BAB II HIPO
-
Upload
muhammadrizaln -
Category
Documents
-
view
244 -
download
4
Transcript of BAB II HIPO
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Hiponatremia adalah suatu kondisi dimana kadar natrium dalam plasma
kurang dari dari 135 mEq/L. Hiponatremia merupakan gangguan elektrolit yang
paling sering dijumpai di rumah sakit yaitu sebanyak 15-20 %. Gangguan
Hiponatremia dibagi menjadi euvolemik, hypervolaemic dan hipovolemik. Dalam
evaluasi pasien hyponatraemic, anamnesis harus fokus pada mengidentifikasi
penyebab potensial, durasi dan gejala-gejala. Pemeriksaan klinis harus mencakup
penilaian status volume. Hiponatremia akut kurang dari 48 jam durasi
membutuhkan koreksi yang cepat. Pengobatan mungkin melibatkan salin
hipertonik , garam isotonik dan terapi penggantian hormon yang tepat tergantung
pada etiologinya. Hiponatremia kronis harus ditangani dengan hati-hati karena
risiko myelinolysis pontine pusat (1,2,3,4).
B. EPIDEMIOLOGI
Hiponatremia adalah gangguan elektrolit yang paling sering ditemui dalam
praktek klinis, dengan kejadian dilaporkan 15-30 %. Kondisi ini memiliki etiologi
multifaktorial, dan beberapa penyebab hiponatremia dapat diidentifikasi pada
pasien individu (3). 75-80 % dari kasus hiponatremia adalah ( yaitu natrium serum
ringan dan kronis 130-134 mMol / L , terjadi lebih dari 0-24 jam ) dan biasanya
tanpa gejala neurologis yang jelas (4).
C. KLASIFIKASI
Hiponatremi dapat diklasifikasikan dalam beberapa kelompok:
1. Berdasarkan osmolalitas plasma
a. Hiponatremia isotonik
Jika konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L dan osmolalitas plasma normal
yaitu 280-285 mOsm/Kg/H2O (5).
b. Hiponatremia hipotonik
Jika konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L dan osmolalitas plasma normal
yaitu < 280 mOsm/Kg/H2O. Hiponatremia hipotonik selalu menggambarkan
ketidakmampuan ginjal dalam mengekskresikan cairan yang masuk. Berdasarkan
jumlah cairan intravaskular hiponatremia hipotonik dapat dibagi menjadi 3 yaitu
(7):
1) Hipovolemik
Hiponatremia hipotonik hipovolemik dapat terjadi akibat kehilangan natrium
renal atau ekstrarenal, dan penyebab kehilangan dapat dibedakan berdasarkan
konsentrasi natrium urin. Pada kondisi ini terjadi penurunan jumlah CES dan
deplesi solut. Gejala klinis dari deplesi volume yaitu penurunan tekanan darah
ortostatik, peningkatan denyut nadi, keringnya membran mukosa dan turgor
kulit menurun. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan
blood urea nitrogen (BUN), kreatinin dan peningkatan asam urat.
2) Euvolemik
Hiponatremia hipotonik euvolemik berhubungan dengan adanya kelompok
sindroma klinis yang selanjutnya harus dibedakan menurut pemeriksaan
osmolalitas urin. Hal ini terjadi karena intake cairan yang berlebihan
sedangkan ginjal tidak mampu untuk mengeksresikan. (5,7)
3) Hipervolemik
Hiponatremia hipotonik hipervolemik terjadi akibat adanya peningkatan total
cairan tubuh yang selanjutnya dapat dibedakan dengan pemeriksaan
konsentrasi natrium pada urin. Dapat terjadi karena kegagalan ginjal dalam
mengkeksresikan cairan, misalnya terjadi pada kasus Gagal jantung, Sirosis,
Sindroma nefrotik, gagal ginjal akut dan kronik. (5)
c. Hiponatremia hipertonik
Jika konsentrasi natrium plasma <135 mEq/L dan osmolalitas plasma normal
yaitu >285 mOsm/Kg/H2O. Contoh : hiperglikemia dan pemberian cairan
hipertonik seperti manitol (5).
