BAB II 3100248 - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan...

22
16 BAB II IBADAH AQIQAH A. Pengertian Ibadah Aqiqah Dari segi bahasa ibadah sama artinya dengan taat atau kepatuhan 1 , sedangkan dari segi istilah ibadah adalah semacam kepatuhan yang sampai pada batas penghabisan, yang bergerak dari perasaan hati untuk mengagungkan kepada yang disembah 2 . Menurut ahli fiqih ibadah yaitu segala sesuatu yang dikerjakan untuk mencapai keridhaan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat 3 . Majlis Tarjih Muhammadiyah memberikan definisi tentang ibadah adalah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkan-Nya 4 . Dari tiga definisi tersebut, jelaslah bahwa ibadah adalah segala kegiatan yang semata-mata dikerjakan berdasarkan pada memperhambakan diri kepada Allah SWT. Aqiqah berasal dari bahasa Arab yaitu mashdar (kata benda) dari fiil madhi dengan fiil mudhore’ yang berarti “mengaqiqahkan anak atau menyembelih kambing aqiqah” 5 . Menurut bahasa aqiqah artinya memotong atau memisahkan, misalnya kata “Uquq Al- Walidaini” artinya durhaka kepada kedua orang tua, karena ia memutuskan hubungan baik kepada keduanya 6 . 1 Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah dalam Islam, (tt.p. Central Media, tt), hlm. 29. 2 Ibid., hlm. 33. 3 Hasby Ash-shiddieqy, Kuliah Ibadah (Ibadah ditinjau dari Segi Hukum dan Hikmah), (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), Cet. 5, hlm. 4. 4 Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Semarang: Al-Ma’arif, 1971), hlm. 47. 5 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah atau Penafsiran Al-Qur’an, 1973), hlm. 273. 6 Muhammad Zuhdi Zaeni, Merayakan kelahiran Bayi, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2003), hlm. 8.

Transcript of BAB II 3100248 - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan...

16

BAB II

IBADAH AQIQAH

A. Pengertian Ibadah Aqiqah

Dari segi bahasa ibadah sama artinya dengan taat atau kepatuhan1,

sedangkan dari segi istilah ibadah adalah semacam kepatuhan yang sampai

pada batas penghabisan, yang bergerak dari perasaan hati untuk

mengagungkan kepada yang disembah2.

Menurut ahli fiqih ibadah yaitu segala sesuatu yang dikerjakan untuk

mencapai keridhaan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat3. Majlis

Tarjih Muhammadiyah memberikan definisi tentang ibadah adalah

bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan mentaati segala

perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya dan mengamalkan segala yang

diizinkan-Nya4.

Dari tiga definisi tersebut, jelaslah bahwa ibadah adalah segala kegiatan

yang semata-mata dikerjakan berdasarkan pada memperhambakan diri kepada

Allah SWT.

Aqiqah berasal dari bahasa Arab� ����������� ����yaitu mashdar (kata benda)

dari fiil madhi� � �� � � dengan fiil mudhore’� � ���� � � � yang berarti

“mengaqiqahkan anak atau menyembelih kambing aqiqah”5. Menurut bahasa

aqiqah artinya memotong atau memisahkan, misalnya kata “Uquq Al-

Walidaini” artinya durhaka kepada kedua orang tua, karena ia memutuskan

hubungan baik kepada keduanya6.

1Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah dalam Islam, (tt.p. Central Media, tt), hlm. 29. 2 Ibid., hlm. 33. 3 Hasby Ash-shiddieqy, Kuliah Ibadah (Ibadah ditinjau dari Segi Hukum dan Hikmah),

(Jakarta: Bulan Bintang, 1985), Cet. 5, hlm. 4. 4 Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Semarang: Al-Ma’arif, 1971), hlm. 47. 5 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah atau

Penafsiran Al-Qur’an, 1973), hlm. 273. 6 Muhammad Zuhdi Zaeni, Merayakan kelahiran Bayi, (Jakarta: Al-Mawardi Prima,

2003), hlm. 8.

17

Menurut para ulama, pengertian aqiqah secara etimologis ialah rambut

kepala bayi yang tumbuh semenjak lahirnya7.

Adapun untuk mengetahui makna aqiqah secara istilah syara’, penulis

petikkan beberapa pendapat ulama berikut;

1. Menurut Sayyid Sabiq, Aqiqah adalah sembelihan yang disembelih untuk

anak yang baru lahir8.

2. Menurut Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini,

Aqiqah adalah nama sesuatu yang disembelihkan pada hari ketujuh, yakni

hari mencukur rambut kepalanya yang disebut Aqiqah dengan menyebut

sesuatu yang ada hubunganya dengan nama tersebut9.

3. Menurut jumhur ulama mengartikan bahwa aqiqah yaitu menyembelih

hewan pada hari ketujuh dari hari lahirnya seorang anak baik laki-laki

maupun perempuan10.

4. Menurut Drs. R. Abdul Aziz dalam bukunya Rumah Tangga Bahagia

Sejahtera, mengatakan bahwa aqiqah adalah menyembelih kambing untuk

menyelamati bayi yang baru lahir dan sekaligus memberikannya sebagai

sedekah kepada fakir miskin11.

5. Menurut Abdullah Nashih Ulwan, aqiqah berarti menyembelih kambing

untuk anak pada hari ketujuh kelahirannya.12

Selain definisi-definisi tersebut Rasulullah SAW juga menjelaskan

pengertian aqiqah dalam sabdanya:

7 M. Nipan Abdul Halim, Mendidik Keshalehan Anak (Akikah, Pemberian Nama, Khitan

dan Maknanya), (Jakarta: Pustaka Amani, 2001) hlm. 4. 8 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 13, (Bandung: Al-Ma’arif, 1995), hlm. 151. 9 Imam Taqiyyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar

(Kelengkapan Orang Shaleh), Bagian Kedua, Penerjemah KH. Syaifuddin Anwar dan KH. Misbah Mustafa,(Surabaya: Bina Iman, tt.), hlm. 505

10 Mujahid A.K, Materi Pokok Fiqih II, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Islam dan Universitas Terbuka, 2000), hlm. 409.

