BAB II Bismillah
description
Transcript of BAB II Bismillah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN TEORI
1. Konsep Tuberkulosis
a. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman
Tuberkulosis menyerang paru tapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya.
(Depkes, 2004).
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui
udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan ludah
yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas.
(Widoyono, 2008).
b. Kuman Tuberkulosis
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pewarnan. Oleh karena itu disebut juga sebagai Basil Tahan Asam
(BTA). Kuman Tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi
dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam
jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.
(Depkes, 2008)
Mycobacterium tuberculosis termasuk familie mycobactericiae yang
mempunyai beberapa genus, satu diantaranya adalah mycobacterium yang salah
satu spesiesnya adalah mycobacterium tuberculosis. Yang palig berbahaya bagi
manusia adalah tipe humanis ( Depkes, 2008 ).
c. Patofiologi
Penyakit tuberculosis menular melalui udara yang tercemar bakteri
tuberculosis yang dilepaskan saat penderita batuk. Bakteri dipindahkan melalui
jalan nafas ke alveoli, tempat dimana mereka terkumpul dan mulai untuk
memperbanyak diri. Bakteri menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah
bening dan menginfeksi ke organ tubuh lainnya, seperti : ginjal, tulang, otak
(korteks serebri), saluran pencernaan, kelenjar getah bening dan area paru-paru
lainnya (lobus atas).
Sistem imun tubuh merespons dengan melakukan reaksi infalamsi. Masa
jaringan tubuh (granulomas) merupakan gumpalan bakteri yang masih hidup dan
yang sudah mati, dikelilingi makrofag yang membentuk dinding protektif,
gronumolos seperti keju, paru yang membengkak.
Saat mycobacterium tuberculosa berhasil menginfeksi paru-paru maka
tumbuh koloni bakteri yang globur (bulat). Melalui serangkain reaksi immunologis
bakteri ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding itu membuat
jaringan disekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri tuberculosis ini akan
menjadi jaringan parut dan bakteri tuberculosis ini akan menjadi dormant
(istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat tuberculosis pada
pemerikasaan foto rontgen.
Pada orang dengan sistem imun yang baik bentuk ini akan tetapa dormant
sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan tubuh kurang,
bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah
banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang didalam paru-paru
yang menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi
sputum diperkirakan sedang mnegalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan posif
terinfeksi tuberculosis (sandina, 2011).
d. Cara Penularan Penyakit Tuberkulosis Paru
Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif. Pada waktu
batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan diudara pada
suhu kamar selama beberapa jam (Depkes RI, 2008).
Seseorang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran
pernapasan. Setelah kuman tuberkulosis masuk kedalam tubuh manusia melalui
pernapasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar diparu bagian tubuh
lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau
penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2008).
Daya penularan dari seorang penderita di tentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari paru-parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan
dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif
(tidak terlihat kuman) maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
Kemungkinan seseorang menderita tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi droplet
dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2009).
Jumlah bakteri semakin banyak jumlah bakteri yang terhirup, maka
semakin besar kemungkinan seseorang untuk mengidap penyakit tuberculosis.
Tingkat keaktifan kuman (virulensi) semakin tinggi maka semakin cepat
berkembang biak didalam tubuh. Selain itu semakin cepat pula masa inkubasinya
(Depkes,2008)
Kelompok yang rentan tertular tuberculosis ( Depkes, 2008)
1) Orang dengan malnutrisi (kurang gizi)
2) Tinggal di daerah padat penduduk dan lingkungan kumuh
3) Rumah tanpa ventilasi yang memadai
4) Orang dengan HIV/AIDS, diabetes, ginjal kronis, penyakit paru silikosis
5) Perokok
6) Buruh pabrik
7) Kontak dengan orang terinfeksi tuberculosis aktif dan tak diobati.
e. Gejala
1) Tuberculosis paru
a) Batuk
Gejala ini paling banyak dijumpai dan sering ditemukan. Batuk terjadi
karena adanya iritasi pada bronchus untuk membuang produk-produk
radang keluar. Batuk terjadi setelah penyakit berkembang dalam jaringan
paru-paru setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan
bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian
setelah timbul peradagan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Batuk
yang terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih perlu
diwaspadai penderita tersangka Tuberkulosis.
