BAB II
-
Upload
mega-silfia-zulfi -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
Transcript of BAB II
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIPERTENSI
2.1.1 Fisiologi Pengaturan Tekanan Darah
Tekanan darah ditentukan oleh dua faktor utama yaitu curah jantung dan
resistensi perifer. Curah jantung merupakan hasil kali denyut jantung dan isi sekuncup.
Besarnya isi sekuncup ditentukan oleh kekuatan kontraksi miokard dan aliran balik
vena. Resistensi perifer merupakan gabungan resistensi pada pembuluh darah (arteri dan
arteriol) dan viskositas darah. Resistensi pembuluh darah ditentukan oleh tonus otot
polos arteri dan arteriol, serta elastisitas dinding pembuluh darah.5 Curah jantung dan
resistensi perifer dipengaruhi oleh faktor-faktor yang saling berinteraksi yaitu asupan
natrium, stress, obesitas, genetik dan lain-lain.6
Pengaturan tekanan darah didominasi oleh tonus simpatis yang menentukan
frekuensi denyut jantung, kontraktilitas miokard dan tonus pembuluh darah arteri
maupun vena, sedangkan sistem parasimpatis hanya ikut mempengaruhi frekuensi
denyut jantung. Sistem simpatis juga mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron
(RAA) melalui peningkatan sekresi renin. Homeostasis tekanan darah dipertahankan
oleh :5
1. Refleks baroreseptor sebagai mekanisme kompensasi yang terjadi secara cepat.2. Sistem RAA sebagai mekanisme kompensasi yang berlangsung lebih lambat.
2
Berikut ini ditampilkan bagan yang memuat faktor-faktor penting yang
berpengaruh dalam pengaturan tekanan darah:
Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah.9
Perangsangan baroreseptor akibat tekanan di dalam arteri secara refleks
menyebabkan penurunan tekanan arteri yang disebabkan oleh adanya penurunan
resistensi perifer dan penurunan curah jantung. Sebaliknya tekanan arteri yang rendah
mempunyai pengaruh yang berlawanan, yang secara refleks menyebabkan tekanan arteri
meningkat kembali menjadi normal.7
Ginjal mempunyai mekanisme kuat untuk mengatur tekanan arteri yaitu melalui
sistem renin angiotensin. Bila tekanan arteri turun, reaksi intrinsik dalam ginjal akan
menyebabkan pelepasan enzim renin. Renin bekerja secara enzimatik pada protein
plasma lain yaitu bahan renin (angiotensinogen) untuk melepaskan angiotensin I dan
dengan bantuan angiotensin converting enzyme (ACE) selanjutnya dikonversi menjadi
angiotensin II yang merupakan vasokonstriktor yang sangat kuat. Angiotensin II ini
mempunyai pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri melalui
vasokonstriksi pembuluh darah dan menurunkan ekskresi garam dan air melalui efek
langsung pada ginjal untuk menimbulkan retensi garam dan air dan menyebabkan
sekresi aldosteron yang meningkatkan reabsorpsi garam dan air melalui tubulus ginjal.
