BAB II budi -...
Transcript of BAB II budi -...
8
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK MENTAL DISORDER
DAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM 2.1. Anak dalam Keluarga
2.1.1. Pengertian Anak dalam Keluarga
Dalam setiap masyarakat manusia, pasti akan dijumpai keluarga.
Keluarga merupakan kelompok sosial kecil yang terdiri dari suami, istri
beserta anak-anaknya yang belum menikah. Keluarga, lazimnya juga
disebut rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat
sebagai wadah dan proses pergaulan hidup (Soekanto, 2004: 1).
Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan
manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial
di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya (Gerungan, 1978:
180). Keluarga mempunyai peranan penting untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani anak serta menciptakan
kesehatan jasmani dan rohani yang baik (Ramayulis, 1990: 79).
Keluarga merupakan kelembagaan (institusi) primer yang sangat
penting dalam kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun
masyarakat (Suhendi dan Wahyu, 2001: 5). Sebenarnya keluarga
mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas selaku penerus keturunan
saja. Dalam bidang pendidikan, keluarga merupakan sumber pendidikan
utama, karena segala pengetahuan dan kecerdasan intelektual manusia
9
diperoleh pertama-tama dari orang tua dan anggota keluarganya
(Gunarsa, 1986: 1). Lima ciri khas yang dimiliki keluarga, yaitu (1)
adanya hubungan berpasangan antara kedua jenis kelamin; (2) adanya
perkawinan yang mengokohkan hubungan tersebut; (3) pengakuan
terhadap keturunan, (4) kehidupan ekonomi bersama; dan (5) kehidupan
berumah tangga (Harahap, 1997: 35).
Menurut Notosoedirdjo dan Latipun bahwa tata cara kehidupan
keluarga akan memberikan suatu sikap serta perkembangan kepribadian
anak yang tertentu pula. Dalam hubungan ini Notosoedirdjo dan Latipun
meninjau tiga jenis tata cara kehidupan keluarga, yaitu tata cara
kehidupan keluarga yang (1) demokratis, (2) membiarkan dan (3)
otoriter. Anak yang dibesarkan dalam susunan keluarga yang
demokratis, membuat anak mudah bergaul, aktif dan ramah tamah. Anak
belajar menerima pandangan-pandangan orang lain, belajar dengan
bebas mengemukakan pandangannya sendiri dan mengemukakan
alasan-alasannya. Hal ini bukan berarti bahwa anak bebas melakukan
segala-galanya, bimbingan kepada anak tentu harus diberikan. Anak
yang mempunyai sikap agresif atau dominasi, kadang-kadang tampak
tetapi hal ini kelak akan mudah hilang bila dia dibesarkan dalam
keluarga yang demokratis. Anak lebih mudah melakukan kontrol
terhadap sifat-sifatnya yang tak disukai oleh masyarakat. Anak yang
dibesarkan dalam. susunan keluarga yang demokratis merasakan akan
kehangatan pergaulan (Notosoedirdjo dan Latipun, 2002: 175).
10
Adapun keluarga yang sering membiarkan tindakan anak, maka
anak yang dibesarkan dalam keluarga yang demikian ini akan membuat
anak tidak aktif dalam kehidupan sosial, dan dapat dikatakan anak
menarik diri dari kehidupan sosial. Perkembangan fisik anak yang
dibesarkan dalam keluarga ini menunjukkan terhambat. Anak
mengalami banyak frustrasi dan mempunyai kecenderungan untuk
mudah membenci seseorang. Dalam lingkungan keluarga anak tidak
menunjukkan agresivitasnya tetapi dalam pergaulan sosialnya kelak
anak banyak mendapatkan kesukaran. Dalam kehidupan sosialnya, anak
tidak dapat mengendalikan agresivitasnya dan selalu mengambil sikap
ingin menang dan benar, tidak seperti halnya dengan anak yang
dibesarkan dalam susunan keluarga yang demokratis. Hal ini terjadi
karena anak tidak dapat mendapatkan tingkat interaksi sosial yang baik
di keluarganya. Sedangkan anak yang dibesarkan dalam keluarga yang
otoriter, biasanya akan bersifat tenang, tidak melawan, tidak agresif dan
mempunyai tingkah laku yang baik. Anak akan selalu berusaha
menyesuaikan pendiriannya dengan kehendak orang lain (yang
berkuasa, orang tua). Dengan demikian kreativitas anak akan berkurang,
daya fantasinya kurang, dengan demikian mengurangi kemampuan anak
untuk berpikir abstrak. Sementara itu, pada keluarga yang demokratis
anak dapat melakukan banyak eksplorasi (Notosoedirdjo dan Latipun,
2002: 176).
11
Tipe kepemimpinan orang tua yang otoriter, meski tidak disukai
oleh kebanyakan orang, karena menganggap dirinya sebagai orang tua
paling berkuasa, paling mengetahui dalam segala hal, tetapi dalam etnik
keluarga tertentu masih terlihat dipraktikkan. Dalam praktiknya tipe
kepemimpinan orang tua yang otoriter cenderung ingin menguasai anak.
Perintahnya harus selalu dituruti dan tidak boleh dibantah. Anak kurang
diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan dalam bentuk
penjelasan, pandangan, pendapat atau saran-saran. Tanpa melihat
kepentingan pribadi anak, yang penting instruksi orang tua harus
dituruti. Tipe kepemimpinan orang tua yang otoriter selain ada
keuntungannya, juga ada kelemahannya. Anak yang selalu taat perintah
adalah di antara keuntungannya. Sedangkan kelemahannya adalah
kehidupan anak statis, hanya menunggu perintah, kurang kreatif, pasif,
miskin inisiatif, tidak percaya diri, dan sebagainya (Djamarah, 2004:
70).
Dari tiga jenis tersebut Baldwin yang dikutip Moeljono
Notosoedirdjo dan Latipun mengatakan bahwa lingkungan keluarga
yang demokratis merupakan tata cara yang terbaik bagi anak untuk
memberikan kemampuan menyesuaikan diri. Namun demikian, tata cara
susunan keluarga ini kenyataannya tidak terbagi secara tajam
berdasarkan ciri-ciri keluarga dalam tiga jenis tersebut. Yang terbanyak
ialah campuran dari tiga jenis tersebut, dan dalam hal yang demikian ini
akan ditentukan oleh mana yang paling menonjol atau yang paling kuat
12
yang ada dalam susunan suatu keluarga (Notosoedirdjo dan Latipun,
2002: 176).
Dari uraian tersebut dapat penulis simpulkan bahwa pengertian
anak dalam keluarga merupakan hasil cinta kasih suami isteri dan
merupakan tanggung jawab bersama. Oleh sebab itu orang tua
memegang peran penting dalam mewarnai perilaku anak.
.
2.1.2. Perkembangan Anak dan Karakteristiknya
Menurut Hurlock (t.th: 2), istilah perkembangan berarti
serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses
kematangan dan pengalaman. Selanjutnya Elisabeth B. Hurlock dengan
mengutip perkataan Van den Daele menyatakan:
Perkembangan berarti perubahan secara kualitatif, ini berarti bahwa perkembangan bukan sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang atau peningkatan kemampuan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks. Pada dasarnya ada dua proses perkembangan yang saling bertentangan yang terjadi secara serempak selama kehidupan, yaitu pertumbuhan atau evolusi dan kemunduran atau involusi ( Hurlock, t.th: 2).
