BAB II DASAR TEORI - repository.uksw.edu · Multiplexing (OFDM) karena setiap pengguna diberikan...

15
5 BAB II DASAR TEORI 2.1. Sistem Multicarrier Code Divison Multiple Access (MC-CDMA) MC-CDMA merupakan teknik meletakkan isyarat yang akan dikirimkan dengan menggunakan beberapa frekuensi pembawa (subpembawa). Sistem ini melakukan proses penebaran (spreading) pada ranah frekuensi. MC-CDMA digambarkan sebagai sistem Direct Sequence - Code Division Multiple Access (DS-CDMA) yang diikuti oleh sebuah Inverse Fast Fourier Transform (IFFT). MC-CDMA juga dapat dianggap sebagai Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM) karena setiap pengguna diberikan subpembawa berbeda yang orthogonal untuk mengirim data. Dengan mengirimkan tiap bit secara bersamaan pada beberapa subpembawa, MC-CDMA juga merupakan suatu bentuk teknik diversitas frekuensi. Gambar 2.1. Pemancar dan Penerima Sistem MC-CDMA [1].

Transcript of BAB II DASAR TEORI - repository.uksw.edu · Multiplexing (OFDM) karena setiap pengguna diberikan...

  • 5

    BAB II

    DASAR TEORI

    2.1. Sistem Multicarrier Code Divison Multiple Access (MC-CDMA)

    MC-CDMA merupakan teknik meletakkan isyarat yang akan dikirimkan

    dengan menggunakan beberapa frekuensi pembawa (subpembawa). Sistem ini

    melakukan proses penebaran (spreading) pada ranah frekuensi. MC-CDMA

    digambarkan sebagai sistem Direct Sequence - Code Division Multiple Access

    (DS-CDMA) yang diikuti oleh sebuah Inverse Fast Fourier Transform (IFFT).

    MC-CDMA juga dapat dianggap sebagai Orthogonal Frequency Division

    Multiplexing (OFDM) karena setiap pengguna diberikan subpembawa berbeda

    yang orthogonal untuk mengirim data. Dengan mengirimkan tiap bit secara

    bersamaan pada beberapa subpembawa, MC-CDMA juga merupakan suatu bentuk

    teknik diversitas frekuensi.

    Gambar 2.1. Pemancar dan Penerima Sistem MC-CDMA [1].

  • 6

    Gambar 2.1. menunjukkan skema sistem MC-CDMA. Data masukan

    diperbanyak pada blok copier dan ditebar dengan kode m-sequence. Kemudian

    tiap cabang dimodulasi dengan sebuah frekuensi pembawa dan dijumlahkan

    sebelum dikirimkan. Pada penerima, isyarat yang diterima akan didemodulasi dan

    dilakukan despreading dengan kode m-sequence untuk mengembalikan bentuk

    isyarat seperti sebelum ditebar. Kemudian hasilnya dijumlahkan dan akan didapat

    isyarat keluarannya. MC-CDMA memiliki keunggulan dalam mengatasi

    peredupan akibat jalur jamak yang dapat mengakibatkan gangguan yang bersifat

    merusak isyarat informasi yang dikirimkan pada penerima.

    2.1.1. Kode Penebar m-sequence

    Maximal-length shift register sequence (m-sequence) memiliki panjang

    data n = 2m – 1 bit. Kode penebar m-sequence merupakan salah satu jenis kode

    Pseudo Noise (PN). Kode ini dapat dibangkitkan dari umpan balik register

    penggeser (feedback shift register) berdasarkan tingkat registernya. Contoh

    pembangkit kode m-sequence ditunjukkan pada Gambar 2.2. Bit biner digeser

    sepanjang tingkat yang berbeda dalam register, keluaran pada tingkat terakhir dan

    tingkat pertama dijumlahkan menggunakan gerbang logika XOR dan diumpan ke

    tingkat pertama untuk pergeseran tingkat berikutnya [1].

    Gambar 2.2. m-stage shift register.

