BAB II 3100248 - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan...
Transcript of BAB II 3100248 - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan...
16
BAB II
IBADAH AQIQAH
A. Pengertian Ibadah Aqiqah
Dari segi bahasa ibadah sama artinya dengan taat atau kepatuhan1,
sedangkan dari segi istilah ibadah adalah semacam kepatuhan yang sampai
pada batas penghabisan, yang bergerak dari perasaan hati untuk
mengagungkan kepada yang disembah2.
Menurut ahli fiqih ibadah yaitu segala sesuatu yang dikerjakan untuk
mencapai keridhaan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat3. Majlis
Tarjih Muhammadiyah memberikan definisi tentang ibadah adalah
bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan mentaati segala
perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya dan mengamalkan segala yang
diizinkan-Nya4.
Dari tiga definisi tersebut, jelaslah bahwa ibadah adalah segala kegiatan
yang semata-mata dikerjakan berdasarkan pada memperhambakan diri kepada
Allah SWT.
Aqiqah berasal dari bahasa Arab� ����������� ����yaitu mashdar (kata benda)
dari fiil madhi� � �� � � dengan fiil mudhore’� � ���� � � � yang berarti
“mengaqiqahkan anak atau menyembelih kambing aqiqah”5. Menurut bahasa
aqiqah artinya memotong atau memisahkan, misalnya kata “Uquq Al-
Walidaini” artinya durhaka kepada kedua orang tua, karena ia memutuskan
hubungan baik kepada keduanya6.
1Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah dalam Islam, (tt.p. Central Media, tt), hlm. 29. 2 Ibid., hlm. 33. 3 Hasby Ash-shiddieqy, Kuliah Ibadah (Ibadah ditinjau dari Segi Hukum dan Hikmah),
(Jakarta: Bulan Bintang, 1985), Cet. 5, hlm. 4. 4 Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Semarang: Al-Ma’arif, 1971), hlm. 47. 5 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah atau
Penafsiran Al-Qur’an, 1973), hlm. 273. 6 Muhammad Zuhdi Zaeni, Merayakan kelahiran Bayi, (Jakarta: Al-Mawardi Prima,
2003), hlm. 8.
17
Menurut para ulama, pengertian aqiqah secara etimologis ialah rambut
kepala bayi yang tumbuh semenjak lahirnya7.
Adapun untuk mengetahui makna aqiqah secara istilah syara’, penulis
petikkan beberapa pendapat ulama berikut;
1. Menurut Sayyid Sabiq, Aqiqah adalah sembelihan yang disembelih untuk
anak yang baru lahir8.
2. Menurut Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini,
Aqiqah adalah nama sesuatu yang disembelihkan pada hari ketujuh, yakni
hari mencukur rambut kepalanya yang disebut Aqiqah dengan menyebut
sesuatu yang ada hubunganya dengan nama tersebut9.
3. Menurut jumhur ulama mengartikan bahwa aqiqah yaitu menyembelih
hewan pada hari ketujuh dari hari lahirnya seorang anak baik laki-laki
maupun perempuan10.
4. Menurut Drs. R. Abdul Aziz dalam bukunya Rumah Tangga Bahagia
Sejahtera, mengatakan bahwa aqiqah adalah menyembelih kambing untuk
menyelamati bayi yang baru lahir dan sekaligus memberikannya sebagai
sedekah kepada fakir miskin11.
5. Menurut Abdullah Nashih Ulwan, aqiqah berarti menyembelih kambing
untuk anak pada hari ketujuh kelahirannya.12
Selain definisi-definisi tersebut Rasulullah SAW juga menjelaskan
pengertian aqiqah dalam sabdanya:
7 M. Nipan Abdul Halim, Mendidik Keshalehan Anak (Akikah, Pemberian Nama, Khitan
dan Maknanya), (Jakarta: Pustaka Amani, 2001) hlm. 4. 8 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 13, (Bandung: Al-Ma’arif, 1995), hlm. 151. 9 Imam Taqiyyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar
(Kelengkapan Orang Shaleh), Bagian Kedua, Penerjemah KH. Syaifuddin Anwar dan KH. Misbah Mustafa,(Surabaya: Bina Iman, tt.), hlm. 505
10 Mujahid A.K, Materi Pokok Fiqih II, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Islam dan Universitas Terbuka, 2000), hlm. 409.
11 R.S. Abdul Aziz, Rumah Tangga Bahagia Sejahtera, direvisi Moh. Rifa’i, (Semarang: CV. Wicaksana, 1990), hlm. 87.
12 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak menurut Islam: Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1996), Cet. 3, hlm. 71.
18
�������� ��� ���� �������� ��� � ������� � !"�#�� $�!"�%���&�� '��������(����� �)�*� + ,���-��./���01"
2)��31"� .�& �����4 ��5 )67���8#�� 3�� ���8������96: '������;�� �<=7-�(1"�>"�'?13
Dari Samurah, sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda: “Setiap bayi tergadai pada aqiqahnya, yang disembelih pada hari ketujuh, dan pada hari itu diberi nama dan dicukurlah rambutnya”. (HR. Turmudhi). Hadist ini mengisyaratkan sebuah pengertian aqiqah secara jelas, yaitu
binatang yang disembelih sebagai tebusan bagi tergadainya kesejatian
hubungan batin antara orang tua dengan anak. Dan penyembelihannya
dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran anak bersamaan dengan mencukur
rambut kepalanya serta memberikan nama baginya.
Dari beberapa definisi di atas makna aqiqah dapat disederhanakan
sebagai berikut:
Aqiqah adalah suatu rangkaian kegiatan merayakan kelahiran anak
dengan menyembelih binatang yang dilakukan pada hari ketujuh, lalu
dagingnya disedekahkan pada fakir miskin bersamaan dengan mencukur
rambut kepala anak serta memberikan nama anak.
Dengan demikian apabila dilihat dari kegiatannya, aqiqah meliputi tiga
kegiatan yaitu:
a. Mencukur rambut kepala anak
b. Memberi nama anak
c. Menyembelih binatang (kambing, domba, sapi atau unta) yang kemudian
dinamakan binatang aqiqah.
