BAB II
-
Upload
leia-kirei -
Category
Documents
-
view
105 -
download
0
Transcript of BAB II
5/15/2018 BAB II - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-55ab4e239e6e9 1/20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Hipertensi
2.1.1. Definisi Hipertensi
Definisi hipertensi yaitu tekanan darah sistolik (TDS) > 140 mmHg dan/ tekanan
darah sistolik (TDD) > 90 mmHg (Kuswardhani, 2005). Selain itu hipertensi juga bisa
didefinisikan keadaan dimana kenaikan tekanan darah arterial sistemik ditandai dengan
kenaikan curah jantung (cardiac output) atau tahanan periferal vascular yang melibatkan
multifaktorial penyebabnya (Brunner & Suddarth, 2009).
2.1.2. Klasifikasi Hipertensi
2.1.2.1 Berdasarkan penyebab dikenal dua jenis hipertensi, yaitu :
Hipertensi primer (esensial) Adalah suatu peningkatan persisten tekanan arteri
yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme kontrol homeostatik normal, Hipertensi
ini tidak diketahui penyebabnya dan mencakup ± 90% dari kasus hipertensi (Wibowo,
1999). Hipertensi sekunder Adalah hipertensi persisten akibat kelainan dasar kedua
selain hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya diketahui dan ini menyangkut +
10% dari kasus-kasus hipertensi. (Sheps, 2005).
Klasifikasi hipertensi menjadi beberapa kategori :
Kategori diagnostic Sistolik (mmHg) diastolik(mmHg)
Normal <120 <80
Normal-tinggi 120 –139 80 –89
Tingkat 1 (hipertensi
ringan)
140 –159 90 –99
Tingkat 2 (hipertensi
sedang)
160 –179 100 –109
Tingkat 3 (hipertensi berat) ≥ 180 ≥ 110
Hipertensi sistolik terisolasi ≥ 140 < 90
(Guide to management of hypertension 2008)
5/15/2018 BAB II - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-55ab4e239e6e9 2/20
Menurut Report of the Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment
of High Blood Pressure (JNC VII,2003) hipertensi diklasifikasikan menjadi beberapa
kategori, yaitu :
Klasifikasi tekanan darah Tekanan sistolik dan diastolic
Normal <120 dan <80
Pre hipertensi 120 –139 atau 80-89
Hipertensi tahap 1 140 –159 atau 90-99
Hipertensi tahap 2 ≥ 160 atau ≥ 100
2. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal, terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab
spesifiknya diketahui seperti : penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi
vaskular, renal hiperaldosteronisme primer, sindroma cushing, teokromositoma,
koarktasi aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan dan lain-lain (Tjay,
2002). Hipertensi yang disebabkan oleh penyakit ginjal adalah akibat kekacauan
volume ginjal atau perubahan sekresi bahan vasa aktif oleh ginjal mengakibatkan
perubahan sistemik atau lokal dalam tonus arteriolar (Harrison, 2000). Hipertensi
endokrin merupakan gambaran abnormalitas kortek adrenal (Harrison, 2000).
Aldosteron menyebabkan retensi natrium yang merangsang pertukaran natrium
dengan kalium pada tubulus renal. Efek retensi natrium dan ekspansi volume secara
kronik menekan aktifitas rennin plasma. Aldosteronisme primer dapat juga
disebabkan oleh adenoma kortek adrenal tunggal atau hiperplasia kortek adrenal
bilateral, dan berkaitan dengan peningkatan natrium tubuh dan penurunan aras
kalium dalam plasma (Anonim, 2001).
2.1.3. Manifestasi Klinis
Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah
yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan,
eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat,
edema pupil (edema pada diskus optikus). Individu yang menderita hipertensi kadang
tidak menampakan gejala sampai bertahun-tahun. Gejala bila ada menunjukan adanya
kerusakan vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem organ yang
divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Perubahan patologis pada ginjal
5/15/2018 BAB II - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-55ab4e239e6e9 3/20
dapat bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) dan
azetoma [peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin]. Keterlibatan pembuluh
darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang
bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi (hemiplegia) atau gangguan
tajam penglihatan (Wijayakusuma,2000 ).
Gejala Klinis Hipertensi Menurut Elizabeth J. Corwin,2001, sebagian besar tanpa
disertai gejala yang mencolok dan manifestasi klinis timbul setelah mengetahui
hipertensi bertahun-tahun berupa:
a. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat tekanan
darah intrakranium.
b. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi.
c. Ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan syaraf.
d. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus.
e. Edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler.
Gejala lain adalah sakit kepala, epistaksis, marah, telinga berdengung, rasa
berat ditengkuk, sukar tidur, mata berkunangkunang dan pusing, perasaan berputar
serasa ingin jatuh, detak jantung terasa cepat (Mansjoer, 2001 ; Xianglah et al., 2005).
Pada survei hipertensi di Indonesia oleh Sugiri,dkk (1995), tercatat gejala-gejala
sebagai berikut : pusing, mudah marah, telinga berdengung, sesak nafas, rasa berat di
tengkuk, mudah lelah dan mata berkunang-kunang serta sukar tidur merupakan gejala
yang banyak dijumpai
2.1.4. Patofisiologi Hiperensi
1. Ekskresi natrium dan air oleh ginjal
Na+ akan difiltrasi dalam jumlah besar tetapi akan mengalami transport aktif di
semua bagian tubulus kecuali di bagian tipis ansa henle. Pada keadaan normal, 96%-
99% Na+ yang difiltrasi akan direabsorbsi. Karena Na+ merupakan kation terbanyak
dalam cairan ekstraseluler dan karena garam natrium membentuk lebih dari 90% zat
terlarut yang secara osmotic aktif dalam plasma dan cairan intersisial, jumlah Na+ dalam
tubuh menentukan volume cairan ekstraseluler. (Ganong, 2008).
