BAB II-4

download BAB II-4

of 9

description

neuro

Transcript of BAB II-4

3

a. Serangan Asma dan Sindroma CroupJika diberikan melalui infus dan dititrasi dalam dosis rendah, epinefrin dapat mengaktivasi reseptor 2 di saluran pernafasan sehingga menghasilkan bronkodilatasi, yang dapat berguna untuk pasien dengan asma. Namun demikian, epinefrin bukanlah pilihan utama untuk kasus tersebut. Epinefrin dapat menjadi terapi alternatif dalam tatalaksana serangan asma jika pasien tidak berespon terhadap inhaler 2 agonis spesifik, atau jika obat tersebut telah dibuktikan inefektif (Becker DE, 2012).Selain untuk serangan asma, epinefrin juga dapat digunakan untuk tatalaksana laringotrakeobronkitis pada anak, yang dikenal dengan istilah croup, dengan menstimulasi reseptor 1 yang menyebabkan vasokonstriksi dan reduksi dari pembengkakan mukosa subglotis (Bissonnette B, 2011).b. Hemostasis:Epinefrin seringkali digunakan selama periode perioperatif untuk mengurangi jumlah atau menghentikan perdarahan, contoh: dalam bidang kedokteran gigi, otolaringologi dan skin grafting, karena obat ini dapat menginduksi vasokonstriksi melalui aktivitasnya pada reseptor 1 (Barash P, Cullen B, Stoelting R, et al, 2013).c. Ajuvan untuk Anestesi LokalEpinefrin juga digunakan sebagai ajuvan untuk anestesi lokal, di mana obat ini biasanya dikombinasikan dengan agen anestesi lokal untuk memperlambat absorbsi agen anestesi tersebut. Fungsi ini juga dimediasi melalui reseptor yang sama, yakni 1 yang menghasilkan respon vasokonstriksi, yang kemudian menurunkan aliran darah ke bagian tubuh di mana obat anestesi lokal diadministrasikan. Dengan demikian, durasi kerja dari obat anestesi tersebut akan berlangsung lebih lama, dosis obat anestesi yang dibutuhkan pun berkurang dan efek sistemik yang mungkin muncul dari obat anestesi tersebut dapat dikurangi (Becker DE, 2012).1. Sediaan, Rute Adminisrasi dan DosisEpinefrin didistribusikan dalam berbagai bentuk sediaan sesuai rute administrasinya (IV, IM, subkutaneus, intrakardiak, intraspinal, inhalasi dan topikal). Dalam bentuk vial injeksi (generik: adrenalin chlorida), epinefrin tersedia dalam berbagai konsentrasi mulai dari 0.01 mg/ml (1:100.000 atau 0.001%), 0.1 mg/ml (1:10.000 atau 0.01%), 0.5 mg/ml (1:2000 atau 0.05%), dan 1 mg/ml (1:1000 atau 0.1%). Di sejumlah negara lain, epinefrin juga tersedia dalam bentuk prefilled syringes dengan konsentrasi 1:10.000 (0,1 mg/ml [100mcg/ml]) (Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, 2013). Secara umum administrasi epinefrin melalui jalur intravena atau intrakardiak menggunakan konsentrasi yang lebih rendah (1:10.000), sedangkan injeksi IM dan subkutaneus menggunakan konsentrasi yang lebih tinggi (1:1000) (Westfall TC and Westfall DP, 2011). Pada sejumlah kasus emergency epinefrin diadministrasikan melalui jalur dan dosis berbeda. Untuk kasus henti jantung, epinefrin dapat diberikan secara bolus IV dengan dosis berkisar antara 0.05 1 mg. Sedangkan untuk reaksi anafilaksis, dosis konvensionalnya adalah 0.3 mg IM menggunakan 1 ml epinefrin konsentrasi 1:1000. Jika reaksi berlangsung sangat berat, dapat dipertimbangkan pemberian melalui jalur IV dengan dosis 0.1 mg (1 ml dari konsentrasi 1:10.000). Protokol serupa dapat digunakan untuk serangan asma jika pasien tidak berespon terhadap 2 inhaler (Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, 2013; Becker DE, 2012). Untuk croup, epinefrin dalam bentuk vial juga dapat diberikan melalui nebulisasi. Dosis umumnya adalah 0.5 ml/kg dari epinefrin konsentrasi 1:1000 (dosis maksimum 5 ml), dan ini dapat diulang tiap 15 menit (Westfall TC and Westfall DP, 2011; Bissonnette B, 2011).Untuk meningkatkan kontraktilitas miokard atau frekuensi jantung pada simptomatik bradikardia, 1 mg epinefrin dilarutkan dalam 250 ml cairan isotonis seperti NaCl (0.004 mg/ml atau 4 g/ml), lalu diberi secara IV melalui infus kontinyu dengan kecepatan 2-20 g/menit. Ini sebaiknya dilakukan hanya jika dosis tunggal atropine tidak menghasilkan respon (Barash P, Cullen B, Stoelting R, et al, 2013; Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, 2013). Untuk ajuvan anestesi spinal block, 0.2 mg epinefrin dapat ditambahkan ke larutan anestesi tersebut, atau dengan konsentrasi 1:200.000 untuk epidural block. Selama periode perioperatif, untuk menghasilkan efek hemostasis dapat digunakan larutan epinefrin dengan konsentrasi 1:200.000 secara topikal, atau 5 g/ml di-injeksikan secara subkutan/submukosa (Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, 2013; Barash P, Cullen B, Stoelting R, et al, 2013).2. Tokisitas, Efek Samping dan KontraindikasiEpinefrin dapat menghasilkan reaksi yang tidak diinginkan, seperti gangguan tidur, nyeri kepala, tremor, dan palpitasi. Efek ini segera menghilang dengan istirahat dan penenangan. Reaksi yang lebih serius meliputi perdarahan intraserebral dan aritmia jantung. Angina mungkin diinduksi pada pasien dengan riwayat coronary artery disease. Penggunaan epinefrin dikontraindikasikan pada pasien yang menerima pengobatan dengan nonselective -receptor blocking drugs, karena aksinya pada reseptor 1 dapat menginduksi terjadinya hipertensi berat dan juga perdarahan otak (Westfall TC and Westfall DP, 2011).

