BAB II

24
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HIPERTENSI 2.1.1 Fisiologi Pengaturan Tekanan Darah Tekanan darah ditentukan oleh dua faktor utama yaitu curah jantung dan resistensi perifer. Curah jantung merupakan hasil kali denyut jantung dan isi sekuncup. Besarnya isi sekuncup ditentukan oleh kekuatan kontraksi miokard dan aliran balik vena. Resistensi perifer merupakan gabungan resistensi pada pembuluh darah (arteri dan arteriol) dan viskositas darah. Resistensi pembuluh darah ditentukan oleh tonus otot polos arteri dan arteriol, serta elastisitas dinding pembuluh darah. 5 Curah jantung dan resistensi perifer dipengaruhi oleh faktor-faktor yang saling berinteraksi yaitu asupan natrium, stress, obesitas, genetik dan lain-lain. 6 Pengaturan tekanan darah didominasi oleh tonus simpatis yang menentukan frekuensi denyut jantung, kontraktilitas miokard dan tonus pembuluh darah arteri maupun vena, sedangkan sistem parasimpatis hanya ikut mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Sistem simpatis juga mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) melalui peningkatan sekresi renin. Homeostasis tekanan darah dipertahankan oleh : 5 1. Refleks baroreseptor sebagai mekanisme kompensasi yang terjadi secara cepat. 2

Transcript of BAB II

Page 1: BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIPERTENSI

2.1.1 Fisiologi Pengaturan Tekanan Darah

Tekanan darah ditentukan oleh dua faktor utama yaitu curah jantung dan

resistensi perifer. Curah jantung merupakan hasil kali denyut jantung dan isi sekuncup.

Besarnya isi sekuncup ditentukan oleh kekuatan kontraksi miokard dan aliran balik

vena. Resistensi perifer merupakan gabungan resistensi pada pembuluh darah (arteri dan

arteriol) dan viskositas darah. Resistensi pembuluh darah ditentukan oleh tonus otot

polos arteri dan arteriol, serta elastisitas dinding pembuluh darah.5 Curah jantung dan

resistensi perifer dipengaruhi oleh faktor-faktor yang saling berinteraksi yaitu asupan

natrium, stress, obesitas, genetik dan lain-lain.6

Pengaturan tekanan darah didominasi oleh tonus simpatis yang menentukan

frekuensi denyut jantung, kontraktilitas miokard dan tonus pembuluh darah arteri

maupun vena, sedangkan sistem parasimpatis hanya ikut mempengaruhi frekuensi

denyut jantung. Sistem simpatis juga mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron

(RAA) melalui peningkatan sekresi renin. Homeostasis tekanan darah dipertahankan

oleh :5

1. Refleks baroreseptor sebagai mekanisme kompensasi yang terjadi secara cepat.2. Sistem RAA sebagai mekanisme kompensasi yang berlangsung lebih lambat.

2

Page 2: BAB II

Berikut ini ditampilkan bagan yang memuat faktor-faktor penting yang

berpengaruh dalam pengaturan tekanan darah:

Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah.9

Perangsangan baroreseptor akibat tekanan di dalam arteri secara refleks

menyebabkan penurunan tekanan arteri yang disebabkan oleh adanya penurunan

resistensi perifer dan penurunan curah jantung. Sebaliknya tekanan arteri yang rendah

mempunyai pengaruh yang berlawanan, yang secara refleks menyebabkan tekanan arteri

meningkat kembali menjadi normal.7

Ginjal mempunyai mekanisme kuat untuk mengatur tekanan arteri yaitu melalui

sistem renin angiotensin. Bila tekanan arteri turun, reaksi intrinsik dalam ginjal akan

menyebabkan pelepasan enzim renin. Renin bekerja secara enzimatik pada protein

plasma lain yaitu bahan renin (angiotensinogen) untuk melepaskan angiotensin I dan

dengan bantuan angiotensin converting enzyme (ACE) selanjutnya dikonversi menjadi

angiotensin II yang merupakan vasokonstriktor yang sangat kuat. Angiotensin II ini

mempunyai pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri melalui

vasokonstriksi pembuluh darah dan menurunkan ekskresi garam dan air melalui efek

langsung pada ginjal untuk menimbulkan retensi garam dan air dan menyebabkan

sekresi aldosteron yang meningkatkan reabsorpsi garam dan air melalui tubulus ginjal.