Rumus dasar tekanan darah adalah curah jantung dikali tahanan perifer, jika
terjadi peningkatan tahanan perifer total, maka akan meningkatkan tekanan darah. Bila
5/15/2018 BAB II - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-55ab4e239e6e9 4/20
ginjal berfungsi normal, ginjal akan merespon kenaikan ini dengan dengan pressure
dieresis dan pressure natriuresis. Dalam beberapa jam setelah kenaikan tekanan darah
akut, ginjal akan terus meningkatkan ekskresi air dan garam sampai tekanan darah
kembali ke rentang normal. Mekanisme ini bisa terjadi jika tidak ada peningkatan
tahanan vaskuler dalam ginjal. Namun jika peningkatan tahanan perifer juga mengenai
vaskuler ginjal, akan terjadi pergeseran kurva fungsi ginjal ke level tekanan yang lebih
tinggi. Fenomena ini merupakan mekanisme dasar dari hipertensi renal. (M. Rasjad,
2007).
Di sisi lain, peningkatan asupan garam (NaCl) juga dapat meningkatkan tekanan
darah jauh lebih tiinggi dari akibat peningkatan asupan air. Ini terjadi karena,
peningkatan asupan air dapat segera diekskresi oleh ginjal, sedangkan ekskresi garam
tidak semudah itu. Timbunan garam dalam tubuh secara tidak langsung juga
meningkatkan volume cairan tubuh melalui. (M. Rasjad, 2007).
a. Peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel yang merangsang pusat haus
sehingga meningkatkan asupan air melalui minum untuk mengembalikan kadar
garam ekstrasel ke normal. Hal ini menyebabkan kenaikan volume cairan ekstrasel.
b. Peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel akibat kelebihan garam juga
merangsang sekresi ADH hipofise posterior. Selanjutnya ADH akan meningkatkan
reabsorbsi air di tubulus renalis sehingga menurunkan volume urine dan
meningkatan cairan ekstrasel tubuh. (M. Rasjad, 2007).
2. Kepekaan baroreseptor
Baroreseptor adalah reseptor regang di dinding jantung dan pembuluh darah.
Reseptor sinus karotikus dan arkus aorta memantau sirkulasi arteri. Reseptor juga
terletak di dinding atrium kanan dan kiri pada tempat masuk vena cava superior dan
inferior serta vena pulmonalis, juga di sirkulasi paru. Reseptor di bagian tekanan
rendah ini disebut sebagai reseptor kardiopulmonal. Baroreseptor dirangsang oleh
regangan struktur tempat dia berada sehingga baroreseptor itu melepas impuls dengan
kecepatan tinggi ketika tekanan dalam struktur ini meningkat. Serabut aferennya
melintasi nervus glossofaringeus dan vagus ke medula oblongata. Kebanyakan serabut
ini berakhir ke nukleus traktus solitaries (NTS) dan neurotransmitter eksitatorik yang
dikeluarkannya. Mungkin adalah glutamate. Proyeksi eksitatorik, mungkin bersifat
glutaminergik, berjalan dari NTS ke medula ventrolateral intermedia dan kaudal, tempat
proyeksi itu merangsang neuron inhibitorik penghasil-GABA yang berproyeksi ke
medula ventrolateral rostral. Proyeksi eksitatorik yang mungkin bersifat polineural juga
5/15/2018 BAB II - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-55ab4e239e6e9 5/20
berjalan dari NTS ke neuron motorik vagus di nucleus motorik dorsal dan nucleus
ambigus. Jadi, peningkatan pelepasan impuls baroreseptor menghambat pelepasan
impuls tonik saraf vasokonstriktor dan menggiatkan persarafan vagus jantung yang
menyebabkan vasodilatasi, venodilatasi, penurunan tekanan darah, bradikardia, dan
penurunan curah jantung. (Ganong, 2008).
Kegagalan pertama pada sistem pengendalian tekanan darah adalah
karena tidak berfungsinya refleks baroreseptor ataupun refleks kemoreseptor,
sehingga pusat vasomotor di batang otak menjadi hiperaktif. Dan melalui saraf
simpatis ke jantung, akan mempengaruhi isi sekuncup dan denyut jantung atau
frekuensinya dan di lain pihak pada pembuluh darah menyebabkan perubahan
diameter, sehingga tahanan perifer meningkat. Meningkatnya tekanan darah ini
dapat berupa kenaikan sistolik dan/atau disertai kenaikan tekanan diastolik. Dan
kenaikan tekanan darah ini kemudian memberikan dampak pada perubahan
fungsi sekr es i renin-angiotensin dengan segala akibatnya.
3. Respon vascular
Perangsangan sistem saraf simpatis tidak hanya langsung menyebabkan
penggiatan saraf dari pembuluh darah dan jantung, tetapi juga menyebabkan pelepasan
norepinefrin dan epinefrin oleh medula adrenal ke dalam peredaran darah. Kedua
hormon tersebut beredar ke semua bagian tubuh dan pada dasarnya menyebabkan efek
pada sistem sirkulasi yang sama seperti perangsangan simpatis secara langsung. Jadi,
mereka merangsang jantung, mereka menyempitkan kebanyakan pembuluh darah, dan
mereka menyempitkan vena- vena.
