BAB II

17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Jantung Bawaan Penyakit jantung bawaan merupakan hasil dari abnormalitas struktur atau fungsi sistem kardiovaskuler sewaktu lahir. Pada sebagian besar kasus tertentu, defek struktural dapat ditandakan pada gangguan spesifik perkembangan embriologis yang normal. Insiden penyakit jantung kongenital/Congenital Heart Disease (CHD) sebanyak kira-kira 8 diantara 1000 kelahiran hidup dan menjadi lebih tinggi apabila katup aorta bikuspidal diikutsertakan. Sekitar 1/3 kasus kondisi sakit yang kritis terjadi pada awal kehidupan. Kelainan ekstrakardia yang mengikuti terjadi pada sekitar ¼ bayi dengan CHD. Pada sindroma Down, misalnya, ditemukan insiden yang tinggi dari defek septum atrium atau septum ventrikel, atau paten duktus arteriosus (Underwood, 2000). Pada sekitar 80% kasus, penyebab penyakit jantung kongenital tidak diketahui. Faktor lingkungan seperti infeksi virus pada ibu (terutama rubella), peminum kronis, dan obat seperti thalidomide, semuanya jelas berhubungan dengan CHD. Faktor ini sangat penting pada umur kehamilan minggu keempat sampai kesembilan setelah konsepsi. Selama periode tersebut, ruang atrium dan ventrikel mengalami pemisahan oleh septum, katup jantung mengalami pembentukan dan trunkus arteriosus yang primitif terbagi menjadi aorta dan arteri pulmonalis. Insiden CHD menunjukkan kenaikan pada ibu penderita DM yang insulin-dependen atau fenilketonuria.

description

ilmiah

Transcript of BAB II

Page 1: BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.    Penyakit Jantung Bawaan

Penyakit jantung bawaan merupakan hasil dari abnormalitas struktur atau fungsi sistem

kardiovaskuler sewaktu lahir. Pada sebagian besar kasus tertentu, defek struktural dapat

ditandakan pada gangguan spesifik perkembangan embriologis yang normal.

Insiden penyakit jantung kongenital/Congenital Heart Disease (CHD) sebanyak kira-kira 8

diantara 1000 kelahiran hidup dan menjadi lebih tinggi apabila katup aorta bikuspidal

diikutsertakan. Sekitar 1/3 kasus kondisi sakit yang kritis terjadi pada awal kehidupan. Kelainan

ekstrakardia yang mengikuti terjadi pada sekitar ¼ bayi dengan CHD. Pada sindroma Down,

misalnya, ditemukan insiden yang tinggi dari defek septum atrium atau septum ventrikel, atau

paten duktus arteriosus (Underwood, 2000).

Pada sekitar 80% kasus, penyebab penyakit jantung kongenital tidak diketahui. Faktor

lingkungan seperti infeksi virus pada ibu (terutama rubella), peminum kronis, dan obat seperti

thalidomide, semuanya jelas berhubungan dengan CHD. Faktor ini sangat penting pada umur

kehamilan minggu  keempat sampai kesembilan setelah konsepsi. Selama periode tersebut, ruang

atrium dan ventrikel mengalami pemisahan oleh septum, katup jantung mengalami pembentukan

dan trunkus arteriosus yang primitif terbagi menjadi aorta dan arteri pulmonalis. Insiden CHD

menunjukkan kenaikan pada ibu penderita DM yang insulin-dependen atau fenilketonuria.

Walau ditemukan hubungan yang lemah antara insiden kelainan dengan jantung bawaan dengan

faktor keturunan hubungan ini jelas terlihat; umumnya hanya satu dari sepasang kembar

monozigot yang terkena. Resiko lesi jantung kongenital pada keturunan individu yang terkena

berbeda-beda tergantung pada sifat defek, misalnya dari 2% yang mempunyai koarktasio aorta

ditemukan sekitar 4%-nya merupakan defek septum ventrikuler. Apabila dua atau lebih anggota

keluarga yang terkena, resiko kelihatannya lebih tinggi dan, pada kejadian ini, dianjurkan untuk

mengadakan konsultasi genetik. Distribusi defek tidak secara umum mengikuti pola yang jelas

dari hukum Mendel (Sadler, 2000).

