BAB II

download BAB II

of 15

description

h

Transcript of BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pengetahuan

2.1.1 Definisi PengetahuanPengetahuan adalah sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapi baik diperoleh dari pengalaman langsung maupun dari pengalaman orang lain yang merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orag melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu melalui panca indera manusia (Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan terjadi setelah penginderaan melalui panca indera manusia. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Oleh karena itu, perilaku yang didasari oleh pengetahuan dan pengalaman akan lebih bertahan daripafa perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Ali, 2003).

2.1.2 Tingkat Kognitif

Tingkat kognitif menurut Leslie Owen (2006) adalah sebagai berikut :

a. Pengetahuan : mengingat atau mengulang suatu materi. Kata operasionalnya dapat berupa mengetahui, mendefinisikan, mengingat kembali, memilih, mendaftar.

b. Pemahaman : kemampuan untuk meangkap atau membangaun makna dari materi. Kata operasionalnya dapat berupa mencontohkan, mengklasifikasikan, menyimpulkan, membandingkan, dan menjelaskan.

c. Aplikasi : kemampuan untuk mengguanakan materi dan menerapkan materi yang di dapat dalam situasi yang baru. Kata operasional aplikasi dapat berupa menerapkan, mengembangkan, mengatur, restrukrisasi, menafsirkan, mengilustrasikan.

d. Analisis : kemampuan untuk memecah atau membedakan bagian dari badan ke dalam komponen sehingga struktur organisasi yang mungkin lebih baik dipahami. Kata operasionalnya adalah menganalisa, menyelidiki, memeriksa, mengkategorikan, membedakan, menemukan, menggolongkan, menyimpulkan, dan mendiskriminasikan.

e. Evaluasi : kemampuan untuk menilai, memeriksa, dan bahkan mengkritik materi tertentu. Contoh kata operasionalnya dalah memutuskan, menilai, membandingkan, mengevaluasi, mengukur dan mengkritik.

f. Sintesis : kemampuan untuk menempatkan bagian-bagian bersama sama untuk membentuk suatu yang baru dan koheren.

g. Imajinasi : kemampuan untuk menggabungkan berbagai konsep materi pelajaran menjadi sebuah imajinasi dalam berkreasi.

h. Kreasi : kemampuan siswa dalam mengaplikasikan konsep atau materi menjadi suatu produk. Kata operasionalnya dapat berupa menciptakan, membangun, mendesain, mengembangkan, merumuskan, menghasilkan dan membuat.

2.2 Konsep Dasar Hemodialisa

2.2.1 Definisi Hemodialisa

Menurut Price dan Wilson (2005) dialisa adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.

Hemodialisa (HD) merupakan pengganti terapi faal ginjal dengan tujuan untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan air dan elektrolit antara kompartemen darah pasien dengan kompartemen larutan dialisat melalui selaput (membrane) semipermeabel yang bertindak sebagai ginjal buatan (Sukandar, 2007). Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (2007) hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan untuk memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi dializer yang dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat (Tisher & Wilcox, 2007).

Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan (NKF, 2006).

2.2.2 Prinsip Yang Mendasari HemodialisaTujuan hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi lebih tinggi ke cairan dialisat yang konsentrasinya rendah.

Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan: dengan kata lain, air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradien ini dapar ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal dengan ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan pengisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air. Karena pasien tidak dapat mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia (keseimbangan cairan ) (Smeltzer, 2001).

2.2.3 Indikasi Hemodialisa

Price dan Wilson (2005) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.

Indikator biokimiawi yang memerlukan tindakan hemodialisa: peningkatan BUN > 20-30 mg%/hari, Serum kreatinin > 2 mg%/hari, Hiperkalemia, Overload cairan yang parah, Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis

Pada crf: Bun > 200 mg%, Creatinin > 8 mg%, Hiperkalemia, Asidosis metabolik yang parah.

2.2.4 Kontra Indikasi Hemodialisa

Menurut Thiser dan Wilcox (2007) kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003).