Jadi pengertian ibadah aqiqah yaitu melaksanakan perintah Allah SWT
berupa menyembelih binatang pada hari ketujuh kelahiran anak bersamaan
dengan mencukur rambut kepalanya dan memberi nama baginya.
13 Kamal Yusuf al-Hauti, Al-Jami al-Sahih (Sunan al-Turmudzi), Juz IV, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiah, tt.), hlm. 85.
19
B. Hukum Aqiqah
Ulama berbeda pendapat tentang status hukum aqiqah. Menurut Daud
Adz-Dzahiri dan pengikutnya aqiqah hukumnya wajib, sedangkan menurut
jumhur ulama hukum aqiqah adalah sunnah. Imam Abu Hanifah menetapkan
bahwa hukum aqiqah adalah ibahah artinya tidak wajib dan tidak sunnah14.
Menurut Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam bukunya Minhajul Muslim,
mengatakan bahwa hukum aqiqah adalah sunnah muakkad bagi orang yang
mampu melaksanakannya, yaitu bagi orang tua anak yang dilahirkan15.
Perbedaan itu terjadi karena berbeda dalam menginterpretasikan makna
dan maksud hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan dari Samurah
yang tersebut di atas.
Menurut Imam Ahmad maksud dari kata-kata; “anak-anak itu tergadai
dengan aqiqahnya”, dalam hadist tersebut ialah bahwa pertumbuhan anak itu,
baik badan maupun kecerdasan otaknya, atau pembelaannya terhadap ibu
bapaknya pada hari kiamat akan tertahan, jika ibu bapaknya tidak
melaksanakan aqiqah baginya. Pendapat tersebut juga diikuti Al-Khattabi dan
didukung oleh Ibn Qoyyim. Bahkan Ibn Qoyyim menegaskan, bahwa aqiqah
itu berfungsi untuk melepaskan anak yang bersangkutan dari godaan syetan16.
Selanjutnya kata “Murtahanun” ditafsirkan bahwa aqiqah adalah suatu
kebiasaan yang harus dilaksanakan seperti keharusan seseorang menebus
barang yang digadaikan. Pendapat ini menguatkan aliran Daud Adz-Zahiri
yang mengatakan bahwa aqiqah itu wajib17.
Dalam kitab-kitab fiqh Syafi’i selalu dinyatakan bahwa hukum aqiqah
adalah mustahab (sunnah)18. Maksudnya bagi orang tua muslim, khususnya
14 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid VI, Alih Bahasa A. Hanafi M.A., (Jakarta:
Bulan Bintang, 1969), hlm. 118. 15 Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Pola Hidup Muslim: Thaharah, Ibadah dan Akhlak
(Minhajul Muslim),Alih Bahasa Rachmat Djatnika dan Ahmad Sumpeno, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991), Cet. I, hlm. 79.
16 Ahmad Ma’ruf Asrari, Suheri Ismail, Khitan dan Akikah: Upaya Pembentukan Generasi Qur’ani, (Surabaya: Al-Miftah, 1998), Cet. 2, hlm. 51.
17 M. Zuhdi Zaeni, Op.Cit., hlm. 11. 18 M. Nipan Abdul Halim, Mendidik Keshalehan Anak (Akikah, Pemberian Nama, Khitan
dan Maknanya),Op.Cit., hlm. 6.
20
bagi yang mampu, bahwa mengaqiqahkan anak adalah perbuatan yang sangat
disukai oleh Allah SWT dan sangat baik, yang hal ini juga membuktikan rasa
cinta kasih mereka terhadap anak-anaknya. Dan dengan mengaqiqahkan
anak-anaknya ini, mereka akan mendapatkan pahala dari sisi Allah SWT.
Menurut Imam Malik aqiqah adalah suatu sunnah yang disyari’atkan19.
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah dalam bukunya “Fiqih Wanita” yang
diterjemahkan M. Abdul Ghoffar E.M. mengatakan bahwa hukum aqiqah
merupakan ibadah sunnah muakkad bagi mereka yang mampu. Hukum yang
berlaku pada aqiqah ini adalah sama seperti hukum yang berlaku pada
binatang qurban, tetapi dalam aqiqah tidak diperbolehkan adanya
kebersamaan (satu kambing untuk beberapa anak)20.
Dasar hukum aqiqah
Dasar hukum disyari’atkannya aqiqah adalah adanya beberapa hadist
yang menerangkan tentang aqiqah. Di antaranya adalah hadist yang
diriwayatkan dari sahabat Samurah yang telah diterangkan di muka.
Hadist tersebut merupakan hadits yang paling shahih yang menerangkan
tentang aqiqah karena diriwayatkan oleh lima ahli hadist, yaitu Imam Ahmad,
Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud dan Imam At Turmudzi.
