelas sebagai tim yang bekerja bersama untuk menemukan

pengetahuan dan keterampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang

sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang

akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang

dimilikinya. Dengan demikian peran guru bukanlah sebagai instruktur

atau”penguasa” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah

pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai harapan dengan tahapan

perkembanggannya.

4) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau

menerapkan sendiri ide-ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan

dengan sadar menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar.

Namun dalam konteks ini tentunya guru memerlukan perhatian dan

bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai

dengan apa yang diterapkan semula.

Sedangkan solusi yang diterapkan dalam pembelajaran kontekstual adalah

sebagai berikut:

1) Berusaha melakukan pembelajaran sesuai dengan waktu dan matei yang

ditentukan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran.

2) Siswa dan guru merencanakan proses belajar, prosedur, tugas dan tujuan

belajar sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran kontekstual.

3) Guru menekankan pada siswa untuk melaksanakan rencana yang terdapat

dalam langkah-langkah pembelajaran dengan berbagai kegiatan dan guru

21

mengikuti perkembangan kelompok serta menawarkan bantuan jika

diperlukan.

4) Siswa diminta oleh guru untuk menganalisis informasi yang ditemukan dan

merencanakan informasi itu dirangkum untuk dipresentasikan kepada teman-

teman sekelasnya.

5) Beberapa atau semua kelompok dikelas memberikan presentasi tentang apa

yang dipelajari, presentasi yang dikoordinasi oleh guru.

6) Dalam nenindaklanjuti perkembangan siswa, guru memberikan assesmen

secara individu.

2.1.10 Konsep Dasar dan Karakteristik Pembelajaran Kontekstual

Sukmadinata, dalam Sa’ud (2010: 163) Pembelajaran kompetensi

merupakan suatu sistem atau pendekatan pembelajaran yang bersifat holistik

(menyeluruh), terdiri dari berbagai komponen yang saling terkait, apabila

dilaksanakan masing-masing memberikan dampak sesuai dengan perannannya

Paparan pembelajaran kontekstual dapat diperjelas sebagai berikut.

Pertama, pembelajaran kontekstual menekankan pada proses keterlibatan siswa

untuk menemukan sendiri, artinya proses belajar berorientasikan pada proses

pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks pembelajaran

kontekstual tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran akan tetapi

proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.

Kedua, pembelajaran kontekstual mendorong agar siswa dapat

menentukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan

nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman

belajar di sekolah dengan kehidupan nyata di masyarakat. Hal ini akan

memperkuat dugaan bahwa materi yang telah dipelajari akan tetap tertanam erat

dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.

Ketiga, pembelajaran kompetensi mendorong siswa untuk dapat

menerapkannya dalam kehidupan, artinya pembelajaran kompetensi tidak hanya

mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi

bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilaku dalam kehidupan sehari-

22

hari. Materi pelajaran di sini bukan ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan

akan tetapi sebagai bekal mereka dalam mengarungi bahtera kehidupan nyata.

Dari pemaparan tersebut disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual

mempunyai karakteristik yang berada pada siswa. Karena siswa yang lebih

berperan dalam proses pembelajaran. Mendorong siswa untuk tanggap terhadap

masalah kehidupan sehari-hari dan mengaitkan dengan materi pembelajaran.

2.1.11 Pelaksanaan Proses Pembelajaran Kontekstual

Dalam pembelajaran kontekstual, guru mengaitkan materi yang diajarkan

dengan situasi dunia nyata untuk mendorong siswa membuat hubungan antara

pengetahuan yang telah dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-

hari.

Depdiknas dalam Udin Sa’ud, (2010: 168) mengemukakan bahwa

pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh komponen utama, yaitu:

(1) Kontruktivisme, (2) Menenemukan, (3) Bertanya, (4) Masyarakat belajar, (5)

Pemodelan, (6) Refleksi, (7) Penilaian sebenarnya.

Komponen pertama dari pendekatan kontekstual adalah kontruktivisme.

Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru

dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Dalam prakteknya,

pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual dikemas menjadi

proses mengkonstruksi, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Siswa

membangun pengetahuannya sendiri melalui keterlibatannya dalam pembelajaran

secara aktif.

Komponen kedua dari kontekstual adalah inkuiri. Merupakan bagian inti

dari kontekstual. Asas inkuiri merupakan proses pembelajaran berdasarkan pada

pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Guru

merancang pembelajaran yang menekankan pada kegiatan menemukan. Sehingga

siswa akan melalui siklus inkuiri yang terdiri dari observasi, bertanya, pengajuan

dugaan, pengumpulan data dan penyimpulan.

Komponen ketiga dari kontekstual adalah bertanya. Bertanya dapat

dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu, sedangkan

23

menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir.