11 R.S. Abdul Aziz, Rumah Tangga Bahagia Sejahtera, direvisi Moh. Rifa’i, (Semarang: CV. Wicaksana, 1990), hlm. 87.

12 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak menurut Islam: Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1996), Cet. 3, hlm. 71.

18

�������� ��� ���� �������� ��� � ������� � !"�#�� $�!"�%���&�� '��������(����� �)�*� + ,���-��./���01"

2)��31"� .�& �����4 ��5 )67���8#�� 3�� ���8������96: '������;�� �<=7-�(1"�>"�'?13

Dari Samurah, sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda: “Setiap bayi tergadai pada aqiqahnya, yang disembelih pada hari ketujuh, dan pada hari itu diberi nama dan dicukurlah rambutnya”. (HR. Turmudhi). Hadist ini mengisyaratkan sebuah pengertian aqiqah secara jelas, yaitu

binatang yang disembelih sebagai tebusan bagi tergadainya kesejatian

hubungan batin antara orang tua dengan anak. Dan penyembelihannya

dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran anak bersamaan dengan mencukur

rambut kepalanya serta memberikan nama baginya.

Dari beberapa definisi di atas makna aqiqah dapat disederhanakan

sebagai berikut:

Aqiqah adalah suatu rangkaian kegiatan merayakan kelahiran anak

dengan menyembelih binatang yang dilakukan pada hari ketujuh, lalu

dagingnya disedekahkan pada fakir miskin bersamaan dengan mencukur

rambut kepala anak serta memberikan nama anak.

Dengan demikian apabila dilihat dari kegiatannya, aqiqah meliputi tiga

kegiatan yaitu:

a. Mencukur rambut kepala anak

b. Memberi nama anak

c. Menyembelih binatang (kambing, domba, sapi atau unta) yang kemudian

dinamakan binatang aqiqah.

Jadi pengertian ibadah aqiqah yaitu melaksanakan perintah Allah SWT

berupa menyembelih binatang pada hari ketujuh kelahiran anak bersamaan

dengan mencukur rambut kepalanya dan memberi nama baginya.

13 Kamal Yusuf al-Hauti, Al-Jami al-Sahih (Sunan al-Turmudzi), Juz IV, (Beirut:

Dar al-Kutub al-Ilmiah, tt.), hlm. 85.

19

B. Hukum Aqiqah

Ulama berbeda pendapat tentang status hukum aqiqah. Menurut Daud

Adz-Dzahiri dan pengikutnya aqiqah hukumnya wajib, sedangkan menurut

jumhur ulama hukum aqiqah adalah sunnah. Imam Abu Hanifah menetapkan

bahwa hukum aqiqah adalah ibahah artinya tidak wajib dan tidak sunnah14.

Menurut Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam bukunya Minhajul Muslim,

mengatakan bahwa hukum aqiqah adalah sunnah muakkad bagi orang yang

mampu melaksanakannya, yaitu bagi orang tua anak yang dilahirkan15.

Perbedaan itu terjadi karena berbeda dalam menginterpretasikan makna

dan maksud hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan dari Samurah

yang tersebut di atas.

Menurut Imam Ahmad maksud dari kata-kata; “anak-anak itu tergadai

dengan aqiqahnya”, dalam hadist tersebut ialah bahwa pertumbuhan anak itu,

baik badan maupun kecerdasan otaknya, atau pembelaannya terhadap ibu

bapaknya pada hari kiamat akan tertahan, jika ibu bapaknya tidak

melaksanakan aqiqah baginya. Pendapat tersebut juga diikuti Al-Khattabi dan

didukung oleh Ibn Qoyyim. Bahkan Ibn Qoyyim menegaskan, bahwa aqiqah

itu berfungsi untuk melepaskan anak yang bersangkutan dari godaan syetan16.

Selanjutnya kata “Murtahanun” ditafsirkan bahwa aqiqah adalah suatu

kebiasaan yang harus dilaksanakan seperti keharusan seseorang menebus

barang yang digadaikan. Pendapat ini menguatkan aliran Daud Adz-Zahiri

yang mengatakan bahwa aqiqah itu wajib17.

Dalam kitab-kitab fiqh Syafi’i selalu dinyatakan bahwa hukum aqiqah

adalah mustahab (sunnah)18. Maksudnya bagi orang tua muslim, khususnya

14 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid VI, Alih Bahasa A. Hanafi M.A., (Jakarta:

Bulan Bintang, 1969), hlm. 118. 15 Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Pola Hidup Muslim: Thaharah, Ibadah dan Akhlak

(Minhajul Muslim),Alih Bahasa Rachmat Djatnika dan Ahmad Sumpeno, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991), Cet. I, hlm. 79.

16 Ahmad Ma’ruf Asrari, Suheri Ismail, Khitan dan Akikah: Upaya Pembentukan Generasi Qur’ani, (Surabaya: Al-Miftah, 1998), Cet. 2, hlm. 51.

17 M. Zuhdi Zaeni, Op.Cit., hlm. 11. 18 M. Nipan Abdul Halim, Mendidik Keshalehan Anak (Akikah, Pemberian Nama, Khitan

dan Maknanya),Op.Cit., hlm. 6.

20

bagi yang mampu, bahwa mengaqiqahkan anak adalah perbuatan yang sangat

disukai oleh Allah SWT dan sangat baik, yang hal ini juga membuktikan rasa

cinta kasih mereka terhadap anak-anaknya. Dan dengan mengaqiqahkan

anak-anaknya ini, mereka akan mendapatkan pahala dari sisi Allah SWT.

Menurut Imam Malik aqiqah adalah suatu sunnah yang disyari’atkan19.

Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah dalam bukunya “Fiqih Wanita” yang

diterjemahkan M. Abdul Ghoffar E.M. mengatakan bahwa hukum aqiqah

merupakan ibadah sunnah muakkad bagi mereka yang mampu. Hukum yang

berlaku pada aqiqah ini adalah sama seperti hukum yang berlaku pada

binatang qurban, tetapi dalam aqiqah tidak diperbolehkan adanya

kebersamaan (satu kambing untuk beberapa anak)20.

Dasar hukum aqiqah

Dasar hukum disyari’atkannya aqiqah adalah adanya beberapa hadist

yang menerangkan tentang aqiqah. Di antaranya adalah hadist yang

diriwayatkan dari sahabat Samurah yang telah diterangkan di muka.