Sehingga sangat wajar jika hal ini akhirnya dijadikan dasar hukum bagi
kesunnahan aqiqah.21
Selain hadist yang diriwayatkan Samurah ada pula dua hadist yang
menggunakan kalimat perintah beraqiqah, kedua hadist tersebut yaitu:
a. Hadist yang diriwayatkan dari Salman Bin Amir Adh-Dhabi bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda:
19 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Fiqih Islam Tnijauan antar
Mazhab, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 195. 20 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, Terjemah M. Abdul Ghofar,
(Jakarta: Pustaka al-Kaustar, 2002), Cet. X , hlm. 481. 21 M. Nipan Abdul Halim, Mendidik Kesalehan Anak (Akikah, Pemberian Anak Khitan
dan Maknanya), Op.Cit., hlm. 8
21
�"�@�-� � ��)� �A� �6� �� �� �B�C�D1�8������� ��� � �� ����� � !�E�� $� !"�%��&�� '� ������ ��� 2 -
�&%�����F���G�H������ �.�/�061"I"�J�K6"����4 "��&%L��-�" �� - �����4 "���<M�"M&)"�>"�'?22�
Dari Salman Bin Amir Adh-Dhabi berkata: “Rasulullah SAW bersabda: Bersamaan dengan anak terdapat hak untuk diaqiqahi maka tumpahkanlah darah untuknya (dengan menyembelih binatang aqiqah) dan buanglah penyakit darinya (dengan mencukur rambut kepalanya). (HR. Abu Dawud)
b. Hadits Aisyah r.a. (istri rasulullah SAW) yang menyatakan:
� �N� � ������� �!�E�� $�!"����&�� '��A�"�� +�, � C�O�:��� PQ� ��� ����� ��� ����6A�"����F � -�:
�061"A� (�RG��S�-�A� ,� T�.�/�8�� �'� U61"�� ��H�� T<=7-�(1"�>"�'?23
Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah SAW memerintahkan orang-orang agar menyembelih aqiqah untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing. (HR. Turmudzi)
Kedua hadits di atas sama-sama mengandung perintah untuk
beraqiqah. Secara sepintas, jika dipahami keduanya dapat menujukkan
hukumnya wajib beraqiqah, sebab menurut kaidah ushul fiqh perintah itu
menunjukkan adanya hukum yang wajib.
Namun demikian, perlu disadari bahwa perintah yang
menunjukkan hukum wajib adalah perintah yang mutlak tanpa adanya
qarinah.24 Padahal jika dicermati lebih lanjut, perintah aqiqah dalam hadits
di atas mengandung qarinah berupa kemampuan si orang tua, yaitu
kemampuan untuk menyediakan dua ekor kambing jika anaknya lak-laki
atau seekor jika anaknya perempuan, jika orang tua mampu menyediakan,
22 Imam Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy’ats As-Sajastani, Sunan Abu Dawud, Juz II,
(Beirut: Dzar al-Kutub al-Ilmiah, 1996), hlm. 313 23 Kamal Yusuf al-Hauti, Op.Cit., hlm. 81 24 Qarinah artinya tanda, lihat Moh. E. Hasim, Kamus Istilah Islam, (Bandung: Pustaka,
1987), hlm. 118
22
maka dia harus beraqiqah. Tapi jika dia tidak mampu tidak ada alasan
untuk mewajibkannya.
Dengan demikian, akan lebih tepat apabila kita katakan bahwa
perintah aqiqah dalam hadist di atas bukan menujukkan hukum wajib,
tetapi menunjukkan hukum sunnah, atau perintah anjuran bukan perintah
mewajibkan.
Adanya qarinah dalam perintah aqiqah, nampak lebih jelas jika
mempelajari hadist berikut:
V �� ��T���)���� ��� �8���)�"��� �8������>�W X��� ��>" '�"���!�E�� $�!"�%��&�� '��YR��
������G�Z������ �61"�� � ��� � ������� ��[�&%���61"�!"��V ;���K�8����� ������K6"��>��\����]���\���
���6A�"��V ̂���G�*W�1 �����1� W1��� �� -�_ �3�4 �6��G����4 � _ 3�4����8����A� (�RG��S�-�A� ,� T�.�/�061"��
H�� T�� �'� U61"�� �<�`M�"M�&)"�>"�'?25�
Dari Amr Bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: “Rasulullah ditanya tentang aqiqah? Maka beliau bersabda Allah tidak menyukai aqiqah-aqiqah itu, seperti halnya nama yang dimakruhkan, nabi bersabda bagi orang tua yang melahirkan dan ingin memperlihatkan rasa cintanya dengan melakukan ibadah aqiqah, maka beribadahlah (beraqiqahlah) dengan menyembelih dua ekor kambing yang sama-sama cukup umur untuk anak laki-lakinya dan seeokor untuk anak perempuan. (HR. Abu Dawud). Dalam hadits tersebut awalnya Rasulullah sekan-akan justru
melarang beraqiqah tapi kemudian pada kalimat selanjutnya
menganjurkannya. Dari sini nampak jelas bawah perintah aqiqah
mengandung qarinah dan qarinahnya berupa kemampuan ekonomi orang
tua. Jika kedua orang tuanya mampu dan ingin merayakan kelahiran
anaknya, maka lakukanlah ibadah yang berupa melaksanakan aqiqah.
Berdasarkan keterangan di atas, kiranya jelas bahwa hukum
mengaqiqahkan anak adalah sunnah dan dianjurkan. Ini menurut
25 Imam Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy’ats As-Sajastani, Op.Cit., hlm.313
23
kebanyakan imam dan ahli fiqh. Maksudnya meskipun Rasulullah SAW
tidak menggolongkannya ke dalam perintah yang diwajibkan, namun
beliau senantisa melaksanakannya. Tidak pernah mengabaikannya,
ataupun hanya beliau lakukan sesekali secara berkala.
Bagaimanapun aqiqah merupakan ibadah sosial yaitu
menyedekahkan daging binatang kepada orang lain, oleh karena itu
hendaklah orang tua melakukannya, jika memang memungkinkan dan
mampu menghidupkan sunnah Rasulullah SAW. Sehingga ia menerima
keutamaan dan pahala dari Allah SWT. Mengingat hukumnya hanya
sunnah, maka tidak akan memberatkan bagi orang tua yang memang
benar-benar tidak mampu untuk beraqiqah, karena tanpa mengaqiqahkan
anak-anaknya pun mereka tidak akan menerima sanksi siksaan dari Allah
SWT.
C. Jenis, Jumlah dan Syarat Binatang Aqiqah
Berdasarkan keterangan beberapa hadist yang kita pelajari, sepintas telah
dapat kita pahami bahwa jenis binatang aqiqah adalah kambing dan jumlah
masing-masing dua ekor untuk bayi laki-laki dan seekor untuk bayi
perempuan.