Gambaran klinis dan patologis yang menonjol dari penyakit jantung bawaan adalah:

(Underwood, 2000)

1.        Makan yang kurang, kegagalan perkembangan dan tidak baiknya pertumbuhan

Page 2: BAB II

2.        Penyakit respiratorius atau takipnea

3.        Sianosis

4.        Clubbing

5.        Polisitemia

6.        Gagal jantung

7.        Hipertensi pulmonalis

8.        Endokarditis infeksiosa

B.     Definisi Tetralogi Fallot

Tetralogi Fallot adalah penyakit jantung bawaan tipe sianotik. Kelainan yang terjadi adalah

kelainan pertumbuhan dimana terjadi defek atau lubang  dari bagian infundibulum septum

intraventrikular (sekat antara rongga ventrikel) dengan syarat defek tersebut paling sedikit sama

besar dengan lubang aorta. Sebagai konsekuensinya, didapatkan adanya empat kelainan anatomi

sebagai berikut : (Sadler, 2000)

1.       Defek Septum Ventrikel (VSD) yaitu lubang pada sekat antara kedua rongga ventrikel

2.       Stenosis pulmonal terjadi karena penyempitan klep pembuluh darah yang keluar dari bilik

kanan menuju paru, bagian otot dibawah klep juga menebal dan menimbulkan penyempitan

3.       Aorta overriding dimana pembuluh darah utama yang keluar dari ventrikel kiri

mengangkang sekat bilik, sehingga seolah-olah sebagian aorta  keluar dari bilik kanan

4.       Hipertrofi ventrikel kanan atau penebalan otot di ventrikel kanan karena peningkatan

tekanan di ventrikel kanan akibat dari stenosis pulmonal

C.     Etiologi

Pada sebagian besar kasus, penyebab penyakit jantung bawaa tidak diketahui secara

pasti. Diduga karena adanya faktor endogen dan eksogen. Faktor–faktor tersebut antara lain :

(Mansjoer, 2000)

Faktor endogen

1.      Berbagai jenis penyakit genetik : kelainan kromosom 

2.      Anak yang lahir sebelumnya menderita  penyakit jantung bawaan

3.      Adanya  penyakit tertentu dalam keluarga seperti  diabetes melitus, hipertensi, penyakit

jantung  atau kelainan bawaan

Page 3: BAB II

Faktor eksogen

1.      Riwayat  kehamilan  ibu  : sebelumnya  ikut program KB oral atau suntik, minum obat-

obatan tanpa resep dokter, (thalidmide, dextroamphetamine, aminopterin, amethopterin, jamu)

2.      Ibu menderita penyakit infeksi :  rubella

3.      Pajanan terhadap sinar -X

Para ahli berpendapat bahwa penyebab endogen dan eksogen  tersebut jarang terpisah

menyebabkan penyakit jantung bawaan. Diperkirakan lebih dari 90% kasus penyebab adaah 

multifaktor. Apapun sebabnya, pajanan terhadap faktor penyebab harus ada sebelum akhir bulan

kedua kehamilan , oleh karena pada minggu ke delapan kehamilan pembentukan jantung janin

sudah selesai.

  

D.    Patofisiologi

Mulai akhir minggu ketiga sampai minggu keempat kehidupan intrauterine, trunkus arteriosus

terbagi menjadi aorta dan arteri pulmonalis. Pembagian berlangsung sedemikian, sehingga terjadi

perputaran seperti spiral, dan akhirnya aorta akan berasal dari posterolateral sedangkan pangkal

arteri pulmonalis terletak antero-medial. Septum yang membagi trunkus menjadi aorta dan arteri

pulmonalis kelak akan bersama sama dengan endokardial cushion serta bagian membrane

septum ventrikel, menutup foramen interventrikel. Pembagian ventrikel tunggal menjadi

ventrikel kanan dan kiri terjadi antara minggu ke 4 dan minggu ke 8.