    Keluaran tingkat akhir merupakan kode m-sequence yang dimaksud,

    misalnya untuk empat register dan inisialisasi tahap awal adalah [1,1,1,1], maka

    proses pembentukan kode m-sequence dapat dilihat pada Tabel 2.1.

  • 7

    Tabel 2.1. Proses pembentukan m-sequence.

    Shift ke- S1 S2 S3 S4 Keluaran

    0 1 1 1 1 1

    1 0 1 1 1 1

    2 1 0 1 1 1

    3 0 1 0 1 1

    4 1 0 1 0 0

    5 1 1 0 1 1

    6 0 1 1 0 0

    7 0 0 1 1 1

    8 1 0 0 1 1

    9 0 1 0 0 0

    10 0 0 1 0 0

    11 0 0 0 1 1

    12 1 0 0 0 0

    13 1 1 0 0 0

    14 1 1 1 0 0

    15 1 1 1 1 1

    Berdasarkan Tabel 2.1, dengan m = 4, kondisi register kembali ke awal

    dan mulai dari tahap awal, keluaran register setiap siklus tahapan berupa 15 bit

    kode. Dengan masukan bit awal [1,1,1,1] kode keluaran yang dihasilkan adalah

    [1,1,1,1,0,1,0,1,1,0,0,1,0,0,0].

    2.1.2. Fast Fourier Transform (FFT) dan Inverse Fast Fourier Transform (IFFT)

    FFT digunakan untuk mengubah isyarat ranah waktu ke ranah frekuensi.

    Persamaan FFT dinyatakan dengan persamaan berikut :

    𝑥 𝑘 = 𝑥 𝑛 sin 2𝜋𝑘𝑛

    𝑁

    𝑁−1

    𝑛=0

    + 𝑗 𝑥 𝑛 cos 2𝜋𝑘𝑛

    𝑁

    𝑁−1

    𝑛=0

    (2.1)

  • 8

    IFFT digunakan untuk mengembalikan spektrum dalam ranah frekuensi

    menjadi bentuk isyarat dalam ranah waktu. Persamaan IFFT dinyatakan dengan

    persamaan :

    𝑋 𝑛 = 𝑥 𝑘 sin 2𝜋𝑘𝑛

    𝑁

    𝑁−1

    𝑛=0

    − 𝑗 𝑥 𝑘 cos 2𝜋𝑘𝑛

    𝑁

    𝑁−1

    𝑛=0

    2.2

    dengan :

    N = jumlah point IFFT (subpembawa total);

    x(k) = spektrum frekuensi ke – k; dan

    x(n) = isyarat pada domain waktu.

    2.1.3. Equal Gain Combining (EGC)

    Diversitas ruang (space diversity) atau juga dikenal sebagai diversitas

    antena (antenna diversity) merupakan salah satu bentuk diversitas yang paling

    banyak digunakan dalam sistem nirkabel. Sistem nirkabel konvensional terdiri

    dari antena stasiun pemancar (base station) dan antena bergerak (mobile). Adanya

    jalur langsung antara pemancar dan penerima tidak menjamin ketiadaan hamburan

    yang terjadi pada isyarat yang dipancarkan.

    Diversitas ruang diimplementasikan dengan menggunakan antena jamak

    pada penerima. Keuntungan menggunakan diversitas ruang adalah diversity gain.

    Diversity gain terjadi karena isyarat mengalami propagasi jalur jamak sehingga

    terjadi penggabungan beberapa lintasan isyarat pada penerima. EGC merupakan

    salah satu teknik penggabung dengan isyarat yang diterima diberi bobot yang

    sama dan disamakan fasenya.

    2.2. Sistem Multiple Input Multiple Output (MIMO)

    2.2.1. Konsep Sistem MIMO

    Sistem komunikasi nirkabel terdiri dari pemancar, kanal radio, dan

    penerima. Sistem komunikasi yang terdiri dari M antena pemancar dan N antena

    penerima disebut dengan sistem MIMO. Penggunaan antena jamak merupakan

  • 9

    metode yang tepat untuk menjangkau teknik spatial diversity sehingga dapat

    mengurangi adanya efek peredupan tanpa harus melebarkan pita.

