BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Bayi Berat Lahir Rendah. II.pdf · 9 kematian neonatal yang ada 229...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Bayi Berat Lahir Rendah. II.pdf · 9 kematian neonatal yang ada 229...
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Bayi Berat Lahir Rendah.
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan berat
lahir < 2500 gram tanpa memperhatikan masa gestasi, dimana berat lahir
ditimbang segera minimal 1 jam setelah kelahiran (Kemenkes, 2010). Bayi berat
lahir rendah dibedakan atas 2 kategori yaitu BBLR karena prematur dan BBLR
karena Intrauterine Growth Retardation (IUGR), yaitu bayi yang lahir cukup
bulan tetapi berat badannya kurang / Kecil Masa Kehamilan (KMK).
Prevalensi BBLR diperkirakan sebesar 15% di seluruh dunia dan lebih
dari 97% terjadi di negara berkembang. Data Riskesdas 2013 menunjukan bahwa
prevalensi BBLR di Indonesia sebesar 10,2% terjadi penurunan jika dibandingkan
dengan hasil Riskesdas 2010 sebesar 11,1%.
Sumber Riskesdas 2013.
Gambar 2.1 Prevalensi BBLR tahun 2010-2013
11,1 %
82,5 %
6,4 % 10,2 %
85 %
4,8 %
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
< 2500 gr > 2500-3999 gr >4000 gr
Prvalensi BBLR tahun 2010-2013
2010 2013
8
Estimasi angka kematian neonatal berdasarkan SDKI 2012 19/1000 KH,
Propinsi NTB merupakan propinsi dengan kematian neonatal yang cukup tinggi
dengan estimasi sebesar 33/1000 kelahiran hidup jauh dari target nasional, dengan
penyebab kematian terbanyak adalah BBLR. Prevalensi BBLR di Propinsi Nusa
Tenggara Barat sendiri tahun 2013 sebesar 12,5% (Riskesdas, 2013). Jumlah
kasus BBLR di Propinsi NTB tahun 2013 sebanyak 3730 dengan kematian
sebanyak 508 (13,6%), jika dilihat dari seluruh kematian neonatal yang ada di
Propinsi NTB, BBLR merupakan penyebab terbesar kematian neonatal. Kematian
neonatal di Propinsi NTB tahun 2013 berdasarkan penyebabnya dapat dilihat pada
gambar 2.2
Gambar 2.2 Kematian neonatal berdasarkan penyebab
di Propinsi NTB tahun 2013
(Dinas Kesehatan Propinsi NTB, 2013)
Propinsi NTB terdiri dari sepuluh kabupaten/kota salah satunya Kabupaten
Lombok Timur. Kabupaten Lombok Timur merupakan penyumbang terbanyak
kasus BBLR yang ada di Propinsi NTB. Laporan Pemantauan Wilayah Setempat
(PWS) KIA Dinas Kesehatan Lombok Timur tahun 2013 menunjukkan dari 426
BBLR 55% Asfeksia
18% TN 0%
Sepsis 3%
K.Cong 11%
Ikterus 1%
Lain-lain 12%
Persentase Kematian Neonatal berdasarkan penyebab
di propinsi NTB tahun 2013
9
kematian neonatal yang ada 229 disebabkan oleh BBLR (53,8%) dengan total
kasus BBLR sebanyak 875 kasus, diikuti oleh kasus lain-lain, asfiksia, cacat
bawaan dan infeksi (Dinas Kesehatan Lombok Timur 2013). Kematian neonatal
berdasarkan penyebab di Kabupaten Lombok Timur dapat dilihat pada gambar 2.3
Gambar 2.3 Persentase kematian neonatal berdasarkan penyebab
Kabupaten Lombok Timur tahun 2013
(Dinas Kesehatan Lombok Timur 2013).
2.2. Bayi Kecil Masa Kehamilan (KMK)
Banyak istilah yang digunakan untuk menunjukkan bahwa bayi KMK ini
menderita gangguan pertumbuhan di dalam rahim (Intrauterine Growth
Retardation/IUGR) seperti pseudopremature, small for dates, dysmature, fetal
malnutrition syndrome.Ada dua bentuk IUGR seperti diuraikan berikut ini.
1. Proportionate IUGR
Janin yang menderita distres yang lama dimana gangguan pertumbuhan
terjadi berminggu-minggu sampai berbulan-bulan sebelum bayi lahir sehingga
BBLR 54%
Asfeksia 19%
TN 0%
Sepsis 4%
K.Cong 8%
ikterus 2% Lain-lain
13%
Persentase kematian neonatal
berdasarkan penyebab
di Kabupaten lombok Timur tahun 2013
10
berat, panjang dan lingkaran kepala dalam proporsi yang seimbang akan tetapi
keseluruhannya masih di bawah masa gestasi yang sebenarnya.
2. Disproportionate IUGR
Terjadi akibat distres subakut. Gangguan terjadi beberapa minggu sampai
beberapa hari sebelum janin lahir. Pada keadaan ini panjang dan lingkaran kepala
normal akan tetapi berat tidak sesuai dengan masa gestasi. Bayi tampak wasted
dengan tanda-tanda sedikitnya jaringan lemak di bawah kulit, kulit kering keriput
dan mudah diangkat, bayi kelihatan kurus dan lebih panjang.
