BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Perairan...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Perairan...
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Perairan Danau
Danau merupakan sumber daya air tawar yang berada di daratan yang
berpotensi sangat besar serta dapat dikembangkan dan didayagunakan bagi
pemenuhan berbagai kepentingan. Secara prinsip, danau dan waduk adalah
sebagai habitat air tergenang yang merupakan cekungan yang berfungsi
menampung air dan menyimpan air yang berasal dari air hujan, air tanah, mata air
ataupun air sungai. Danau secara teknis berfungsi sebagai sumber air baku, tempat
hidup berbagai biota air, pengatur dan penyeimbang tata air, pengendali banjir dan
sungai pembangkit tenaga listrik dan lainnya. Selain itu, danau dan waduk juga
bersifat multi fungsi, yaitu fungsi ekologi, ekonomi, dan lingkungan hidup
(Irianto dan Triweko, 2011). Secara fisik, danau merupakan suatu tempat yang
luas yang mempunyai air tetap, jernih atau beragam dengan aliran tertentu (Barus,
2004).
Menurut Ginting (2011) danau adalah suatu badan air alami yang selalu
tergenang sepanjang tahun dan mempunyai mutu air tertentu yang beragam dari
satu danau ke danau yang lain, serta mempunyai produktivitas biologi yang tinggi.
Menurut Odum (1993), bahwa: “Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu danau alami dan danau buatan”. Danau alami
merupakan danau yang terbentuk sebagai akibat dari kegiatan alamiah, misalnya
bencana alam, kegiatan vulkanik dan kegiatan tektonik. Sedangkan danau buatan
6
adalah danau yang dibentuk dengan sengaja oleh kegiatan manusia dengan tujuan-
tujuan tertentu dengan jalan membuat bendungan pada daerah dataran rendah.
Umumnya perairan danau selalu menerima masukan air dari daerah
tangkapannya di sekitar danau, sehingga perairan danau cenderung menerima
bahan-bahan terlarut yang terangkut bersama dengan air yang masuk. Oleh karena
itu konsentrasi zat-zat yang tedapat di danau merupakan resultante dari zat-zat
yang berasal dari aliran air yang masuk. Kualitas perairan danau sangat tergantung
pada pengelolaan atau pengendalian daerah aliran sungai (DAS) yang berada
diatasnya (Mamula, 2010).
Berdasarkan tingkat kesuburan air, Mason (dalam Ginting, 2011)
mengklasifikasikan perairan tergenang (danau) menjadi 5 kelompok, yaitu :
1. Oligotrofik, adalah perairan yang miskin unsur hara dan produktivitas
rendah (produktivitas primer dan biomassa rendah). Perairan ini memiliki
kadar nitrogen dan fosfor yang rendah, namun cenderung jenuh oksigen.
2. Mesotrofik, adalah perairan yang memiliki unsur hara dan produktivitas
sedang (produktivitas primer dan biomassa sedang). Perairan ini
merupakan peralihan antara oligotrofik dan eutrofik.
3. Eutrofik, adalah perairan kaya unsur hara dan produktivitas tinggi.
Perairan ini memiliki tingkat kecerahan rendah dan oksigen pada lapisan
hipolimnion dapat lebih kecil dari 1 mg/liter.
4. Hiper-eutrofik, adalah perairan dengan kandungan unsur hara dan
produktivitas primer sangat tinggi. Pada lapisan hipolimnionnya tidak
terdapat oksigen (kondisi anoksik).
7
5. Distrofik adalah perairan yang banyak mengandung bahan organik, seperti
humus dan fulvic. Jenis perairan seperti ini banyak menerima bahan
organik dari tumbuhan yang berasal dari daratan sekitarnya, sehingga
biasanya memiliki produktivitas primer rendah.
Di ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan biotik
(produsen, konsumen dan pengurai) yang membentuk suatu hubungan timbal
balik dan saling mempengaruhi.
Ekosistem danau merupakan habitat air tawar yang memiliki perairan
tenang yang dicirikan oleh adanya arus yang sangat lambat sekitar 0,1-1 cm/detik
atau tidak ada arus sama sekali (Ginting, 2011). Menurut Wetzel (dalam Tatro,
2009) bahwa “Perairan danau biasanya memiliki stratifikasi vertikal kualitas air
yang tergantung pada kedalaman dan musim”.