2. Berdasarkan konsentrasi natrium plasma
a. Hiponatremia ringan
Konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L
b. Hiponatremia sedang
Konsentrasi natrium plasma < 130 mEq/L
c. Hiponatremia berat
Konsentrasi natrium plasma < 120 mEq/L (5).
3. Berdasarkan konsentrasi ADH
a. Hiponatremia dengan ADH meningkat
Peningkatan ADH dikarenakan deplesi volume sirkulasi efektif yang
menyebabkan Na keluar berlebihan dari tubuh yaitu ginjal (diuretik, salt-
losing nephropaty, hipoaldosteron) dan non ginjal seperti diare (5).
b. Hiponatremia dengan supresi ADH fisiologis
Polidipsia primer atau gagal ginjal merupakan keadaan dimana eksresi cairan
lebih rendah dibanding asupan cairan yang menimbulkan respons fisiologis
untuk supresi sekresi ADH (5)
4. Berdasarkan waktu
a. Hiponatremia akut
Disebut akut bila kejadian hiponatremi berlangsung kurang dari 48 jam. Pada
keadaan ini akan terjadi gejala yang berat seperti penurunan kesadaran dan
kejang. Hal ini terjadi akibat adanya edema sel otak karena air dari ekstrasel
masuk ke intrasel yang osmolalitasnya lebih tinggi. Kelompok ini disebut
juga hiponatremi simptomatik atau hiponatremi berat (5).
b. Hiponatremia kronik
Disebut kronik bila kejadian hiponatremia berlangsung lambat yaitu lebih dari
48 jam. Pada keadaan ini tidak terjadi gejala yang berat seperti penurunan
kesadaran ataupun kejang. Gejala yang terjadi seperti mengantuk dan lemas.
Kelompok ini disebut juga hiponatremi asimptomatik atau hiponatremi ringan
(5).
D. PATOFISOLOGI HIPONATREMIA
Osmolalitas tubuh diatur oleh sekresi arginin vasopresin (AVP) dan
rangsangan haus. AVP merupakan hormon antidiuretik yang dihasilkan oleh
hipotalamus dan di transportasikan melalui axon ke hipofisis posterior. AVP
berperan dalam mengatur homeostasis. Aktivasi reseptor AVP menyebabkan
ekskresi cairan berkurang, regulasi AVP juga diatur oleh baroresptor di sistem
saraf pusat dan sistem kardiopulmonal. Natrium serum merupakan hasil bagi dari
jumlah natrium dengan volume plasma. Osmolalitas plasma normal yaitu 280-285
mOsm/Kg/H20 (5,6,8,9).
1) Hiponatremia isotonik
Pada kondisi ini jumlah natrium plasma sebenarnya dalam keadaan
normal. Isotonik hiponatremi terjadi pada keadaan hiperlipidemia ataupun
hiperproteinemia. Plasma tersusun atas cairan dan solut (zat terlarut).
Hiperlipidemia dan hiperproteinemia meningkatkan solut plasma dan menurunkan
jumlah cairan plasma, sehingga pada keadaan ini terjadi pseudohiponatremi.
Dimana denominator dalam penghitungan jumlah natrium plasma menjadi lebih
tinggi sehingga kadar natrium plasma menjadi turun (5,6,8,9).
2) Hiponatremia hipotonik
Osmolalitas antara cairan intraseluler sama dengan cairan ekstraseluler. Pada
keadaan hiponatremi hipotonik, jumlah cairan plasma lebih besar dibandingkan
jumlah solut sehingga osmolalitas plasma menjadi turun (5,9).
a. Hiponatremia hipotonik euvolemik
Hiponatremia hipotonik euvolemik berhubungan dengan adanya kelompok
sindroma klinis yang selanjutnya harus dibedakan menurut pemeriksaan
osmolalitas urin. Kondisi euvolemik dengan osmolalitas urin <100 mOsm/kg
menunjukkan kondisi seperti polidipsia psikogenik dan low-solute potomania
(5,6,8,9).
