BAB II

download BAB II

of 24

description

saliva

Transcript of BAB II

  • 9BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Gagal Ginjal Kronik

    1. Definisi

    Gagal ginjal kronik / penyakit ginjal tahap akhir (ESRD / End State

    Renel Diease) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan

    irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan

    metabolisme tubuh, keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga dapat

    menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam

    darah). (Brunner dan Suddarth, 2002 : 1448).

    Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal progresif yang

    berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen

    lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak

    dilakukan dialysis atau transplantasi ginjal). (Nursalam dan fransiska,

    2008).

    Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang

    progresif dan lambat (biasanya berlangsung beberapa tahun). (Wilson,

    2005).

    Dari semua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa gagal ginjal

    kronik adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan oleh penurunan

    fungsi ginjal, bersifat menahun, berlangsung progresif dan irreversibel,

    dimana ginjal gagal dalam mempertahankan metabolisme tubuh,

    keseimbangan cairan dan elektrolit, diikuti penimbunan sisa-sisa

    metabolisme protein di dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan

    uremia.

    2. Patofisiologi

    Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang

    normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi

    uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak

    timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala

    uremia membaik setelah dialisis. (Smeltzer, 2001 : 1448).

  • 10

    Pada penderita gagal ginjal kronik, akan mengalami penurunan

    fungsi ginjal, produk akhir metabolisme protein (ureum, kreatinin, asam

    urat yang normalnya dieksresikan ke dalam urine) tertimbun dalam

    darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi sistem tubuh. Semakin banyak

    timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat. (Smeltzer

    2002 : 1448). Menurut Smeltzer, perjalanan umum gagal ginjal kronik

    dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu:

    a. Penurunan laju filtrasi glomerolus (GFR)

    Penurunan GFR terjadi akibat tidak berfungsinya glomeruli,

    klirens kreatinin akan menurun dan kadar kreatinin serum

    meningkat. Selain itu kadar nitrogen urea darah (BUN) akan

    meningkat.

    b. Retensi cairan dan natrium.

    Ginjal juga tidak mampu untuk mengkonsentrasikan atau

    mengencerkan urine secara normal pada penyakit ginjal tahap

    terakhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan

    cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Penahanan natrium dan

    cairan, meningkatkan resiko terjadinya oedema, gagal jantung

    kongesti dan hipertensi. Hipertensi dapat terjadi aktivasi aksis renin-

    angiotensin-aldosteron. Mempunyai kecenderungan untuk

    kehilangan garam mencetuskan resiko hipertensi dan hipovolemi.

    c. Asidosis

    Terjadi asidosis metabolik seiring dengan ketidakmampuan

    ginjal mengeksresikan muatan asam (H +) yang berlebihan.

    Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus

    ginjal untuk mensekresikan amonia (NH3+) dan mengabsorpsi

    natrium bikarbonat (HCO3-). Nilai normal adalah 16-20 mEq/L.

    penurunan eksresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi. Pada

    sebagian klien GGK asidosis metabolik terjadi. pada tingkatan

    ringan dengan Ph darah tidak kurang dari 7,35. nilai normalnya 7,35-

    7,45.

  • 11

    d. Anemia

    Terjadi akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat

    (racun uremik dapat menginaktifkan eritropoetin atau menekan sum-

    sum tulang terhadap eritropoetin). Memendeknya usia sel darah

    merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan mengalami perdarahan

    terutama disaluran gastrointestinal, anemia akan menyebabkan

    kelelahan, dapat timbul dispneu sewaktu penderita melakukan

    kegiatan fisik. Anemia GGK akan timbul apabila kreatinin serum

    lebih dari 3,5 mg/100 ml atau GFR menurun 30 % dari normal.

    e. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat

    Dengan menurunnya filtrasi ginjal dapat meningkatkan kadar

    fosfat serum dan sebaliknya serta peningkatan fosfat serum

    menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid tapi pada

    GGK tubuh tidak berespon normal terhadap peningkatan sekresi

    parathormon dan akibatnya kalsium tulang menurun sehingga

    menyebabkan perubahan pada tulang. Selain itu metabolik aktif

    vitamin D (1,25 dehidrosikolekalsiferol) yang secara normal dibuat

    di ginjal menurun seiring perkembangan gagal ginjal.

    f. Ketidakseimbangan kalium

    Hiperkalemia timbul pada klien GGK yang mengalami

    Oligouri disamping itu asidosis sistemik dapat menimbulkan

    hiperkalemia melalui pergesaran K+ dari sel kecairan ekstra seluler.

    Bila K +antara 7-8 mEq/ L akan timbul disritmia yang fatal bahkan

    henti jantung.

    g. Hipermagnesemia

    Uremia akan mengalami penurunan kemampuan

    meneksresikan magnesium, sehingga kadar magnesium serum

    meningkat ( nilai normal 1,5-2,3 mEq/L).

    h. Hiperurisemia

    GGK dapat menimbulkan gangguan eksresi asam urat

    sehingga kadar asam urat meningkat (nilai normal 4-6 mg/100 ml)

  • 12

    sehingga dapat menimbulkan serangan arthithis gout akibat endapan

    garam urat pada sendi dan jaringan lunak

    i. Penyakit tulang uremik

    Osteodistropi renal terjadi dari perubahan kompleks kalsium,

    fosfat dan ketidakseimbangan parathormon.

    j. Kelainan metabolisme

    Merupakan ciri khas syndrome uremik, meski mekanismenya

    belum jelas. Terjadi akibat gangguan metabolisme protein akibat dari

    sintesa protein abnormal. Gangguan metabolisme karbohidrat juga

    terjadi, kadar gula darah puasa meningkat tapi tidak lebih dari 200

    mg/100ml. Akibatnya jaringan perifer tidak peka terhadap insulin,

    dimana ginjal gagal menonaktifkan 1-5 % insulin dari uremia.