Hadist tersebut merupakan hadits yang paling shahih yang menerangkan

tentang aqiqah karena diriwayatkan oleh lima ahli hadist, yaitu Imam Ahmad,

Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud dan Imam At Turmudzi.

Sehingga sangat wajar jika hal ini akhirnya dijadikan dasar hukum bagi

kesunnahan aqiqah.21

Selain hadist yang diriwayatkan Samurah ada pula dua hadist yang

menggunakan kalimat perintah beraqiqah, kedua hadist tersebut yaitu:

a. Hadist yang diriwayatkan dari Salman Bin Amir Adh-Dhabi bahwasanya

Rasulullah SAW bersabda:

19 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Fiqih Islam Tnijauan antar

Mazhab, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 195. 20 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, Terjemah M. Abdul Ghofar,

(Jakarta: Pustaka al-Kaustar, 2002), Cet. X , hlm. 481. 21 M. Nipan Abdul Halim, Mendidik Kesalehan Anak (Akikah, Pemberian Anak Khitan

dan Maknanya), Op.Cit., hlm. 8

21

�"�@�-� � ��)� �A� �6� �� �� �B�C�D1�8������� ��� � �� ����� � !�E�� $� !"�%��&�� '� ������ ��� 2 -

�&%�����F���G�H������ �.�/�061"I"�J�K6"����4 "��&%L��-�" �� - �����4 "���<M�"M&)"�>"�'?22�

Dari Salman Bin Amir Adh-Dhabi berkata: “Rasulullah SAW bersabda: Bersamaan dengan anak terdapat hak untuk diaqiqahi maka tumpahkanlah darah untuknya (dengan menyembelih binatang aqiqah) dan buanglah penyakit darinya (dengan mencukur rambut kepalanya). (HR. Abu Dawud)

b. Hadits Aisyah r.a. (istri rasulullah SAW) yang menyatakan:

� �N� � ������� �!�E�� $�!"����&�� '��A�"�� +�, � C�O�:��� PQ� ��� ����� ��� ����6A�"����F � -�:

�061"A� (�RG��S�-�A� ,� T�.�/�8�� �'� U61"�� ��H�� T<=7-�(1"�>"�'?23

Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah SAW memerintahkan orang-orang agar menyembelih aqiqah untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing. (HR. Turmudzi)

Kedua hadits di atas sama-sama mengandung perintah untuk

beraqiqah. Secara sepintas, jika dipahami keduanya dapat menujukkan

hukumnya wajib beraqiqah, sebab menurut kaidah ushul fiqh perintah itu

menunjukkan adanya hukum yang wajib.

Namun demikian, perlu disadari bahwa perintah yang

menunjukkan hukum wajib adalah perintah yang mutlak tanpa adanya

qarinah.24 Padahal jika dicermati lebih lanjut, perintah aqiqah dalam hadits

di atas mengandung qarinah berupa kemampuan si orang tua, yaitu

kemampuan untuk menyediakan dua ekor kambing jika anaknya lak-laki

atau seekor jika anaknya perempuan, jika orang tua mampu menyediakan,

22 Imam Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy’ats As-Sajastani, Sunan Abu Dawud, Juz II,

(Beirut: Dzar al-Kutub al-Ilmiah, 1996), hlm. 313 23 Kamal Yusuf al-Hauti, Op.Cit., hlm. 81 24 Qarinah artinya tanda, lihat Moh. E. Hasim, Kamus Istilah Islam, (Bandung: Pustaka,

1987), hlm. 118

22

maka dia harus beraqiqah. Tapi jika dia tidak mampu tidak ada alasan

untuk mewajibkannya.

Dengan demikian, akan lebih tepat apabila kita katakan bahwa

perintah aqiqah dalam hadist di atas bukan menujukkan hukum wajib,

tetapi menunjukkan hukum sunnah, atau perintah anjuran bukan perintah

mewajibkan.

Adanya qarinah dalam perintah aqiqah, nampak lebih jelas jika

mempelajari hadist berikut:

V �� ��T���)���� ��� �8���)�"��� �8������>�W X��� ��>" '�"���!�E�� $�!"�%��&�� '��YR��

������G�Z������ �61"�� � ��� � ������� ��[�&%���61"�!"��V ;���K�8����� ������K6"��>��\����]���\���

���6A�"��V ̂���G�*W�1 �����1� W1��� �� -�_ �3�4 �6��G����4 � _ 3�4����8����A� (�RG��S�-�A� ,� T�.�/�061"��

H�� T�� �'� U61"�� �<�`M�"M�&)"�>"�'?25�

Dari Amr Bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: “Rasulullah ditanya tentang aqiqah? Maka beliau bersabda Allah tidak menyukai aqiqah-aqiqah itu, seperti halnya nama yang dimakruhkan, nabi bersabda bagi orang tua yang melahirkan dan ingin memperlihatkan rasa cintanya dengan melakukan ibadah aqiqah, maka beribadahlah (beraqiqahlah) dengan menyembelih dua ekor kambing yang sama-sama cukup umur untuk anak laki-lakinya dan seeokor untuk anak perempuan. (HR. Abu Dawud). Dalam hadits tersebut awalnya Rasulullah sekan-akan justru

melarang beraqiqah tapi kemudian pada kalimat selanjutnya

menganjurkannya. Dari sini nampak jelas bawah perintah aqiqah

mengandung qarinah dan qarinahnya berupa kemampuan ekonomi orang

tua. Jika kedua orang tuanya mampu dan ingin merayakan kelahiran

anaknya, maka lakukanlah ibadah yang berupa melaksanakan aqiqah.

Berdasarkan keterangan di atas, kiranya jelas bahwa hukum

mengaqiqahkan anak adalah sunnah dan dianjurkan. Ini menurut

25 Imam Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy’ats As-Sajastani, Op.Cit., hlm.313

23

kebanyakan imam dan ahli fiqh. Maksudnya meskipun Rasulullah SAW

tidak menggolongkannya ke dalam perintah yang diwajibkan, namun

beliau senantisa melaksanakannya. Tidak pernah mengabaikannya,

ataupun hanya beliau lakukan sesekali secara berkala.

