BAB II

download BAB II

of 21

description

nmjmjk

Transcript of BAB II

26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anemia Defisiensi Besi

2.1.1. Definisi AnemiaAnemia berasal dari bahasa Yunani, yaitu anaimia yang berarti kekurangan darah. Anemia merupakan berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) per 100 ml darah. Indonesia merupakan salah satu negara dengan prevalensi anemia yang tinggi dan mempunyai kemungkinan etiologi yang beragam. Oleh karena itu, jika dari hasil pemantauan ditemukan anemia, maka perlu dicari penyebabnya (WHO, 2001). Penyebab anemia pada umumnya adalah kehilangan darah berlebihan (akut maupun kronis), gangguan pada pembentukan eritrosit, dan peningkatan destruksi (penghancuran) eritrosit.

Anemia dapat diklasifikasikan menurut morfologi sel darah merah dan berdasarkan etiologinya. Pada klasifikasi anemia menurut morfologi, mikro dan makro menunjukan ukuran eritrosit sedangkan kromik menunjukan warnanya (kandungan Hb). Pada klasifikasi berdasarkan morfologi dibagi dalam tiga klasifikasi besar, yaitu (1) Anemia normositik normokrom, dimana ukuran dan bentuk eritrosit normal serta mengandung Hemoglobin dalam jumlah normal (MCV dan MCHC normal atau normal rendah), contohnya pada kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit kronik termasuk infeksi, gangguan endokrin, dan gangguan ginjal. (2) Anemia makrosistik normokrom, makrositik berarti ukuran eritrosit lebih besar dari normal dan normokrom berarti konsentrasi Hb normal (MCV meningkat; MCHC normal). Hal ini diakibatkan oleh gangguan atau terhentinya sintesis asam nukleat DNA seperti yang ditemukan pada defisiensi besi dan/atau asam folat. (3) Anemia mikrositik hipokrom, mikrositik berarti kecil, hipokrom berarti mengandung jumlah Hb kurang (MCV dan MCHC kurang), seperti pada anemia defisensi besi, keadaan sideroblastik, kehilangan darah kronik, dan pada thalasemia.

Status anemia dapat dinilai dengan pemeriksaan biokimia zat besi, yaitu dengan mengukur kadar hemoglobin dalam darah. Titik pemilah (cut off point) penentuan status anemia menurut Departemen Kesehatan, 1995, adalah seperti pada tabel 1.Tabel 1. Batasan AnemiaKelompokBatas Normal (gram %)

Anak Balita

Anak Usia Sekolah

Wanita Dewasa

Laki-Laki Dewasa

Ibu Hamil

Ibu Menyusui > 3 bulan11

12

12

13

11

12

Sumber : Departemen Kesehatan (1995).2.1.2. Definisi Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang terjadi karena kekurangan zat besi (Fe) yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah. Defisiensi besi merupakan penyebab terbanyak dari anemia di seluruh dunia. Anemia ini merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak. Longo et al pada tahun 2012 menyatakan bahwa, tahapan terjadinya anemia defisiensi besi dibagi menjadi 3 tahap, yaitu (1) Deplesi besi dimana cadangan besi tubuh menurun ditandai dengan feritin yang rendah, namun kadar serum besi normal. (2) Eritropoiesis defisiensi besi yang ditunjukkan dengan menurunnya kadar serum besi namun hemoglobin masih normal. (3) Anemia defisiensi besi ditandai oleh turunnya kadar hemoglobin di bawah nilai rujukan (Gambar 1).

Gambar 1. Stadium defisiensi besi (Longo et al, 2012)2.1.3. Epidemiologi Prevalensi Anemia Defisiensi BesiAnemia defisiensi besi akibat defisiensi nutrisi merupakan masalah utama dalam bidang nutrisi yang memiliki prevalensi paling tinggi. Di Amerika Serikat, terdapat 3 golongan yang menderita defisiensi besi dan anemia defisiensi, yaitu anak-anak berumur 1-2 tahun, wanita dewasa dan remaja laki-laki. Sebanyak 9% anak yang berumur 12 tahun menderita defisiensi besi dan 3% menderita anemia defisiensi besi. Sementara itu pada wanita dewasa sebanyak 9% menderita defisiensi besi dan 2% menderita anemia defisiensi besi. Pada masa pubertas, anak laki-laki 50% mengalami penurunan cadangan besi (Dallman, 1987).