2.2. Identifikasi
Identifikasi adalah tugas untuk mencari dan mengenal ciri-ciri taksonomik
individu yang beraneka ragam dan memasukkannya ke dalam suatu takson.
Pengertian identifikasi berbeda sekali dengan pengertian klasifikasi. Identifikasi
berkaitan erat dengan ciri-ciri taksonomik dan akan menuntun sebuah sampel ke
dalam suatu urutan kunci identifikasi, sedangkan klasifikasi berhubungan dengan
upaya mengevaluasi sejumlah besar ciri-ciri. Pada buku-buku identifikasi tampak
bahwa pada setiap nomor terdapat dua sampai empat pilihan yang berbeda. Kita
harus memilih salah satu pilihan sesuai dengan ciri-ciri yang terdapat pada sampel
yang kita amati. Jika pilihan pertama sesuai dengan ciri-ciri yang terdapat pada
8
sampel tersebut maka kita dapat meneruskan sesuai dengan nomor yang berada di
sebelah kanan pilihan tersebut. Sebaliknya, jika pilihan pertama tidak sesuai maka
kita harus mengambil pilihan kedua, ketiga, atau keempat. Pada nomor ini kita
juga dapat meneruskan sesuai dengan nomor yang berada di sebelah kanan.
Setelah memperoleh kunci identifikasi maka selanjutnya dapat disusun hirarki
dari kategori-kategori taksonomi.
2.3 Fitoplankton
Fitoplankton adalah mikroorganisme nabati yang hidup melayang di dalam
air, relatif tidak mempunyai daya gerak, sehingga keberadaannya dipengaruhi oleh
gerakan air, serta mampu berfotosintesis (Fachrul, 2007). Menurut Thurman
(dalam Taqwa Amrullah, 2010) Fitoplankton adalah tumbuhan renik yang
biasanya mengapung atau melayang di dalam air. Fitoplankton mengandung
klorofil yang memungkinkan organisme ini melakukan fotosintesis. Fitoplankton
ketika berada dalam jumlah yang besar tampak sebagai warna hijau di air karena
dalam sel-selnya mengandung klorofil, walaupun warna sebenarnya dapat
bervariasi untuk setiap jenis fitoplankton karena kandungan klorofil yang
berbeda-beda atau memiliki tambahan pigmen seperti phycobiliprotein.
Untuk keperluan fotosintesis, fitoplankton harus berada pada zona
euphotic (bagian permukaan) lautan, danau atau kumpulan air yang lain. Melalui
fotosintesis, fitoplankton menghasilkan banyak oksigen yang memenuhi atmosfer
bumi. Kemampuan fitoplankton untuk mensintesis sendiri bahan organiknya
9
menjadikan fitoplankton sebagai dasar dari sebagian besar rantai makanan di
ekosistem lautan dan di ekosistem air tawar (UNEP, 1998).
Dalam rantai makanan, fitoplankton akan dimakan oleh hewan herbivor
yang merupakan konsumen tingkat I (Zooplankton) kemudian dimangsa pula oleh
hewan karnivor (konsumen tingkat II), selanjutnya karnivor akan memangsa
karnivor lainnya (konsumen tingkat III) (Nontji, 2008).
Kelompok fitoplankton yang sangat umum dijumpai di perairan tropis
adalah Diatom (Bacillariophyceae) dan Dinoflagellata (Dynophyceae) (Nontji,
2008). Thoha (2007) menyatakan bahwa fitoplankton ada yang berukuran besar
dan kecil dan biasanya yang tertangkap oleh plankton net yang terdiri dari tiga
kelompok utama yaitu Diatom, Dinoflagellata dan Alga. Diatom mudah
dibedakan dari Dinoflagellata karena bentuknya seperti kotak gelas yang unik dan
tidak memiliki alat gerak. Dinoflagellata yang dicirikan dengan sepasang flagella
yang digunakan untuk bergerak dalam air. Anggota fitoplankton yang merupakan
minoritas adalah berbagai jenis alga diantaranya Chlorophyceae, Cyanophyceae,
Bacillariophyceae, Dinophyceae dan Euglenaphyceae.