Dalam pembelajaran kontekstual, guru tidak banyak menyampaikan informasi

begitu saja, akan tetapi berusaha memancing agar siswa menemukan sendiri.

Oleh karena itu melalui pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan

siswa untuk menemukan dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi

yang dipelajari.

Komponen keempat adalah masyarakat belajar. Dalam komponen

kontekstual menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama

dengan orang lain (team work). Dengan adanya masyarakat belajar, siswa belajar

dengan kelompoknya untuk saling berbagi satu sama lain. Antara siswa yang satu

dengan yang lainnya bisa saling mengisi dan melengkapi sehingga bisa

menumbuhkan pengetahuan yang akan bermakna.

Komponen kelima adalah pemodelan. Pemodelan ini bisa dalam

pengemasan dan penyampaian materi sehingga siswa lebih memahami konsep

yang diajarkan. Model tersebut bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara

memanipulasi benda-benda konkrit, ataupun guru memberi contoh melakukan

sesuatu.

Komponen keenam adalah refleksi. Maksudnya adalah berpikir tentang

apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang telah

dilakukan. Kegiatan refleksi bisa berupa kegiatan me-review materi-materi yang

baru saja dipelajari di akhir proses pembelajaran untuk menemukan konsep-

konsep yang fundamental. Selain itu, kegiatan refleksi ini bisa berupa kegiatan

mempertimbangkan kembali suatu kesimpulan yang diperoleh.

Komponen ketujuh adalah penilaian nyata. Maksudnya adalah penilaian

selama pembelajaran tidak hanya menilai produk yang dihasilkan siswa, akan

tetapi guru menilai siswa mulai dari keaktifan siswa selama pembelajaran hingga

hasil belajar diperolehnya. Hal ini dimaksudkan untuk memotivasi dan

menghargai usaha-usaha yang dilakukan siswa dalam memahami konsep-konsep

yang diajarkan guru.

Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pembelajaran

kontekstual mempunyai komponen-komponen yang harus diterapkan selama

24

proses pembelajaran berlangsung. Dalam pembelajaran menampakkan komponen-

komponen yang ada dalam pembelajaran kontekstual.

2.1.12 Hakikat Kontekstual Learning

Sa’ud (2010: 162) Pembelajaran kontekstual menekankan pada proses

keterlibatan siswa untuk menemukan materi. Proses pembelajaran kontekstual

tidak mengharapkan agar siswa tidak hanya menerima pelajaran tetapi proses

mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. Pembelajaran kontekstual

mendorong siswa untuk menemukan hubungan materi yang dipelajari dengan

situasi kehidupan nyata. Siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara

pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata di masyarakat.

Pembelajaran kompetensi mendorong siswa untuk menerapkannya dalam

kehidupan nyata.

Terdapat lima karakteristik dalam pembelajaran kontekstual learning:

1. Dalam kontekstual learning pembelajaran merupakan proses pengaktifan

pengetahuan yang sudah ada, artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas

dari pengetahuan yang sudah dipelajari dengan demikian pengetahuan yang

akan diperoleh adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu

sama lain.

2. Pembelajaran kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan

menambah pengetahuan baru, yang diperoleh dengan cara deduktif, artinya

pembelajaran dimulai dengan cara mempelajari secara keseluruhan, kemudian

memperhatikan detailnya.

3. Pemahaman pengetahuan, artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk

dihafal tapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta

tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan

berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan.

4. Mempraktekan pengetahuan dan pengalaman tersebut, artinya pengetahuan

dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam

kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa.

25

5. Melakuan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Dilakukan

umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnan strategi.

Berdasarkan hakikat kontekstual learning tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa siswa aktif dalam pembelajaran. Pengetahuan yang didapatkan

siswa juga lebih tinggi karena siswa dituntut untuk aktif menemukan sendiri

prmasalahan yang terjadi dalam pembelajaran.

2.1.13 Langkah-langkah Pembelajaran Kontekstual

Sa’ud (2010: 174) mengemukanan dalam pembelajaran kontekstual terdapat

langkah-langkah pembelajaran yaitu sebagai berikut:

1. Pendahuluan

a. Guru menjelaskan kompetensi yang harus dicapai serta manfaat dari

proses pembelajaran dan pentingnya materi yang akan dipelajari.

b. Guru menjelaskan prosedur pebelajaran kontekstual.

1) Siswa dibagi dalam beberapa kelompok sesuai dengan jumlah siswa.

2) Tiap kelompok ditugaskan untuk melakukan observasi.

3) Melalui observasi siswa ditugaskan untuk mencatat berbagai hal yang

berhubungan dengan hasil temuan saat observasi.

c. Guru melakukan Tanya jawab sekitar tugas yang harus dikerjakan siswa.