3

Curahjantung

Denyutjantung

Isisekuncup

TEKANANDARAH

Kontraktilitasmiokard

Alir balikvena

Volumedarah

Kapasitasvena

Resistensiperifer

ResistensiPembuluh

darah

Viskositasdarah

Tonusarteri & arteriol

Elastisitas dindingPembuluh darah

Refleks Baroreseptor

Sekresi renin

Para simpatis

Simpatis

RAA

Page 3: BAB II

Penurunan ekskresi garam dan air akan memperlambat kenaikan volume cairan

ekstraseluler, yang kemudian meningkatkan tekanan arteri selama berjam-jam dan

berhari-hari. Efek jangka panjang ini yang bekerja melalui mekanisme volume cairan

ekstraseluler, bahkan lebih kuat daripada mekanisme vasokonstriktor akut yang

akhirnya mengembalikan tekanan arteri ke nilai normal.7

2.1.2 Definisi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan seseorang dengan

tekanan darah sistoliknya sama atau melebihi 140 mmHg dan/atau sama atau melebihi

90 mmHg diastolik yang terjadi secara kronik pada seseorang yang sedang tidak

mengkonsumsi obat antihipertensi.1

Batasan hipertensi dengan mempertimbangkan usia dan jenis kelamin diajukan

oleh Kaplan sebagai berikut: 8

- Pria usia < 45 tahun, dikatakan hipertensi apabila tekanan darah pada waktu

berbaring di atas atau sama dengan 130/90 mmHg

- Pria usia > 45 tahun, dikatakan hipertensi apabila tekanan darah pada waktu

berbaring di atas 145/95 mmHg

- Pada wanita, tekanan darah di atas atau sama dengan 160/95 mmHg dinyatakan

kepentingan pengobatan

2.1.3 Epidemiologi

Data epidemiologis menunjukan bahwa dengan makin meningkatnya populasi

usia lanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan

bertambah, dimana baik hipertensi sistolik maupun kombinasi hipertensi sistolik dan

diastolik sering timbul pada lebih dari separuh orang berusia lebih dari 65 tahun. Hasil

penelitian Mardiah dkk mengenai karakteristik pasien hipertensi di Poliklinik Penyakit

Dalam RS Mohammad Hoesin, Palembang didapatkan 76% pasien berusia di atas 50

tahun, 22% berusia di antara 20-50 tahun dan 20% berusia di bawah 20 tahun. Jika

dibandingkan antara pria dan wanita diperoleh 71% wanita merupakan pasien hipertensi

dan sisanya 29% adalah pria.6

2.1.4 Klasifikasi dan Etiologi

4

Page 4: BAB II

Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi yaitu hipertensi esensial

atau primer atau idiopatik dan hipertensi sekunder.9

1. Hipertensi Esensial

Hipertensi esensial atau hipertensi primer atau idiopatik merupakan jenis

hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya dan terdapat sekitar 95% kasus. Banyak

faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf

simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi natrium, peningkatan natrium

dan kalsium intraseluler, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti obesitas,

alkohol, merokok serta polisitemia.9

Hipertensi esensial dapat diklasifikasikan menjadi benigna dan maligna.

