BAB II DASAR TEORIdigilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-7256-3102100037-bab2.pdf · BAB II...

36
BAB II DASAR TEORI 2.1 BATHYMETRI Bathymetri merupakan kegiatan pengumpulan data kedalaman dasar laut dengan untuk menunjukan kontur kedalaman dasar laut diukur dari posisi 0.00 m LWS. Selain itu peta Bathymetri juga berfungsi untuk mengetahui kedalaman dasar laut sehingga dalam perencanaan dermaga, kapal dapat disediakan kedalaman yang cukup untuk beroperasi. Pengukurab Bathymetri dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain menggunakan Theodolit, EDM (Electronic Data Measurement) atau yang lebih teliti menggunakan GPS (Geographic Positioning System) sebagai alat ukut jarak jauh. Sedangkan alat ukur kedalaman menggunakan Echosounder beserta alat bantu lainnya. Secara singkat pelaksanaan survey bathymetri dapat dijelaskan sebagai berikut : Menempatkan patok-patok sepanjang pantai dengan tonggak kayu sejarak 10- 25m tergantung dari ketelitian yang diharapkan. Patok-patok ini berfungsi sebagai pedoman jalur pengukuran oleh kapal. Menempatkan masing-masing theodolit pada titik-titik di darat yang telah ditentukan koordinatnya. Kemudian kapal yang membawa echosounder bergerak dengan kecepatan konstan untuk melakukan pengukuran kedalaman. Pada setiap 10m perlu dibidik dan dibaca posisinya agar dapat diketahui posisi kapal dan kedalaman perairan pada posisi tersebut. (Gambar 2.1 ; 2.2) Jalur pengukuran perlu diusahakan selalu lurus terhadap terhadap titik patok di tepi pantai. Pada akhir survey dilakukan gerakan melintang dari posisi patok sebagai kontrol atas akurasi pembacaan. Hasil pengukuran diplot kedalam kertas A0 atau A1, dan dibuat peta bathymetri dengan skala tertentu (umumnya 1:1000 atau 1:500). Garis kontur pada pantai digambar untuk tiap interval -0.5 sampai -1.0 mLWS . II - 1

Transcript of BAB II DASAR TEORIdigilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-7256-3102100037-bab2.pdf · BAB II...

BAB II

DASAR TEORI

2.1 BATHYMETRI

Bathymetri merupakan kegiatan pengumpulan data kedalaman dasar laut

dengan untuk menunjukan kontur kedalaman dasar laut diukur dari posisi 0.00 m

LWS. Selain itu peta Bathymetri juga berfungsi untuk mengetahui kedalaman dasar

laut sehingga dalam perencanaan dermaga, kapal dapat disediakan kedalaman yang

cukup untuk beroperasi.

Pengukurab Bathymetri dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara

lain menggunakan Theodolit, EDM (Electronic Data Measurement) atau yang lebih

teliti menggunakan GPS (Geographic Positioning System) sebagai alat ukut jarak

jauh. Sedangkan alat ukur kedalaman menggunakan Echosounder beserta alat bantu

lainnya.

Secara singkat pelaksanaan survey bathymetri dapat dijelaskan sebagai berikut :

Menempatkan patok-patok sepanjang pantai dengan tonggak kayu sejarak 10-

25m tergantung dari ketelitian yang diharapkan. Patok-patok ini berfungsi

sebagai pedoman jalur pengukuran oleh kapal.

Menempatkan masing-masing theodolit pada titik-titik di darat yang telah

ditentukan koordinatnya.

Kemudian kapal yang membawa echosounder bergerak dengan kecepatan

konstan untuk melakukan pengukuran kedalaman. Pada setiap 10m perlu

dibidik dan dibaca posisinya agar dapat diketahui posisi kapal dan kedalaman

perairan pada posisi tersebut. (Gambar 2.1 ; 2.2)

Jalur pengukuran perlu diusahakan selalu lurus terhadap terhadap titik patok di

tepi pantai. Pada akhir survey dilakukan gerakan melintang dari posisi patok

sebagai kontrol atas akurasi pembacaan.

Hasil pengukuran diplot kedalam kertas A0 atau A1, dan dibuat peta

bathymetri dengan skala tertentu (umumnya 1:1000 atau 1:500). Garis kontur pada

pantai digambar untuk tiap interval -0.5 sampai -1.0 mLWS .

II - 1

Theodolit b Theodolit a

Echosounding

Kapal Survey

Gambar 2.1 – Metode pelaksanaan survey bathymetri

α β

20 m 20 m 20 m 20 m 20 m 20 m

Theodolitt A Theodolitt B

Ket : Pengukuran Awal

Arah kapal utk pengontrol titik

Theodolit

Kapal Survey

Titik pengukuran

`

Gambar 2.2 – Sketsa Jalur pengukuran Bathymetri (Ginting 2003)

2.2 ANGIN

Angin adalah udara yang bergerak dari daerah dengan tekanan udara

tinggi ke daerah dengan tekanan udara rendah. Data angin berfungsi untuk

mengetahui kecepatan angin tepat di rencana lokasi pelabuhan yang berguna untuk

II - 2

mengetahui tekanan angin pada kapal. Data dapat diperoleh dari stasiun

metereologi terdekat atau dari bandar udara terdekat.

Atau bila diperlukan dilakukan pengukuran langsung dengan

anemometer dan peralatan pendukungnya yang disurvey selama minimal setahun

terus menerus. Analisa data dilakukan dengan membuat wind rose yaitu statistik

distribusi kecepatan dan arah angin serta prosentasenya.

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan anemometer yang dipasang

10 meter diatas permukaan perairan dan recodernya di pasang di darat.

Pengamatan dilakukan selama sepanjang tahun dengan penggantian kertas grafik

dan asesoris lainnya tiap 1 bulan.

2.3 ARUS

.Arus yang terjadi di sungai atau pantai terjadi oleh pengaruh yang

sifatnya lokal seperti akibat pergerakan angin, perbedaaan kerapatan/densitas air,

perbedaan suhu air, perbedaan pasang surut dan perbedaaan ketinggian muka tanah

dasar

Salah satu metode untuk mendapatkan kecepatan arus adalah dengan

menggunakan alat Currentmeter. Pengambilan data dilakukan sedikitnya di tiga

titik secara bersamaan, agar pola arus yang ada dapat terwakili. Setiap pengukuran

dilakukan dalam tiga pengamatan, yaitu pada kedalaman 0.2d, 0.6d, dan 0.8d

dimana d adalah kedalaman perairan pada posisi pengukuran.