2.2.5 Tujuan Hemodialisa

Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa:

a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.

b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.

c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.

d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.

2.2.6 Proses Hemodialisa

Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan hemodialisa berfungsi mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan dialisat dan aliran darah melewati suatu membran semipermeabel, dan memantau fungsinya termasuk dialisat dan sirkuit darah korporeal. Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi sistemik. Darah dan dialisat dialirkan pada sisi yang berlawanan untuk memperoleh efisiensi maksimal dari pemindahan larutan. Komposisi dialisat, karakteristik dan ukuran membran dalam alat dialisa, dan kecepatan aliran darah dan larutan mempengaruhi pemindahan larutan (Tisher & Wilcox, 2007).

Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan hemodialisa diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke dalam mesin hemodialisa (NKF, 2006).

Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian lain untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah darah ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer merupakan sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari ribuan serabut kapiler halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung kecil ini, dan cairan dialisat membasahi bagian luarnya. Dializer ini sangat kecil dan kompak karena memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung kapiler (Price & Wilson, 1995).

Menurut Corwin (2000) hemodialisa adalah dialisa yang dilakukan di luar tubuh. Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah darah selesai dilakukan pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt).

Selanjutnya Price dan Wilson (2005) juga menyebutkan bahwa suatu sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk cairan dialisa. Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur arteri/blood line), melalui dializer hollow fiber dan kembali ke pasien melalui jalur vena. Cairan dialisa membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat dengan perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak cairan dialisa. Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer, dimana cairan akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi sepanjang membran semipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.

Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat dicapai dengan meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau dengan menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur tekanan negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik diantara membran dialisa juga meningkatkan kecepatan difusi solut. Sirkuit darah pada sistem dialisa dilengkapi dengan larutan garam atau NaCl 0,9 %, sebelum dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah pasien mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa darah untuk membantu aliran dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit) merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan darah. Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien. Untuk menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern dilengkapi dengan monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter (Price & Wilson, 2005).

Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4 5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10 15 jam/minggu dengan QB 200300 mL/menit. Sedangkan menurut Corwin (2000) hemodialisa memerlukan waktu 3 5 jam dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2 3 hari diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah rusak dalam proses hemodialisa.

2.2.7 Komplikasi HemodialisaMenurut Tisher dan Wilcox (2007) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain:

a. Kram otot

Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.

b. Hipotensi

Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan.

c. Aritmia

Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.

d. Sindrom ketidakseimbangan dialisa

Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia berat.

e. Hipoksemia

Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.

f. Perdarahan

Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.

g. Ganguan pencernaan

Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan sakit kepala.

h. Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.

i. Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.

2.2.8 Tanda-Tanda Dialysis Adekuat:

Tercapai BB kering

Pasien tampak baik

Bebas simtom uremia

Nafsu makan baik

Aktif

Td terkendali Hb > 10 gr/dl

2.2.9 Keunggulan Hemodialisaa. Produk sampah nitrogen molekul kecil cepat dapat dibersihkan

b. Waktu dialisis cepat

c. Resiko kesalahan tehnis kecil

d. Adequasy dialisis dapat ditetapkan segera, underdialisis segera dapat dibenarkan.

2.2.10 KELEMAHAN HEMODIALISA

a. Tergantung mesin

b. Sering terjadi: hipotensi, kram otot,disequilibrium sindrom

c. Terjadi aktivasi: complement, sitokines mungkin timbul amiloidosis

d. Vaskuler access: infeksi trombosis

e. Sisa fungsi ginjal cepat menurun disbanding peritoneal dialysis.