ADB pada anak dikaitkan dengan psikomotor dan gangguan mental dalam 2 tahun pertama kehidupan. Saat ini, lebih dari sepertiga anak-anak di Amerika Serikat menunjukkan bukti insufisiensi besi, 7% memiliki kekurangan zat besi tanpa anemia, dan 10% memiliki ADB.

Secara epidemiologi, prevalensi tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan dan percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang disertai rendahnya asupan besi dari makanan, atau karena penggunaan susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu ADB juga banyak ditemukan pada masa remaja akibat percepatan tumbuh, asupan besi yang tidak adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada remaja perempuan. Di negara yang sedang berkembang terdapat laporan bahwa defisiensi besi dan anemia defisiensi besi mempunyai prevalensi yang lebih tinggi, meningkat dalam beberapa dekade terakhir (Gladder, 2004). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalensi ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%. (Untoro, 2008). Data SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalensi ADB. Angka kejadian anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%.Penelitian yang dilakukan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia cabang Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2003 di dua sekolah dasar di Kodya menunjukkan 40% anak menderita anemia mikrositik hipokromik (Suharyo, 1999). Berdasarkan penelitian tahun 2005 di Utan Kayu Jakarta Timur ditemukan 38 persen bayi usia 4-12 bulan menderita anemia. Pada anak usia sekolah angkanya juga memprihatinkan, yaitu 1 dari 4 anak menderita anemia. Menurut Hellen Keller International (Indonesia) tahun 1997, prevalensi anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45% (Untoro, 2005). Penelitian kohort terhadap 211 bayi berusia 0 bulan selama 6 bulan dan 12 bulan didapatkan insiden ADB sebesar 40,8% dan 47,4% (Ringoringo, 2008). Pada usia balita, prevalensi tertinggi defisiensi besi (DB) umumnya terjadi pada tahun kedua kehidupan akibat rendahnya asupan besi melalui diet dan pertumbuhan yang cepat pada tahun pertama (Ringoringo, 2008). Angka kejadian DB lebih tinggi pada usia bayi, terutama pada bayi prematur (sekitar 25-85%) dan bayi yang mengonsumsi ASI secara eksklusif tanpa suplementasi (Rao, 2009).

2.1.4. Etiologi Anemia Defisiensi BesiMeskipun kebutuhan individu per hari untuk zat besi kecil dan hanya akan menimbulkan gejala setelah simpanan zat besi dalam tubuh telah habis, ADB merupakan salah satu jenis anemia yang paling sering ditemui. ADB dapat diakibatkan oleh berbagai kelompok dengan beberapa kondisi di masing-masing kategori. Kelompok utama yang mengakibatkan ADB adalah

1. Asupan tidak adekuat. Defisiensi ini terjadi ketika jumlah zat besi yang dikonsumsi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan normal yang diperlukan, misalnya, pada diet yang tidak baik atau diet vegetarian yang salah.

2. Peningkatan kebutuhan tubuh akan besi seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan, atau periode peningkatan regenerasi darah lainnya.

3. Kehilangan besi yang berlebihan (kekurangan zat besi fisiologis atau patologis). Ketiadaan besi yang berlebihan umumnya berasal dari perdarahan akut atau kronis atau menstruasi berat.