Menurut Andi Mappiare sebagaimana mengutip Elizabeth
B.Hurlock bahwa jika dibagi berdasarkan bentuk-bentuk perkembangan
dan pola-pola perilaku yang nampak khas bagi usia-usia tertentu, maka
rentangan kehidupan terdiri atas sebelas masa yaitu :
Prenatal : Saat konsepsi sampai lahir.
Masa neonatal : Lahir sampai akhir minggu kedua setelah
lahir.
13
Masa bayi : Akhir minggu kedua sampai akhir tahun
kedua.
Masa kanak-kanak awal : Dua tahun sampai enam tahun.
Masa kanak-kanak akhir: Enam tahun sampai sepuluh atau sebelas
tahun.
Pubertas/preadolescence : Sepuluh atau dua belas tahun sampai tiga
belas atau empat belas tahun
Masa remaja awal : Tiga belas atau empat belas tahun sampai
tujuh belas tahun.
Masa remaja akhir : Tujuh belas tahun sampai Dua puluh satu
tahun.
Masa dewasa awal : Dua puluh satu tahun sampai empat puluh
tahun.
Masa setengah baya : Empat puluh sampai enam puluh tahun
Masa tua : Enam puluh tahun sampai meninggal dunia
(Mappiare, 1982: 24 –25).
Dalam pembagian rentangan usia menurut Hurlock tersebut,
terlihat jelas masa kanak-kanak awal: dua tahun sampai enam tahun,
dan masa kanak-kanak akhir: enam tahun sampai sepuluh atau sebelas
tahun
Y. Byl yang dikutip Abu Ahmadi membagi fase anak sebagai
berikut:
a. Fase bayi 0,0 - 0,2.
14
b. Fase tetek 0,2 - 1,0.
c. Fase pencoba 1,0 - 4,0.
d. Fase menentang 2,0 - 4,0.
e. Fase bermain 4,0 - 7,0.
f. Fase sekolah 7,0 - 12,0.
g. Fase pueral 11,0 - 14,0.
h. Fase pubertas 15,0 - 18,0 (Ahmadi, 2004: 47).
Dengan melihat pembagian yang berbeda-beda antara ahli satu
dengan lainnya, Asnely mengambil kesimpulan dengan melakukan
pembagian:
1. Fase pranatal;
2. Fase awal masa kanak-kanak, umur 0-5 tahun;
3. Fase akhir masa kanak-kanak, umur 6-12 tahun;
4. Fase remaja dan dewasa, umur 13-18 tahun (Ilyas, 1997: 48).
Pembagian perkembangan ke dalam masa-masa perkembangan
hanyalah untuk memudahkan mempelajari dan memahami jiwa anak-
anak. Walaupun perkembangan itu dibagi-bagi ke dalam masa-masa
perkembangan, namun tetap merupakan kesatuan yang hanya dapat
dipahami dalam hubungan keseluruhan (Zulkifli, 1986: 23).
Dalam perspektif Islam, perjalanan hidup manusia dibagi menjadi
empat priode (Daradjat, 1995: 1):
15
a. Periode Kandungan
Periode kandungan ialah suatu periode di ketika manusia
masih berada di dalam kandungan ibunya (Hamid, 1980: 23).
b. Periode Thufulah (kanak-kanak)
Periode ini dimulai semenjak seseorang lahir ke dunia. Dengan
lahirnya itu, maka telah sempurnalah sifat kemanusiaannya, karena ia
telah terpisah dari tubuh ibunya. Namun demikian, kemampuan
akalnya belum ada, kemudian berkembang sedikit demi sedikit.
Periode ini berlangsung sampai seseorang mencapai masa tamyiz
(Daradjat, 1995: 1-2)
c. Periode Tamyiz
Dalam masa ini seseorang mempunyai kemampuan berbuat
tidak penuh. Perbuatannya ada kalanya berhubungan dengan hak
Allah atau dengan hak manusia (Hanafie, 2001: 26).
Periode tamyiz dimulai dari seseorang mampu membedakan
antara sesuatu yang baik dengan yang buruk dan antara sesuatu yang
bermanfaat dengan yang madlarat. Pada periode ini kemampuan akal
seseorang belum sempurna, karena periode ini adalah masa mulai dan
semakin bersinarnya cahaya kemampuan akal seseorang. Karena itu
daya fikirnya masih dangkal, yakni masih terbatas pada hal-hal yang
nampak saja (Daradjat, 1995: 2-3). Sedangkan berakhirnya periode
tamyiz, yaitu apabila seseorang telah mencapai masa baligh.
16
d. Periode Baligh
Dalam masa ini dimana seseorang telah mencapai
kedewasaannya, ia mempunyai kemampuan berbuat sepenuhnya, baik
yang berhubungan dengan ibadat ataupun muamalat. Dalam masa
inilah, ia menjadi mukallaf yang sebenarnya (Hanafie, 2001: 27).
Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak,
tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Dalam
keluarga, umumnya anak ada dalam hubungan interaksi yang intim.
Segala sesuatu yang diperbuat anak mempengaruhi keluarganya dan
sebaliknya. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah-laku,
watak, moral dan pendidikan kepada anak. Pengalaman interaksi di
dalam keluarga akan menentukan pula pola tingkah-laku anak
terhadap orang lain dalam masyarakat (Soesilo, 1985: 19).
Sebenarnya sejak anak masih dalam kandungan telah banyak
pengaruh yang di dapat dari orang tuanya. Misalnya situasi kejiwaan
orang tua (terutama ibu) bila mengalami kesulitan, kekecewaan,
ketakutan, penyesalan, terhadap kehamilan tentu saja memberi
pengaruh. Juga kesehatan tubuh, gizi makanan ibu akan memberi
pengaruh terhadap bayi tentu saja mengakibatkan kurangnya
perhatian, pemeliharaan, kasih sayang. Padahal segala perlakuan sikap
sekitar itu akan memberi andil terhadap pembentukan pribadi anak,
bila bayi sering mengalami kekurangan, kekecewaan, tak terpenuhinya
kebutuhan secara wajar tentu saja akan memberi pengaruh yang tidak
17
sedikit dalam penyesuaian selanjutnya. Pada masa anak sangat sensitif
apa yang dirasakan orang tuanya. Dengan kedatangan kelahiran
adiknya sering perhatian orang tua berkurang, hal ini akan dirasakan
oleh anak dan mempengaruhi perkembangan (Sundari, 2005: 65).
Seirama dengan perkembangan ini, anak tersebut
membutuhkan beberapa hal yang sering dilupakan oleh orang tua.
Kebutuhan ini mencakup rasa aman, dihargai, disayangi, dan
menyatakan diri. Rasa aman ini dimaksudkan rasa aman secara
material dan mental. Aman secara material berarti orang tuanya
memberikan kebutuhannya seperti pakaian, makanan dan lainnya.
Aman secara mental berarti harus memberikan perlindungan
emosional, menjauhkan ketegangan-ketegangan, membantu dalam
menyelesaikan problem mental emosional (Simanjuntak dan Pasaribu,
1984: 282).
Pada tulisan ini sesuai dengan tema skripsi bahwa penulis
hanya akan mengetengahkan fase ketiga dari perkembangan anak
yaitu fase akhir masa kanak-kanak. Fase ini adalah permulaan anak
bersekolah yang berkisar antara umur 5 sampai 12 tahun. Pada fase ini
pendidikan anak tidak hanya terfokus pada keluarga, tetapi lebih luas
lagi yaitu mempersiapkan anak untuk mengikuti kewajiban
bersekolah.