    Sistem MIMO dapat dinyatakan dengan menggunakan model diskrit

    sebagai berikut.

    𝑦1⋮

    𝑦𝑁 =

    ℎ11 ⋯ ℎ1𝑀⋮ ⋱ ⋮

    ℎ𝑁1 ⋯ ℎ𝑁𝑀

    𝑥1⋮

    𝑥𝑀 +

    𝑛1⋮

    𝑛𝑁 (2.3)

    Atau secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut :

    𝑦 = 𝐻. 𝑥 + 𝑛 (2.4)

    dengan :

    M = jumlah antena pemancar;

    N = jumlah antena penerima;

    y = isyarat yang diterima sejumlah N antena;

    x = isyarat yang dipancarkan sejumlah M antena;

    n = derau pada N antena; dan

    H = kanal komunikasi radio yang menghubungkan pemancar dan penerima.

    Dari perumusan tersebut dapat digambarkan lebih lanjut pemodelan sistem

    MIMO pada Gambar 2.3.

  • 10

    Gambar 2.3. Sistem MIMO [2].

    Jika isyarat yang dikirimkan antena adalah x1, x2, x3, ..., xM , maka isyarat yang

    diterima oleh antena penerima adalah :

    𝑦1 = ℎ11𝑥1 + ℎ12𝑥2 + ⋯ + ℎ1𝑀𝑥𝑀

    𝑦2 = ℎ21𝑥1 + ℎ22𝑥2 + ⋯ + ℎ2𝑀𝑥𝑀

    ⋮𝑦𝑁 = ℎ𝑁1𝑥1 + ℎ𝑁2𝑥2 + ⋯ + ℎ𝑁𝑀𝑥𝑀

    (2.5)

    Dengan M adalah jumlah antena pengirim dan N adalah jumlah antena penerima.

    Model dasar sistem MIMO terdiri dari dua jenis yaitu sebagai berikut.

    1. Diversity Gain

    MIMO dengan jenis diversity mempunyai tujuan utama mengurangi galat

    akibat peredupan dan derau. Ciri khas jenis diversity ini adalah data yang

    dipancarkan sama pada semua antena pemancar. Pertama data awal akan

    direplika dan dikirimkan ke masing-masing antena pemancar. Pembentukan

    replika isyarat ini bertujuan untuk meminimalkan kerusakan isyarat informasi

    asli akibat peredupan jalur jamak, sehingga di penerima minimal ada satu

    isyarat dengan peredupan minimal [2].

    2. Multiplexing Gain

    MIMO jenis multiplexing mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan

    kapasitas kanal. Kapasitas kanal didefinisikan sebagai laju informasi maksimal

    yang dapat dikirim dengan galat minimal. Jika kapasitas kanal meningkat,

    maka laju data yang didapat juga meningkat. Ciri jenis multiplexing ini adalah

  • 11

    data pada tiap antena pemancar berbeda-beda. Jenis multiplexing yang

    diterapkan pada sistem MIMO ini adalah spatial multiplexing yaitu data yang

    tak gayut pada masing-masing antena dipancarkan secara simultan pada lebar

    pita yang sama tetapi menggunakan space yang berbeda [2].

    2.2.2. Space Time Block Code (STBC)

    Besarnya peningkatan kualitas isyarat yang diterima antena penerima

    diukur dengan parameter diversity gain. Pada diversitas konvensional, nilai

    diversity gain akan semakin meningkat dengan semakin besarnya jumlah antena

    yang digunakan pada penerima. Penggunaan STBC pada sistem MIMO dengan M

    antena pengirim dan N antena penerima meningkatkan diversity gain menjadi M x

    N.

    Teknik STBC pada sistem MIMO dikembangkan oleh Alamouti (1998)

    yang kemudian dikenal sebagai Alamouti-STBC. Teknik ini menggunakan M = 2

    antena pemancar dan N = 2 antena penerima. Matriks generator untuk kode

    Alamouti ini diberikan sebagai :

    𝐺 = 𝑥1 𝑥2

    −𝑥2∗ 𝑥1

    ∗ (2.6)

    dengan :

    x1 = isyarat yang ditransmisikan; dan

    x2 = isyarat yang ditransmisikan.