Pada bayi IUGR perubahan tidak hanya terhadap ukuran panjang, berat
dan lingkaran kepala akan tetapi organ-organ di dalam badan pun mengalami
perubahan. Drillen (1975) menemukan berat otak, jantung, paru-paru dan ginjal
bertambah, sedangkan berat hati, limpa, kelenjar adrenal dan thimus berkurang
dibandingkan pada bayi prematur dengan berat yang sama. Perkembangan otak,
ginjal dan paru-paru sesuai masa gestasinya (Wiknjosastro 2005).
2.3 Permasalahan BBLR
Banyaknya permasalahan yang terjadi pada BBLR membutuhkan
perhatian dan perawatan yang intensif sehingga komplikasi yang dapat
mengakibatkan kematian dapat dicegah. Perawatan BBLR selain melibatkan
petugas kesehatan (bidan dan perawat), keterlibatan peran serta keluarga terutama
ibu dan pengasuh pengganti (suami, nenek) sangat menentukan pertumbuhan dan
perkembangan BBLR selanjutnya. Pemberian promosi kesehatan oleh petugas
kepada keluarga dapat mengurangi komplikasi dan permasalahan yang terjadi
pada BBLR.
11
2.3.1 Hipotermi
Hipotermi terjadi akibat sedikitnya jaringan lemak di bawah kulit, tubuh
yang relatif lebih luas dibandingkan dengan berat badan, jaringan lemak coklat
yang belum cukup sehingga produksi panas berkurang serta belum berfungsinya
pusat pengaturan suhu.
2.3.2 Gangguan pernapasan
Gangguan pernapasan pada BBLR disebabkan oleh perkembangan imatur
pada sistem pernapasan dan belum matangnya jumlah surfaktan pada paru-paru,
otot pernapasan yang masih lemah dan tulang iga yang mudah melengkung. Bayi
Berat Lahir Rendah (BBLR) dapat mengalami ganguan pernapasan oleh karena
bayi menelan air ketuban dan masuk ke dalam paru-paru dan mengganggu
pernapasan.
2.3.3 Gangguan sistem pencernaan
Sistem pencernaan pada BBLR belum dapat mencerna makanan dengan
baik sehingga penyerapan makanan menjadi kurang sempurna. Bayai Berat Lahir
Rendah (BBLR) mudah terjadi kembung, hal ini disebabkan aktifitas otot belum
sempurna sehingga pengosongan lambung berkurang.
2.3.4 Gangguan ginjal
Ginjal pada BBLR belum berfungsi secara sempurna baik secara anatomis
maupun fisiologis. Hal ini mengakibatkan terjadinya gangguan eliminasi dalam
membuang sisa metabolisme dan air.
12
2.3.5 Gangguan imunologik
Sistem kekebalan BBLR belum matang, sehingga mudah terkena infeksi.
Bayi Berat Lahir Rendah juga dapat terkena infeksi silang yang ditularkan oleh
petugas maupun keluarga yang memberikan perawatan pada BBLR seperti
tindakan tidak melakukan cuci tangan sebelum memberikan perawatan atau
memegang bayi.
2.3.6 Perdarahan intraventrikuler
Perdarahan pada BBLR dapat terjadi interaventrikuler seperti cepal
hematom dan caput succedaneum. Hal ini karena pembekuan darah yang
menurun. Upaya untuk mengurangi risiko perdarahan intraventrikuler pada bayi
baru lahir, pemerintah membuat kebijakan pelayanan bayi baru lahir bahwa setiap
bayi baru lahir wajib diberikan injeksi vitamin K dengan dosis 1 mg sebagai
tindakan pencegahan (Proverawati, 2010).
2.4 Faktor yang memengaruhi BBLR
Faktor penyebab terjadinya BBLR secara umum bersifat multi faktorial.
Faktor yang berhubungan dengan BBLR adalah faktor ibu yaitu pendidikan,
umur, paritas, jarak kelahiran, dan lain-lain. Faktor janin, faktor plasenta serta
faktor lingkungan (Wiknjosastro, 2005).
2.4.1 Umur ibu
Umur 20 sampai dengan 35 tahun merupakan umur yang paling optimal
bagi seorang ibu untuk fungsi reproduksinya, dimana pada umur tersebut uterus
telah siap untuk proses kehamilan. Secara psikologis ibu merasa siap untuk hamil
dan melahirkan. Jika seorang ibu hamil pada umur < 20 tahun fungsi
13
reproduksinya belum terbentuk dan berfungsi dengan sempurna, sehingga akan
mempermudah terjadinya komplikasi pada masa kehamilan dan persalinan.