Yang menjadi fokus pembahasan pada bab ini adalah
perkembangan anak dari aspek jasmani, intelektual, dan akhlak.
18
Banyak ahli menganggap masa ini sebagai masa tenang, di mana
apa yang telah terjadi dan dipupuk pada masa-masa sebelumnya akan
berlangsung terus untuk masa-masa selanjutnya (Gunarsa dan Ny.
Gunarsa, t.th: 13).
1. Perkembangan Jasmani
Anak umur 5-7 tahun perkembangan jasmaninya cepat,
badannya bertambah tinggi, meski beratnya berkurang sehingga ia
kelihatan lebih tinggi dan kurus dari masa-masa sebelumnya, tampak
sekali terlihat pada wajahnya (Ilyas, 1997: 57). Menurut FJ.Monks,
A.M.P.Knoers, dan Siti Rahayu Haditomo bahwa sampai umur 12
tahun anak bertambah panjang 5 sampai 6 cm tiap tahunnya. Sampai
umur 10 tahun dapat dilihat bahwa anak laki-laki agak lebih besar
sedikit daripada anak wanita, sesudah itu maka wanita lebih unggul
dalam panjang badan, tetapi sesudah 15 tahun anak laki-laki
mengejarnya dan tetap unggul daripada anak wanita (Monks, Knoers,
dan Haditomo, 2002: 177).
Kekuatan badan dan tangan anak laki-laki bertambah cepat
pada umur 6-12 tahun. Dalam masa ini juga ada perubahan dalam sifat
dan frekuensi motorik kasar dan halus. Ternyata bahwa kecakapan-
kecakapan motorik ini mulai disesuaikan dengan keleluasaan
lingkungan. Gerakan motorik sekarang makin tergantung dari aturan
formal atau yang telah ditetapkan (Monks, Knoers, dan Haditomo,
2002: 177).
19
Bermain merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak
terhadap pekerjaan-pekerjaannya di masa, datang, sebab dengan
bermain, anak dididik dalam berbagai segi seperti jasmani, akal-
perasaan, dan sosial-kemasyarakatan. Kemudian bermain dapat
menguatkan otot-otot tubuh anak dan melatih panca inderanya untuk
mengetahui hubungan sesuatu dengan yang lainnya. Pada fase ini anak
juga cenderung berpindah dari permainan sandiwara kepada
permainan sesungguhnya seperti bola kaki, bulu tangkis, dan lain-lain.
2. Perkembangan Intelektual
Dalam keadaan normal, pikiran anak pada masa ini
berkembang secara berangsur-angsur dan tenang. Anak betul-betul
berada dalam stadium belajar. Di samping keluarga, sekolah
memberikan pengaruh yang sistematis terhadap pembentukan akal-
budi anak. Pengetahuannya bertambah secara pesat. Banyak
ketrampilan mulai dikuasainya, dan kebiasaan-kebiasaan tertentu
mulai dikembangkannya. Dari keadaan egosentris anak memasuki
dunia objektivitas dan dunia pikiran orang lain. Hasrat untuk
mengetahui realitas benda dan peristiwa-peristiwa mendorong anak
untuk meneliti dan melakukan eksperimen.
Kartini Kartono menjelaskan:
Minat anak pada periode tersebut terutama sekali tercurah pada segala sesuatu yang dinamis bergerak. Anak pada usia ini sangat aktif dan dinamis. Segala sesuatu yang aktif dan bergerak akan sangat menarik minat perhatian anak. Lagi pula minatnya banyak tertuju pada macam-macam aktivitas. Dan semakin banyak dia berbuat, makin bergunalah aktivitas
20
tersebut bagi proses pengembangan kepribadiannya (Kartono, 1995: 138).
Tentang ingatan anak pada usia ini, ia juga menjelaskan:
Ingatan anak pada usia ini mencapai intensitas paling besar dan paling kuat. Daya menghafal dan memorisasi (dengan sengaja memasukkan dan melekatkan pengetahuan dalam. ingatan) adalah paling kuat. Dan anak mampu memuat jumlah materi ingatan paling banyak (Kartono, 1995: 138).
3. Perkembangan akhlak
Konsep moral pada akhir masa kanak-kanak sudah jauh
berbeda, tidak lagi sesempit pada masa sebelumnya. Menurut Piaget,
anak usia 5-12 tahun konsepnya tentang keadilan sudah berubah.
Pengertian yang kaku tentang benar dan salah yang dipelajari dari
orang-tua menjadi berubah. Anak mulai memperhitungkan keadaan
khusus di sekitar pelanggaran moral. Relativisme moral meringankan
nilai moral yang kaku. Misalnya bagi anak umur 5 tahun berbohong
selalu buruk, sedang anak yang lebih besar sadar bahwa dalam
beberapa situasi berbohong dibenarkan dan tidak selalu buruk
(Hurlock, t.th: 163).
Elizabeth B. Hurlock mengatakan bahwa anak yang masih
berada pada fase awal masa kanak-kanak melakukan pelanggaran
disebabkan ketidaktahuan terhadap peraturan. Dengan meningkatnya
usia anak, ia cenderung lebih banyak melanggar peraturan-peraturan
di rumah dan di sekolah ketimbang perilakunya waktu ia masih lebih
muda. Pelanggaran di rumah sebagian, karena anak ingin menegakkan
kemandiriannya, dan sebagian lagi karena anak sering menganggap
21
peraturan tidak adil, terutama apabila berbeda dengan peraturan-
peraturan rumah yang diharapkan dipatuhi oleh semua teman.
Meningkatnya. pelanggaran di sekolah disebabkan oleh kenyataan
bahwa anak yang lebih besar tidak lagi menyenangi sekolah seperti
ketika masih kecil, dan tidak lagi menyukai guru seperti ketika masih
duduk di kelas yang lebih rendah. Menjelang akhir masa kanak-kanak
pelanggaran semakin berkurang. Menurunnya pelanggaran adalah
karena adanya kematangan fisik dan psikhis, tetapi lebih sering karena
kurangnya tenaga yang merupakan ciri pertumbuhan pesat yang
mengiringi bagian awal dari masa puber. Banyak anak prapuber yang
sama sekali tidak mempunyai tenaga untuk nakal (Hurlock, t.th: 163-
164).
Dari uraian tersebut, tentang perkembangan akhlak anak pada
akhir masa kanak-kanak, jelaslah bahwa anak berusaha untuk
menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sosial di sekitarnya yang
apabila terjadi sesuatu pelanggaran akan mengakibatkan adanya
sanksi. Sebagai salah satu usaha untuk mengatasi pelanggaran,
diterapkan suatu disiplin yang disesuaikan dengan tingkat
perkembangan anak. Di samping itu, orang-tua perlu memberikan
pengertian tentang nilai-nilai kepada anak, dan membiasakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pada saatnya anak perlu diberi
ganjaran seperti pujian atas perlakuannya melaksanakan nilai-nilai
22
tersebut, yang sudah barang tentu pujian tersebut disesuaikan dengan
tingkat perkembangan anak.
Dengan demikian nyatalah bahwa perkembangan anak pada fase
ini baik perkembangan jasmani, intelektual, fantasi maupun perasaan dan
akhlak sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak pada fase-fase
berikutnya.
