BAB II 2199022 - Perpustakaan...
Transcript of BAB II 2199022 - Perpustakaan...
17
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN ANAK DALAM ISLAM
DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
A. Kedudukan Anak dalam Keluarga
1. Pengertian Anak
Di dalam konteks sosial penetapan terhadap kedudukan anak
(keturunan) merupakan salah satu kewajiban umat. Yang dimaksud agar
tidak timbul kekacauan pada anggota masyarakat dalam upaya
memperjuangkan, menuntut dan menjalankan serta melaksanakan berbagai
macam hak dan kewajiban.1 Sehingga dengan sendirinya akan tercipta
pula suatu masyarakat yang tertib dan teratur, lantaran mematuhi peraturan
baku yang telah ditetapkan oleh agama Islam sebelumnya.
Anak sebagai amanat Allah yang harus dilaksanakan dengan baik,
khususnya bagi orang tua, dan tidak boleh begitu saja mengabaikannya,
lantaran hak-hak anak termasuk ke dalam salah satu kewajiban orang tua
terhadap anak yang telah digariskan oleh agama Islam.2 Oleh karena itu
dalam meniti kehidupan ini, anak-anak muslim memiliki hak mutlak yang
tidak dapat diganggu gugat.
1 Abdul Razaq Husain, Islam wa Tiflu, Alih bahasa Azwir Butun, Hak-hak Anak dalam
Islam, Jakarta: Fika Hati Aniska, 1992, hlm. 49 2 Ibid, hlm. 53
18
Pengertian anak menurut istilah hukum Islam adalah keturunan
kedua yang masih kecil.3 Sifat kecil kalau dihubungkan dengan perwalian
hak milik dan larangan bertindak sendiri, sebenarnya ada dua tingkatan
yaitu:
a. Kecil dan belum mumayyiz dalam hal ini anak itu sama sekali tidak
memiliki kemampuan untuk bertindak. Jadi, tidak sah kalau misalnya
ia membeli apa-apa atau memberikan apa-apa kepada orang lain. Kata-
katanya sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai pegangan, jadi
segala-galanya berada di tangan wali.
b. Kecil tapi sudah mumayyiz, dalam hal ini si kecil ini kurang
kemampuannya untuk bertindak, namun sudah punya kemampuan,
oleh sebab itu kata-katanya sudah dapat dijadikan pegangan dan sudah
sah kalau ia membeli atau menjual atau memberikan apa-apa kepada
orang lain.4
Dalam hukum Islam, Anak yang Mumayyiz ialah yang sudah
mencapai usia mengerti tentang akad transaksi secara keseluruhan dia
mengerti maksud kata-kata yang diucapkannya, bahwa membeli itu
menerima barang sedang menjual itu memberikan barang dan juga ia
menegerti tentang rugi dan beruntung, biasanya usia anak itu sudah genap
7 (tujuh) tahun. Jadi kalau masih kurang dari tujuh maka anak itu
hukumnya belum Mumayyiz, walaupun ia mengerti tentang istilah-istilah
3 Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, hlm. 112 4 Zakariya Ahmad Al-Barry, Al-Ahkamul Aulad, alih bahasa Chadidjah Nasution,
Hukum Anak-anak dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, hlm. 113
19
menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah
lebih tujuh tahun umurnya tetapi masih belum mengerti tentang jual beli
dan sebagainya.5
Hukum anak kecil ini tetap berlaku, sampai anak itu dewasa dan
hal ini dimaksudkan dalam firman Allah SWT:
��������������� ���� ������� ��������� ��������� ����� � ����������� �!�"�#�� $%�&� '�(����� �)!���"�*�����������+,����-�./�
Artinya: “Dan hendaklah kamu menguji anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah, kemudian jika kamu berpendapat bahwa mereka sudah cerdas sudah pandai memelihara harta, maka hendaklah kamu serahkan kepada mereka itu harta-hartanya” ( Q.S. an-Nisa: 6)6
Kata dewasa disini maksudnya cukup umur untuk berketurunan
dan muncul tanda-tanda lelaki dewasa pada pria, begitu juga muncul
tanda-tanda wanita dewasa pada puteri, inilah dewasa yang wajar, yang
biasanya belum ada sebelum anak laki-laki berumur 12 (dua belas) tahun,
dan anak perempuan berumur 9 (sembilan) tahun. Maka kalau anak
mengatakan dia sudah dewasa, setelah ia mencapai usia ini, maka
keterangannya itu dapat diterima karena dia sendirilah yang lebih mengerti
tentang dewasa atau tidaknya dan biasanya anak-anak tidak mau berdusta
dalam persoalan ini.7
5 Ibid, hlm. 114 6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: PT. Tanjung Mas
Inti, 1992, hlm. 115 7 Zakariya Ahmad Al-Barry, op. cit., hlm. 114
20
Sedangkan dalam KUH Perdata tidak ada ketentuan-ketentuan
umum tentang pengertian seorang anak.
2. Kewajiban orang Tua dan Hak-hak Anak
a. Kewajiban Orang Tua terhadap Anak
Dalam suatu rumah tangga yang aman dan damai, segala
sesuatu yang menyangkut kesejahteraan anak adalah di bawah
pengamatan kedua orang tuanya suami isteri bahu-membahu dan
bekerja sama memenuhi hidup semua keperluan anak-anaknya,
anakpun merasa tenteram dalam pertumbuhan jasmaniah dan
rokhaniyahnya. Semua orang sangat mengidam-idamkan hal yang
demikian, rumah tangganya adalah istana baginya selama hayat
dikandung badan.8
Menurut Hilman Hadikusuma tentang perkawinan dalam
hukum Islam mengatakan bahwa, dengan adanya ikatan perkawinan
tersebut akan menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan
anak-anaknya. Seorang ayah dibebani tugas kewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya. Sedangkan ibu bersifat membantu, ibu hanya
berkewajiban menyusui anak dan merawatnya.9 Kewajiban bapak
dalam memberi nafkah terhadap anak terbatas kepada kemampuannya.