2. Inti

a. Siswa melakukan observasi sesuai dengan tugas kelompok.

b. Siswa mencatat hal-hal yang mereka temukan sesuai dengan alat

observasi.

c. Siswa mendiskusikan hasil temuan mereka sesuai dengan kelompoknya

masing-masing.

d. Siswa mempresentasikan/melaporkan hasil diskusi.

e. Setiap kelompok menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh

kelompok lain.

3. Penutup

a. Dengan bantuan guru siswa menyimpulkan hasil observasi sekitar masalah

temuan sesuai dengan indikator hasil belajar yang harus dicapai.

26

b. Guru menugaskan siswa untuk pembuatan tugas sesuai dengan

pengalaman siswa yang telah dilakukan.

2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Novia Rahmayoanita (2010) dalam penelitiannya “Penerapan

Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika

Tentang Keliling Persegi dan Persegi Panjang bagi Siswa kelas III semester 2 di

SD Negeri Temuireng 1 Kecamatan Jati Kabupaten Blora tahun 2009/2010”

berdasarkan penelitian tersebut mendapat kesimpulan dengan hasil penelitian

menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar, hal ini dibuktikan dengan hasil

yang diperoleh pada siklus 1 dan siklus 2 dan keaktifan siswa dalam kegiatan

pembelajaran dengan peningkatan nilai rata-rata, peningkatan ketuntasan

pembelajaran dan pencapaian KKM (65). Dengan melihat hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa bahwa penelitian ini mampu menjawab tujuan penelitian,

sebagaimana dicantumkan di atas nilai rata-rata siklus 1 pertemuan I adalah 62,95

dengan tingkat ketuntasan 40,91% dan pada pertemuan 1 adalah 65,91 dengan

ketuntasan 54,55%. Nilai rata-rata pada siklus 2 pertemuan I adalah 68,41 dengan

tingkat ketuntasan 68,18% dan pertemuan 2 adalah 74,32 dengan tingkat

ketuntasan 86,36%. Akhirnya peneliti menyarankan kepada seluruh pembelajaran

dan menemukan solusi yang tepat sehingga dapat membawa siswa mendapatkan

penjelasan terhadap materi yang disampaikan dan cara menyelesaikan soal yang

diberikan.

Aris Pratiwi (2010) dalam penelitiannya “Penggunaan Model

Pembelajaran Kontekstual Pada Mata Pelajaran Matematika Sebagai Upaya

Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa kelas VI di SD N 2 Gondang Kecamatan

Kebonarum, Kabupaten Klaten tahun 2009/2010”. Hasil penelitian menunjukkan

adanya peningkatan. Hal ini dibuktikan dengan hasil yang diperoleh pada siklus 1

dan siklus 2 dengan SK/KD sama Indikator berbeda dalam kategori amat baik.

Kondisi awal siswa menunjukkan prestasi belajar siswa rendah. Jumlah siswa

yang mencapai KKM ada 4 siswa dengan prestasi 19,05% sedangkan siswa yang

belum mencapai KKM sebanyak 17 siswa dengan persentase 80,95%. Rata-rata

27

nilai diperoleh siswa pada siklus 1 mengalami peningkatan yang signifikan yaitu

92,66%. Siswa yang telah mencapai kriteria ketuntasan minimal 9,52%. Pada

siklus 2 rata-rata nilai siswa mencapai 86,48. Siswa yang mencapai ketuntasan

minimal 85,71% dan 14,29% belum tuntas. Perolehan hasil siklus 2 lebih rendah

dibanding siklus 1. Namun demikian, penelitian dapat dikatakan berhasil karena

telah mencapai kriteria keberhasilan karena ketuntasan klaksikal mencapai

85,71% dan hanya ada 14,28% siswa yang belum tuntas. Dengan melihat hasil

penelitian dapat disimpulkan bahwa penelitian ini mampu menjawab tujuan

penelitian yaitu penggunaan model pembelajaran kontekstual pada mata pelajaran

matematika dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas VI SD Negeri 2

Bondang, Kecamatan Kebunarum, Kabupaten Klaten tahun 2009/2011.

Supadmi (2010) dalam penelitiannya “Penggunaan Pendekatan

Kontekstual Dalam Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Mata Pelajaran pada

Materi Operasi Hitung KPK dan FPB siswa kelas VI SD Negeri 3 Dlimas,

Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten Tahun pelajaran 2009/2010”. Berdasarkan

data tes siklus 1 setelah pelaksanaan tindakan dari 17 siswa kelas VI yang

mengikuti pembelajaran matematika dengan penerapan pendekatan pembelajaran

kontekstual nilai rata-rata 72,65 sebanyak 12 siswa atau 70,59% siswa mampu

mencapai standar KKM (65) yang ditetapkan 14 nilai siswa 82,35% telah

memenuhi kriteria ketuntasan minimal. Hasil tes siklus 2 setelah pelaksanaan

tindakan, terdiri dari 17 siswa kelas VI yang mengikuti pelajaran matematika

dengan penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual nilai rata-rata 75,88 atau