Setiap orang dikenali dengan identitas masing-masing, tetapi
pengenalan kita terhadap seseorang sering tidak utuh sehingga "siapa dia"
yang sebenarnya sesungguhnya tidak dikenali. Ada seorang isteri yang
sudah hidup serumah dengan suaminya selama belasan tahun, tetapi tetap
belum mengenali suaminya secara utuh, dan kemudian pada usia
perkawinannya yang ke-20 ia dibuat kaget setelah mengenal "siapa"
sebenarnya suaminya itu. Siapa dia seutuhnya dari seseorang itulah yang
biasanya disebut sebagai kepribadian, atau syahshiyyah, atau personality.
Manusia sebagai makhluk yang berfikir dan merasa memang bisa
dibentuk kepribadiannya melalui proses pendidikan, atau tepatnya, bahwa
corak perjalanan hidup seseorang sangat besar peranannya dalam
membentuk kepribadiannya (Mubarok, t.th: 82).
Kepribadian (Suryabrata, 1988: 1) merupakan terjemahan dari
personality (Inggris), persoonlijkheid (Belanda); personnalita (Prancis);
personlichkeit (Jerman); personalita (Itali); dan personalidad (Spanyol)
(Mujib, 2006: 17).
23
Akar kata masing-masing sebutan itu berasal dari kata Latin
"persona" yang berarti “kedok” atau "topeng", yaitu tutup muka yang
sering dipakai oleh pemain panggung, yang maksudnya untuk
menggambarkan perilaku, watak atau pribadi seseorang. Hal itu dilakukan
karena terdapat ciri-ciri yang khas yang hanya dimiliki oleh seseorang
tersebut baik dalam arti kepribadian yang baik, ataupun yang kurang baik.
Misalnya untuk membawakan kepribadian yang angkara murka, serakah
dan sebagainya sering ditopengkan dengan gambar raksasa, sedangkan
untuk perilaku yang baik, budiluhur, suka menolong, berani berkorban dan
sebagainya ditopengkan dengan seorang ksatria, dan sebagainya (Sujanto,
Lubis dan Hadi, 2004: 10).
Dengan demikian “topeng” yang dimaksud tersebut yaitu topeng
yang dipakai oleh aktor drama atau sandiwara. Atau juga dari kata Latin
"personare" yang berarti to sound through (suara tembus). Dalam bahasa
Arab kontemporer, kepribadian ekuivalen dengan istilah syakhshiyyah.
Term syakhshiyyah bukan satu-satunya term yang dipergunakan untuk
menunjukkan makna personality. Ronald Alan Nicholson sebagaimana
dikutip Abdul Mujib misalnya, menyebut dua istilah yang menjadi
sinonimnya, yaitu al-huwiyyah dan al-dzatiyyah. Sementara dalam
leksikologi bahasa Arab, dikenal juga istilah nafsiyyah yang berasal dari
kata nafs, istilah aniyyah (ada yang menyebut iniyyah) dari kata "ana",
dan istilah khuluqiyyah atau akhlaq. Istilah yang terakhir ini (akhlak) lebih
banyak ditemukan di dalam literatur Islam klasik (Mujib, 2006: 18).
24
Adapun kata personality berasal dari kata "person" yang secara
bahasa memiliki arti: (1) an individual human being (sosok manusia
sebagai individu); (2) a common individual (individu secara umum); (3) a
living human body (orang yang hidup); (4) self (pribadi); (5) personal
existence or identity (eksistensi atau identitas pribadi); dan (6) distinctive
personal character (kekhususan karakter individu). Atau personality: (1)
Existence as a person (eksistensi sebagai orang); (2) The assemblage of
qualities, physical, mental, and moral, that set one apart from others
(kumpulan dari kualitas, phisik, mental, dan moral, yang menetapkan satu
terlepas dari orang yang lain); (3) Distinctive individuality, as, he is a man
of strong personality (Ciri khas yang membedakan, sebab ia adalah suatu
orang berprinsip kepribadian yang kuat); (4) A too intimate or offensive
remark about a person, as, don't indulge in personalities (Seorang teman
karib atau komentar yang menyerang tentang seseorang, jangan menurut
kesenangan diri kepribadian) (Teall and Taylor, 1958: 722).
Sedangkan dalam bahasa Arab, pengertian etimologis kepribadian
dapat dilihat dari pengertian term-term padanannya, seperti huwiyah,
aniyyah, dzatiyyah, nafsiyyah, khuluqiyyah, dan syakhshiyyah sendiri.
Masing-masing term ini meskipun memiliki kemiripan makna dengan kata
syakhsiyyah, tetapi memiliki keunikan tersendiri.
Pengertian kepribadian dari sudut terminologi memiliki banyak
definisi, karena hal itu berkaitan dengan konsep-konsep empiris dan
filosofis tertentu yang merupakan bagian dari teori kepribadian. Konsep-
25
konsep empiris dan filosofis di sini meliputi dasar-dasar pemikiran
mengenai wawasan, landasan, fungsi-fungsi, tujuan, ruang lingkup, dan
metodologi yang dipakai perumus. Oleh sebab itu, tidak satu pun definisi
yang subtantif kepribadian dapat diberlakukan secara umum, sebab
masing-masing definisi dilatarbelakangi oleh konsep-konsep empiris dan
filosofis yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, tidak berkelebihan jika
Gordon W Allport (1897 – 1967) dalam studi kepustakaannya
menemukan sejumlah 50 definisi mengenai kepribadian yang berbeda-
beda yang digolongkan ke dalam sejumlah kategori (Hall dan Lindzey,
1993: 24).
Dengan meminjam definisi Allport, kepribadian secara sederhana
dapat dirumuskan dengan definisi "what a man really is" (manusia
sebagaimana adanya). Maksudnya, manusia sebagaimana sunnah atau
kodratnya, yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Akan tetapi definisi itu oleh
Allport dianggap terlalu singkat untuk dapat digunakan, maka sampailah
ia pada definisi yang lebih terkenal berikut ini:
Kepribadian adalah organisasi yang dinamis dalam diri individu yang terdiri dari sistem-sistem psiko-fisik yang menentukan cara penyesuaian diri yang khas (unik) dari individu tersebut terhadap lingkungannya (Hall dan Lindzey, 1993: 24).
Kata dinamis menunjukkan bahwa kepribadian bisa berubah-ubah,
dan antar berbagai komponen kepribadian (yaitu sistem-sistem psikofisik)
terdapat hubungan yang erat. Hubungan-hubungan itu terorganisir
26
sedemikian rupa sehingga secara bersama-sama mempengaruhi pola
perilakunya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Definisi yang luas dapat berpijak pada struktur kepribadian, yaitu
integrasi sistem kalbu, akal, dan hawa nafsu manusia yang menimbulkan
tingkah laku." Definisi ini sebagai bandingan dengan definisi yang
dikemukakan oleh para psikolog Psikoanalitik seperti Sigmund Freud dan
Carl Gustav Jung (Chaplin, 1981:.362).
Dalam diri manusia terdapat elemen jasmani sebagai struktur
biologis kepribadiannya dan elemen ruhani sebagai struktur psikologis
kepribadiannya. Sinergi kedua elemen ini disebut dengan nafsani yang
merupakan struktur psikopisik kepribadian manusia. Struktur Nafsani
memiliki tiga daya, yaitu (1) qalbu yang memiliki fitrah ketuhanan
(ilahiyah) sebagai aspek supra-kesadaran manusia yang berfungsi sebagai
daya emosi (rasa); (2) akal yang memiliki fitrah kemanusiaan (insaniah}
sebagai aspek kesadaran manusia yang berfungsi sebagai daya kognisi
(cipta); dan (3) nafsu yang memiliki fitrah kehewanan (hayawaniyyah)
sebagai aspek pra atau bawah-kesadaran manusia yang berfungsi sebagai
daya konasi (karsa), Ketiga komponen fitrah nafsani ini berintegrasi untuk
mewujudkan suatu tingkah laku.