    Isyarat x1 dan x2 ditransmisikan pada dua antena dalam slot waktu pertama, dan

    isyarat – x2 * dan x1* ditransmisikan pada dua antena dalam slot waktu kedua.

    Sehingga, kedua isyarat x1 dan x2 ditransmisikan dalam dua slot waktu [3]. Skema

    transmisi Alamouti-STBC ditunjukkan pada Gambar 2.4 dan notasi isyarat

    terimanya ditunjukkan pada Tabel 2.2.

  • 12

    Gambar 2.4. Skema Transmisi Alamouti-STBC [5].

    Tabel 2.2. Notasi Isyarat yang Diterima Menurut Skema Alamouti 2x2.

    Rx1 Rx2

    Saat t 𝑦11 𝑦21

    Saat t + T 𝑦12 𝑦22

    Berdasarkan skema transmisi Alamouti-STBC di atas, persamaan isyarat yang

    diterima pada Rx1 adalah :

    𝑦11 = ℎ11𝑥1 + ℎ12𝑥2 + 𝑛11 (2.7)

    𝑦12 = −ℎ11𝑥2∗ + ℎ12𝑥1

    ∗ + 𝑛12 (2.8)

    Persamaan isyarat yang diterima pada Rx2 adalah :

    𝑦21 = ℎ21𝑥1 + ℎ22𝑥2 + 𝑛21 (2.9)

    𝑦22 = −ℎ21𝑥2∗ + ℎ22𝑥1

    ∗ + 𝑛22 (2.10)

    Sehingga, isyarat yang diterima pada antena Rx1 dan antena Rx2 jika dinyatakan

    dalam bentuk matriks adalah sebagai berikut :

    𝑦11𝑦12

    = 𝑥1 𝑥2

    −𝑥2∗ 𝑥1

    ∗ ℎ11ℎ12

    + 𝑛11𝑛12

    (2.11)

  • 13

    dan

    𝑦21𝑦22

    = 𝑥1 𝑥2

    −𝑥2∗ 𝑥1

    ∗ ℎ21ℎ22

    + 𝑛21𝑛22

    (2.12)

    dengan :

    𝑦11𝑦12

    = isyarat yang diterima antena 1;

    𝑦21𝑦22

    = isyarat yang diterima antena 2;

    ℎ11 ℎ12ℎ21 ℎ22

    = tanggapan impuls kanal yang dilalui;

    𝑛11𝑛12

    = derau AWGN pada kanal; dan

    𝑛21𝑛22

    = derau AWGN pada kanal.

    Dengan menggunakan Persamaan (2.7), (2.8), (2.9), dan (2.10),

    pengawasandi STBC akan menerima kembali dua isyarat yang dikirimkan sebagai

    berikut :

    𝑥1 = ℎ11∗ 𝑦11 + ℎ12𝑦12

    ∗ + ℎ21∗ 𝑦21 + ℎ22𝑦22

    ∗ (2.13)

    𝑥2 = ℎ12∗ 𝑦11 − ℎ11𝑦12

    ∗ + ℎ22∗ 𝑦21 − ℎ21𝑦22

    ∗ (2.14)

    2.2.3. Penyandi Konvolusional

    Terdapat dua tipe utama kode koreksi kesalahan yang umum digunakan

    yaitu kode balok dan kode konvolusional. Dengan kode balok (n, k) , bit informasi

    dikelompokkan menjadi blok-blok sepanjang k bit, dan kemudian disandikan

    untuk membentuk kode-kode biner sepanjang n bit. Sedangkan dengan kode

    konvolusional, kode ini dibangkitkan dengan melewatkan bit-bit informasi

    melalui sebuah shift register.

    Kode konvolusional sangat praktis. Beberapa metode yang berbeda dapat

    digunakan untuk menjabarkan proses penyandi konvolusional, di antaranya

    diagram koneksi, diagram keadaan (state diagram), diagram pohon (tree

    diagram), dan diagram teralis (trellis diagram) [10].