3
Curahjantung
Denyutjantung
Isisekuncup
TEKANANDARAH
Kontraktilitasmiokard
Alir balikvena
Volumedarah
Kapasitasvena
Resistensiperifer
ResistensiPembuluh
darah
Viskositasdarah
Tonusarteri & arteriol
Elastisitas dindingPembuluh darah
Refleks Baroreseptor
Sekresi renin
Para simpatis
Simpatis
RAA
Penurunan ekskresi garam dan air akan memperlambat kenaikan volume cairan
ekstraseluler, yang kemudian meningkatkan tekanan arteri selama berjam-jam dan
berhari-hari. Efek jangka panjang ini yang bekerja melalui mekanisme volume cairan
ekstraseluler, bahkan lebih kuat daripada mekanisme vasokonstriktor akut yang
akhirnya mengembalikan tekanan arteri ke nilai normal.7
2.1.2 Definisi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan seseorang dengan
tekanan darah sistoliknya sama atau melebihi 140 mmHg dan/atau sama atau melebihi
90 mmHg diastolik yang terjadi secara kronik pada seseorang yang sedang tidak
mengkonsumsi obat antihipertensi.1
Batasan hipertensi dengan mempertimbangkan usia dan jenis kelamin diajukan
oleh Kaplan sebagai berikut: 8
- Pria usia < 45 tahun, dikatakan hipertensi apabila tekanan darah pada waktu
berbaring di atas atau sama dengan 130/90 mmHg
- Pria usia > 45 tahun, dikatakan hipertensi apabila tekanan darah pada waktu
berbaring di atas 145/95 mmHg
- Pada wanita, tekanan darah di atas atau sama dengan 160/95 mmHg dinyatakan
kepentingan pengobatan
2.1.3 Epidemiologi
Data epidemiologis menunjukan bahwa dengan makin meningkatnya populasi
usia lanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan
bertambah, dimana baik hipertensi sistolik maupun kombinasi hipertensi sistolik dan
diastolik sering timbul pada lebih dari separuh orang berusia lebih dari 65 tahun. Hasil
penelitian Mardiah dkk mengenai karakteristik pasien hipertensi di Poliklinik Penyakit
Dalam RS Mohammad Hoesin, Palembang didapatkan 76% pasien berusia di atas 50
tahun, 22% berusia di antara 20-50 tahun dan 20% berusia di bawah 20 tahun. Jika
dibandingkan antara pria dan wanita diperoleh 71% wanita merupakan pasien hipertensi
dan sisanya 29% adalah pria.6
2.1.4 Klasifikasi dan Etiologi
4
Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi yaitu hipertensi esensial
atau primer atau idiopatik dan hipertensi sekunder.9
1. Hipertensi Esensial
Hipertensi esensial atau hipertensi primer atau idiopatik merupakan jenis
hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya dan terdapat sekitar 95% kasus. Banyak
faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf
simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi natrium, peningkatan natrium
dan kalsium intraseluler, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti obesitas,
alkohol, merokok serta polisitemia.9
Hipertensi esensial dapat diklasifikasikan menjadi benigna dan maligna.
Hipertensi benigna bersifat progresif lambat. Sedangkan hipertensi maligna yaitu suatu
kondisi klinis dalam penyakit hipertensi yang bertambah berat dalam waktu singkat
sehingga dapat menyebabkan kerusakan berat pada berbagai organ.9
2. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder meliputi 5% kasus hipertensi. Penyebab spesifiknya
diketahui seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskuler renal,
hiperaldosteronisme primer, sindroma cushing, feokromositoma, koartasio aorta,
hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain.9
2.1.5 Faktor-Faktor Risiko
Dalam patogenesis hipertensi terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan
risiko terjadinya hipertensi, dimana faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu sama
lainnya. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko timbulnya hipertensi tersebut,
dapat dibedakan menjadi faktor yang dapat dikontrol/dikendalikan (faktor lingkungan)
dan faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan, yaitu:2
1. Faktor risiko yang dapat dikendalikan atau dikontrol: obesitas, kurang olah raga,
merokok, menderita diabetes melitus, mengkonsumsi garam berlebih, minum
alkohol dan kopi, diet, pil KB, stres emosional, dan sebagainya
2. Faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan atau dikontrol yaitu umur, jenis
kelamin, dan genetik
5
Mekanisme penyebab utama terjadinya hipertensi pada obesitas diduga
berhubungan dengan kenaikan volume tubuh, peningkatan curah jantung, dan
menurunnya resistensi vaskuler sistemik (M. Wahba, 2007). Beberapa mekanisme
lain yang berperan dalam kejadian hipertensi pada obesitas antara lain peningkatan
sistem saraf simpatik, meningkatnya aktivitas renin angiotensin aldosteron (RAAS),
peningkatan leptin, peningkatan insulin, peningkatan asam lemak bebas (FFA),
peningkatan endotelin 1, terganggunya aktivitas natriuretic peptide (NP), serta
menurunnya nitrit oxide (NO) (Kintscher U. et al., 2007; M. Wahba, 2007).