1. Chlorophyceae
Chlorophyceae biasanya hidup dalam air tawar, payau dan asin. Memiliki
kloroplas yang berwarna hijau, mengandung klorofil a dan b serta karotenoid dan
terdiri atas sel-sel kecil yang merupakan koloni berbentuk benang bercabang-
cabang. Adapun jenis-jenis Chlorophyceae yaitu Tetraedron sp, Ulotrix sp,
Chlorella sp, Coelastrum sp, Cosmarium sp, Pediastrum sp, Staurastum sp,
10
Ankistrodesmus sp, dan Actinastrum sp. kelompok ini akan tumbuh baik pada
kisaran suhu berturut-turut 300C-350C dan 200C-300C, dan kelompok Cyanophyceae
dapat bertoleransi terhadap kisaran suhu yang lebih tinggi (di atas 300C)
dibandingkan kisaran suhu pada kelompok Chlorophyceae dan diatom (Halsem, 1995
in Effendi, 2003).
2. Cyanophyceae
Cyanophyceae biasanya hidup diperairan tawar dan dapat tumbuh subur pada
suhu 200 C – 35
0 C, memiliki klorofil dan karatenoid. Adapun beberapa jenis
Cyanophyceae yaitu Anabaena sp, Merismopedia sp, Spirulina sp, Microcytis sp
dan Lyngbia sp.
3. Bacillariophyceae
Diatom merupakan fitoplankton yang termasuk dalam kelas Bacillariophyceae.
Kelompok ini merupakan komponen fitoplankton yang paling umum dijumpai di
perairan selain itu juga mempunyai peranan sangat penting bagi perikanan
terutama dalam ekosistem perairan. Diatom sangat mudah dibedakan karena
diatom hidup berkoloni. Beberapa diantaranya seperti benang-benang yang
bening, plasma sel mengandung kloroplas sehingga memungkinkan baginya untuk
melakukan fotosintesis.
Diatom dapat hidup sebagai individu sel tunggal yang soliter (solitary), atau
terhubung dengan sel lainnya membentuk koloni bagaikan rantai. Ukuran diatom
sangat beragam, dari yang kecil berukuran sekitar 5 µm sampai yang sangat
relative besar sekitar 2 mm (Nontji, 2008).
11
4. Dinophyceae
Dinoflagelat adalah kelompok fitoplankton yang sangat umum ditemukan
diperairan setelah diatom. Dinoflagelat termasuk dalam kelas Dinophyceae, yang
biasanya hidup diperairan tawar, payau dan laut serta mengandung klorofil. Ciri
lain dari Dinoflagelat adalah adanya organ untuk bergerak berupa flagela yang
bentuknya seperti bulu cambuk. Ada berbagai marga Dinoflagelat yang sering
dijumpai antara lain Prorocentrum sp dan Peridinium sp.
Banyak jenis Dinoflagelat mempunyai arti penting bagi perikanan, karena
merupakan makanan bagi banyak jenis ikan yang bernilai ekonomi. Namun
disamping itu, banyak pula jenis Dinoflagelat yang dapat menghasilkan toksin,
bila jenis-jenis tumbuh meledak akan menimbulkan kerugian besar, misalnya
dapat menimbulkan kematian massal ikan.
5. Euglenaphyceae
Euglenaphyceae adalah organism bersel satu, memiliki klorofil dan mampu
melakukan proses fotosintesis, umumnya hidup di air tawar yang kaya bahan
organik, bentuk sel oval memanjang serta memiliki peranan penting dalam suatu
perairan antara lain sebagai produsen primer di air tawar dan sebagai indikator
pencemaran organik. Adapun spesies yang termasuk dalam kelas Euglenaphyceae
yaitu Euglena sp dan Leponcyclis sp.