Demikian juga dengan seorang ibu jika hamil pada umur 35 tahun, fungsi
reproduksinya mengalami penurunan, dimana kondisi tersebut dapat
mengakibatkan kehamilan tidak berjalan dengan optimal. Data Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menujukan bahwa
rata-rata umur kawin pertama perempuan di Indonesia < 20 tahun dari target 21
tahun. Pada perempuan dengan perkawinan dibawah umur, membuat panjang
rentang usia reproduksi perempuan dan berdampak pada banyaknya anak
yang dilahirkan, dengan panjangnya usia reproduksi pada perempuan
Indonesia, peran penggunaan alat kontrasepsi menjadi sangat penting untuk
mengatur kehamilan (Kemenkes RI, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa
BKKBN harus terus melakukan berbagai upaya baik itu KIE (komunikasi,
Informasi dan edukasi) maupun pengembangan materi-materi kesehatan
reproduksi untuk penundaan usia kawin pertama atau pendewasaan usia kawin
(BKKBN, 2015).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Sidoarjo bahwa ada
pengaruh yang signifikan antara umur ibu terhadap kelahiran BBLR (Zain dkk,
2012). Ibu yang umurnya < 20 tahun dan > 35 tahun berisiko 34,5 kali
melahirkan BBLR dari pada ibu yang umurnya antara 20 tahun sampai dengan
35 tahun. Penelitian sama yang dilakukan di RSIA Siti Fatmah Makasar
menunjukkan bahwa ibu yang mempunyai umur < 20 tahun atau > 35 tahun
berisiko 6,92 kali untuk melahirkan BBLR dibandingkan ibu umur 20 sampai
14
dengan 35 tahun dengan nilai p < 0,05 dan OR 6,924 (CI 95% 3,39-14,24)
(Jaya, 2009).
2.4.2 Pendidikan
Goals ke dua dari pembangunan MDGs adalah pendidikan dasar untuk
semua. Tujuan ke dua MDGs bukan hanya sekedar semua anak bisa sekolah,
tetapi memberikan mereka pendidikan dasar yang utuh. Dalam banyak hal
perempuan Indonesia telah mengalami kemajuan pesat dalam kesetaraan gender
terkait pendidikan. Pada pendidikan sekolah dasar jumlah antara laki-laki dan
perempuan seimbang, tapi pada jenjang pendidikan yang lebih lanjut jumlah laki-
laki lebih banyak dari perempuan (Kemenkes, 2015). Upaya yang telah dilakukan
oleh pemerintah adalah peningkatan jumlah anggaran pendidikan untuk
peningkatan jenjang pendidikan angka partisipasi murni SMP dan SMA serta
pemberatasan buta aksara, dimana sekitar 6,6 juta penduduk yang buta aksara
adalah perempuan yang akan menjadi calon ibu dan berdampak terhadap
kesehatan.
Pendidikan secara tidak langsung akan memengaruhi proses kehamilan
seorang ibu salah satunya adalah terhadap kejadian BBLR. Pendidikan yang
didapatkan oleh ibu berkaitan dengan tingkat pengetahuan ibu dalam perawatan
selama kehamilan. Ibu hamil dengan tingkat pendidikan tinggi akan dapat
memahami tentang pentingnya pemeriksaan dan perawatan kesehatan selama
masa kehamilan. Pemeriksaan kehamilan pada petugas kesehatan sedini mungkin
merupakan hal penting yang harus diketahui dan dilakukan oleh ibu. Ibu dengan
pendidikan yang rendah sekalipun sudah mendapatkan informasi tentang hal
15
tersebut, tingkat pemahaman yang dimiliki tentunya berbeda dengan ibu yang
berpendidikan tinggi.
Berbagai penelitian tentang pengaruh pendidikan terhadap kejadian BBLR
menunjukkan hasil yang signfikan. Hasil penelitian analisis risiko terjadinya
BBLR membuktikan kaitan positif antara pendidikan ibu dan kejadian BBLR
(Pramono, 2009). Ibu yang berpendidikan rendah memiliki risiko 1,6 kali
melahirkan BBLR dibandingkan ibu yang berpendidikan tinggi. Penelitian lain
yang dilakukan di RSUD Pekalongan menyebutkan bahwa ada hubungan antara
pendidikan ibu terhadap kejadian BBLR dengan OR = 1,5 (95% CI 0,73-3,05)
(Nurhadi, 2006).
2.4.3 Paritas
Jumlah anak lahir hidup yang dilahirkan oleh seorang ibu dapat menjadi
faktor risiko BBLR. Seorang ibu jika terlalu sering melahirkan akan
mengakibatkan melemahnya kandungan oleh karena adanya jaringan parut akibat
kehamilan yang berulang– ulang. Kandungan tidak dapat menjadi tempat yang
baik bagi perkembangan janin. Seorang ibu yang terlalu sering melahirkan dapat
mengakibatkan kondisi kelelahan secara fisik dan psikologis dan berpengaruh
terhadap proses kehamilannya. Secara fisiologis seorang ibu membutuhkan waktu
tiga sampai empat tahun untuk memulihkan kondisi kendungannya sehingga
dapat merencenakan kehamilan berikutnya. Ibu hamil dengan paritas lebih dari
empat tetapi dengan jarak kehamilan lebih dari 2 tahun secara fisiologis bisa
mempersiapkan diri untuk kehamilan berikutnya.