2.1.6 Manifestasi Klinis
Sebagian besar penderita dengan hipertensi tidak mempunyai gejala spesifik
yang menunjukkan kenaikan tekanan darahnya dan hanya diidentifikasi dari
pemeriksaan fisik. Sehingga peninggian tekanan darah tidak jarang merupakan satu-
satunya tanda pada hipertensi. Gejala yang ditimbulkan berbeda-beda tergantung
tingginya tekanan darah. Kadang-kadang hipertensi esensial berjalan tanpa gejala dan
baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti pada ginjal, mata,
otak dan jantung.2, 3, 9, 10
Gejala seperti sakit kepala, epistaksis dan migren dapat ditemukan sebagai
gejala klinis hipertensi esensial meskipun tidak jarang yang tanpa gejala. Pada
penyelidikan hipertensi di Paris, dari 1771 pasien hipertensi yang tidak diobati, gejala
sakit kepala menduduki urutan pertama, diikuti oleh palpitasi, nokturia, pusing, dan
tinitus. Pada penyelidikan tersebut tidak didapatkan korelasi antara tingginya tekanan
darah dan gejala yang timbul.3
Beberapa survei hipertensi di Indonesia mendapatkan berbagai keluhan yang
dihubungkan dengan hipertensi. Keluhan yang sering tejadi antara lain sakit kepala,
telinga berdengung, cepat marah, insomnia, sesak napas, rasa berat di tengkuk, rasa
mudah lelah, mata berkunang-kunang dan jarang disertai epistaksis. Jika hipertensinya
berat atau menahun dan tidak diobati secara teratur, dapat timbul gejala-gejala seperti
sakit kepala, kelelahan, mual, muntah, sesak nafas, gelisah, dan pandangan yang
menjadi kabur akibat adanya kerusakan pada otak, mata, jantung, dan ginjal.2
6
2.1.7 Diagnosis dan Evaluasi Klinik
Diagnosis hipertensi ini dapat ditegakkan berdasarkan pengukuran tekanan darah
yang dikategorikan berdasarkan The Seventh Report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII)
mengenai klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa yang dibagi menjadi kelompok
normal, prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan hipertensi derajat 2.11
Tabel 1.Klasifikasi tekanan darah berdasarkan Joint National Committee VII
KlasifikasiTekanan Darah Sistolik
(mmHg)
Tekanan Darah Diastolik
(mmHg)
Normal < 120 dan < 80
Prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi stage 2 ≥ 160 atau ≥ 100
Sumber : JNC VII yang dikutip oleh Yogiantoro11
Klasifikasi hipertensi yang lain didapatkan dari World Health Organization
(WHO) dan International Society of Hypertension (ISH), dari European Society of
Hypertension (ESH bersama European Society of Cardiology), British Hypertension
Society (BSH) serta Canadian Hypertension Education Program (CHEP), tetapi
umumnya digunakan JNC VII.5
Evaluasi pada pasien hipertensi bertujuan untuk menilai pola hidup dan
identifikasi faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya atau menilai adanya penyakit
penyerta yang mempengaruhi prognosis dan menentukan pengobatan; mencari
penyebab kenaikan tekanan darah dan menentukan ada tidaknya kerusakan organ target
dan penyakit kardiovaskular.7
Evaluasi paisen hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis tentang keluhan
pasien, riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang.7
Anamnesis meliputi :
1. lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
2. indikasi adanya hipertensi sekunder
a. keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)
7
b. adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian obat-obat
analgesik dan obat lain
c. episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi (feokromositoma)
d. episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme)
3. faktor-faktor risiko
a. riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarganya
b. riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya
c. riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya
d. kebiasaan merokok
e. pola makan
f. kegemukan, intensitas olahraga
g. kepribadian
4. gejala kerusakan organ
a. otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient ischaemic
attacks, defisit sensoris atau motoris
b. jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki
c. ginjal : haus, poliuria, nokturia, hematuri
d. arteri perifer : ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten
5. pengobatan antihipertensi sebelumnya
6. faktor-faktor pribadi, keluarga dan lingkungan
Pemeriksaan fisik selain memeriksa tekanan darah, juga untuk evaluasi adanya
penyakit penyerta, kerusakan organ target serta kemungkinan adanya hipertensi
sekunder.7 Pengukuran tekanan darah terdiri dari :
1. pengukuran rutin di kamar periksa
2. pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring/ABPM)