Analisa data yang dilakukan untuk data arus adalah dengan menganalisa

hubungan diagram kecepatan arus dengan kedalaman. Selain itu juga dilakukan

analisa untuk mengetahui kecepatan dan arah arus maksimum yang terjadi.

Analisa data ini bertujuan untuk mengetahui tekanan arus serta kelayakannya

untuk kapal berlabuh, dimana disyaratkan kecepatan maksimum arus sebesar 4

knot atau 2 m/dt

2.4 PASANG SURUT

Pasang surut terjadi terutama karena pengaruh posisi bumi terhadap

bulan dan matahari. Perubahan posisi ini dapat menyebabkan naiknya muka air laut

II - 3

yang disebut pasang (High Water Spring = HWS) dan turunnya muka air laut yang

disebut surut (Low Water Spring = LWS)

Data pasang surut ini digunakan untuk mengetahui posisi muka air laut

dan pola pasang surutnya. Selanjutnya posisi air surut terendah (LWS) berdasar

pola pasang surut setempat digunakan sebagai acuan untuk penetapan elevasi

kontur tanah dan elevasi seluruh bangunan, sehingga kondisi kedalaman perairan

dan elevasi dari struktur dan wilayah darat dapat ditentukan.

2.5 DATA TANAH

Penyelidikan tanah (survey tanah) dilakukan untuk perencanaan

bangunan bawah dermaga, trestle dan reklamasi. Metode survey yang biasa

digunakan adalah boring untuk pengambilan contoh tanah yang akan

dikombinasikan dengan SPT untuk mengetahui daya dukung tanah tersebut.

2.6 EVALUASI STRUKTUR CAISSON

Struktur yang ada pada dermaga eksisting ini adalah struktur caisson

Pondasi caisson adalah jenis pondasi dalam yang berbentuk bagian-bagian elemen

beton bertulang dengan penampang bulat atau persegi. (Untung ,2001)

Evaluasi yang dilakukan pada tugas akhir ini hanya akan memeriksa

stabilitas eksternal struktur caisson dermaga. Untuk pemeriksaan stabilitas internal

struktur tidak dilakukan karena tidak tersedianya data yang lengkap Adapun

kontrol stabilitas eksternal yang dilakukan adalah : kontrol geser, guling,

setllement, sliding dan daya dukung.

2.6.1 KONTROL GESER

Kontrol geser dilakukan dengan membandingkan antara besarnya gaya

geser (horizontal) yang diakibatkan adanya tekanan tanah, tekanan air maupun

komponen horizontal tanah akibat gempa dengan gaya gaya penahan.

Kontrol geser dilakukan dengan rumusan :

SFgeserGaya

penahanGaya

.

.(1.5) ……………..2.1

II - 4

Dimana :

Gaya penahan = (Wtot x f) + tekanan tanah pasif(Pps)

f = koefisien gesek antara beton dengan tanah = 0.7

Wtot = beban vertikal total pada pondasi dikurangi uplift

Gaya geser = beban horisontal yang bekerja pada pondasi

2.6.2 KONTROL GULING

Kontrol guling dilakukan dengan membandingkan momen guling

terhadap titik guling dengan momen penahan. Dimana perbandingannya tidak

boleh lebih dari 1.2 yang merupakan safety factor.

Kontrol guling dilakukan dengan rumusan :

gulingMomen

penahanMomen

.

.> SF (2)................................................2.2

2.6.3 KONTROL SETTLEMENT

Penambahan beban vertikal di atas permukaan tanah akan menyebabkan

penurunan (settlement) dari tanah yang bersangkutan menyebabkan timbulnya regangan

Besarnya penurunan yang terjadi pada lapisan tanah dasar akibat beban yang

berada di atasnya adalah merupakan penjumlahan dari tiga komponen penurunan yaitu :

scit SSSS …………………………………………………. 2.3

dimana:

St = Total settlement

Si = Immediate settlement

Sc = Primary/consolidation settlement

Ss = Secondary settlement (diabaikan)

Pemampatan Segera (Immediate Settlement)

Pemampatan segera untuk pondasi yang panjang dan tinggi lapisan tanah

terbatas (H) menggunakan prinsip dasar teori dari Biarez dan Giroud. Persamaan untuk

menghitung besarnya pemampatan segera adalah sebagai berikut:

Si = PH E

ap2 ...................................................... 2.4

II - 5

dimana:

= a2

H

PH = harga yang diperoleh dari Gambar 2.3

q = beban terbagi rata dari struktur diatas

E = modulus Young, dapat dilihat pada Tabel 2.1

= koefisien poisson, dapat dilihat pada Tabel 2.1

Gambar 2.3 – Harga Ph

Tabel 2.1– Harga E dan (Braja. M. Das)

Jenis Tanah Modulus Young

(kN/m2) Koef. Poisson

Pasir lepas Pasir agak padat

10350 – 27600 0,2 – 0,4 0,25 – 0,4

Pasir padat Pasir berlanau

34500 – 69000 0,3 – 0,45 0,2 – 0,4

Lempung lembek Lempung agak kaku

1380 – 3450 0,15 – 0,25 0,2 – 0,5

Lempung keras 5865 – 13800 - Sumber : Mekanika Tanah, Braja M. Das

II - 6

Pemampatan Konsolidasi Primer (Primary Consolidation Settlement)

Untuk menghitung besarnya settlement akibat konsolidasi terlebih dahulu harus

diketahui jenis konsolidasi yang terjadi. Jenis konsolidasi yang terjadi ada 2, yaitu

Normally Consolidation dan Over Consolidation.