Hipertensi benigna bersifat progresif lambat. Sedangkan hipertensi maligna yaitu suatu

kondisi klinis dalam penyakit hipertensi yang bertambah berat dalam waktu singkat

sehingga dapat menyebabkan kerusakan berat pada berbagai organ.9

2. Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder meliputi 5% kasus hipertensi. Penyebab spesifiknya

diketahui seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskuler renal,

hiperaldosteronisme primer, sindroma cushing, feokromositoma, koartasio aorta,

hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain.9

2.1.5 Faktor-Faktor Risiko

Dalam patogenesis hipertensi terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan

risiko terjadinya hipertensi, dimana faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu sama

lainnya. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko timbulnya hipertensi tersebut,

dapat dibedakan menjadi faktor yang dapat dikontrol/dikendalikan (faktor lingkungan)

dan faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan, yaitu:2

1. Faktor risiko yang dapat dikendalikan atau dikontrol: obesitas, kurang olah raga,

merokok, menderita diabetes melitus, mengkonsumsi garam berlebih, minum

alkohol dan kopi, diet, pil KB, stres emosional, dan sebagainya

2. Faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan atau dikontrol yaitu umur, jenis

kelamin, dan genetik

5

Page 5: BAB II

Mekanisme penyebab utama terjadinya hipertensi pada obesitas diduga

berhubungan dengan kenaikan volume tubuh, peningkatan curah jantung, dan

menurunnya resistensi vaskuler sistemik (M. Wahba, 2007). Beberapa mekanisme

lain yang berperan dalam kejadian hipertensi pada obesitas antara lain peningkatan

sistem saraf simpatik, meningkatnya aktivitas renin angiotensin aldosteron (RAAS),

peningkatan leptin, peningkatan insulin, peningkatan asam lemak bebas (FFA),

peningkatan endotelin 1, terganggunya aktivitas natriuretic peptide (NP), serta

menurunnya nitrit oxide (NO) (Kintscher U. et al., 2007; M. Wahba, 2007).

2.1.6 Manifestasi Klinis

Sebagian besar penderita dengan hipertensi tidak mempunyai gejala spesifik

yang menunjukkan kenaikan tekanan darahnya dan hanya diidentifikasi dari

pemeriksaan fisik. Sehingga peninggian tekanan darah tidak jarang merupakan satu-

satunya tanda pada hipertensi. Gejala yang ditimbulkan berbeda-beda tergantung

tingginya tekanan darah. Kadang-kadang hipertensi esensial berjalan tanpa gejala dan

baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti pada ginjal, mata,

otak dan jantung.2, 3, 9, 10

Gejala seperti sakit kepala, epistaksis dan migren dapat ditemukan sebagai

gejala klinis hipertensi esensial meskipun tidak jarang yang tanpa gejala. Pada

penyelidikan hipertensi di Paris, dari 1771 pasien hipertensi yang tidak diobati, gejala

sakit kepala menduduki urutan pertama, diikuti oleh palpitasi, nokturia, pusing, dan

tinitus. Pada penyelidikan tersebut tidak didapatkan korelasi antara tingginya tekanan

darah dan gejala yang timbul.3

Beberapa survei hipertensi di Indonesia mendapatkan berbagai keluhan yang

dihubungkan dengan hipertensi. Keluhan yang sering tejadi antara lain sakit kepala,

telinga berdengung, cepat marah, insomnia, sesak napas, rasa berat di tengkuk, rasa

mudah lelah, mata berkunang-kunang dan jarang disertai epistaksis. Jika hipertensinya

berat atau menahun dan tidak diobati secara teratur, dapat timbul gejala-gejala seperti

sakit kepala, kelelahan, mual, muntah, sesak nafas, gelisah, dan pandangan yang

menjadi kabur akibat adanya kerusakan pada otak, mata, jantung, dan ginjal.2

6

Page 6: BAB II

2.1.7 Diagnosis dan Evaluasi Klinik

Diagnosis hipertensi ini dapat ditegakkan berdasarkan pengukuran tekanan darah

yang dikategorikan berdasarkan The Seventh Report of the Joint National Committee on

Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII)

mengenai klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa yang dibagi menjadi kelompok

normal, prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan hipertensi derajat 2.11