16
Hasil penelitian lanjutan analisis hasil riskesdas 2007 didapatkan faktor
jumlah anak mempunyai risiko protektif. Ibu yang mempunyai anak pertama kali,
keempat atau lebih memiliki risiko terhadap kejadian BBLR 0,78 kali jika
dibandingkan dengan ibu yang mempunyai anak 2 atau 3. Risiko itu terjadi
terbalik, ibu yang diperkirakan mempunyai paritas yang aman untuk tidak terjadi
BBLR mempunyai risiko lebih tinggi dibandingkan ibu dengan paritas pertama
atau empat ke atas (Pramono, 2009). Hasil penelitian lain yang dilakukan di
RSUD Banyumas didapatkan hasil yang tidak bermakna antara paritas dengan
kejadian BBLR (Sistiarani, 2008).
2.4.4 Jarak Kelahiran
Jarak kelahiran adalah jarak antara persalinan sebelumnya dengan
persalinan berikutnya. Secara fisiologis seorang wanita membutuhkan waktu tiga
sampai empat tahun untuk memulihkan kondisi kandungannya. Selain itu ibu juga
secara psikologis belum siap untuk hamil kembali karena anak sebelumnya masih
membutuhkan pemberian ASI. Jarak kelahiran yang terlalu dekat mengakibatkan
kondisi rahim belum pulih sepenuhnya sehingga dapat mengganggu proses
pertumbuhan dan perkembangan janin di dalam kandungan. Keadaan ibu seperti
ini perlu mendapatkan perhatian dan pengawasan dari petugas kesehatan pada saat
pemeriksaan kehamilan, karena kondisi ibu dengan jarak kelahiran yang terlalu
dekat dapat menyebabkan bayi lahir kurang bulan dan BBLR.
Jarak persalinan yang terlalu dekat akan mengakibatkan pertambahan
jumlah penduduk semakin cepat. Data sensus penduduk tahun 2010 didapatkan
Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) sebesar 1,49 maka perlu dilakukan
17
pengendalin jumlah penduduk. Prinsip otonomi daerah dalam penyelenggaraan
urusan pengendalian penduduk dan Keluarga Berencana merupakan langkah
konkrit untuk mengatasi rentang kendali manajemen pelayanan program KB
antara pemerintah dengan pemerintah daerah khususnya di kabupaten dan kota.
Hal ini tentunya dapat berjalan dengan baik apabila didukung dengan
peningkatan kualitas pelayanan pengendalian penduduk dan KB kepada
masyarakat, yang diindikasikan dengan adanya keberpihakan ketersediaan
infrastruktur, instrumen regulasi yang mendukung penyelenggaraan program,
peningkatan pengguanaan Metoda Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP),
penguatan P4K dan Generasi Berencana (Genre), penempatan personil tenaga
penyuluh dan pelayanan KB (BKKBN, 2015).
Penelitian yang dilakukan di Sidoarjo menunjukkan bahwa ibu dengan
jarak kelahiran kurang dari 2 tahun berisiko 3,02 kali melahirkan BBLR
dibandingkan dengan ibu yang jarak kelahirannya lebih dari 2 tahun (Zain dkk,
2012). Hasil penelitian yang dilakukan di University of Medical Sciences, Iran
menunjukkan hasil OR 2.35, (95% CI:1.18-4.68). Ibu yang melahirkan dengan
jarak terlalu dekat (< 2 tahun) memiliki risiko 2,35 kali terhadap kejadian BBLR
(Chaman dkk, 2013)
2.4.5 Riwayat Antenatal Care
Asuhan antenatal yang optimal dapat di capai jika layanan yang diberikan
sesuai dengan kebutuhan ibu hamil. Pemeriksaan kehamilan sangat penting
dilakukan oleh seorang ibu hamil. Pemeriksaan kehamilan bertujuan memantau
kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan tumbuh kembang bayi,
18
Pemeriksaan kehamilan secara rutin dan teratur, dapat mendeteksi secara dini
kelainan dan komplikasi yang terjadi selama kehamilan, salah satunya adalah
perkiraan berat badan bayi yang dikandung oleh ibu. Pada saat ANC berat badan
bayi dapat dideteksi kemungkinan terjadinya kelahiran BBLR dengan melakukan
pengukuran tinggi fundus uteri sehingga penanganan terhadap kelainan tersebut
dapat dilakukan lebih dini dengan melihat faktor penyebab dari kondisi tersebut.