3. pengukuran sendiri oleh pasien
Pemeriksaan penunjang pada pasien hipertensi antara lain 7:
1. test darah rutin
2. glukosa darah
3. kolesterol total serum, kolesterol LDL dan HDL serum
4. trigliserida serum
8
5. asam urat serum
6. kreatinin serum
7. kalium serum
8. hemoglobin dan hematokrit
9. urinalisis yaitu uji carik celup serta sedimen urin
10. elektrokardiogram (EKG)
Beberapa pedoman penanganan hipertensi juga menganjurkan pemeriksaan lain
seperti:7
1. ekokardiogram
2. USG karotis dan femoral
3. C- reactive protein (CRP)
4. mikroalbuminuria atau perbandingan albumin/kreatinin urin
5. proteinuria kuantitatif jika uji carik celup positif
6. funduskopi pada hipertensi berat
Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya penyakit
penyerta sistemik, yaitu aterosklerosis melalui pemeriksaan profil lemak, diabetes
melitus terutama pemeriksaan glukosa darah, fungsi ginjal dengan pemeriksaan
proteinuria, kreatinin serum serta memperkirakan laju filtrasi glomerulus.7
Pemeriksaan-pemeriksaan yang bertujuan untuk menentukan adanya kerusakan
organ target dapat dilakukan secara rutin, sedangkan pemeriksaan lainnya hanya
dilakukan bila ada kecurigaan yang didukung oleh keluhan dan gejala pasien.7
2.1.8 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah tercapainya target tekanan darah
<140/90 mmHg, untuk individu berisiko tinggi (diabetes melitus, gagal ginjal
proteinuria) <130/80 mmHg, penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dan
menghambat laju penyakit ginjal proteinuria.7
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfarmakologis dan farmakologis.
Terapi nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan tujuan
menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor risiko serta penyakit
penyerta lainnya.3,7 Selain terapi nonfarmakologis, penatalaksanaan utama hipertensi
9
ialah dengan obat. Keputusan untuk memulai memberikan obat antihipertensi
berdasarkan beberapa faktor seperti derajat peninggian tekanan darah, terdapatnya
kerusakan organ target dan terdapatnya manifestasi klinis penyakit kardiovaskular atau
faktor risiko lain.3
Tabel 3. Tatalaksana Hipertensi menurut JNC VII.
KlasifikasiTekanan
DarahTekanan
Darah PerbaikanPola
Hidup
Terapi Obat AwalTekanan Sistolik Diastolik
Darah (mmHg) (mmHg)Tanpa Indikasi
yang Dengan IndikasiMemaksa Yang Memaksa
Normal < 120 dan < 80 dianjurkanPrehipertens
i 120-139 Atau YaTidak indikasi
obatobat-obatan untuk indikasi yang memaksa
80-89
Hipertensi derajat 1
140-159 Atau Ya diuretika jenis thiazide untuk sebagian besar kasus, dapat dipertimbangkan ACEI, ARB, BB, CCB atau kombinasi
obat-obatan untuk indikasi yang memaksa obat anti hipertensi lain (diuretika, ACEI, ARB, BB, CCB) sesuai kebutuhan
90 – 99
Hipertensi derajat 2
≥ 160 Atau Ya kombinasi 2 obat untuk sebagian besar kasus umumnya diuretika jenis thiazide dan ACEI atau ARB atau BB atau CCB
≥ 100
Sumber : JNC VII yang dikutip Yogiantoro.7
Tabel 4. Petunjuk untuk Seleksi Pengobatan Hipertensi19
No. Golongan Obat
Indikasi Kuat Indikasi yang Mungkin
Kontra Indikasi Kuat
Kontra Indikasi yang
10
Mungkin1 Diuretik Gagal jantung
Usia lanjutHipertensi sistolik
- Gout DislipidemiaPria yang seksual aktif
2 β-Blocker AnginaPasca Infark miokardTakiaritmia
Gagal jantung KehamilanDiabetes melitus
Asma dan PPOKA-V block (derajat 2 atau 3)
DislipidemiaAtlit atau pasien yang aktif secara fisikPenyakit pembuluh darah perifer
3 ACE Inhibitor Gagal jantungDisfungsi ventrikel kiriPasca Infark miokardNefropati diabetic
- Kehamilan HiperkalemiaStenosis arteri renalis bilateral
-
4 Antagonis Kalsium
AnginaUsia lanjutHipertensi sistolik
Penyakit pembuluh darah perifer
- Gagal jantung kongestif(Verapamil atau diltiazem)
5 -Blocker Hipertrofi prostate (BPH)
Intoleransi glukosa Dislipidemia
Inkontinensia urin
Hipotensi ortostatik
6 Antagonis Angiotensin II
Batuk karena ACE inhibitor
Gagal jantung KehamilanStenosis arteri renalis bilateralHiperkalemia
-
2.1.8.1 Pengobatan Nonfarmakologis
Pengobatan nonfarmakologis kadang-kadang dapat mengontrol tekanan darah
sehingga pengobatan farmakologis menjadi tidak diperlukan atau sekurang-kurangnya
ditunda. Sedangkan pada keadaan dimana obat antihipertensi diperlukan, pengobatan
nonfarmakologis dapat dipakai sebagai pelengkap untuk mendapatkan efek pengobatan
yang lebih baik. 7
Pengobatan nonfarmakologis diantaranya.7
1. menghentikan merokok
2. menurunkan berat badan berlebih
3. menurunkan konsumsi alkohol berlebih
4. latihan fisik
5. menurunkan asupan garam
6. meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak.