Penentuan suatu tanah dasar mengalami jenis konsolidasi yang terjadi adalah

dengan melihat harga Over Consolidation Ratio (OCR), yaitu:

'Po

'PcOCR

Tanah mengalami normally consolidation:

'P

P'Plog

e1

HCcSc

o

o

o

............................................... 2.5

Tanah mengalami over consolidation:

Untuk (Po’ + P) Pc’

'P

P'Plog

e1

HCsSc

o

o

o

................................................. 2.6

Untuk (Po’ + P) > Pc’

'P

P'Plog

e1

HCc

'P

P'Plog

e1

HCsSc

c

o

oo

o

o

.......... 2.7

dimana:

Sc = penurunan total

Cc = indeks kompresi

Cs = indeks swelling

H = tebal lapisan pasir

eo = angka pori awal

Po’ = tekanan efektif overburden

P = penambahan tekanan vertikal

c’ = tekanan efektif konsolidasi

2.6.4 KONTROL SLIDING

Kontrol stabilitas terhadap sliding perlu dilakukan untuk mengetahui

apakah struktur caisson dermaga aman terhadap kelongsoran. Dalam perhitungan

II - 7

sliding digunakan program bantu XSTABLE dimana program ini akan

memunculkan beberapa angka keamanan berdasarkan input data yang diprogram.

2.6.5 DAYA DUKUNG

Pada perhitungan daya dukung ponasi caisson dapat digunakan :

SFt

qult

(3) ……………………………………2.8

dimana :

qult = daya dukung pondasi

t = tegangan yang terjadi pada dasar pondasi akibat

beban

Perhitungan daya dukung berdasarkan rumusan menurut Terzaghi untuk

pondasi dengan dasar segi empat (L x B).

NqDfNcCL

BN

B

L

Bq .'.2.01

2'2.01

……………..2.9

Perhitungan tegangan yang terjadi pada dasar pondasi akibat beban,

menggunakan rumus :

W

M

A

Pt ……………………………………….2.10

dimana : P = Beban terpusat yang bekerja pada pondasi

A = Luasan pondasi

M = Momen yang bekerja pada pondasi

W = 1/6 . B2.L

2.7 KRITERIA PEMBEBANAN DERMAGA

Pembebanan dermaga terbagi atas dua yaitu beban vertikal dan beban

horizontal. Berikut ini akan dijabarkan kedua pembebanan tersebut :

2.7.1 BEBAN VERTIKAL

Beban vertikal pada struktur dermaga dan trestle terdiri dari :

II - 8

2.7.1.1 Beban mati (beban sendiri)

Beban mati (berat sendiri) merupakan beban-beban mati yang secara permanen

membebani konstruksi yaitu beban pelat, balok memanjang dan melintang, serta poer.

Untuk beban pelat, langkah yang akan diambil dalam menganalisanya adalah

distribusi beban dengan menghitung beban ekivalennya yang akan membebani balok.

Hal ini dilakukan untuk memudahkan pelaksanaan analisa strukturnya. Pada balok,

beban terbagi ratanya tergantung dari beban yang direncanakan, begitu juga dengan

poer. Kemudian semua beban tersebut dijadikan satu dalam berat sendiri.

Untuk sebagian besar beton bertulang, harga standard berat volume yang dipakai

adalah 2.4 t/m3 .

2.7.1.1 Beban hidup merata akibat muatan

Adalah beban merata yang diakibatkan oleh beban hidup yang ada diatas

dermaga, diambil sebesar 3,0 t/m2. Sedangkan pada saat gempa besarnya beban hidup

dihitung sebesar 1,5 t/m2.

2.7.1.2 Beban terpusat

Beban terpusat termasuk ke dalam beban hidup, dimana beban terpusat ini

merupakan beban roda-roda truk yang digunakan untuk pengangkutan barang dan

penumpang yang digunakan atau memasuki areal dermaga dan trestle.

Beban terpusat atau beban titik merupakan konfigurasi posisi dari roda. Besar

dan letak konfigurasi roda tersebut dapat dilihat pada gambar 2.5

II - 9

Gambar 2.4 – Posisi Beban pada Roda Truk

2.7.2 BEBAN HORISONTAL

Beban horizontal yang bekerja pada dermaga terdiri dari :

2.7.2.1 Gaya fender

Gaya fender merupakan gaya pukul kapal akibat kecepatan pada saat merapat

serta pergoyangan kapal oleh gelombang dan angin.

Gaya benturan kapal yang bekerja secara horizontal dapat dihitung berdasarkan

energi benturan kapal. Hubungan antara gaya dan energi benturan tergantung pada tipe

fender yang digunakan.

Gaya akibat kapal merapat di dermaga (berthing energy) yang diterima oleh

fender disebut juga gaya fender. Direncanakan dengan perumusan sebagai berikut :

Ef = g

WV

2 CE CH CS CC...............................................2.11

dimana :

Ef = total energi kinetik yang diserap fender (ton.m)

0.5 m

0.5 m

6 t 6 t 6 t 6 t

1.848 m 4.6 m

Tampak Samping Tampak Belakang

6 t 6 t0.2 m

0.2 m

1.848 m 4.6 m

Tampak Depan Tampak Atas

II - 10

W = displacement tonnage (ton)

merupakan berat total kapal dan muatannya pada saat kapal dimuati

sampai garis draft.

V = kecepatan merapat kapal, dipakai rekomendasi dari PIANC (m/dt)

g = percepatan gravitasi = 9,8 m/s2

CE =koefisien untuk efek eccentricity, merupakan koefisien perbandingan

antara energi yang tersisa akibat merapatnya kapal terhadap energi

kinetik waktu merapat.

))/((

12rlL

LCE

……………………………….2.12

dimana : L = jarak terpendek antara center of gravity (c.g) kapal

sampai ke titik tumbuknya (titik sentuh pertama kapal)

r = jari-jari perputaran dengan pusat c.g kapal, panjang jari-

jari dari c.g sampai titk tumbuk.

r = 0,25 x LOA

CC = efek bantalan air, efek ini timbul karena adanya massa air yan

terjepit antara posisi kapal merapat dengan tambatan.

= 0.8, apabila konstruksi wharf atau kade

= 1, apabila konstruksi open pier

CS = koefisien softness (0.9 – 1)

= 1, bila kapal baja

Cb = koefisien blok = 1+ aBLD

Ws

PP ……………………..2.13

CH = faktor hidrodinamika kapal, merupakan faktor untuk

memperhitungkan besarnya massa air, yang bergerak sekeliling

kapal dan massa air ini menambah besar massa kapal yang

merapat.

CH = 1 + B

D

dimana :

D = tinggi draft kapal (m)

B = lebar kapal (m)

II - 11

2.7.2.2 Gaya Bolder

Boulder merupakan gaya tarik atau tekan pada dermaga akibat pengikatan

kapal ketika merapatkan kapal. Sudut yang terjadi akibat penambatan kapal

menimbulkan gaya yang berbeda pada boulder. Dalam perencanaan ini diambil

harga yang memberi nilai maksimum, dengan sudut yang mempunyai nilai sinus

dan cosinus terbesar.Pada tabel 2.2 dapat dilihat besar gaya tarik pada boulder

untuk beberapa jenis kapal tertentu.