Bagaimanapun aqiqah merupakan ibadah sosial yaitu

menyedekahkan daging binatang kepada orang lain, oleh karena itu

hendaklah orang tua melakukannya, jika memang memungkinkan dan

mampu menghidupkan sunnah Rasulullah SAW. Sehingga ia menerima

keutamaan dan pahala dari Allah SWT. Mengingat hukumnya hanya

sunnah, maka tidak akan memberatkan bagi orang tua yang memang

benar-benar tidak mampu untuk beraqiqah, karena tanpa mengaqiqahkan

anak-anaknya pun mereka tidak akan menerima sanksi siksaan dari Allah

SWT.

C. Jenis, Jumlah dan Syarat Binatang Aqiqah

Berdasarkan keterangan beberapa hadist yang kita pelajari, sepintas telah

dapat kita pahami bahwa jenis binatang aqiqah adalah kambing dan jumlah

masing-masing dua ekor untuk bayi laki-laki dan seekor untuk bayi

perempuan.

Namun demikian, agar pemahaman kita lebih jelas, perlulah kiranya kita

ketahui lebih jauh tentang jenis, jumlah dan syarat binatang aqiqah dalam

pembahasan berikut ini:

a. Jenis Binatang Aqiqah

Perlu kita ketahui bahwa jenis binatang aqiqah ini tidak luput dari

perbedaan pendapat para ulama. Kita maklum adanya perbedaan ini

kadang-kadang membingungkan bagi kaum awam, tetapi jika kita sadari

lebih jauh, perbedaan itu justru memberikan jalan kemudahan tersendiri,

terutama jika kita sadar bahwa pemikiran dan keyakinan kita sendiri pada

dasarnya memiliki perbedaan yang sangat komplek.

Pada dasarnya aqiqah memiliki banyak kesamaan dengan qurban

termasuk di dalamnya kesamaan dalam hal jenis binatangnya. Maka

24

sebagaimana halnya jenis binatang yang digunakan untuk keperluan

qurban jenis binatang yang digunakan untuk keperluan aqiqah biasanya

memilih di antara empat jenis, yaitu:

1. Kambing

Jenis kambing inilah yang banyak disinggung dalam beberapa

hadist. Menurut sebagian pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi’i,

beraqiqah menggunakan kambing akan lebih afdhal dibanding dengan

binatang yang lain26.

2. Domba

Jenis ini pernah dipergunakan oleh baginda Rasulullah SAW,

ketika mengaqiqahkan cucunya Hasan dan Husain.

3. Sapi

Dalam beberapa pengertian tidak ditegaskan bahwa aqiqah harus

menggunakan kambing. Namun jika dikiaskan dengan qurban, maka

aqiqah pun boleh menggunakan binatang lain semisal sapi.

4. Unta

Bagi orang tua yang tergolong berekonomi tinggi, maka

disunnahkan untuk menggunakan jenis binatang yang harganya lebih

tinggi semisal unta.

Demikian itu, jenis-jenis binatang yang dapat dipergunakan untuk

keperluan aqiqah. Dengan mengetahui jenis-jenisnya, orang tua dapat

memilih jenis binatang mana yang paling sesuai dengan kemampuan

ekonomi masing-masing.

b. Jumlah Binatang Aqiqah

Tentang jumlah binatang yang ditetapkan untuk pelaksanaan aqiqah

ini ada beberapa pendapat:

1. Untuk anak laki-laki disembelih dua ekor kambing dan untuk anak

perempuan disembelih satu ekor kambing27.

26 Muhammad Rifa’i, dkk., Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, (Semarang: Toha

Putra, 1978), hlm. 431. 27 Ramlan Mardjoned, Aqiqah, (Jakarta: Media Dakwah, 2002), hlm. 46.

25

Pendapat ini didasarkan pada hadist Nabi SAW:

� �N� � ������� �!�E�� $�!"����&�� '��A�"�� +�, � C�O�:��� PQ� ��� ����� ��� ����6A�"����F � -�:

A� (�RG��S�-�A� ,� T�.�/�061"�8�� �'� U61"�� ��H�� T<=7-�(1"�>"�'?28

Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah SAW memerintahkan orang-orang agar menyembelih aqiqah untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing. (HR. Turmudzi)

Jumhur ulama berpendapat bahwa anak perempuan diaqiqahi setengah

dari anak laki-laki. Maksudnya apabila anak perempuan satu maka

untuk anak laki-laki dua.

2. Ada yang boleh mengaqiqahi anak laki-laki dengan satu kambing. Ini

berdasarkan hadits Nabi SAW:

��� 3 ;61"� � � �� � �a�� � �� ����� � !"� #�� $� !"� ���&�� '� �A�"� @b��C � ��)"� ��

��cP�C�\��cP�C�\�� ��+�4 � !"� Bd '���� 3�;61" �<M��"M�&)"�>"�'? 29�����

Dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah SAW mengaqiqahkan cucunya Hasan dan Husain bin Ali masing-masing seekor domba (kambing kibas). (HR. Abu Dawud)

Demikian halnya dengan pendapat imam mazdhab yang empat. Di

antara mereka juga ada ketidaksamaan jumlah binatang aqiqah. Tiga orang

imam yaitu Abu Hanifah, Asy Syafi’i dan Ahmad bin Hambali

menyatakan bahwa “aqiqah ialah menyembelih dua ekor kambing untuk

anak laki-laki dan seekor kambing untuk anak perempuan, dilakukan pada

hari yang ketujuh dari kelahirannya”. Sementara imam Malik bin Annas

menyatakan baik untuk lelaki maupun perempuan disembelih seekor

saja30.

28 Kamal Yusuf al-Hauti, Op.Cit., hlm. 81 29 Imam Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy’ats As-Sajastani, Op.Cit., hlm. 313 30 Teungku Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, Hukum Fiqh Islam Tinjauan antar

Mazhab, Op.Cit., hlm. 195

26

Berdasarkan keterangan hadist dan pendapat imam madhab tersebut,

maka dapat kita ambil pemahaman bahwa khusus bagi orang tua yang

kurang mampu, mereka bisa mengaqiqahkan anak laki-lakinya hanya

dengan seekor kambing. Hal ini tidak akan mengurangi nilai aqiqah, asal

kita jujur dan tidak berpura-pura tidak mampu.

c. Syarat Binatang Aqiqah

Kebanyakan para ulama berpendapat bahwa semua binatang yang

disembelih untuk aqiqah sama dengan binatang untuk qurban. Bila untuk

qurban binatang itu sah untuk disembelih, hal itu berlaku juga untuk

binatang yang disembelih untuk aqiqah.