4. Malabsorpsi besi (kekurangan zat besi fisiologis). Kondisi penyerapan zat besi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh akhloridia pasca pembedahan gaster, atau diare kronis. Jika evaluasi gagal untuk mengungkapkan kemungkinan penyebab ADB, atau pasien tidak reaktif terhadap pengobatan besi oral, maka skrining untuk penyakit celiac, gastritis autoimun, dan Helicobacter pylori dianjurkan. 20-27% pasien dengan diagnosa ADB memiliki gastritis autoimun, 50% memiliki infeksi H. pylori aktif, dan 4% hingga 6% memiliki penyakit celiac (Turgeon, 2010). Selain itu malabsorpsi juga dapat disebabkan oleh diet yang mengandung inhibitor zat besi (Tabel 4) (Scrimshaw,1991).5. Kehilangan besi patologis pada orang dewasa pria dan wanita pasca menopause dengan kekurangan zat besi. Evaluasi perdarahan tersembunyi yang abnormal, diperlukan, terutama pada perdarahan gastrointestinal (GI).6. Kekurangan zat besi dapat terjadi akibat beberapa kondisi yang jarang terjadi lainnya termasuk gangguan pemanfaatan besi, anemia sideroblastik, dan anemia yang berhubungan dengan gangguan kronis, peradangan kronis, infeksi parasit seperti cacing tambang (Anchylostoma dan Necator sp.), Schistosoma, maupun Trichiuris trichiura serta kekurangan transferrin (Turgeon, 2010).2.1.5. Manifestasi Klinis Anemia Defisiensi BesiManifestasi klinis anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu gejala khas anemia, gejala khas akibat anemia defisiensi besi, dan gejala penyakit dasar.

1. Gejala umum anemia

Hal yang biasanya dikeluhkan oleh pasien adalah gejala anemia pada umumnya diantaranya kepucatan pada konjungtiva (32%), kuku dan telapak tangan (62% dan 60%) (Zucker, 1997), badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang serta telinga mendenging. Keseluruhan dari gejala tersebut disebut juga anemic syndrome yang dapat dijumpai bila kadar hemoglobin turun melewati 7-8 g/dL (Bakta, 2009).

2. Gejala khas anemia defisiensi besi

Pada anamnesis pasien mengeluhkan disfagia dan ada keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim seperti tanah liat, es, lem, atau disebut juga pica. Pica, konsumsi kompulsif zat non-nutritif (contoh: es, tusuk gigi kayu, kapur, atau kotoran), memiliki hubungan dengan kekurangan zat besi. Hal ini merupakan kebiasaan yang menginduksi defisiensi besi dengan mengganti sumber zat besi atau menghambat penyerapan besi. Namun, bukti yang cukup menunjukkan bahwa kekurangan zat besi adalah diagnosis utama dan pica merupakan salah satu konsekuensinya. Pada pemeriksaan fisik bisa ditemukan atropi papil lidah dimana permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang. Stomatitis angularis (cheilosis) yaitu adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak bercak putih keputihan. Koiloncychia atau kuku sendok, kuku menjadi rapuh, bergaris garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip sendok. Dan pada pemeriksaan endoskopi bisa ditemukan atrofi mukosa gaster yang dapat menimbulkan akhloridia (Bakta, 2009).

3. Gejala Penyakit Dasar

Bakta (2009) menyatakan bahwa pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab anemia defisiensi tersebut. Misal ketika disebabkan oleh cacing tambang dapat dijumpai dyspepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan bewarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena pendarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai kebiasaan BAB atau gejala lain sesuai dengan lokasi kanker.2.1.6. Diagnosis Anemia Defisiensi BesiUntuk menegakan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Dalam menegakkan diagnosis ADB diperlukan pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan darah lengkap seperti Hb, leukosit, trombosit ditambah pemeriksaan morfologi darah tepi dan pemeriksaan status besi (Fe serum, Total iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin, feritin).

Terdapat tiga tahap dalam mendiagnosis anemia defisiensi besi. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit. Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari anemia defisiensi besi yang sering terjadi.

Secara laboratoris untuk menegakan diagnosis anemia defisiensi besi tahap satu dan tahap dua dapat dipakai kriteria diagnostik anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin et al) sebagai berikut:

Anemia hipokromik mikrositik pada hapusan darah tepi atau MCV < 80 fL dan MCHC < 31 % dengan salah satu dari pilihan di bawah ini:1) Dua dari 3 parameter di bawah ini:a. Besi serum < 50 mg/dL

b. TIBC > 350 mg/dL

c. Saturasi transferrin 360Normal / Menurun < 300

Saturasi TransferinMenurun < 15%Meningkat 20%Menurun/ N 10-20%

Besi Sumsum Tulang(-)(+) kuat(+)