Hasil penelitian Fachrul et.al (2005) menemukan 42 jenis fitoplankton dari
kelompok Diatom (21 jenis) dan non Diatom masing-masing dari kelas
Chlorophyta (3 jenis), kelas Cyanophyta (4 jenis), kelas Dinoflagellata (8 jenis)
dan kelas Tintinidae (6 jenis) pada bulan Desember 2004 di Teluk Jakarta.
12
Sedangkan fitoplankton yang mendominasi perairan tersebut adalah dari marga
Chaetoceros, Skeletonema dan Stephanopyxsis yang diketahui mampu bertahan di
perairan tercemar. Sementara Soedibjo (2007) menemukan 4 jenis marga
predominan (Chaetoceros, Skeletonema, Rhizosolenia, dan Bacteriastrum) pada
bulan Agustus 2003 di Teluk Jakarta. Menurut Nontji (2008) bahwa di perairan
Laut Jawa sering ditemukan populasi Skeletonema yang menyebabkan air
berwarna hijau kecoklatan, selain itu banyak juga ditemukan jenis Diatom lainnya
seperti Chetoceros, Bacteristrum dan Rhizosolenia.
2.4 Jenis-Jenis Fitoplankton Yang Terdapat Di Perairan Danau
1. Anabaena
Jenis fitoplankton ini berbentuk filamen atau benang, dan ditandai oleh
trichomes (benang sel tanpa sarungnya) yang sering melingkar/berputar, trikoma
tidak sejajar, adalah multi-selular, beadlike, non-flagellate dan tidak memiliki inti
sejati (Serediak, 2006). Menurut Wehr Dan Sheath (2003), memiliki sel yang
berbentuk bola, ellipsoidal, pendek atau panjang silinder, kadang-kadang
membungkuk (seperti ginjal), berwarna pucat kecerah biru-hijau atau kuning-
hijau, talus, atau dengan filamen soliter, trikoma yang lurus, melengkung, atau
teratur melingkar. Hidup di air tawar, kolam, danau dan ada juga yang
bersimbiosis pada tumbuhan seperti ujung akar pakis haji dan paku air atau Azolla
piñata (Gambar 1).
13
Gambar 1. Anabaena
Sumber : Bellinger, 2010
2. Microcystis
Fitoplankton ini selnya berbentuk bola, setiap sel memiliki vesikula gas
yang sering muncul biru kehitaman, sel non-berfilamen, plantonic dan tidak
melekat pada benda-benda (Serediak, 2006). Sedang menurut Bellinger dan Sigee
(2010), Sel-sel bulat sedikit memanjang dan sering berisi ratusan sel yang
berukuran plantonic, diameter sel 2,5-6 μm dapat tumbuh dalam jumlah besar
sehingga dapat menyumbat filtrasi dalam pengolahan air (Gambar 2).
Gambar 2. Microcystis
Sumber : Wehr Dan Sheath, 2003
14
3. Oscillatoria
Fitoplanknton jenis ini sel-sel berbentuk silinder pendek, biasanya lebih
luas dari yang lama. Trikoma lurus atau bengkok teratur, dengan sel apikal
berbentuk bulatan kecil (Serediak, 2006). Menurut Bellinger dan Sige (2010),
trikoma dapat lurus atau bengkok, tunggal atau dalam kelompok, mengambang
bebas atau menempel. Trikoma mungkin pendek atau cukup panjang, trikoma
berwarna biru-hijau, kemerahan atau kecoklatan, memiliki vakuola gas, lebar sel
1-60 μm. Hidup dalam air tawar atau di atas tanah yang basah (Gambar 3).
Gambar 3.Oscillatoria
Sumber : Serediak, 2006
4. Pediastrum
Jenis ini tidak memiliki flagella, koloni datar, melingkar, dan berbentuk
bintang. Sel luar membentuk tulang belakang seperti ekstensi dari koloni
(Serediak, 2006). Sedangkan menurut Bellinger dan Sige (2010), dinding selkuat
dan bertahan selama beberapa waktu setelah isinya telah menghilang, koloni
mengambang bebas dan menempel kepermukaan, jika ada dalam jumlah besar,
memberikan bau yang tidak diinginkan keperairan minum. Hidup di danau,
sungai, dan kolam (Gambar 4).