b) Demam
Demam biasanya subfibril menyerupai demam influenza. Keadaan ini
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh dan berat ringannya infeksi kuman
tuberkulosis yang masuk. Panas badan dapat mencapai 400-410 C.
c) Sesak Napas
Pada penyakit yang masih ringan belum dirasakan sesak napas. Sesak
napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya
sudah meliputi setengah bagian paru.
d) Nyeri Dada
Gejala ini jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
e) Malaise (badan lemah)
Gejala malaise yang sering ditemukan berupa anaroksia, penurunan berat
badan, sakit kepala, nyeri otot dan keringat malam. Jika menderita gejala
diatas batuk yang tidak sembuh-sembuh selama 3 minggu, demam,
berkeringat dingin dimalam hari serta cepat lelah dan diperkuat dengan
riwayat kontak dengan seseorang penderita tuberkulosis. Sebaiknya cepat
memeriksakkan diri ke unit pelayanan kesehatan dan perlu dilakukan
pemeriksaan sputum secara mikroskopik langsung. Pada kondisi kronis
Tuberkulosis mempunyai gejala batuk darah disertai sakit di dada.
2) Tuberculosis ekstra paru
Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk
pada meningitis tuberculosis, pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada
limfadenitis tuberculosis kelenjar dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis tuberculosis tulang belakang dan lainya (sandina,2011).
f. Penegakkan diagnosis.
Batuk lebih dari 3 minggu setelah dicurigai kontak dengan penderita
Tuberkulosis dapat diduga sebagai Tuberkulosis. Dengan pemeriksaan yang
sistematis, intensif dan berulang kali serta berdasarkan pengertian pada perjalanan
penyakit tuberkulosis maka penderita tuberkulosis akan lebih mudah ditegakkan.
Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pemeriksaan
yaitu: Gejala klinis, pemeriksaan fisik, tes tuberkulin, radiology dan pemeriksaan
sputum (Depkes RI, 2004 ).
1) Pemeriksaan Fisik.
Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sangat tergantung dari
derajat berat ringannya penyakit, tidak jarang keadaan umum penderita baik
sekali dan tidak dijumpai kelainan pada pemeriksaan fisik. Pada penderita yang
sudah parah biasanya keluhan buruk, kurus sekali dan dapat dijumpai kelainan
pada pemeriksaan fisik paru. Pada pemeriksaan fisik harus kita perhatikan
kelainan yang sering dijumpai, pertama adalah pembesaran kelenjar dileher,
kedua kita perhatikan tempat predileksi Tuberkulosis yaitu daerah apek dan
segmen apical lobus bawah yang kira-kira letaknya dipertengahan punggung
(Depkes RI, 2003).
2) Tes Tuberkulin.
Tes kulit dapat mengidentifikasi seseorang yang telah terinfeksi pada
suatu saat oleh Mycobacterium tuberculosis, namun tidak dapat membedakan
antara penyakit yang sedang berlangsung dengan keadaan pasca infeksi. Suatu
hasil tes yang positif tidak selalu diikuti dengan penyakit, demikian juga dengan
hasil tes negatif tidak selalu menyingkirkan Tuberculosis. Tes tuberkulin ini
mungkin hanya berguna dalam menentukan diagnosis daripada penderita yang
dahaknya negatif (terutama anak-anak yang mempunyai kontak dengan
seseorang penderita Tuberkulosis yang menular) ( Suparman dan Waspadji,
2003 ).
Uji tuberkulin dilakukan dengan cara mantoux (Penyuntikan intra kutan)
dengan spuit tuberkulin 1 cc, pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah
penyuntikan. Jika uji tuberkulin meragukan dilakukan ulang ( Suparman dan
Waspadji, 2003 ).
3) Pemeriksaan Radiologi.