Oleh karena itu, berbagai refleksi yang mengatur tekanan arteri dengan
merangsang sistem saraf simpatis menyebabkan tekanan meningkat dengan dua cara:
dengan perangsangan sirkulasi secara langsung dan dengan perangsangan tidak
langsung melalui pelepasan norepinefrin dan epinefrin ke dalam darah (Guyton, 2008)
4. Sekresi renin
Selain melalui peningkatan absorbs Na+ dan air. Ginjal juga bisa mengendalikan
tekanan darah dengan sistem renin-angiotensi-aldosteron (M. Rasjad, 2007).
Ketika terjadi penurunan tekanan darah, ginjal akan menyeskresikan enzim renin
yang kemudian dalam darah akan merubah angiotensin menjadi sngiotensin I dengan
efek vasokontriksi yang lemah, kemudian angiotensin I akan berubah menjadi
angiotensin II dengan melepas dua gugus amino, angiotensin II ini memiliki efek
vasokontriksi yang lebih tinggi. Karena efek vasokontrisi yang diberikan oleh
5/15/2018 BAB II - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-55ab4e239e6e9 6/20
angiotensin inilah, maka tahanan perifer pembuluh darah lebih tinggi sehingga terjadi
peningkatan tekanan darah.Jika terjadi hipertensi, maka sekresi renin oleh ginjal akan
terhenti atau dikurangi. (M. Rasjad, 2007).
Ginjal juga dapat melakukan pengendalian tekanan darah melalui sekresi
aldosteron oleh angiotensin II, aldosteron ini akan meningkatkan reabsorbsi Na+ dan air
di ginjal, sehingga volume urine yang dihasilkan akan sedikit dan cairan ekstraseluler
tinggi. Hasilnya adalah terjadi peningkatan tekanan darah. (M. Rasjad, 2007).
2.1.6. Faktor Risiko Hipertensi
Hipertensi adalah penyakit yang timbul karena berbagai macam faktor risisko.
Factor risiko ini hipertensi dibagi menjadi dua yaitu : faktor risiko yang dapat dikontrol
dan faktor risiko yang tidak dapat dikontrol. Dibawah ini merupakan faktor risiko yang
menyebabkan hipertensi
2.1.6.1 Usia
Pertambahan usia mengakibatkan berbagai perubahan fisiologis dalam tubuh
seperti penebalan dinding arteri akibat penumpukan zat kolagen pada lapisan otot,
sehingga pembuluh darah akan berangsur-angsur menyempit dan menjadi kaku yang
dimulai pada usia 45 tahun. Selain itu juga terjadi peningkatan resistensi perifer dan
aktivitas simpatik serta kurangnya sensitivitas baroreseptor (pengatur tekanan darah)
dan peran ginjal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus menurun (Kumar, et al ,
2005).
2.1.6.2 Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria hampir sama dengan wanita. Namun,
wanita terlindung dari penyakit kardiovaskular sebelum menopause. Wanita yang belum
mengalami menopause dilindungi oleh hormone estrogen yang berperan dalam
meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kdat kolesterol HDL yang tinggi
merupakan factor pelindung dalam mencegah terjdinya proses aterosklerosis. Namun
pada masa pramenopause wanita mulai kehilangan hormone estrogen sehingga pada
usia 45-55 tahun prevalensi hipertensi pada wanita menjadi lebih tinggi (Kumar, et al ,
2005).
5/15/2018 BAB II - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-55ab4e239e6e9 7/20
2.1.6.3 Faktor Genetik
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga itu
mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar
sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potassium terhadap sodium. Individu
dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk
menderita hipertensi daripada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat
hipertensi. Selain itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat
hipertensi dalam keluarga (Rohaendi, 2008)
2.1.6.4 Etnis
Hipertensi lebih banyak terjadi pada orang berkulit hitam daripada orang berkulit
putih. Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti penyebabnya. Namun, pada orang
kulit hitam ditemukan kadar renin yang lebih rendah dan sensitivitas vasopressin lebih
besar (Armilawaty, 2007).
2.1.6.5 Obesitas
Obesitas merupakan keadaan kelebihan berat badan sebesar 20% atau
lebih dari berat badan ideal. Obesitas mempunyai korelasi positif dengan
hipertensi. Anak-anak remaja yang mengalami kegemukan cenderung
mengalami hipertensi. Ada dugaan bahwa berat badan normal relatif sebesar
10% mengakibatkan tekanan darah 7 mmHg. Penyelidikan epidemiologi
membuktikan bahwa obesitas merupakan ciri khas pada populasi pasien
hipertensi. Curah jantung dan volume darah pasien obesitas dengan hipertensi
lebih tinggi dibandingkan dengan penderita yang mempunyai berat badan normal
dengan tekanan darah yang setara. Akibat obesitas, para penderita cenderung
menderita penyakit kardiovaskular, hipertensi dan diabetes mellitus (Rohaendi,
2008; Anonim, 2009)
2.1.6.6. Konsumsi Lemak
Kebiasaan mengkonsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan
peningkatan berat badan yang berisiko terjadinya penyakit hipertensi. Konsumsi
lemak jenuh, juga meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan
kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak
dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak
tidak jenuh secukupnya berasal dari minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain
yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah (Anonim,
2009).
5/15/2018 BAB II - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-55ab4e239e6e9 8/20
2.1.6.7 Konsumsi Natrium
Garam merupakan faktor penting dalam pathogenesis hipertensi.
Hipertensi hamper tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan
garam yang rendah. Apabila asupan garam kurang dari 3 g/hari, maka prevalensi
hipertensinya rendah, sedangkan asupan garam antara 5-15 g/hari prevalensi
hipertensi meningkat menjadi 15-20%. Pengaruh asupan garam terhadap
hipertensis terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan
tekanan darah. Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih dari 6 g/hari yang
setara dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari. Asupan natrium yang tinggi
dapat menyebabkan tubuh meretensi cairan sehingga meningkatkan volume
darah (Anonim, 2009).