15
Gambar 4. Pediastrum
Sumber : Bellinger, 2010
5. Vaucheria
Memiliki filamen yang silindris, dan bercabang. Percabangan biasanya
tidak terjadi. Filament dapat membentuk tikar hijau di perairan danau yang
dangkal, pada batu dan tanah lembab. Jenis yang hidup di darat menempel pada
permukaan dengan rizoid yaitu cabang-cabang menyerupai akar yang tidak
berwarna. Jenis ini tumbuh melekat pada substrat dengan menggunakan alat yang
berbentuk akar. Habitatnya di air tawar maupuan di air payau (Bellinger dan Sige,
2010) (Gambar 5).
Gambar 5. Vaucheria
Sumber : Wehr Dan Sheath, 2003
16
6. Mallomonas
Jenis ini memiliki sel bentuk oval memanjang dan ditutupi dengan sisik,
piring yang terbuat dari silika. lempengan-lempengan duri beruang sehingga
seluruh organisme ditutupi dengan duri yang panjang. Duri dapat terlepas dari
piring, terutama pada pelestarian. Berwarna cokelat keemasan, kloroplas parietal
(Bellinger dan Sige, 2010). Menurut Wehr Dan Sheath (2003), Sel yang bulat,
Ovid, atau yang berbentuk elips, berwarna emas, memiliki baik satu atau dua
apikalflagela, memiliki kloroplas. Sel ditutupi dengan sisik mengandung silika
dan bulu. Jenis ini dapat menyebabkan bau pada air. Habitatnya di air tawar
(Gambar 6).
Gambar 6. Mallomonas
Sumber : Bellinger, 2010
7. Ankistrodesmus
Jenis ini memiliki sel tunggal yang dapat membentuk asosiasi longgar satu
sama lain (Serediak, 2006). Sel sering memanjang ke silinder, lurus, melengkung
atau spiral memutar bentuk. Menurut Wehr Dan Sheath (2003), sel soliter tidak
memiliki lendir, dan seperti jarum atau sempit meruncing ke arah ujung masing-
masing, kadang-kadang lurus, biasanya melengkung. Kloroplas adalah parietal,
17
dan memiliki atau tidak memiliki pyrenoid, ditemukan dikolam dan danau
(Gambar 7).
Gambar 7. Ankitrodesmus
Sumber : Serediak, 2006
8. Calothrix
Trikoma meruncing dan memiliki heterocyst. Tumbuh sebagai tikar atau
berkas dari atas permukaan trichoma. Jumbai trikoma atas permukaan.Sarung
pelindung tegas dan sering berwarna krani gelap. Trikoma 5–10 µm lebar pada
dasar mereka. Percabangan palsu jarang terjadi. Hormogoniabisa terbentuk
menjelang akhir dari filamen (Bellinger dan Sige, 2010). Menurut Wehr Dan
Sheath (2003), talus yang berfilamen, melekat ke lapisan bawah basally
membentuk bulu kasar seperti kelompok atau tikar tipis. Filamen yang lebih luas
di dasar, dengan daerah apikal memanjang, meruncing,dan seperti rambut. Sel-sel
vegetatif biasanya barel, silinder, atau sempit memanjang ke arah ujung (=
rambut). Heterocysts ellipsoid atau bola terletak di dasar dari filamen atau dekat
titik percabangan palsu. Akinetes ellipsoidal atau silindris. Selubung lendir yang
menyelubungi selalu ada dan terlihat jelas berwarna kuning, atau pun berwarna
18
coklat, hidup di air tawar, air laut dan melapisi batu-batuan atau menempel pada
ganggang dan tanaman akuatik lainnya (Gambar 8).
Gambar 8. Calothrix
Sumber : Wehr Dan Sheath, 2003
9. Nostoc
Koloni berbentuk bola, lender tebal melingkar disekitarnya seperti benang.
Trikoma secara acak terdapat dalam selubung bola (Serediak, 2006). Menurut
Bellinger dan Sige (2010), selnya mirip dengan Anabaena tapi mereka melekat di
firma, lender yang banyak, tekstur kasar dan berwarna kuning atau kecoklatan.