Tabel 1.Klasifikasi tekanan darah berdasarkan Joint National Committee VII

KlasifikasiTekanan Darah Sistolik

(mmHg)

Tekanan Darah Diastolik

(mmHg)

Normal < 120 dan < 80

Prehipertensi 120-139 atau 80-89

Hipertensi stage 1 140-159 atau 90-99

Hipertensi stage 2 ≥ 160 atau ≥ 100

Sumber : JNC VII yang dikutip oleh Yogiantoro11

Klasifikasi hipertensi yang lain didapatkan dari World Health Organization

(WHO) dan International Society of Hypertension (ISH), dari European Society of

Hypertension (ESH bersama European Society of Cardiology), British Hypertension

Society (BSH) serta Canadian Hypertension Education Program (CHEP), tetapi

umumnya digunakan JNC VII.5

Evaluasi pada pasien hipertensi bertujuan untuk menilai pola hidup dan

identifikasi faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya atau menilai adanya penyakit

penyerta yang mempengaruhi prognosis dan menentukan pengobatan; mencari

penyebab kenaikan tekanan darah dan menentukan ada tidaknya kerusakan organ target

dan penyakit kardiovaskular.7

Evaluasi paisen hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis tentang keluhan

pasien, riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik serta

pemeriksaan penunjang.7

Anamnesis meliputi :

1. lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah

2. indikasi adanya hipertensi sekunder

a. keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)

7

Page 7: BAB II

b. adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian obat-obat

analgesik dan obat lain

c. episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi (feokromositoma)

d. episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme)

3. faktor-faktor risiko

a. riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarganya

b. riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya

c. riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya

d. kebiasaan merokok

e. pola makan

f. kegemukan, intensitas olahraga

g. kepribadian

4. gejala kerusakan organ

a. otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient ischaemic

attacks, defisit sensoris atau motoris

b. jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki

c. ginjal : haus, poliuria, nokturia, hematuri

d. arteri perifer : ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten

5. pengobatan antihipertensi sebelumnya

6. faktor-faktor pribadi, keluarga dan lingkungan

Pemeriksaan fisik selain memeriksa tekanan darah, juga untuk evaluasi adanya

penyakit penyerta, kerusakan organ target serta kemungkinan adanya hipertensi

sekunder.7 Pengukuran tekanan darah terdiri dari :

1. pengukuran rutin di kamar periksa

2. pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring/ABPM)

3. pengukuran sendiri oleh pasien

Pemeriksaan penunjang pada pasien hipertensi antara lain 7:

1. test darah rutin

2. glukosa darah

3. kolesterol total serum, kolesterol LDL dan HDL serum

4. trigliserida serum

8

Page 8: BAB II

5. asam urat serum

6. kreatinin serum

7. kalium serum

8. hemoglobin dan hematokrit

9. urinalisis yaitu uji carik celup serta sedimen urin

10. elektrokardiogram (EKG)

Beberapa pedoman penanganan hipertensi juga menganjurkan pemeriksaan lain

seperti:7

1. ekokardiogram

2. USG karotis dan femoral

3. C- reactive protein (CRP)

4. mikroalbuminuria atau perbandingan albumin/kreatinin urin

5. proteinuria kuantitatif jika uji carik celup positif

6. funduskopi pada hipertensi berat

Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya penyakit

penyerta sistemik, yaitu aterosklerosis melalui pemeriksaan profil lemak, diabetes

melitus terutama pemeriksaan glukosa darah, fungsi ginjal dengan pemeriksaan

proteinuria, kreatinin serum serta memperkirakan laju filtrasi glomerulus.7

Pemeriksaan-pemeriksaan yang bertujuan untuk menentukan adanya kerusakan

organ target dapat dilakukan secara rutin, sedangkan pemeriksaan lainnya hanya

dilakukan bila ada kecurigaan yang didukung oleh keluhan dan gejala pasien.7

2.1.8 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah tercapainya target tekanan darah

<140/90 mmHg, untuk individu berisiko tinggi (diabetes melitus, gagal ginjal

proteinuria) <130/80 mmHg, penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dan

menghambat laju penyakit ginjal proteinuria.7

Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfarmakologis dan farmakologis.