Menurut Malik, aqiqah sama dengan qurban, kita tidak boleh

menyembelih untuk aqiqah, binatang yang cacat, kurus, berpenyakit dan

yang kakinya patah. Binatang betina sama halnya dengan binatang qurban,

boleh juga disembelih31.

Mayoritas ulama berpendapat, bahwa usia binatang yang disembelih

untuk aqiqah sama dengan usia binatang untuk qurban. Dapat dikatakan

bahwa persyaratan binatang untuk aqiqah sama dengan syarat binatang

untuk qurban yaitu binatang yang baik, gemuk dan tidak cacat.

Prof. Dr. Ramayulis dkk, mengatakan bahwa binatang yang akan

diaqiqahkan mempunyai beberapa syarat, yaitu32:

a. Hendaknya sembelihan itu tidak cacat. Berdasarkan alasan ini, tidak sah

mengorbankan binatang yang buta total, pincang, terpotong telinganya

dan sebagainya.

b. Hendaknya binatang itu berumur satu tahun atau lebih atau memasuki

dua tahun, jika binatang itu biri-biri atau kambing.

c. Tidak boleh kooperatif, misalnya tujuh orang bergabung untuk

melaksanakan aqiqah. Sebab, jika cara kooperatif itu sah maka tujuan

untuk mengaqiqahkan anak itu tidak tercapai.

31 Teungku Muhammad Hasby Ash Shiddiqy, Tuntunan Qurban dan Aqiqah, Diedit oleh

H.Z. Fuad Hasbi Ash-Shiddiqy, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 56. 32 Ramayulis, dkk., Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga,(Jakarta: Kalam Mulia,2001)

hlm. 125-126.

27

d. Daging-daging yang diaqiqahkan itu hendaklah dibagi-bagikan kepada

orang lain, dan diutamakan dibagi-bagikan kepada fakir miskin.

e. Dianjurkan agar aqiqah itu disembelih atas nama anak yang dilahirkan

f. Apa yang sah di dalam qurban adalah sah di dalam aqiqah, ditinjau dari

segi maknanya, bersedekahnya dan menghadiahkannya.

Persyaratan tersebut sesungguhnya untuk melatih agar senantiasa

memakan sesuatu yang terbaik, sesuai dengan firman Allah SWT:

���%\� 46� e '�� -�f � Cg��h���-�"&%�%\�"&�4 -"�i� ��7�1"�� +���:� �<����C1"���?

Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu”. (QS. Al-Baqarah: 172).33 Yang dimaksud dengan kata “Thayyib” (baik) adalah yang baik

menurut penelitian para ahli atau dengan kata lain yang bergizi. Kata

“Thayyib” dari segi bahasa berarti sesuatu yang telah mencapai puncak

dalam bidangnya34.

Dalam ayat di atas, menjelaskan, kepada orang-orang muslim yang

beriman untuk memakan rizki yang baik-baik. Maksudnya yang bersih

serta halal yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi, bukan

makanan yang basi, kotor dan sebagainya.

D. Waktu Ibadah Aqiqah

Jumhur ulama berpendapat bahwa aqiqah itu hanya berlaku bagi anak-

anak kecil saja berdasarkan hadist yang menyatakan bahwa tiap-tiap anak

tergadai pada aqiqahnya yaitu dengan menyembelih binatang aqiqah pada

hari ketujuh dari hari kelahirannya35.

Tetapi ada pendapat yang menunjukkan bahwa keterikatan dengan hari

ketujuh itu bukan merupakan suatu keharusan, melainkan hanya merupakan

33 Soenarjo, dkk., Op.Cit., hlm. 42. 34 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 287. 35 Proyek Pembinaan Sarana Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, IAIN

Jakarta, Ilmu Fiqih, Jilid I, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983), Cet. II, hlm. 501.

28

suatu anjuran. Jika diaqiqahi pada hari keempat, kedelapan, kesepuluh atau

setelah itu, maka aqiqah itupun telah cukup36.

Ada yang mengatakan bahwa menyembelih pada hari ketujuh, hanya

merupakan keutamaan, Asy-Syafi’i berpendapat, aqiqah boleh disembelih

sebelum atau sesudah hari ketujuh asal anak tersebut belum baligh37.

Terdapat perselisihan pendapat para ulama menyangkut hari

menyembelih aqiqah. Namun kita harus berpegang kepada hadist yang shahih

mengenai masalah ini, ialah kenyataan bahwa Rasulullah SAW menyembelih

aqiqah untuk kedua cucunya pada hari ketujuh kelahirannya.

Imam Malik berpendapat, hari kelahirannya tidak dihitung kecuali jika ia

lahir malam hari, sebelum terbit fajar. Kelihatannya batasan hari tersebut

merupakan anjuran saja. Jika ia disembelih pada hari keempat, kedelapan,

kesepuluh atau sesudah itu, maka itu boleh saja. Demikian pula, yang dilihat

adalah hari penyembelihannya, bukan hari dimasak dan dimakannya38.

Menurut Drs. RS. Abdul Aziz, aqiqah itu waktunya sejak anak itu lahir

dan tidak ada batas waktunya. Kalau anak itu telah baligh dan aqiqahnya

belum dilakukan, maka sunnah ia sendiri melakukannya39.

Dari beberapa pendapaat di atas, maka dapatlah kita pinjam istilah waktu

ada’ dan waktu qadha’ dalam sebuah kewajiban.