Pada saat ini pemeriksaan radiology dada merupakan cara yang praktis
untuk mendiagnosis tuberculosis pada penderita suspek dengan hasil
pemerikasaan sputum negatif. Untuk mendiagnosis pasti tuberculosis
berdasarkan pada pemeriksaan radiologis, hasilnya harus dibaca oleh dokter
yang telah berpengalaman (Depkes RI, 2003).
4) Pemeriksaan Sputum.
Pemeriksaan sputum secara mikroskopik merupakan pemeriksaan yang
paling sederhana, mudah, dan dapat dilaksanakan di puskesmas dengan
pemeriksaan yang sangat spesifik dan cukup sensitif. Tetapi tidak mudah
mendapatkan sputum terutama penderita yang tidak batuk produktif (Depkes,
2003)
Mycobacterium tuberkulosis berbentuk batang mempunyai sifat yaitu
tahan terhadap penghilangan warna dengan asam dan alkohol oleh karena itu
disebut basil tahan asam (BTA). Untuk mengurangi kesulitan menemukan BTA,
maka kualitas dan kuantitas sputum harus baik. (Depkes, 2003).
Sputum yang baik harus berjumlah 3-5 ml, kental, berwarna kuning
kehijau-hijauan dan bukan ludah. Sputum dikumpulkan dalam 2 hari berurutan
yaitu sputum sewaktu, pagi, sewaktu. Pada hari pertama waktu penderita datang
dengan keluhan suspek tuberkulosis, penderita mengumpulkan sputum sebagai
spesimen pertama berupa sputum sewaktu. Kemudian penderita diberi pot
sputum yang diisi pada esok harinya setelah bangun tidur sebagai spesimen
kedua berupa dahak pagi. Kemudian hari kedua saat menyerahkan sputum pagi,
penderita mengumpulkan sputum sebagai spesimen ketiga berupa sputum
sewaktu (Depkes, 2003).
g. Penemuan Pasien Tuberkulosis
1) Penemuan Pasien Tuberkulosis Pada Orang Dewasa
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan
langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan Tuberkulosis.
Penemuan dan penyembuhan pasien Tuberkulosis menular secara bermakna
akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat Tuberkulosis, penularan
Tuberkulosis di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan
penularan Tuberkulosis yang paling efektif di masyarakat.
Strategi penemuan pasien Tuberkulosis dilakukan secara pasif dengan
promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan
kesehatan, didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas
kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan
tersangka pasien Tuberkulosis. Pemeriksaan terhadap kontak pasien
Tuberkulosis, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak yang
menunjukan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Penemuan secara aktif dari
rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif.
2) Penemuan Pasien Tuberkulosis Pada Anak
Diagnosis Tuberkulosis pada anak sulit sehingga sering terjadi
misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak
batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya
sulit, maka diagnosis Tuberkulosis anak perlu kriteria lain dengan
menggunakan sistem skor yang dilakukan dokter dengan parameter : kontak
Tuberkulosis, uji tuberkulin, berat badan/keadaan gizi, demam tanpa sebab
jelas, batuk, pembesaran kelenjar limpe, koli, aksila, inguinal, pembengkakan
tulang/sendi panggul, lutut, falang, foto thoraks. (Depkes RI, 2008 )
h. Klasifikasi Penyakit
Klasifikasi Tuberkulosis (Depkes, 2008)
1) Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru
Adalah tuberculosis yang menyerang jaringan paru-paru. Tuberkulosis paru
dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :
a) Tuberkulosis paru BTA positif.
(1) Sekurang-kurangnya dua dari tiga pemeriksaan dahak memberikan hasil
yang positif
(2) Satu pemeriksaan dahak memberikan hasil yang positif dan foto
rontgen dada meenunjukan tuberculosis aktif
b) Tuberkulosis paru BTA negatif.
Pemeriksaan dahak negatif tetapi foto rontgen dada menunjukan
tuberculosis aktif. Dapat juga hasil pemeriksaan dahak meragukan yaitu
jumlah kuman yang ditemukan belum memenuhi syarat positif.