Terapi nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan tujuan

menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor risiko serta penyakit

penyerta lainnya.3,7 Selain terapi nonfarmakologis, penatalaksanaan utama hipertensi

9

Page 9: BAB II

ialah dengan obat. Keputusan untuk memulai memberikan obat antihipertensi

berdasarkan beberapa faktor seperti derajat peninggian tekanan darah, terdapatnya

kerusakan organ target dan terdapatnya manifestasi klinis penyakit kardiovaskular atau

faktor risiko lain.3

Tabel 3. Tatalaksana Hipertensi menurut JNC VII.

KlasifikasiTekanan

DarahTekanan

Darah PerbaikanPola

Hidup

Terapi Obat AwalTekanan Sistolik Diastolik

Darah (mmHg) (mmHg)Tanpa Indikasi

yang Dengan IndikasiMemaksa Yang Memaksa

Normal < 120 dan < 80 dianjurkanPrehipertens

i 120-139 Atau YaTidak indikasi

obatobat-obatan untuk indikasi yang memaksa

80-89

Hipertensi derajat 1

140-159 Atau Ya diuretika jenis thiazide untuk sebagian besar kasus, dapat dipertimbangkan ACEI, ARB, BB, CCB atau kombinasi

obat-obatan untuk indikasi yang memaksa obat anti hipertensi lain (diuretika, ACEI, ARB, BB, CCB) sesuai kebutuhan

90 – 99

Hipertensi derajat 2

≥ 160 Atau Ya kombinasi 2 obat untuk sebagian besar kasus umumnya diuretika jenis thiazide dan ACEI atau ARB atau BB atau CCB

≥ 100

Sumber : JNC VII yang dikutip Yogiantoro.7

Tabel 4. Petunjuk untuk Seleksi Pengobatan Hipertensi19

No. Golongan Obat

Indikasi Kuat Indikasi yang Mungkin

Kontra Indikasi Kuat

Kontra Indikasi yang

10

Page 10: BAB II

Mungkin1 Diuretik Gagal jantung

Usia lanjutHipertensi sistolik

- Gout DislipidemiaPria yang seksual aktif

2 β-Blocker AnginaPasca Infark miokardTakiaritmia

Gagal jantung KehamilanDiabetes melitus

Asma dan PPOKA-V block (derajat 2 atau 3)

DislipidemiaAtlit atau pasien yang aktif secara fisikPenyakit pembuluh darah perifer

3 ACE Inhibitor Gagal jantungDisfungsi ventrikel kiriPasca Infark miokardNefropati diabetic

- Kehamilan HiperkalemiaStenosis arteri renalis bilateral

-

4 Antagonis Kalsium

AnginaUsia lanjutHipertensi sistolik

Penyakit pembuluh darah perifer

- Gagal jantung kongestif(Verapamil atau diltiazem)

5 -Blocker Hipertrofi prostate (BPH)

Intoleransi glukosa Dislipidemia

Inkontinensia urin

Hipotensi ortostatik

6 Antagonis Angiotensin II

Batuk karena ACE inhibitor

Gagal jantung KehamilanStenosis arteri renalis bilateralHiperkalemia

-

2.1.8.1 Pengobatan Nonfarmakologis

Pengobatan nonfarmakologis kadang-kadang dapat mengontrol tekanan darah

sehingga pengobatan farmakologis menjadi tidak diperlukan atau sekurang-kurangnya

ditunda. Sedangkan pada keadaan dimana obat antihipertensi diperlukan, pengobatan

nonfarmakologis dapat dipakai sebagai pelengkap untuk mendapatkan efek pengobatan

yang lebih baik. 7

Pengobatan nonfarmakologis diantaranya.7

1. menghentikan merokok

2. menurunkan berat badan berlebih

3. menurunkan konsumsi alkohol berlebih

4. latihan fisik

5. menurunkan asupan garam

6. meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak.

