BAB II

23

Click here to load reader

description

uraian

Transcript of BAB II

Page 1: BAB II

BAB II

GAMBARAN PELAYANAN SKPD

2.1Tugas, Fungsi, Struktur OrganisasiBerdasarkan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 26 Tahun 2008 tentang Penjabaran Tugas dan Fungsi Dinas Kesehatan Kota Semarang, dimana Dinas Kesehatan mempunyai tugas membantu Walikota dalam melaksanakan otonomi daerah di bidang kesehatan.Untuk melaksanakan tugas tersebut, Dinas Kesehatan mempunyai fungsi, sebagai berikut :a. Perumusan kebijakan teknis pelaksanaan dan pengendalian di bidang pelayanan kesehatan, pencegahan pemberantasan penyakit, promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, kesehatan lingkungan, kesehatan keluarga.b. Penyusunan rencana program dan kerja anggaran Dinas Kesehatanc. Pengkoordinasian pelaksanaan tugas Dinas Kesehatand. Penyelenggaraan urusan pemerintahan & pelayan umum di bidang pelayanan kesehatan, pencegahan pemberantasan penyakit, promosi kesehatan pemberdayaan & kesehatan lingkungan serta kesehatan keluarga.e. Pembinaan umum bidang kesehatan meliputi pendekatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh gubernur Jawa Tengah.f. Pembinaan, pengendalian teknis di bidang upaya pelayanan kesehatan dasar & upaya kesehatan rujukan, promosi kesehatan berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh gubernur Jawa Tengah.g. Penetapan angka kredit tenaga fungsional kesehatan h. Pelaksanaan pertanggungjawaban kajian teknis/rekomendasi perijinan dan/atau non perijinan di bidang kesehatan.i. Pelaksanaan pembinaan, pemantauan, pengawasan pengendalian, monitoring, evaluasi & pelaporan thd Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan.j. Pengelolaan urusan kesekretariatan Dinas Kesehatan.k. Pelaksanaan pembinaan, pemantauan, pengawasan & pengendalian, monitoring, evaluasi pelaporan pelaksanaan tugas Dinas Kesehatan.l. Pelaksanaan tugas lain yg diberikan Walikota sesuai bidang tugasnya.Sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 26 tahun 2008, Struktur Organisasi Dinas Kesehatan terdiri dari :a. Kepala Dinasb. Sekretariat, terdiri dari :1. Sub. Bagian Umum Kepegawaian2. Sub. Bagian Keuangan3. Sub. Bagian Perencanaanc. Bidang Pelayanan Kesehatan, terdiri dari :1. Seksi Pelayanan Kesehatan Dasar

4 | Renstra Dinas Kesehatan Kota Semarang 2010-2015

Page 2: BAB II

2. Seksi Pelayanan Kesehatan Rujukan3. Seksi Farmasid. Bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit, terdiri dari :1. Seksi Pencegahan Penyakit2. Seksi Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang3. Seksi Pemberantasan Penyakit Menular Langsunge. Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan kesehatan Lingkungan, terdiri dari:1. Seksi Pemberdayaan Masyarakat2. Seksi Promosi dan Informasi Kesehatan3. Seksi Penyehatan Air dan Lingkunganf. Bidang Kesehatan Keluarga, terdiri dari :1. Seksi Kesehatan Ibu, KB dan Lansia2. Seksi kesehatan Anak3. Seksi Gizi2.2Sumber Daya Kesehatan

Manusia. Untuk melaksanakan berbagai tugas dan fungsi diatas, Dinas Kesehatan Kota Semarang telah dilengkapi dengan sejumlah SDM kesehatan. Pada table 1 dan 2 berikut ditampilkan tenaga kesehatan dan non kesehatan sampai bulan September 2010.Table 1Jumlah Tenaga Kesehatan berdasar Latar Belakang Pendidikan dan Jenis Pegawai di Dinas Kesehatan Kota Semarang tahun 2010

NO PENDIDIKAN JENIS KEPEGAWAIANPNS CPNS TITIP PTT JUMLAH1 Dokter spesialis 2 22 Dokter 42 42 1 11 963 Dokter gigi 34 9 1 2 464 Perawat 147 27 1745 Bidan 142 16 1586 Perawat gigi 48 487 Apoteker 13 138 Asisten apoteker 44 10 549 Nutrisionis 40 1 4110 Analis 40 16 5611 Sanitarian 36 7 4312 Penyuluh kesehatan 10 1013 Epidemiologi 4 414 Sarjana kesehatan 25 2515 Rekam medis 1 1 216 Radiologi 2 217 Fisioterapis 0Jumlah 616 142 3 13 774Dari table 1 diatas tampak tenaga medis masih mendominasi total kepegawaian di Dinas Kesehatan Kota Semarang. Merujuk pada paradigm sehat, maka Dinas

5 | Renstra Dinas Kesehatan Kota Semarang 2010-2015

Page 3: BAB II

Kesehatan Kota Semarang pada tahun-tahun mendatang akan lebih meningkatkan jumlah tenaga kesehatan yang berlatar belakang pendidikan kesehatan komunitas seperti sanitarian, penyuluh kesehatan, epidemiologis, nutrisionis dan lain-lain.Disamping ketersediaan tenaga kesehatan yang melaksanakan tugas utama pelayanan kesehatan, Dinas kesehatan kota Semarang juga dilengkapi dengan tenaga non kesehatan yang membantu dan menunjang pelayanan kesehatan. Table 2 berikut menyajikan jumlah, latar belakang pendidikan dan jenis pegawai dari tenaga non kesehatan.

Table 2Jumlah Tenaga non Kesehatan berdasar Tingkat Pendidikan dan Jenis Pegawai di Dinas Kesehatan Kota Semarang tahun 2010NO PENDIDIKAN JENIS KEPEGAWAIANPNS CPNS TITIP TPHL JUMLAH1 S-1 6 3 92 D-III 6 63 SLA 127 33 1 3 1644 SLP 23 14 4 415 SD 11 9 9 296 Tidak berijazah 6 6Jumlah 173 59 1 22 255

Dari table 2 diatas tampak jumlah tenaga non kesehatan masih didominasi lulusan SLA, dari gambaran ini tampak bahwa peningkatan dan pengembangan kualitas pegawai merupakan langkah yang strategis dan mendesak untuk dilakukan guna menunjang dan menghasilkan pelayanan kesehatan yang berkualitas.Aset. Asset merupakan modal dasar bagi pelaksanaan pelayanan kesehatan. Asset ini dibagi menjadi barang bergerak dan tidak bergerak. Untuk rincian asset yang dimiliki oleh Dinas Kesehatan Kota Semarang dapat dilihat pada table 3 berikut

Table 3Rincian asset Dinas Kesehatan Kota Semarang per September 2010NO JENIS ASET SATUAN JUMLAH1 Tanah m2 104.245 m22 Bangunan m2 16.056 m23 Roda 2 buah 194 buah4 Roda 4 buah 54 buah

6 | Renstra Dinas Kesehatan Kota Semarang 2010-2015

Page 4: BAB II

Disamping asset bergerak dan tidak bergerak diatas, Dinas Kesehatan Kota Semarang juga dilengkapi berbagai alat dan perlengkapan pelayanan medis kesehatan dan penunjangnya.2.3Kinerja Pelayanan