Tabel 2.2. Gaya Tarik pada Boulder

Gross Tonnage

Gaya Tarik pada Boulder (ton)

200 – 500

501 – 1.000

1.001 – 2.000

2.001 – 3.000

3.001 – 5.000

5.001 – 10.000

10.001 – 15.000

15.001 – 20.000

20.001 – 50.000

50.001 – 100.000

15

25

35

50

70

70

100

100

150

200

Sumber : Technical Standarts for Port and Harbour Facilities in Japan 2.7.2.3 Gaya angin dan arus

1. Tekanan Arus

PC = CC . γC . AC . VC2 / 2g...............................................2.14

dimana :

PC = tekanan arus pada kapal yang bertambat (ton)

γC = berat jenis air laut (= 1.025 t/m3)

AC = luasan kapal yang ada di bawah permukaan air (m2)

VC = kecepatan arus (m/dt)

CC = koefisien arus

= 1 – 1.5, untuk perairan dalam

II - 12

= 2, untuk kedalaman perairan = 2 x draft kapal

= 3, untuk kedalaman perairan = 1.5 x draft kapal

= 6, untuk kedalaman kapal yang mendekati draft kapal

2. Tekanan Angin

Pw = Cw . (Aw.sin2ø + Bw2.cos2ø ) Vw

2 / 2g………..2.15

dimana :

Pw = tekanan angin pada kapal yang tertambat

Cw = koefisien tekanan angin

= 1.3, bila angin tegak lurus sumbu memanjang kapal

= 0.9, bila angin melawan busur kapal

= 0.8, bila angin melawan buritan kapal

Aw = luas proyeksi arah memanjang kapal diatas air (m2)

Bw = luasan proyeksi arah muka kapal (m2)

ø = sudut arah datangnya angin terhadap centerline

Vw = kecepatan angin (m/dt)

2.7.3 KAPAL RENCANA

Pelabuhan baru yang akan dibangun di Terminal Mirah direncanakan

menggunakan system Ro-Ro (Roll on-Roll off) dimana sistem pemindahan barang

dilakukan secara horizontal .

Untuk itu kapal yang akan beroperasi di pelabuhan ini merupakan jenis kapal

Ro-Ro.(Gambar 2.6)

Gambar 2.5 Kapal Ro-Ro

II - 13

Sedangkan spesifikasi kapal yang akan beroperasi adalah sebagai berikut:

Tabel 2.3 Spesifikasi Kapal

Klasifikasi

"Ro-Ro Ship" 15.000 DWT

Strengthened for Heavy Cargo

Equipped for Carriage of Containers

SOLAS II-2, Reg. 54

Dimensi : Length o.a. 150 m

Breadth 25.2 m

Depth 12.55 m

Draught, max. 7 m

Kecepatan: (draught 7 m)

16.0 kts

Stern Ramp/Pintu:

MACOR, total breadth (up) 10.00 m

Drive way: Breadth(bottom) 6.50 m, clear height 6.20 m

Kapasitas Trailer di Ro\Ro deck Trailer capacity: 35 pcs.

2.7.4 BEBAN GEMPA

Perhitungan gempa didasarkan pada SNI 03-1726-2002 dengan analisa beban

statika equivalen :

V = tWR

ICV

.1 ...............................................2.16

dimana :

V = beban geser gempa static ekuivalen (ton)

Wt = berat total (ton)

(kombinasi beban mati seluruhnya dan beban hidup yang direduksi

sebesar 50 % untuk pelabuhan)

Cd = factor respon ggempa

II - 14

C = factor respon gempa (lihat SNI 03-1726-2002) tergantung

daerah gempa, kondisi tanah dibawah bangunan, dan waktu getar alami

(T). Untuk portal beton :

T = 0.06 x H ¾

H = Zf + kedalaman dasar saluran

Zf = point of fixity atau posisi titik jepit tanah terhadap sebuah

tiang pondasi, Zf = 1.8 T T = 5 /)( nhEI

I = factor keutamaan bangunan (lihat SNI03-1726-2002)

R= factor reduksi gempa (lihat SNI 03-1726-2002 )

Tabel 2.4. Harga nh untuk cohesionless soil diperoleh dari Terzaghi

Relative Density Loose Medium

Dense Dense

nh untuk dry atau moist soil

MN/m3

Ton/ft3

2.5

7

7.5

21

20

56

nh untuk submerged soil

MN/m3

Ton/ft3

1.4

4

5

14

12

34

Sumber :“Daya Dukung Pondasi Dalam” oleh Dr.Ir.Herman Wahyudi

II - 15

Gambar 2.6 Respons Spektrum Gempa Rencana

(Sumber : SNI 03-1726-2002)

II - 16

Gambar 2.7 Wilayah Gempa Indonesia dengan Percepatan Puncak Batuan Dasar Perioda Ulang 500 Tahun

(Sumber : SNI 03-1726-2002)

II - 17

Tabel 2.5. Faktor Keutamaan (I) untuk Berbagai Kategori Gedung dan Bangunan

Taraf kinerja struktur gedung R

Elastik penuh 1.60 2.40 3.20 4.00

4.80

5.60 6.40

7.20

Daktail parsial

8.00

Daktail penuh 8.50

Sumber : SNI 03-1726-2002

Tabel 2.6. Parameter Daktilitas Suatu Struktur Gedung

Faktor Keutamaan Kategori gedung

I1 I2 I3

Gedung umum seperti untuk penghunian, perniagaan dan perkantoran

1.0 1.0 1.0

Monumen dan bangunan monumental 1.0 1.6 1.6

Gedung penting pasca gempa seperti rumah sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan darurat, fasilitas radio dan televisi

1.4 1.0 1.4

Gedung untuk menyimpan bahan berbahaya seperti gas, produk minyak bumi, asam, bahan beracun

1.6 1.0 1.6

Cerobong, tangki di atas menara 1.5 1.0 1.5

Catatan :

Untuk semua struktur bangunan gedung yang ijin penggunaannya diterbitkan sebelum berlakunya Standar ini maka Faktor Keutamaan, I, dapat dikalikan 80%.