2.1.6.8. Konsumsi Alkohol dan Kafein
Konsumsi alkohol dan kafein secara berlebihan yang terdapat dalam
minuman kopi, teh dan cola akan meningkatkan resiko terjadinya hipertensi pada
seseorang. Alkohol bersifat meningkatkan aktivitas saraf simpatis karena dapat
merangsang sekresi corticotropin releasing hormone (CRH) yang berujung pada
peningkatan tekanan darah. Sementara kafein dapat menstimulasi jantung untuk
bekerja lebih cepat, sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap
detiknya (Anonim, 2009; Sayogo, 2009; Anggraini et al , 2008).
2.1.6.9. Stres
Stres diyakini memiliki hubungan erat dengan hipertensi. Hal ini diduga
melalui aktivasi saraf simpatis yang dapat menigkatkan tekanan darah secara
intermitten. Di samping itu juga dapat merangsang kelenjar anak ginjal
melepaskan hormone adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta
lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stress berlangsung
cukup lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul
kelainan organisperubahan patologis. Gejala yang muncul berupa hipertensi atau
penyakit magg. Stress dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara
waktu dan bila stress sudah hilang tekanan darah bisa normal kembali (Anonim,
2009).
2.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipertensi secara garis besar di bagi 2 yaitu:
a. Penatalaksanaan farmakologi atau dengan obat anti hipertensi adalah: Terdapat
enam golongan antihipertensi : diuretika, penghambat adrenergik, vasodilator, CCB
5/15/2018 BAB II - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-55ab4e239e6e9 9/20
(Calciun Channel Blocker), ACEI (Angiotensin Converting Enzym Inhibitor ) dan ARB
(Angiotensin Receptor Blocker) (Ganiswarna, 2007).
1. Diuretika
Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan darah sehingga
menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah
jantung (Ganiswarna, 2007). Tiazid bekerja dengan menghambat transport bersama Na-
Cl ditubulas distal ginjal, sehingga eskresi Na-Cl meningkat. Contoh golongan Tiazid
antara lain hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid. Efek samping Tiazid terutama
dalam dosis tinggi dapat menyebabkan hipokalemia yang dapat berbahaya pada pasien
yang mendapat digitalis (Ganiswarna, 2007). Loop diuretic lebih berefek diuresis dari
pada tiazid,dan memacu resiko hipovolemia yang lebih besar ( Hoffman dan
Carrunthers, 2000). Diuretika yang bekerja pada tubulus ansa henle yang lebih poten
yaitu furosemid dan bumefamid yang ditujukan sebagai antihipertensi tetapi
penggunaannya kurang luas karena lama kerjanya lebih pendek (Ganiswarna, 2007)).
Termasuk dalam golongan loop diuretic antara lain forosemid, torasemid, bumetanid,
dan asam etakrinat. Efek samping loop diuretic hamper sama dengan tiazid,
perbedaannya adalah loop diuretic menimbulkan hiperkalsiuria dan menurunkan kalsium
darah, sedangkan tiazid menimbulkan hipokalsiuria dan meningkatkan kadar kalsium
darah (Ganiswarna, 2007). Diuretika pengganti kalium berpotensi menyebabkan
hiperkalemia, khususnya pada pasien dengan gangguan ginjal dan diabetes, obat-obat
yang termasuk diuretika hemat kalium adalah spironolakton, amilorid, dan triamteren.
Spironolakton merupakan antagonis kompetitif reseptor aldosteron, menghambat aksi
aldosteron (Ganiswarna, 2007). Spironolakton menyebabkan kehilangan natrium ginjal
dengan menghambat efek mineralokortikoid dan oleh karena itu obat ini lebih efektif
pada pasien dengan mineralokortikoid berlebih, misal aldosteronisme primer dan
sekunder. Efek samping spironolakton antara lain ginokomestia, gangguan menstruasi
dan penurunan libido pada pria (Ganiswarna, 2007).
2. Penghambat Adrenergik
Obat ini bertindak pada satu tempat atau lebih secara sentral pada pusat
vasomotor, pada neuron perifer mengubah pelepasan katekolamin, atau dengan
menghambat tempat reseptor adrenergik pada jaringan target (Harrison, 2000). Ada tiga
macam adrenergik yaitu : Adrenolitik sentral, penghambat reseptor alfa adrenergik dan
penghambat reseptor beta adrenergik (Ganiswara, 2007). Klonidin, metildopa,
guanabenz, dan guatazin serta metabolitnya merupakan agonis alfa reseptor, stimulasi
5/15/2018 BAB II - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-55ab4e239e6e9 10/20
reseptor-reseptor alfa pada pusat vasomotor di otot mengurangi aliran simpatik,
sehingga menurunkan tekanan arterial (Harrison, 2000). Sedasi dan mulut kering adalah
efek samping umum dari antihipertensi ini (Dipiro et al , 2005). Prazosin, terazosin,
bunazosin dan doksazosin merupakan penghambat reseptor alfa (α bloker) selektif
(Ganiswara, 2007). Penghambat alfa selektif berbeda dengan fentolamin dan
fenoksibenzamin dimana keduanya menghambat reseptor α1 selektif. Obat ini hanya
menghambat reseptor alfa pascasinaptik (α1). Obat tersebut antagonis terhadap aksi
vasokonstriksi dari norepinefrin dan epinefrin . Efek ini menyebabkan vasodilatasi
arteriolar dan menurunkan resistensi vascular perifer (Hoffman and Carrunthers, 2000).