2.3.1 Situasi dan Kondisi Pelayanan Kesehatan 2005-2009Mortalitas. Jumlah kematian bayi di kota Semarang tahun 2005 berdasar laporan puskesmas sebesar 43 dari 22.381 Kelahiran Hidup (KH), berdasar hasil survei yang dilaksanakan pada tahun 2006, jumlah kematian ini naik secara signifikan menjadi 483 dari 24.498 KH. Pada tahun 2007, berdasar survei kematian bayi, tercatat jumlah kematian sedikit turun di angka 466 dari 24.936 KH. Pada tahun 2008 jumlah kematian bayi mengalami peningkatan yang mencapai 496 dari 25.160 KH dan tercatat turun menjadi 479 dari 25.739 KH pada tahun 2009. Jumlah kematian ibu melahirkan di kota Semarang pada tahun 2005 tercatat sebesar 15 orang dari 22.381 KH. Pada tahun 2006 jumlah kematian tidak menunjukkan perubahan masih berada pada angka 15 orang dari 24.498 KH. Jumlah kematian ini meningkat di tahun 2007 menjadi 20 dari 24.936 KH dan naik di tahun 2008 menjadi 27 dari 25.160 KH. Pada tahun 2009 jumlah kematian ibu turun menjadi 22 dari 25.739 KH.Morbiditas. Penyakit menular masih menjadi masalah kesehatan di Kota Semarang hal ini disebabkan masih ditemukannya beberapa kasus penyakit menular dan bahkan mengalami peningkatan jumlahnya dari tahun ke tahun adapun beberapa penyakit menular tersebut diantaranya :Jumlah penderita DBD pada tahun 2005 tercatat sebesar dari 2.297 orang, Pada tahun 2006, jumlah penderitanya turun menjadi 1.845 orang dan meningkat kembali pada tahun 2007 menjadi 2.924 kasus. Di tahun 2008 jumlah penderita DBD meningkat sangat signifikan mencapai 5.249 orang sedangkan di tahun 2009 penderita DB menunjukkan penurunan menjadi 3.883 orang.Jumlah penderita TB Paru BTA (+) mengalami peningkatan dari 812 orang di tahun 2005 menjadi 901 orang di tahun 2006. Jumlah penderita TB Paru BTA (+) turun menjadi 747 orang pada tahun 2007 dan meningkat kembali di tahun 2008 menjadi 750 orang. Demikian juga pada tahun 2009 jumlah penderita TB paru BTA (+) meningkat tercatat sebanyak 793 orang. Jumlah penderita HIV positif memiliki kecenderungan meningkat dalam empat tahun terakhir (2005-2008). Tercatat terdapat 50 penderita di tahun 2005, dan terus meningkat selama 2006 sampai 2009 yaitu berturut turut : 179 orang, 195 orang,199 dan 323 orang. Demikian halnya dengan pengidap AIDS yang juga mengalami peningkatan selama tiga tahun berturut-turut (2005-2007) yaitu dari 11 penderita, 25 penderita dan 33 penderita. Pada satu tahun terakhir jumlah pengidap AIDS mengalami penurunan menjadi 15 penderita di tahun 2008. Namun pada tahun 2009 jumlah penderita kembali naik menjadi 19 penderita.

7 | Renstra Dinas Kesehatan Kota Semarang 2010-2015

Page 5: BAB II

Angka kesakitan diare menunjukkan trend meningkat dalam kurun empat tahun terakhir (2005-2008). Di tahun 2005, tercatat angka kesakitan diare sebesar 18,21/1000 penduduk, naik menjadi 19,89/1000 penduduk pada tahun 2006 dan terus meningkat menjadi 20,38/1000 penduduk dan 22/1000 penduduk berturut-turut di tahun 2007-2008. Di tahun 2009 angka kesakitan diare tercatat turun menjadi 20,44/1000 penduduk. Yang perlu mendapat perhatian pada kejadian kesakitan diare ini adalah kesakitan diare pada balita, dimana jumlah bayi dan balita (< 1 tahun – 4 tahun) yang terserang diare selama 2005-2009 mengalami kecenderungan penurunan pada dua tahun terakhir. Berikut secara berturut-turut kecenderungan jumlah penderita diare balita selama lima tahun terakhir; 11.188 balita, 12.386 balita, 12.413 balita, 12.391 balita, 11.442 balita. Angka kesakitan pnemonia pada balita selama 2005-2008 menunjukkan fluktuasi, tetapi tetap harus diwaspadai karena dalam satu tahun terakhir (2009) terjadi peningkatan yang cukup berarti. Pada tahun 2005, angka kesakitan pnemonia balita tercatat 144,51/10.000 balita dan naik menjadi 356,35/10.000 balita di tahun 2006. Angka kesakitan ini turun di tahun 2007 menjadi 219,88/10.000 balita dan meningkat kembali menjadi 334,96/10.000 dan 403,5/10.000 balita berturut-turut pada tahun 2008 dan 2009.Jumlah penderita kusta (tipe PB & MB) menunjukkan fluktuasi selama 2005-2008, yakni tahun 2005 terdapat 20 orang, turun menjadi 14 orang pada tahun 2006 dan naik lebih dari dua kali lipat di tahun 2007 menjadi 34 orang. Pada tahun 2008 penderita kusta turun menjadi 20 orang dan naik menjadi 27 orang pada tahun 2009. Disamping itu masih perlu diwaspadai penyakit-penyakit yang mudah menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti campak, difteri, hepatitis, meningitis, parotitis maupun keracunan makanan. Jumlah kasus Kejadian Luar Biasa mengalami fluktuasi, tercatat pada tahun 2005 frekuensi KLB tercatat sebanyak 31 kali, naik menjadi 41 kali di tahun 2006 dan turun menjadi 33 kali pada tahun 2007. Pada tahun 2008-2009 frekuensi KLB turun dan tercatat menjadi berturut-turut 22 kali dan 21 kali. Dari segi jumlah penderitanya ternyata cenderung meningkat selama 2005-2007. Pada tahun 2005 jumlah penderita akibat KLB mencapai 204 orang, meningkat menjadi 322 orang di tahun 2006 dan 514 orang di tahun 2007. Pada tahun 2008-2009 jumlah penderita KLB turun menjadi masing-masing 231 orang dan 93 orang.Jumlah kasus Acute Flaccid Paralysis menunjukkan kecenderungan peningkatan dalam dua tahun terakhir, dimana tercatat 9 kasus di tahun 2005 kemudian turun menjadi 8 kasus di tahun 2006. Pada tahun 2007 jumlah kasus ini meningkat signifikan menjadi 11 kasus dan terus meningkat di tahun 2008 menjadi 14 kasus. Sedangkan pada tahun 2009 jumlah kasus AFP turun menjadi 9 kasus.Di sisi lain, penyakit tidak menular dalam kurun 2005-2008 juga mengalami peningkatan jumlah penderitanya diantaranya adalah jumlah penderita Diabetus Melitus terus meningkat tiap tahunnya dari 23.099 penderita di tahun 2005 menjadi 48.411 penderita di tahun 2006 dan terus bergerak naik menjadi 56.446 penderita di tahun 2007, kemudian turun di tahun 2008 menjadi 53.143 penderita. Namun pada tahun 2009 8 | Renstra Dinas Kesehatan Kota Semarang 2010-2015