Kesalahan dalam pembagian trunkus dapat berakibat letak aorta yang abnormal (over riding),

timbulnya infundibulum yang berlebihan pada jalan keluar ventrikel kanan, serta terdapatnya

defek septum ventrikel karena septum dari trunkus yang gagal berpartisipasi dalam penutupan

foramen interventrikel. Dengan demikian dalam bentuknya yang klasik, akan terdapat 4 kelainan,

yaitu defek septum ventrikel yang besar, stenosis infundibular, dekstroposisi pangkal aorta dan

hipertrofi ventrikel kanan.

Kelainan anatomi ini bervariasi luas, sehingga menyebabkan luasnya variasi patofisiologi

penyakit. Secara anatomis tetralogi fallot terdiri dari septum ventrikel subaortik yang besar dan

stenosis pulmonal infundibular. Terdapatnya dekstroposisi aorta dan hipertrofi ventrikel kanan

adalah akibat dari kedua kelainan terdahulu. Derajat hipertrofi ventrikel kanan yang timbul

bergantung pada derajat stenosis pulmonal. Pada 50% kasus stenosis pulmonal hanya

Page 4: BAB II

infundibular, pada 10-25% kasus kombinasi infundibular dan valvular, dan 10% kasus hanya

stenosis valvular. Selebihnya ialah stenosis pulmonal perifer.

Dekstroposisi pangkal aorta (overriding aorta) bukan merupakan condition sine qua non untuk

penyakit ini. Hubungan letak aorta dan arteri pulmonalis masih di tempat yang normal, over

riding aorta terjadi karena pangkal aorta berpindah kearah anterior mengarah ke septum. Derajat

over riding ini lebih mudah ditentukan secara angiografis daripada waktu pembedahan atau

autopsy. Klasifikasi over riding menurut Kjellberg : (Staf IKA, 2007)

1.      Tidak terdapat over riding aorta bila sumbu aorta desenden mengarah ke belakang ventrikel

kiri

2.      Pada over riding 25% sumbu aorta ascenden kea rah ventrikel sehingga lebih kurang 25%

orifisium aorta menghadap ke ventrikel kanan

3.      Pada over riding 50% sumbu aorta mengarah ke septum sehingga 50% orifisium aorta

menghadap ventrikel kanan

4.      Pada over riding 75% sumbu aorta asdenden mengarah ke depan ventrikel kanan, septum

sering berbentuk konveks ke arah ventrikel kiri, aorta sangat melebar, sedangkan ventrikel kanan

berongga sempit

Derajat over riding ini bersama dengan defek septum ventrikel dan derajat stenosis menentukan

besarnya pirau kanan ke kiri. Juga sangat menentukan sikap pada waktu pembedahan. Arkus

aorta yang berada di sebelah kanan disertai knob aorta dan aorta descenden di kanan terdapat

pada 25% kasus. Pada keadaan ini arteria subklavia kiri yang berpangkal di hemithorax kanan

biasanya menyilang di depan esophagus, kadang disertai arkus ganda. Pada tetralogi fallot dapat

terjadi kelainan arteri koronaria. Arteri koronaria yang letaknya tidak normal ini bila terpotong

waktu operasi dapat berakibat fatal. Sirkulasi kolateral di paru pada tetralogi fallot yang

terbentuk tergantung pada kurangnya aliran darah ke paru. Pembuluh kolateral berasal dari

cabang cabang arteria bronkialis. Pada keadaan tertentu jumlah kolateral sedemikian hebat

sehingga menyulitkan tindakan bedah. Pembuluh kolateral tersebut harus diikat sebelum

dilakukan pintasan kardiopulmonal.