11
2.1.8.2 Pengobatan Farmakologis
Pengobatan hipertensi berlandaskan pada beberapa prinsip :7
1. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mengutamakan pengobatan kausal.
2. Pengobatan hipertensi primer ditujukan untuk menurunkan tekanan darah
dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya komplikasi.
3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat
antihipertensi selain dengan perubahan gaya hidup.
4. Pengobatan hipertensi primer adalah pengobatan jangka panjang dengan
kemungkinan besar untuk seumur hidup.
5. Pengobatan menggunakan algoritma yang dianjurkan The Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Pressure.3
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap, dan
target tekanan darah dicapai secara progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan untuk
menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang memberikan
efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan apakah memulai terapi dengan
satu jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah
awal dan ada tidaknya komplikasi.7
12
Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Hipertensi.18
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang
dianjurkan oleh JNC VII adalah :7
1. diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosterone Antagonist (Aldo
Ant)
2. Beta Blocker (BB)
3. Calsium Channel Blocker atau Calsium antagonist (CCB)
4. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
5. Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor antagonist/blocker (ARB).
Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis rendah, tetapi tekanan
darah belum mencapai target maka diberikan terapi kombinasi. Namun, terapi
kombinasi ini dapat meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien
karena jumlah obat yang harus diminum bertambah.7
13
2.2 DIABETES MELITUS
2.2.1 Definisi
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik,
ditandai oleh adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek
kerja insulin (resistensi insulin) atau keduanya.12, 14
2.2.2 Etiologi
Klasifikasi etiologi Diabetes Melitus adalah sebagai berikut :12, 14
I. Diabetes Melitus Tipe 1
(destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut) melalui
proses imunologik dan idiopatik
II. Diabetes Melitus Tipe 2
(bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi
insulin)
III. Diabetes Melitus Tipe Lain
a. Defek genetik fungsi sel beta
b. Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe A, diabetes lipoatrofik,
lainnya
c. Penyakit eksokrin Pankreas: pankreatitis, trauma/ pankreatektomi,
neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibrokalkulus,
lainnya
d. Endokrinopati: akromegali, sindrom cushing, feokromositoma,
hipertiroidisme, somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya
e. Karena obat/ zat kimia : Vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid,
hormon tiroid, diazoksid, agonis beta adrenergik, tiazid, dilantin, interferon
alfa, lainnya
f. Infeksi : rubella, kongenital, CMV, lainnya
g. Imunologi (jarang) : sindrom “Stiff-man”, antibodi antireseptor insulin,
lainnya
h. Sindroma genetik lain : sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom
Turner, sindrom Wolffram’s, ataksia friedreich’s, chorea huntington,
14
sindrom Laurence-Moon-Biedl, distrofi miotonik, porfiria, sindrom prader
willi, lainnya
IV. Diabetes kehamilan
Kelompok resiko tinggi penyakit DM yaitu sebagai berikut :13
1. usia >45 tahun
2. berat badan berlebih yaitu Berat Badan Relatif) BBR >110% BB idaman atau
Indeks Massa Tubuh (IMT) > 23 kg/m2
3. Hipertensi ( >140/90 mmHg)
4. Riwayat DM dalam garis keturunan
5. Riwayat Abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi >4000
gram
6. kolesterol HDL <35 mg/dl dan trigliserida (TG) >250 mg/dl
2.2.3 Epidemiologi
DM saat ini merupakan penyakit yang banyak dijumpai dengan prevalensi
diseluruh dunia 4%. Prevalensinya akan terus meningkat dan diperkirakan pada tahun