Page 6: BAB II

jumlah penderita DM ini sedikit mengalami kenaikan menjadi 53.787 penderita. Demikian pula penderita hipertensi, jumlah penderita hipertensi terlihat cenderung meningkat yakni dari 48.562 penderita di tahun 2005 menjadi 87.492 penderita di tahun 2006 dan terus meningkat di tahun 2007 dan 2008, masing-masing sebesar 123.500 penderita dan 115.048 penderita. Penderita hipertensi pada tahun 2009 tercatat turun menjadi 113.363 penderita.Status Gizi. Hasil pemantauan status gizi tahun 2005 didapatkan prevalensi gizi kurang sebesar 11,09%, prevalensi gizi buruk sebesar 0,94% (17 kasus). Prevalensi gizi kurang dan buruk meningkat di tahun 2006 menjadi berturut-turut 14% dan 1,73% (13 kasus). Pada tahun 2007 prevalensi gizi kurang meningkat menjadi 15,9% sedangkan prevalensi gizi buruk turun menjadi 1,68% tetapi dengan jumlah kasus yang meningkat sampai 25 kasus. Sebaliknya pada tahun 2008 prevalensi gizi kurang turun menjadi 13,82% dan prevalensi gizi buruk meningkat menjadi 1,69% dengan kenaikan kasus menjadi 30. Pada tahun 2009, prevalensi gizi kurang dan buruk turun menjadi masing-masing 8,62% dan 1,62%Perilaku Sehat, Peran Serta dan Pemberdayaan Masyarakat . Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajad kesehatan yang optimal. Dengan perkataan lain masyarakat diharapkan mampu berpartisipasi aktif dalam memelihara dan meningkatkan derajad kesehatannya sendiri dengan demikian masyarakat tidak hanya berperan sebagai obyek tapi juga mampu menjadi subyek dalam pembangunan.Pemberdayaan masyarakat dimulai dari tingkat individu dan keluarga melalui perilaku yang bersih sehat. Perilaku sehat oleh masyarakat dapat dilihat dari program Perilaku Hidup Bersih & Sehat (PHBS). Perkembangan PHBS dari tahun ke tahun belum memperlihatkan kecenderungan peningkatan yang berarti. Hal ini dapat dilihat dari indikator rumah tangga sehat (utama dan paripurna) yang memperlihatkan kecenderungan peningkatan sejak tahun 2005 sampai 2009 yaitu berturut turut adalah 76,13%, 69,04%, 79,66% dan 85,5% dan 87,6%. Pencapaian cakupan rumah tangga sehat tersebut didapatkan dari survei PHBS yang dilakukan rutin setiap tahun oleh petugas. Perilaku sehat masyarakat yang dapat mempengaruhi status gizi diantaranya adalah keluarga sadar gizi dan pemberian air susu ibu eksklusif selama 6 bulan. Berdasar survei, keluarga sadar gizi dalam tiga tahun terakhir (2006-2009) menunjukkan kecenderungan peningkatan berturut-turut 58,43%, 64,25%, 65,77% dan 66,3%. Sedangkan pemberian ASI eksklusif selama 2005-2009 memperlihatkan fluktuasi, yakni berturut-turut: 31,45%, 40,07%, 36,39%, 19,69% dan 54,04%.Disamping perilaku, peran serta masyarakat sangat mempengaruhi derajad kesehatan masyarakat. Peran serta masyarakat yang dikaitkan langsung dengan upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit demam berdarah terlihat dalam angka bebas jentik. Angka bebas jentik dalam tiga tahun terakhir dari tahun 2005 sampai 2009 menunjukkan peningkatan tetapi masih dibawah target nasional (95%), yaitu berturut-turut sebesar 9 | Renstra Dinas Kesehatan Kota Semarang 2010-2015

Page 7: BAB II

88,83%, 85,37%, 88,70%, 89,88% dan 85,25%. Melihat angka bebas jentik ini dapat dikatakan bahwa peran serta masyarakat masih rendah dalam melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk yang menambah kompleksitas upaya penanggulanagan demam berdarah. Bentuk peran serta masyarakat yang lain dalam pembangunan kesehatan adalah Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM). UKBM yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat kota Semarang salah satunya adalah dalam bentuk posyandu. Sampai tahun 2009 tercatat ada 1.496 buah posyandu, yang terbagi dalam empat katagori yaitu pratama, madya, purnama dan mandiri. Dari keempat strata posyandu tersebut, dapat dikatakan posyandu purnama dan mandiri yang memiliki mutu pelayanan yang baik karena didukung oleh kader posyandu yang aktif maupun jenis kegiatan yang memadai secara kuantitas maupun kualitasnya. Cakupan posyandu purnama dan mandiri memperlihatkan kecenderungan peningkatan sejak tahun 2005 sampai 2009 yaitu berturut turut 63,16%, 68,05%, 64,62%, 65,29% dan 65,45%. Selain posyandu, kelompok usia lanjut merupakan salah satu bentuk peran serta dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari para lanjut usia. Jumlah kelompok lanjut usia aktif menunjukkan penurunan selama 2005-2009, yakni berturut turut 92,59%, 97,5%, 97,8%,97,67%, 96,5%. Untuk meningkatkan derajad kesehatan pekerja khususnya di sektor informal, bentuk peran serta dan pemberdayaan yang ada adalah kelompok upaya kesehatan kerja. Selama empat tahun terakhir, jumlahnya cenderung meningkat dari 17 buah pada tahun 2005 menjadi 18 buah, 28 buah dan 30 buah berturut-turut pada tahun 2006-2008. Namun pada tahun 2009 jumlah kelompok UKK turun menjadi 16 buah.Lingkungan Sehat. Upaya peningkatan derajad kesehatan masyarakat sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang sehat. Berbagai upaya penyehatan lingkungan diarahkan pada peningkatan kualitas lingkungan melalui kegiatan promotif dan preventif.Katagori rumah yang memenuhi syarat kesehatan sejak tahun 2005 sampai 2009 cakupannya memperlihatkan peningkatan secara konsisten yaitu 79%, 79,96%, 82,9%, 83% dan 83%, dimana jumlah rumah yang diperiksa selama kurun waktu tersebut ternyata memperlihatkan penurunan. Ketersediaan air bersih yang mencukupi merupakan prasayarat utama untuk mengurangi angka kesakitan beberapa penyakit yang ditularkan melalui fecal-oral. Dari data yang dikumpulkan petugas sejak tahun 2005-2009, tercatat cakupan air bersih memiliki kecenderungan meningkat secara konsisten yaitu berturut turut 91,2%, 92,8%, 92,9% dan 93%. Meningkatnya cakupan air bersih tersebut ternyata belum diikuti dengan meningkatnya kualitas air bersih, dimana pada tahun 2005 tercatat kualitas air bersih yang memenuhi syarat sebesar 93%, turun menjadi 72% di tahun 2006 dan meningkat kembali menjadi 91,7% pada tahun 2007. Pada tahun 2008 dan 2009, tidak ada kegiatan pemeriksaan kualitas air bersih. Seiring dengan kecenderungan peningkatan atas permintaan air siap minum, maka banyak sekali ditemukan produk air minum dalam kemasan 10 | Renstra Dinas Kesehatan Kota Semarang 2010-2015