Sebagaimana digariskan dalam Al-Qur’an yang menyatakan:
8 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, cet.I, 1988, hlm. 400 9 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, cet. I,
1990 , hlm. 144
21
���01� �23�$4�� �5�6�����!� � �2)7�8��� �2���!�9����)7� �:���*� �2�����;� �:��� <=���;�*)#� �5�6�������>���?��>���9�����"0�1�)@���A���;���B����CD������6��0�1��E ��!���?DF+GHI�-�/
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” ( Q.S. at-Thalaq: 7)10
Seorang ibu wajib menyusui anaknya, kalau memang dia
ditentukan untuk itu, maksudnya tidak ada wanita lain yang akan
mengambil alih tugas itu dari padanya atau bayi itu tidak mau
menyusu kecuali kepada ibunya saja. Adapun bunyi ayat yang
memerintahkan penyusuan adalah sebagai berikut:
�=�9��J$>��$(���?�����������:�(����:���!����K��:������&�$:�L���D�*���:���J�>�?��M ��������* '!7��N �*�>���(����"� $:���3����K�*�$:��)7�8����2�����)���(���'�!�9�*�!7' ���OP �6��� �E C!���3�D
�����Q ������'�!�9�*� �R������"� �2���O��)�����D�*� ��L������"�ST�����*� $���U �3�D� ������;�*CD���V ��#�)@�W��+T>XY�-���/�
Artinya: “Dan ibu-ibu menyusukan anak-anak mereka dua tahun yang sempurna bagi siapa yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan bagi ayah diwajibkan memberikan nafkah kepada mereka. Dan pakaian mereka, dengan cara yang baik, suatu jiwa tidak dibebani kecuali menurut kesanggupannya saja, tidak boleh si ibu disusahkan karena bayinya dan juga tidak boleh si ayah disusahkan karena masalah anaknya”. (.S.Al-Baqarah: 233).11
10 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 946 11 Zakariya Ahmad Al-Barry, op. cit., hlm. 44
22
Selain dari beban yang wajib tersebut, di dalam Islam orang tua
dianjurkan untuk melaksanakan sunnah Nabi dalam membesarkan anak
sampai ia dewasa dan dapat berdiri sendiri.12 Sebaliknya anak juga
wajib menghormati dan berbuat baik terhadap ayah, ibu, dan para
anggota kerabatnya sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
�����Z�����9� $:� )!�Y�?�$��� �������&�� �:�?���������"�*� �R�$?�CD�� [�*���Y���3CD�� ���\"��� '�U �7�*���(�L���&�� �>�Y���� �H�K�*���(�L �����@)7�*��(�L�>�����3�D�*� �<N )��(����� �@)X�3�H�
�����] ��� �@)7�*� �=�(�&$>�� �:��� �̂ _̀�� ������a� ��(����� �b�6�&�*� ��(�?�>�KFcD��7��(������>��� �d��e������"����(�K��(���(�&���+f>;D�-��g��/
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia. Dan supaya kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya, terutama jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dan berada dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kedua perkataan “Ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang. Dan ucapkanlah.”Ya Tuhanku berikanlah rahmat kepada mereka berdua sebagaiman mereka telah mendidik aku dengan kasih sayangnya waktu aku masih kecil”. (Al-Isra’: 23-24).13
b. Hak-hak Anak
Pada dasarnya, seorang anak berhak mendapatkan
pemeliharaan, perawatan dan pendidikan dari orang tuannya. Dalam
hukum Islam, anak-anak dikatakan dibawah umur, kalau mereka
12 Hilman Hadikusuma, op. cit., hlm. 144 13 Zakariya Ahmad Al-Barry, op. cit., hlm. 88
23
belum mencapai umur 15 tahun atau belum mencapai pebertet atau
mengalami menstruasi bagi anak perempuan.
Perawatan dan pemeliharaan terhadap seorang anak diwajibkan
kepada ibu, sedangkan hak pendidikan terhadap seorang anak
diwajibkan kepada kedua orang tua. Hak dan kewajiban ini diberatkan
kepada masing-masing orang tua, baik selama perkawinan ataupun
jikalau perkawinan telah diputuskan.
Apabila seorang ibu tidak dapat melakukan kewajibannya itu,
dikarenakan tidak ada atau karena dikenakan diskualifikasi, maka
hukum Islam menentukan beberapa anggota keluarganya yang
perempuan. Dan jika anggota-anggota keluarga yang perempuan
initidak dapat melakukan kewajibannya, maka kewajiban dan
pemberian hak terhadap anak itu berpindah kepada anggota keluarga
yang laki-laki. Dimulai dari bapaknya.14
Perbedaan pendapat para ulama mengenai batas usia seorang
anak yang diasuh:
1. Menurut Madzhab Hanafi, terutama ulama-ulama mereja yang
terdahulu, bahwa mengasuh anak kecil itu berakhir apabila ia telah
sanggup mengurus keperluannya yang utama seperti makan,
berpakaian, dan kebersihannya. Sedangkan untuk anak perempuan
berakhir sampai usia baligh (batas timbulnya syahwat). Mereka
tidak memberi batas yang tegas.
14 Abdoeraoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 1970, hlm. 88
24
Adapun ulama-ulama Hanafi yang datang kemudian
memberikan batasan berdasarkan ijtihad karena pertimbvangan
kondisi anak, tempat dan masanya. Maka mereka menentukan
batas usia untuk anak laki-laki berusia tujuh tahun, dan untuk anak
perempuan sembilan tahun. Ada pula di antara yang memberi batas
untuk anak laki-laki berusia sembilan tahun dan untuk anak
perempuan sebelas tahun.
2. Madzhab Maliki, menyatakan bahwa batas usia seorang anak untuk
diasuh ialah sejak ia lahir sampai baligh. Untuk anak perempuan
adalah sejak ia lahir sampai menikah, bahkan sampai dicampuri
suaminya.