Dalam dosis rendah penghambat alfa selektif digunakan sebagai monoterapi pada
hipertensi ringan, dan dalam dosis lebih tinggi dan penggunaan dosis rendah pada
waktu lama menyebabkan akumulasi cairan dan garam oleh karena diuretika diperlukan
untuk mempertahankan efek hipotensif dari penghambat reseptor alfa (Dipiro et al ,
2005).
3. CCB (Calcium Channel Blocker )
Calcium Channel Blocker menyebabkan relaksasi otot polos dan otot jantung
dengan cara menghanbat pemasukan kalsium ekstraseluler ke dalam sel. Relaksasi otot
polos vaskuler menyebabkan vasodilatasi dan reduksi tekanan darah ( Dipiro et al ,
2005). Obat-obat yang termasuk Calcium Channel Blocker adalah verapamil, diltiazem,
dan turunan dihidropiridin ( amlodipin, telodipin, isradipin, nikardipin, dan nifedipin ).
Obat-obat tersebut sama efektifnya dalam menurunkan tekanan darah. Nifedipin dan
dihidropiridin lainnya lebih selektif sebagai vasodilator memiliki efek depresi jantung
yang lemah dibanding verapamil dan diltiazem. Verapamil memiliki efek paling kuat
terhadap jantung serta dapat menurunkan denyut jantung dan curah jantung ( Dipiro et
al , 2005). Calcium Channel Blocker efektif sebagai terapi pertama, khususnya pada
pasien dengan kontraindikasi terhadap diuretika dan antagonis beta adrenergik. Calcium
Channel Blocker berguna sebagai alternatif pada pasien dengan kontraindikasi dengan
beta adrenergik, misalnya pada asma (Hoffman dan Carrunthers, 2000).
4. ACEI (Angiotensin Converting Enzym Inhibitor )
ACEI menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga
terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron, selain itu degradasi bradikinin
juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam
efek vasodilatasi ACEI. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah,
sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan natrium serta
5/15/2018 BAB II - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-55ab4e239e6e9 11/20
retensi kalium (Ganiswara, 2007). Kaptopril merupakan ACEI yang pertama ditemukan
dan banyak digunakan untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung. Contoh lain obat
dari golongan ACEI yaitu lisinopril, enalapril, kuinapril, perindopril, fosinopril, benazepril
dan lain-lain (Ganiswara,2007). ACEI efektif untuk hipertensi ringan, sedang maupun
berat. Obat ini efektif pada sekitar 70% pasien. Kombinasi dengan diuretik memberikan
efek sinergistik, sedangkan efek hipokalemia dapat dicegah. Kombinasi dengan beta
bloker memberikan efek aditif. Kombinasi dengan vasodilator lain termasuk prazosin dan
antagonis kalsium memberi efek yang baik (Ganiswara, 2007).
5. ARB (Angiotensin Receptor Blocker )
Merupakan komponen yang analog dengan angiotensin yang akan mengambat
sistem renin dengan berkompetisi secara langsung dengan angiotensin II untuk
berkaitan dengan reseptor (Dipiro, 2005). Reseptor angiotensin adalah sepasang protein
G yang berperan pada pertumbuhan dan aktivasi kontraksi otot polos. Dua reseptor
angiotensin yang sudah diketahui adalah AT1 (Angiotensin 1) dan AT2 (Angiotensin II).
Reseptor AT1 terlibat pada mekanisme dimana angiotensin II menstimulasi kontraksi
otot polos pembuluh darah dan sekresi aldosteron dari kortek adrenal. Penghambat
reseptor angiotensin II selektif untuk reseptor AT1 (Hoffman dan Carrunthers, 2000).
Penghambat ACE berguna sebagai antihipertensi karena aksinya menghambat sintesis
angiotensin II. Losartan, sebuah nonapeptida adalah obat pertama dari kelas ini yang
digunakan untuk terapi hipertensi. Obat lain yang termasuk dalam kelas ini adalah
valsatran, eprosartan, kandesartan, dan irbesartan. Penghambat reseptor angiotensin
efektif dalam menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dan berguna dalam
kombinasinya dengan hipertensi (Hoffman dan Carrunthers, 2000). Losartan diserap
dengan baik pada pemberian peroral dan mengalami first pass metabolisme oleh sistem
sitokrom P450. Losartan mempunyai waktu paruh yang pendek sekitar 2 jam,
sedangkan metabolitnya mempunyai waktu paruh 6-9 jam. Tidak seperti losartan,
valsartan bukan merupakan prodrug dan tidak tergantung metabolisme sitokrom P450
untuk aktivitasnya. Kandesartan adalah antagonis non kompetitif pada reseptor AT 1
(Angiotensin 1) dan mempunyai afinitas yang tinggi pada reseptor ini sehingga
mempunyai durasi aksi lebih lama (Hoffman dan Carrunthers, 2000).
b. Penatalaksanaan nonfarmakologi atau perubahan gaya hidup meliputi:
Penatalaksanaan Terapi Non Farmakologi
5/15/2018 BAB II - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-55ab4e239e6e9 12/20
Pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus melakukan modifikasi gaya
hidup yang dapat dilihat pada tabel.