Page 8: BAB II

ataupun air minum isi ulang. Pengawasan kualitas air minum produk ini harus rutin dilaksanakan pada berbagai depot isi ulang sebagai upaya pencegahan terjadinya kesakitan maupun penularan penyakit akibat kualitas air minum yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Berdasar pemeriksaan pada depot air minum isi ulang, kualitas air minum yang memenuhi syarat selama 2005-2009 memiliki kecenderungan penurunan meski pada tahun 2008 sedikit meningkat, yaitu berturut-turut : 90%, 69%, 68,3%, 73,68% dan 73%.Disamping persediaan air bersih dan air minum, keberadaan jamban dan pemanfaatannya juga merupakan barrier bagi penularan penyakit melalui fecal oral, berdasar data tahun 2005-2009, didapatkan pemanfaatan jamban oleh kepala keluarga di kota Semarang telah menunjukkan peningkatan secara signifikan yaitu berturut turut 82,12%, 85,65%, 94,15%,95% dan 95%.Air limbah rumah tangga dapat menjadi sumber penularan penyakit, hal ini dapat dicegah melalui suatu pengelolaan sederhana terhadap air limbah tersebut. Pengelolaan tersebut berupa saluran pembuangan air limbah (SPAL) yang memenuhi syarat kesehatan, dimana cakupannya mengalami peningkatan dari tahun 2005-2009, adalah sebagai berikut 70% dan 75,50%, 92,4%, 97,4% dan 97%. Berbagai upaya penyehatan lingkungan tersebut memerlukan kerjasama dan kontribusi lintas sektor terkait antara lain dinas pekerjaan umum, PDAM, berbagai pengembang perumahan dan lain-lain. Tempat-tempat umum dan tempat pengelolaan makanan perlu mendapat perhatian dan pengawasan sanitasi dari petugas kesehatan karena kedua tempat ini merupakan tempat berkumpulnya orang banyak yang rentan terhadap penularan berbagai penyakit. Berdasar profil kesehatan cakupan tempat umum dan tempat pengelolaan makanan sehat dari tahun 2005 sampai 2009 menunjukkan fluktuasi tercatat berturut-turut sebagai berikut : 71,5%, 82,23%, 73%, 83,75% dan 82,5%. Upaya penyehatan tempat pengelolaan makanan tidak hanya mengawasi sanitasi dan pengelolaan makanan di restoran, rumah makan serta PKL tetapi yang sangat mendesak dan penting adalah upaya pengawasan terhadap penggunaan bahan tambahan makanan yang dilarang.Pelayanan Kesehatan. Pembangunan kesehatan yang telah diselenggarakan dalam beberapa dekade telah berhasil menyediakan sarana pelayanan kesehatan. Pada saat ini untuk memenuhi pelayanan kesehatan dasar telah tersedia 37 puskesmas dimana 13 diantaranya telah ditingkatkan menjadi puskesmas perawatan yang memiliki sarana tempat tidur, 34 puskesmas pembantu dan 37 puskesmas keliling. Dengan demikian, maka rata-rata 1 kecamatan memiliki kurang lebih 2 puskesmas induk. Ratio puskesmas dan puskesmas pembantu terhadap jumlah penduduk sampai tahun 2009 tercatat 1: 20.487. Sampai tahun 2009, puskesmas yang memiliki kemampuan pelayanan gawat darurat telah mencapai 17 puskesmas. Selain pelayanan kesehatan dasar yang diselenggarakan oleh pemkot, swasta juga telah berperan serta dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar dalam bentuk Balai Pengobatan sebanyak 129 buah, Rumah Bersalin 26 buah, Balai 11 | Renstra Dinas Kesehatan Kota Semarang 2010-2015

Page 9: BAB II

Pengobatan Gigi 39 buah dan klinik 24 jam 14 buah dan klinik spesialis 10 buah.Selama 2005-2009, kunjungan rawat jalan maupun inap (pasien baru) di puskesmas menunjukkan fluktuasi. Kunjungan pasien rawat jalan pada tahun 2005 tercatat mencapai 899.065 jiwa, pada tahun 2006 mengalami peningkatan yaitu sebesar 1.005.919 jiwa. Pada dua tahun berikutnya (2007-2009) kunjungan pasien rawat jalan menjadi berturut turut 1.056.206 jiwa dan 1.550.045 jiwa dan 1.478.517 jiwa. Demikian halnya untuk kunjungan pasien rawat inap puskesmas terhadap jumlah penduduk juga berfluktuasi selama 2005-2009, yaitu berturut-turut : 0,26%, 0,33%, 0,29%, 0,32% dan 0,3%.Pelayanan gangguan jiwa di puskesmas selama 2005-2009, berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat, yaitu berturut-turut 0,14%, 0,12%, 0,14% dan 0,24% dari seluruh kunjungan pasien puskesmas.Untuk memenuhi hak-hak dasar masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, pada awal 2008, pemerintah kota mencanangkan puskesmas gratis bagi masyarakat kota Semarang. Dengan program ini diharapkan akan memperluas akses pelayanan kesehatan dasar sehingga makin banyak masyarakat yang memanfaatkan pelayanan di puskesmas. Disamping puskesmas gratis, untuk mewujudkan pelayanan kesehatan pada semua lapisan masyarakat, diluncurkan program jamkesmas oleh pemerintah pusat. Kota Semarang diberi quota sebesar 306.700 jiwa, untuk melayani masyarakat miskin yang tidak masuk quota tersebut maka pemerintah kota Semarang juga mengalokasikan anggaran untuk 192.285 jiwa. Pelayanan kesehatan ibu hamil (K-4) memperlihatkan kecenderungan meningkat dari tahun 2005-2009 terutama pada dua tahun terakhir. Hal ini terlihat dari pencapaian yaitu berturut-turut : 89,32%, 94,57%, 89,16%, 92,15% dan 94,03%. Persalinan oleh tenaga kesehatan juga meningkat secara signifikan terutama dua tahun terakhir yaitu berturut-turut 90,3%, 96,68%, 90,3%, 92,15% dan 97,89%. Pelayanan kesehatan pada bayi juga memperlihatkan kecenderungan peningkatan terutama pada dua tahun terakhir dari 2005-2009, hal ini ditunjukkan oleh kunjungan bayi yaitu : 92,9%, 94,39%, 92,9%, 106,8% dan 115,15%. Demikian juga dengan kunjungan neonatus : 90,74%, 96,9%, 95,5%, 97,9% dan 94,48%. Pelayanan deteksi dini tumbuh kembang balita dan anak prasekolah juga memperlihatkan peningkatan selama 2005-2009; 49,7%, 74,2%, 69%, 93,9% dan 121,6%. Sedangkan pelayanan pemeriksaan kesehatan siswa SD/MI dalam lima tahun terakhir ini telah mencapai 100%. Pelayanan kesehatan pada para lanjut usia pada 2005-2007 mengalami peningkatan yang cukup berarti tetapi dua tahun terakhir menunjukkan penurunan. Seperti yang terlihat berikut ini : 43,3%, 66,4%, 71,77% dan 67,12% dan 63,97%.Selama 2005-2009, pemberian imunisasi dasar lengkap pada bayi (DPT 3, polio 4 dan campak) menunjukkan fluktuasi. Cakupan imunisasi DPT 3 dari 2005-2009, berturut-turut : 85%, 103,13%, 92,37%, 106% dan 103%. Cakupan imunisasi polio 4 : 75%, 94,42%, 86,14%, 100% dan 102% . Sedangkan campak : 91,19%, 103,1%, 107%, 95,8% dan 105%. 12 | Renstra Dinas Kesehatan Kota Semarang 2010-2015