Trichomes melekat di tepi. Akinetes terdapat dibagian ujung, sel berbentuk bola
ke barrel bentuk 3-6 μm lebar, dapat di temukan dalam tanah, pada batu lembab,
di dasar danau dan mata air (Gambar 9).
Gambar 9. Nostoc
Sumber : Bellinger, 2010
19
10. Meridion
Sel Koloni berbentuk kipas, atau frustules, tumbuh melekat pada
permukaan di perairan dangkal. Habitat di air tawar (Bellinger dan Sige, 2010)
(Gambar 10).
Gambar 10. Meridion
Sumber : Bellinger, 2010
11. Epigloesphaera
Koloni yang mikroskopis, terdiri dari kelompok mucilaginous teraturatau
memanjang, dengan permukaan halus, terletak soliter. Sel-sel oval ke silinder,
berpasangan, tidak mempunyai vesikel gas, dan pucat biru-hijau, berkembang di
habitat bentik (Epipelic, di antara tanaman) di oligotrophic dan mesotrophic
kolam renang, kolam, dan danau (Wehr Dan Sheath, 2003) (Gambar 11).
Gambar 11. Epigloeosphaera
Sumber : Wehr Dan Sheath, 2000
12. Triploceras
Sel soliter, memanjang-silinder dengan relatif dangkal median
penyempitan, tulang pendek atau truncate luas atau emarginate, Ujung sel adalah
20
dua sampai empat-lobed dan masing-masing lobus apikal biasanya melahirkan
dua duri, hidup di danau, kolam dan di laut (Wehr Dan Sheath, 2003) (Gambar
12).
Gambar 12. Triploceras
Sumber : Wehr Dan Sheath, 2003
13. Limnothrix
Trikoma kecil, tidak teratur, fasikula atau cluster, isopolar, hidup bebas.
Sel isomorfik, silinder, bulat atau bulat pipih diujung, panjang, lebih atau kurang
isodiametric, pucat biru-hijau, biru-abu-abu, kekuningan, kemerahan, atau pink,
semua sel mampu membagi. habitatnya di danau dan di waduk (Wehr Dan Sheath,
2003) (Gambar 13).
Gambar 13. Limnothrix
Sumber : Wehr Dan Sheath, 2003
14. Lyngbya
Trikoma soliter atau membentuk melingkar, Selubung bisa menjadi coklat
kekuningan, tumbuh pada substrat dan menghasilkan berbagai macam racun
dalam air. Habitatnya sebagian besar hidup di air tawar, dan biasa juga terdapat di
laut (Wehr Dan Sheath, 2003) (Gambar 14).
21
Gambar 14. Lyngbya
Sumber : Wehr Dan Sheath, 2003
15. Tetraedriella
Sel soliter dan piramidal atau tetragonal, plastida parietal hadir, tumbuh
melekat pada substrat dengan menggunakan alat yang berbentuk akar. Habitatnya
di air tawar maupuan di air payau (Wehr Dan Sheath, 2003) (Gambar 15).
Gambar 15. Tetraedriella
Sumber : Bellinger, 2010
16. Bacularia
Sel silinder, lurus, dengan ujung membulat, soliter atau berpasangan
setelah divisi, pucat biru-hijau, berserabut atau tubular, koloni mucilaginous
22
memanjang, lonjong dan runcing atau terbuka pada kedua ujungnya, hidup di air
tawar (Wehr Dan Sheath, 2003) (Gambar 16).
Gambar 16. Bacullaria
Sumber : Wehr Dan Sheath, 2003
17. Nitzschia
Bentuk sel elips, sempit linier, spindle shaped atau sigmoid. Sedikit
terbatas. Raphe ditengah, sel soliter. Ditemukan diberbagai jenis air, dapat tumbuh
difilter pengolahan air terbuka, dalam jumlah besar menyebabkan penyumbatan
filter tersebut, dapat merayap mundur dan merupakan diatom pennales perairan.
Habitatnya di air tawar maupun air laut (Bellinger dan Sige, 2010) (Gambar 17).