FEPMeningkatNormalMeningkat

Feritin SerumMenurun 50g/LNormal 20-200 g/L

Elektrofoesis HbNormalHb A2 meningkatNormal

Sumber: Bakta, 2009

2.1.8. Penatalaksanaan Anemia Defisiensi BesiMenurut Raspati dalam Widiaskara (2012) terapi defisiensi besi meliputi dua komponen, yaitu koreksi defisiensi besi dan terapi penyebab yang mendasari. Suplementasi besi secara oral lebih dipilih daripada parenteral karena dapat diabsorbsi dan ditoleransi dengan baik oleh anak. Pemberian zat besi pada anemia defisiensi besi bukan hanya sampai pada kadar Hb normal, namun harus dilanjutkan sampai cadangan besi terpenuhi. Pemberian zat besi sebaiknya diberikan dengan dosis 3-5 mg besi elemental/kg berat badan/hari. Untuk menilai hasil pengobatan dilakukan pemeriksaan Hb dan jumlah eritrosit.

2.2 Zat BesiZat besi merupakan unsur kelumit (trace element) terpenting bagi manusia. Zat besi adalah suatu komponen dari berbagai enzim yang memengaruhi seluruh reaksi kimia penting di dalam tubuh. Zat besi selain dibutuhkan untuk pembentukan Hb yang berperan dalam penyimpanan dan pengangkutan oksigen, juga terdapat dalam mioglobin serta beberapa enzim yang berperan dalam metabolisme oksidatif (Misalnya, sitokrom peroksidase dan xanthine oxydase), sintesa DNA, neurotransmiter dan proses katabolisme yang bekerjanya membutuhkan ion besi.

2.2.1. Zat Besi dalam TubuhZat besi dalam tubuh dibagi menjadi dua bagian, yaitu fungsional dan reserve (simpanan). Zat besi fungsional sebagian besar berbentuk hemoglobin (Hb), sebagian kecil dalam bentuk mioglobin di otot, dan jumlah yang sangat kecil tetapi vital adalah hem enzim dan non hem enzim. Zat besi yang ada dalam bentuk simpanan mempunyai fungsi sebagai buffer yaitu menyediakan zat besi apabila dibutuhkan untuk kompartemen fungsional. Pada saat zat besi cukup dalam bentuk simpanan, maka kebutuhan akan eritropoiesis (pembentukan sel darah merah) dalam sumsum tulang dapat terpenuhi.Dalam keadaan normal, jumlah zat besi bentuk simpanan ini adalah sekitar seperempat total zat besi yang terdapat di dalam tubuh. Zat besi simpanan ini, feritin dan hemosiderin, disimpan dalam hati, limpa, dan sumsum tulang. Pada kondisi tubuh membutuhkan zat besi dalam jumlah banyak, misalnya pada balita, wanita menstruasi dan wanita hamil, jumlah simpanan besi biasanya rendah.

2.2.2 Sumber Makanan yang Mengandung Zat BesiBanyaknya zat besi yang diabsorpsi dari makanan kurang lebih 10 % setiap hari sehingga diperlukan diet yang mengandung besi sebanyak 8-10 mg per hari. Zat besi yang berasal dari ASI diabsorpsi secara lebih efisien daripada yang berasal dari susu sapi. Minimnya variasi makanan yang kaya besi yang dicerna selama tahun pertama kehidupan mengakibatkan sulitnya mencapai jumlah yang diharapkan, sehingga diet bayi harus mengandung makanan yang diperkaya zat besi sejak usia 6 bulan. Zat besi yang terkandung dalam makanan terdiri dari dua jenis yaitu jenis hem dan non-hem. Zat besi hem, pembentuk hemoglobin dan mioglobin, banyak terdapat pada daging, ikan serta unggas. Sedangkan jenis makanan yang non-hem terdapat pada makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Bentuk lainnya yang berasal dari eksogen terdapat dalam makanan seperti gandum, gula dan garam yang telah difortifikasi dengan zat besi. Kandungan zat besi yang terdapat dalam beberapa bahan makanan dapat dilihat pada tabel 3. berikut :Tabel 3. Kandungan Zat Besi dalam Beberapa Bahan MakananBahan MakananZat Besi (mg/100g)