Page 10: BAB II

Dalam lima tahun terakhir (2005-2009), kelurahan-kelurahan yang telah mencapai UCI, dimana DPT 3, polio 4 dan campak ≥ 80% menunjukkan kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun yakni berturut-turut : 79,1%, 76,84%, 78,5%, 91% dan 98,9%. Pelayanan pada penderita kusta, tercermin pada indikator RFT rate. Selama 2005-2009, RFT rate baik tipe PB dan MB cenderung meningkat dalam dua tahun terakhir. Sedangkan Case Detection Rate TB menunjukkan kecenderungan peningkatan dalam dua tahun terakhir : 55,24%, 58%, 49,57%, 47% dan 50%. Pengobatan pada infeksi menular seksual selama 2005-2009 rata-rata telah mencapai 100%, kecuali tahun 2007 yang hanya mencapai 79%. Penemuan balita yang menderita pnemonia, selama 2005-2009 cenderung meningkat terutama dalam dua tahun terakhir yaitu berturut-turut : 16,84%, 35,02%, 31,4%, 33,5% dan 40,35%. Semua balita yang menderita pnemonia dalam kurun waktu tersebut telah mendapat pelayanan baik ditangani langsung oleh petugas puskesmas maupun dilakukan rujukan bagi pnemonia berat.Jumlah klien yang berkunjung ke klinik VCT selama 2005-2009, menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan meski terjadi penurunan pada tahun 2008. Tahun 2005 tercatat sebanyak 702 klien datang ke klinik, naik menjadi 3060 klien dan 5281 klien pada tahun 2006-2007. Pada 2008 jumlah klien yang datang sebanyak 5046 klien dan meningkat signifikan di tahun 2009 menjadi 7448 klien. Dari sejumlah klien yang datang tersebut, persentase klien yang memutuskan melakukan test HIV mengalami fluktuasi dan cenderung naik selama periode tersebut, yakni berturut-turut : 71,5%, 95,1%, 75,86%, 17% dan 92%.Pelayanan pemberantasan demam berdarah dapat dilihat dari fogging pada kasus yang dilakukan sesuai standar < 2 minggu, dimana selama 2006-2009 mengalami peningkatan terutama dalam setahun terakhir, yakni : 61,3%, 60%, 65% dan 72%. Disamping fogging, bentuk pelayanan pemberantasan demam berdarah adalah penyelidikan epidemiologi < 48 jam pada kasus demam berdarah, dimana selama 2005-2009 terlihat berfluktuasi; pada tahun 2005 tercatat 50,5%, kemudian turun tajam dalam dua tahun berikutnya menjadi 42,2% dan 1,6%. Pada tahun 2008 penyelidikan epidemiologi mengalami rebound mencapai 40% dan terus meningkat menjadi 46,7% di tahun 2009.Pelayanan pemberian 90 tablet Fe pada ibu hamil pada tahun 2005-2009 memperlihatkan fluktuasi. Tahun 2005, 79,3% ibu hamil telah menerima dan meningkat menjadi 91,5% pada tahun 2006. Tahun 2007 ibu hamil yang diberi tablet Fe-90 turun menjadi 88,9% yang kemudian naik lagi di tahun 2008 sehingga mencapai 92%. Pada tahun 2009 pemberian 90 tablet Fe pada ibu hamil naik menjadi 90,19%. Pemberian vitamin A 1 kali pada bayi selama 2005-2008 rata-rata sudah mencapai 100%, demikian halnya pemberian vitamin A 2 kali pada balita juga telah mencapai 100%. Sedangkan pemberian vitamin A pada ibu nifas selama empat tahun juga cenderung meningkat, dimana pada tahun 2005 tercatat 88,5% ibu nifas telah diberi vitamin A dan meningkat terus sampai 99% di tahun 2009.13 | Renstra Dinas Kesehatan Kota Semarang 2010-2015

Page 11: BAB II

Selama 2006-2009, semua bayi BGM dari keluarga miskin telah mendapat MP ASI, adapun jumlah bayi BGM gakin dari 2006-2008 berturut-turut sebesar : 143 bayi, 129 bayi, 60 bayi dan 26 bayi.Dipandang dari segi fisik persebaran sarana pelayanan kesehatan baik dasar maupun rujukan serta sarana kesehatan lainnya telah dapat dikatakan merata ke seluruh wilayah kota Semarang. Namun harus diakui bahwa persebaran fisik tersebut masih belum diikuti sepenuhnya dengan peningkatan mutu pelayanan.Mutu pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh kualitas sarana fisik, jenis tenaga yang tersedia, obat, alat kesehatan dan sarana penunjang lainnya. Pemerintah kota melalui Dinas kesehatan mempunyai komitmen yang tinggi berkaitan dengan peningkatan kualitas fisik sarana prasarana pelayanan kesehatan dasar dengan mengalokaikan anggaran tiap tahunnya untuk rehabilitasi, pemeliharaan gedung sarana pelayanan kesehatan dasar serta pengadaan berbagai alat kedokteran dan kesehatannya.Disamping itu, proses pemberian pelayanan juga telah lama mendapat perhatian dari Dinas Kesehatan mengingat pemberian pelayanan akan berdampak pada peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang langsung dirasakan masyarakat . Untuk menciptakan pelayanan yang memuaskan bagi masyarakat, Dinas Kesehatan Kota Semarang memulai dengan suatu akreditasi/penilaian mutu pelayanan puskesmas. Dengan akreditasi diharapkan akan memacu puskesmas untuk terus membenahi, melengkapi, meningkatkan kualitas diri menuju suatu excellent services. Hingga saat ini tiga buah puskesmas sudah mendapatkan ISO. Sesuai PP No 8/2003, tugas Dinas Kesehatan adalah melaksanakan kewenangan desentralisasi, dimana salah satu fungsinya menyelenggarakan pembinaan sesuai lingkup tugasnya, berkaitan dengan hal tersebut maka Dinas Kesehatan telah melakukan berbagai supervisi yang dimaksudkan untuk menjaga mutu pelayanan kesehatan di berbagai sarana pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan di kota Semarang.Kondisi geografis kota Semarang yang terdiri dari daerah perbukitan dan pantai menyebabkan Kota Semarang sangat rentan mengalami bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Bencana tersebut akan menimbulkan dampak negative terhadap kesehatan yang meliputi : korban massal, konsentrasi pengungsi, masalah pangan dan gizi, masalah air bersih, sanitasi lingkungan, pelayanan kesehatan lumpuh, vector control terganggu yang dapat menyebabkan penyakit menular serta munculnya post traumatic stress. Untuk menanggulangi berbagai masalah kesehatan akibat bencana alam tersebut dibutuhkan pelayanan kesehatan yang responsive dan efektif . Untuk itu dibutuhkan berbagai sarana dan peralatan yang memadai baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Dinas Kesehatan sebagai penanggungjawab masalah kesehatan ketika terjadi bencana alam hingga saat ini belum dilengkapi dengan sarana prasarana yang memadai guna melayani para korban bencana alam.Sumber Daya Manusia. Jumlah keseluruhan tenaga kesehatan yang bekerja di lingkungan Dinas kesehatan Kota Semarang tahun 2009 tercatat 1096 pegawai. Jumlah dokter 74 orang, dokter gigi 46 orang, SKM 37 orang, perawat 133 orang, bidan 157 orang, analis 40 orang, 14 | Renstra Dinas Kesehatan Kota Semarang 2010-2015