Pengembalian vena sistemik ke atrium kanan dan ventrikel kanan berlangsung normal. Ketika

ventrikel kanan menguncup, dan menghadapi stenosis pulmonalis, maka darah akan dipintaskan

melewati cacat septum ventrikel tersebut ke dalam aorta. Akibatnya terjadi ketidak jenuhan

darah arteri dan sianosis menetap. Aliran darah paru paru, jika dibatasi hebat oleh obstruksi

Page 5: BAB II

aliran keluar ventrikel kanan, dapat memperoleh pertambahan dari sirkulasi kolateral bronkus

dan kadang dari duktus arteriosus menetap.

E.     Manifestasi Klinis

Gambaran klinis sering khas. Karena aorta menerima darah yang kaya oksigen dari ventrikel kiri

dan yang tanpa oksigen dari ventrikel kanan, maka terjadilah sianosis. Stenosis pulmonalis

membatasi aliran darah dari ventrikel kanan ke dalam paru-paru dan apabila ini berat, untuk

kelangsungan hidupnya hanya mungkin apabila duktus arteriosus tetap terbuka. Bising sistolik

diakibatkan baik oleh defek septum ventrikuler atau, bila berat, stenosis pulmonalis. Seperti juga

pada seluruh penderita yang hipoksia, konsentrasi hemoglobin menunjukkan kenaikan. Gagal

jantung kanan tidak dapat dihindari dan endokarditis bakterialis akan terjadi. Anak yang

menderita dispnea akibat tetralogi fallot kadang-kadang mempunyai posisi tubuh yang khas

akibat penyesuaian, dimana kedua kaki diletakkan berdekatan dengan sendi paha, atau duduk

dengan posisi “kaki-dada”. Keadaan ini akan meningkatkan aliran balik vena dari tungkai bawah

atau, lebih spekulatif, untuk mengurangi perfusi arteri perifer, yang karenanya akan

meningkatkan aliran melalui duktus arteriosus atau defek septum ventrikuler ke sirkulasi sebelah

kanan. Sebelum ada pengobatan operasi yang maju, sebagian besar penderita akan meninggal

dunia (Underwood, 2000).

Serangan serangan dispnea paroksismal (serangan serangan anoksia “biru”) terutama merupakan

masalah selama 2 tahun pertama kehidupan penderita. Bayi tersebut menjadi dispneis dan

gelisah, sianosis yang terjadi bertambah hebat, penderita mulai sulit bernapas dan disusul dengan

terjadinya sinkop. Serangan serangan demikian paling sering terjadi pada pagi hari. Serangan

serangan tersebut dapat berlangsung dari beberapa menit hingga beberapa jam dan kadang

kadang berakibat fatal. Episode serangan pendek diikuti oleh kelemahan menyeluruh dan

penderita akan tertidur. Sedangkan serangan serangan berat dapat berkembang menuju

ketidaksadaran dan kadang kadang menuju kejang kejang atau hemiparesis. Awitan serangan

biasanya terjadi secara spontan dan tidak terduga. Serangan yang terjadi itu mempunyai kaitan

dengan penurunan aliran darah pulmonal yang memang mengalami gangguan sebelumnya, yang

berakibat terjadinya hipoksia dan asidosis metabolis (Mansjoer, 2000).

F.      Komplikasi

Page 6: BAB II

Komplikasi yang dapat terjadi akibat penyakit tetralogi fallot adalah sebagai berikut: (Staf IKA,

2000)

1.    Trombosis pulmonal

2.    CVA trombosis

3.    Abses otak

4.    Perdarahan

5.    Anemia relatif

G.    Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaaan penunjang untuk penyakit tetralogi fallot adalah sebagai berikut: (Mansjoer, 2000)

1.    Pemeriksaan laboratorium

Ditemukan  adanya peningkatan hemoglobin dan hematokrit (Ht)  akibat saturasi oksigen yang

rendah. Pada umumnya hemoglobin dipertahankan 16-18 gr/dl dan hematokrit antara 50-65 %.