3. Madzhab Syafi’i, menyatakan bahwa batas tidak batas tertentu
untuk mengasuh seorang anak kecil, karena tidak ada suatu
keterangan yang tegas dalam hal itu. Seorang anak tetap tinggal
bersama ibunya (apabila orang tuanya bercari). Sehingga anak itu
dapat mempertimbangkan sendiri untuk di mana ia tinggal, di
antara ibu dan bapaknya atau saudaranya.
4. Madzhab Hambali, memberikan batas untuk mengasuh seorang
anak, baik laki-laki maupun perempuan, ialah tujuh tahun. Adapun
anak perempuan, apabila sudah berusia tujuh tahun, bapaknya
berkewajiban menjaganya dengan baik sampai anak itu menikah.
Bapak dianggap lebih mampu mengawasinya, karena itu
25
diserahkan kepadanya, meskipun ibu anak itu mau mengawasinya
dengan sukarela.
5. Pendapat Ibnu Qayyim, tentang masalah ini diadakan undian atau
anak melakukan pilihan tempat tinggalnya, pada ibu atau
bapaknya, karena orang tuanya sudah bercerai, barulah kita
lakukan hal itu jika membawa kemaslahatan kepada anak yang
bersangkutan.
6. Menurut UU. No. I tahun 1974, berlaku sampai anak itu kawin atau
dapat berdiri sendiri. Kewajiban tersebut berlkau terus menerus,
meskipun perkawinan antara orang tua putus.15
Menurut KUH Perdata, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak
itu merupakan hubungan dan kewajiban hukum pada batas umur tertentu,
sampai anak-anak yang lahir dalam ikatan perkawinan mencapai umur
tertentu yang disebut dewasa.16
Dalam apa yang dinamakan kuasa orang tua oleh hukum perdata,
yang oleh hukum Islam dinamakan kewajiban orang tua terhadap hak-hak
seorang anak, kita melihat beberapa perbedaan. Dalam hukum perdata,
kuasa orang tua hanya ada jikalau kedua-duanya masih hidup dan tidak
bercarai (pasal 299, 345 KUH Perdata). Sedangkan menurut hukum Islam
15 Peunoh Daly, op.cit., hlm. 405-406 16 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Medan: CV. Zahir, 1975, Cet. I,
hlm. 199
26
kewjiban itu tetap ada, sungguhpun kedua orang tua sudah bercerai atau
salah satu meninggal dunia, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.17
B. Pembuktian Asal Usul Anak
Hasrat untuk menyalurkan kebutuhan biologis merupakan fitrah
manusia tapi penyalurannya perlu diatur. Agama Islam telah mengatur batas-
batas yang boleh dilakukan, sehingga tidak terjadi penyelewengan hukum.
Agama Islam telah menetapkan hal tersebut melalui jalan perkawinan yang
sah.18 Agama Islam juga memelihara keturunan agar jangan sampai tersia-sia,
jangan didustakan dan jangan dipalsukan karena hal ini merupakan hak anak.
Anak akan dapat menangkis penghinaan atau musibah terlantar yang mungkin
akan menimpa dirinya. Setiap ibu bertugas menolak hal-hal yang
menghinakan dari tuduhan-tuduhan yang tidak baik terhadap anaknya.
Demikian juga setiap ayah bertugas memelihara keturunannya dan keturunan
anak cucunya agar jangan sampai tersia-sia atau dihubung-hubungkan dengan
orang lain.
Lahirnya seorang anak menunjukan adanya bapak dan ibu dari si
anak itu. Dalam arti bahwa, sebagai hasil perbuatan bersetubuh dari seorang
laki-laki dan seorang wanita, maka si wanita akan melahirkan manusia lain
yang dapat menyatakan bahwa seorang laki-laki adalah ayahnya dan seorang
wanita adalah ibunya.
17 Abdoeraoef, op. cit., hlm. 89 18 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiah Al-Hadits Pada Masalah kontemporer Hukum Islam,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 79
27
Oleh karena itu, antara waktu bersetubuh dan waktu lahirnya si anak
ada tenggang waktu beberapa bulan, maka pada waktu anak itu lahir tidak
mungkin pada saat itu pula dapat ditentukan siapakah sebenarnya ayah dari si
anak itu. Dengan kenyataan inilah, maka perlu adanya suatu perkawinan
antara seorang wanita dengan seorang laki-laki, yang dengan bersetubuh akan
menghasilkan seorang anak. Hukum di manapun didunia yang mengenal
lembaga perkawinan mempunyai harapan bahwa seorang suami atau istri
setelah kawin tidak akan bersetubuh dengan orang ketiga.19
Apabila timbul suatu keragu-raguan dalam memastikan seorang
adalah betul-betul anak dari seorang laki-laki tersebut, maka menjadi
persoalan hukum, lalu apakah tidak mungkin diadakan penyelidikan yang
tepat dan seksama tentang keturunan seorang anak dari bapaknya,20 karena
asal usul seorang anak merupakan dasar untuk menunjukkan hubungan
kemahraman (nasab) dengan ayahnya.21
Untuk membuktikan sah atau tidaknya seorang anak itu diperlukan
dua macam akta, yaitu:
1. Akta perkawinan orang tua yang membuktikan dengan siapa ibu itu
menikah.
19 M. Ridwan Indra, Hukum Perkawinan di Indoensia, Jakarta: Haji Masagung, 1994,
cet. I, hlm. 48 20 Ibid, hlm. 56 21 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga, Sinar Grafika, tt, hlm. 43.
28
2. Akta kelahiran yang membuktikan dari mana anak itu dilahirkan dan
kapan anak itu dilahirkan.22
Adapun isi pokok dari akta kelahiran atau surat lahir yang
dikeluarkan oleh kantor catatan sipil, demikian sebagai bukti adanya kelahiran
seorang anak yang menyangkut hal-hal sebagai berikut:
1. Nomor akta.
2. Tempat, Tanggal, bulan dan tahun anak tersebut dilahirkan
3. Nama anak yang bersangkutan
4. Jenis kelamin
5. Nama kedua orang tuanya (dapat dibuktikan dengan salinan akta nikah)
6. Kota atau tempat dan tanggal dikeluarkannya akta kelahiran
7. Nama dan tanda tangan pejabat kantor catatan sipil yang ditunjuk untuk itu
atau dalam bentuk bentuk surat kenal lahir adalah lurah atau kepala desa.