Page 12: BAB II

sanitarian 31 orang, gizi 48 orang. Di sisi lain ada bentuk partisipasi masyarakat dalam bidang kesehatan seperti kader posyandu, petugas pemantau jentik, pengawas minum obat bagi penderita TB, hanya jumlahnya masih terbatas dan perlu upaya peningkatan.Pembiayaan. Komitmen Pemerintah Kota Semarang terhadap pembangunan kesehatan sangat kuat, setidaknya hal ini terlihat dari alokasi anggaran untuk kesehatan dari tahun ke tahun yang terus meningkat meski diakui belum mencapai suatu jumlah anggaran yang ”ideal”. Tercatat prosentase anggaran untuk Dinas Kesehatan terhadap APBD kota Semarang mengalami peningkatan dari tahun 2005-2009 yaitu berturut-turut : 2,81%, 3,46%, 4.57%, 4.5% dan 5,14%. Berdasarkan kesepakatan bupati/walikota se-Indonesia pada tahun 2000 sektor kesehatan akan dialokasikan anggaran sebesar 15% dari APBD kab/kota. Meski alokasi anggaran kesehatan masih jauh dari 15% bukan berarti kinerja pelayanan juga rendah dalam pencapaian SPM. Jajaran kesehatan telah menyadari pentingnya konsep keterpaduan dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan sehingga hasil yang dicapai bisa optimal.Obat dan Perbekalan Kesehatan. Seperti diketahui obat dan perbekalan kesehatan adalah kebutuhan yang sangat penting dalam proses pengobatan. Oleh karena itu obat dan perbekalan kesehatan sebagai barang publik harus dijamin ketersediaanya, terjangkau dan terdistribusi secara merata. Ketersediaan obat sesuai kebutuhan medis masyarakat selama 2005-2009, menunjukkan trend yang meningkat, yaitu berturut-turut : 83,72%, 94,5%, 94,2%, 100% dan 100%. Untuk menjamin mutu obat, Dinkes telah melakukan pengawasan ke berbagai sarana distribusi obat. Pengawasan dan monitoring pengelolaan obat sampai tahun 2009 dilakukan pada 150 apotek, 40 toko obat, 25 BP/RB, 35 toko kosmetik/salon dan 10 buah industri kecil obat tradisional serta 24 rumah sakit. Manajemen Kesehatan. Seiring dengan diberlakukannya desentralisasi membawa konsekuensi baru bagi daerah dalam proses perencanaannya. Era desentralisasi memberi wewenang pada daerah untuk membuat perencanaan kegiatan pembangunan yang bersifat lokal spesifik dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki sehingga mampu menjawab segala persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Di satu sisi aparatur daerah harus mampu membuat perencanaan yang mampu menunjang pelaksanaan kegiatan pembangunan tetapi disisi lain terdapat kegamangan dan ketidakpercayaan diri dari aparat daerah, maka diperlukan suatu peningkatan kapasitas (capacity building) dalam proses perencanaan. Dinas Kesehatan telah menyadari berkenaan dengan permasalahan ini. Untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan aparatur kesehatan dalam perencanaan, Dinas Kesehatan telah melaksanakan pelatihan perencanaan dan penganggran kesehatan terpadu dimana pada tahun 2009 ditargetkan semua petugas perencana di lingkungan Dinas Kesehatan maupun puskesmas telah selesai mengikuti pelatihan ini.Sistem informasi kesehatan merupakan bagian manajemen kesehatan. Keberhasilan manajemen kesehatan ditentukan oleh ketersediaan data dan informasi yang cepat, tepat dan akurat. Untuk mencapai hal tersebut, 15 | Renstra Dinas Kesehatan Kota Semarang 2010-2015

Page 13: BAB II

sistem informasi kesehatan wajib menggunakan jasa teknologi informasi sehingga akan mempermudah pengelolaan data yang pada akhirnya pengambilan keputusan oleh manajemen kesehatan telah berbasis pada bukti/data (evidence based). Untuk mewujudkan hal tersebut sejak 2003 Dinas Kesehatan mulai mengembangkan sistem informasi kesehatan yang bertujuan mengakomodir data dan informasi kesehatan yang akurat, tepat dan cepat dengan mendayagunakan teknologi informasi Sampai tahun 2009 telah dikembangkan berbagai sub sistem untuk mendukung berjalannya sistem informasi kesehatan, diantaranya mengembangkan Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS), Sistem Informasi (software) beberapa program Dinas Kesehatan, Local Area Network (LAN) dan Website Dinas kesehatan. Software program. LAN dan Website telah selesai dikerjakan dan dapat dioperasionalkan. Mengingat peran penting SIMPUS dalam mendukung sistem informasi kesehatan di Kota Semarang, maka berbagai langkah-langkah perbaikan wajib dilakukan sebagai upaya munuju tersedianya data dan informasi kesehatan yang akurat, lengkap, terpercaya dan dapat diakses dengan cepat.Disamping pengembangan software, Dinas Kesehatan juga melakukan pembangunan infrastruktur berupa pembangunan antenna wireless, dimana nantinya diharapkan antar instansi kesehatan di lingkungan pemerintah kota Semarang (Dinas Kesehatan, Puskesmas, Instalasi Perbekalan Farmasi dan RSUD) akan saling terhubung/online. 2.3.2 Analisis Kinerja Pelayanan

Analisis yang dilakukan disini adalah dengan melakukan berbagai perbandingan atas capaian kinerja berbagai indicator SKPD pada dokumen renstra sebelumnya (2005-2009) dengan antara lain : target indicator kinerja renstra 2005-2009, target Standar Pelayanan Minimal, target indicator Millenium Development Goals (MDGs), target renstra Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2005-2009, target renstra Depkes 2005-2009 dan target beberapa indicator yang telah dikembangkan SKPD secara mandiri. Renstra 2005-2009. Secara umum dapat dikatakan bahwa capaian berbagai indicator didalam renstra 2005-2009 telah mencapai target, namun demikian masih terdapat beberapa indicator yang belum mencapai target. Untuk melihat indicator yang belum mencapai target dilakukan dengan membandingkan antara capaian kinerja dan target untuk tiap tahunnya, sehingga didapatkan rasio capaian kinerja tiap indicator. Berikut table 4 yang memperlihatkan beberapa indicator yang rasionya belum mencapai 100% (belum sesuai target yang ditetapkan). Tabel 4Pencapaian Beberapa Indikator Renstra 2005-2009

N Indikator Sat Rasio Capaian Kinerja 16 | Renstra Dinas Kesehatan Kota Semarang 2010-2015