Hati

Daging Sapi

Ikan

Telur Ayam

Kacang-kacangan

Tepung Gandum

Ssayuran Hijau Daun

Umbi-umbian

Buah-buahan

Beras

Susu Sapi6,0 - 14,0

2,0 - 4,3

0,5 - 1,0

2,0 - 3,0

1,9 - 14,0

1,5 - 7,0

0,4 - 18,0

0,3 - 2,0

0,2 - 4,0

0,5 - 0,8

0,1 - 0,4

2.2.3 Metabolisme Besi Agar tubuh tidak mengalami kekurangan zat besi, maka keseimbangan di dalam tubuh perlu dipertahankan. Keseimbangan ini diartikan bahwa jumlah zat besi yang dikeluarkan dari tubuh sebanding dengan jumlah besi yang diperoleh dari makanan. Skema proses metabolisme zat besi untuk mempertahankan keseimbangan zat besi di dalam badan, dapat digambarkan pada skema di bawah ini.

Gambar 2. Skema Metabolisme Besi dalam Tubuh (Longo et al, 2012)

Setiap hari siklus zat besi berjumlah 35 mg, namun tidak seluruhnya harus didapatkan dari diet. Sebagian besar zat besi ini (34 mg) didapatkan dari penghancuran eritrosit tua, yang kemudian disaring oleh tubuh sehingga dapat digunakan lagi oleh sumsum tulang untuk pembentukan eritrosit baru (Andrew, 2004). Hanya 1 mg zat besi dari penghancuran eritrosit tua yang dikeluarkan dari tubuh melalui kulit, saluran pencernaan dan urin. Jumlah zat besi yang hilang lewat jalur ini disebut sebagai kehilangan basal (Iron basal losses).Gambar 3. Siklus Besi pada Manusia (Andrew, 2004)

2.2.4 Absorbsi, Penyimpanan dan Transport Zat Besi

Absorbsi zat besi dipengaruhi oleh banyak faktor. Kebutuhan tubuh akan zat besi dipenuhi dengan menyerap sebanyak yang dibutuhkan. Bila besi simpanan berkurang, maka penyerapan besi akan meningkat. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan zat besi dapat dilihat pada tabel 5.

Adanya vitamin C gugus Sl-I (sulfidril) dan asam amino sulfur dapat meningkatkan absorbsi karena dapat mereduksi besi dalam bentuk ferri menjadi ferro melalui pembentukan kompleks ferro askorbat. Kombinasi 200 mg asam askorbat dengan garam besi dapat meningkatkan penyerapan besi sebesar 25-50%.

Rendahnya asam klorida pada lambung (kondisi basa) dapat menurunkan penyerapan. Asam klorida mereduksi ferri (Fe3+) menjadi ferro (Fe2+) yang lebih mudah diserap oleh mukosa usus. Kelebihan fosfat di dalam usus dapat menyebabkan terbentuknya kompleks besi fosfat yang tidak dapat diserap. Adanya fitat pada teh juga akan menurunkan ketersediaan Fe. Fungsi usus yang terganggu, misalnya diare serta penyakit infeksi dapat menurunkan penyerapan Fe.Zat besi diabsorpsi dalam duodenum dan jejunum bagian atas melalui proses kompleks. Proses ini meliputi tahap-tahap utama yaitu besi yang terdapat di dalam makanan, baik dalam bentuk ferri atau ferro, mula-mula mengalami proses pencernaan. Pada lambung ferri larut dalam asam lambung kemudian diikat oleh gastroferin dan direduksi menjadi ferro. Selepas itu, dalam usus ferro dioksidasi menjadi ferri. Ferri selanjutnya berikatan dengan apoferitin, yang kemudian feritin, membebaskan ferro ke dalam plasma darah. Di dalam plasma, ferro dioksidasi menjadi ferri dan berikatan dengan tranferitin. Transferitin mengangkut ferro ke dalam sumsum tulang untuk bergabung membentuk hemoglobin. Transferitin mengangkut ferro ke dalam tempat penyimpanan besi di dalam tubuh (hati, sumsum tulang, limpa, sistem retikuloendotelial), kemudian dioksidasi menjadi ferri. Ferri ini bergabung dengan apoferitin membentuk feritin yang kemudian disimpan sehingga besi yang terdapat pada plasma seimbang dengan bentuk yang disimpan.