Seorang ibu hamil harus memeriksakan kehamilannya minimal 4 kali
selama kehamilan dengan sebaran 1 kali pada trimester 1, 1 kali pada trimester ke
dua dan 2 kali pada trimester ke tiga dengan mendapatkan pelayanan sesuai
standar yang sudah di tetapkan (Kemenkes RI, 2010). Pelayanan antenatal sesuai
standar meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik (umum dan kebidanan),
pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus, serta intervensi umum dan khusus
(sesuai risiko yang ditemukan dalam pemeriksaan). Dalam penerapannya standar
ANC terdiri atas: timbang berat badan dan ukur tinggi badan, ukur tekanan darah,
nilai status gizi (ukur lingkar lengan atas), ukur tinggi fundus uteri, tentukan
presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ), skrining status imunisasi tetanus
dan berikan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) bila diperlukan, pemberian tablet zat
besi minimal 90 tablet selama kehamilan, test laboratorium (rutin dan khusus)
mencakup pemeriksaan golongan darah, hemoglobin, protein urine dan gula darah
puasa, tatalaksana kasus dan temu wicara (konseling), termasuk Perencanaan
Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) serta KB pasca persalinan.
Hasil riskesdas 2010 menujukan bahwa pemeriksaan kehamilan pertama
kali tanpa memandang usia kehamilan adalah 92,7% (K1 akses), sedangkan
19
pemeriksaan kehamilan yang dilakukan oleh ibu hamil kepada petugas kesehatan
umur kehamilan trimester 1 (K1-murni) adalah 72,3% dari target 95%. Adapun
cakupan pemeriksaan ibu hamil minimal 4 kali selama kehamilan dengan pola 1
kali pada trimester pertama, 1 kali pada trimester ke dua dan 2 kali pada trimester
ke tiga (K4) adalah 61,4% dari target 90%. Ada kecenderungan cakupan K1
dan K4 yang rendah pada kelompok ibu hamil berisiko tinggi: umur <20
tahun, dan >35 tahun, kehamilan ke 4 atau lebih, tinggal di perdesaan,
tingkat pendidikan, dan status ekonomi rendah (Kemenkes RI, 2010). Secara
kuantitas pelayanan ANC sudah mencapai target program tetapi secara kualitas
belum memenuhi standar pelayanan yang ada. Hasil Riskesdas 2007 di Kabupaten
Lombok Timur kualitas pelayanan ANC yang diberikan masih dibawah standar
pelayanan yang di tetapkan, terkait dengan pemeriksaan yang berhubungan
dengan kejadian BBLR antara lain pemeriksaan tinggi fundus uteri untuk
memperkirakan berat badan janin hanya 81,3% dan pemeriksaan Hb untuk
mengetahui status anemia ibu hamil hanya 35,5%. Untuk meningkatkan kualitas
ANC yang diberikan dan meningkatkan deteksi dini terhadap kelainan dan
komplikasi selama kehamilan maka dilakukan pelayanan ANC terpadu
melibatkan lintas program yang ada antara lain program gizi, imunisasi, promkes
dan laboratorium.
Penelitian analisis lanjutan hasil Riskesdas 2010 tentang hubungan ante
natal care dengan berat badan lahir bayi di Indonesia didapatkan hasil OR 1.8
(CI 95%: 1.3 - 2.5). Ibu yang melakukan kunjungan ante natal care lebih dari 4
kali mempunyai peluang untuk tidak melahirkan BBLR sebesar 1,8 kali
20
dibandingkan dengan ibu yang melakukan ante-natal care kurang dari 4 kali
(Ernawati, 2011).
Penelitian yang dilakukan di Nepal Demographic and Health Surveys
(NDHS) tahun 2011 didapatkan hasil OR 2.30 ( 95% CI 1.526-3.471). Ibu yang
melakukan pemeriksaan kehamilan tidak teratur berisiko sebesar 2,3 kali untuk
melahirkan dengan BBLR (Khanal dkk, 2014). Hasil penelitian yang dilakukan di
Brazil didapatkan hasil OR 4.13 (95% CI 1.36-12.51). Ibu hamil berisiko 4,13
kali melahirkan BBLR jika melakukan pemeriksaan kehamilan tidak teratur
dibandingkan dengan ibu yang melakukan pemeriksaan kehamilan secara teratur
(Regina dkk, 2014).
2.4.6 Penghasilan
Jumlah penduduk miskin yang memiliki penghasilan dibawah garis
rata-rata 17,4% atau sekitar 36,5% dari total penduduk Indonesia. Memberantas
kemiskinan dan kelaparan merupakan goals pertama dari MDGs, upaya yang telah
dilakukan oleh pemerintah adalah peningkatan anggaran untuk kemiskinan dari
Rp 23 triliyun tahun 2005 menjadi Rp 70 triliyun pada tahun 2008 melalui
program pemberantasan kemiskinan yang tersebesar di berbagai kementerian dan
lembaga yang ada (Kemenkes, 2015). Faktor sosial ekonomi terkait dengan
penghasilan dapat memberikan gambaran terhadap kemampuan keluarga untuk
memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari. Pada ibu hamil dengan penghasilan rendah
akan memengaruhi konsumsi makanan selama kehamilan. Konsumsi makanan
yang tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan selama kehamilan dapat
menyebabkan ibu hamil mengalami kekurangan gizi yang ditandai dengan KEK
21
dan anemia selama kehamilan. Bayi yang dikandungnya mengalami gangguan
pertumbuhan dan perkembangan. Seorang ibu hamil tidak jarang harus bekerja
untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Beratnya pekerjaan yang dilakukan
oleh ibu hamil mengakibatkan kebutuhan istirahat ibu hamil tidak dapat terpenuhi
sehingga menyebabkan terjadinya kelahiran prematur.