Jadi, dari sudut tingkatannya maka kepribadian itu merupakan
integrasi dari aspek-aspek supra-kesadaran (ketuhanan), kesadaran
(kemanusiaan), dan pra-atau bawah kesadaran (kebinatangan). Sedang
dari sudut fungsinya, kepribadian merupakan integrasi dari daya-daya
27
emosi, kognisi, dan konasi, yang terwujud dalam tingkah laku luar
(berjalan, berbicara, dan sebagainya) maupun tingkah laku dalam (pikiran,
perasaan, dan sebagainya).
Memang agak aneh bahwa untuk menjelaskan keunikan individu,
para ahli belum memperoleh suatu pendekatan yang disepakati bersama.
Penelitian-penelitian sudah lama dan banyak sekali dilakukan. Hasil yang
diperoleh adalah banyaknya teori kepribadian yang ditawarkan. Tetapi
harus dikatakan bahwa tidak ada satu teoripun yang sempurna. Morgan
dkk (1986: 67), memberi alasan bahwa kita tidak akan mampu menguji
semua teori yang disajikan secara menyeluruh. Itulah sebabnya Sarwono
(1989: 87) menegaskan bahwa kepribadian adalah sebuah konsep yang
sangat sukar dimengerti dalam psikologi, meskipun istilah ini digunakan
sehari-hari.
2.2. Kesehatan Mental
2.2.1.Pengertian Kesehatan Mental
Sebagai makhluk yang memiliki kesadaran, manusia menyadari
adanya problem yang mengganggu mentalnya, oleh karena itu sejarah
manusia juga mencatat adanya upaya mengatasi problema tersebut.
Upaya-upaya tersebut ada yang bersifat mistik yang irasional, ada juga
yang bersifat rasional, konsepsional dan ilmiah (Mubarok, 2000: 13).
Pada masyarakat Barat modern atau masyarakat yang mengikuti
peradaban Barat yang sekular, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi
28
problem mental itu dilakukan dengan menggunakan pendekatan
psikologi, dalam hal ini kesehatan mental. Sedangkan pada masyarakat
Islam, karena mereka (kaum muslimin) pada awal sejarahnya telah
mengalami problem psikologis seperti yang dialami oleh masyarakat
Barat, maka solusi yang ditawarkan lebih bersifat religius spiritual,
yakni tasawuf atau akhlak. Keduanya menawarkan solusi bahwa
manusia itu akan memperoleh kebahagiaan pada zaman apa pun, jika
hidupnya bermakna (Mubarok, 2000: 14).
Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara
agama, mental spiritual, akal, jasmani, harta, dan keturunan. Setidaknya
tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan kesehatan. Tidak heran
jika ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan kesehatan
(Shihab, 2003: 181). Namun demikian para ahli belum ada kesepakatan
terhadap batasan atau definisi kesehatan mental. Hal itu disebabkan
antara lain karena adanya berbagai sudut pandang dan sistem
pendekatan yang berbeda. Dengan tiadanya kesatuan pendapat dan
pandangan tersebut, maka menimbulkan adanya perbedaan konsep
kesehatan mental. Lebih jauh lagi mengakibatkan terjadinya perbedaan
implementasi dalam mencapai dan mengusahakan mental yang sehat.
Perbedaan itu wajar dan tidak perlu merisaukan, karena sisi lain adanya
perbedaan itu justru memperkaya khasanah dan memperluas pandangan
orang mengenai apa dan bagaimana kesehatan mental (Musnamar, 1992:
29
XIII). Sejalan dengan keterangan di atas maka di bawah ini
dikemukakan beberapa rumusan kesehatan mental, antara lain:
Pertama, menurut Daradjat, dalam pidato pengukuhannya
sebagai guru besar IAIN "Syarif Hidayatullah Jakarta" (1984)
mengemukakan lima buah rumusan kesehatan mental yang lazim dianut
para ahli. Kelima rumusan itu disusun mulai dari rumusan- rumusan
yang khusus sampai dengan yang lebih umum, sehingga dari urutan itu
tergambar bahwa rumusan yang terakhir seakan-akan mencakup
rumusan-rumusan sebelumnya.
1. Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan
jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose).
Definisi ini banyak dianut di kalangan psikiatri (kedokteran jiwa)
yang memandang manusia dari sudut sehat atau sakitnya.
2. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta
lingkungan tempat ia hidup. Definisi ini tampaknya lebih luas dan
lebih umum daripada definisi yang pertama, karena dihubungkan
dengan kehidupan sosial secara menyeluruh. Kemampuan
menyesuaikan diri diharapkan akan menimbulkan ketenteraman dan
kebahagiaan hidup.
3. Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-
sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan
untuk menghadapi problema-problema yang biasa terjadi, serta
30
terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). Definisi
ini menunjukkan bahwa fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan,
sikap, pandangan dan keyakinan harus saling menunjang dan
bekerja sama sehingga menciptakan keharmonisan hidup, yang
menjauhkan orang dari sifat ragu-ragu dan bimbang, serta terhindar
dari rasa gelisah dan konflik batin.
4. Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan
untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat dan
pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa
kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari
gangguan dan penyakit jiwa (Daradjat, 1983: 11-13).
Definisi keempat ini lebih menekankan pada pengembangan
dan pemanfaatan segala daya dan pembawaan yang dibawa sejak
lahir, sehingga benar-benar membawa manfaat dan kebaikan bagi
orang lain dan dirinya sendiri.
5. Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-
sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian
din antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan
keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup
yang bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat
(Daradjat, 1983: 11-13).
Kedua, menurut M.Buchori, kesehatan mental adalah ilmu yang
meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta
31
prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani. Orang yang
sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau dalam hatinya selalu
merasa tenang, aman, dan tenteram. Jalaluddin dengan mengutip H.C.
Witherington menambahkan, permasalahan kesehatan mental menyangkut
pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat lapangan psikologi,
kedokteran, psikiatri, biologi, sosiologi, dan agama (Jalaluddin, 2000:
154)
Ketiga, Kartini Kartono, Jenny Andari mengetengahkan rumusan
bahwa mental hygiene atau ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang
mempelajari masalah kesehatan mental/jiwa, bertujuan mencegah
timbulnya gangguan/penyakit mental dan gangguan emosi, dan berusaha
mengurangi atau menyembuhkan penyakit mental, serta memajukan
kesehatan mental rakyat. Dengan demikian mental hygiene mempunyai
tema sentral yaitu bagaimana cara orang memecahkan segenap keruwetan
batin manusia yang ditimbulkan oleh macam-macam kesulitan hidup,
serta berusaha mendapatkan kebersihan mental, dalam pengertian tidak
terganggu oleh macam-macam ketegangan, kekalutan dan konflik terbuka
serta konflik batin (Kartono, 1989: 4).
Kesehatan mental seseorang berhubungan dengan kemampuan
menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapi. Setiap manusia
memiliki keinginan-keinginan tertentu, dan di antara mereka ada yang
berhasil memperolehnya tanpa harus bekerja keras, ada yang
memperolehnya setelah berjuang mati-matian, dan ada yang tidak berhasil
32
menggapainya meskipun telah bekerja keras dan bersabar untuk
menggapainya.