Polidipsia psikogenik (polidipsia primer) muncul paling sering pada pasien
skizofrenik, terlihat dari adanya intake air yang berlebihan, dan biasanya melebihi
10 l/hari. Kondisi euvolemik dipertahankan dengan supresi osmotik terhadap
pelepasan AVP dan eksresi ginjal terhadap H2O bebas. Sehingga, urin terdilusi
dan osmolalitas rendah (biasanya < 100 mOsm/kg) (5,6,8,9).
Low-solute potomania disebabkan adanya intake yang berlebihan terhadap
cairan rendah solut yang menyebabkan hiponatremia hipotonik euvolemik.
Contohnya adalah konsumsi alkohol yang berlebihan yaitu bir, yang rendah solut
(seringkali < 5 mEq/L dari natrium). Cairan rendah solut dapat menyebabkan dan
memperburuk hiponatremia terutama pada pasien sirosis alkoholik, dimana
seringkali mengalami peningkatan sirkulasi AVP dan memiliki insufisiensi ginjal.
Meskipun begitu potomania sendiri seringkali tidak sufisien untuk mengakibatkan
kondisi hiponatremia, sehingga adanya disregulasi dan gangguan pada ekskresi
ginjal dibutuhkan untuk dapat menyebabkan kondisi hiponatremia (5).
b. Hiponatremia hipotonik hipovolemik
Dalam kondisi deplesi total natrium tubuh, terjadi peningkatan AVP
meningkat dan retensi H2O bebas untuk mempertahankan volume intravaskular.
Namun, retensi H2O bebas saja tidak cukup untuk mengembalikan volume
ekstraseluler cairan pada keadaan hipovolemia. Selain itu, penggantian kehilangan
natrium dan H2O dengan H2O bebas dapat mempotensiasi peningkatan kadar
plasma AVP yang tidak sesuai, yang dapat memperburuk hiponatremia (5).
Hipovolemia dengan natrium urin kurang dari 20 mEq / L atau FENa kurang
dari 1% menunjukkan retensi natrium ginjal yang aktif untuk mengkompensasi
kehilangan ekstrarenal, seperti kehilangan pencernaan atau insensible water loss
dengan penggantian H2O bebas. Pasien hipovolemik dengan natrium urin melebihi
20 mEq / L atau melebihi FENa 1% menunjukkan adanya kehilangan natrium
ginjal akibat pemberian diuretik, osmotik diuresis, salt-losing nephropaty,
alkalosis metabolik, atau insufisiensi adrenal (5).
c. Hiponatremia hipotonik hipervolemik
Pasien hipervolemik dengan natrium urin >20 meEq/L atau ekskresi fraksi
natrium (FENa) >1 tipikal pada pasien dengan gagal ginjal berat. Sedangkan pada
pasien hipervolemik dengan natrium urin < 20 mEq/L atau FENa < 1% tipikal
pada kondisi edema, termasuk CHF, sirosis, dan sindroma nefrotik (5).
Retensi natrium dan air pada kondisi edema biasanya terjadi karena mediasi
oleh baroreseptor dengan pengeluaran AVP dan aktivasi dari sistem renin-
angiotensin-aldosteron, yang responsnya terutama untuk mempertahankan perfusi
jaringan. Pasien dengan sindroma nefrotik mengalami reduksi pada volume
intravaskular yang sama (5).
3) Hiponatremia hipertonik
Terjadi jika osmolalitas plasma > 285 mOsm/Kg/H2O. Hipertonisitas bisa
terjadi karena peningkatan zat terlarut yang tidak bebas keluar masuk
kompartemen, contohnya glukosa manitol, gliserol, atau sorbitol sehingga terjadi
perpindahan cairan dari ICF ke ECF sehingga menurunkan kadar natrium ECF.