2) Tuberkulosis ekstra paru
Adalah tuberculosis yang menyerang organ tubuh selain paru-paru. Misalnya
selaput otak, selaput jantung, kelenjar getah bening (kelenjar), tulang,
persedian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing.
i.Faktor- faktor prediposisi timbulnya tuberculosis ( Depkes, 2008 )
1) Daya tahan tubuh atau sistem imun
Daya tahan tubuh terhadap penyakit tuberculosis terutama ditentukan oleh
sistem imunitas seluler. Setiap faktor yang mempengaruhinya secara negatif
akan meningkatkan kerentanan terhadap tuberculosis, seperti AIDS, pemakaian
kortikosteroid sistemik jangka lama, diabetes mellitus, kurang gizi dan
sebagainya.
2) Pernah terkena tuberculosis
Seseorang yang mempunyai bekas penyakit tubercolosis, bila belum pernah
menerima pengobatan spesifik lengkap kemungkinan menderita tuberculosis
jauh lebih besar dibandingkan dengan orang normal.
3) Bentuk tubuh
Seseorang yang tinggi dan kurus kemungkinannya mendapat tuberculosis lebih
besar bila dibandingkan dengan mereka yang tidak kurus.
j.Komplikasi pada penderita tuberkulosis
Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut :
1) Hemoptitis berat ( perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya saluran
nafas.
2) Kolaps (pingsan) dari lobus akibat retraksi bronchial (tertariknya cabang
tenggorok)
3) Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif pada paru)
4) Pneumotorak (adanya udara di dalam rongga pleura)
5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan
sebagainya.
6) Insufisiensi kardio pulmoner ( cardin pulmonary insufficiency) Yaitu jantung
tidak mampu melaksanakan tugas yang diberikan oleh paru. Penderita yang
2. Konsep status gizi
a. Definisi status gizi
Status gizi merupakan suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh
keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Keseimbangan tersebut
dapat dilihat dari variabel pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi badan atau
panjang badan, lingkar kepala, limgkar lengan dan panjang tungkai (Supariasa,
2003).
Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk
variabel tertentu atau dapat dikatakan bahwa status gizi merupakan indikator baik-
buruknya penyediaan makanan sehari-hari (Irianto, 2007).
b. Penilaian status gizi
Penilaian status gizi menggunakan dua metode penilaian yaitu, metode
secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat
dibagi menjadi empat penilaian, yaitu penilaian antropometri, klinis, biokimia, dan
biofisika. Penilaian status gizi tidak langsung dapat dibagi menjadi tiga yaitu survei
konsumsi makanan, statistik vital, dan factor ekologi (Supariasa, 2003).
1) Pemeriksaan langsung
Untuk mengetahui status gizi seseorang, dapat dilakukan pemeriksaan
langsung yang meliputi antara lain (Wati dan Proverawati, 2010).
a) Antropometri
Pemeriksaan antropometri dilakukan dengan cara mengukur tinggi badan,
berat badan, lingkar lengan atas, tebal lemak tubuh (triceps, biceps,
subscapula dan suprailliaca). Pengukuran antropometri bertujuan mengetahui
status gizi berdasarkan satu ukuran menurut ukuran lainnya, misalnya berat
badan dan tinggi badan menurut umur (BB & TB/U), berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB), lingkar lengan atas menurut umur (LLA/U), lingkar
lengan atas menurut tinggi badan (LLA/TB). Berikut ini adalah antropometri
sebagai indikator status gizi (Supariasa, 2003).
(1) Berat badan terhadap umur (BB/U)
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran
massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan
yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya
nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi
(Supariasa dkk., 2003).
(2) Tinggi badan terhadap umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring
dengan pertambahan umur (Supariasa dkk., 2003).
(3) Berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam
keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan
pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. indeks BB
terhadap TB pada umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan
yang tidak baik, kemiskinan, pemberian makanan tambahan sebelum
pada waktunya dan akibat tidak sehat yang cukup lama (Supariasa, 2003)
(4) Lingkar lengan atas terhadap umur (LLA/U)
Lingkar lengan atas merupakan salah satu pilihan untuk penentuan status
gizi karena mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat yang sulit
diperoleh dengan harga yang lebih murah. (Supariasa, 2003).
b) Biokimia
Pemeriksaan laboratorium (biokimia), dilakukan melalui pemeriksaan
spesimen jaringan tubuh (darah, urine, tinja, hati dan otot) yang diuji secara
laboratoris terutama untuk mengetahui kadar hemoglobin, feritin, glukosa dan
kolestrol. Pemeriksaan biokimia bertujuan mengetahui kekurangan status gizi
spesifik.
c) Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai
status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang
terjadi dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan
epitel seperti kulit, mata, rambut, dan mukosa oral atau pada organ-organ
yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid (Supariasa, 2004).
Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat (rapid
clinical surverys). Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-
tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping
itu untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan
pemeriksaan fisik yaitu tanda dan gejala dan riwayat penyakit (Supariasa,
2003).
d) Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi
dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat
perubahan struktur dari jaringan. Umumnya dapat digunakan dalam situasi
tertentu seperti kejadian buta senja epidemic (epidemic of night blindness).
Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap.
2) Pemeriksaan tidak langsung antara lain :
a) Survei konsumsi makanan
Metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah
dan jenis gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat
memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat,
keluarga dan indivindu.
b) Statistik vital
Pengukuran dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti
angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat
penyebab tertentu yang berhubungan dengan gizi. Penggunaannya
dipertimbangkan sebagai bagian dari indicator tidak langsung pengukuran
status gizi masyarakat.
c) Faktor ekologi
Masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan
lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari
keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain (Supariasa, 2006 )
c. Faktor – faktor yang mempengaruhi status gizi
Faktor yang mempengaruhi status gizi menurut Aritonang dan Priharsiwi
( 2006 ) antara lain :
1) Faktor secara langsung
a) Konsumsi makanan yang buruk
b) Penyakit infeksi
2) Faktor tidak langsung
a) Akses mendapatkan makanan yang kurang
b) Perawatan dan pola asuh yang kurang
c) Pelayanan kesehatan
d) Lingkungan buruk atau tidak mendukung kesehatan
d. Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih model penilaian status gizi.
Tujuan pengukuran sangat diperhatikan dalam memilih metode, seperti tujuan
ingin melihat fisik seseorang. Maka metode yang digunakan adalah antropemetri.
Pengukuran antropometri merupakan cara yang paling sering digunakan karena
memiliki beberapa kelebihan (Jahari, 2002), yaitu:
1) Alat mudah diperoleh
2) Pengukuran mudah dilakukan
3) Biaya murah
4) Hasil pengukuran mudah disimpulkan
5) Dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah
6) Dapat mendeteksi riwayat gizi masa lalu
Namun pengukuran anthropometri juga memiliki kelemahan (Jahari, 2002), yaitu:
1) Kurang sensitif
2) Faktor luar (penyakit, genetik dan penurunan penggunaan energi) tidak dapat
dikendalikan
3) Kesalahan pengukuran akan mempengaruhi akurasi kesimpulan
4) Kesalahan-kesalahan antara lain pengukuran, perubahan hasil pengukuran baik
fisik maupun komposisi jaringan, analisis dan asaumsi salah.
3. Pengobatan tuberkulosis
a. Tujuan pengobatan
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan penderita, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosa).
b. Akivitas obat :
1) Aktivitas bakteresid
Obat bersifat membunuh kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya masih
aktif). Diukur dari kecepatan membunuh atau melenyapkan kuman sehingga
pada pembiakan aka didapatkan hasil negatif dalam 2 bulan permulaan
pengobatan.
2) Aktivitas bakteriostatik / sterilisasi
Obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat
(metabolismenya kurang aktif). Aktifitas sterelisasi di undur dari angka
kekambuhan setelah pengobatan dihentikan.