Gambar 17. Nitzschia
Sumber : Bellinger dan Sige, 2010
18. Synedra
Bentuk sel memanjang, linier, isopolar, koloni stellata atau pendek, tetapi
juga dapat hadir sebagai sel tunggal atau sebagai epifit terpasang, dapat di
temukan di air tawar dan air laut dan di daerah yang lembab (Bellinger dan Sige,
2010) (Gambar 18).
23
Gambar 18. Synedra
Sumber : Bellinger, 2010
19. Navicula
Sel berbentuk pisau dengan daerah aksial sempit, sel Apeks dapat bulat
menyempit atau subcapitate. Kloroplas disumbu apikal, dan uniseluler, dapat di
temukan dalam berbagai perairan bentik disungai serta di danau (Bellinger dan
Sige, 2010) (Gambar 19).
Gambar 19. Navicula
Sumber : Bellinger, 2010
20. Scenedesmus
Koloni mengandung kloroplas, dan non-motil dan non-filamen. Dinding
sel yang halus, atau dengan 1 atau 2 duri melengkung atau gigi (Serediak, 2006).
Menurut Bellinger dan Sige (2010), sel silinder, ellipsoidal atau fusiform, koloni
tunggal, biasanya 4-16 baris sel bergabung sepanjang sumbu, biasanya duri hadir
24
dan merupakan mikroalga yang bersifat kosmopolit dan sebagian besar dapat hidup di
lingkungan akuatik seperti perairan tawar dan payau (Gambar 20).
Gambar 20. Scenedesmus
Sumber : Bellinger, 2010
2.5 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Fitoplankton
Ada beberapa faktor kimia dan fisika yang mempengaruhi pertumbuhan,
kelangsungan hidup fitoplankton, seperti suhu, kecerahan, derajat keasaman (pH),
karbondioksida (CO), dan oksigen terlarut. Dari semua factor fisika dan kimia
tersebut, yang penting artinya bagi produktivitas fitoplankton adalah faktor
cahaya. Hal ini disebabkan fotosintesis hanya dapat berlangsung pada kedalaman
air yang masih dapat ditembus cahaya matahari (Apridayanti, 2008).
2.5.1 Suhu
Cahaya matahari yang masuk ke perairan akan mengalami penyerapan dan
perubahan menjadi energi panas. Proses penyerapan cahaya ini berlangsung
secara lebih intensif pada lapisan atas sehingga lapisan atas perairan memiliki
25
suhu yang lebih tinggi dan densitas yang lebih kecil dari pada lapisan bawah.
Kondisi ini pada perairan tergenang akan menyebabkan terjadinya stratifikasi
thermal pada kolom air (Effendi, 2003).
Suhu selain berpengaruh terhadap berat jenis, viskositas dan densitas air,
juga berpengaruh terhadap kelarutan gas dan unsur-unsur dalam air. Sedangkan
perubahan suhu dalam kolom air akan menimbulkan arus secara vertikal. Secara
langsung maupun tidak langsung, suhu berperan dalam ekologi dan distribusi
plankton baik fitoplankton maupun zooplankton. Pada proses fotosintesa reaksi
gelap, reaksi enzimatiknya dipengaruhi oleh suhu air. Sedangkan pada fotosintesa
reaksi terang dipengaruhi oleh intensitas radiasi vertikal (Mahmudi, 2005).
Pada suhu yang lebih hangat selalu dijumpai kelimpahan fitoplankton yang
tinggi. Intensitas cahaya berpengaruh terhadap laju fotosintesa dan pertumbuhan
alga. Respon terhadap intensitas cahaya ini bersifat spesifik terhadap spesies.
Intensitas cahaya yang diperlukan untuk menjenuhkan fatosintesa alga umumnya
meningkat bersamaan dengan meningkatnya suhu perairan. Pada kondisi jenuh
oleh cahaya, reaksi biokimia enzimatik terbatas lajunya, semua ini diregulasi oleh
suhu. Jadi pada dasarnya dampak ekologis cahaya dan suhu pada fotosintesa dan
pertumbuhan alga tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena hubungan erat
antara metabolisme dan penjenuhan cahaya (Sulawesty, 2005). Sebagai faktor
penting bagi kehidupan organisme air, perubahan suhu yang ekstrim akan
mengganggu kehidupan organisme air bahkan dapat menyebabkan kematian
(Apridayanti, 2008).