3. Venous Needle Dislodgement (VND)3.1 Definisi Venous Needle Dislodgement (VND) adalah komplikasi dari hemodialisa mulai dari kehilangan darah ringan hingga berat. Venous needle dislodgement (VND) merupakan komplikasi dari dialysis yang mengancam nyawa. VND terjadi ketika jarum fistula vena terjadi dislokasi dan keluar dari akses vascular sehingga menyebabkan kehilangan darah. Banyak factor yang diketahui dapat berkontribusi untuk terjadinya VND (Hurst, 2011).3.2 Faktor Risiko Terjadinya VNDa. Pasien yg bingung dan gelisah, pasien yang mengalami kerusakan kognitif dan pasien dengan demensia:

b. VA analysis dan VA dyalisis center menemukan bahwa 75% perdarahan terjadi pada pasien yang bingung, gelisah dan tidak kooperatif ( Veterans Health Administration, 2008)

c. (Lascano dan Anderson, 2011) melaporkan bahwa pasien dengan penurunan kesadaran sangat beresiko untuk terjadi VND

d. Pasien yg memiliki riwayat hipotensi dan mengalami kram otot selama tindakan

e. Pasien dengan hipotensi akan lebih rentan beresiko terjadi syok

f. Kram otot akan menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah sehingga sulit untuk dilakukan vena punction

g. Pasien yg menolak untuk menjaga area dan pembuluh darah tidak tertutup

h. (Lascano dan Anderson, 2011) menyatakan bahwa penting untuk menjamin daerah vena punction tetap terlihat

i. ketika tidur orang akan melakukan gerakan yang tidak disadari, Dengan kondisi akses vena yg tertutup, maka akan memperbesar resiko terjadinya VND

j. teknik memplester/mengfiksasi

k. ANNA mengatakan, bahwa teknik memplester/mengfiksasi merupakan salah satu factor penting dalam pencegahan ataupun terjadinya VND

l. Perlu dilakukan pelatihan untuk mengembangkan teknik fiksasi/memplester yg baik untuk mencegah VND

m. Menyiapkan kulit dan teknik memplester atau fiksasi dengan benar adalah sesuai dalam ANNA CoreCurriculum for Nephrology Nursing (Dinwiddie, 2008).

n. Klien dengan bulu yg panjang pada daerah insisi akan mempengaruhi baik atau tidaknya fiksasi atau plester yg dilakukan

o. Klien yang sering berkeringat akan mempengaruhi baik atau tidaknya fiksasi atau plester yg dilakukan

p. Observasi oleh staf

q. Kemampuan dan kerutinan staf perawat untuk mengobservasi kondisi akses vena sangat berperan dalam pencegahan terjadinya VND

r. Pasien yang melakukan HD di malam hari

s. Factor pencahayaan berperan besar dalam menentukan keberhasilan vena punction dan terjadi atau tidaknya VND

t. Factor petugas yang mengantuk berperan besar dalam menentukan keberhasilan vena punction dan terjadi atau tidaknya VND

3.3 Komplikasi Venous Needle Dislodgement (VND)Komplikasi akibat Venous Needle Dislodgement (VND) selama hemodialisa adalah perdarahan, syok hipovolemia bahkan sampai pada kematian. Perdarahan hebat terjadi akibat terlepasnya akses vaskuler, terutama akses dari pembuluh darah arteri. Selain itu, perdarahan dapat diperparah oleh adanya pemberian antikoagulan yang berfungsi untuk mencegah terjadinya pembekuan darah di dalam sirkuit ekstrakorporeal selama proses hemodialisa. Syok hipovolemi terjadi sebagai akibat adanya kehilangan volume cairan tubuh berlebih. Kondisi ini dapat menyebabkan kematian pada klien apabila kondisi syok tidak tertangani dengan segera. 3.4 Pencegahan Terjadinya VND

1. Staff, pasien dan petugas kesehatan harus sadar VND dan komplikasinya

Edukasi pada pasien wajib dilakukan oleh petugas kesehatan untuk sadar akan kemungkinan terjadinya vnd.

2. Area sekitar akses vaskuler harus lebar untuk memudahkan perlekatan plester dan harus dibersihkan juga dikeringkan sebelum pemasangan kanul.