Dari berbagai definisi tersebut, maka definisi dari Daradjat
khususnya definisi yang kelima lebih mencakup keseluruhan unsur-unsur
kesehatan mental. Di samping itu definisi yang kelima memasukkan unsur
agama yang sangat penting dan harus diupayakan penerapannya dalam
kehidupan, sejalan dengan penerapan prinsip-prinsip kesehatan mental dan
pengembangan hubungan baik dengan sesama manusia.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesehatan mental
adalah terhindarnya seseorang dari gejala-gejala gangguan dan penyakit
mental, dapat menyesuaikan diri, dapat memanfaatkan segala potensi dan
bakat semaksimal mungkin dan membawa kepada kebahagiaan bersama
serta tercapainya keharmonisan dalam hidup
2.2.2.Ciri-Ciri Mental Yang Sehat
Jahoda sebagaimana dikutip Jaya (1995: 140) memberikan
batasan yang luas tentang kesehatan mental. Menurutnya, pengertian
kesehatan mental tidak hanya terbatas pada terhindarnya seseorang dari
gangguan dan penyakit kejiwaan, akan tetapi orang yang bersangkutan
juga memiliki karakter utama sebagai berikut.
1. Sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri, dalam arti ia dapat
mengenal dirinya dengan baik.
2. Pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan diri yang baik.
33
3. Integrasi diri yang meliputi keseimbangan mental, kesatuan
pandangan, dan sabar terhadap tekanan-tekanan yang terjadi.
4. Otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan diri atau
kelakuan-kelakuan bebas.
5. Persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan, serta
memiliki empati dan kepekaan sosial.
6. Kemampuan untuk menguasai lingkungan dan berintegrasi dengannya
secara baik
Jasmani yang sehat ditandai oleh ciri-ciri memiliki energi, daya
tahan atau stamina yang tinggi, kuat bekerja, serta badan selalu sehat
dan nyaman. Adapun mentalitas yang sehat memiliki gejala: posisi
pribadinya harmonis dan seimbang, baik ke dalam, terhadap diri sendiri,
maupun keluar, terhadap lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, ciri-ciri
khas pribadi yang bermental sehat, antara lain berikut ini.
1. Ada koordinasi dari segenap usaha dan potensinya sehingga mudah
mengadakan adaptasi terhadap tuntutan lingkungan, standar, dan
norma sosial, serta perubahan-perubahan sosial yang serba cepat.
2. Memiliki integrasi dan regulasi terhadap struktur kepribadian sendiri
sehingga mampu memberikan partisipasi aktif kepada masyarakat.
3. Senantiasa giat melaksanakan proses realisasi diri (yaitu
mengembangkan secara riil segenap bakat dan potensi), memiliki
tujuan hidup, dan selalu mengarah pada transendensi diri, berusaha
untuk melebihi kondisinya yang sekarang.
34
4. Bergairah, sehat lahir dan batin, tenang dan harmonis
kepribadiannya, efisien dalam setiap tindakannya, serta mampu
menghayati kenikmatan dan kepuasan dalam pemenuhan
kebutuhannya (Kartono, 2003: 82)
Sementara itu, menurut Hasan Langgulung, ada empat kriteria
yang biasa digunakan dalam menentukan sehat dan normal. Pertama,
kaidah statistik. Dalam kaidah statistik, sehat tidaknya mental seseorang
diukur dengan angka-angka statistik. Penggunaan kaidah statistik ini
didasarkan fakta tentang seseorang, baik dari segi jasmani, intelektual
atau emosi, kemudian fakta-fakta itu dituangkan dalam tabel statistik.
Tabel itu menunjukkan bahwa kebanyakan orang akan mencapai angka
pertengahan (sederhana) dari setiap item yang dinilai. Adapun tingkat
kesehatan mental yang sangat tinggi atau yang berada di bawah normal
mencapai angka yang lebih kecil. Kaidah statistik sangat lazim
digunakan untuk mengukur benda-benda. Oleh karena itu, meskipun
metode ini dapat dipakai, banyak ahli meragukan keakuratan ukuran ini.
Kedua, kriteria norma sosial. Kriteria ini menyatakan bahwa
orang normal atau sehat mentalnya adalah orang yang mengikuti pola-
pola tingkah laku, sikap-sikap sosial, dan nilai-nilai lain yang telah
disepakati oleh masyarakat sebagai norma-norma sosial. Kriteria ini
sangat cocok dengan madzhab Behaviorisme. Teori ini sangat lemah jika
diterapkan pada orang yang hidup di lingkungan masyarakat yang sakit,
35
karena ukuran yang tidak normal adalah apabila memiliki tingkah laku
yang sakit (pathological).
Ketiga, tingkah laku ikut-ikutan. Menurut kriteria ini, sehat
mental tidak diukur dengan kepatuhan seseorang pada norma-norma
sosial seperti kriteria kedua tersebut, tetapi pada keseimbangan
menentukan pilihan untuk mengikuti atau pura-pura mengikuti, bahkan
menentang dengan alasan bahwa sikap itu menghilangkan potensi-
potensi dirinya dan potensi masyarakatnya. Menurut teori ini, seseorang
mengikuti atau menentang norma-norma sosial bukan hanya
dipengaruhi oleh faktor kepribadiannya, tetapi juga oleh faktor interaksi
antar individu dan antar kelompok interaksi dan masalah yang menjadi
tumpuan pada saat ia mengikuti atau menentang. Dalam suasana
tertentu, seseorang mungkin mengikuti norma-norma sosial dan dalam
suasana lain, ia menentangnya.
Keempat, kriteria lain. Semua teori mungkin ada benarnya, tetapi
tidak terhindar dari kekurangan, apalagi jika digunakan untuk mengukur
kesehatan mental. Di samping tiga kriteria tersebut, menurut Hasan
Langgulung, ada sifat-sifat yang dapat digunakan untuk mengukur
kesehatan mental seseorang, antara lain:
1. Apakah seseorang menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya;
2. Apakah jarak antara aspirasi dan potensi yang secara realistik
dimiliki oleh orang itu sesuai;
36
3. Apakah seseorang memiliki keluwesan dalam hubungannya dengan
orang lain
4. Apakah seseorang memiliki keseimbangan emosi;
5. Apakah seseorang memiliki sifat spontanitas yang sesuai;
6. Apakah seseorang berhasil menciptakan hubungan sosial yang
dinamis dengan orang lain (Mubarok, 2000: 15-17)
Di pihak lain, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO, 1959)
memberikan kriteria mental yang sehat, yaitu sebagai berikut.
1. Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan
meskipun kenyataan itu buruk baginya.
2. Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya,
3. Merasa lebih puas memberi daripada menerima.
4. Secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas.
5. Berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan saling
memuaskan.
6. Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran di
kemudian hari.
7. Menjuruskan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan
konstruktif.
8. Mempunyai rasa kasih sayang yang besar (Hawari, 2002: 12-13)
Sementara itu, Rosihon Anwar dan M. Solihin memberikan tolok
ukur bagi orang yang sehat mentalnya, yaitu mampu merasakan
kebahagiaan dalam hidup. Orang-orang inilah yang dapat merasakan
37
bahwa dirinya berguna, berharga, dan mampu menggunakan segala
potensi dan bakatnya semaksimal mungkin dengan cara membawa
dirinya dan orang lain pada kebahagiaan. Di samping itu, ia mampu
menyesuaikan diri dalam arti yang luas sehingga terhindar dari
kegelisahan dan gangguan jiwa dan moralnya pun selalu terpelihara
(Anwar, 2000: 94)
Dari pengertian tersebut, dapat diketahui bahwasanya tolok ukur
orang yang benar-benar sehat mentalnya adalah orang yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berusaha secara sadar
merealisasikan nilai-nilai agama sehingga kehidupannya itu dijalaninya
sesuai dengan tuntutan agama.