Namun demikian, agar pemahaman kita lebih jelas, perlulah kiranya kita
ketahui lebih jauh tentang jenis, jumlah dan syarat binatang aqiqah dalam
pembahasan berikut ini:
a. Jenis Binatang Aqiqah
Perlu kita ketahui bahwa jenis binatang aqiqah ini tidak luput dari
perbedaan pendapat para ulama. Kita maklum adanya perbedaan ini
kadang-kadang membingungkan bagi kaum awam, tetapi jika kita sadari
lebih jauh, perbedaan itu justru memberikan jalan kemudahan tersendiri,
terutama jika kita sadar bahwa pemikiran dan keyakinan kita sendiri pada
dasarnya memiliki perbedaan yang sangat komplek.
Pada dasarnya aqiqah memiliki banyak kesamaan dengan qurban
termasuk di dalamnya kesamaan dalam hal jenis binatangnya. Maka
24
sebagaimana halnya jenis binatang yang digunakan untuk keperluan
qurban jenis binatang yang digunakan untuk keperluan aqiqah biasanya
memilih di antara empat jenis, yaitu:
1. Kambing
Jenis kambing inilah yang banyak disinggung dalam beberapa
hadist. Menurut sebagian pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi’i,
beraqiqah menggunakan kambing akan lebih afdhal dibanding dengan
binatang yang lain26.
2. Domba
Jenis ini pernah dipergunakan oleh baginda Rasulullah SAW,
ketika mengaqiqahkan cucunya Hasan dan Husain.
3. Sapi
Dalam beberapa pengertian tidak ditegaskan bahwa aqiqah harus
menggunakan kambing. Namun jika dikiaskan dengan qurban, maka
aqiqah pun boleh menggunakan binatang lain semisal sapi.
4. Unta
Bagi orang tua yang tergolong berekonomi tinggi, maka
disunnahkan untuk menggunakan jenis binatang yang harganya lebih
tinggi semisal unta.
Demikian itu, jenis-jenis binatang yang dapat dipergunakan untuk
keperluan aqiqah. Dengan mengetahui jenis-jenisnya, orang tua dapat
memilih jenis binatang mana yang paling sesuai dengan kemampuan
ekonomi masing-masing.
b. Jumlah Binatang Aqiqah
Tentang jumlah binatang yang ditetapkan untuk pelaksanaan aqiqah
ini ada beberapa pendapat:
1. Untuk anak laki-laki disembelih dua ekor kambing dan untuk anak
perempuan disembelih satu ekor kambing27.
26 Muhammad Rifa’i, dkk., Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, (Semarang: Toha
Putra, 1978), hlm. 431. 27 Ramlan Mardjoned, Aqiqah, (Jakarta: Media Dakwah, 2002), hlm. 46.
25
Pendapat ini didasarkan pada hadist Nabi SAW:
� �N� � ������� �!�E�� $�!"����&�� '��A�"�� +�, � C�O�:��� PQ� ��� ����� ��� ����6A�"����F � -�:
A� (�RG��S�-�A� ,� T�.�/�061"�8�� �'� U61"�� ��H�� T<=7-�(1"�>"�'?28
Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah SAW memerintahkan orang-orang agar menyembelih aqiqah untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing. (HR. Turmudzi)
Jumhur ulama berpendapat bahwa anak perempuan diaqiqahi setengah
dari anak laki-laki. Maksudnya apabila anak perempuan satu maka
untuk anak laki-laki dua.
2. Ada yang boleh mengaqiqahi anak laki-laki dengan satu kambing. Ini
berdasarkan hadits Nabi SAW:
��� 3 ;61"� � � �� � �a�� � �� ����� � !"� #�� $� !"� ���&�� '� �A�"� @b��C � ��)"� ��
��cP�C�\��cP�C�\�� ��+�4 � !"� Bd '���� 3�;61" �<M��"M�&)"�>"�'? 29�����
Dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah SAW mengaqiqahkan cucunya Hasan dan Husain bin Ali masing-masing seekor domba (kambing kibas). (HR. Abu Dawud)
Demikian halnya dengan pendapat imam mazdhab yang empat. Di
antara mereka juga ada ketidaksamaan jumlah binatang aqiqah. Tiga orang
imam yaitu Abu Hanifah, Asy Syafi’i dan Ahmad bin Hambali
menyatakan bahwa “aqiqah ialah menyembelih dua ekor kambing untuk
anak laki-laki dan seekor kambing untuk anak perempuan, dilakukan pada
hari yang ketujuh dari kelahirannya”. Sementara imam Malik bin Annas
menyatakan baik untuk lelaki maupun perempuan disembelih seekor
saja30.
28 Kamal Yusuf al-Hauti, Op.Cit., hlm. 81 29 Imam Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy’ats As-Sajastani, Op.Cit., hlm. 313 30 Teungku Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, Hukum Fiqh Islam Tinjauan antar
Mazhab, Op.Cit., hlm. 195
26
Berdasarkan keterangan hadist dan pendapat imam madhab tersebut,
maka dapat kita ambil pemahaman bahwa khusus bagi orang tua yang
kurang mampu, mereka bisa mengaqiqahkan anak laki-lakinya hanya
dengan seekor kambing. Hal ini tidak akan mengurangi nilai aqiqah, asal
kita jujur dan tidak berpura-pura tidak mampu.
c. Syarat Binatang Aqiqah
Kebanyakan para ulama berpendapat bahwa semua binatang yang
disembelih untuk aqiqah sama dengan binatang untuk qurban. Bila untuk
qurban binatang itu sah untuk disembelih, hal itu berlaku juga untuk
binatang yang disembelih untuk aqiqah.
Menurut Malik, aqiqah sama dengan qurban, kita tidak boleh
menyembelih untuk aqiqah, binatang yang cacat, kurus, berpenyakit dan
yang kakinya patah. Binatang betina sama halnya dengan binatang qurban,
boleh juga disembelih31.
Mayoritas ulama berpendapat, bahwa usia binatang yang disembelih
untuk aqiqah sama dengan usia binatang untuk qurban. Dapat dikatakan
bahwa persyaratan binatang untuk aqiqah sama dengan syarat binatang
untuk qurban yaitu binatang yang baik, gemuk dan tidak cacat.