Pada wanita hamil dengan tingkat penghasilan rendah kemungkinan 50%
melahirkan dengan BBLR. Hal ini disebabkan ketidakmampuan secara ekonomi
ibu hamil dalam memenuhi kebutuhan gizi selama kehamilan. Hasil penelitian di
Gorontalo didapatkan hasil OR 4,35 ibu dengan sosial ekonomi rendah memiliki
risiko 4,35 kali melahirkan dengan BBLR dibandingkan dengan ibu yang sosial
ekonominya baik (Amalia 2010). Penelitian yang sama di Department of
Pediatrics, University Hospital Munster, Germany, didapatkan hasil OR 2.78
(95% CI 1.59-4.86), ibu dengan sosial ekonomi rendah berisiko 2,78 kali terhadap
kejadian BBLR dibandingkan dengan ibu yang sosial ekonominya baik
(Pfinder, 2014)
2.4.7 Lingkungan
Paparan zat-zat beracun adalah paparan asap yang dihirup baik berasal dari
asap rokok maupun udara yang tercemar oleh gas-gas berbahaya lainnya.
a. Paparan asap rokok.
Rokok memiliki komuditas jual yang sangat luas dan merata, sehingga
gampang dijangkau oleh masyarakat yang berada di pedesaan. Data Riskesdas
2007 menunjukan 30,6% penduduk Kabupaten Lombok Timur merokok setiap
hari dengan rata-rata rokok yang dihisap 6-12 batang per hari, dengan persentase
22
merokok di dalam rumah 87,4%. Prevalensi perokok dalam rumah lebih banyak
pada laki-laki, berstatus kawin, tinggal di perdesaan, dengan pendidikan
rendah yaitu tidak tamat dan tamat SD. Menurut pekerjaan, prevalensi
perokok dalam rumah ketika bersama anggota keluarga lebih banyak yang
bekerja sebagai petani/nelayan/buruh diikuti wiraswasta dan yang tidak bekerja,
dan cenderung meningkat dengan meningkatnya status ekonomi (Kemenkes RI,
2010). Hal ini akan memengaruhi anggota keluarga yang lain termasuk ibu hamil
menjadi perokok pasif. Tingginya jumlah masyarakat yang merokok dapat
mengakibatkan ibu hamil terpapar oleh asap rokok yang dihisap baik oleh suami
maupun oleh keluarga lain yang berada satu rumah dengan ibu hamil. Ibu hamil
yang terpapar oleh asap rokok akan memengaruhi perkembangan janin dalam
kandungan, karena asap rokok yang dihirup oleh seorang ibu hamil mengandung
senyawa yang berbahaya. Jika senyawa yang terkandung dalam rokok ini masuk
ke dalam peredaran darah ibu hamil akan dapat mengganggu suplai oksigen dari
ibu ke janinnya, maka suplai makananpun ikut terganggu. Kebutuhan janin di
dalam kandungan tidak terpenuhi, kondisi ini sangat berisiko bagi ibu hamil untuk
melahirkan dengan BBLR. Pelayanan ANC yang diberikan perlu dilakukan
pengkajian tidak hanya permasalah yang terkait dengan kehamilan saja, tetapi
pengaruh faktor lingkungan dan peran keluarga dalam kehamilan juga perlu
dikaji. Upaya pelayanan ANC terpadu dengan melibatkan lintas program
merupakan suatu terobosan untuk mengurangi komplikasi yang terjadi pada saat
kehamilan dengan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.
23
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah upaya untuk memberi
pengalaman belajar atau menciptakan kondisi bagi perorangan, keluarga,
kelompok dan masyarakat, dengan membuka jalur komunikasi, memberikan
informasi dan melakukan edukasi, untuk meningkatkan pengetahuan, sikap
dan perilaku hidup bersih dan sehat, melalui pendekatan pimpinan, bina
suasana dan pemberdayaan masyarakat dimana salah satu indikatornya adalah
tidak ada anggota keluarga yang merokok. Data profil kesehatan Kabupaten
Lombok Timur 2013 menunjukan bahwa baru 28,9% rumah tangga yang
menerapkan PHBS. Upaya lain yang sudah dilakukan oleh pemerintah terkait
dengan rokok adalah penerbitan peraturan daerah tentang kawasan tanpa rokok,
namun pada kenyataannya kebijakan tersebut masih banyak dilanggar karena
belum ada sanksi yang berlaku sehingga masih banyak perokok yang merokok
disembarang tempat.
Hasil penelitian di Gorontalo didapatkan OR 5,516 ibu hamil yang terpapar
asap rokok berisiko 5,5 kali terhadap kejadian BBLR dibandingkan dengan ibu
hamil yang tidak terpapar (Amalia, 2010). Hasil penelitian yang sama di RS
Meurexa Banda Aceh tahun 2012 diperoleh nilai kemaknaan p = 0,004 (p ≤
0,05), terdapat hubungan yang bermakna antara ibu hamil perokok pasif
dengan kejadian BBLR (Ramadhan, 2012). Penelitian yang sama juga dilakukan
di Sulawesi Selatan menyebutkan berat badan bayi dipengaruhi oleh jumlah
batang rokok yang dihisap dan menyebabkan ibu terpapar selama kehamilan
(Tamrin dkk, 2011).