Hiponatremia jenis ini biasanya dihubungkan dengan peningkatan osmolalitas.
Contohnya, pada pasien hiperglikemia setiap kenaikan glukosa 3 mmol/L, natrium
serum turun 1 mmol/L (5,6,8,9).
E. MANIFESTASI KLINIS
Jika hiponatremia dengan akut atau parah, mungkin akan hadir dengan gejala
neurologis yang dapat mengakibatkan komplikasi serius misalnya hyponatremic
encephalopathy, paru non–kardiogenik edema, kejang, koma, kematian (4).
Gejala klinis hiponatremia tergantung dari penyakit yang mendasarinya (5).
1. Manifestasi menurut sistem
Sistem saraf : Sakit kepala, confusion, hiper atau hipoaktif refleks tendon
dalam, kejang, koma, peningkatan tekanan intrakranial.
Muskulukeletal : Weakness, fatigue, muscle cramps/twitching.
Gastrointestinal : Anoreksia, nausea, vomiting, diare cair.
Cardiovaskular : Hipertensi dan bradikardia secara signifikan meningkatkan
tekanan intrakranial.
Ginjal : oligouria
F. DIAGNOSIS
Manifestasi klinis dari hiponatremia biasanya akibat adanya edema otak, yang
menyebabkan gejala neurologis dan sistemik. Pada kondisi kronik (CHF, Sirosis),
hiponatremia dapat asimtomatik akibat adanya adaptasi sel dengan
mempertahankan gradien osmolar dan melindungi dari terjadinya edema serebri
(5). Pada hiponatremia akut (postoperatif, drug-induced), gejala tidak spesifik dan
sangat luas. Gejala awal yaitu adanya anoreksia, kesemutan, mual, muntah, sakit
kepala, iritabilitas, disorietasi, konfusi, fatigue, dan letargi, dimana gejala lanjut
yang dapat ditemukan adalah adanya gangguan status mental, kejang, koma, dan
gagal napas, dan dapat menyebabkan kematian. Saat gejala neurologis dari
hiponatremia muncul, disebut sebagai ensefalopati hiponatremia (10).
Hiponatremia terkalsifikasi berdasarkan osmolalitas plasma yang ditentukan
melalui pemeriksaan penunjang laboratorium dan status volume yang ditentukan
melalui pemeriksaan fisik. Penentuan hiponatremia secara sistematik diperlukan
untuk menentukan penyebab dan terapi yang akan diberikan. Dapat dilakukan
pengukuran osmolalitas plasma, status volume, konsentrasi natrium urin dan
osmolalitas (5,11).
Osmolalitas plasma, pertama dilakukan untuk menyingkirkan hiponatremia
hipertonik >295 mOsm/kg dan pseudohiponatremia, hiponatremia isotonik, 280–
295 mOsm/kg. Sedangkan pada penurunan osmolalitas plasma, hiponatremia
hipotonik < 280 mOsm/kg diperlukan penentuan volume status yang akurat.
Meskipun begitu, pengukuran osmolalitas plasma seringkali kurang akurat dan
tidak dapat digunakan sebagai penentuan terapi (5,10,11).
Pengukuran konsentrasi natrium urin merupakan pemeriksaan penunjang
yang paling sering dan paling dapat digunakan untuk menentukan diagnosis
banding. Status volume diklasifikasikan secara klinis sebagai hipervolemik,
euvolemik, atau hipovolemik, dan merupakan pemeriksaan penunjang yang baik
dilakukan untuk diagnosis akurat dan terapi yang adekuat. Manifestasi klinis pada
kondisi hipervolemik seperti edema, crackles pada paru, tekanan vena jugular
leher terdistensi, dan terdapat S3 pada auskultasi jantung. Manifestasi klinis pada
kondisi hipovolemik yaitu adanya hipotensi orthostatik, takikardia, dan
oliguria/anuria. Jika tidak ditemukan tanda-tanda diatas, status volume
dikategorikan sebagai keadaan euvolemik. Monitor ketat dan evaluasi serial
diperlukan pada hiponatremia (5,10,11,12).