11

Page 11: BAB II

2.1.8.2 Pengobatan Farmakologis

Pengobatan hipertensi berlandaskan pada beberapa prinsip :7

1. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mengutamakan pengobatan kausal.

2. Pengobatan hipertensi primer ditujukan untuk menurunkan tekanan darah

dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya komplikasi.

3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat

antihipertensi selain dengan perubahan gaya hidup.

4. Pengobatan hipertensi primer adalah pengobatan jangka panjang dengan

kemungkinan besar untuk seumur hidup.

5. Pengobatan menggunakan algoritma yang dianjurkan The Joint National

Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood

Pressure.3

Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap, dan

target tekanan darah dicapai secara progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan untuk

menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang memberikan

efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan apakah memulai terapi dengan

satu jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah

awal dan ada tidaknya komplikasi.7

12

Page 12: BAB II

Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Hipertensi.18

Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang

dianjurkan oleh JNC VII adalah :7

1. diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosterone Antagonist (Aldo

Ant)

2. Beta Blocker (BB)

3. Calsium Channel Blocker atau Calsium antagonist (CCB)

4. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)

5. Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor antagonist/blocker (ARB).

Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis rendah, tetapi tekanan

darah belum mencapai target maka diberikan terapi kombinasi. Namun, terapi

kombinasi ini dapat meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien

karena jumlah obat yang harus diminum bertambah.7

13

Page 13: BAB II

2.2 DIABETES MELITUS

2.2.1 Definisi

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik,

ditandai oleh adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek

kerja insulin (resistensi insulin) atau keduanya.12, 14

2.2.2 Etiologi

Klasifikasi etiologi Diabetes Melitus adalah sebagai berikut :12, 14

I. Diabetes Melitus Tipe 1

(destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut) melalui

proses imunologik dan idiopatik

II. Diabetes Melitus Tipe 2

(bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin

relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi

insulin)

III. Diabetes Melitus Tipe Lain

a. Defek genetik fungsi sel beta

b. Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe A, diabetes lipoatrofik,

lainnya

c. Penyakit eksokrin Pankreas: pankreatitis, trauma/ pankreatektomi,

neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibrokalkulus,

lainnya

d. Endokrinopati: akromegali, sindrom cushing, feokromositoma,

hipertiroidisme, somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya

e. Karena obat/ zat kimia : Vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid,

hormon tiroid, diazoksid, agonis beta adrenergik, tiazid, dilantin, interferon

alfa, lainnya

f. Infeksi : rubella, kongenital, CMV, lainnya

g. Imunologi (jarang) : sindrom “Stiff-man”, antibodi antireseptor insulin,

lainnya

h. Sindroma genetik lain : sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom

Turner, sindrom Wolffram’s, ataksia friedreich’s, chorea huntington,

14

Page 14: BAB II

sindrom Laurence-Moon-Biedl, distrofi miotonik, porfiria, sindrom prader

willi, lainnya

IV. Diabetes kehamilan

Kelompok resiko tinggi penyakit DM yaitu sebagai berikut :13

1. usia >45 tahun

2. berat badan berlebih yaitu Berat Badan Relatif) BBR >110% BB idaman atau

Indeks Massa Tubuh (IMT) > 23 kg/m2

3. Hipertensi ( >140/90 mmHg)

4. Riwayat DM dalam garis keturunan

5. Riwayat Abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi >4000

gram

6. kolesterol HDL <35 mg/dl dan trigliserida (TG) >250 mg/dl

2.2.3 Epidemiologi

DM saat ini merupakan penyakit yang banyak dijumpai dengan prevalensi

diseluruh dunia 4%. Prevalensinya akan terus meningkat dan diperkirakan pada tahun