Rekomendasi Modifikasi Gaya Hidup untuk Pasien Hipertensi menurut JNC 7
Modifikasi Gaya Hidup Rekomendasi Rata- rata Penurunan
TDS
Penurunan berat badan Pertahankan berat badan normal
(Boady Mass Index 18,5 – 24,9
kg/m2)
5 – 20 mmHg/10 kg
Dietary Approaches to Stop
Hypertension eating plan
Lakukan diet kaya buah-buahan,
sayuran, produk-produk susu
rendah lemak dan makanan yang
sedikit mengandung lemak jenuh
8 – 14 mmHg
Membatasi intake garam Membatasi asupan hingga ≤ 100
mEq (2,4 g Na atau 6 g NaCl)
2-8 mmHg
Olahraga teratur Olahraga seperti jogging,
berenang, jalan cepat, aerobik
dan bersepeda ± 30 menit
perhari
4-9 mmHg
Mengurangi konsumsi
alcohol
Membatasi konsumsi alkohol ≤ 2
gelas/hari ( 1 oz atau 30 ml
etanol seperti 24 oz beer, 10 oz
wine, 3 oz 80 proof whiskey)
pada laki-laki dan ≤ 1 gelas/hari
pada wanita
2-4mmHg
( Chobanian et al., 2003)
Hal-hal di atas direkomendasikan oleh JNC7 untuk mengurangi tekanan darah sistolik
(TDS) pada pasien hipertensi dan mencegah terjadinya hipertensi pada pasien prehipertensi.
Pada pasien hipertensi yang mengkonsumsi suatu macam obat antihipertensi dapat melakukan
pembatasan intake natrium dan berat badan untuk mengurangi penggunaan obat (Dipiro et al .,
2005).
1) Menurunkan berat badan pada penderita hipertensi.
2) Membatasi konsumsi garam dapur(diet rendah garam).
3) Mengurangi konsumsi alkohol
5/15/2018 BAB II - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-55ab4e239e6e9 13/20
4) Menghentikan merokok.
5) Berolahraga secar teratur.
6) Melakukan diet rendah lemak
7) Pemberian kalium dalam bentuk makanan,sayuran dan buah.
8) Dan lain-lain (Bustan,1997).
2.2 Konsep Kepatuhan
2.2.1. Definisi Kepatuhan pasien
Kepatuhan adalah sejauh mana klien berperilaku (minum obat, setelah diet,
memodifikasi kebiasaan atau menghadiri klinik) sesuai dengan apa yang telah disarankan
oleh pemberi pelayanan kesehatan. Kepatuhan merupakan faktor yang paling penting
yang dapat mempengaruhi hasil pengobatan (Haynes, McDonald dan Garg, 2002; WHO,
2003). Kepatuhan adalah fenomena ditentukan oleh interaksi lima dimensi atau faktor-
faktor, sosial dan ekonomi, kesehatan dan sistem kesehatan terkait, kondisi terkait, terapi-
terkait dan klien terkait (WHO, 2003).
Telah ada kecenderungan di masa lalu untuk pendidikan dasar dan strategi
kepatuhan pada keyakinan bahwa klien bertanggung jawab untuk perawatan mereka -
pendekatan ini mencerminkan kesalahpahaman tentang bagaimana dimensi yang
kompleks mempengaruhi perilaku dan kemampuan untuk patuh terhadap pengobatan
(WHO, 2003). Kelima dimensi harus dipertimbangkan dalam eksplorasi sistematis
kepatuhan dan intervensi yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan.
Diperlukan usaha yang cukup besar untuk meningkatkan kepatuhan pasien
terhadap terapi obat demi mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Paling sedikit
50% pasien yang diresepkan obat antihipertensi tidak meminumnya sesuai dengan yang
direkomendasikan. Kurangnya adherence mungkin disengaja atau tidak disengaja.
5/15/2018 BAB II - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-55ab4e239e6e9 14/20
Strategi yang efektif untuk membantu masalah adherence pasien adalah dengan
kombinasi beberapa strategi seperti edukasi, modifikasi sikap dan system yang
mendukung. Strategi konseling untuk meningkatkan adherence terapi obat antihipertensi
adalah sebagai berikut : (Anonim, 2006).
a. Menilai adherence pada setiap kunjungan
b. Mendengarkan motivasi dan pendapat pasien
c. Melibatkan pasien dalam masalah penanganan kesehatan
d. Menggunakan keahlian untuk mendengarkan secara aktif sewaktu pasien
menjelaskan masalahnya
e. Membicarakan keluhan pasien tentang terapi
f. Membantu pasien dengan cara tertentu agar tidak lupa minum obatnyag. Memberikan informasi tentang keuntungan pengontrolan tekanan darah
h. Memberitahu kemungkinan efek samping obat yang terjadi
i. Memberikan informasi tertulis tentang hipertensi dan obatnya bila
memungkinkan
j. Mempertimbangkan penggunaan alat ukur tekanan darah dirumah supaya
pasien terlibat dalam penanganan hipertensinya
k. Memberi informasi keluarga pasien tentang penyakit dan regimen obatnya
l. Melibatkan kerabatnya tentang adherence minum obat dan terhadap gaya hidup
sehat
m. Meyakinkan regimen obat dapat dijangkau biayanya oleh pasien
n. Bila memungkinkan menelepon pasien untuk meyakinkan pasien mengikuti
rencana pengobatannya (Anonim, 2006)
2.2.2. Definisi Kepatuhan Minum Obat
Kepatuhan minum obat didefinisikan sebagai sejauh mana pasien mengambil/ minumobat yang diresepkan oleh tenaga medis atau penyedia pelayanan kesehatan (Engl J Med,
2005).