G. Penatalaksanaan Hiponatremia
Penentuan osmolalitas plasma memberikan dasar terapi inisial hiponatremia.
Pada hiponatremia hipertonik, tata laksana diberikan langsung pada penyebabnya.
Tidak ada terapi spesifik pada hiponatremia isotonik selain memberikan terapi
pada gangguan metabolisme lipid dan protein yang mendasari. Untuk
hiponatremia hipotonik diberikan secara simptomatis,dan berdasarkan status
volume (5,9).
Pada hiponatremia hipotonik, gejala biasanya semakin terlihat saat
konsentrasi plasma natrium <120 mEq/L. Tergantung pada status volume, terapi
hiponatremia hipotonik diberikan bertahap, dari pemberian salin hipertonik pada
kasus berat sampai pemberian salin isotonik pada kasus ringan dan sedang, dan
restriksi H2O bebas pada kasus asimtomatik. Pada kasus berat pemberian salin
hipertonik atau isotonik harus diberikan secara agresif untuk pencegahan
komplikasi neurologis yang mengancam nyawa. Salin hipertonik hanya diberikan
pada kasus berat dengan konsultasi ahli dan hanya dalam waktu singkat (5,10).
Diuretik dapat diberikan untuk mengobati kemungkinan adanya potensial
volume overload. Saat gejala sudah berkurang, terapi harus dikurangi dan terfokus
pada koreksi penyebab dari ketidakseimbangan air dan natrium. Reevaluasi serial
dan tappering down harus dilakukan secara hati-hati sampai tercapai kondisi
normonatremia euvolemik(5,9,10).
Hiponatremia hipotonik akut, memiliki onset < 48 jam, dan dapat terkoreksi
secara cepat. Meskipun begitu, koreksi dari hiponatremia kronik asimptomatik
terkadang tidak diberikan, seperti pada pasien sirosis atau reset osmostat
syndrome. Terlebih lagi, tata laksana yang berlebihan dapat mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas. Kerusakan batang otak yang permanen dapat muncul
akibat osmotic myelinolysis syndrome, yang terlihat dari adanya central pontine
myelinolysis akibat osmotically-induced demyelination (5).
Secara umum, pada satu setengah dari total defisit dapat digantikan dalam
12 jam pertama, dengan 0.5 mEq/L/jam (12 mEq/L/hari). Rumus dibawah dapat
digunakan dalam mengestimasi efek 1 L infus natrium dalam konsentrasi plasma
natrium (5).
Perubahan dalam natrium plasma = (Natrium pada infus – Natrium plasma)
(Total body water + 1)
Total body water (1) dikalkulasi dengan mengkalikan berat badan (kg) dengan 0.5
pada perempuan, 0,6 pada laki-laki, 0,45 pada lansia wanita, dan 0,5 pada lansia
pria (5).