Dari akta kelahiran tersebut pihak yang bersangkutan diberikan
kutipannya. Demikian juga dalam bentuk surat kenal lahir atau surat kelahiran
dari lurah atau kepala desa dimana dan kapan dilahirkannya anak tersebut.
Manfaat lain dari adanya akta kelahiran atau yang sejenis, hal ini
merupakan identitas resmi yang akan sering digunakan misalnya untuk
keperluan sekolah, pengurusan passport, dan lain-lain. Jadi, secara internal
22 R. Soetojo Prawirahamidjojo, Asis Sofioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Bandung:
Alumni, 1986, cet. V, hlm. 135.
29
akta kelahiran merupakan identitas asal-usul seorang anak, secara eksternal
merupakan idetitas diri dari yang bersangkutan.23
Dengan adanya gugatan pengingkaran suami terhadap keabsahan
anak atau dengan kata lain pembuktian asal usul anak (keturunan). Hal ini
hanya bisa dibuktikan dengan bukti-bukti permulaan berupa surat-surat
tertulis, atau dapat pula dibuktikan dengan keadaan-keadaan yang nyata. Yang
dimaksud dengan keadaan yang nyata adalah, yang telah menunjuk pada
praktek kehidupan dan pergaulan sehari-hari antara mereka yang bersangkutan
sebagaimana yang diatur dalam pasal 262 KUH Perdata bahwa:
1. Masyarakat menganggap atau memperlakukan seorang anak adalah anak
sah dari keluarga tertentu.
2. Nama belakang dari anak itu selalu memakai nama si bapak.
3. Bahwa masyarakat selalu mengakui dia sebagai anak si bapak
4. Bahwa saudara-saudaranya mengakui dia sebagai anak si bapak.24
Kalau kenyataan-kenyataan yang disebutkan di atas itu cocok dengan
isi akta kelahiran, maka kebenaran tersebut tidak boleh diganggu gugat lagi
(pasal 263 KUH Perdata).
Hanya jika akta kelahiran atau kenyataan-kenyataan itu tidak ada,
maka asal usul anak (keturunan) baru dapat dibuktikan dengan saksi-saksi,
tetapi dengan ketentuan harus sudah ada permulaan pembuktian tertulis atau
23 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998,
cet. III, hlm. 220. 24 Soedharyo Soimin, op.cit, hlm. 47-48.
30
juga sudah adanya petunjuk-petunjuk yang sangat kuat (pasal 264 KUH
Perdata).25
Kekuatan mengenai adanya peristiwa hukum (rechfeit) seperti nikah,
talak, rujuk, dan akibat hukumnya adalah penting, baik bagi yang
berkepentingan sendiri maupun bagi masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya
pencatatan resmi dari pemerintah, yang tertuang dalam penjelasan umum
dinyatakan bahwa pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang misal dalam masalah kelahiran, kematian, yang dinyatakan dengan
surat-surat keterangan suatu akte resmi, yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan.26
Mengenai pencatatan, memiliki manfaat prefentif yaitu untuk
menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan. Apalagi
dalam masalah pencatatan perkawinan, yang mengingat kesadaran masyarakat
yang menjadi subyek hukum. Penelitian pegawai pencatat juga bermaksud
untuk meneliti status perkawinan seseorang, baik calon suami maupun calon
istri. Karena dengan adanya pencatatan tersebut, status perkawinan akan
menjadi jelas. dan anak yang dilahirkannya juga akan mempunyai kedudukan
yang jelas. Jadi, anak yang mempunyai kedudukan anak sah adalah anak yang
lahir dari atau akibat perkawinan yang sah, sepanjang bayi itu lahir dari ibu
25 M. Ridwan Indra, op.cit, hlm. 58. 26 Amin Syarifuddin, op.cit., hlm. 329.
31
yang berada dalam ikatan perkawinan yang sah, sehingga dia dapat disebut
sebagai anak yang berkedudukan sebagai anak sah.27
Dengan adanya pencatatan nikah tersebut, maka tidak mungkin akan
terjadi suatu perselisihan antara suami istri ketika mereka melahirkan seorang
anak. Kecuali apabila sang istri sebelum nikah sudah terlanjur hamil dahulu,
dan hamilnya itu disembunyikan dari suaminya. Atau sang suami selama
dalam ikatan perkawinan tidak pernah merasa berkumpul dan melakukan
persetubuhan dengan istrinya, maka hal ini akan menjadikan suatu
perselisihan yang sangat berkepanjangan. Dalam hal untuk memastikan asal
usul anak (keturunan) atau untuk memastikan sah tidaknya seorang anak.28
Perzinaan merupakan salah satu perbuatan yang menyalahi hukum,
sehingga hasil dari perbuatan tersebut membawa efek bukan hanya bagi si
pelakunya, tetapi juga menyangkut pihak lain yaitu mengenai anak hasil
perbuatan zina itu.29
Menurut hukum Islam pelaku zina baik pria maupun wanita dihukum
dengan seratus kali dera, bahkan kalau pelaku zina itu sudah berkeluarga atau
dalam ikatan perkawinan, atau pernah kawin, maka hukumannya lebih berat
lagi, yaitu dirajam atau dilempari batu sampai mati.
Seseorang dapat dijatuhi hukuman yang seberat itu kalau perbuatan
zina itu disaksikan oleh empat saksi pria Islam, yang adil atau memiliki
27 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, cet
III, hlm. 111. 28 Ibid, hlm. 225. 29 M. Ali Hasan, loc.cit.
32
integritas yang menyaksikan dan melihat ketika perbuatan zina itu dilakukan.