2.6.2. NorepinefrinSama halnya dengan epinefrin, norepinefrin (levarterenol, l-noradrenaline) juga merupakan prototipe dari katekolamin endogen. Obat ini dapat menghasilkan semua respon serupa dengan epinefrin kecuali yang dimediasi oleh reseptor 2, karena substansi ini tidak mengaktifasi reseptor tersebut. Karena tergolong katekolamin, norepinefrin juga tidak dapat diberikan per oral. Efek samping penggunaannya juga serupa dengan epinefrin: takidisritmia, angina, dan hipertensi. Karena tidak mengaktivasi 2, NE tidak menimbulkan efek peningkatan kadar gula darah. Namun demikian, terlepas dari banyakya persamaan antara NE dan EPI, penggunaan NE dalam dunia klinis sangatlah terbatas. Hingga saat ini, indikasi yang dikenali hanyalah status hipotensi dan henti jantung. Dosis umum adalah 0.1 g/kgBB dalam infus kontinyu dengan kecepatan 2 20 g/menit. Tiap ampul mengandung 4 mg NE dengan total volume sebanyak 4 ml (Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, 2013).2.6.3. Dopamin1. SelektivitasDopamin juga merupakan prototipe katekolamin endogen, yang memiliki spesifisitas terhadap reseptor dopamin (DA), 1, dan pada dosis tinggi juga mengaktivasi reseptor . Sama halnya dengan epinefrin, selektifitas dopamin bergantung pada dosisnya. Saat diberikan dalam dosis terapeutik yang rendah (0.5 3 g/kgBB/ menit), dopamin hanya bekerja pada reseptor DA1. Pada dosis terapeutik moderat (3 10 g/kgBB/menit), dopamin juga mengaktivasi reseptor 1. Pada dosis yang sangat tinggi (10 20 g/kgBB/menit), obat ini akan mengaktivasi reseptor 1 bersama-sama dengan reseptor DA dan 1 (Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, 2013).