(Soeparman dan sarwono, 1999).
c. Jenis, sifat dan dosis OAT
1) Obat primer (obat anti tuberculosis tingkat satu)
a) Isoniasid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakteresid, dapat membunuh 90% populasi
dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap
kuman dalam keadaan metabolisme aktif, yaitu pada saat kuman sedang
berkembang. Dosis harian yang dianjurkan adalah 5 mg/kg BB, sedangkan
untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu dengan dosis 10 mg/kg BB.
b) Rifampisin (R)
Bersifat bakteresid, dapat membunuh kuman yang persisten (dormant)
yang tidak dapat dibunuh oleh isonasid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan
sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu.
c) Pirazinamid (Z)
Bersifat bakteresid, dapat membunuh kuman yang berada didalam sel
dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB,
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan
dosis 35 mg/kg BB.
d) Streptomisin (Z)
Bersifat bakteresid, dengan dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB,
sedangkan pengobatan untuk intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis
yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari,
sedangkan untuk umur 60 tahun lebih dosisnya 0,50 gr/hari.
e) Ethambutol (E)
Bersifat sebagai bakteriostatik, dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB
sedangkan untuk pengobatan untuk intermiten 3 kali seminggu digunakan
dosis 30 mg/kg BB.
Tabel 2.1. jenis, sifat dan dosis OAT
Jenis OAT Sifat Dosis (mg/kg)
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H)
Rifampicin (R)
Pirazinamid (Z)
Streptomisin (Z)
Ethambutol (E)
Bakterisid
Bakterisid
Bakterisid
Bakterisid
Bakteriostatik
5 (4-6) 10 (8-12)
10 (8-12) 10 (8-12)
25 (20-30) 35 (30-40)
15 (12-18) 15 (12-18)
15 (15-20) 30 (20-35)
Sumber : Depkes RI (2008)
2) Obat sekunder (Anti Tubercolusis Acid)
Diantaranya adalah kanamisin, PAS (Para Amina Salictylic Acid, tiasetason,
etionamid, protionamid, sikloserin, viomisin, kapreomisin, amikosin,
oflokasin, siproflokasin, norfloksasin, klofazimn (soeparman dan sarwono w,
1990).
Menurut Depkes RI (2008), paduan OAT disediakan dalam bentuk paket
kombipak, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu penderita
dalam masa pengobatan. Kombipak terdiri dari 3 kategori, yaitu :
a) Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z),
dan etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri
isoniazid (H), dan rifampisin (R), diberikan 3 kali dalam seminggu selama
4 bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk penderita baru tuberculosis
paru BTA positif, tuberculosis paru BTA negative rontgen positif yang
sakit berat, dan tuberculosis ekstra berat.
b) Kategori 2 (2HRZE/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan
Isoniazid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z), etambutol (E), dan suntikan
streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan dengan 1 bulan Isoniazid (H),
rifampisin (R), pirasinamid (Z), dan etambutol (E) setiap hari. Setelah itu
diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang
diberikan 3 kali seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin
diberikan setelah penderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan untuk
penderita kambuh (relaps), gagal (failure) dan penderita dengan
pengobatan setelah lalai (after default).
c) Kategori 3 (2HRZ/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZ yang diberikan setiap hari selama 2 bulan
((2HR), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan
yang diberikan 3 kali seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan pada
penderita baru tuberculosis BTA negative dan rontgen positif sakit ringan
serta penderita ekstra paru ringan.
d) OAT Sisipan (HRZE)
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif
dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan
kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat
sisipan (HRZE) setiap hari selama satu bulan.
d. Prinsip pengobatan
Menurut Depkes RI (2008), pengobatan penderita baru BTApositif dengan
kategori pengobatan dan diberikan dalam 2 tahap, yaitu :
1) Tahanp awal (intensif)
Diberikan selama 2 bulan dengan tujuan :
a) Mencegah keluhan dan mencegah efek samping lebih lanjut
b) Mencegah timbulnya resistensi obat
Pada tahap ini penderita harus menelan obat setiap hari. Biasanya penderita
menular menjadi tidak tertular dalam waktu 2 minggu dan BTA positif menjadi
BTA positif menjadi BTA negatif (converse) dalam 2 bulan. Pengawasan ketat
pada tahap intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya dan kekebalan
obat.