2.2.3 Mental Disorder
Keluarga dalam hal ini orang tua sangat mempengaruhi
perkembangan mental anak. Dari orang tua maka anak bisa tumbuh
menjadi generasi yang sehat mental, namun sebaliknya karena keluarga
juga bisa melahirkan pertumbuhan anak mental disorder. Menurut CP.
Chaplin (1981: 298), mental disorder (gangguan, kekalutan, penyakit
mental) itu adalah sebarang bentuk ketidak mampuan menyesuaikan diri
yang serius sifatnya terhadap tuntutan dan kondisi lingkungan yang
mengakibatkan ketidak mampuan tertentu. Sumber
gangguan/kekacauannya bisa bersifat psikogenis atau organis,
mencakup kasus-kasus reaksi psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis yang
gawat.
38
Menurut Wiramihardja (2005: 3), mental disorder atau gangguan
mental merupakan istilah yang meliputi seluruh rentang gangguan, dari
yang sifatnya sangat ringan sampai dengan yang sangat berat. Seringkali
dimasukkan dalam pengertian ini adalah gangguan yang berat pada
fungsi-fungsi mental, bahkan digunakan pula untuk perilaku-perilaku
yang secara komprehensif tidak efektif. Menurut Kartini Kartono,
disorder mental adalah bentuk penyakit, gangguan, dan kekacauan
fungsi mental atau gangguan mental, disebabkan oleh kegagalan
mereaksinya mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan/mental
terhadap stimuli ekstern dan ketegangan-ketegangan; sehingga muncul
gangguan fungsional atau gangguan struktural dari satu bagian, satu
organ, atau sistem kejiwaan/mental (Kartono dan Andari, 1989: 80).
Seseorang dengan mudah mengenal orang lain yang sakit. Ada
tumor, tekanan darah tinggi, atau dia menyatakan sakit kepala. Penyakit
atau sakit pada badan diakui adanya dan dapat dirasakan anak-anak
sampai orang yang lanjut usia. Asalkan terdapat suatu gangguan pada
badan maka orang itu dikatakan mengalami kesakitan atau secara
khusus disebut sakit fisik (phisically illness).
Sebagai analogi dari adanya sakit badan, maka tentunya ada
penyakit, sakit, gangguan psikis, atau gangguan mental (mental
disorder). Jika sakit fisik mencakup segenap abnormalitas badan, organ,
jaringan, sel, dan proses fisiologis, maka gangguan mental mencakup
abnormalitas mental. Untuk memahami ada tidaknya suatu gangguan
39
mental tidak semudah mengenal pada gangguan fisik. Banyak faktor
yang mempengaruhi kesepakatan pengertian terhadap gangguan mental
ini. Selain karena faktor kultural yang mengartikan konsep sehat dan
sakit secara berbeda antara budaya satu dengan lainnya, juga faktor
individual yaitu persepsi dan perasaan yang sangat subjektif sifatnya
(Notosoedirdjo dan Latipun, 2002: 35).
Namun demikian, hampir setiap orang menyadari bahwa
gangguan mental itu diakui adanya di masyarakat. Sama halnya dengan
yang terjadi pada gangguan fisik, gangguan mental ini pada dasarnya
juga terdapat di semua masyarakat, jadi gangguan mental ada secara
universal. Gangguan mental dalam beberapa hal disebut perilaku ab-
normal (abnormal behavior), yang juga dianggap sama dengan sakit
mental (mental illness), sakit jiwa (insanity, lunacy, madness), selain
terdapat pula istilah-istilah yang serupa, yaitu: distress, discontrol,
disadvantage, disability, inflexibility, irrationality, syndromal pattern,
dan disturbance. Berbagai istilah ini dalam beberapa hal dianggap sama,
namun di lain pihak digunakan secara berbeda. Dalam International
Classification of Diseases (ICD) dan Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders (DSM) digunakan istilah "mental disorder" yang
diterjemahkan menjadi gangguan jiwa atau mental (Notosoedirdjo dan
Latipun, 2002: 35).
40
2.3. Bimbingan dan Konseling Islam
2.3.1. Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam
Pengertian harfiyyah “bimbingan” adalah menunjukkan,
memberi jalan, atau menuntun” orang lain ke arah tujuan yang
bermanfaat bagi hidupnya di masa kini dan masa mendatang. Istilah
“bimbingan” merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris “guidance”
yang berasal dari kata kerja ”to guide” yang berarti “menunjukkan”
(Arifin, 1994: 1).
Secara etimologis, istilah konseling berasal dari bahasa latin
yaitu “consilium” yang berarti “dengan” atau “bersama” yang dirangkai
dengan “menerima” atau “memahami”. Sedangkan dalam bahasa Anglo-
Saxon, istilah konseling berasal dari “sellan” yang berarti
“menyerahkan” atau “menyampaikan” (Prayitno dan Amti, 2004: 99)
Menurut Walgito (1989: 4), “Bimbingan adalah bantuan atau
pertolongan yang diberikan kepada individu atau sekumpulan individu
dalam menghadapi atau mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam
kehidupannya, agar individu atau sekumpulan individu itu dapat
mencapai kesejahteraan hidupnya” Dengan memperhatikan rumusan
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa bimbingan merupakan
pemberian bantuan yang diberikan kepada individu guna mengatasi
berbagai kesukaran di dalam kehidupannya, agar individu itu dapat
mencapai kesejahteraan hidupnya.
41
Dalam tulisan ini, bimbingan dan konseling yang di maksud
adalah yang Islami, maka ada baiknya kata Islam diberi arti lebih
dahulu. Menurut etimologi, Islam berasal dari bahasa Arab, terambil
dari asal kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata itu
dibentuk kata aslama yang artinya memeliharakan dalam keadaan
selamat sentosa, dan berarti juga menyerahkan diri, tunduk, patuh dan
taat. Kata aslama itulah menjadi pokok kata Islam mengandung segala
arti yang terkandung dalam arti pokoknya, sebab itu orang yang
melakukan aslama atau masuk Islam dinamakan muslim (Razak, 1986:
56). Secara terminologi sebagaimana dirumuskan oleh Harun Nasution,
Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada
masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul
(Nasution, 1985: 24).
Bertitik tolak dari uraian tersebut, maka yang di maksud
bimbingan Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu
agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah
sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Sedang konseling Islam adalah proses pemberian bantuan terhadap
individu agar menyadari kembali akan eksistensinya sebagai makhluk
Allah yang seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk
Allah sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat
(Musnamar, 1992: 5).
42
2.3.2. Dasar Pijakan dan Azas-Azas Bimbingan dan Konseling Islam
Yang menjadi dasar pijakan utama bimbingan dan konseling
Islam adalah al-Qur'ān dan hadiś. Keduanya merupakan sumber hukum
Islam atau dalil-dalil hukum (Khallaf, 1978: 10).