2. Penggunaan terapeutikIndikasi mayor untuk dopamin adalah syok, di mana obat ini mampu memperbaiki cardiac output, meningkatkan tekanan darah, dan mempertahankan fungsi ginjal. Keuntungan yang didapat dari penggunaan dopamin di-latarbelakangi oleh efeknya pada jantung dan pembuluh darah ginjal. Dengan mengaktivasi reseptor 1 di jantung, dopamin meningkatkan kontraktilitas miokard, frekuensi jantung, tekanan darah sistol dan CO, sehingga memperbaiki perfusi jaringan. Dengan mengaktifkan reseptor DA di ginjal, dopamin menghasilkan efek vasodilatasi arteri renalis yang juga meningkatkan perfusi ginjal. Namun peningkatan ini tidak memberi efek menguntungkan bagi fungsi ginjal. Aktifasi 1 setelah administrasi dosis tinggi akan menyebabkan peningkatan tahanan vaskular perifer dan menurunnya aliran darah ke ginjal.3. Dosis dan SediaanDopamin diberikan melalui jalur infus secara kontinyu dengan kecepatan 1 20 g/kgBB/menit. Umumnya obat ini tersedia dalam bentuk vial 5 10 ml dengan kandungan sebesar 200 400 mg dopamin (Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, 2013).2.6.4. Dobutamin Spesifitas Reseptor: 1 dan 2, dengan selektifitas lebih tinggi terhadap 1. Klasifikasi Kimia: KatekolaminPada dosis terapeutik, dobutamin menyebabkan aktivasi selektif reseptor 1 adrenergik. Satu-satunya indikasi untuk agen ini adalah gagal jantung. Efek samping mayor adalah takikardia, selama penggunaan obat ini, tekanan darah dan EKG harus dimonitor sebaik mungkin. Dobutamin tersedia dalam bentuk vial dengan volume 20 ml, kandungan 12.5 mg/ml, total 250 mg. Sediaan ini harus diencerkan sebelum diberikan (1, 2, atau 4 mg/ml dalam 250 ml) dengan kecepatan 2 20 g/kgBB/menit (Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, 2013).2.6.5. Penilefrin1. Pertimbangan klinisPenilefrin adalah senyawa nonkatekolamin yang aktivitasnya predominan selektif terhadap reseptor 1 (dosis tinggi dapat menstimulasi reseptor 2 dan ). Efek utama dari penilefrin adalah vasokonstriksi dengan kenaikan tahanan vaskular perifer dan tekanan darah secara perlahan. Refleks bradikardia yang dimediasi oleh nervus vagus dapat menurunkan kardiak output. Obat ini juga digunakan sebagai dekongestan dan agen midriatikum (Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, 2013).2. Dosis dan kemasanBolus intravena dengan dosis mulai dari 50 100 g (0,5 1 g/kgBB) penilefrin secara cepat membalikkan penurunan tekanan darah yang disebabkan oleh vasodilatasi perifer (misalnya: efek anestesi spinal). Durasi aksinya singkat, berakhir kira-kira 15 menit setelah administrasi dosis tunggal. Infus berkesinambungan (100 g/ml pada kecepatan 0,25 1 g/kg/menit) akan menjaga tekanan darah arteri tetap stabil tetapi dengan mengorbankan aliran darah ginjal. Takifilaksis yang terjadi dengan infus penilefrin membutuhkan titrasi yang ditingkatkan. Penilefrin harus diencerkan dari larutan 1% (10 mg/ml), biasanya sampai dengan konsentrasi 100 g/mL (Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, 2013).2.6.6. Agonis 21. Pertimbangan klinisKlonidine adalah agonis 2 yang secara umum digunakan karena efek antihipertensi serta kronotropik negatifnya. (menurunkan tahanan resisten sistemik) dan efek kronotropik negatif. Akhir-akhir ini, penggunaan klonidine dan agonis 2 lainnya meningkat karena properti sedatifnya. Secara umum, klonidin tampaknya dapat menurunkan kebutuhan anestesi dan analgesik (menurunkan MAC) dan menghasilkan sedasi serta anxiolisis. Selama anestesi general, klonidin dilaporkan meningkatkan kestabilan sirkulasi intra-operatif dengan mengurangi level katekolamin. Selama anestesi regional, termasuk blok saraf perifer, klonidin memperlama durasi dari anestesi tersebut. Efek langsung pada medula spinalis dapat terjadi melalui reseptor postsinaptik 2 yang terdapat di kornu dorsalis. Keuntungan lain yang mungkin didapatkan dari penggunaan obat ini termasuk penurunan efek menggigil setelah operasi, inhibisi dari kekakuan otot yang diinduksi opioid, mengurangi gejala putus obat opioid, dan pengobatan terhadap sindroma nyeri kronik. Efek samping termasuk bradikardi, hipotensi, sedasi, depresi pernafasan, dan mulut kering (Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, 2013).Dexmedetomidine adalah suatu turunan lipofilik methylol dengan sifat afinitas yang lebih kuat terhadap reseptor 2 dibanding klonidin. Obat ini mempunyai efek sedasi, analgesik, dan simpatolitik yang menumpulkan banyak respon kardiovaskular selama periode perioperatif. Bila digunakan selama periode intraoperatif, dapat menurunkan kebutuhan anestesi intravena dan inhalasi. Obat ini digunakan untuk menghasilkan efek sedasi pada persiapan awake fiberoptic intubation, sedasi pasien post-operasi di ruang post-anestesi dan ICU karena efek kerjanya tidak disertai depresi pernafasan yang signifikan. Pemberian secara cepat dapat meningkatkan tekanan darah, namun hipotensi dan bradikardi dapat muncul selama terapi berjalan. Dosis yang direkomendasikan untuk obat ini mencakup 2 tahap: loading dose sebesar 1 g/kgBB selama 10 menit diikuti infus dengan kecepatan 0.2 0.7 g/kgBB/jam (Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, 2013).