Page 14: BAB II

o 2005 2006 2007 2008 20091 Kasus DBD yg dilakukan PE < 48 jam % 126.4 93.8 3.2 72.7 77.82 Incident rate DBD /10.000 pend 108.9 131 101 19.6 603 Penemuan kasus TB BTA + % 110 118 89.1 85.5 83.34 Kesembuhan penderita TB % 92.9 82.3 78.8 87.0 74.15 Angka kesakitan pnemoni balita /10.000 blt - 145 102 104 84.76 Prevalensi HIV-AIDS /10.000 pend - 85.0 70.0 50.0 20.07 Deteksi risti oleh nakes % 65.1 75.0 78.8 90.3 96.58 Deteksi risti oleh masyarakat % 63.9 71.0 75.3 87.2 83.09 Ibu hamil risti dirujuk % - 74.3 61.8 47.5 35.811 Bayi mendapat ASI eksklusif % - - - 53.2 60.112 Kualitas air minum memenuhi syarat % 115.4 86.9 84.5 87.6 87.3Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tidak tercapainya target dari indicator-indikator terkait adalah sebagai berikut : 1). Kasus DBD yang dilakukan penyelidikan epidemiologi < 48 jam ; kurangnya tenaga epidemiologis, IT DBD belum berfungsi optimal, laporan dari RS tidak jelas lamatnya, masyarakat ada yang menolak penyelidikan epidemiologi. 2). Incident rate DBD ; Partisipasi masyarakat dalam PSN masih kurang yang ditunjukkan melalui ABJ yang masih dibawah 95%. 3). Penemuan kasus TB BTA ; pelaporan kasus dari beberapa RS belum tepat waktu, terdapat beberapa praktek dokter, klinik/balai pengobatan belum ikut berpartisipasi. 4). Kesembuhan penderita TB ; Penderita dari RS banyak yang drop out, sebagian penderita tidak dating ketika dilakukan pemeriksaan sputum diakhir pengobatan. 5). Prevalensi HIV-AIDS ; penggunaan kondom di kalangan risiko tinggi belum mencapai 100% di lokalisasi, perilaku kelompok risti (penjaja seks, pemakai napsa suntik, waria, gay, warga binaan) mempunyai potensi menularkan, sosialisasi HIV-AIDS belum dapat menyentuh kelompok pelanggan seks. 6). Deteksi risti oleh nakes dan masyarakat ; sebagian besar ibu hamil berisiko langsung periksa ke RS dan dokter spesialis. Dari data diatas tampak terdapat peningkatan secara konsisten deteksi risti oleh nakes. 7). Ibu hamil risti dirujuk ; sebagian besar kasus telah dapat ditangani oleh puskesmas PONED, beberapa kasus telah diberi surat rujukan ke RS PONEK namun keluarga tidak membawanya ke RS. 8). Bayi mendapat ASI eksklusif ; RS mempromosikan susu formula, banyaknya ibu menyusui yang telah bekerja. 9). Kualitas air minum memenuhi syarat ; pengetahuan pengusaha depot air minum masih rendah mengenai air minum yang memenuhi syarat.Terdapat beberapa indicator yang telah mencapai 100% namun secara serial 5 tahun mempunyai kecenderungan menurun, yaitu IR DBD, Penemuan kasus TB dan Angka kesakitan pneumonia balita. Untuk melihat target, kinerja dan rasio capaian kinerja semua indicator, dapat dilihat pada lampiran.

17 | Renstra Dinas Kesehatan Kota Semarang 2010-2015

Page 15: BAB II

Standart Pelayanan Minimal. SPM digunakan untuk mengukur kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat. SPM bidang kesehatan telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan No 828 tahun 2008, dimana target waktu pencapaiannya ada yang ditetapkan tiap tahun, 2010 dan 2015. Berdasar pengamatan, target pada indicator kinerja SPM telah dicapai oleh Dinas Kesehatan Kota Semarang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table 5 berikut :Tabel 5Pencapaian Indikator SPM tahun 2005-2009

No Indikator SatTarget SPM Kinerja SKPD

Th Jml 2005 2006 2007 2008 20091 Penderita DBD yg ditangani % Tiap th 100 100 100 100 100 1002 Penemuan kasus TB BTA + % Tiap th 100 55 59 49 47 503 Balita dgn pnemoni yg ditangani % 2010 100 100 100 100 100 1004 Penderita diare yg ditangani % 2010 100 100 100 100 100 1005 AFP rate / 100.000 pend < 15 th Tiap th ≥ 2 0.63 2 3.14 4 2.36 Kunjungan ibu hamil K4 % 2015 95 89.32 94.5 89.1 92.1 947 Komplikasi kebidanan ditangani % 2015 80 61.7 72.8 35.78 Pertolongan persalinan olehnakes % 2015 90 90.3 97.2 90.1 92.1 96.69 Pelayanan nifas % 2015 90 24.810 Neonatus komplikasi ditangani % 2010 80 100 100 100 100 10011 Kunjungan bayi % 2010 90 92.2 100 92.9 105 12112 Kelurahan UCI % 2010 100 79.1 76.8 78.5 91 98.913 Pelayanan anak balita % 2010 9014 Pemberian mkn pendamping ASI % 2010 100 100 100 100 100 10015 Balita gibur dirawat % 2010 100 100 100 100 100 10016 Penjaringan kesehatan siswa SD % 2010 100 100 100 100 100 10017 Peserta KB aktif % 2010 70 78.8 78.8 77.4 79.5 78.918 Pelayanan kesh dasar maskin % 2015 100 34.7 16.719 Pelayanan kesh rujukan maskin % 2015 100 81.5 6620 Pelayanan gadar level 1 % 2015 100 100 100 100 100 10021 Kelurahan KLB ditangani < 24 jam % 2015 10022 Kelurahan siaga aktif % 2015 80

Berdasar table 5 perbandingan diatas, terlihat bahwa sebagaian besar indicator SPM telah tercapai targetnya, meskipun target pencapaiannya berada di 2010 dan 2015. Namun demikian memang terdapat beberapa 18 | Renstra Dinas Kesehatan Kota Semarang 2010-2015

Page 16: BAB II

indicator yang belum mencapai target pada waktunya. Penemuan kasus TB BTA positif selama lima tahun rata-rata hanya mencapai 50% dari target pencapaian tiap tahunnya 100%. Kelurahan UCI memiliki kecenderungan yang meningkat dan diharapkan pada 2010 telah mencapai 100%. Millenium Development Goals. MDGs merupakan paradigma pembangunan global yang disepakati secara internasional oleh 189 negara anggota PBB. Kesepakatan ini didasari kenyataan bahwa pembangunan yang hakiki adalah pembangunan manusia. Ini merupakan paradigm yang harus menjadi landasan pelaksanaan pembangunan negara-negara yang menyepakati deklarasi millennium tersebut. Laporan perkembangan pencapaian MDGs untuk kota Semarang 2005-2009 seperti dalam table 6 berikut :Table 6Pencapaian berbagai Indikator MDG’s Kota Semarang Tahun 2005-2009

No Tujuan Target Indikator Capaian2005 2006 2007 2008 20091 Menanggulangi kelaparanMenurunkan proporsi penduduk yg menderita kelaparan mjd setengahnya dlm 1990-2015

a. % anak balita gizi burukb. % anak balita gizi kurang

0.9411.09

1.7314

1.6815.19

1.6913.8

1.628.62

2 Menurunkan angka kematian anakMenurunkan angka kematian balita sebesar 2/3 nya dlm 1990-2015

a. Angka kematian bayi/1000 KHb. Angka kematian balita/1000 KHc. % anak 12-23 bl diimunisasi campak

181.12

19.72.98

18.684.53

19.73.97

18.64.9

3 Meningkatkan kesehatan ibuMenurunkan angka kematian ibu nya dlm¾ 1990-2015

a. Angka kematian ibu melahirkan /100.000 KHb. % kelahiran yg ditolong nakes

67.0290.3

61.296.6

80.290.3

10792.1

85.496.6

4 Memerangi HIV/AIDS & penyakit menular laina. Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS & menurunnya jml kasus baru pd 2015b. Mengendalikan penyakit malaria &

a. Prevalensi HIV/AIDS per 10000 penddka. Prevalensi malaria/1000

-

1.15

-

1.3

-

2

-

2.1

-

19 | Renstra Dinas Kesehatan Kota Semarang 2010-2015

Page 17: BAB II

mulai menurunnya jml kasus malaria & penyakit lainnya pd 2015

penddkb. Prevalensi TB/100.000 penddkc. % penemuan pasien TB barud. % keberhasilan pengobatan TBe. Incident rate DBD

57.25579

16.4

62.8597013

51.354967

19.64

50.6477436

52.15063

27.3

Gizi buruk. Persentase balita yang menderita gizi buruk dan kurang selama 5 tahun terakhir (2005-2009) memperlihatkan kecenderungan penurunan. Bila dibandingkan dengan prevalensi gizi buruk tingkat provinsi Jawa Tengah yang mencapai 0,17% maka capaian prevalensi gizi buruk di kota Semarang lebih tinggi. Faktor-faktor yang terkait dengan status gizi balita sangat kompleks dan bukan merupakan tanggung jawab sector kesehatan semata. Penyebab prevalensi gizi buruk atau kurang secara garis besar dikarenakan : Pertama, penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Penyebab gizi kurang tidak hanya disebabkan makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang baik tetapi karena sering sakit diare atau demam  dapat menderita kurang gizi. Demikian pada anak yang makannya tidak cukup baik maka daya tahan tubuh akan melemah dan mudah terserang penyakit. Kenyataannya baik makanan maupun penyakit secara bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi. Kedua, penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan waktunya, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental, dan sosial. Pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh seluruh keluarga. Faktor-faktor tersebut sangat terkait dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan keluarga. Makin tinggi pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak dan keluarga makin banyak memanfaatkan pelayanan yang ada. Ketahanan pangan keluarga juga terkait dengan ketersediaan pangan, harga pangan, dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan.Angka kematian bayi di kota Semarang memperlihatkan fluktuasi dan cenderung konstan, bila dibandingkan pencapaian provinsi yang mencapai 9,17/1000 KH maka angka kematian bayi kota Semarang tercatat 2 kali lipat lebih besar. Angka kematian bayi di kota Semarang didapatkan melalui survey rutin tahunan yang tidak hanya mengandalkan pada laporan puskesmas saja melainkan, petugas turun mencari data di 24 rumah sakit 20 | Renstra Dinas Kesehatan Kota Semarang 2010-2015

Page 18: BAB II

dan beberapa balai pengobatan swasta. Disamping sarana pelayanan kesehatan tersebut , petugas juga melacak data kematian bayi di 177 kelurahan melalui otopsi verbal. Penyebab utama kematian bayi berdasar survey kesehatan rumah tangga (SKRT) adalah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), komplikasi perinatal, diare, tetanus neonatorum, saluran cerna dan penyakit saraf. Tingginya kematian anak pada usia hingga satu tahun sepertiganya terjadi dalam satu bulan pertama setelah kelahiran dan sekitar 80% kematian neonatal ini terjadi pda minggu pertama. Untuk itu Dinas Kesehatan Kota Semarang melakukan berbagai upaya yang dititik beratkan pada : 1). Peningkatan status kesehatan ibu dan bayi baru lahir, 2) Peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi khususnya pada masa persalinan dan segera sesudahnya, 3). Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat ibu hamil dan keluarga dan masyarakat. 4). Peningkatan pelayanan persalinan yang aman dan perkembangan dini anak. 5) Peningkatan sinkronisasi dan koordinasi antar program, instansi, swasta dan lembaga swadaya masyarakat. Penyebab langsung kematian bayi sebenarnya relative dapat ditangani secara mudah dibandingkan upaya untuk meningkatkan perilaku masyarakat dan keluarga yang dapat menjamin kehamilan, kelahiran dan perawatan bayi baru lahir yang lebih sehat. Tantangannya adalah bagaimana memperbaiki perilaku keluarga dan masyarakat terutama perilaku hidup bersih sehat termasuk memperbaiki akses, memperkuat mutu manajemen terpadu penyakit bayi dan balita, memperbaiki kesehatan lingkungan (air bersih dan sarana sanitasi), pengendalian penyakit menular dan pemenuhan gizi yang cukup. Sedangkan angka kematian balita di kota Semarang bila dibandingkan dengan provinsi tercatat lebih rendah, dimana pada tahun 2009 angka kematian balita provinsi Jawa Tengah mencapai 10,34/1000 KH.Angka kematian ibu melahirkan. Angka kematian ibu melahirkan di kota Semarang terlihat berfluktuasi dimana pada tahun 2008 mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Secara keseluruhan bila dibandingkan dengan pencapaian tingkat provinsi Jawa Tengah KH yang mencapai 114/100.000 KH maka angka kematian ibu kota Semarang terlihat jauh lebih rendah.Prevalensi HIV-AIDS. Dari table diatas tampak bahwa jumlah kasus HIV/AIDS memilki kecenderungan meningkat dari 2005-2009. Dari data tahun 2009, jumlah kasus HIV/AIDS di kota Semarang tercatat sebanyak 323 kasus dan angka ini merupakan yang tertinggi di Jawa Tengah yang tercatat 573 kasus. Meningkatnya penderita HIV + selama 5 tahun terakhir disebabkan : 1). Perilaku sex yang aman pada populasi risiko tinggi ( WTS, pelanggan, waria, gay, pengguna napza suntik) masih rendah. 2). Rendahnya cakupan penjangkauan pada populasi risiko tinggi. Penjangkauan ini adalah pemberian informasi mengenai HIV dan populasi risti untuk melakukan pemeriksaan kesehatnnya ke klinik VCT, IMS, PMTCT dan metadon. 3). Adanya stigma negative dan diskriminasi pada orang dengan HIV-AIDS (ODHA) sehingga mereka enggan untuk mengakses berbagai fasilitas pelayanan kesehatan HIV-AIDS. 4). Belum semua lintas sector terkait terlibat dalam penanggulangan HIV-AIDS. Upaya yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Semarang dalam pencegahan dan pemberantasan HIV-AIDS : Desiminasi informasi dan komunikasi perubahan 21 | Renstra Dinas Kesehatan Kota Semarang 2010-2015

Page 19: BAB II

perilaku pada masyarakat umum dan populasi risti, Pendirian klinik VCT (Voluntary Counceling & Testing), Pendirian klinik IMS (Infeksi Menular Seksual), Pendirian klinik CST (Care, Support and Treatment), Pendirian klinik PMTCT (Prevention Mother to Child Transmision), Penggunaan kondom 100% pada populasi risti, Penyuluhan dan komunikasi public, Pelaksanaan harm reduction (pengurangan dampak buruk narkoba).TB Paru. Jumlah penderita TB paru di kota Semarang dalam 5 tahun terakhir (2005-2009) memiliki kecenderungan yang meningkat. Upaya penanggulangan TB paru terlihat dari 2 indikator yaitu penemuan penderita/kasus TB (CDR) dan kesembuhan penderita TB. Penemuan kasus TB di kota Semarang selama 5 tahun terakhir rata-rata hanya 52% dan masih dibawah target 70%. Namun bila dibandingkan dengan CDR provinsi Jawa Tengah tahun 2009 yang mencapai 48,2%, CDR kota Semarang masih lebih tinggi untuk tiap tahunnya. Dengan makin tingginya CDR diharapkan akan makin banyak penderita TB yang terdeteksi untuk selanjutnya dilakukan pengobatan sehingga tidak menjadi sumber penularan TB.

22 | Renstra Dinas Kesehatan Kota Semarang 2010-2015