Pada bayi, absorbsi zat besi dari ASI meningkat seiring bertambahnya umur bayi. Perubahan ini terjadi lebih cepat pada bayi prematur dibandingkan dengan bayi cukup bulan. Jumlah zat besi dalam susu formula akan terus berkurang sama dengan ASI. Konsentrasi zat besi akan terus berkurang apabila susu diencerkan dengan air untuk diberikan kepada bayi. Walaupun jumlah zat besi dalam ASI rendah, tetapi absorbsinya paling tinggi yaitu 49% sementara susu formula hanya dapat diabsorbsi sebanyak 10-12% zat besi. Pada umumnya, susu formula untuk bayi yang terbuat dari susu sapi difortifikasi dengan zat besi, sehingga mengandung 11 mg/L atau 12 mg/L dalam bentuk ferrosulfat atau ferroglukonat.

Pada saat lahir, zat besi dalam tubuh kurang lebih 75 mg/ kg berat badan, dan simpanan zat besi kurang lebih 25 persen dari jumlah tersebut. Pada usia 6 hingga 8 minggu terjadi penurunan kadar hemoglobin. Perubahan besar pada sistem eritropoiesis sebagai respon terhadap penghantaran oksigen ke jaringan menjadi sebab dari penurunan tersebut. Hal ini diakibatkan penggantian eritrosit yang diproduksi sebelum lahir dengan eritrosit baru yang diproduksi sendiri oleh bayi. Persentase zat besi yang dapat diabsorbsi pada usia ini disebabkan oleh masih banyaknya simpanan zat besi dalam tubuh yang dibawa sejak lahir. Sesudah usia tersebut, sistem eritropoesis berjalan normal dan menjadi lebih efektif. Kadar Hb naik dari kadar terendah 11 mg/100 ml menjadi 12,5 g/100 ml, pada bulan-bulan terakhir masa kehidupan bayi.

Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai simpanan zat besi yang lebih rendah dari bayi yang normal yang lahir dengan berat badan cukup, tetapi rasio zat besi terhadap berat badan adalah sama. Bayi ini lebih cepat tumbuhnya dari pada bayi normal, sehingga simpanan zat besi bisa lebih cepat habis. Oleh sebab itu, kebutuhan zat besi pada bayi ini lebih besar daripada bayi normal. Jika bayi BBLR mendapat makanan yang cukup mengandung zat besi, maka pada usia 9 bulan kadar Hb akan dapat menyamai bayi yang normal.

Prevalensi anemia yang tinggi pada anak balita umumnya disebabkan karena makanannya tidak cukup banyak mengandung zat besi sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhannya, terutama pada negara sedang berkembang dimana makanan tinggi serat seperti sereal dipergunakan sebagai makanan pokok. Faktor ekonomi membatasi kemampuan keluarga dalam menyediakan daging, ikan dan ayam untuk makanan anak balita, padahal bahan-bahan makanan yang meninggikan absorbsi zat besi non hem ini sangat perlu hadir pada menu makanan anak. Faktor budaya juga berperan penting. Bapak mendapat prioritas pertama mengkonsumsi bahan makanan hewani, sedangkan anak dan ibu mendapat giliran berikutnya. Selain itu serat yang biasanya terdapat dalam makanannya dapat pula menghambat absorbsi zat besi.

Tabel 4. Faktor yang Berpengaruh dalam Absorbsi Zat Besi

Faktor yang Berpengaruh dalam Absorbsi Zat Besi

Faktor makanan1. Faktor yang memacu penyerapan zat besi bukan hem:

a. Vitamin C

b. Daging, unggas, ikan, makanan laut lain

c. pH rendah

2. Faktor yang menghambat penyerapan zat besi bukan hem:

a. Fosfat pada sayuran

b. Fitat (500 mg/hari) pada teh, kopi

c. Polifenol pada coklat, teh, kopi, dan kalsium pada susu serta produk olahannya.

Faktor pejamu (host)1. Status zat besi

2. Status kesehatan (infeksi, malabsorpsi)

Sumber : Arisman, 20092.3. Pemeriksaan Laboratorium untuk Pasien Anemia Defisiensi Besi2.3.1 DefinisiMenentukan adanya anemia dengan memeriksa kadar Hb merupakan hal pertama yang penting untuk memutuskan pemeriksaan lebih lanjut dalam menegakkan diagnosis ADB. Pada ADB nilai indeks eritrosit MCV (