Nama Obat Indikasi Mekanisme Dosis
Demeklosiklin (antibiotik)
Gagal restriksi air pada hiponatremia hipotonik euvolemik kronis (cth. SIAD)
Inhibisi cAMP
Idiosinkronasi menginduksi diabetes insipidus nefrogenik
2 x 300-600 mg po
Furosemid hiponatremia hipotonik hipervolemik kronis (cth : CHF)
hiponatremia hipotonik euvolemik kronis (cth : SIAD)
Inhibisi kotransport renal Na+/K+/Cl pada loop of henle asendens dan tubulus distal
Meningkatkan ekskresi dari H2O bebas bersama dengan natriuresis dan kaliuresis
Dosis bervariasi
40 mg IV dalam 1-2 menit; dapat diulang jika respons tidak sesuai
Per oral untuk maintenance
Conivaptan hiponatremia hipotonik hipervolemik simtomatik (cth : CHF)
hiponatremia hipotonik euvolemik kronis (cth : SIAD)
Antagonis AVP-R
Meningkatkan ekskresi dari elektrolit- H2O bebas
20 mg IV loading dose dalam 30 menit; selanjutnya 20 mg IV selama 24 jam
Dapat ditingkatkan sampai 40
mg selama 24 jam; maksimal dalam 1-4 hari
Fludrokortison Cerebral salt-wasting syndrome
Meningkatkan reabsorbsi natrium dan kehilangan kalium pada tubulus distal ginjal
1 x 0,05-0,2 mg perhari
Tatalaksana Hiponatremia Hipervolemik Hipotonik
Tujuan tatalaksana pada pasien hiponatremia hipervolemik hipotonik adalah
untuk memperbaiki konsentrasi natrium plasma dengan 1 sampai 2 mEq / L / jam
baik menggunakan salin hipertonik atau salin isotonik, kadang-kadang dalam
kombinasi dengan diuretik, sampai gejala mayor (misalnya, perubahan status
mental yang berat, kejang) mereda. Yang penting untuk diperhatikan adalah salin
hipertonik merupakan kontraindikasi relatif pada hipervolemia, sehingga
penggunaan salin isotonik lebih direkomendasikan pada pasien sebagai terapi
inisial. Sekali gejala mayor membaik, pengobatan harus kemudian menjadi
kurang agresif dan diarahkan pada memperbaiki penyebab dasar hiponatremia.
Akhirnya, restriksi cairan adalah pengobatan pilihan, dengan batas 0,5 sampai 1
L / hari, dengan atau tanpa diuretik, mengoreksi tidak lebih dari 0,5 mEq/ L/jam.
AVP-R antagonis dapat diperlukan pada pasien simptomatik dengan CHF.
Perawatan awal pasien asimtomatik adalah restriksi air bebas dengan atau tanpa
diuretik untuk memperbaiki hiponatremia dan meningkatkan status volume
(5,9,11).
Tatalaksana Hiponatremia Hipotonik Euvolemik
Tatalaksana yang diberikan pada pasien dengan gejala hiponatremia
hipotonik euvolemik adalah untuk memperbaiki konsentrasi natrium plasma
dengan 1 sampai 2 mEq/ L/ jam menggunakan salin hipertonik sampai gejala
mayor mereda, kemudian beralih ke salin isotonik 0,5-1 mEq/ L/ jam setelahnya.
Diuretik dapat digunakan untuk mengurangi kelebihan cairan selama pengobatan,
tetapi penggunaannya harus diminimalkan. Setelah kondisi telah asimtomatik, tata
laksana dapat diganti menjadi restriksi air bebas. Tatalaksana inisial pada pasien
asimptomatik adalah restriksi cairan 0,5-1 L / hari, dengan koreksi tidak lebih dari
0,5 mEq / L / jam selama jangka waktu beberapa hari (2,9,10,11).
Tata Laksana pada Hiponatremia Hipotonik berdasarkan Volume dan gejala
Semua Pasien Mengobati penyakit penyebab
Reevaluasi serial status volume
Step down saat gejala telah teratasi
Pengukuran serial terhadap elektrolit
Pemberian farmakoterapi sesuai indikasi (tabel c)
Status Volume Simtomatik berat Salin hipertonik ± diuretik
Rate koreksi : 1-2 mEq/l/jam sampai gejala mayor mereda
Simtomatik ringan atau sedang
Salin isotonik ± diuretik
Rate koreksi : 0,5-1 mEq/l/jam sampai asimtomatik
Hipervolemik Asimtomatik Restriksi H2O bebas sampai 0,5-1 l/hari ± diuretik
Rate koreksi : 0,5 mEq/l/jam
Euvolemik Asimtomatik Restriksi H2O bebas sampai 0,5-1 l/hari
Rate koreksi : 0,5 mEq/l/jam
Hipovolemik Asimtomatik Salin isotonik
Rate koreksi : 0,5 mEg/l/jam