2025 akan mencapai 5,4%. World Health Organization (WHO) memperkirakan di Cina
dan India pada tahun 2025 jumlahnya akan mencapai 50 juta. Di Indonesia meskipun
belum didapat data yang resmi diperkirakan prevalensinya akan terus meningkat. Dari
berbagai penelitian epidemiologis, prevalensi di Indonesia yaitu 1,4-1,6 % dan seiring
dengan perubahan pola hidup didapatkan bahwa prevalensi DM meningkat terutama di
kota besar. 13
2.2.4 Diagnosis
Diagnosis DM harus ditegakkan berdasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa
darah. Pemeriksaan glukosa yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara
enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat
diperiksa glukosa darah kapiler. Sedangkan pemeriksaan penyaring yang dapat
dilakukan dalam prakteknya adalah melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu
atau kadar glukosa darah puasa kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral
(TTGO) standar. 12, 14
15
Diagnosis DM secara klinis umumnya ditegakkan bila ada keluhan khas DM
berupa poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah,
kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada
pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl
juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. 14
Gambar 3. Langkah-Langkah Diagnostik DM dan Toleransi Glukosa Terganggu 14
2.2.5 Komplikasi kronik
Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, DM akan menyebabkan terjadinya
berbagai komplikasi kronik baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Perubahan
dasar/ disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot polos
pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal. Berbagai komplikasi tersebut dapat
berupa retinopati, nefropati, neuropati, penyakit jantung koroner dan penyakit pembuluh
darah perifer.
2.2.6 Penatalaksanaan
16
Modalitas yang ada pada penatalaksanaan DM terdiri dari terapi non
farmakologis dan farmakologis. Terapi non farmakologis meliputi perubahan gaya
hidup dengan melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi
medis., meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan
dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus menerus. Terapi farmakologis ini
pada prinsipnya diberikan bila penerapan terapi non farmakologis tidak dapat
mengendalikan kadar glukosa darah sebagaimana yang diharapkan. pemberian terapi
farmakologis ini tetap tidak meninggalkan terapi non farmakologis yang telah
diterapkan sebelumnya. 15
Tujuan dari terapi gizi medis adalah untuk mencapai dan mempertahankan hal
sebagai berikut : 15
1. Kadar glukosa darah mendekati normal (glukosa darah puasa berkisar 90-130
mg/dl, glukosa darah 2jam setelah makan (post prandial) <180 mg/dl dan kadar
A1c <7 %)
2. Tekanan darah < 130/80 mmHg
3. Profil Lipid ( kadar LDL < 100 mg/dl, HDL > 40 mg/dl, TG < 150 mg/dl)
4. Berat badan senormal mungkin
Intervensi farmakologis perlu diberikan bila terdapat kegagalan pengendalian
glikemia setelah melakukan terapi gizi medis agar dapat mencegah terjadinya
komplikasi DM atau pading sedikit dapat meghambatnya. Terapi farmakologis yang
dapat diberikan antara lain 15:
1. obat hipoglikemik oral (OHO) terdiri dari:
- golongan pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) yaitu golongan
sulfonil urea dan glinid
- peningkat sensitivitas insulin (insulin sensitizing) yaitu golongan biguanid
dan glitazone
- penghambat absorbsi glukosa di usus (glkusosidase alfa inhibitor)
2. insulin terdiri dari insulin short acting, intermediate dan long acting.
3. terapi kombinasi
17
Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis ini, perlu diperhatikan titik
kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia. Pemberian
terapi ini selalu dimulai dengan dosis rendah kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai
dengan respon kadar glukosa darah (KGD). Bila dengan OHO tunggal sasaran KGD
belum tercapai maka perlu kombinasi 2 OHO yang berbeda mekanisme kerjanya atau
dapat pula dikombinasi antara OHO dengan insulin.15
18