15 siswa atau 88,23% siswa mampu mencapai standar KKM (65) dan 15 siswa

atau 88,23% telah memenuhi kriteria ketuntasan siswa. Sedangkan hasil observasi

siklus 1, secara individu diketahui bahwa kinerja siswa dalam pembelajaran

kontekstual adalah 75% sudah baik. 20% menunjukkan sedang dan hanya 5%

yang masih dalam taraf kurang. Sedangkan berdasarkan observasi siklus 2, secara

individu diketahui bahwa kinerja siswa dalam pembelajaran kontekstual adalah

89,4% sudah baik dan 10,6% dalam taraf sedang, kemudian secara kelompok

kinerja siswa dalam pembelajaran kontekstual adalah 90% sudah baik dan 10%

sedang. Dengan hasil yang telah dicapai pada siklus 2 dimana telah memenuhi

28

indikator keberhasilan maka penelitian ini dianggap telah berhasil. Seingga tidak

perlu dilakukan siklus berikutnya. Dari hail tersebut dapat disimpulkan bahwa

pendekatan kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VI pada

mata pelajaran Matemtika SD Negeri 3 Dlimas, Ceper, Klaten semester 1 tahun

pelajaran 2009/2010.

Rubiyatun 2010 dengan judul,“penggunaan pendekatan contextual

teaching learning (CTL) untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa

kelas IV SDN Meger kecamatan Ceper kabupaten Klaten tahun pelajaran

2009/2010”. Berdasarkan hasil penelitian ini, penggunaan pendekatan kontekstual

berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa. Hal ini terlihat dari:

1. Siswa antusias dan bersemangat dalam pembelajaran.

2. Siswa mampu mengatasi kesulitan belajar.

3. Kemampuan siswa dalam memahami matematika meningkat.

4. Hasil belajar rata-rata meningkat dari siklus 1 ke siklus 2 penelitian yaitu dari

74 menjadi 84.

2.3 Kerangka Pikir

Untuk memperoleh keterampilan dan ilmu pengetahuan dapat dilakukan

dengan berbagai cara. Salah satunya yaitu melalui pembelajaran, dimana

pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan yang ditunjuk untuk

membelajarkan siswa. Keberhasilan proses pembelajaran dapat dilihat dari hasil

belajarnya. Untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimal diperlukan berbagai

faktor yang mendukung. Diantaranya kurikulum, metode belajar, serta sarana dan

prasarana yang mendukung proses belajar mengajar di sekolah.

Permasalahan yang terjadi pada pembelajaran Matematika di kelas V SD

Negeri 5 Karanganyar maka penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil

belajar Matematika melalui model pembalajaran kontekstual pada siswa kelas V

SD Negeri 5 Karanganyar Kecamatan Geyer Kabupaten Grobogan.

Upaya yang digunakan peneliti dalam menyelesaikan masalah dan

mencapai tujuan tersebut yaitu peneliti mengadakan desain pembelajaran yang

pada akhirnya yang akan membantu siswa dalam proses belajar dan

29

mempermudah guru dalam menyampaikan materi karena siswa menemukan

sendiri materi pelajaran dan guru hanya mengaitkan materi pelajaran dengan

kehidupan nyata siswa.

Trianto, (2011: 103) pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and

Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi

yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa

membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya

dalam kehidupan mereka sehari-hari. Untuk mengimplementasikan model

pembelajaran kontekstual kerangka pikirnya adalah sebagai berikut:

Diagram 2.4 Skema Kerangka Pikir

Dengan memperhatikan kelebihan dan kekurangan maka diharapkan

tujuan yang telah ditentukan peneliti akan tercapai yaitu meningkatkan hasil

belajar Matematika.

Penilaian

Hasil belajar

Matematika pada

pokok bahasan

mengidentifikasi

sifat-sifat bangun

datar dan bangun

ruang.

Mengaitkan

materi awal

dengan

kehidupan

..sehari-hari.

Berdiskusi

Menemukan

Materi

Pelajaran

Membentuk

Kelompok

Hasil

Belajar

Matematika

Meningkat

Membuat

Kesimpulan

Pembelajaran

Kontekstual

30

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan landasan teori dan kerangka pikir yang telah diungkapkan di

kajian teori, maka hipotesis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai

berikut”Model pembelajaran kontekstual dapat meingkatkan hasil belajar

matematika dengan materi mengidentifikasi bangun datar dan mengidentifikasi

bangun ruang pada siswa kelas V SD Negeri 5 Karanganyar, Kecamatan Geyer,

Kabupaten Grobogan tahun pelajaran 2011/2012”.