  • 14

    Kode konvolusional memiliki coderate yang merupakan nilai

    perbandingan antara jumlah masukan dan keluaran pada waktu yang sama.

    Coderate ½ berarti 1 bit masukan dipetakan menjadi 2 bit keluaran.

    Sebuah penyandi konvolusional (2, 1, 3) sederhana dengan n = 2, k = 1,

    dan m = 3 ditunjukkan pada Gambar 2.5.

    Gambar 2.5. Penyandi Konvolusional dengan Coderate ½ [10].

    2.2.4. Interleaver

    Interleaving atau teknik penyisipan dipergunakan untuk mengatasi isyarat

    yang melemah sepanjang perambatan. Pada umumnya, kode yang dirancang

    untuk koreksi kesalahan bit dapat bekerja dengan baik, tetapi bila terjadi

    pelemahan atau degradasi isyarat secara mendalam, dan aliran bit yang panjang

    atau adanya seburan kesalahan (burst error) dapat menyebabkan fungsi koreksi

    kesalahan menjadi tidak bekerja dengan sebagaimana mestinya. Interleaving

    adalah teknik pengacak bit pada aliran informasi agar seburan kesalahan pada

    kanal dapat dikonversikan sebagai kesalahan acak [8].

    Interleaver akan menyusun kembali data dengan cara data yang berurutan

    akan dibagi menjadi beberapa blok berbeda. Interleaver berbentuk matriks. Aliran

    bit masukan akan mengisi matriks tersebut dalam baris demi baris. Keluaran

    interleaver merupakan bit-bit yang tersusun secara kolom.

  • 15

    Gambar 2.6. Aliran Bit pada Interleaver [8].

    2.2.5. Modulasi Quadrature Phase Shift Keying (QPSK)

    Modulasi QPSK bertujuan untuk merubah karakteristik isyarat informasi

    sebelum ditumpangkan pada frekuensi pembawa. Modulasi QPSK menggunakan

    pergeseran fase kelipatan π/2 (90°) sesuai dengan konstelasi QPSK pada Gambar

    2.7.

    𝑠 𝑡 =

    𝐴 cos 2𝜋𝑓𝑐𝑡 +

    𝜋

    4 11

    𝐴 cos 2𝜋𝑓𝑐𝑡 +3𝜋

    4 01

    𝐴 cos 2𝜋𝑓𝑐𝑡 −3𝜋

    4 00

    𝐴 cos 2𝜋𝑓𝑐𝑡 −𝜋

    4 10

    (2.15)

    Gambar 2.7. Konstelasi QPSK [7].

  • 16

    2.2.6. Pengawasandi Viterbi

    Sejumlah algoritma koreksi galat telah dikembangkan untuk sandi-sandi

    konvolusi. Salah satu yang paling penting adalah sandi Viterbi. Pada intinya,

    teknik Viterbi membandingkan runtunan data yang diterima dengan semua

    kemungkinan runtunan data yang dipancarkan. Algoritma ini akan memilih satu

    jalur melalui teralis yang runtunan data tersandinya berbeda dengan runtunan data

    yang diterima seminimal mungkin. Setelah satu jalur sah dipilih sebagai jalur

    yang benar, pengawasandi dapat memulihkan bit-bit data masukan dari bit-bit

    sandi keluaran [7].

    Algoritma Viterbi pada prinsipnya sama dengan teknik pengawasandi

    berbasis jarak Hamming minimum. Namun beban komputasi di dalam proses

    dapat diminimalkan dengan memanfaatkan struktur diagram teralis seperti yang

    ditunjukkan pada Gambar 2.8.

    Gambar 2.8. Struktur Diagram Teralis [10].

    Dengan menggunakan algoritma Viterbi dan memanfaatkan struktur

    diagram teralis ini, data yang telah dikodekan dengan penyandi konvolusional dan

    mengalami derau sehingga terdapat galat dapat dikoreksi.