Nilai BGA  menunjukkan peningkatan tekanan partial karbondioksida (PCO2), penurunan

tekanan parsial oksigen (PO2) dan penurunan PH.pasien dengan Hn dan Ht normal atau rendah 

mungkin menderita defisiensi besi.

2.      Radiologis

Sinar  X pada thoraks menunjukkan penurunan aliran darah pulmonal, tidak ada pembesaran

jantung. Gambaran khas jantung tampak apeks jantung terangkat sehingga seperti sepatu.

3.      Elektrokardiogram

Pada EKG sumbu QRS hampir selalu berdeviasi ke kanan. Tampak pula hipertrofi ventrikel

kanan. Pada anak besar dijumpai P pulmonal.

4.      Ekokardiografi

Memperlihatkan  dilatasi aorta, overriding aorta dengan dilatasi ventrikel kanan,penurunan

ukuran arteri pulmonalis & penurunan aliran darah ke paru-paru.

5.      Kateterisasi

Diperlukan sebelum tindakan pembedahan  untuk mengetahui defek septum ventrikel multiple,

mendeteksi kelainan arteri koronari dan mendeteksi stenosis pulmonal perifer. Mendeteksi

adanya penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan ventrikel kanan, dengan tekanan

pulmonalis normal atau rendah.

E.     Pengobatan

Page 7: BAB II

Walaupun hampir semua pasien tetralogi memerlukan tindakan bedah, namun terapi konservatif

tidak boleh diabaikan sebelum pembedahan dilakukan. Pencegahan dan penanggulangan

dehidrasi sangat penting untuk menghindari hemokonsentrasi yang berlebihan serta trombosis.

Pengobatan akut serangan sianotik meliputi: (Staf IKA, 2007)

1.      Meletakan pasien dalam posisi menungging (knee chest position), sambil mengamati

bahwa pakaian yang melekat tidak sempit

2.      Pemberian O2

3.      Koreksi asidosis metabolik dengan NaHCO3

4.      Pemberian propanolol 0,1 mg/kgBB intra vena

5.      Pemberian morfin subkutan atau IV 0,1 mg/kgBB

Pemulihan akan berlangsung dengan cepat, demikian pula pH nya kembali kepada keadaan

normal. Pengukuran pH darah yang berulang diperlukan, karena kekambuhan asiodis sering

ditemukan. Untuk mencegah terulangnya serangan sianotik diberikan propanolol per oral 1-2

mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, dengan hasil yang sangat baik pada beberapa penderita

dengan serangan hebat, terutama yang disertai takikardi. Serangan sianotik lebih sering terjadi

pada pasien dengan anemia, maka  bila terdapat anemia relatif akibat defisiensi besi perlu

diberikan preparat besi sampai kadar hemoglobin mencapai 16-18 g/dl dan hematokrit 55-65%.

F.      Tindakan Bedah

Merupakan suatu keharusan bagi semua penderita tetralogi fallot. Pada bayi dengan sianosis

yang jelas, sering pertama-tama dilakukan operasi pintasan atau langsung dilakukan pelebaran

stenosis trans-ventrikel. Koleksi total dengan menutup VSD seluruhnya dan melebarkan stenosis

pulmonal pada waktu ini sudah mungkin dilakukan. Umur optimal untuk koreksi total pada saat

ini adalah 7-10 tahun. Walaupun kemajuan telah banyak dicapai, namun sampai sekarang operasi

semacam ini lalu disertai resiko besar (Staf IKA, 2007).

G.    Prognosis

Tanpa operasi prognosis tidak baik. Rata-rata mencapai umur 15 tahun, tetapi semua ini

bergantung kepada besar kelainan. Ancaman pada anak dengan tetralogi fallot adalah abses otak

pada umur sekitar 2-3 tahun. Gejala neurologis disertai demam dan leukositosis memberikan

kecurigaan akan adanya abses otak. Jika pada bayi dengan tetralogi fallot terdapat gangguan

Page 8: BAB II

neurologis, maka cenderung untuk diagnosis trombosis pembuluh darah otak daripada abses

otak. Anak dengan tetralogi fallot cenderung untuk menderita perdarahan banyak, karena

mengurangnya trombosit dan fibrinogen. Kemungkinan timbulnya endokarditis bakterialis selalu

ada (Staf IKA, 2007).