Sumber : SNI 03-1726-2002

II- 18

Untuk penentuan Kh (komponen horisontal dari percepatan gempa) dan Kv

(koefisien vertikal dari percepatan gempa) yang akan digunakan untuk mencari

Koefisien tanah aktif akibat gempa maka digunakan :

Kh = 0.1 x Ao x I (Sumber : SNI 03-1726-2002 Ps. 9.2.2)

Kv = x Ao x I (Sumber : SNI 03-1726-2002 Ps. 4.8.2)

Nilai koefisien Ao dan dapat ditentukan dari Tabel 2.6 dan Tabel 2.7 berikut.

Tabel 2.7. Nilai Koefisien Ao (Percepatan Puncak Muka Tanah)

untuk Masing-masing Wilayah Gempa Indonesia

Percepatan puncak muka tanah, Ao (‘g’) Wilayah gempa

Percepatan puncak batuan

dasar (‘g’) Tanah kerasTanah sedang

Tanah lunak

Tanah khusus

1 0.03 0.04 0.05 0.08 2 0.10 0.12 0.15 0.20 3 0.15 0.18 0.23 0.30 4 0.20 0.24 0.28 0.34 5 0.25 0.28 0.32 0.36 6 0.30 0.33 0.36 0.38

Diperlukan evaluasi

khusus di setiap lokasi

Sumber : Tabel 5 – SNI 03-1726-2002

Tabel 2.8. Koefisien untuk Menghitung

Faktor Respons Gempa Vertikal Kv

Wilayah gempa

1 0.5

2 0.5

3 0.5

4 0.6

5 0.7

6 0.8

Sumber : Tabel 7 – SNI 03-1726-2002

II- 19

2.7.5 KOMBINASI PEMBEBANAN

Standart Design Criteria For Port In Indonesia,1984 , mengatur tentang besarnya

beban-beban yang bekerja, tetapi tidak mencantumkan adanya kombinasi pembebanan.

Sedangkan dalam Standart Teknis Untuk Sarana-Sarana Pelabuhan di Jepang, 1995,

disebutkan bahwa beban gempa, angin, dan gaya tarik boulder dianggap sebagai beban

pada kondisi khusus,yaitu beban sementara.

Pada dasarnya pembebanan struktur yang ada perlu dikombinasikan untuk

memperkirakan kemungkinan terjadinya beberapa beban. Kombinasi beban ini lakukan

untuk memperoleh kondisi pembebanan maksimum pada dermaga dan trestle.Dalam

perencanaan ini dipergunakan kombinasi beban sebagai berikut :

1. DL + LL

2. DL + ML

3. DL + BL

4. DL + 50%LL + BL

5. DL + 50%LL + SL

6. DL + 50%LL + ML + SL

Dimana : DL = Beban Mati

LL = Beban Hidup

TR = Beban Truk

ML = Gaya Bolder

BL = Gaya Fender

SL = Beban Gempa

II- 20

2.7.6 PERHITUNGAN KONSTRUKSI DERMAGA

2.7.6.1 Konstruksi Beton

Perhitungan konstruksi beton dapat dilakukan dengan berdasarkan pada

Peraturan Beton Indonesia (PBI) 1971 dan SK SNI 1991. dalam PBI 1971 perhitungan

strukturnya berdasarkan teori elastis. Pada teori elastis, apabila terjadi beban lebih

(overload) maka struktur tersebut masih bisa menahannya atau tidak mengalami retak.

Sedangkan pada SK SNI 1991, perhitungan strukturnya berdasarkan teori kekuatan

batas, dimana pada teori ini apabila terjadi beban lebih (overload) maka struktur akan

mengalami retak.

Pada perhitungan konstruksi dermaga Mirah ini dipilih berdasarkan PBI 1971

dengan pertimbangan :

1) Pada struktur di perairan, harus dihindarkan terjadinya retak agar tulangan struktur

terhindar dari korosi.

2) Terjadinya beban lebih pada bangunan di perairan sering terjadi, baik akibat beban

luar (arus, gelombang, dan pasang surut) maupun beban gempa.

2.7.6.2 Bangunan atas

1. Perencanaan Plat Dermaga dan Trestle

a. Perhitungan Momen Plat

Asumsi perhitungan-perhitungan yang dipakai adalah perletakan jepit elastis.

- Perhitungan momen akibat beban terbagi rata :

Mlx = Mtx = + 0.001 . q . lx2 . x ……………….2.17

Mly = Mty = + 0.001 . q . lx2 . x .………………2.18

dimana :

Mlx, Mly = momen lentur plat per satuan panjang di lapangan

arah bentang lx, ly (tm).

Mtx, Mty = momen lentur plat per satuan panjang di tumpuan

arah bentang lx, ly (tm).

q = beban total terbagi rata pada plat (t/m1).

II- 21

Lx = ukuran bentang terkecil plat, bentang yang memikul

plat dalam satu arah (m).

x = koefisien pada tabel 13.3.2 PBI 1971

- Perhitungan momen akibat beban terpusat

……………2.19

dimana :

lx = bentang pendek plat

ly = bentang panjang plat

bx = ukuran beban w arah bentang pendek (m)

by = ukuran beban w arah bentang panjang

Mx = momen positif maksimum arah bentang pendek

My = momen positif maksimum arah bentang panjang (m)

w = beban terpusat (ton)

a1, a2, a3, a4 = koefisien yang tergantung dari lx/ly dan derajat jepit

masing- masing sisi (Tabel VI KBI Ir. Sutami)

Pada beban terpusat yang bergerak, penulangan didimensi berdasarkan

momen maksimum yang didapat, diambil tetap sepanjang seluruh pelat (tepi-

tepi).

Lebar pembesian ini tidak tergantung pada tempat beban dan ditentukan dengan

rumus-rumus sebagai berikut :

by

ly

M = + + a4

x + a

bx a1 2x + a3

lx

bx

lx

by

ly

II- 22

lxlylx

bybx

ly

by

lx

bxCSx .

.

.3.02.04.04.0( 1 …………………2.20

Sx = lebar jalur dimana pembesian menahan momen My harus dipasang

lxlylx

bybx

ly

by

lx

bxCSy .

.

.3.04.02.04.0( 1 ………………….2.21

Sy = lebar jalur dimana pembesian menahan momen Mx harus dipasang

lxlylx

bybx

ly

by

lx

bxCSix .