5/15/2018 BAB II - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-55ab4e239e6e9 15/20
2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan minum obat
Kepatuhan minum obat merupakan fenomena yang ditentukan oleh 5 faktor yaitu
faktor sosial dan ekonomi, faktor sistem kesehatan, faktor kondisi, faktor terapi dan
faktor klien. Faktor tersebut digambarkan dalam gambar 2.1 di bawah ini
Gambar 2.1 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Pasien Terhadap Terapi
Hipertensi
2.2.3.1 Faktor Sosial dan Ekonomi
Faktor sosial ekonomi utama yang perlu diperhatikan berhubungan dnegan
kepatuhan adalah kemiskinan, akses terhadap tenaga kesehatan dan terapi, tingkat
penidikan, mekanisme dukungan sosial yang efektif, keyakinan budaya mengenai sakit
dan terapi. (Heart and Stroke Foundation of Ontario and Registered Nurses’ Association
of Ontario, 2005). Masalah sosial dan ekonomi utama yang harus diatasi terkait dengan
kepatuhan adalah kemiskinan, akses terhadap kesehatan dan obat-obatan, melek huruf,
penyediaan jaringan dukungan sosial yang efektif dan mekanisme untuk pengiriman
pelayanan kesehatan yang sensitif terhadap keyakinan budaya tentang penyakit dan
pengobatan. Universal dan pembiayaan berkelanjutan, harga terjangkau dan sistem
pasokan yang dapat diandalkan yang diperlukan jika baik tingkat kepatuhan terapi untuk
yang ingin dicapai. Organisasi berbasis masyarakat, pendidikan pada klien buta huruf,
penilaian kebutuhan sosial dan kesiapan keluarga telah dilaporkan intervensi sosial
yang efektif untuk meningkatkan kepatuhan. Dukungan sosial telah secara konsisten
5/15/2018 BAB II - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-55ab4e239e6e9 16/20
dilaporkan sebagai faktor penting yang mempengaruhi kesehatan dan perilaku. Ada
Keperawatan Pedoman Praktek Terbaik
2.2.3.2 Faktor Tenaga Kesehatan dan Sistem Pelayanan Kesehatan
Variabel sistem pelayanan kesehatan meliputi ketersediaan dan kemudahan
akses pelayanan kesehatan, dukungan edukasi kepada pasien, manajemen koleksi data
dan informasi, serta ketersediaan dukungan komunitas bagi klien. Sedikit penelitian
yang telah dilakukan untuk mengetahui efek tim tenaga kesehatan dan sistemnya dalan
hubungannya dengan kepatuhan klien. Review dari WHO, 2003 menemukan 5
penghambat utama kepatuhan yang berhubungan dengan sistem kesehatan dan timnya
1. Kurangnya pengetahuan mengenai kepatuhan
2. Kurangnya instrumen klinis yang dapat digunakan tenaga kesehatan untuk
mengevaluasi dan mengintervensi masalah kepatuhan
3. Kurangnya instrumen yang dapat digunakan oleh klien untuk mengembangkan atau
mengubah perilaku sehatnya
4. Adanya kesenjangan dalam kebijakan pelayanan pada pasien dengan kondisi
kronis
5. Komunikasi yang belum optimal antara klien dan profesional kesehatan
(Heart and Stroke Foundation of Ontario and Registered Nurses’ Association of
Ontario,2005)
2.2.3.3 Faktor yang Berhubungan dengan Kondisi
Faktor yang berhubungan dengan kondisi meliputi kebutuhan yang berhubungan
dengan penyakit yang harus dihadapi oleh pasien. Beberapa penentu kepatuhan
berhubungan dengan dengan keparahan penyakit, tingkat ketidakmampuan (fisik,
psikologis, sosial, dan vokasional), tingkat perkembangan dan keparahan penyakit, dan
ketersediaan terapi yang efektif. Fakor di atas akan mempengaruhi persepsi klien dan
persepsi mengenai pentingnya patuh terhadp terapi. (Heart and Stroke Foundation of
Ontario and Registered Nurses’ Association of Ontario, 2005)
2.2.3.4 Faktor yang Berhubungan dengan Terapi
Terdapat banyak faktor yang berhubungan dnegan terapi dan mempengaruhi
kepatuhan. Faktor yang paling mempengaruhi adalah kompleksitas regimen terapi,
durasi terapi, kegagalan terapi yang lalu, frekuensi perubahan terapi, efek terapi positif
yang cepat terjadi, efek samping, dan ketersediaan dukungan medis selama terapi.
5/15/2018 BAB II - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-55ab4e239e6e9 17/20
(Heart and Stroke Foundation of Ontario and Registered Nurses’ Association of Ontario,
2005).
1. Regimen
Penggunaan obat yang terlalu lama menyebabkan kepatuhan minum obat
menurun. Penelitian Lukitasari 2011 menunjukkan semakin banyak jenis obat yang
diberikan maka tingkat kepatuhannya semakin rendah. Sebaliknya, jika semakin
sedikit jenis obat yang diberikan oleh tenaga kesehatan maka kepatuhan terhadap
pengobatan sangat tinggi
2.2.3.5 Faktor yang berhubungan dengan klien
Karakteristik pasien berhubungan dengan kepatuhan, antara lain usia, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, status pernikahan, ras, agama,
latar belakang etnik, dan lokasi tempat tinggal. Pengetahuan dan keyakinan klien
terhadap terapi, motivasi untuk memanajemen terapi tersebut, kepercayaan diri, dan
kemampuan untuk berpartisipasi dalam perilaku manajemen penyakit, dan harapan
mengenai hasil terapi, seluruhnya berinteraksi melalui proses yang belum dipahami
seluruhnya. Horne dan Weinmans (1999) melakukan penelitian cross sectional untuk
mengukur keyakinan individu mengenai pentingnya terapi yang diresepkan dan kemauan
pasien untuk mengonsumsinya untuk mengakaji hubungan antara keyakinan dan
kepatuhan. Penemuannya mendukung pandangan bahwa klien harus dipandang sebagai
pengambil keputusan yang akan lebih termotivasi untuk mengonsumsi obat sesuai
dengan instruksi jika keyakinannya mengenai pengobatan lebih ditekankan oleh tenaga
kesehatan. Penelitian oleh Ogedegbe, Mancuso & Allegrante (2004) menjelaskan
mengenai mispersepsi mengenai hipertensi dan terapi antihipertensi dalam penelitian di
populasi Afrika Amerika, antara lain
1. Tidak perlu mengonsumsi obat, jika tidak terdapat gejala yang spesifik atau jika
tekanan darah telah normal
2. Tekanan darah tinggi dapat diregulasi tubuh sendiri, sehingga tidak perlu pengobatan
3. Obat yang diberikan bersifat toksik dan dapat merusak ginjal, hepar, mata, atau bagian
lain tubuh, bahkan kematian
4. Pengobatan yang diberikan tidak bekerja dnegan baik sehingga tidak perlu dikonsumsi
Menurut Suddart dan Brunner dalam buku ajar Keperawatan Medikal Bedah,2002 adalah:
5/15/2018 BAB II - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-55ab4e239e6e9 18/20
2. Pengetahuan
Ketetapan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama
sekali penting dalam pemberian antibiotic. Karena seringkali pasien menghentikan
obat tersebut setelah gejala yang dirasakan hilang bukan saat obat itu habis.