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda :
عن مالك أنهم بلغهم أن رسول الله صلى اللهم عليه وسـلم قـال كترة تنسالله و ابا كتبهم مكتسما تا مدضلواابت ن لنيرأم فيكم
)رواه مسلم(نبيه
Artinya : Dari Malik sesungguhnya Rasulullah bersabda: Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara atau pusaka, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kalian berpegang kepada keduanya; kitabullah (Qur’an) dan Sunnah Rasulnya (HR Muslim) (Muslim, 1967: 35)
Dalam al-Qur'ān Allah berfirman:
)7: احلشر...(وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا...
Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah (Q.S. Al-Hasyr:7) (Depag RI, 1978: 915)
Al-Qur'ān dan hadiś merupakan landasan utama yang dilihat dari
sudut asal-usulnya, merupakan landasan naqliyah. Ada landasan lain
yang dipergunakan oleh bimbingan dan konseling Islam yang sifatnya
aqliyah yaitu filsafat dan ilmu, dalam hal ini filsafat Islam dan ilmu atau
landasan ilmiah yang sejalan dengan ajaran Islam.
Landasan filosofis Islam yang penting artinya bagi bimbingan
dan konseling Islam antara lain :
43
1. Falsafah tentang dunia manusia (citra manusia)
2. Falsafah tentang dunia dan kehidupan
3. Falsafah tentang pernikahan dan keluarga.
4. Falsafah tentang pendidikan.
5. Falsafah tentang masyarakat dan hidup kemasyarakatan.
6. Falsafah tentang upaya mencari nafkah atau falsafah kerja.
Dalam gerak dan langkahnya, bimbingan dan konseling Islam
berlandaskan pula pada berbagai teori yang telah tersusun menjadi ilmu.
Sudah barang tentu teori dan ilmu itu, khususnya ilmu-ilmu atau teori-
teori yang dikembangkan bukan oleh kalangan Islam yang sejalan
dengan ajaran Islam sendiri. Ilmu-ilmu yang membantu dan dijadikan
landasan gerak operasional bimbingan dan konseling Islam itu antara
lain:
1. Ilmu jiwa (psikologi)
2. Ilmu hukum Islam (syari’ah)
3. Ilmu kemasyarakatan (sosiologi, antropologi sosial dan sebagainya)
(Musnamar,.1992; 6)
Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa al-Qur'an dan Hadits
merupakan basis utama yang mewarnai gerak langkah bimbingan dan
konseling Islam.
Adapun asas-asas atau prinsip-prinsip bimbingan dan konseling
Islam terdiri dari:
1. Asas-asas kebahagiaan di dunia dan akhirat
44
Bimbingan dan konseling Islam tujuan akhirnya adalah
membantu klien, atau konseli, yakni orang yang dibimbing,
mencapai kebahagiaan hidup yang senantiasa didambakan oleh
setiap muslim.
2. Asas fitrah
Bimbingan dan konseling Islam merupakan bantuan kepada
klien atau konseli untuk mengenal, memahami dan menghayati
fitrahnya, sehingga segala gerak tingkah laku dan tindakannya
sejalan dengan fitrahnya tersebut.
3. Asas “lillahi ta’ala
Bimbingan dan konseling Islam diselenggarakan semata-
mata karena Allah. Konsekuensi dari asas ini berarti pembimbing
melakukan tugasnya dengan penuh keikhlasan, tanpa pamrih,
sementara yang dibimbing pun menerima atau meminta bimbingan
dan atau konseling pun dengan ikhlas dan rela, karena semua pihak
merasa bahwa semua yang dilakukan adalah karena dan untuk
pengabdian kepada Allah semata, sesuai dengan fungsi dan tugasnya
sebagai mahkluk Allah yang harus senantiasa mengabdi pada-Nya.
4. Asas Bimbingan seumur hidup
Manusia hidup betapapun tidak akan ada yang sempurna dan
selalu bahagia. dalam kehidupannya mungkin saja manusia akan
menjumpai berbagai kesulitan dan kesusahan. Oleh karena itulah
45
maka bimbingan dan konseling Islam diperlukan selama hayat
dikandung badan.
5. Asas kesatuan jasmaniah-rohaniah
Seperti telah diketahui dalam uraian mengenai citra manusia
menurut Islam ,manusia itu dalam hidupnya di dunia merupakan satu
kesatuan jasmaniah-rohaniah. Bimbingan dan konseling Islam
memperlakukan kliennya sebagai makhluk jasmaniah-rohaniah
tersebut, tidak memandangnya sebagai makhluk biologis semata atau
makhluk rohaniah semata.
6. Asas keseimbangan rohaniah
Rohani manusia memiliki unsur daya kemampuan pikir,
merasakan atau menghayati dan kehendak atau hawa nafsu serta
juga akal. Kemampuan ini merupakan sisi lain kemampuan
fundamental potensial untuk:(1) mengetahui (=”mendengar), (2)
memperhatikan atau menganalisis (=”melihat”;dengan bantuan atau
dukungan pikiran), dan (3) menghayati (=”hati” atau af’idah, dengan
dukungan kalbu dan akal).
7. Asas kemaujudan individu (eksistensi)
Bimbingan dan konseling Islami, memandang seorang
individu merupakan maujud (eksistensi) tersendiri. Individu
mempunyai hak, mempunyai perbedaan individu dari yang lainnya,
dan mempunyai kemerdekaan pribadi sebagai konsekuensi dari
haknya dan kemampuan fundamental potensial rohaniahnya.
46
8. Asas sosialitas manusia
Manusia merupakan makhluk sosial, hal ini diakui dan
diperhatikan dalam bimbingan dan konseling Islami. Pergaulan,
cinta kasih, rasa aman, penghargaan pada diri sendiri dan orang lain,
rasa memiliki dan dimiliki, semuanya merupakan aspek-aspek yang
diperhatikan di dalam bimbingan dan konseling Islam , karena
merupakan ciri hakiki manusia (Faqih, 2002: 200)
9. Asas kekhalifahan manusia
Manusia, menurut Islam diberi kedudukan yang tinggi
sekaligus tanggung jawab yang besar, yaitu sebagai pengelola alam
semesta (“khalifatullah fil ard”). Dengan kata lain, manusia
dipandang sebagai makhluk berbudaya yang mengelola alam sekitar
sebaik baiknya. Sebagai khalifah, manusia harus memelihara
keseimbangan ekosistem sebab problem-problem kehidupan kerap
kali muncul dari ketidakseimbangan ekosistem tersebut yang
diperbuat oleh manusia itu sendiri. bimbingan dan fungsinya tersebut
untuk kebahagiaan dirinya dan umat manusia.
10. Asas keselarasan dan keadilan. Islam menghendaki keharmonisan,
keselarasan, keseimbangan, keserasian dalam segala segi.
11. Asas pembinaan akhlakul karimah, manusia menurut pandangan
Islam memiliki sifat-sifat yang baik (mulia). Sekaligus mempunyai
sifat-sifat lemah.
47
12. Asas kasih sayang. Setiap manusia memerlukan cinta kasih dan rasa
kasih sayang dari orang lain.
13. Asas saling menghargai dan menghormati. Dalam bimbingan dan
konseling Islam kedudukan pembimbing atau konselor dengan yang
dibimbing sama atau sederajat.
14. Asas musyawarah. Bimbingan dan konseling Islam dilakukan
dengan asas musyawarah.
15. Asas keahlian, bimbingan dan konseling Islam dilakukan oleh
orang–orang yang memang memiliki kemampuan keahlian dibidang
tersebut.(Musnamar, 1992: 20-33)