Sehubungan dengan hal ini, ada sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari
Muslim dan Abu Hurairah:
��̂ ��7� �T�>�?�>�L� �e�"�� �:�9�-�����'� � ��L�*���C!�;�*� �2���!�9�01�'C!�d� �1� �̂ ��;���S@�a���'3��������h�"��F� �2���!�9� $����*� �2���9� �i �>�9��� � �j �����8�'����� �1� �̂ ��;����?� �̂ ��X� � �R������ � ���A���(��
�M $>��� -��h�"���� �2���6��� '�!�9� ������� �$(�!� ���2���!�9� 01� 'C!�d� ��e�Y$��� �R��9��� <M ����������̂ ��7�k� ������a� �V $��� ��C!�;�*� -�D�l��̂ ��X� �l���̂ ��7� �j ���m �&�� �@�L� -��$e�Y$��� �̂ ��X� � ������
��R��(�a���� ��2�"���Y�L�#�+2�!9�56��/�Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Seorang laki-laki telah
datang kepada Rasulullah saw beliau sedang berada di dalam masjid ia memanggilnya seraya berkata: Ya Rasulullah, sungguh aku telah berzina, kemudian Nabi berpaling (tidak menghiraukannya) ia mengulangi sampai empat kali (pengakuan) setelah empat kali bersaksi atas dirinya (mengakui). Nabi memanggilnya lalu berkata, apakah kamu telah beristri (mukhsan)? Ia menjawab: Ya, setelah itu Nabi berkata kepada para sahabat: “Bawalah dia dan rajamlah”.30(HR. Mutafaq ‘Alaih).
Seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina, kemudian istrinya
melahirkan anak dari hasil perzinaan itu, maka harus mendatangkan saksi-
saksi dengan kriteria sebagai berikut:
1. Orang-orang yang menyaksikan perbuatan zina itu haruslah empat orang,
Tidak cukup dengan seorang saksi, seperti dalam kesaksian-kesaksian
lainnya. Dasarnya ialah firman Allah:
30 Chuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer
1, Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 127
33
������������� � ��)������c=���"���n� $:�����!�9�*�����o���;�� � ��)��p������ �:��� �=�o�&��6��� �:���3�q�?� ��%C��*�����$:�����01��@���A�?��*�n��M ��(���$:��� �����?�'$��&��M ����Y���') �$:�L�)�������� �*������
cH���Y�;+�.,�����-��/��Artinya: “Dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji
datangkanlah empat orang di antara kamu untuk menjadi saksi. Kemudian apabila mereka telah memberikan kesaksian, maka kurunglah wanita-wanita itu dalam rumah hingga mereka menemui ajalnya atau hingga Allah memberikan jalan lain kepada-Nya” (an-Nisa: 15)
2. Saksi-saksi itu haruslah orang-orang yang sudah baligh.
3. Saksi-saksi itu haruslah orang-orang yang sehat akalnya.
4. Orang-orang yang menjadi saksi itu haruslah orang yang adil.
5. Orang-orang yang menjadi saksi itu hendaklah orang Islam.
6. Orang-orang menyaksikan itu hendaknya tahu peristiwanya secara
mendetail, bahkan dia melihat persis masuknya penis si lelaki dalam
vagina si wanita.
Dasar pemakaian syarat keenam ini ialah tindakan dan perkataan
Rasulullah SAW ketika memeriksa perkara Ma’iz, jalan ceritanya adalah
sebagai berikut:
“Barangkali engkau menciumnya, atau engkau elus-elus, atau
engkau lihat kemaluannya? “tidak ya Rasulullah” jawab Ma’iz, kemudian
Nabi menanyainya dengan kata-kata yang tanpa tedeng aling-aling lagi,
dan minta agar dijawab dengan jelas pula.” Baiklah hai Rasulullah”, jawab
Ma’iz lagi, “begitu pulakah ketika masuknya penis ke dalam vaginanya?
“Tanya Rasulullah selanjutnya “ya” jawab Ma’iz lagi.
34
7. Dalam memberikan kesaksian para saksi harus menggunakan kata-kata
yang jelas, tidak dengan kata-kata sindiran.
8. Para saksi itu harus memberikan kesaksiannya dalam satu tempat secara
simultan, jika mereka memberikan kesaksian secara terpisah baik dalam
arti waktu maupun tempat, maka hal itu tidak bisa diterima.
9. Orang-oarang yang bertindak sebagai saksi-saksi itu harus laki-laki
(semua).
10. Peristiwa perzinaan yang disaksikan mereka itu merupakan peristiwa yang
masih baru (belum berselang lama). Hal ini didasarkan atas perkataan
Umar bin Khattab: “siapa saja yang bersaksi atas suatu pengadilan, tetapi
perkaranya sudah kadaluarsa (ketentuan lewat waktu), maka kesaksian
tersebut hanya merupakan dendam. Dengan demikian, maka keasksiannya
tidak di terima.31 Syarat yang terakhir ini tetap berlaku selama tidak ada
alasan yang dapat diterima atas tertundanya kesaksian tersebut.
Suatu situasi yang amat langka karena kecil kemungkinan perbuatan
zina itu dilakukan di tempat terbuka, dan kalau misalnya empat pria Islam
yang baik-baik melihat seorang yang akan melakukan zina dan tidak berbuat
sesuatu untuk menghalanginya, maka dapat diartikan bahwa mereka itu
menyetujuinya.
Dari konsep hukum Islam tersebut, dapat diartikan pula bahwa kalau
seorang suami menuduh istrinya berzina, dan ia menyangkal atau mengingkari
kelahiran anak yang telah dilahirkan istrinya, maka seorang suami harus
31 Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987, hlm. 113-117
35
menghadirkan empat orang saksi. Apabila ia tidak dapat mendatangkan saksi,
maka kesaksian itu dapat diganti dengan lima kali sumpah oleh si penuduh
(suaminya) itu.32
Konsep sumpah dalam perkara li’an atau gugatan suami dalam
mengingkari keabsahan anak yang dilahirkan istrinya, hal ini diperintahkan
oleh hakim pada waktu itu dan persoalan siapa yang diwajibkan lebih dahulu
melakukan li’an tidak diterangkan dengan tegas oleh ayat al-Qur’an dan hadis,
yang penting dalam hal ini siapakah dalam perkara tersebut yang menjadi
pihak penggugat dan pihak tergugat.33
Hukum Islam memberikan suatu ketentuan bahwa untuk memastikan
adanya keturunan harus diketemukan tiga syarat, yaitu: perkawinan,
pengakuan dan bukti. Hal tersebut dapat juga dibuktikan dengan usia
maksimal dan minimal kehamilan yang dialami oleh seorang wanita, namun
kehamilan seorang wanita itu agaknya sulit untuk diketahui oleh orang lain
dan yang lebih mengetahui kehamilannya adalah si wanita itu sendiri.