Pengetahuan secara umum adalah merupakan hasil dari “tahu”dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman,rasa dan raba.Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari
mata dan telinga.Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior ) (Notoatmodjo,2003). Karena
dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan
akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan.Peneliti Rogers (1974) mengemukakan bahwa sebelum mengadopsi
perilaku baru(berperilaku baru di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang
berurutan) yaitu:
a. Awareness (Kesadaran).
Dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap
stimulus (obyek).
b. Interes (Merasa tertarik).
Terhadap stimulus/obyek tersebut.Disini sikap subyek sudah mulai timbul.
c. Evaluation (Menimbang-nimbang).
Terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.Hal ini berararti sikap
responden sudah lebih baik lagi.
d. Trial ( mencoba ).
Dimana subyek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang di
kehendaki oleh stimulus.
Pengetahuan di dalam kognitif Menurut Notoatmodjo(2003) Pengetahuan yang
dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat yakni:
a. Tahu (Know ).
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah di pelajari
sebelunya,termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali(recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima,oleh sebab itu “tahu” ini adalah merupakan tingkat
5/15/2018 BAB II - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-55ab4e239e6e9 19/20
pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu
tentang apa yang di pelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,
menyatakan dan sebagainya.
b. Memahami (Comprehension ).
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang
obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar.Orang
yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat
menjelaskan,menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya
terhadap obyek yang di pelajari.
c. Aplikasi (Aplication ).
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang di pelajari
pada situasi atau kondisi riil(sebenarnya).Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau
penggunaan hokum-hukum,rumus, metode,prinsip dan sebagainya dalam konteks
situasi yang lain.
d. Analisis (Analysis ).
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek
kedalam komponen-komponen,tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi
tersebut,dan masih ada kaitannya satu sama lain.Kemampuan analisis ini dapat
dilihat dari penggunaan kata-kata
kerja, menggambarkan,membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan
sebagainya.
e. Sintesis (Synthesi s).
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian –bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru.Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru
dari formulasi yang ada,misalnya dapat menyusun,merencanakan,dapat
meringkas,dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-
rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi (Evaluation ).
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau obyek.Penilaian – penilaian itu berdasarkan suatu kriteria
yang ditentukan sendiri atau yang menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang terhadap
kepatuhan minm obat adalah faktor demografi. Pasien yang berpendidikan rendah
5/15/2018 BAB II - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-ii-55ab4e239e6e9 20/20
akan mengurangi kesadaran akan bahayannya suatu penyakit. Pasien yang
bertempat tinggal di daerah pedesaan dengan sosio ekonomi rendah juga
mempengaruhi. Sama halnya dengan pekerjaan. Ketika seseorang berada di
lingkungan tempat tinggal dan lingkungan pekerjaan yang baik, maka lingkungan
tersebut akan menyadarkan kita akan pentingnya pengobatan yang dirasakan untuk
segera mendatangi pusat pelayanan kesehatan (Memis et al ., 2009).
3. Umur.
Menurut Nursalam(2001) semakin cukup umur,tingkat kematangan dan
kekuatan seseorang maka ia lebih dipercaya dari pada orang-orang yang belum
cukup tinggi kedewasaannya.Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan
kematangan jiwanya. Menurut penelitian, usia menunjukkan bahwa semakin tua
seseorang maka kepatuhan minum obat semakin menurun (Hassan et al ., 2006).
4. Jenis kelamin
Wanita cenderung menunjukkan ketidakpatuhan terhadap pengobatan
daripada laki-laki. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan antihipertensi lebih tinggi
pada perempuan dibandingkan laki-laki dan meningkat jika lama pengobatan lebih
dari 6 bulan. Studi terakhir menemukan bahwa perempuan lebih mungkin untuk
menunda mencari perawatan medis dari pada pria. Ada beberapa penjelasan yang
ditemukan, antara lain: pertama, kebanyakan hipertensi dialami oleh wanita dengan
usia tua, sebaliknya pada laki-laki. dan banyak studi telah menemukan bahwa usia
dikaitkan dengan penundaan yang berkepanjangan dalam mencari perawatan
medis. Kedua, perempuan lebih mungkin untuk melaporkan gejala yang dialami dari
pada laki-laki. Mungkin perempuan kurang mengetahui gejala yang dialami tersebut.
(Saczynski et al ., 2009).