2025 akan mencapai 5,4%. World Health Organization (WHO) memperkirakan di Cina

dan India pada tahun 2025 jumlahnya akan mencapai 50 juta. Di Indonesia meskipun

belum didapat data yang resmi diperkirakan prevalensinya akan terus meningkat. Dari

berbagai penelitian epidemiologis, prevalensi di Indonesia yaitu 1,4-1,6 % dan seiring

dengan perubahan pola hidup didapatkan bahwa prevalensi DM meningkat terutama di

kota besar. 13

2.2.4 Diagnosis

Diagnosis DM harus ditegakkan berdasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa

darah. Pemeriksaan glukosa yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara

enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat

diperiksa glukosa darah kapiler. Sedangkan pemeriksaan penyaring yang dapat

dilakukan dalam prakteknya adalah melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu

atau kadar glukosa darah puasa kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral

(TTGO) standar. 12, 14

15

Page 15: BAB II

Diagnosis DM secara klinis umumnya ditegakkan bila ada keluhan khas DM

berupa poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat

dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah,

kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada

pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl

sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl

juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. 14

Gambar 3. Langkah-Langkah Diagnostik DM dan Toleransi Glukosa Terganggu 14

2.2.5 Komplikasi kronik

Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, DM akan menyebabkan terjadinya

berbagai komplikasi kronik baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Perubahan

dasar/ disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot polos

pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal. Berbagai komplikasi tersebut dapat

berupa retinopati, nefropati, neuropati, penyakit jantung koroner dan penyakit pembuluh

darah perifer.

2.2.6 Penatalaksanaan

16

Page 16: BAB II

Modalitas yang ada pada penatalaksanaan DM terdiri dari terapi non

farmakologis dan farmakologis. Terapi non farmakologis meliputi perubahan gaya

hidup dengan melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi

medis., meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan

dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus menerus. Terapi farmakologis ini

pada prinsipnya diberikan bila penerapan terapi non farmakologis tidak dapat

mengendalikan kadar glukosa darah sebagaimana yang diharapkan. pemberian terapi

farmakologis ini tetap tidak meninggalkan terapi non farmakologis yang telah

diterapkan sebelumnya. 15

Tujuan dari terapi gizi medis adalah untuk mencapai dan mempertahankan hal

sebagai berikut : 15

1. Kadar glukosa darah mendekati normal (glukosa darah puasa berkisar 90-130

mg/dl, glukosa darah 2jam setelah makan (post prandial) <180 mg/dl dan kadar

A1c <7 %)

2. Tekanan darah < 130/80 mmHg

3. Profil Lipid ( kadar LDL < 100 mg/dl, HDL > 40 mg/dl, TG < 150 mg/dl)

4. Berat badan senormal mungkin

Intervensi farmakologis perlu diberikan bila terdapat kegagalan pengendalian

glikemia setelah melakukan terapi gizi medis agar dapat mencegah terjadinya

komplikasi DM atau pading sedikit dapat meghambatnya. Terapi farmakologis yang

dapat diberikan antara lain 15:

1. obat hipoglikemik oral (OHO) terdiri dari:

- golongan pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) yaitu golongan

sulfonil urea dan glinid

- peningkat sensitivitas insulin (insulin sensitizing) yaitu golongan biguanid

dan glitazone

- penghambat absorbsi glukosa di usus (glkusosidase alfa inhibitor)

2. insulin terdiri dari insulin short acting, intermediate dan long acting.

3. terapi kombinasi

17

Page 17: BAB II

Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis ini, perlu diperhatikan titik

kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia. Pemberian

terapi ini selalu dimulai dengan dosis rendah kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai

dengan respon kadar glukosa darah (KGD). Bila dengan OHO tunggal sasaran KGD

belum tercapai maka perlu kombinasi 2 OHO yang berbeda mekanisme kerjanya atau

dapat pula dikombinasi antara OHO dengan insulin.15

18