    3. Etiologi

    Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal

    yang progresiv dan irreversibel dari berbagai penyebab. Sebab- sebab

    gagal ginjal kronik yang sering ditemukan dapat dibagi menjadi tujuh,

    yaitu :

    a. Infeksi / penyakit peradangan : pielonefritis kronik dan

    glomerulonefritis.

    b. Penyakit vaskular / hipertensi : nefroskerosis benigna / maligna dan

    stenosis arteri renalis.

    c. Gangguan jaringan penyambung : lupus eritematosus sistemik,

    poliarteritis nodusa dan skerosis sistemik progresif.

    d. Gangguan kongenital / herediter : penyakit ginjal polikistik dan

    asidosis tubulus ginjal.

    e. Penyakit metabolik : diabetes melitus, gout, hiperparatiriodisme dan

    amiloidosis.

    f. Nefropati toksik : penyalahgunaan analgetik dan nefropati timbal.

    g. Neuropati obstruktif

    1) saluran kemih bagian atas (kalkuli, neoplasma dan fibrosis

    retriberitonial).

  • 13

    2) Saluran kemih bagian bawah (hipertropi prostat, striktur uretra

    anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra).

    (Smeltzer, 2001)

    4. Manifestasi

    Berikut adalah manifestasi klinis dari gagal ginjal kronik menurut

    pengertian masing-masing sumber:

    a. Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain :

    hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sistem

    rennin - angiotensin - aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem

    pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi

    pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual,

    muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat

    kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).

    b. Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:

    1) Sistem kardiovaskuler

    a) Hipertensi

    b) Pitting edema

    c) Edema periorbital

    d) Pembesaran vena leher

    e) Friction sub pericardial

    2)Sistem Pulmoner

    a) Krekel

    b) Nafas dangkal

    c) Kusmaull

    d) Sputum kental

    3) Sistem gastrointestinal

    a) Anoreksia, mual dan muntah

    b) Perdarahan saluran GI

    c) Ulserasi dan pardarahan mulut

    d) Nafas berbau ammonia

  • 14

    4) Sistem musculoskeletal

    a) Kram otot

    b) Kehilangan kekuatan otot

    c) Fraktur tulang

    5) Sistem Integumen

    a) Warna kulit abu-abu mengkilat

    b) Pruritus

    c) Kulit kering bersisik

    d) Ekimosis

    e) Kuku tipis dan rapuh

    f) Rambut tipis dan kasar

    6) Sistem Reproduksi

    a) Amenore

    b) Atrofi testis

    5. Komplikasi

    a. Sistem pernafasan

    Pernafasan yang berat dan dalam (kusmaul) dapat terjadi pada

    pasien yang menderita asidosis berat, komplikasi lain akibat GGK

    adalah paru-paru uremik dan pneumositis. Keadaan Oedema paru

    dapat terlihat pada thorax foto dimana disertai kelebihan cairan

    akibat retensi natrium dan air, batuk non produktif juga dapat terjadi

    sekunder dari kongesti paru-paru terutama saat berbaring, suara rales

    akibat adanya transudasi cairan paru. Kongesti pulmonal akan

    menghilang dengan penurunan jumlah cairan tubuh melalui

    pembatasan garam dan hemodialisis.

    b. Sistem kardiovaskuler

    Hipertensi akibat penimbunan cairan / garam atau peningkatan

    sistem renin-angiotensin-aldosteron, nyeri dada dan sesak nafas

    akibat perikarditis, efusi pericardial, penyakit jantung koroner akibat

    arterosklerotis yang timbul dini dan gagal jantung akibat

    penimbunan cairan dan hipertensi, adanya oedema periorbital, pitting

    oedema dan adanya pembesaran vena leher.

  • 15

    c. Sistem Gastrointestinal

    Adanya anoreksia, nausea dan vomitus akibat gangguan

    metabolisme protein diusus, terbentuknya zat toksik akibat

    metabolisme di usus seperti amonia dan metil guadin. Zat toksik

    tersebut merupakan bahan iritan yang dapat menimbulkan defek

    mukosa barier, histamin terangsang untuk mengeluarakan asam

    lambung. Foetor (mulut berbau) uremik disebabkan ureum berlebih

    pada saliva yang diubah oleh bakteri dimulut sehingga menjadi

    amonia sehingga nafas berbau amoniaq yang menimbulkan

    stomatitis atau paratitis. Cegukan (hiccup) terjadi tapi penyebabnya

    belum jelas dapat berhubungan dengan sistem saraf otonom.

    d. Sistem Integumen

    Kulit berwarna pucat karena anemia, kekuningan akibat

    penimbunan urea, gatal-gatal terjadi akibat toksik uremik dan

    pengendapan kalsium di pori-pori kulit, ekimosis terjadi akibat

    gangguan hematologi, urea frost akibat kristalisasi urea yang ada

    pada keringat.

    e. Sistem Muskuloskeletal

    1) Restless leg syndrom : pasien merasa pegal di bagian kaki

    sehingga selalu digerakkan

    2) Burning feet syndrom : rasa kesemutan dan seperti terbakar

    terutama di telapak kaki.