Waktu ada’ adalah waktu yang tepat atau kewajiban yang dilaksanakan

tepat pada waktunya. Sedangkan waktu qadha’ adalah kewajiban yang

dilaksanakan pada waktu yang lain.40

36 Abdullah Nasih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Bandung: Asy-

syifa’, 1990), Cet. II, hlm. 82. 37 Teungku Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, Tuntunan Qurban dan Aqiqah, Op.Cit.,

hlm. 58 . 38 Ibn Qoyyim Al-Jauziyyah, Mengantar Balita Menuju Dewasa, Penerjemah Fauzi

Bahreisy, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta , 2002), Cet. 2, hlm. 55-56. 39 R.S. Abdul Aziz, Op.Cit., hlm. 88. 40 M. Nipan Abdul Halim, Mendidik Kesalehan Anak (Akikah, Pemberian Nama, Khitan

dan Maknanya), Op.Cit., hlm. 20

29

Waktu ada’

Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Samurah seperti yang

diterangkan di muka, jelaslah waktu ada’ atau waktu yang tepat untuk

mengaqiqahkan anak adalah pada hari ketujuh dari kelahiran anak atau pada

saat anak berusia tujuh hari. Yaitu bersamaan dengan acara mencukur rambut

kepalanya serta menamainya.

Apabila aqiqah bisa dilaksanakan tepat pada hari ketujuh dari kelahiran

anak tentu akan lebih baik dan lebih afdhal dan sesuai dengan apa yang

diajarkan Rasulullah SAW.

Waktu qadha’

Istilah qadha’ dalam hal ini menjiplak istilah al-Mawardi, salah seorang

ulama dari kalangan mazhab Syafi’i dalam kitabnya Al-Uddah dan Al-Hawi,

ia menyatakan: “sesungguhnya aqiqah (yang dilaksanakan) setelah hari

ketujuh (dari kelahiran anak) adalah pelaksanaan qadha’41

Pernyataan ini menujukkan bahwa aqiqah boleh dilaksanakan pasca

pencukuran dan penamaan anak. Di sisi lain hal itu mengisyaratkan pula

bahwa sunnahnya aqiqah tidak akan gugur karena berlalunya hari ketujuh dari

waktu kelahiran anak.

Pendapat (qaul) Mukhtar, yaitu pendapat terpilih para ulama dari

kalangan mazhab Syafi’i menyatakan bahwa waktu aqiqah masih berlaku

pasca hari ketujuh kelahiran anak dengan urutan sebagai berikut:42

1. Jika pada hari ketujuh masih belum mampu, maka aqiqah boleh

dilaksanakan ketika masa nifas ibu berakhir.

2. Jika sampai masa nifas si ibu bayi berakhir dan belum mampu maka

aqiqah boleh dilaksanakan hingga berakhirnya masa menyusui.

3. Jika masa-masa menyusui telah berakhir dan belum mampu

mengaqiqahkan juga, maka aqiqah dianjurkan agar dilaksanakan hingga

anak berusian tujuh tahun.

41 Imam Taqiyyudin Abu Bakar Bin Muhammad Al-Husaini, Op.Cit., hlm. 506 42 Ibid.,

30

4. Jika usia tujuh tahun bagi si anak telah terlewati dan belum mampu

mengaqiqahkan maka dipersilahkan mengaqiqahkannya sebelum anak

dewasa.

5. Jika anak telah berusia dewasa maka gugurlah kesunnahan aqiqah bagi

orang tuanya dan dipersilahkan anak untuk mengaqiqahkan dirinya sendiri.

Aqiqah pada dasarnya adalah sebuah kesunnahan yang diberlakukan

bagi orang tua atau wali yang menanggung nafkah anak yang bersangkutan.

Namun mengingat dalam qaul Mukhtar dikatakan bahwa setelah anak dewasa

dan orang tuanya belum mampu mengaqiqahkannya, kemudian anak tadi

dipersilahkan untuk mengaqiqahkan dirinya sendiri, maka ada beberapa

pendapat:43

a. Pendapaat qaul tersebut ternyata didukung pula oleh pendapat Ar-Rafi’i

dan pendapat sebagian ulama lainnya. Imam Ar-Rafi’i mengemukakan

bahwa Nabi SAW menyembelih aqiqah untuk dirinya sendiri sesudah

diangkat menjadi Nabi. Yang lain juga mengemukakan alasan yang sama

dan menambahkan bahwa kejadian itu diturunkan sesudah surat Al-

Baqarah, tetapi hadist ini lemah dipandang dari semua sanadnya.

b. Imam Syafi’i telah menentukan bahwa seseorang tidak boleh menunda

aqiqah karena dirinya sendiri. Pendapat ini juga diikuti oleh An-Nawawi

Dari keterangan di atas, menurut penulis, kecenderungan itu ada pada

pendapat As-Syafi’i yaitu tidak perlu mengaqiqahkan diri sendiri. Mengingat

sunnahnya aqiqah itu terletak pada pihak orang tua atau wali yang

menanggung nafkah si anak.

Di lingkungan kita, mungkin ada kebiasaan mengaqiqahkan orang yang

telah meninggal. Menurut penulis, jika menurut As-Syafi’i mengaqiqahkan

diri sendiri saja tidak boleh, maka mengaqiqahkan orang tua yang sudah

meninggalpun tidak perlu.

Dengan demikian patokan yang digunakan untuk aqiqah, tepatlah pada

hari ketujuh anak itu dilahirkan itu lebih utamanya, jika pun ditunda, maka

43 Ibid., hlm. 507

31

penundaan itu dapat dilaksanakan sesuai dengan pendapat (qaul) Mukhtar

yang telah disebutkan di atas.

E. Proses Ibadah Aqiqah

Sebagaimana halnya walimatul ursy dan walimah khitan pada umumnya

pesta aqiqah juga dilakukan dengan mengundang sanak keluarga, para famili,

dan tetangga tanpa pandang bulu. Miskin, kaya, laki-laki dan perempuan

boleh diundang. Tentu saja segala sesuatunya harus ditata sedemikian rupa

sehingga tidak mengotori makna aqiqah yang merupakan sunnah Rasul.

Semuanya harus dilakukan dengan cara-cara yang islami, baik pengaturan

tempat duduk, cara berpakaian maupun tata cara makan.

Bahkan guna menambah nilai spiritual aqiqah, ada baiknya jika dalam

rangkaian acara aqiqah ini juga diselipkan ceramah agama. Materinya bisa

tentang pendidikan anak, kewajiban anak terhadap orang tua, tanggungjawab

orang tua terhadap anak dan sebagainya yang sekiranya relevan. Dengan

demikian pihak keluarga dan para undangan tidak sekedar hadir untuk pesta

makan, melainkan juga bisa mendapatkan tambahan ilmu sebagai bekal untuk

menjalani kehidupan ke arah yang lebih baik.

Adapun waktunya bisa siang, sore atau malam sesuai kondisi. Misalnya

pagi mengadakan pencukuran rambut dan pemberian nama, siangnya

menyembelih kambing kemudian sore harinya digunakan untuk

mendengarkan ceramah agama dan makan bersama.

Proses aqiqah pada dasarnya meliputi tiga kegiatan yang dilakukan secara

bersamaan yaitu kegiatan menyembelih binatang aqiqah, mencukur rambut

kepala anak dan menamainya44. Namun mengingat sulitnya melaksanakan

ketiga kegiatan secara bersamaan dalam satu waktu sekaligus. Maka

pengertian “bersamaan” itu dapat kita artikan dengan serangkaian, yaitu

serangkaian kegiatan yang meliputi penyembelihan binatang aqiqah,

pencukuran rambut kepala anak dan pemberian nama anak.

44 M. Nipan Abdul Halim, Mendidik Kesalehan Anak (Akikah, Pemberian Nama, Khitan

dan Maknanya), Op.Cit., hlm. 23.

32

Hal tersebut sesuai dengan hadist Nabi yang diriwayatkan dari Samurah

yang telah disinggung di bagian atas. Di mana berdasarkan hadist tersebut,

maka serangkaian kegiatan aqiqah didahului dengan menyembelih binatang

aqiqah, kemudian diiringi dengan mencukur rambut kepala anak dan terakhir

menamainya.

Berikut pembahasannya satu persatu:

1. Menyembelih Binatang Aqiqah

Menyembelih binatang untuk aqiqah harus dilakukan sesuai dengan

cara yang telah disyari’atkan. Secara lebih terurai, cara menyembelih

binatang aqiqah adalah sebagai berikut:45

a. Mengasah pisau hingga benar-benar tajam.

b. Mengikat binatang dengan tali agar ketika disembelih tidak bebas

bergerak sehingga tidak menyulitkan penyembelihan.

c. Membaringkan binatang dengan lambung kiri menempel ke tanah

sehingga tangan kiri orang yang menyembelih berada di sebelah kepala

binatang dan kepala binatang ada di selatan.

d. Penyembelih menghadap kiblat.

e. Membaca do’a:

!"���3)�8�� C6\�"� !�"�8 ,� _ ���1" �� _ �4-�%������ �61"�>7 F������� �6Y�C��`̀`̀`̀`̀`̀`̀

Dengan nama Allah. Allah maha besar. Ya Allah, aqiqah ini adalah karunia-Mu dan aku kembalikan kepada-Mu. Ya Allah, ini aqiqah………(sebut nama anak yang diaqiqahi), maka terimalah”.

f. Pisau ditekan dengan kuat ke leher binatang, sehingga saluran

pernapasan dan saluran makanan benar-benar putus.

g. Penyembelihan bisa dilakukan sendiri atau boleh juga diwakilkan

kepada orang lain.

h. Penyembelih dalam keadaan berakal sehat.

2. Mencukur Rambut Kepala Anak

45 Ahmad Ma’ruf Asrari dan Suheri Ismail, Op.Cit., hlm. 82-84

33

Mengiringi usainya penyembelihan binatang aqiqah, maka akan

dilakukan rentetan kegiatan kedua, yaitu mencukur rambut kepala anak.

Mencukur rambut yang disyari’atkan oleh agama saat pelaksanaan

aqiqah adalah mencukur seluruh rambut kepala anak yang dibawa sejak

dalam kandungan ibunya46.

Mencukur rambut kepala anak sebaiknya dilakukan di hadapan sanak

keluarga agar mereka mengetahui dan menjadi saksi. Boleh dilakukan oleh

orang tuanya sendiri atau jika tidak mampu, bisa diwakilkan kepada

ahlinya.

Ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam mencukur rambut

kepala anak, yaitu:47

a. Dengan membaca basmallah.

b. Arah mencukur rambut dari sebelah kanan ke kiri.

c. Dicukur bersih (gundul) tidak boleh ada bagian yang disisakan

sehingga kelihatan belang-belang.

d. Rambut hasil cukuran dan nilainya disedekahkan. Maksudnya, setelah

anak dicukur, semua rambutnya ditimbang. Berat timbangan rambut

tersebut diganti dengan nilai emas dan perak. Nilai tukar emas atau

perak tersebut bisa diwujudkan uang sesuai dengan harga emas atau

perak di pasaran saat itu, lalu disedekahkan kepada fakir miskin.

Islam menganjurkan agar manusia selalu menjaga kesehatan anak dan

dimulai sejak bayi karena membiasakan hidup bersih dan sehat hanya

dapat dibentuk bila dipraktekkan sejak kecil. Pepatah mengatakan,”Belajar

di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar sesudah dewasa bagai

mengukir di atas air”. Maka mulailah membangun hidup sehat dan bersih

sejak anak dilahirkan dan terus dididik sehingga menjadi kebiasaan dalam

hidupnya.

Mencukur rambut kepala anak adalah awal dari kebiasaan hidup

bersih dan sehat yang diperintahkan agama. Oleh karena itu, bersihkanlah

46 Muhammad Zuhdi Zaeni, Op.Cit., hlm. 59. 47 Ahmad Ma’ruf Asrari dan Suheri Ismail, Op.Cit., hlm. 65-66

34

anak dengan mencukur seluruh rambutnya. Dengan demikian Islam telah

mendidik jiwa bersih sejak lahir.

3. Menamai Anak

Rangkaian yang ketiga dari serentetan kegiatan aqiqah ialah menamai

sang anak. Kegiatan menamai inilah yang biasanya digelar dalam bentuk

upacara, dengan mengundang sanak kerabat serta para tetangga dekat.

Shakespeare mengatakan: “Apa arti sebuah nama”, namun tidak dapat

dipungkiri, bahwa nama bisa menunjukkan identitas keluarga, bangsa

bahkan akidah. Nama merupakan sarana yang mudah dan umum

digunakan untuk mengenali sesorang dan memperlancar hubungan sosial.

Dengan demikian ungkapan di atas, lebih merupakan peringatan agar

orang tidak terjebak ke dalam penampilan lahiriah dan melupakan makna

keberadaan manusia yang hakiki. Sebab, baik buruknya seseorang

memang tidak terletak pada namanya, melainkan pada akhlak dan amal

shalehnya48.

Di dalam ajaran Islam, nama seseorang di samping sebagai panggilan

atau pengenalan terhadap seseorang, juga berfungsi sebagai do’a. Berbagai

kebiasaan yang berlaku di masyarakat adalah bahwa ketika anak

dilahirkan, maka orang tua memilihkan sebuah nama untuk anaknya.

Nama yang baik mengandung ciri dan unsur-unsur sebagai berikut:49

a. Bermakna dan berarti pujian, misalnya Ahmad atau Muhammad,

artinya terpuji.

b. Bermakna do’a dan harapan, misalnya Muhsin, artinya orang yang

baik.

c. Bermakna semangat, misalnya Syaifullah, artinya pedang Allah

Oleh karena itu, pada tempatnyalah anak diberi nama yang baik sesuai

dengan ajaran Islam.

Demikianlah keseluruhan prosesi aqiqah, yang diakhiri dengan makan

dan do’a bersama, semoga anak yang diaqiqahi kelak bisa menjadi anak

48 Ahmad Ma’ruf Asrari dan Suheri Ismail, Op.Cit., hlm. 68. 49 Ramlan Marjoned, Op.Cit., hlm. 53.

35

yang shaleh, yang beriman dan bertaqwa kepada Allah, berbakti kepada

orang tuanya serta berguna bagi agama, nusa, bangsa serta masyarakatnya.

F. Kesunnahan Dalam Menangani Daging Aqiqah

Dalam kitab-kitab fiqh disebutkan ada beberapa sunnah yang harus

diperhatikan dalam rangka menangani daging binatang aqiqah, antara lain:

1. Tidak memecahkan tulang belulangnya.

Di antara beberapa kesunnahan yang harus diperhatikan dalam

mengaqiqahi anak ialah agar tulang binatang sembelihan itu jangan sampai

hancur sedikitpun, baik pada saat menyembelih maupun pada saat

memakannya. Bahkan setiap tulang harus dipotong dari ruasnya, jangan

sampai dihancurkan.50

Sebagian ulama menyebutkan beberapa hikmah dari tidak

memecahkan tulang belulang binatang aqiqah:51

a. Untuk menunjukan kemuliaan makanan tersebut. Saat diberikan kepada

siapa saja yang makan dianjurkan agar daging tersebut berbentuk

potongan. Hal ini lebih utama dan lebih menunjukkan sikap

kedermawanan daripada kalau dipotong kecil-kecil.

b. Apabila pemberian tersebut baik, maka akan mendapat kesan yang baik

pula dari orang yang menerima. Hal itu juga menunjukkan betapa

mulianya jiwa orang dan betapa besar perhatiannya. Di sana ada

harapan besar orang tua kepada si anak agar ia menjadi besar,

mempunyai perhatian yang tinggi dan kemuliaan jiwa.

c. Ketika aqiqah disimbolkan sebagai penebus diri, dianjurkan agar tulang

tidak dipatahkan sebagai harapan agar anggota tubuh sang anak juga

selamat, sehat dan kuat.

Sunnah yang demikian mengandung pelajaran dan harapan (tafa’ul)

agar fisik si jabang bayi yang diaqiqahkan kelak tumbuh dewasa secara

normal dan sehat tanpa ada cacat ataupun penyakit tulang.

50Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak menurut Islam: Pemeliharaan Kesehatan

Jiwa Anak, Op.Cit., hlm. 82. 51 Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, Op.Cit., hlm. 69.

36

2. Daging aqiqah dibagikan kepada fakir miskin

Seseorang yang melaksanakan aqiqah boleh memakan daging

aqiqah, memberi makan dengannya, bersedekah dengannya kepada fakir

miskin atau menghadiahkan kepada teman atau karib kerabat52. Akan

tetapi daging aqiqah akan lebih utama jika dibagikan kepada fakir miskin

semuanya.

Dengan banyaknya jumlah daging aqiqah yang diberikan kepada

fakir miskin, maka sudah barang tentu kemungkinan terkabulnya do’a,

juga semakin banyak. Apalagi kita sama-sama meyakini do’a fakir miskin

lebih mudah dikabulkan. Dengan demikian, harapan akan terbentuknya

pribadi yang shaleh bagi anak yang diaqiqahi juga semakin banyak.

3. Daging aqiqah dibagikan setelah masak

Tidak sebagaimana halnya dengan daging qurban yang dibagikan

dalam keadaan mentah, daging aqiqah disunnahkan agar dibagikan setelah

dimasak lebih dahulu, kemudian disedekahkan kepada fakir miskin53.

Hal demikian dikarenakan jika dagingnya sudah dimasak maka

orang-orang miskin dan tetangga tidak merasa repot lagi. Dan ini akan

menambah kebaikan dan rasa syukur terhadap ni’mat tersebut. Para

tetangga, anak-anak dan orang-orang miskin dapat menyantapnya dengan

gembira. Sebab, orang yang diberi daging yang sudah dimasak, siap

dimakan, enak rasanya tentu rasa gembiranya lebih dibanding jika diberi

daging mentah yang masih membutuhkan tenaga lain untuk memasaknya.

Dan pada umumnya, makanan syukuran (dibuat dalam rangka untuk

menunjukkan rasa syukur) dimasak dahulu sebelum diberikan atau

dihidangkan kepada orang lain. Sebab hal tersebut lebih menunjukkan

akhlak terpuji dan sikap kedermawanan daripada memberikan daging

secara mentah.

52Abu Muhammad Ishom Bin Mar’i, Perayaan Aqiqah menurut Islam, (Yogyakarta:

Litera Sunny Press Kerjasama dengan Titian Illahi Press, 1997), hlm. 50. 53 Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Jakarta: At-Tahiriyah, 1976), Cet. 17, hlm. 453.

37

Bagi orang tua yang kurang mencukupi, mungkin lebih tepat jika

daging aqiqah yang sudah dimasak itu dibagikan bersamaan dengan

upacara penamaan anak dalam jamuan makanan para tamu yang diundang.

Demikian beberapa kesunnahan dalam menangani daging aqiqah.

Kesemuanya mengandung pendidikan yang berharga yang perlu kita

singkap.