2) Tahap lanjutan
Diberikan selama 4 bulan dengan memberikan 2 macam obat yang ditelan 3
kali seminnggu dengan tujuan :
a) Menghilangkan bakteri yang tersisa (efek sterilisasi)
b) Mencegah kekambuhan ( relaps).
e. Tipe penderita
Menurut Depkes RI (2008), berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi
menjadi beberapa tipe, yaitu :
1) Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2) Kambuh (Relaps) adalah pasien Tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan Tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau
kultur).
3) Pengobatan setelah putus berobat (Default) adalah pasien yang telah berobat
dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4) Gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif
atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5) Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki
register Tuberkulosis lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6) Lain-lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Kelompok
ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA
positif setelah selesai pengobatan ulangan.
f. Efek samping obat dan penatalaksanaannya
Menurut Depkes RI (2008), penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Tabel 2.2 efek samping ringan OAT
Efek samping Penyebab Penatalaksanaan
Tidak ada nafsu
makan, mual, sakit
perut.
Rifampisin Semua OAT diminum malam sebelum
tidur.
Nyeri sendi Piransinamid Beri aspirin
Kesemutan s/d rasa
terbakar di kaki
INH Beri vitamin B6 (piridoxin) 100mg per
hari
Warna kemerehan
pada air seni
Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa, tapi perlu
penjelasan kepada penderita.
Tabel 2.3 efek samping berat OAT
Efek samping Penyebab penatalaksanaan
Gatal dan
kemerahan di kulit
Semua jenis OAT Ikuti pentunjuk penatalaksaan
dibawah
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
etambutol
Gangguan
keseimbangan
Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
etambutol.
Ikterus tanpa
penyebab lain
Hampir semua
OAT
Hentikan semua OAT sampai
ikterus menghilang.
Bingung dan
muntah-muntah
(permulaan ikterus
Hampir semua
OAT
Hentikan semua OAT, segera
lakukan tes fungsi hati.
karena obat )
Gangguan
penglihatan
Etambutol Hentikan etambutol
Purpura dan
renjatan (syok)
Rifampisin Hentikan rifampisin
Sumber : Depkes RI, 2008
g. Evaluasi pengobatan
1) Klinis
Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan penderita seperti batuk-
batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah dan berat badan
bertambah.
2) Bakteriologis
Pemeriksaan sputum dilakukan setelah tahap intensif (2 bulan). Apabila
sputum BTA masih positif maka diberikan tahap sisipan selama 1 bulan.
Selanjutnya diperiksa lagi setelah selesai sebelum akhir periode dan setelah
selesai pengobatan.
3) Radiologis
Evaluasi radiologi diperlukan untuk melihat kemajuan terapi. Karena
perubahan gambar radiologi tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi
foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali.
h. Hasil pengobatan
Menurut Depkes RI (2008) adalah :
1) Sembuh
Penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan
ulang dahak (follow-up) hasilnya negative pada akhir periode dan pada saat
pemeriksaan follow-up sebulan sebelumnya.
2) Pengobatan lengkap
Penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengakap tetapi tidak
memenuhi persyaratan sembuh ataupun gagal.
3) Meninggal
Penderita yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
4) Pindah
Penderita yang pengobatannya pindah ke unit yang lain maka hasil
pengobatannya tidak diketahui.
5) Putus obat (defaulat)
Penderita yang tidak berobat selama 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum
masa pengobatannya selesai.
6) Gagal
Hasil pemeriksaan dahak yang positif atau kembali menjadi positif pada bulan
ke lima atau lebih selama pengobatan.
4. Konsep Kepatuhan berobat
a. Pengertian pengobatan
Kepatuhan merupakan tingkat penderita melaksanakan cara pengobatan
dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau yang lain (Sarfino, 2003) di
kutip oleh (Smet B. 2003).
Kepatuhan adalah sejauh mana perilaku penderita sesuai dengan ketentuan
yang diberikan oleh petugas kesehatan. Penderita yang patuh berobat adalah
penderita yang menyelesaikan penbgobatan secara teratur dan lengakap tanpa
terputus selama 6 bulan sampai 9 bulan (Depkes RI, 2008).
b. Tingkat kepatuhan pengobatan
Kepatuhan penderita menurut Depkes RI (2008) dibedakan menjadi :
1) Kepatuhan penuh
Penderita berobat secara teratur sesuai batas waktu yang ditetapkan dan patuh
menelan obat secara teratur sesuai petunjuk.