BAB III

PEMBAHASAN

Pada skenario yang berjudul “Bayi Biru” didapatkan beberapa masalah, diantaranya:

Nama              : Nita

Umur              : 2 tahun

Berat badan    : 8 kg

Tinggi badan  : 75 cm

Keluhan          : Mudah capek bila bermain, bila berlari tiba-tiba berhenti lalu jongkok, sesak

napas, bibirnya biru, tidak ada demam, tidak batuk pilek, sudah terjadi sejak anak mulai bisa

berjalan. Sejak berusia 2 minggu, Nita tampak biru-biru bila sedang menyusu dan menangis.

Pem. fisik        : Kompos mentis, sianosis, tekanan darah 100/60, nadi 120 kali/menit, respirasi

30 kali/menit, suhu badan 36,50C, tekanan vena jugularis normal, dada simetris, ketinggalan

gerak (-), retraksi (-), suara dasar vesikuler normal, suara tambahan (-), iktus kordis di SIC V

linea midclavicularis sinistra, tak kuat angkat, batas jantung normal, S1 tunggal, S2 split tak

konstan, bising sistolik derajat 3 atau 6, punctum maximum di SIC V, 2 cm di lateral linea

medioclavikularis sinistra, abdomen normal, hepar dan lien tidak teraba, akral hangat, nadi cepat,

jari tabuh, kuku sianosis.

Pem. penunjang : Pemeriksaan darah rutin, foto thorax, elektrokardiografi, ekokardiografi.

Diagnosis        : Tetralogi fallot

Untuk menilai status gizi Nita, dilakukan pengukuran IMT (Indeks Massa Tubuh) atau BMI

(Body Mass Index). Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:

IMT = 14,22

Page 9: BAB II

Nilai normal IMT yaitu 25. Dari hasil penghitungan IMT, status gizi Nita termasuk di bawah

standar atau bisa dikatakan kurus. Hal ini membuktikan bahwa terjadi gangguan pertumbuhan

pada Nita. Seharusnya, di usianya saat ini berat badan Nita seberat 12 kg sedangkan tinggi

badannya sekitar 96 cm (Soetjiningsih, 1995).

Nita mengeluh mudah lelah, karena pada penyakit tetralogi fallot terjadi gangguan pada proses

metabolisme yang mengakibatkan tertumpuknya asam laktat pada otot sehingga menyebabkan

perasaan mudah lelah. Biasanya, saat Nita berlari tiba-tiba dia merasa sesak napas lalu kemudian

berjongkok. Gejala berjongkok setelah pasien beraktivitas dinamakan gejala squating. Dalam

posisi jongkok, Nita merasa lebih nyaman karena aliran balik dari tubuh bagian bawah berkurang

dan menyebabkan kenaikan saturasi oksigen arteri (Mansjoer, 2000).

Pada pemeriksaan, tidak ditemukan adanya demam ataupun batuk pilek. Hal ini menandakan

bahwa tidak adanya infeksi bakteri atau virus. Sejak usia 2 minggu setelah kehamilan, Nita

tampak kebiruan atau sianosis. Sianosis diakibatkan karena stenosis pulmonal yang terjadi pada

penyakit tetralogi fallot. Stenosis pulmonal yaitu terjadinya penyempitan pada pembuluh darah

yang keluar dari bilik kanan menuju paru-paru, sehingga mengakibatkan turunnya oksigen. Oleh

karena itu, terjadi sianosis. Sianosis hanya terdapat setelah menangis, minum, dan stres.