.

.1.01.01.06.0( 2 ……………………2.22

Six = lebar jalur dimana pembesian menahan momen Miy harus dipasang

lxlylx

bybx

ly

by

lx

bxCSiy .

.

.1.01.01.06.0( 2 …………..……….2.23

Siy = lebar jalur dimana pembesian menahan momen Mix harus dipasang

Dimana :

C1 dan C2 = koefisien yang tergantung pada keadaan derajat jepit dan sisi plat

C1 = 0 , jika kedua sisi sejajar lx ditumpu bebas

C1 = 0.1 , jika kedua sisi sejajar ly dijepit dan lainnya ditumpu bebas

C2 = 0 , jika kedua sisi sejajar lx ditumpu bebas

C2 = 0.1 , jika kedua sisi sejajar ly dijepit dan lainnya ditumpu bebas

c. Penulangan Plat

Perhitungan tulangan pada plat berdasarkan PBI 1971 :

Ca =

bbx

nxM

h

'

, ...............................................2.26

dengan :

II- 23

bnx

ao

'

Amin = au

12

dimana : M = momen lentur akibat beban kerja

B = lebar penampang balok persegi, lebar badan penampang balok

T

H = tinggi manfaat penampang

( ht – selimut beton – Ф sengkang – ½ Ф tulangan )

n = angka ekivalen antara satuan luas dengan satuan luas beton

( PBI 1971 – Pasal 11.1.3 )

Eb = modulus elastisitas beton berdasarkan PBI 1971 pasal 11.1.1

( 6400 bk' (kg/cm2)) ,untuk beban mati

Ea = modulus elastisitas beton menurut PBI 1971 pasal 10.9.1

( 2,1 x 106 (kg/cm2))

σ’bk = mutu beton (kg/cm2), PBI 1971 tabel 4.2.1

σ’a = tegangan tarik baja yang diijinkan, PBI 1971 tabel 10.4.1

( σ’a = 0.33 σ’bk)

σ’b = tegangan tarik baja yang diijinkan, PBI 1971 tabel 10.4.1

Apabila τb + τ’b > τbm , maka ukuran penampang harus diperbesar sedemikian

rupa sehingga memenuhi persyaratan sebagai berikut :

τb + τ’b < τbm.. .............................................2.27

dengan :

τb = xhtbx

D

87

II- 24

τ’b = xhtb

D2

,

b

ht

45,0

263 untuk ht > b

dimana : D = gaya lintang

Mt = momen puntirakibat beban kerja

τb = tegangan lentur beton akibat beban kerja

τ’b = tegangan geser punter beton akibat beban kerja

τbm = tegangan geser beton yang diijinkan untuk balok dngan

tulangan geser, menurut PBI 1971 tabel 10.4.2

Sebagai tulangan geser dipakai sengkang dengan luas efektif As dan jarak As dan

tulangan miring dengan luas efektif Am. Perumusan yang digunakan untuk

menghitung tulangan geser berdasarkan PBI 1971 (rumus 11.7.4).

τs + τ’m > τt

ba

As

s

as

,

ba

CosSinA

m

amm

(.

Dimana :

τb = tegangan geser yang dapat dikerahkan oleh sengkang

τm = tegangan geser yang dapat dikerahkan oleh miring

Ф = sudut kemiringan tulangan miring terhadap sumbu memanjang

Balok

d. Kontrol Retak

Lebar retak maksimum untuk beton di luar bangunan yang tidak terlindungi

dari hujan dan terik matahari langsung, kontinu berhubungan air dan tanah atau

berada dalam lingkungan agresif adalah 0,01 cm

II- 25

Lebar retak pada pembebanan tetap akibat beban kerja, PBI 1971 pasal 10.7.3

dapat dihitung dengan rumus dibawah ini :

6543 10)).(.( x

CDCCCW

pa

p

……………………..2.28

dimana : w = lebat retak yang terjadi (cm)

α = koefisien yang tergantung pada jenis batang tulangan

1,2 untuk batang polos

ωp, C3, C4, C5 = koefisien retak yang diambil dari table 10.7.3 PBI 1971

c = tebal penutup beton

d = diameter batang polos, yang harus diganti dengan

diameter pengenal dp menurut PBI 1971 pasal 3.7.4

apabila dipakai batang yang diprofilkan

A = luas tulangan tarik(cm2)

σa= tegangan tarik baja yang bekerja ditempat retak (kg/cm2)

h = tinggi manfaat (cm)

bo = lebar balok persegi atau lebat balok T (cm)

y = jarak garis netral terhadap tepi yang tertekan (cm)

2. Perencanaan Balok Dermaga

Langkah – langkah perencanaan balok meliputi :

1) Seperti perencanaan plat lantai yang telah diuraikan diatas, penentuan lay out

tipikal harus ditetapkan terlebih dahulu.

2) Dihitung pembebanan akibat distribusi beban plat pada balok.

3) Dengan bantuan program bantu SAP 2000, akan diperoleh besarnya momen

pada balok tersebut

4) Perhitungan penulangan balok dilakukan setelah besarnya momen diperoleh

dari langkah no.3, dilanjutkan dengan perhitungan kontrol dimensi balok,

perencanaan tulangan geser dan kontrol retak balok tersebut.

II- 26

3. Perencanaan Balok Fender

Langkah – langkah perencanaan balok meliputi :

1) Seperti perencanaan plat lantai yang telah diuraikan diatas, penentuan lay out

tipikal harus ditetapkan terlebih dahulu.

2) Analisa balok fender seperti perhitungan balok kantilever dengan gaya

tumbukan kapal pada ujung balok fender sebagai kondisi paling kritis sebagai

beban.

3) Pada perhitungan momen, posisi perletakan balok (e), diasumsikan berada

pada bidang sejajar poer bagian atas karena diasumsikan tidak monolit

dengan poer.

4) Perhitungan penulangan balok dilakukan setelah besarnya momen diperoleh

dari langkah no.3, dilanjutkan dengan perhitungan tulangan utama dan geser

serta kontrol retak balok tersebut.

2.7.4.1 Perencanaan bangunan bawah

Pada bagian ini, perencanaan meliputi pemilihan tiang pancang, perhitungan

daya dukung, kontrol kekuatan bahan dan kalendering.

1. Pemilihan Tiang Pancang

Faktor yang mempengaruhi dalam pemilihan tiang pancang yang dipergunakan di

struktur bangunan bawah dermaga dan trestle adalah

Diusahakan dengan harga yang termurah

Kemampuan menembus lapisan tanah keras tinggi, untuk menghindari

terjadinya tekuk.

Mampu menahan pemancangan / pemukulan yang keras, agar tidak hancur

ketika pemancangan berlangsung.

Dalam Tugas Akhir ini, jenis tiang pancang yang dipergunakan adalah tiang

pancang beton. Dengan kriteria pemilihan sebagai berikut :

II- 27

Tabel 2.9– Kriteria Pemilihan Tiang Pancang

-N

an

e

eobi

ar

iay

iay

et

a

o

Beton Baja KayuN ilai SPT maksimal

y g dapat ditembus

2 K d. Pemancangan Terbatas Bebas Terbatas3 B rat Tiang Cukup ringan Lebih ringan Ringan

4 M lisasi Mudah Mudah Mudah

Relatif sulit karena terlalu bnyk sambungan

Semakin panjang Relatif mudah karena Semakin panjang

semakin sulit cukup ringan semakin sulitRelatig mudah Relatig mudah Relatif sulit yaitu

dengan pengelasan dengan pengelasan dengan sambungan baut

8 H ga tiang Cukup murah mahal mahalCukup mahal karena lebih murah karena Cukup mahal karena

dihitung berdasar berat dihitung berdasar volume dihitung berdasar berat

cukup murah mahal karena perlu cukup murahproteksi anti karat

11 k ahanan thd korosi baik kurang baik baik

ada,yaitu ujung tiang retak Hampir tidak ada ada,yaitu ujung tiang retakpecah saat pemancangan pecah saat pemancangan

M men mak. Yang Terbatas, dari data WIKA Relatif besar terbatas

mampu dipikul Piles bahwa ukuran maks.

f 60 cm kelas C Mmaks 29 tm

Tiang PancangSpesifikasiNo

< 50 > 50 < 50

Relatif mudah Relatif mudahPelaksanaan5

1

7

10

12

13

9

6

F ktor kesalahan teknis

Pengangkatan Tiang

Penyambungan

B a transportasi

B a pemeliharaan

Diambil dari : Tugas Akhir Iskandar M.G

2. Perhitungan Daya Dukung Tiang

Perhitungan Daya Dukung Tanah dipergunakan perumusan dari Metode

LUCIANO DECOURT (1982) :

Ql = Qp + Qs ...............................................2.29

dimana :

Ql = daya dukung tiang maksimum

Qp = resistance ultimate di ujung tiang

Qs = resistance ultimate akibat lekatan lateral

II- 28

SF

QQ L

ad

PPPPP AKNAqQ ).(. . ...............................................2.30

SS

SSS AxN

AqQ ).13

(. ...............................................2.31

dimana :

K = koefisien karateristik tanah (Tabel 2.6)

Np = harga rata-rata SPT disekitar 4B diatas hingga 4B dibawah dasar

pondasi

qp = tegangan di ujung tiang

AP = luas penampang di ujung tiang = ¼ π D2

AS = keliling tiang x panjang tiang yang terbenam (luas selimut tiang)

= π.D.L

NS = harga rata-rata sepanjang tiang yang tertanam, dengan batasan

3 < N < 50

qs = tegangan lateral lekatan lateral (t/m2)

SF = angka keamanan

Tabel 2.10 - Harga Koefisien Karateristik Tanah

Harga koefisien

(t/m2)

Jenis Tanah

12 Tanah lempung

20 Tanah lanau berlempung

25 Tanah lanau berpasir

40 Tanah berpasir

II- 29

3. Kontrol kekuatan Bahan

Kontol bahan yang dilakukan meliputi kontrol terhadap tegangan, gaya horizontal,

tekuk.

Berdasarkan Buku “Mekanika Tanah dan Teknik Pondasi” oleh Suyono

Sosrodarsono, Perumusan yang dipergunakan sebagai berikut :

o Kontrol Lendutan

y = EI

zfeHu

12

)( 3, untuk fixed-headed pile…………..2.32

dimana : Hu = gaya horizontal maksimum yang diterima tiang

E = Elastic modulus dari material tiang pondasi

I = momen inersia tiang pancang

o Kontrol Tekuk

Tekuk dapat terjadi pada tiang pancang saat tiang pancang mencapai

tanah keras lapisan pertama. Oleh karena itu, perlu dilakukan kontrol

tekuk terhadap tiang pancang dengan perumusan sebagai berikut :

Hu = 2 x Mu / ( e + Zf) , untuk kondisi ujung tiang fixed……2.33

dengan : Mu = σ x z

dimana : σ = Tegangan tiang

z = Modulus Elastisitas tiang

Zf = Kedalaman titik jepit tiang

4. Kalendering

Berdasarkan Buku “Daya Dukung Pondasi Dalam” oleh Dr.Ir.Herman Wahyudi,

Perumusan yang dipergunakan adalah formula dari Hiley sebagai berikut :

p

p

WW

WnWx

cS

HWQu

2

2

.., uR

sfR .

1…………………2.34

dimana :

Qu = Daya Dukung Ultimate (Ton)

W = Berat Pemukul = 3,500 ton (K35)

II- 30

H = Tinggi jatuh pada ram B = 177 cm

S = Penurunan tiang rata-rata pada 3 set terakhir dengan 10 pukulan di

setiap setnya (cm).

α = efesiensi of hammer = 1

n = coefisien of restitution = 0,25

Wp = weight of pile

C = Total temporary compression (C1 + C2 + C3) = 17 mm

C1 = Temporary compression of cushion (pile head & cap) = 2,54 mm

C2 = Temporary compression of pile = 12 mm

C3 = Temporary compression of soil = 2,5 mm

2.8 PENGERUKAN (DREDGING)

Pengerukan dilakukan untuk mendapatkan kedalaman kolam pelabuhan yang

diinginkan. Pengerukan dilakukan dengan menggunakan kapal keruk (dredgers).

Dredgers berfungsi untuk menggali, memindahkan atau menaikkan material secara

vertikal, kemudian memindahkan secara horisontal dan membuangnya ke lokasi

pembuangan. Fungsi tersebut bisa dilakukan secara mekanik, hidrolis atau kombinasi

keduanya. Untuk kondisi material yang keras, seperti batu cadas dan pasir yang

terkonsolidasi digunakan treatment secara kimia yaitu dengan bahan peledak

(explosive).

2.8.1 DIMENSI PENGERUKAN

Dimensi pengerukan sangat ditentukan oleh kebutuhan operasional pelabuhan,

yaitu dimensi kolam pelabuhan, kolam putar dan dimensi alur pelayaran yang telah

dibicarakan pada subbab sebelumnya.

2.8.2 PEMILIHAN PERALATAN

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan dredgers yang cocok

adalah:

II- 31

1. Jenis tanah dasar laut

Meterial dasar laut yang akan dikeruk diperhatikan respon pengerukannya dan

kemudahan pengangkutannya (dredgeability). Dredgeability didapatkan dari nilai

N (SPT) untuk tanah pasir, nilai tegangan tekan dan etterberg limits untuk tanah

kohesif dan kekuatan hancur dan kecepatan gelombang elastis untuk material

keras. Untuk pengangkutannya sangat tergantung ukuran butiran dan berat

jenisnya.

2. Volume tanah kerukan dan umur konstruksi

Digunakan untuk menentukan ukuran dan kapasitas dredger. Bila terdapat waktu

yang cukup digunakan dredger yang lebih kecil untuk efisiensi biaya. Volume

kerukan dari hasil perhitungan harus dikalikan 2 karena pelaksanaan pengerukan

di lapangan adalah 70 % air dan 30 % material kerukan.

3. Kedalaman dan ketebalan pengerukan

Setiap dredger mempunyai pengerukan maksimum yang sangat tergantung pada

kemampuan mesinnya. Dredger hidrolis lebih sensitif terhadap kedalaman,

meskipun dredger mekanis juga memiliki kelas–kelas tertentu menurut kedalaman

pengerukannya.

4. Metode pembuangan tanah galian

5. Jarak dan rute pengangkutan menuju areal pembuangan

Digunakan untuk menentukan peralatan pengangkutannya.

6. Pengaruh sedimen di dasar laut

Polusi, pengeruhan dan pengrusakan kehidupan perairan merupakan issue penting

yang harus diperhatikan dan berhubungan dengan regulasi lingkungan pengerukan.

7. Kondisi meterologi, oceanologi dan geometrik

Penentuan jenis dredger harus memperhatikan kondisi cuaca dan penentuan:

Gelombang, angin, arus dan pasang surut

Hari dan jam kerja

Kondisi anchoring

II- 32

Dilihat dari segi teknis pengerukan, dikenal dua jenis peralatan keruk, yaitu:

a. Kapal Keruk Hidrolis

Hidrolis disini adalah jenis tanah yang dikeruk bercampur dengan air laut, yang

kemudian campuran tersebut dihisap oleh pompa melalui pipa penghisap (suction

pipe) untuk selanjutnya melalui pipa pembuang dialirkan ke daerah penimbunan.

Karena sistemnya dihisap oleh pompa, maka material yang cocok untuk kapal jenis

ini adalah lumpur.

Berdasarkan kondisi di lapangan yang menunjukkan bahwa material kerukan yang

dominant adalah pasir dan sedikit lempung, maka kapal keruk jenis ini tidak cocok

untuk digunakan, sehingga alat keruk ini tidak dibahas lebih lanjut.

b. Kapal Keruk Mekanis

Kapal keruk jenis ini dapat dikatakan sederhana, yaitu mempunyai analogi dengan

peralatan gali di darat. Macam – macam kapal keruk jenis ini adalah sebagai berikut:

Clamshell Dredger

Alat keruk jenis ini terdiri dari satu tongkang (barge) dan ditempatkan peralatan

cakram (clamshell). Jenis ini biasanya digunakan untuk tanah lembek atau pada

bagian – bagian kolam pelabuhan dalam. Alat keruk ini dapat dilihat pada Gambar

2.7

Dipper Dredger

Alat keruk ini merupakan analogi dari alat gali tanah di darat yang dikenal shovel

dozer. Alat ini mempunyai tenaga pengungkit dan desak yang besar, sehingga baik

digunakan bagi pengerukan lapisan tanah keras dan tanah padat atau tanah

berpasir.

II- 33

Gambar 2.8– Clamshell Dredger

Backhoe Dredger

Alat keruk ini pada dasarnya adalah pontoon yang dipasangi alat pemindah tanah

yang berupa backhoe.(Gambar 2.8 ; 2.9) Bucket penggali dari backhoe ini dalam

operasinya bergerak kearah alat, lain halnya dengan shovel yang bucketnya

bergerak ke arah luar. Alat keruk ini baik digunakan bagi pengerukan lapisan

tanah padat atau pasir.

Gambar 2.9 – Backhoe Dredger

II- 34

Gambar 2.10 – Backhoe Dredger

Bucket dredger

Alat keruk ini merupakan jenis jenis kapal keruk dengan rantai ban yang tak

berujung pangkal (endless belt) dan dilekati timba – timba pengeruk (bucket).

Gerakan rantai ban dengan timbanya merupakan gerak berputar mengelilingi suatu

rangka struktur utama. Kapal ini sangat cocok untuk perairan yang dalam dan

kurang pas untuk perairan dangkal.Alat keruk ini dapat dilihat pada Gambar 2.10

II- 35

Gambar 2.11 – Bucket Dredger

2.8.3 DUMPING SITE

Penentuan lokasi buangan atau dumping site dilakukan dengan

mempertimbangkan aspek lingkungan terutama menyangkut lokasi dumping, volume

dumping dan lokasi penyebaran material dumping.Lokasi dumping dapat dilakukan di

darat dan di laut yang pada dasarnya dibatasi oleh pertimbangan biaya dan lingkungan

2.8.4 PERHITUNGAN VOLUME PENGERUKAN

Berdasarkan k8.ontur eksisting dan rencana kedalaman alur/kolam, pada areal

keruk dibuat segmen-segmen dengan jarak terentu yang sama, sehingga dengan formula

berikut dapat ditentukan volume keruk sebagai berikut:

V= ………………………………. 2.35

n

1i21 LAA0.5(

dimana:

V : Volume total keruk

A1 : Luas keruk untuk segmen ke-1

A2 : Luas keruk untuk segmen ke-(1+1)

L : Jarak interval antara segmen ke-I dengan segmen ke-(1+1)

n : Jumlah total segmen pada areal keruk yang direncanakan

II- 36