Ulama fiqih sepakat bahwa tenggang waktu minimal kandungan
adalah (6) enam bulan, hal ini dikuatkan dengan sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, bahwa janin yang berada di dalam kandungan
itu setelah berusia empat bulan dilengkapi dengan roh dan dalam masa dua
bulan berikutnya disempurnakan bentuk (khilqah)nya. Dengan demikian
32 Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, Cet. 1, 1997, hlm. 9-10 33 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan
bintang, Cet. 3, 1993, hlm. 209
36
apabila bayi lahir dalam usia enam bulan atau 180 (seratus delapan puluh) hari
ia sudah sempurna meskipun kurang sehat.34
Untuk menetapkan pewujudan sang bayi dalam rahim ibunya
hendaklah diperhatikan:
a. Tenggang waktu yang sependek-pendeknya�� antara akad perkawinan
dengan kelahiran anak.
b. Tenggang waktu yang sepanjang-panjangnya antara putusnya perkawinan
dengan kelahiran anak.
Tenggang waktu masa hamil yang paling pendek diistimbathkan pada
firman Allah dalm surat Al-Ahqaf:
����2)!�(�&�*��L�>)K� �2�����J�*�*��L�>)K� �2\�)� �2���!�(�&�������&�� �2�?������"� ��������D������$d�*�*�>��������)r�H�r��2)���m � �*+...N �X&D-��/
Artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya bebuat baik kepada kedua orang tua (Ibu Bapaknya). Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah juga, mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan” (Q.S. Al-Ahqaf: 15)35
Dalam firman Allah dalam surat Luqman ayat 14:
���)� �2���!�(�&� �2�?������"� ��������D������$d�*�*���������� �:������9� �'� � �2)���m � �*� <:�L�*� '�!�9����L�*� �2�>���m �(���$e�����V �?��������*��e���>)��� +��(X�-��/
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapih dalam dua tahun.
34 Al-Fiqih Muqaran Lil-Ahwal Al-Syakhsyiyah, Lil Madhzahibil Al-Arba’ah, Darun
Nahdhah Al-Arabiah, Bairut, Juz. I, hlm. 489. 35 Departeman Agama RI, op.cit., hlm. 824.
37
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu hanya kepada-Kulah kembalimu” ( Q.S. Luqman: 14)36
Dari kedua ayat tersebut dapat dipahami bahwa, Allah telah
memerintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang
tuanya terutama ibunya karena dia telah mengandung dalam keadaan susah
payah yang semakin bertambah.
Adapun mengenai masyaqqah (kesusahan) di sini memiliki pengertian
yang berbeda. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid bahwa yang
dimaksud dengan arti masyaqqah di sini adalah kesusahan seorang ibu ketika
mengandung. Qatadah mengartikan dengan perjuangan (sungguh-sungguh),
sedangkan Atha al-Hirsan mengartikan dengan keadaan lemah yang semakin
bertambah. Dengan menggunakan dalil ( sdasdsd dsfdfd sd ), bahwa ia
memelihara dan menyapihnya sampai dua tahun setelah dalam keadaan lemah
(masa mengandung). Hal ini tercermin dalam ayat:
���=�9��J$>��� $����?� ���n� �����n� �:�s�� �:���!����K� �:������&� $:�L���D�*�n� �:���J�>�?� �M ��������*. +�.....T>XY��-���/�
Ayat tersebut di atas adalah sebagai istimbath hukum yang digunakan
oleh Ibnu Abbas dan Imam-imam yang lainnya dalam menetapkan tenggang
masa kandungan yang paling sedikit, yaitu 6 (enam) bulan. Karena hal ini
berkaitan dengan ayat h(dsjhdjshdjhjshdjhjhjhdjhjh is) menyebutkan tentang
36 Ibid, hlm. 654
>����rHr�2��m *�2!t*
u���9�v�2���m *
38
susah payah seorang ibu sejak ia mengandung, memelihara, sampai
menyapihnya adalah 30 (tiga puluh) bulan.37
Jika di dalam surat Al-Ahqaf tersebut Allah mengumpulkan dua masa
mengandung dan menyapih itu sebanyak 30 (tiga puluh), sedang sudah
diketahui berdasarkan surat Luqman ayat 14 bahwa menyapih itu adalah dua
tahun (dua puluh empat bulan), maka jelaslah kiranya bahwa mengandung itu
sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan, sedangkan sebagian ulama Hanabilah
menetapkan 9 (sembilan) bulan.38
Jadi, apabila seorang wanita melahirkan anak ketika baru saja enam
bulan menikah, maka ia tidak boleh dituduh telah berzina dan tidak boleh pula
dijatuhi hukuman. Berkenaan dengan masalah ini Imam Malik pernah
mengatakan bahwa, dia mendapat berita yang mengisahkan kasus seorang
wanita yang melahirkan ketika baru saja enam bulan hamil. Sewaktu wanita
itu dibawa menghadap Usman bin Affan, diputuskanlah olehnya agar wanita
tersebut dihukum rajam.
Akan tetapi mendengar keputusan itu berkatalah Ali r.a. kepada
Ustman, ”tidak pada tempatnya engkau menjatuhkan hukuman itu kepada
wanita ini”. masa hamil ada kalanya enam bulan. Atas dasar pertimbangan
inilah hukuman rajam tadi tidak tepat untuk dikenakan kepada wanita yang
bersangkutan “ lanjut Ali.
37 Al-Imam Abil Fida Ismail Ibnu Katsir Al-Qurisyi Adimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir, Juz.
3,Dar al-Fikr, 1986, hlm. 446 38 Fatchur Rahman, Ilmu Hadits, Bandung: PT. Al-Ma’arif, cet. II, 1981, hlm. 202.