26
2.5.2 Kecerahan Air dan Intensitas Cahaya
Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara
visual dengan menggunakan alat secchi disk (Effendi, 2003). Nilai kecerahan air
berguna untuk mengetahui sampai kedalaman berapa cahaya matahari dapat
menembus lapisan perairan dalam hubunganya dengan proses fotosintesis. Batas
akhir cahaya matahari mampu menembus perairan disebut sebagai titik
kompensasi cahaya, yaitu titik pada lapisan air dimana cahaya matahari mencapai
nilai minimum yang menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada dalam
keadaan seimbang. Cahaya merupakan faktor terutama dan terpenting dalam
pertumbuhan fitoplankton, terutama dalam kelancaran proses fotosintesis.
Kesempurnaan proses ini tergantung besar kecilnya intensitas cahaya yang masuk
ke dalam perairan. Sedangkan besar kecilnya intensitas cahaya yang masuk ke air
dipengaruhi kecerahan maupun kekeruhan perairan itu sendiri (Subarijanti, 1994).
2.5.3 Derajat Kemasaman (pH)
Derajat kemasaman merupakan gambaran dari jumlah atau aktivitas ion
hidrogen didalam air. Secara umum nilai pH air menggambarkan keadaan
seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan dengan
nilai pH = 7 berati kondisi air bersifat netral, pH < 7 berarti kondisi air bersifat
asam, sedangkan pH > 7 berarti kondisi air bersifat basa. Batas toleransi
organisme terhadap pH bervariasi tergantung pada suhu, oksigen terlarut, dan
kandungan garam-garam ionik suatu perairan. Kebanyakan perairan alami
memiliki pH berkisar antara 6-9. Sebagian besar biota perairan sensitif terhadap
27
perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7–8,5 (Effendi, 2003). Nilai pH
sangat menentukan dominansi fitoplankton. Pada umumnya alga biru lebih
menyukai pH netral sampai basa dan respon pertumbuhan negatif terhadap asam
(pH<6), Chrysophyta umumnya pada kisaran pH 4,5–8,5, dan pada umumnya
diatom pada kisaran pH yang netral akan mendukung keanekaragaman jenisnya
(Wijaya, 2009).
2.5.4 Karbondioksida (CO2)
Karbondioksida merupakan salah satu komponen yang dibutuhkan
fitoplankton dan tumbuhan air untuk fotosintesis. Tumbuhan akuatik, misalnya
alga, lebih menyukai karbondioksida sebagai sumber karbon dibandingkan
dengan bikarbonat dan karbonat (Effendi, 2003). Bikarbonat sebenarnya dapat
berperan sebagai sumber karbon. Namun di dalam kloroplas bikarbonat harus
dikonversi terlebih dahulu menjadi karbondioksida dengan bantuan enzim
karbonik anhidrase (Boney dalam Effendi, 2003).
Sumber Karbondioksida yang utama ialah dari proses pernafasan organism-
organisme di perairan. Gas karbondioksida juga dapat diabsorbsi dari udara
(Nontji, 2008). Ketersediaan karbondioksida terlarut di air dapat bersumber dari
air tanah, dekomposisi zat organik, respirasi organisme air, senyawa kimia dalam
air maupun dari udara namun dalam jumlah yang sangat sedikit (Apridayanti,
2008).
28
2.5.5 DO (Dissolved Oxygen = Oksigen Terlarut )
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman
dan hewan air. Oksigen di perairan bersumber dari difusi udara maupun hasil
proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air di zona eufotik. Kadar
oksigen terlarut di perairan bervariasi bergantung pada suhu, salinitas, turbulensi
air dan tekanan atmosfer. Kelarutan oksigen 2 mg/l sudah cukup untuk
mendukung kehidupan fitoplankton selama perairan tersebut tidak mengandung
bahan-bahan yang bersifat toksik (Indrayani, 2000).