24
b. Paparan asap kayu bakar dan obat anti nyamuk
Faktor luar yang memengaruhi terjadinya BBLR adalah faktor
lingkungan. Udara di sekitar lingkungan rumah dapat tercemar oleh asap yang
ditimbulkan dari aktifitas sehari-hari di dalam rumah, seperti penggunaan kayu
bakar untuk memasak dan penggunaan obat anti nyamuk bakar pada saat tidur.
Penggunaan arang dan kayu bakar sebagai sumber energi terutama di pedesaan
sebesar 64,2 persen diprediksi akan meningkatkan gas CO yang berpotensi
menimbulkan pencemaran udara (Kemenkes RI, 2010). Penggunaan kayu bakar
saat memasak dan obat anti nyamuk bakar saat tidur mengakibatkan udara
tercemar oleh gas-gas beracun seperti karbonmonoksida, amoniak, aseton dll
yang dapat dihirup oleh ibu hamil. Akibat penggunaan bahan bakar saat memasak
dan obat anti nyamauk bakar saat tidur sangat berbahaya bagi ibu hamil. Bila
gas-gas berbahaya ini dihirup oleh ibu hamil dan beredar dalam pembuluh darah
akan dapat mengganggu suplai oksigen dalam darah sehingga suplai makanan dari
ibu ke janin juga terganggu. Kondisi ini dapat mengakibatkan pertumbuhan janin
menjadi terganggu. Hal ini dapat mengakibatkan ibu melahirkan bayi dengan
BBLR. Paparan Karbonmonoksida selama kehamilan dapat menyebabkan BBLR
dan menurunkan kemampuan mental anak.
Hasil Penelitian yang dilakukan di Semarang menyatakan bahwa
penggunaan kayu bakar ternyata tidak berpengaruh terhadap kejadian BBLR
dengan nilai p > 0,05 sedangkan penggunaan obat anti nyamuk bakar selama
kehamilan secara statistik bermakana terhadap kejadian BBLR p < 0,05 dengan
OR 8,50 (95% CI 1,565-46,220) (Widariyana, 2002).
25
2.4.8 Status KEK
Pertumbuhan dan perkembangan janin di dalam kandungan sangat
dipengaruhi oleh status gizi ibu pada saat hamil. Masalah gizi yang sering
dihadapi oleh ibu selama hamil yaitu Kurang Energi Kronis (KEK). Kondisi KEK
pada ibu hamil menunjukan konsumsi energi dan protein yang kurang dalam
jangka panjang. Kekruangan energi secara kronis ini menyebabkan ibu hamil
tidak memliki cadangan gizi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi selama
kehamilan. Jumlah total energi yang dibutuhkan selama kehamilan adalah 80.000
Kkal. Kebutuhan energi pada trimester pertama meningkat secara minimal,
kemudian terus meningkat sampai akhir kehamilan. Selama trimester ke tiga
tambahan energi digunakan untuk pertumbuhan janin dan placenta, jika sejak
awal kehamilan ibu sudah mengalami kekurangan gizi maka kebutuhsn gizi
untuk pertumbuhan dan perkembangan janin terutama pada trimester ke tiga tidak
dapat terpenuhi sehingga berisiko untuk terjadinya BBLR (Myles, 2011). Data
Riskesdas 2013 menujukan Prevalensi ibu hamil KEK 23,7%, sehingga menjadi
faktor risiko bagi ibu hamil untuk melahirkan BBLR. Ibu hamil KEK atau tidak,
dapat dilihat dari ukuran lingkar lengan atasnya (LILA) . Ukuran LILA yang
normal yaitu > 23,5 cm dengan pengukuran menggunakan pita LILA yaitu alat
yang sederhana dan praktis yang direkomendasikan oleh kementerian kesehatan
untuk digunakan di lapangan.
Ibu yang mengalami KEK selama hamil akan menimbulkan masalah baik
pada ibu maupun janin. Pengaruh KEK terhadap persalinan dapat mengakibatkan
proses persalinan sulit dan lama, perdarahan pasca persalinan. Ibu hamil KEK
26
dapat memengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan janin dalam
kandungan sehingga berisiko terhadap kelahiran BBLR. Untuk mencegah risiko
KEK pada ibu hamil sebelum kahamilan Wanita Usia Subur (WUS) sudah harus
memiliki gizi yang baik misalnya LILA tidak kurang dari 23,5 cm. Apabila LILA
ibu sebelum hamil kurang dari 23,5 cm sebaiknya kehamilan ditunda dan
dilakukan perbaikan gizi sehingga tidak berisiko untuk melahirkan BBLR
(Sandjaja, 2009). Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang tinggi kalori dan
protein dapat diberikan untuk memenuhi kebutuhan gizi selama kehamilan dengan
penerapan porsi kecil tapi sering (Ekayani, 2011).