    3) Ensefalopati metabolik : lemah, tidak biasa tidur, gangguan

    konsentrasi, tremor dan kejang.

    f. Sistem endokrin

    1) Gangguan seksual : libido, fertilitas dan ereksi menurun pada

    pria akibat testosteron dan spermatogenesis menurun, sebab lain

    karena hormon tertentu (paratiroid), pada wanita gangguan

    menstruasi, gangguan ovulasi dengan sampai amenorhoe.

    2) Gangguan metabolisme glukosa, retensi insulin dan gangguan

    sekresi insulin.

    3) Gangguan metabolisme lemak dan vitamin D.

  • 16

    g. Sistem Hematologi

    1) Anemia karena disebabkan oleh penurunan produksi

    eritropoetin, hemolisis, defisiensi zat besi, asam folat dan nafsu

    makan berkurang, perdarahan, fibrosis sumsum tulang akibat

    hiperparatiroidism sekunder.

    2) Gangguan fungsi trombosit dan trombositopeni.

    3) Gangguan leukosit, fagositosis dan kemotaksis berkurang,

    fungsi limfosit menurun dan imunitas berkurang.

    (Smeltzer, 2002 hal 1449)

    h. Sistem Perkemihan

    Hilangnya kemampuan pemekatan atau pengenceran kemih dari

    kadar plasma, Berat jenis kemih mencapai 1.010 (nilai normal

    1.013). Perubahan tersebut mengakibatkan klien uremia sehingga

    mudah mengalami perubahan keseimbangan air yang akut.

    Pemasangan kateter atau pemasangan selang nefrostomy biasanya

    dapat mambantu dalam pengeluaran urine dan pengukuran

    keseimbangan cairan tersebut. Gangguan elektrolit dapat terjadi

    akibat hiperfosthamia, hiperkalemia atau hipokalsemia.

    6. Penatalaksanaan

    Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal

    dan hemotasis selama mungkin, seluruh faktor yang berperan pada ginjal

    tahap akhir dan faktor yang dapat dipulihkan (misalnya: obstruksi).

    a. Pemeriksaan Penunjang.

    Menurut Doenges (2000) pemeriksaan penunjang pada pasien

    GGK adalah :

    1) Laboratorium.

    a) Volume urine, Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase

    oliguria) terjadi dalam (24 jam-48 jam) setelah ginjal rusak.

    b) Warna Urine, Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya

    darah.

    c) Berat jenis urine Kurang dari l,020 menunjukan penyakit

    ginjal contohnya glomerulonefritis, pielonefritis dengan

  • 17

    kehilangan kemampuan memekatkan menetap pada l,0l0

    menunjukkan kerusakan ginjal berat.

    d) pH Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK

    e) Kliren kreatinin Peningkatan kreatinin serum menunjukan

    kerusakan ginjal.

    f) Natrium Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40

    mEq/liter bila ginjal tidak mampu mengabsorpsi natrium.

    g) Bikarbonat Meningkat bila ada asidosis metabolik.

    h) Protein Proteinuria derajat tinggi (+3 - +4) sangat

    menunjukkan kerusakan glomerulus bila Sel darah merah dan

    warna Sel darah merah tambahan juga ada. Protein derajat

    rendah (+1 - +2) dan dapat menunjukan infeksi atau nefritis

    intertisial.

    i) Warna tambahan Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi

    tambahan warna merah diduga nefritis glomerulus.

    j) Hemoglobin, Menurun pada anemia.

    k) Sel darah merah, Sering menurun mengikuti peningkatan

    kerapuhan / penurunan hidup.

    l) Kreatinin meningkat

    m) Osmolalitas, Lebih besar dari 28, 5 m Osm/ kg, sering sama

    dengan urine.

    n) Kalium, Meningkat sehubungan dengan retensi urine dengan

    perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan

    (hemolisis sel darah merah).

    o) Natrium, Biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.

    p) pH, Kalium & bikarbonat, Menurun.

    q) Klorida fosfat & Magnesium, Meningkat.

    r) Protein, Penurunan pada kadar serum dapat menunjukan

    kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan penurunan

    pemasukan dan penurunan sintesis karena kekurangan asam

    amino esensial.

  • 18

    2) Radiologi

    a) Pemeriksaan EKG, Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel

    kiri, tanda perikarditis, aritmia, dan gangguan elektrolit

    (hiperkalemi, hipokalsemia).

    b) Pemeriksaan USG, Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal

    korteks ginjal, ureter proksimal dan kandung kemih.

    c) Pemeriksaan Radiologi, Renogram, Intravenous Pyelography,

    Retrograde Pyelography, Renal Aretriografi dan Venografi, CT

    Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen dada,

    pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen

    b. Tindakan Konservatif

    1) Perawatan diet protein, kalium, natrium, dan cairan.