Secara rutin membersihkan kulit menggunakan air dan sabun merupakan cara yg mudah dan efektif untuk mengurangi kemungkinan infeksi di akses vaskuler. Setelah itu dilakukan disinfeksi. Dan bila di kulit pasien terdapat banyak bulu yang mengganggu maka dilakukan pencukuran.

3. Unit hemodialisis harus mempunyai SOP untuk memplester jarum dan blood line

Semua staff harus menggunakan teknik, alat dan bahan yang sama. Dengan menggunakan teknik yang sama akan memudahkan staff mengidentifikasi kemungkinan pergerakan plester selama hemodialisa. Apabila akses vena susah ditemukan pada pasien tertentu atau terjadi alergi pada bahan yang digunakan (misal plester, jarum dll) maka pemakaian teknik cadangan harus disetujui semua perawat. Untuk teknik memplester, direkomendasikan dengan cara butterfly atau chevron

Gambar cara chevron:

4. Blood line harus ditekuk secara longgar untuk memudahkan pergerakan pasien dan mencegah tertariknya jarum

Teknik untuk mengamankan blood line memegang peranan penting untuk mencegah terjadinya VND. Blood line harus ditekuk dengan longgar untuk memudahkan pergerakan pasien tanpa membuat jarum tercabut. Blood line tidak boleh difiksasi di bed atau kursi hemodialisa karena seiring pergerakan pasien dapat membuat tercabutnya jarum

5. Jika sangat penting untuk reposisi jarum, semua plester harus dilepas

Ketika dilakukan reposisi jarum selama dialysis maka semua plester lama harus dilepas dan diganti plester baru.

6. Perbandingan perawat dan pasien harus adekuat untuk memudahkan pengawasan akses vaskuler selama treatment

Harus terdapat staff yang cukup agar dapat secara regular mengecek akses vaskuler dan koneksi blood line. Pengecekan tambahan harus dilakukan ketika ada perpindahan posisi pasien. Perbandingan perawat dan pasien berbeda tiap Negara dan unit tergantung kemandirian dan stabilitas pasien. Penelitian oleh EDTNA / ERCA menemukan bahwa 4 pasien dapat diawasi oleh 1 perawat.

7. Semua pasien harus diakses resiko VND dan bila perlu digunakan alat alarm untuk mendeteksi VND.

Meskipun semua pasien dengan AV fistula atau AV graft memiliki resiko terjadinyya VND, resiko dapat diminimalkan dengan mengamankan plester dan monitoring rutin. Untuk pasien dengan resiko tinggi terjadinya VND, pemakaian monitor berkala untuk mendeteksi perembesan darah perlu ditambahkan. Factor resiko yang perlu dikaji adalah:

Pasien yang lemah, mencakup pasien dengan efek samping selama HD selama hipotensi dan keram otot

Psien dengan demensia

Pasien yang tidak sepenuhnya sadar

Pasien dengan akses susah

Pasien dengan rambut berlebihan yang mengganggu

Pasien yang mempunyai alergi dengan plester

Pasien yang melakukan dialysis sendirian atau atau pada malam hari

8. Akses vaskuler dan jarum harus terlihat selama prosedur hemodialisis

Menjaga akses vaskuler dan jarum terlihat selama prosedur memudahkan staff untuk secara rutin mengecek tanpa mengganggu pasien. Penggunaan transparent cover memudahkan pengecekan dibandingkan standart dressing.

9. Ketika alarm tekanan vena diaktifkan maka akses vaskuler dan fiksasi jarum harus terus diinspeksi

Bila alarm tekanan vena diaktifkan maka inspeksi diperlukan untuk memastikan jarum tetap pada tempatnya sebelum memulai memompa darah dan mengeset batas alarm.

10. Batas bawah alarm harus di set mendekati tekanan vena terakhir

Jika VND terjadi, alarm tekanan vena hanya akan teraktivasi jika tekanan berada dibawah batass alarm.