39
Mendengar pendapat Ali itu, segeralah sayyidina Usman mengutus
seseorang untuk membatalkan hukuman yang semula telah ditetapkan.39
Jumhur ulama berpendapat bahwa, suami boleh mengingkarinya
sewaktu isterinya hamil. Imam Malik mempersyaratkan bahwa apabila suami
tidak mengingkari kandungannya pada masa kehamilan, maka ia tidak boleh
mengingkarinya sesudah kelahiran. 40
Ulama fiqih berbeda pendapat mengenai batas minimal dan maksimal
masa hamil (mengandung). Menurut Imam Malik batas maksimal kehamilan
adalah 5 tahun. As-Syafi’i memberi batasan empat tahun sedangkan Imam
Abu Hanifah memberi batasan dua tahun. Selain itu Muhammad bin Hakam
berpendapat satu tahun Qamariyah ada pula yang berpendapat bahwa batasan
maksimal kehamilan adalah sembilan bulan. Yang terakhir ini adalah pendapat
Dzahiriyah.
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, kenyataannya masa hamil
pada umumnya berkisar antara sembilan bulan sampai satu tahun. Jika ada
yang lebih dari batas waktu tersebut hanyalah merupakan pengecualian.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, apabila seorang isteri
melahirkan anaknya kurang dari enam bulan masa kehamilan, maka suami
bisa mengajukan keberatan atas anak yang dilahirkannya itu. Bahkan secara
yuridis anak itu bukan bukan lagi dianggap anak yang sah. Begitu pula halnya
seorang wanita yang telah dicerai kemudian ia melahirkan anak pada masa
39 Sayid Sabiq, Terj. Fiqih Sunnah, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987, hlm. 122 40 Ibnu Rusy, Bidayatul Mujtahid, Jilid. 3, Jakarta: Pustaka Amani, cet. I, 1995, hlm.
264.
40
yang lebih dari sembilan bulan sampai satu tahun, maka anak itu bukan anak
dari suaminya.41
Apabila dalam pembuktian keturunan dengan tenggang masa minimal
dan maksimal hamil belum menyakinkan, maka bisa dengan persaksian
seorang ahli dengan sebutan saksi ahli, yaitu bisa dengan persaksian seorang
dokter yang menyakinkan persalinan tersebut.42
C. Penetapan Kedudukan Anak
Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya supaya melaksanakan
mu’amalat atau hubungan antar manusia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang telah ditetapkan oleh syara’. Islam menghendaki
terpeliharanya keturunan dengan baik dan terang diketahui sanak kerabat,
tetangga. Dilarang terjadi perkawinan diam-diam (kawin gelap) dan setiap
anak harus dikenal siapa bapak dan ibunya.43
Dr.Wiryono dalam bukunya “Hakekat Dalam Hukum Islam”
mengatakan bahwa ada kemungkinan seorang anak hanya mempunyai ibu dan
tidak mempunyai bapak. Jadi, status anak yang lahir di luar perkawinan itu
menurut hukum Islam itu adalah anak yang tidak sah yang tidak mempunyai
hubungan hukum dengan ayahnya, yaitu laki-laki yang menurunkannya.
Namun tetap mempunyai hubungan hukum dengan ibunya; yaitu wanita yang
melahirkannya itu.
41 Chuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshary. AZ, op.cit., hlm. 131. 42 Ali Hasbullah, Al-Furqatu baina Zaujain, Dar al-Fikr Al-Araby, 1968, hlm. 241 43 Hilman Hadi Kusuma, op. cit., hlm. 137.
41
Di dalam Islam terdapat peraturan yang termasuk dalam kategori anak
yang tidak sah antara lain:
1. Anak yang lahir diluar perkawinan, yaitu anak yang dilahirkan oleh
seorang wanita tanpa adanya ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki
secara sah.
2. Anak yang lahir dalam suatu ikatan perkawinan yang sah akan tetapi
terjadinya kehamilan itu diluar perkawinannya, yaitu:
a. Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, tapi lahirnya 6 (enam)
bulan sesudah perkawinan dan diketahui sudah hamil sebelum
perkawinan.
b. Anak yang lahir dalam suatu ikatan perkawinan yang sah dan hamilnya
kurang dari 6 (enam) bulan sejak perkawinannya.44
Berdasarkan uraian di atas, maka anak akan berkedudukan sebagai
anak sah, apabila ia dilahirkan oleh seorang ibu yang sejak permulaan
kehamilan itu sudah terjalin suatu perkawinan yang sah, sedangkan anak yang
tidak sah adalah anak yang lahir akibat dari pergaulan yang tidak sah. Oleh
karena, itu hukum Islam memandang kedudukan seorang anak sah atau tidak
dilihat dari perkawinan orang tuanya dan tenggang masa mengandung. Kapan
dan dimana anak itu dilahirkan.
Hukum Islam menetapkan bahwa untuk memecahkan problema ini
memebuat jalan keluar yang dalam ilmu fiqh dikenal dengan nama li’an, maka
barang siapa yakin atau menuduh bahwa isterinya telah membasahi
44 Zakariya Ahmad Al-Barry, op. cit., hlm. 14 – 15.
42
ranjangnya dengan orang lain, kemudian sang isteri itu melahirkan anak
padahal tidak ada bukti yang tegas, maka seorang suami boleh mengajukan ke
pengadilan kemudian mengadakan mula’anah (sumpah dengan melaknat)
antara kedua belah pihak. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:
���������L���&��)T������o� �������)6����CD��F,[���������������:)��?������*������a�*�8�n�������>�?��:�?�̀ C��*����:���7���$m ���:�(����2$����1��"�<M ���������h�"���n�.���������K������2���!�9��1��=�������C���)=������w���*
��xyz �"� �#����� �:��� .�����?�*�������2$��� �1��"�<M �������� �h�"���n� �����o�3� ���n� �] �̀ ����� ������9�0,��:��z �"��#�������:�(���.��������:���7���$m ���:�������K�����������!�9��1��{ �U �|�C���)=������w���*�.