Penelitian yang dilakukan di Singkawang didapatkan hasil OR 7,93
(95% CI 1,85-33,95). Ibu hamil KEK mempunyai risiko 7,9 kali untuk melahirkan
BBLR dibandingkan ibu hamil tidak KEK (Trihardiani, 2011). Penelitian yang
sama di RS Siti Fatimah Makasar didapatkan hasil OR 9,95 (95% CI 4,84-20,39)
ibu hamil KEK mempunyai risiko 9,94 kali melahirkan BBLR dibandingkan ibu
hamil yang tidak KEK (Jaya, 2009).
2.4.9 Status Anemia Ibu hamil
Anemia adalah penurunan kapasitas darah dala membawa oksigen, hal
tersebut dapat terjadi akibat penurunan produks sel darah merah dan penurunan
hemoglobin (Hb) dalam darah (Myles, 2011). Anemia adalah berkurangnya kadar
hemoglobin dalam darah pada ibu hamil trimester I dan trimester ke III, dimana
fungsi hemoglobin ini adalah mengangkut makanan (WHO, 2008). Prevalensi
anemia pada ibu hamil di Indonesia lebih dari 70%. Selama kehamilan,
volume plasma maternal meningkat secara bertahap sebanyak 50%, atau
27
meningkat sekitar 1200 ml pada saat kehamilan cukup bulan. Peningkatan sel
darah merah total adalah sekitar 25% atau 300 ml. Hemodilusi relatif ini
menyebabkan penurunan konsentrasi hemoglobin yang mencapai titik terendah
pada trimester kedua kehamilan dan meningkat kembali pada trimester ketiga.
Hemodulusi terjadi sejak kehamilan 10 minggu dan mencapai puncaknya pada
kehamilan 32-36 minggu. Bila hemoglobin ibu sebelum hamil berkisar 11 gr%
maka dengan terjadinya hemodilusi akan mengakibatkan anemia hamil fisiologis
dan Hb ibu akan menjadi 9,5-10 gr%. Perubahan ini merupakan kondisi fisiologis
kehamilan yang diperlukan untuk perkembangan janin (Myles, 2011).
Berdasarkan klasifikasi dari WHO kadar hemoglobin pada ibu hamil dapat di
bagi menjadi 4 kategori yaitu : Hb > 11 gr% tidak anemia (normal), Hb 9-10 gr%
Anemia ringan, Hb 7-8 gr% Anemia sedang , Hb < 7 gr% Anemia berat ( Myles,
2011). Kadar hemoglobin yang rendah akan memengaruhi kemampuan sistem
maternal untuk memindahkan oksigen dan nutrisi yang cukup ke janin. Jika
hemoglobin dalam darah sedikit maka dapat mengganggu suplai makanan dari ibu
ke janin sehingga asupan gizi janin tidak dapat terpenuhi dan dapat
mengakibatkan BBLR. Anemia pada ibu hamil juga meningkatkan risiko
perdarahan ante partum (PAP) pada saat hamil, sehingga dapat terjadi bayi lahir
prematur, perdarahan setelah persalinan, serta kematian ibu dan bayi. Kondisi
anemia pada ibu hamil dapat terjadi sebelum ibu hamil dan anemia terjadi akibat
dari proses kehamilannya.
Permasalahan ini harus mendapatkan penanganan selama kehamilan
dengan melaksanakan standar pelayanan kehamilan, pemberian tablet Fe minimal
28
90 tablet selama kehamilan. Pelayanan antenatal yang diberikan oleh bidan untuk
membantu mencegah anemia pada ibu hamil, harus memahami bahwa anemia
tidak hanya disebabkan oleh masalah medis, tetapi juga situasi sosial dan
demografi yang ada di masyarakat. Ketika memberikan saran diawal kehamilan
mengenai asupan zat besi, bidan perlu mempertimbangkan asupan zat besi
tersebut dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi, agama dan budaya. Jika kondisi
ibu hamil anemia ini dibiarkan maka dapat memberikan kontribusi terhadap
tingginya kejadian BBLR.
Gizi yang cukup pada masa kehamilan sangat beperan dalam proses
tumbuh kembang janin. Kebutuhan gizi pada saat hamil yang tidak terpenuhi
dapat menghambat petumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan. Hasil
penelitian yang dilakukan di RSUD Wangaya Denpasar didapatkan RR 10,29
(95% CI 2,21-47,9) kejadian BBLR pada ibu hamil yang mengalami anemia
pada trimester I adalah 10 kali dibandingkan ibu hamil yang tidak anemia
(Labir dkk, 2013). Penelitian tentang anemia sebagai faktor risiko BBLR di
Propinsi NTB didapatkan hasil OR 3,70 (95 % CI 2,33-5,88) p = 0,0001, ibu
hamil yang menderita anemia memiliki risiko 3,7 kali terhadap kejadian BBLR
dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak anemia (Mustika dkk, 2006).