    Tindakan ini dilakukan penderita yang mengalami azotemia yang

    bertujuan untuk:

    a) Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal dengan

    memperhitungkan sisa fungsi ginjal, agar tidak memberatkan

    kerja ginjal

    b) Mencegah dan menurunkan kadar ureum darah yang tinggi

    (uremia)

    c) Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit

    d) Mencegah atau mengurangi progresivitas gagal ginjal,

    dengan memperlambat turunnya laju filtrasi glomerulus.

    2) Pengontrolan Keseimbangan cairan Masuk dengan keluar dalam

    24 jam (Balance Intake Output)

    3) Pembatasan jumlah cairan yang masuk ke tubuh. Menurut

    Almatsier (2006), syarat diet yaitu:

    a) Energi cukup, yaitu 35 kkal/kg BB

    b) Protein rendah, yaitu 0,6 - 0,75 g/kg BB. Sebagian harus

    bernilai biologik tinggi

    c) Lemak cukup, yaitu20 30 % dari kebutuhan energi total.

    Diutamakan lemak tidak jenuh ganda

  • 19

    d) Karbohidrat cukup, yaitu kebutuhan energi total dikurangi

    energi yang berasal dari protein dan lemak

    e) Natrium dibatasi apabila ada hipertensi, edema, asites,

    oliguria, atau anuria. Banyaknya natrium yang diberikan

    antara 1 3 gr.

    f) Kalium dibatasi (40 70 mEq) apabila ada hiperkalemia

    (kalium darah > 5,5 mEq), oliguria, atau anuria.

    g) Cairan dibatasi yaitu sebanyak jumlah urin sehari ditambah

    pengeluaran cairan melalui keringat dan pernapasan ( 500

    ml)

    h) Vitamin cukup, bila perlu diberikan suplemen piridoksin,

    asam folat, vtamin C dan vitamin D.

    4) Pemberian Tranfusi, pencegahan pendarahan dan pemberian

    vitamin untuk mengurangi anemia.

    5) Mengurangi asupan asam urat dalam tubuh. Dengan cara diit

    rendah asam urat atau dengan pemberian kolkisin pada gout.

    6) Pengobatan Segera Terhadap infeksi. Untuk mencegah infeksi

    sampai / masuk ke ginjal karena penderita gagal ginjal kronik

    terjadi penurunan imunitas

    c. Terapi yang diberikan pada klien gagal ginjal kronik.

    Terapi yang diberikan pada klien gagal ginjal kronik adalah:

    1) Klien diberikan tensivask 1x1 yang berfungsi untuk menurunkan

    hipertensi klien

    2) Klien kekurangan kalsium, pemeriksaan Lab menunjukan

    kalsium klien hanya 6, 8 mmol/dl. Normalnya adalah 8.1-10.4

    mmol/dl. Oleh karena itu klien diberikan terapi CaCO3

    (Calsium Carbonat) 3x1 yang berfungsi untuk meningkatkan

    kalsium dalam tubuh.

    3) Klien diberikan Infus D5 lini mikro, artinya klien diberikan

    cairan infus asal netes menggunakan mikro drip. Pada klien

    gagal ginjal kronik pemasukan cairan harus dibatasi, karena

    ginjalnya telah rusak maka kehilangan keseimbangan untuk

  • 20

    mengatur cairan dan elektrolit dalam tubuh. Oleh karena itu

    cairan yang masuk asal netes, karena untuk meminimalkan kerja

    ginjal yang rusak.

    4) Klien mengalami konjungtiva anemis, karena ginjal telah rusak

    maka produksi eritripoetinya berkurang dan sel darah merah

    juga kurang. Oleh karena itu klien diberikan terapi asam folat

    untuk pematangan sel darah merah.

    5) Klien mengalami sesak. untuk mengurangi rasa sesak, maka

    klien diberikan terapi oksigen 2-3 Liter.

    6) Klien diberikan RI (Regional Insulin) 10 IU (internasional Unit)

    dalam Dex 40% 2 Fl. (Flakon) Bolus. Glukosa, Insulin atau

    kalsium glukonat dapat digunakan sebagai tindakan darurat

    sementara untuk menangani hiperkalemia. Glukosa dan insulin

    mendorong kalium kedalam sel sehingga kadar serum kalium

    menurun sementara sampai kalium diambil melalui proses

    dialisa.

    d. Pencegahan Komplikasi

    Pencegahan dan pengobatan komplikasi menurut Suharyanto

    dan Madjid, 2009 antara lain sebagai berikut:

    1) Pencegahan Komplikasi

    Pencegahan komplikasi dapat dilakukan dengan pengaturan diet

    protein, kalium, natrium dan cairan yang masuk ke dalam tubuh.

    a) Pembatasan jumlah cairan yang masuk ke tubuh. Menurut

    Almatsier (2006), syarat diet yaitu:

    1) Energi cukup, yaitu 35 kkal/kg BB

    2) Protein rendah, yaitu 0,6 - 0,75 g/kg BB. Sebagian harus

    bernilai biologik tinggi

    3) Lemak cukup, yaitu20 30 % dari kebutuhan energi total.

    Diutamakan lemak tidak jenuh ganda

    4) Karbohidrat cukup, yaitu kebutuhan energi total dikurangi

    energi yang berasal dari protein dan lemak

  • 21

    5) Natrium dibatasi apabila ada hipertensi, edema, asites,

    oliguria, atau anuria. Banyaknya natrium yang diberikan

    antara 1 3 gr.

    6) Kalium dibatasi (40 70 mEq) apabila ada hiperkalemia

    (kalium darah > 5,5 mEq), oliguria, atau anuria.

    7) Cairan dibatasi yaitu sebanyak jumlah urin sehari ditambah

    pengeluaran cairan melalui keringat dan pernapasan ( 500

    ml)

    8) Vitamin cukup, bila perlu diberikan suplemen piridoksin,

    asam folat, vtamin C dan vitamin D.

    b) Pengaturan cairan

    Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut

    harus diawasi dengan seksama. Parameter yang tepat untuk

    diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan yang di catat

    dengan tepat adalah pengukuran berat harian. Asupan yang bebas

    dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan, dan

    edema. Sedangkan asupan yang terlalu rendah mengakibatkan

    dehidrasi, hipotensi dan gangguan fungsi ginjal.

    Aturan yang dipakai untuk menentukan banyaknya asupan

    cairan adalah misalnya jika jumlah urin yang dikeluarkan dalam

    waktu 24 jam adalah 400ml, maka asupan cairan total dalam sehari

    adalah 400+500 ml =900 ml. (Fisher, 2006).

    B. Hemodialisis

    1. Definisi Hemodialisis

    Terapi hemodialisis adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi

    pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu

    dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea,

    kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permeabel

    sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana

    terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Setyawan, 2001).

  • 22

    Hemodialisis memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter

    khusus yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang

    digunakan untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh

    penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisis

    memerlukan jalan masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu hubungan

    buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan

    (National Kidney Foundation, 2006).

    2. Fungsi Sistem Ginjal Buatan

    a. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan

    asam urat

    b. Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding

    antara darah dan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif

    dalam arus darah dan tekanan negatif (penghisap) dalam

    kompartemen dialisat (Proses Ultrafiltrasi).

    c. Mempertahankan atau mengembalikan sistem nafas tubuh

    d. Mempertimbangkan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh

    (www.medicastore.com, 2009)

    3. Komponen Hemodialisis

    Menurut DArc (2000), komponen hemodialisis yang terkait

    dengan suatu sistem hemodialisis meliputi :

    a. Dializer

    Dializer adalah suatu alat yang berfungsi sebagai ginjal buatan yang

    terdiri dari dua bagian besar yaitu bagian yang dilalui oleh darah dan

    bagian yang dilalui dialisat. Kedua bagian dipisahkan oleh selaput tipis

    berpori-pori yang disebut membran semipermiabel. Tipe Hollow-fiber

    dialyzer, terdiri dari 10.000-15.000 serat dengan diameter 200-300 m

    dan tipe Flat-plat Dialyzer mempunyai kompartemen paralel dan

    dipisahkan oleh lempengan membran datar.

    b. Air untuk dialysis

    Dalam proses hemodialisis bahan pencampur yang digunakan dalam

    dialisat adalah air. Air yang digunakan harus memenuhi standar air yang

    berkualitas untuk proses hemodialisis.

  • 23

    c. Cairan dialisat

    Cairan yang digunakan untuk proses hemodialisis, terdiri dari

    campuran air dan elektrolit yang dibuat sedemikian rupa sehingga

    menyerupai serum normal. Cairan dialisat ini berfungsi untuk membuang

    zat-zat sisa dan cairan yang keluar dari penderita, menjaga keseimbangan

    elektrolit, dan mencegah pengurangan air yang berlebihan pada saat

    terjadinya proses hemodialisis. Cairan dialisat tersedia dalam 2 jenis

    yaitu: yang mengandung asetat dan yang mengandung bikarbonat.

    d. Mesin dialysis

    Mesin dialisis yang digunakan pada masa kini terdiri dari bagian

    blood pump, sistem pengaturan cairan dialisat, sistem monitor pengawas

    dan komponen tambahan berupa pompa heparin.

    4. Proses Hemodialisis

    Dalam kegiatan hemodialisis terjadi 3 proses utama seperti berikut:

    a. Proses Difusi yaitu berpindahnya bahan terlarut karena perbedaan

    kadar di dalam darah dan di dalam dialisat. Semakin tinggi

    perbedaan kadar dalam darah maka semakin banyak bahan yang

    dipindahkan ke dalam dialisat.

    b. Proses Ultrafiltrasi yaitu proses berpindahnya air dan bahan terlarut

    karena perbedaan tekanan hidrostatis dalam darah dan dialisat.

    c. Proses Osmosis yaitu proses berpindahnya air karena tenaga kimia,

    yaitu perbedaan osmolaritas darah dan dialisat (Smeltzer, 2001).

    5. Komplikasi Hemodialisis

    a. Ketidakseimbangan cairan

    Sangat penting untuk mengevaluasi keseimbangan cairan

    sebelum dialisis sehingga tindakan korektif dapat dilakukan diawal

    prosedur. Parameter seperti tekanan darah. Nadi, berat badan,

    masukan dan keluaran, turgor jaringan dan gejala-gejala lain akan

    membantu perawat memperkirakan kelebihan dan kekurangan

    cairan. Alat pemantauan seperti tekanan arteri pulmonal juga

    diperlukan dalam menentukan kelebihan cairan kardiovaskuler.

  • 24

    Istilah berat badan kering atau ideal digunakan untuk

    mengekspresikan berat badan dimana volume cairan ada dalam batas

    normal untuk pasien yang bebas dari gejala-gejala

    ketidakseimbangan. Berikut adalah contoh adanya

    ketidakseimbangan volume cairan dalam tubuh:

    1) Ultrafiltrasi

    Kelebihan air dibuang dari kompartemen melalui proses

    ultrafiltrasi. Hal ini dapat tercapai dengan memberikan tekanan

    negatif pada dialisat efluen (yang mengalir keluar). Tekanan negatif

    ini menghasilkan efek mengalirkan pada dializer, dimana molekul air

    tertarik melewati membran masuk ke dialisat, sebanyak 4 sampai 5

    kg air dibuang selama waktu 2 sampai 6 jam.

    2) Hipovolemia

    Petunjuk terhadap hipovolemia meliputi penurunan tekanan

    darah peningkatan frekuensi nadi dan pernapasan, turgor kulit buruk,

    mulut kering, tekanan vena sentral menurun dan penurunan

    pengeluaran urine. Riwayat kehilangan cairan melalui keringat

    banyak, muntah diare, dan menghisap lambung yang menimbulkan

    kehilangan berat badan yang nantinya mengarah pada diagnosa

    keperawatan kekurangan cairan.

    3) Hipotesa

    Hipotesa selama dialisis dapat disebabkan oleh hipovolemia,

    ultrafiltrasi berlebihan, kehilangan darah dalam dialiser,

    inkompatibilitas membran pendialisa, dan terapi obat anti hipertensi,

    hipotesa pada awal dialisis dapat terjadi pada pasien dengan volume

    darah sedikit, seperti pada anak-anak dan orang dewasa yang kecil.

    4) Sindrom Disquilibibrium dialisis

    Dimaninfestasikan oleh sekelompok gejala-gejala dari mual

    ringan muntah, sakit kepala, sampai kedutan, kekacauan mental, dan

    kejang. Dialisis lambat dalam waktu yang singkat setiap hari untuk

    dua atau tiga tindakan dapat mencegah sindrom disequilibrium pada

    pasien uremi otot.

  • 25

    b. Ketidakseimbangan Elektrolit

    Dengan kecenderungan dialisis dini dan adekuat, ketidak

    seimbangan elektrolit yang sangat berat tidak terlihat dalam

    frekuensi yang sama sebelum penggunaan hemodialisi luas.

    Mempertahankan dan penggantian keseimbangan elektrolit pada

    pasien dialisis dicapai terutama dengan dialisis dan memperkecil

    derajat kontrol diet. Kebanyakan konsentrasi elektrolit dialisat

    adalah standar untuk semua pasien, tetapi konsentrasi elekrolit

    dializat adalah standar untuk semua pasien, tetapi konsentrasi kalium

    ditentukan dengan kadar serum individual pasien. Perubahan sering

    dilakukan pada kadar kalsium dan natrium juga, tergantung macam

    konsentrasi dialisat yang ada dan kecanggihan mesin yang

    digunakan.

    Elektrolit merupakan perhatian utama dalam dialisis yang

    normalnya dikoreksi selama prosedur adalah natrium, kalium,

    bicarbonat, kalsium, fosfor, dan magnesium.

    a. Infeksi

    Pasien uremik mengalami penurunan resistemsik terhadap

    infeksi, yang diperkirakan karena penurunan respon imunologik.

    b. Perdarahan dan heparinisasi

    Perdarahan selama dialisis mungkin karena kondisi medik

    yang mendasari seperi ulkus atau gastritis atau mungkin akibat

    antikoagulasi berlebihan. Darah dalam system ekstrakoreal

    seperti selang dialiser dan darah membeku dengan cepat kecuali

    digunakan beberapa metoda anti koagulasi. Heparin adalah obat

    pilihan karena pemberiannya sederhana meningkatkan masa

    pembekuan dengan cepat, dan dimonitor dengan mudah.

  • 26

    C. Konsep Kepatuhan

    1. Definisi Kepatuhan

    Pengertian kepatuhan menurut psychology of nursing care yang

    dikutip oleh Neil Niven (2000) bahwa kepatuhan pasien sebagai sejauh

    mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh

    profesional kesehatan. Orang mematuhi perintah dari orang yang

    mempunyai kekuasaan bukan hal yang mengherankan karena

    ketidakpatuhan sering kali diikuti dengan beberapa bentuk hukuman.

    Meskipun demikian, yang menarik adalah pengaruh dari orang yang tidak

    mempunyai kekuasaan dalam membuat orang mematuhi perintahnya dan

    sampai sejauh mana kesediaan orang untuk mematuhinya.

    2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan

    Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan menurut Niven

    (2000) antara lain adalah:

    a. Pemahaman tentang intruksi

    Tidak seorangpun dapat mematuhi intruksi jika dia salah paham

    tentang intruksi yang diberikan. Kadang hal ini disebabkan oleh

    kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang

    lengkap, penggunaan istilah medis dan memberikan instruksi yang

    harus diingat oleh pasien.

    b. Kualitas interaksi

    Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien

    merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan.

    Hal ini bisa dilaksanakan dengan bersikap ramah dan memberikan

    informasi dengan singkat dan jelas.

    c. Isolasi sosial dan keluarga

    Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dan

    menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu dan dapat juga

    menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.

    d. Motivasi

    Motivasi dapat diperoleh dari diri sendiri, keluarga, teman,

    petugas kesehatan dan lingkungan sekitarnya.

  • 27

    e. Pengetahuan

    Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang semakin besar

    kemungkinan untuk patuh pada suatu program pengobatan.

    3. Cara Mengurangi Ketidakpatuhan

    Dinicola dan Dimatteo yang dikutip oleh niven (2000) mengusulkan

    beberapa rencana untuk mengatasi ketidakpatuhan pasien, antara lain:

    a. Mengembangkan tujuan kepatuhan

    Pernyataan-pernyataan juga dapat meningkatkan kepatuhan seseorang,

    kontrak tertulis juga dapat meningkatkan kepatuhan, tetapi kontrak

    kemungkinan dapat menjadi tidak efektif dalam kurun waktu yang lama.

    b. Mengembangkan perilaku sehat dan mempertahankanya

    Perilaku sehat dapat dipengaruhi oleh kebiasaan. Oleh karena itu perlu

    dikembangkan suatu strategi yang bukan hanya mengubah perilaku, tetapi

    juga untuk mempertahankan perubahan tersebut.

    c. Pengontrolan perilaku

    Pengontrolan perilaku seringkali tidak cukup untuk mengubah perilaku

    itu sendiri. Suatu program secara total dapat dihancurkan sendiri oleh

    pasien dengan mengunakan peryataan pertahanan.

    d. Dukungan sosial

    Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi kecemasan yang

    disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka dapat menghilangkan godaan

    pada ketidaktaatan, dan mereka seringkali dapat menjadi kelompok

    pendukung untuk mencapai kepatuhan.

    e. Dukungan dari profesional kesehatan

    Dukungan dari profesional kesehatan merupakan faktor lain yang dapat

    mempengaruhi perilaku kepatuhan. Dukungan mereka berguna terutama

    saat pasien menghadapi bahwa perilaku sehat yang baru tersebut

    merupakan hal penting. Begitu juga mereka dapat mempengaruhi perilaku

    pasien dengan cara menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan

    tertentu dari pasien, dan secara terus-menerus memberikan penghargaan

    yang positif bagi pasien yang telah mampu beradaptasi dengan program

    pengobatannya.

  • 28

    f. Pendidikan pasien

    Pendidikan pasien dapat meningkatkan pendidikan, sepanjang bahwa

    pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif seperti penggunaan

    buku dan kaset secara mandiri.

    g. Modifikasi faktor-faktor lingkungan sosial

    Modifikasi faktor-faktor lingkungan sosial berarti membangun

    hubungan sosial dari keluarga dan teman-teman. Kelompok-kelompok

    pendukung dapat dibentuk untuk membentuk kepatuhan terhadap

    program-program pengobatan seperti mengurangi asupan cairan,

    mengkontrol kadar cairan yang masuk ke dalam tubuh sesuai anjuran

    dokter.

    h. Meningkatkan interaksi profesi kesehatan dengan pasien

    Meningkatkan interaksi profesi kesehatan dengan pesien adalah suatu

    hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah

    memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan

    kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan

    dengan kondisi seperti itu.

    i. Perubahan model terapi

    Program-program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin, dan

    pasien terlibat aktif dalam perbuatan program tersebut. Dengan cara ini

    komponen-komponen sederhana dalam program pengobatan dapat

    diperkuat, untuk selanjutnya dapat mematuhi komponen-komponen yang

    lebih kompleks.

    4.Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Pasien

    Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien menurut Niven (2000)

    adalah sebagai berikut :

    a. Keadaan penyakit

    Pasien yang menderita penyakit kronik (gagal ginjal kronik)

    cenderung paling tidak patuh. Ini terutama karena harus menggunakan

    obat atau terapi hemodialisis dalam jangka waktu lama dimana gejala yang

    terasa hanya dalam waktu singkat.

  • 29

    b. Keadaan pasien

    Kepatuhan pasien menurun pada usia tinggi yang hidup sendiri (tidak

    ada yang mendorong). Tingkat ekonomi lemah, orang-orang dengan

    pengetahuan dan pendidikan rendah, dimana faktor budaya atau bahasa

    menjadi penghalang komunikasi antara petugas kesehatan dengan pesien.

    c. Petugas kesehatan

    Kepatuhan pasien akan dipengaruhi oleh sikap petugas kesehatan

    dalam melayani pasiennya. Petugas yang bersifat merendah, pasien kurang

    yakin terhadap terapi yang diputuskan, ada hambatan dalam komunikasi

    karena faktor budaya, bahasa dan waktu yang disediakan.

    d. Pengobatan

    Kepatuhan pasien akan berkurang apabila obat yang diberikan dalam

    jangka waktu lama. Bentuk dan keberhasilan kemasan yang terlalu

    sederhana dimana obat mudah pecah dan terkontaminasi oleh kotoran juga

    dapat menurunkan kepatuhan pasien untuk minum obat.

    e. Struktur pelayanan

    Semakin sulit tempat pelayanan kesehatan dicapai, semakin berkurang

    kepatuhan pasien.

    D. Penelitian Terkait

    Beberapa penelitian terkait Hubungan frekuensi hemodialisis dengan

    kepatuhan pasien dalam membatasi asupan cairan antara lain:

    Rostantina (2006): Tentang persepsi klien dengan gagal ginjal kronik

    yang menjalani hemodialisis terdapat perubahan citra diri di ruang

    hemodialisis RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Rs. Pelabuhan Jakarta

    didapatkan hasil daei 43 responden pada klien dengan gagal ginjal kronik

    yang menjalani hemodialisis sebagian besar telah menjalani selama lebih dari

    1 tahun (77%), kemudian kurang dari 6 bulan (16%), dan sebagian kecil, 6-12

    bulan (7%).

    Chandra Tri Wahyudi (2009): Tentang hubungan lama dan frekuensi

    menjalani hemodialisis dengan tingkat kecemasan terkait alat dan unit

    hemodialisis pada pasien GGK di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta didapatkan

    hasil dari 131 responden yang menjalani hemodialisis menunjukkan bahwa

  • 30

    terdapat hubungan yang bermakna antara lama dan frekuensi menjalani

    hemodialisis dengan kecemasan pasien terkait alat dan unit hemodialisis

    sebesar 65 responden (49,6%) memiliki kecemasan ringan dan 66 responden

    (50,4%) memiliki tingkat kecemasan berat.

    Sunardi (2001): Tentang hubungan lama menjalani hemodialisis

    dengan tingkat kecemasan terkait alat/unit dialisa pada pasien GGK di Dr.

    Cipto Mangunkusumo didapatkan hasil nilai r sebesar 0,22 hasil ini

    menunjukkan korelasi/hubungan sangat rendah antara lamanya menjalani

    hemodialisis terhadap tingkat kecemasan terkait alat/unit dialisa yang berarti

    bahwa terdapat hubungan positif sangat rendah antara dua variable tersebut.

    Bila nilai tersebut dikuadratkan menjadi 0,0484, yang berarti terdapat

    hubungan positif linier sebesar 4,8% terhadap keduanya. Jadi dapat diartikan

    bila semakin lama menjalani hemodialisis terjadi peningkatan kecemasan

    pada klien GGK dilakukan 4,8% atau sebaliknya.

    Syahril Hasibuan (2005): Tentang faktor-faktor yang menyebabkan

    kecemasan klien gagal ginjal kronik pada unit dialisa Rumah Sakit Kartika

    Medan didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara usia

    dengan kecemasan responden (P Value = 0,004), tidak terdapat hubungan

    yang bermakna terhadap usia dengan kecemasan (0,072), tidak terdapat

    hubungan antara tingkat pendidikan responden dengan kecemasan responden

    (P Value = 1,000), terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kecemasan

    responden (P Value = 0,000), terdapat hubungan antara motivasi responden

    dengan kecemasan rsponden (P Value = 0,001), dan terdapat hubungan antara

    frekuensi menja;ani dialisa dengan kecemasan responden (P Value = 0,002).

    Putra Yasa (2000): Tentang hubungan tingkat kecemasan klien gagal

    ginjal kronik yang dilakukan hemodialisis terhadap frekuensi dilakukan

    hemodialisis yang dilakukan di RSUD M. Yunus Bengkulu dengan sampel 44

    responden. Penelitian ini menggunakan deskriptif korelasi yang bertujuan

    menganalisa dan menguraikan hubungan dua variabel yaitu tingkat

    kecemasan terhadap frekuensi tindakan hemodialisis. Hasil yang didapat

    yaitu terdapat hubungan yang bermakna (signifikan) antara tingkat

  • 31

    kecemasan klien dengan gagal ginjal kronik yang dilakukan hemodialisis

    terhadap frekuensi dilakukan hemodialisis.

    I Gusti Agung Tresna Wicaksana (2008): Tentang faktor faktor

    yang berhubungan dengan kepatuhan klien gagal ginjal dalam menjalani

    terapi hemodialisis di unit hemodialisa RSPAD Gatot Soebroto Jakarta

    dengan total responden sebanyak 55 orang didapatkan hasil bahwa ada

    hubungan yan bermakna dan signifikan antara pegetahuan, perilaku dan

    dukungan keluarga dengan kepatuhan klien dalam menjalani terapi

    hemodialisis.

    Sapri (2008): Tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan

    dalam mengurangi asupan cairan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani

    hemodialisi di RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek bandar Lampung dengan total

    responden sebanyak 52 pasien dari populasi sebanyak 61 pasien. Diperoleh

    hasil bahwa faktor pendidikan dan keterlibatan anggota kesehatan dapat

    mempengaruhi pasien Gagal Ginjal Kronik dalam mematuhi pembatasan

    asupan cairan.

  • 32

    E. Kerangka Teori

    Skema 2.1 Berdasarkan Konsep L. Green (1988) dalam buku Metodologi

    Penelitian Kesehatan Karangan Dr. Soekidjo Notoatmodjo (2003)

    Faktor Predisposisi:

    - Usia

    - Jenis kelamin

    - Pendidikan

    - Pekerjaan

    - Penghasilan

    Faktor Pendukung:- Lama menjalani hemodialisi

    - Frekuensi menjalani hemodialisis

    Faktor Pendorong

    1. Keadaan penyakit

    2. Keadaan pasien

    3. Petugas kesehatan

    4. Lama Pengobatan

    5. Struktur pelayanan

    Kepatuhan

    mengurangi

    asupan cairan:

    - Patuh

    - Tidak

    patuh