Walaupun agen ini adalah agonis adrenergik, obat ini juga dipertimbangkan sebagai simpatolitik karena dapat mengurangi pengeluaran impuls simpatis. Penggunaan dalam periode yang cukup lama (baik dexmetolidin maupun clonidin), akan mengakibatkan supersensitisasi dan peningkatan regulasi reseptor, di mana dengan diskontinuasi yang cepat terhadap salah satu obat tersebut, konsekuensi berupa sindroma putus obat bermanfestasi sebagai krisis hipertensi akan muncul. Karena afinitas dexmedetomidin untuk reseptor 2 yang meningkat dibanding klonidin, sindrom ini dapat terjadi hanya setelah 48 jam dari penghentian administrasi obat tersebut (Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, 2013).2. Dosis dan SediaanKlonidin tersedia dalam bentuk oral, transdermal, atau sediaan parenteral. Di sisi lain, deksmetolidin tersedia dalam bentuk larutan injeksi (100 g/ml), yang harus diencerkan hingga 5 10 g/ml jika akan diberikan secara bolus dan dititrasi (Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, 2013). 2.6.7. Efedrin1. Pertimbangan KlinisEfedrin adalah alkaloid yang terdapat pada tumbuhan jenis efedra. Efek kardiovaskular dari efedrin sama seperti epinefrin: meningkatkan tekanan darah, laju nadi dan curah jantung. Serupa dengan epinefrin, substansi ini memiliki efek bronkodilator. Namun demikian, terdapat perbedaan penting di man: efedrin mempunyai masa kerja yang lama karena efedrin adalah nonkatekolamin, tidak begitu poten, memiliki properti direk dan indirek (mixed action), serta menstimulasi sistem saraf pusat (meningkatkan MAC). Properti agonis indirek efedrin berlangsung dengan cara melepaskan norepinefrin endogen dari saraf post-sinaptik perifer, atau inhibisi reuptake norepinefrin (kerja indirek). Efedrin biasa digunakan sebagai vasopressor selama anestesi. Karena itu, pemberiannya harus dianggap sebagai tatalaksana sementara sembari menentukan penyebab hipotensi yang kemudian harus ditangani. Tidak seperti efek direk agonis 1, efedrin tidak menurunkan aliran darah uterus. menjadikannya vasopresor pilihan pada sebagian besar kasus obstetri. Namun demikian, baru-baru ini dilaporkan bahwa penilefrin memiliki efek vasopresor yang lebih baik untuk pasien obstetri yang menjalani anestesi neuroaxial karena onsetnya yang lebih cepat, durasi aksi yang lebih singkat, dan titrabilitas serta maintenance pH janin yang lebih baik. Efedrin juga dilaporkan memiliki efek antiemetik, terutama yang berhubungan dengan hipotensi karena anestesi spinal. Premedikasi dengan klonidin melawan efek dari efedrin (Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, 2013). 2. Dosis dan SediaanPada dewasa, efedrin diberikan secara bolus dengan dosis 2,5 10 mg, pada anak-anak diberikan bolus 0,1 mg/kgBB. Dosis subsekuen ditingkatkan jika ingin menghindari kemungkinan terjadinya takifilaksis, yang mungkin disebabkan oleh deplesi penyimpanan norepinefrin. Efedrin tersedia dalam bentuk ampul dengan kandungan 25 atau 50 mg (Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, 2013).