2) Tidak patuh
Penderita yang putus berobat atau tidak menggunakan obat sama sekali.
Kriteria kepatuhan pengobatan tuberculosis paru menurut Depkes RI (2008)
adalah :
1) Minum obat sesuai petunjuk
Obat yang diminum sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan oelh petugas
kesehatan meliputi dosis, jumlah, jenis dan waktu minum obat.
2) Jadwal mengambil obat
Pengambilan obat tidak boleh terlambat
c. Faktor- faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat menurut Depkes RI (2008)
adalah :
1) Keadaan social ekonomi
Makin buruk keadaan sosial ekonomi masyarakat makin buruk pula gizi dan
hygiene lingkungan yang akan menyebabkan mudah terkena penyakit,
mempersulit penyembuhan dan memudahkan terjadinya kekambuhan.
2) Kesadaran
Karena pengobatan tuberculosis memerlukan waktu yang lama (minimal 6
bulan) penderita akan merasakan bosan dan penderita kadang-kadang juga
merasa sudah tidak sakit lagi sehingga menghentikan pengobatan.
3) Pengetahuan
Makin rendah pengetahuan penderita tentang penyakit tuberculosis maka
semakin besar pula kemungkinan penderita sebagai media penularan.
Pengetahuan tentang penyakit ini akan membantu penderita dalam mencegah
terjadinya penularan.
d. Cara mengetahui ketidakpatuhan
1) Menjelaskan tujuan
Pertanyaan dan kontrak tertulis dapat meningkatkan kepatuhan
2) Mengembangkan perilaku sehat dan mempertahankannya
Perilaku sehat dapat dipengaruhi oleh kebiasaan, oleh karena itu perlu
dikembangkan suatu strategi yang bukan hanya mengubah perilaku, tetapi
juga mempertahankan perubahan tersebut.
3) Dukungan social
Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi kecemasan karena penyakit
tertentu, dapat mengurangi ketidakpatuhan dan menjadi kelompok pendukung
untuk mencapai kepatuhan.
4) Dukungan professional kesehatan
Dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan dengan cara menyampaikan
antuisias mereka terhadap tindakan tertentu dari penderita dan secara terus
menerus memberikan penghargaan yang positif bagi penderita yang telah
mampu beradaptasi dengan program pengobatannya
5) Meningkatkan interaksi petugas kesehatan dengan penderita
Berguna untuk memberikan umpan balik pada penderita setelah memperoleh
informasi. Penderita membutuhkan penjelasan kondisinya saat ini, apa
penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu.
B. Kerangka Teori
Tuberkulosis Status Gizi
Penularan Tuberkulosis :- Sumber infeksi- Jumlah kuman- Keatifan kuman- Daya tahan tubuh
Kepatuhan pengobatan
Penilaian status gizi- Pemeriksaan langsung- Pemeriksaan tidak langsung
Faktor predoposisi tuberkulosis
- Daya tahan tubuh
- Pernah terkena tuberkulosis
- Bentuk tubuh
Faktor yang mempengaruhi status gizi :
- Faktor secara langsung
- Faktor tidak langsung
Faktor yang mempengaruhi kepatuhan obat :- Keadaan sosisal ekonomi- Kesadaran- pengetahuan
Tingkat kepatuhan :- Kepatuhan penuh- Tidak patuh
Pengobatan Tubekulosisi
Gambar 2.1 Kerangka teori
Modifikasi dari Depkes RI (2004), Supariasa (2003), Aritonang dan priharsi (2006)
C. Kerangka konsep
Independent Varibel Dependent Variabel
Variabel luar
Hasil Pengobatan :- Sembuh- Pengobatan Lengkap- Meninggal- Pindah- Putus Obat- Gagal
Faktor yang mempengaruhi status gizi :
- Faktor langsung
- Faktor tidak langsung
Kepatuhan pengobatan TB paru :
- Kepatuhan penuh
- Tidak patuh
Status Gizi