Prof. Dr. Ramayulis dkk, mengatakan bahwa binatang yang akan
diaqiqahkan mempunyai beberapa syarat, yaitu32:
a. Hendaknya sembelihan itu tidak cacat. Berdasarkan alasan ini, tidak sah
mengorbankan binatang yang buta total, pincang, terpotong telinganya
dan sebagainya.
b. Hendaknya binatang itu berumur satu tahun atau lebih atau memasuki
dua tahun, jika binatang itu biri-biri atau kambing.
c. Tidak boleh kooperatif, misalnya tujuh orang bergabung untuk
melaksanakan aqiqah. Sebab, jika cara kooperatif itu sah maka tujuan
untuk mengaqiqahkan anak itu tidak tercapai.
31 Teungku Muhammad Hasby Ash Shiddiqy, Tuntunan Qurban dan Aqiqah, Diedit oleh
H.Z. Fuad Hasbi Ash-Shiddiqy, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 56. 32 Ramayulis, dkk., Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga,(Jakarta: Kalam Mulia,2001)
hlm. 125-126.
27
d. Daging-daging yang diaqiqahkan itu hendaklah dibagi-bagikan kepada
orang lain, dan diutamakan dibagi-bagikan kepada fakir miskin.
e. Dianjurkan agar aqiqah itu disembelih atas nama anak yang dilahirkan
f. Apa yang sah di dalam qurban adalah sah di dalam aqiqah, ditinjau dari
segi maknanya, bersedekahnya dan menghadiahkannya.
Persyaratan tersebut sesungguhnya untuk melatih agar senantiasa
memakan sesuatu yang terbaik, sesuai dengan firman Allah SWT:
���%\� 46� e '�� -�f � Cg��h���-�"&%�%\�"&�4 -"�i� ��7�1"�� +���:� �<����C1"���?
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu”. (QS. Al-Baqarah: 172).33 Yang dimaksud dengan kata “Thayyib” (baik) adalah yang baik
menurut penelitian para ahli atau dengan kata lain yang bergizi. Kata
“Thayyib” dari segi bahasa berarti sesuatu yang telah mencapai puncak
dalam bidangnya34.
Dalam ayat di atas, menjelaskan, kepada orang-orang muslim yang
beriman untuk memakan rizki yang baik-baik. Maksudnya yang bersih
serta halal yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi, bukan
makanan yang basi, kotor dan sebagainya.
D. Waktu Ibadah Aqiqah
Jumhur ulama berpendapat bahwa aqiqah itu hanya berlaku bagi anak-
anak kecil saja berdasarkan hadist yang menyatakan bahwa tiap-tiap anak
tergadai pada aqiqahnya yaitu dengan menyembelih binatang aqiqah pada
hari ketujuh dari hari kelahirannya35.
Tetapi ada pendapat yang menunjukkan bahwa keterikatan dengan hari
ketujuh itu bukan merupakan suatu keharusan, melainkan hanya merupakan
33 Soenarjo, dkk., Op.Cit., hlm. 42. 34 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 287. 35 Proyek Pembinaan Sarana Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, IAIN
Jakarta, Ilmu Fiqih, Jilid I, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983), Cet. II, hlm. 501.
28
suatu anjuran. Jika diaqiqahi pada hari keempat, kedelapan, kesepuluh atau
setelah itu, maka aqiqah itupun telah cukup36.
Ada yang mengatakan bahwa menyembelih pada hari ketujuh, hanya
merupakan keutamaan, Asy-Syafi’i berpendapat, aqiqah boleh disembelih
sebelum atau sesudah hari ketujuh asal anak tersebut belum baligh37.
Terdapat perselisihan pendapat para ulama menyangkut hari
menyembelih aqiqah. Namun kita harus berpegang kepada hadist yang shahih
mengenai masalah ini, ialah kenyataan bahwa Rasulullah SAW menyembelih
aqiqah untuk kedua cucunya pada hari ketujuh kelahirannya.
Imam Malik berpendapat, hari kelahirannya tidak dihitung kecuali jika ia
lahir malam hari, sebelum terbit fajar. Kelihatannya batasan hari tersebut
merupakan anjuran saja. Jika ia disembelih pada hari keempat, kedelapan,
kesepuluh atau sesudah itu, maka itu boleh saja. Demikian pula, yang dilihat
adalah hari penyembelihannya, bukan hari dimasak dan dimakannya38.
Menurut Drs. RS. Abdul Aziz, aqiqah itu waktunya sejak anak itu lahir
dan tidak ada batas waktunya. Kalau anak itu telah baligh dan aqiqahnya
belum dilakukan, maka sunnah ia sendiri melakukannya39.
Dari beberapa pendapaat di atas, maka dapatlah kita pinjam istilah waktu
ada’ dan waktu qadha’ dalam sebuah kewajiban.
Waktu ada’ adalah waktu yang tepat atau kewajiban yang dilaksanakan
tepat pada waktunya. Sedangkan waktu qadha’ adalah kewajiban yang
dilaksanakan pada waktu yang lain.40
36 Abdullah Nasih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Bandung: Asy-
syifa’, 1990), Cet. II, hlm. 82. 37 Teungku Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, Tuntunan Qurban dan Aqiqah, Op.Cit.,
hlm. 58 . 38 Ibn Qoyyim Al-Jauziyyah, Mengantar Balita Menuju Dewasa, Penerjemah Fauzi
Bahreisy, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta , 2002), Cet. 2, hlm. 55-56. 39 R.S. Abdul Aziz, Op.Cit., hlm. 88. 40 M. Nipan Abdul Halim, Mendidik Kesalehan Anak (Akikah, Pemberian Nama, Khitan
dan Maknanya), Op.Cit., hlm. 20
29
Waktu ada’
Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Samurah seperti yang
diterangkan di muka, jelaslah waktu ada’ atau waktu yang tepat untuk
mengaqiqahkan anak adalah pada hari ketujuh dari kelahiran anak atau pada
saat anak berusia tujuh hari. Yaitu bersamaan dengan acara mencukur rambut
kepalanya serta menamainya.
Apabila aqiqah bisa dilaksanakan tepat pada hari ketujuh dari kelahiran
anak tentu akan lebih baik dan lebih afdhal dan sesuai dengan apa yang
diajarkan Rasulullah SAW.
Waktu qadha’
Istilah qadha’ dalam hal ini menjiplak istilah al-Mawardi, salah seorang
ulama dari kalangan mazhab Syafi’i dalam kitabnya Al-Uddah dan Al-Hawi,
ia menyatakan: “sesungguhnya aqiqah (yang dilaksanakan) setelah hari
ketujuh (dari kelahiran anak) adalah pelaksanaan qadha’41
Pernyataan ini menujukkan bahwa aqiqah boleh dilaksanakan pasca
pencukuran dan penamaan anak. Di sisi lain hal itu mengisyaratkan pula
bahwa sunnahnya aqiqah tidak akan gugur karena berlalunya hari ketujuh dari
waktu kelahiran anak.
Pendapat (qaul) Mukhtar, yaitu pendapat terpilih para ulama dari
kalangan mazhab Syafi’i menyatakan bahwa waktu aqiqah masih berlaku
pasca hari ketujuh kelahiran anak dengan urutan sebagai berikut:42
1. Jika pada hari ketujuh masih belum mampu, maka aqiqah boleh
dilaksanakan ketika masa nifas ibu berakhir.
2. Jika sampai masa nifas si ibu bayi berakhir dan belum mampu maka
aqiqah boleh dilaksanakan hingga berakhirnya masa menyusui.
3. Jika masa-masa menyusui telah berakhir dan belum mampu
mengaqiqahkan juga, maka aqiqah dianjurkan agar dilaksanakan hingga
anak berusian tujuh tahun.
41 Imam Taqiyyudin Abu Bakar Bin Muhammad Al-Husaini, Op.Cit., hlm. 506 42 Ibid.,
30
4. Jika usia tujuh tahun bagi si anak telah terlewati dan belum mampu
mengaqiqahkan maka dipersilahkan mengaqiqahkannya sebelum anak
dewasa.
5. Jika anak telah berusia dewasa maka gugurlah kesunnahan aqiqah bagi
orang tuanya dan dipersilahkan anak untuk mengaqiqahkan dirinya sendiri.
Aqiqah pada dasarnya adalah sebuah kesunnahan yang diberlakukan
bagi orang tua atau wali yang menanggung nafkah anak yang bersangkutan.
Namun mengingat dalam qaul Mukhtar dikatakan bahwa setelah anak dewasa
dan orang tuanya belum mampu mengaqiqahkannya, kemudian anak tadi
dipersilahkan untuk mengaqiqahkan dirinya sendiri, maka ada beberapa
pendapat:43
a. Pendapaat qaul tersebut ternyata didukung pula oleh pendapat Ar-Rafi’i
dan pendapat sebagian ulama lainnya. Imam Ar-Rafi’i mengemukakan
bahwa Nabi SAW menyembelih aqiqah untuk dirinya sendiri sesudah
diangkat menjadi Nabi. Yang lain juga mengemukakan alasan yang sama
dan menambahkan bahwa kejadian itu diturunkan sesudah surat Al-
Baqarah, tetapi hadist ini lemah dipandang dari semua sanadnya.
b. Imam Syafi’i telah menentukan bahwa seseorang tidak boleh menunda
aqiqah karena dirinya sendiri. Pendapat ini juga diikuti oleh An-Nawawi
Dari keterangan di atas, menurut penulis, kecenderungan itu ada pada
pendapat As-Syafi’i yaitu tidak perlu mengaqiqahkan diri sendiri. Mengingat
sunnahnya aqiqah itu terletak pada pihak orang tua atau wali yang
menanggung nafkah si anak.
Di lingkungan kita, mungkin ada kebiasaan mengaqiqahkan orang yang
telah meninggal. Menurut penulis, jika menurut As-Syafi’i mengaqiqahkan
diri sendiri saja tidak boleh, maka mengaqiqahkan orang tua yang sudah
meninggalpun tidak perlu.
Dengan demikian patokan yang digunakan untuk aqiqah, tepatlah pada
hari ketujuh anak itu dilahirkan itu lebih utamanya, jika pun ditunda, maka
43 Ibid., hlm. 507
31
penundaan itu dapat dilaksanakan sesuai dengan pendapat (qaul) Mukhtar
yang telah disebutkan di atas.
E. Proses Ibadah Aqiqah
Sebagaimana halnya walimatul ursy dan walimah khitan pada umumnya
pesta aqiqah juga dilakukan dengan mengundang sanak keluarga, para famili,
dan tetangga tanpa pandang bulu. Miskin, kaya, laki-laki dan perempuan
boleh diundang. Tentu saja segala sesuatunya harus ditata sedemikian rupa
sehingga tidak mengotori makna aqiqah yang merupakan sunnah Rasul.
Semuanya harus dilakukan dengan cara-cara yang islami, baik pengaturan
tempat duduk, cara berpakaian maupun tata cara makan.
Bahkan guna menambah nilai spiritual aqiqah, ada baiknya jika dalam
rangkaian acara aqiqah ini juga diselipkan ceramah agama. Materinya bisa
tentang pendidikan anak, kewajiban anak terhadap orang tua, tanggungjawab
orang tua terhadap anak dan sebagainya yang sekiranya relevan. Dengan
demikian pihak keluarga dan para undangan tidak sekedar hadir untuk pesta
makan, melainkan juga bisa mendapatkan tambahan ilmu sebagai bekal untuk
menjalani kehidupan ke arah yang lebih baik.
Adapun waktunya bisa siang, sore atau malam sesuai kondisi. Misalnya
pagi mengadakan pencukuran rambut dan pemberian nama, siangnya
menyembelih kambing kemudian sore harinya digunakan untuk
mendengarkan ceramah agama dan makan bersama.
Proses aqiqah pada dasarnya meliputi tiga kegiatan yang dilakukan secara
bersamaan yaitu kegiatan menyembelih binatang aqiqah, mencukur rambut
kepala anak dan menamainya44. Namun mengingat sulitnya melaksanakan
ketiga kegiatan secara bersamaan dalam satu waktu sekaligus. Maka
pengertian “bersamaan” itu dapat kita artikan dengan serangkaian, yaitu
serangkaian kegiatan yang meliputi penyembelihan binatang aqiqah,
pencukuran rambut kepala anak dan pemberian nama anak.
44 M. Nipan Abdul Halim, Mendidik Kesalehan Anak (Akikah, Pemberian Nama, Khitan
dan Maknanya), Op.Cit., hlm. 23.
32
Hal tersebut sesuai dengan hadist Nabi yang diriwayatkan dari Samurah
yang telah disinggung di bagian atas. Di mana berdasarkan hadist tersebut,
maka serangkaian kegiatan aqiqah didahului dengan menyembelih binatang
aqiqah, kemudian diiringi dengan mencukur rambut kepala anak dan terakhir
menamainya.
Berikut pembahasannya satu persatu:
1. Menyembelih Binatang Aqiqah
Menyembelih binatang untuk aqiqah harus dilakukan sesuai dengan
cara yang telah disyari’atkan. Secara lebih terurai, cara menyembelih
binatang aqiqah adalah sebagai berikut:45
a. Mengasah pisau hingga benar-benar tajam.
b. Mengikat binatang dengan tali agar ketika disembelih tidak bebas
bergerak sehingga tidak menyulitkan penyembelihan.
c. Membaringkan binatang dengan lambung kiri menempel ke tanah
sehingga tangan kiri orang yang menyembelih berada di sebelah kepala
binatang dan kepala binatang ada di selatan.
d. Penyembelih menghadap kiblat.
e. Membaca do’a:
!"���3)�8�� C6\�"� !�"�8 ,� _ ���1" �� _ �4-�%������ �61"�>7 F������� �6Y�C��`̀`̀`̀`̀`̀`̀
Dengan nama Allah. Allah maha besar. Ya Allah, aqiqah ini adalah karunia-Mu dan aku kembalikan kepada-Mu. Ya Allah, ini aqiqah………(sebut nama anak yang diaqiqahi), maka terimalah”.
f. Pisau ditekan dengan kuat ke leher binatang, sehingga saluran
pernapasan dan saluran makanan benar-benar putus.
g. Penyembelihan bisa dilakukan sendiri atau boleh juga diwakilkan
kepada orang lain.
h. Penyembelih dalam keadaan berakal sehat.
2. Mencukur Rambut Kepala Anak
45 Ahmad Ma’ruf Asrari dan Suheri Ismail, Op.Cit., hlm. 82-84
33
Mengiringi usainya penyembelihan binatang aqiqah, maka akan
dilakukan rentetan kegiatan kedua, yaitu mencukur rambut kepala anak.
Mencukur rambut yang disyari’atkan oleh agama saat pelaksanaan
aqiqah adalah mencukur seluruh rambut kepala anak yang dibawa sejak
dalam kandungan ibunya46.
Mencukur rambut kepala anak sebaiknya dilakukan di hadapan sanak
keluarga agar mereka mengetahui dan menjadi saksi. Boleh dilakukan oleh
orang tuanya sendiri atau jika tidak mampu, bisa diwakilkan kepada
ahlinya.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam mencukur rambut
kepala anak, yaitu:47
a. Dengan membaca basmallah.
b. Arah mencukur rambut dari sebelah kanan ke kiri.
c. Dicukur bersih (gundul) tidak boleh ada bagian yang disisakan
sehingga kelihatan belang-belang.
d. Rambut hasil cukuran dan nilainya disedekahkan. Maksudnya, setelah
anak dicukur, semua rambutnya ditimbang. Berat timbangan rambut
tersebut diganti dengan nilai emas dan perak. Nilai tukar emas atau
perak tersebut bisa diwujudkan uang sesuai dengan harga emas atau
perak di pasaran saat itu, lalu disedekahkan kepada fakir miskin.
Islam menganjurkan agar manusia selalu menjaga kesehatan anak dan
dimulai sejak bayi karena membiasakan hidup bersih dan sehat hanya
dapat dibentuk bila dipraktekkan sejak kecil. Pepatah mengatakan,”Belajar
di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar sesudah dewasa bagai
mengukir di atas air”. Maka mulailah membangun hidup sehat dan bersih
sejak anak dilahirkan dan terus dididik sehingga menjadi kebiasaan dalam
hidupnya.
Mencukur rambut kepala anak adalah awal dari kebiasaan hidup
bersih dan sehat yang diperintahkan agama. Oleh karena itu, bersihkanlah
46 Muhammad Zuhdi Zaeni, Op.Cit., hlm. 59. 47 Ahmad Ma’ruf Asrari dan Suheri Ismail, Op.Cit., hlm. 65-66
34
anak dengan mencukur seluruh rambutnya. Dengan demikian Islam telah
mendidik jiwa bersih sejak lahir.
3. Menamai Anak
Rangkaian yang ketiga dari serentetan kegiatan aqiqah ialah menamai
sang anak. Kegiatan menamai inilah yang biasanya digelar dalam bentuk
upacara, dengan mengundang sanak kerabat serta para tetangga dekat.
Shakespeare mengatakan: “Apa arti sebuah nama”, namun tidak dapat
dipungkiri, bahwa nama bisa menunjukkan identitas keluarga, bangsa
bahkan akidah. Nama merupakan sarana yang mudah dan umum
digunakan untuk mengenali sesorang dan memperlancar hubungan sosial.
Dengan demikian ungkapan di atas, lebih merupakan peringatan agar
orang tidak terjebak ke dalam penampilan lahiriah dan melupakan makna
keberadaan manusia yang hakiki. Sebab, baik buruknya seseorang
memang tidak terletak pada namanya, melainkan pada akhlak dan amal
shalehnya48.
Di dalam ajaran Islam, nama seseorang di samping sebagai panggilan
atau pengenalan terhadap seseorang, juga berfungsi sebagai do’a. Berbagai
kebiasaan yang berlaku di masyarakat adalah bahwa ketika anak
dilahirkan, maka orang tua memilihkan sebuah nama untuk anaknya.
Nama yang baik mengandung ciri dan unsur-unsur sebagai berikut:49
a. Bermakna dan berarti pujian, misalnya Ahmad atau Muhammad,
artinya terpuji.
b. Bermakna do’a dan harapan, misalnya Muhsin, artinya orang yang
baik.
c. Bermakna semangat, misalnya Syaifullah, artinya pedang Allah
Oleh karena itu, pada tempatnyalah anak diberi nama yang baik sesuai
dengan ajaran Islam.
Demikianlah keseluruhan prosesi aqiqah, yang diakhiri dengan makan
dan do’a bersama, semoga anak yang diaqiqahi kelak bisa menjadi anak
48 Ahmad Ma’ruf Asrari dan Suheri Ismail, Op.Cit., hlm. 68. 49 Ramlan Marjoned, Op.Cit., hlm. 53.
35
yang shaleh, yang beriman dan bertaqwa kepada Allah, berbakti kepada
orang tuanya serta berguna bagi agama, nusa, bangsa serta masyarakatnya.
F. Kesunnahan Dalam Menangani Daging Aqiqah
Dalam kitab-kitab fiqh disebutkan ada beberapa sunnah yang harus
diperhatikan dalam rangka menangani daging binatang aqiqah, antara lain:
1. Tidak memecahkan tulang belulangnya.
Di antara beberapa kesunnahan yang harus diperhatikan dalam
mengaqiqahi anak ialah agar tulang binatang sembelihan itu jangan sampai
hancur sedikitpun, baik pada saat menyembelih maupun pada saat
memakannya. Bahkan setiap tulang harus dipotong dari ruasnya, jangan
sampai dihancurkan.50
Sebagian ulama menyebutkan beberapa hikmah dari tidak
memecahkan tulang belulang binatang aqiqah:51
a. Untuk menunjukan kemuliaan makanan tersebut. Saat diberikan kepada
siapa saja yang makan dianjurkan agar daging tersebut berbentuk
potongan. Hal ini lebih utama dan lebih menunjukkan sikap
kedermawanan daripada kalau dipotong kecil-kecil.
b. Apabila pemberian tersebut baik, maka akan mendapat kesan yang baik
pula dari orang yang menerima. Hal itu juga menunjukkan betapa
mulianya jiwa orang dan betapa besar perhatiannya. Di sana ada
harapan besar orang tua kepada si anak agar ia menjadi besar,
mempunyai perhatian yang tinggi dan kemuliaan jiwa.
c. Ketika aqiqah disimbolkan sebagai penebus diri, dianjurkan agar tulang
tidak dipatahkan sebagai harapan agar anggota tubuh sang anak juga
selamat, sehat dan kuat.
Sunnah yang demikian mengandung pelajaran dan harapan (tafa’ul)
agar fisik si jabang bayi yang diaqiqahkan kelak tumbuh dewasa secara
normal dan sehat tanpa ada cacat ataupun penyakit tulang.
50Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak menurut Islam: Pemeliharaan Kesehatan
Jiwa Anak, Op.Cit., hlm. 82. 51 Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, Op.Cit., hlm. 69.
36
2. Daging aqiqah dibagikan kepada fakir miskin
Seseorang yang melaksanakan aqiqah boleh memakan daging
aqiqah, memberi makan dengannya, bersedekah dengannya kepada fakir
miskin atau menghadiahkan kepada teman atau karib kerabat52. Akan
tetapi daging aqiqah akan lebih utama jika dibagikan kepada fakir miskin
semuanya.
Dengan banyaknya jumlah daging aqiqah yang diberikan kepada
fakir miskin, maka sudah barang tentu kemungkinan terkabulnya do’a,
juga semakin banyak. Apalagi kita sama-sama meyakini do’a fakir miskin
lebih mudah dikabulkan. Dengan demikian, harapan akan terbentuknya
pribadi yang shaleh bagi anak yang diaqiqahi juga semakin banyak.
3. Daging aqiqah dibagikan setelah masak
Tidak sebagaimana halnya dengan daging qurban yang dibagikan
dalam keadaan mentah, daging aqiqah disunnahkan agar dibagikan setelah
dimasak lebih dahulu, kemudian disedekahkan kepada fakir miskin53.
Hal demikian dikarenakan jika dagingnya sudah dimasak maka
orang-orang miskin dan tetangga tidak merasa repot lagi. Dan ini akan
menambah kebaikan dan rasa syukur terhadap ni’mat tersebut. Para
tetangga, anak-anak dan orang-orang miskin dapat menyantapnya dengan
gembira. Sebab, orang yang diberi daging yang sudah dimasak, siap
dimakan, enak rasanya tentu rasa gembiranya lebih dibanding jika diberi
daging mentah yang masih membutuhkan tenaga lain untuk memasaknya.
Dan pada umumnya, makanan syukuran (dibuat dalam rangka untuk
menunjukkan rasa syukur) dimasak dahulu sebelum diberikan atau
dihidangkan kepada orang lain. Sebab hal tersebut lebih menunjukkan
akhlak terpuji dan sikap kedermawanan daripada memberikan daging
secara mentah.
52Abu Muhammad Ishom Bin Mar’i, Perayaan Aqiqah menurut Islam, (Yogyakarta:
Litera Sunny Press Kerjasama dengan Titian Illahi Press, 1997), hlm. 50. 53 Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Jakarta: At-Tahiriyah, 1976), Cet. 17, hlm. 453.
37
Bagi orang tua yang kurang mencukupi, mungkin lebih tepat jika
daging aqiqah yang sudah dimasak itu dibagikan bersamaan dengan
upacara penamaan anak dalam jamuan makanan para tamu yang diundang.
Demikian beberapa kesunnahan dalam menangani daging aqiqah.
Kesemuanya mengandung pendidikan yang berharga yang perlu kita
singkap.