+����-�g/�Artinya: “Para suami yang menuduh suaminya padahal mereka tidak
mempunyai saksi melainkan dirinya sendiri, maka kesaksian tiap orang dari mereka adalah empat kali kesaksian dengan nama Allah bahwa ia termasuk orang-orang yang benar. Sedangkan yang kelimanya ialah bahwa laknat Allah akan menimpa kepadanya jika ia termasuk orang-orang yang berdusta dan dihilangkan dari perempuan itu siksa (dera) lantaran ia bersaksi empat kali kesaksian dengan nama Allah bahwa dia (laki-laki) itu termasuk orang-orang yang berdusta. Sedang yang kelimanya bahwa murka Allah akan menimpa kepadanya (perempuan) jika dia (laki-laki) itu termasuk orang yang benar.( Q.S. an-Nur: 6-9).45
Setelah terbukti dalam pemeriksaan di pengadilan, maka pengadilan
memberikan keputusan terhadap keduanya. Dan pengadilan memberikan
penetapan kedudukan terhadap anak. Apakah dia berkedudukan sebagai anak
sah atau tidak sah. Apabila gugatan itu diterima berarti anaknya mempunyai
kedudukan sebagai anak tidak sah dan apabila gugatan itu tidak diterima
(ditolak) maka anak tersebut berkedudukan sebagai anak sah.
45 Yusuf Qardawi, Halal dan Haram Dalam Islam, Bina Ilmu, 1400 H/ 1980 M, hlm.
305
43
Ada perbedaan yang tajam antara hukum Islam dan hukum perdata
(KUH Perdata). Dalam pasal 272 KUH Perdata dijelaskan bahwa, setiap anak
yang dilahirkan di luar nikah (antara gadis dan jejaka), dapat diakui sekaligus
dapat disahkan, kecuali anak-anak yang dibenihkan dari hasil zina atau dalam
sumbang (anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan wanita
yang dilarang kawin antara keduanya).
Apabila diperhatikan secara seksama pasal tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa, hubungan seks di luar nikah yang dilakukan anak yang
lahir sebagai akibat hubungan mereka bisa diakui atau disahkan sebagai anak
yang sah. Sedangkan anak hasil zina tidak dapat diakui atau disahkan sebagai
anak yang sah. Hal ini berarti bahwa, zina menurut KUH perdata adalah
hubungan seks yang dilakukan di luar nikah oleh mereka yang sudah bersuami
atau beristeri.
Konsekuensi yuridis dari pengertian zina, sitinjau dari segi hukum
pidana adalah, bahwa yang dapat dihukumi hanyalah hubungan seks yang
dilakukan oleh orang yang sudah bersuami atau beristeri dan mereka yang
melakukan hubungan seks dari kalangan gadis dan jejaka tidak dikenai
hukuman pidana.46
Hukum Islam menetapkan bahwa hubungan seks di luar nikah baik
yang dilakukan oleh orang yang sudah pernah menikah maupun dilakukan
oleh orang yang sudah pernah menikah maupun belum pernah menikah, tetap
dinamakan zina. Anak yang dilahirkan akibat hubungan hukum dengan
46 H. Chuzaimah T Yanggo, op.cit., hlm. 121-122
44
ayahnya, yaitu laki-laki yang menurunkannya, tetapi tetap mempunyai
hubungan hukum dengan ibunya, atau perempuan yang melahirkannya.47
Jadi, jikalau ditinjau menurut hukum perdata yang tercantum dalam
Burgerlijk Wetboek (BW), kita akan melihat adanya tiga tingkatan status
hukum dari pada anak di luar perkawinan:
1. Anak di luar perkawinan, anak ini belum diakui oleh kedua ibu bapaknya.
2. Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua
orang tuanya.
3. Anak di luar perkawinan itu menjadi anak sah, sebagai akibat kedua orang
tuanya melangsungkan perkawinan yang sah.48
Anak yang lahir di luar perkawinan, dinamakan “Natuurlijk Kind” ia
dapat diakui oleh ayah ibunya. Menurut sistem yang dianutoleh BW, dengan
adanya keturunan di luar perkawinan saja, belum terjadi suatu hubungan
keluarga antara anak dengan orang tuanya. Barulah dengan pengakuan
(Erkenning), lahir suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya
(terutama hak mewaris) antara anak dengan orang tua yang mengakuinya.
Tetapi suatu hubungan kekeluargaan antara anak dengan keluarga si ayah atau
si ibu yang mengakuinya belum juga ada. Hubungan itu hanya bisa diletakkan
dengan pengesahan anak (Wettiging), yang merupakan suatu langkah yang
lebih lanjut lagi dari pada pengakuan. Untuk pengesahan ini, diperlukan kedua
orang tua yang mengakui anaknya, kawin secara sah. Pengakuan yang
dilakukan di hari perknikahan juga membawa pengesahan anak.
47 Soedaryo Soimin, op.cit., hlm. 40 48 Ibid.
45
Jikalau kedua orang tua yang telah kawin belum melakukan pengakuan
terhadap anaknya yang lahir sebelum nikah. Pengesahan itu dapat dilakukan
dengan surat-surat pengesahan (brieven van wettiging) oleh kepala negara.
Dalam hal ini presiden harus meminta pertimbangan Mahkamah Agung.49
Perlu di terangkan bahwa KUH.Perdata tidak membolehkan
pengakuan terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perbuatan zina (overspel)
atau yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yang di larang kawin
satu sama lain. 50
Adapun mengenai suatu pertalian kekeluargaan dengan akibatnya,
terutama hak mewaris. Jadi, hampir sama dengan status kekeluargaan dengan
anak sah, hanya perbedaannya anak luar kawin tersebut tidak ada hubungan
dengan ayahnya. sebaliknya, anak sah mempunyai hubungan perdata di
samping dengan ibunya dan keluarga ibunya,juga mempunyai hubungan
dengan bapaknya dan keluarga bapaknya.
49 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1995, cet. XXVII,
hlm. 50 50 Ibid.