11. Staff, pasien dan tenaga kesehatan harus waspada bila system monitoring tekanan vena selama dialysis gagal mendeteksi vnd

Meskipun alarm sudah di set sesuai prosedur, tenaga kesehatan tidak dapat menggantungkan hanya dari alarm. Penurunan tekanan vena mungkin kecil sehingga tidak bisa dideteksi oleh alarm

12. Proteksi tambahan dapat sediakan oleh alat yang mendeteksi hilangnya darah ke lingkungan.

Untuk pasien dengan resiko tinggi vnd dapat diberikan alat tambahan yang mendeteksi hilangnya darah ke lingkungan. Baru baru inni terdapat alat dari fiber optic yang telah diterima sebagai alat kesehatan yang ditujukan untuk mendeteksi VND. Sensor patch dipasang di sekitar lokasi insersi jarum yang akan mengabsorbsi darah bila terjadi dislokasi jarum, dan akan membunyikan alarm. Idealnya alat untuk mendeteksi vnd harus terhubung dengan mesin dialysis sehingga pompa darah dapat dimatikan ketika alarm menyala.

3.5 Penatalaksanaan VND

Penatalaksanaan Venous needle dislodgement sangatlah penting, karena VND dapat menyebabkan perdarahan minimal sampai menjadi fatal sehingga menyebabkan 10-30% kematian. Menurut Lewis (2007), dalam Hasan et al. (2013) menjelaskan bahwa ketika terjadi VND hal yang dapat dilakukan adalah menghentikan proses pemompaan darah, hentikan alat hemodialisa, berikan tekanan yang lembut pada area perdarahan hingga berhenti dan berikan gel foam pada area insersi. Bersihkan area perdarahan dengan kasa yang dicelup dengan air hangat, kembalikan sirkuit line blood pada vena perifer yang lain. Ganti jarum dengan jarum yang baru dan pasang pada vena yang lain, kemudian lakukan lagi proses hemodialisis.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, Colin B. 2010. Manual Ilmu Penyakit Ginjal. Terj. Moch. Sadikin dan Winarsi Rudiharso. Jakarta: Binarupa Aksara.

Bulechek GM, Butcher HW, Dochterman JM. 2008. Nursing Intervention Classification (NIC) ed5. St Louis: Mosby Elsevier.Fogo AB, Kon V. Chronic renal failure. Dalam: Avner WD, Harmon FE. Pediatric Nephrology. Edisi ke-5. Lippincott Williams and Wilkins. 2004; hal 1645-70.Guyton, Arthur C. 2007. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Terj. Petrus Andrianto. Jakarta: EGC.Hassan, et al. 2013. Nurse Knowledge and Practice Regarding Intradialitic Complication on Hemodialysis Patient. Journal of American Science 2013:911.Henry TY. Progression of chronic renal failure. Arch Int Med 2003;163:1417-29.

Levey AS, Coresh J, Balk E, Kautz T, Levin A, Steves M et al. National Kidney Foundation Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. Ann Intern Med. 2003;139:137-47.

Long, B C. (2006). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan

Menon S, Valentini RP, Kapur G, Layfield S, Mattoo TK. Effectiveness of a multidisciplinary clinic in managing children with chronic kidney disease. Clin J Am Soc Nephrol. 2009;4:1170-1175.

Potter, Perry. 2005. Fundamental Keperawatan Edisi 4 Volume 2. Jakarta: EGC.

Price, Sylvia A. 1995. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit, jilid 2. Jakarta: EGC.

Reeves, Charlene J, Gayle Roux, and Robin Lockhart. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi Pertama. Terj. Joko Setyono. Jakarta: Salemba Medika. Sharon K. Chronic kidney disease. Critical Care Nurse. 2006;14:17-22.

Smeltzer, S., and Barre, B. 2010. Medical Surgical Nursing. Philadelphia : Davis CompSuyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai Penerbit FKUI

Vogt BA, Avner ED. Renal failure. Dalam: Behrman RM, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders, 2004; hal 1770-75.