    2.2.7. Frekuensi Doppler

    Pada sistem komunikasi bergerak, adanya pergerakan pengguna

    menyebabkan terjadinya pergeseran Doppler sehingga terjadi frekuensi modulasi

    acak. Frekuensi Doppler merupakan parameter yang penting untuk memodelkan

    kanal Rayleigh Fading. Berdasarkan parameter yang digunakan, kecepatan

  • 17

    kendaraan dan frekuensi pembawa, frekuensi Doppler dihitung dengan persamaan

    berikut :

    𝑓𝑑 =𝑣

    𝜆 (2.16)

    dengan :

    v = kecepatan kendaraan; dan

    λ = panjang gelombang pembawa.

    2.2.8. Kanal Multipath Rayleigh Fading

    Pada sistem komunikasi nirkabel, sering terjadi gangguan seperti pantulan

    (reflection), difraksi (difraction), dan hamburan (scattering) yang mempengaruhi

    isyarat yang diterima. Hal ini menyebabkan kuat isyarat yang diterima oleh

    penerima akan bervariasi dan merupakan superposisi dari isyarat yang berbeda

    fase, waktu kedatangan serta daya isyarat terima. Fenomena inilah yang disebut

    dengan multipath fading (peredupan jalur jamak) [6].

    Multipath (jalur jamak) adalah fenomena propagasi yang mengakibatkan

    isyarat sampai pada penerima dengan dua atau lebih pola. Hal ini disebabkan

    karena adanya juga pantulan dari objek terestrial, seperti gunung, pohon dan

    bangunan. Sedangkan fading (peredupan) adalah fenomena terjadinya variasi

    amplitudo dan/atau fase relatif pada satu atau lebih komponen frekuensi isyarat

    yang diterima. Peredupan disebabkan perubahan karakteristik jalur propagasi

    terhadap waktu. Pada komunikasi nirkabel dengan kanal jalur jamak, model

    statistik yang sering digunakan adalah distribusi Rayleigh [6].

    Distribusi Rayleigh biasa digunakan untuk menjelaskan perubahan waktu

    selubung isyarat peredupan datar (flat fading) yang diterima, atau selubung satu

    komponen jalur jamak. Diketahui bahwa selubung jumlah antara dua isyarat derau

    gaussian membentuk distribusi Rayleigh. Gambar 2.9. mengilustrasikan fenomena

    jalur jamak. Distribusi Rayleigh mempunyai fungsi kerapatan probabilitas :

    𝑃 𝑟 =𝑟

    𝜎2𝑒𝑥𝑝 −

    𝑟2

    2𝜎2 (2.17)

  • 18

    dengan :

    = nilai rms aras isyarat yang diterima; dan

    2 = daya waktu rata-rata isyarat yang diterima.

    Gambar 2.9. Ilustrasi Isyarat Jalur Jamak [1].

    Mean excess delay, rms delay spread, dan excess delay spread merupakan

    tiga parameter kanal jalur jamak yang dapat ditentukan dari Power Delay Profile

    (PDP). Ada tiga jenis tipe PDP yang dapat digunakan untuk memodelkan kanal

    jalur jamak yaitu tipe urban, suburban, dan rural. Tabel 2.3 menunjukkan PDP

    untuk tipe urban.

    Tabel 2.3. PDP Untuk Tipe Urban [1].

    Tipe urban

    Delay (μs) Power

    0.0 0.189

    0.2 0.379

    0.5 0.239

    1.6 0.095

    2.3 0.061

    5.0 0.037

  • 19

    2.2.9. Derau AWGN

    Additive White Gaussian Noise (AWGN) merupakan derau yang sering

    terjadi pada sistem komunikasi. AWGN juga disebut derau putih karena spektrum

    frekuensinya tersebar secara merata pada tiap-tiap nilai frekuensi (seperti cahaya

    putih). Distribusi Gaussian memiliki model matematis sebagai berikut :

    𝑓 𝑥 =1

    2𝜋𝜎2𝑒𝑥𝑝 −

    𝑥−𝜇 2

    2𝜎2 , −∞ ≤ 𝑥 ≤ ∞ (2.18)

    dengan

    = standar deviasi;

    2 = variansi; dan

    μ = rerata.