Serangan anoksia merupakan tanda bahaya pertama. Segera setelah bangun atau setelah

menangis keras, terjadi sianosis jelas, setelah itu pucat dan pingsan. Penyebab serangan ini masih

belum jelas (Staf IKA, 2007).

Nilai tekanan darah normal untuk anak usia 1-3 tahun adalah sistole sekitar 75-100 mmHg dan

diastole 50-75 mmHg. Dalam skenario ini, tekanan darah masih dalam batas normal. Sedangkan

untuk denyut nadi berkisar antara 100-160 kali /menit, yang juga dalam batas normal. Nilai

respirasi normal yaitu 15-30 kali/menit. Suhu badan juga dalam batas normal (Delp, 1996).

Terdapat suara tambahan pada saat bunyi jantung 2 atau diastolik. Selain itu didapatkan bising

derajat 3 atau 6. Bising derajat 3 mudah didengar, sedangkan bising derajat 6 yaitu bising yang

paling amat keras, juga dapat didengar walaupun stetoskop tidak menyentuh dinding dada tetapi

jari-jari masih menyentuh dinding dada. Punctum maximum atau lokalisasi dan penyebaran

bising yang terjadi di SIC V (Delp, 1996)

Clubbing fingers/digital clubbing/jari tabuh merupakan kelainan bentuk jari dan kuku tangan

yang berhubungan dengan sejumlah penyakit yang berkaitan dengan jantung dan paru-paru.

Patofisiologi clubbing finger yang terbaru dijelaskan oleh Prof. Bonthron dan dr. Chris Bennet

Page 10: BAB II

dari Yorkshire Regional Genetics Service. Mereka mempelajari sekelompok pasien yang

menderita primary hypertrophic osteoarthropathy (PHO), suatu kelainan genetik yang ditandai

oleh clubbing finger, pembesaran sendi yang disertai nyeri dan penebalan tulang jari tangan.

Penemuan mereka menunjukkan bahwa Prostaglandin E2 (PGE2), yang diproduksi oleh tubuh

sebagai mediator inflamasi, memegang peran penting pada proses terjadinya clubbing finger.

Pada keadaan normal, PGE2 akhirnya akan didegradasi oleh enzim 15-HPGD, yang diproduksi

terutama oleh jaringan paru. Untuk kasus gangguan jantung, aliran darah yang menuju ke paru

akan berkurang, sehingga proses degradasi PGE2 yang sebagian besar terjadi di jaringan paru

akan terganggu (Guyton, 2006).

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan

Kombinasi kelainan kongenital yang dikenal sebagai tetralogi fallot antara lain defek septum

ventrikuler, pembesaran aorta, stenosis katup pulmoner, dan hipertrofi ventrikel kanan. Penyebab

tetralogi fallot terdiri dari 2 faktor, yaitu endogen dan eksogen. Anak dengan tetralogi fallot

umumnya akan mengalami keluhan sesak saat beraktivitas, berat badan bayi yang tidak

bertambah, clubbing fingers, dan sianosis. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain pemeriksaan

darah, foto thorax, elektrokardiografi, ekokardiografi.

B.     Saran

Adapun saran yang dapat diberikan dalam skenario ini antara lain:

1.      Hindari penggunaan alkohol atau obat yang membahayakan pada masa kehamilan

2.      Makanan ibu haruslah mencukupi nilai gizi serta nutrisi yang dibutuhkan

3.      Lakukan tindakan operasi untuk mempertahankan hidup anak

4.      Pemberian oksigen sangat diperlukan saat anak sesak napas

DAFTAR PUSTAKA

Delp, Mohlan H. 1996. Major Diagnosis Fisik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Page 11: BAB II

Guyton, Arthur C. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC.

Mansjoer, Arief, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapicus FKUI.

Sadler, T.W. 2000. Embriologi Kedokteran Langman. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak jilid 2. Jakarta:

Infomedika.

Underwood, J. C. E. 2000. Patologi Umum dan Sistematik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC