BAB II (2017) - sinta.unud.ac.id · dan kemakmuran karena kegiatan perdagangan sepanjang rute...
Transcript of BAB II (2017) - sinta.unud.ac.id · dan kemakmuran karena kegiatan perdagangan sepanjang rute...
31
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI INTERVENSI MILITER DALAM
KONFLIK BERSENJATA DI YAMAN
2 .1 Negara Yaman
2.1.1 Sejarah Terbentuknya Negara Yaman
Yaman adalah sebuah negara di ujung barat daya Semenanjung Arab
dan sebagian besar orang Yaman adalah Muslim Arab.60 Republik Yaman
berada di utara Semenanjung Arab, negara ini mendapat keuntungan dari posisi
geografisnya yang istimewa di atas sekitar 2.500 kilometer garis pantai,61 serta
berbatasan dengan Laut Arab di sebelah selatan, Teluk Aden dan Laut Merah di
sebelah barat, Oman di sebelah timur dan Arab Saudi di sebelah Utara.62
Yaman berasal dari kata yamin, yang berarti "sisi sebelah kanan",
sebagaimana selatan yang berada pada bagian kanan ketika matahari terbit.
Definisi lainnya mengatakan Yaman berasal dari kata yumn, yang berarti
"kebahagiaan (felicity)", sebagai salah satu wilayah yang subur.63 Sejak tahun
1000 sebelum Masehi, penduduk Yaman mengalami periode panjang kemajuan
dan kemakmuran karena kegiatan perdagangan sepanjang rute perdagangan
purbakala. Orang Yunani dan Roma menyebut peradaban kuno ini sebagai
60 Perpustakaanindonesia website, 2016, Fakta Lengkap Negara Yaman, available at URL :
http://www.perpustakaanindonesia.com/2014/09/fakta-lengkap-negara-yaman.html, diakses pada tanggal 3 Mei 2016.
61 Yementourism website, 2016, Yemen, available at URL :http://www.yementourism.com// bahasa201indonisia.pdf, diakses pada tanggal 3 Mei 2016.
62 Id Wikipedia website, 2016, Yaman, available at URL :https://id/Wikipedia.org/wiki/ Yaman, diakses pada tanggal 3 Mei 2016.
63 Bimbie website, 2016, Sejarah Negara Yaman, available at URL :http://www.bimbie.com /sejarah-negara-yaman.htm, diakses pada tanggal 3 Mei 2016.
33
“Arabia Felix”. Selama berabad-abad, banyak peradaban Yaman yang
muncul,dimana kerajaan yang paling berpengaruh dan legendaris adalah kerajaan
Saba, Awsan dan Himhyar.64
Pada abad ke-7 M, suku-suku Yaman memeluk Islam dan memainkan
peran utama dalam penaklukan muslim di Timur Tengah, Afrika Utara dan
Spanyol.65 Pada tahun 1538, kekaisaran Turki Utsmani berhasil merebut Aden
dan Yaman, dan antara 1547 dan 1548 Sana'a dan Tihama juga berhasil direbut
kembali dari Portugis, sampai akhirnya dinasti Ustmani berhasil dikalahkan pada
tahun 1630 oleh Inggris.66
Proses dimana Yaman dibagi menjadi dua negara dimulai dengan
penyitaan Inggris di Aden pada tahun 1839 dan pendudukan kembali dari Yaman
Utara oleh kekaisaran Turki pada tahun 1849. 67 Ketika Terusan Suez dibuka pada
tahun 1869, Aden menjadi pelabuhan pengisian bahan bakar utama. Kekaisaran
Turki Utsmani kemudian mencoba untuk merebut kembali Yaman dari tangan
Inggris pada tahun 1849, namun upaya mereka mengalami kegagalan. Dinasti
Utsmani kembali berhasil menguasasi Yaman pada tahun 1872 dan mengambil
alih bagian utara negara itu.
Pada tahun 1918, Kekaisaran Turki Ustman mundur dan Yaman utara
memperoleh kemerdekaan penuh di bawah kepemimpinan Imam Yahya. Antara
tahun 1918 dan tahun 1962, Yaman diperintah oleh keluarga Hamidaddin. Imam
64Yementourism website, op.cit. 65 A.I Akram, 2004, The Muslim Conquest of Egypt and North Africa, Oxford University
Press, New York, h. 201. 66 Tudor V.Parfitt.M.A, The Road to Redemption: The Jews of the Yemen, 1900-1950, Brill
Academic Publisher, h. 20. 67 Yemenweb website, 2016, History of Yemen, available at URL : http://www.yemenweb.
Com/History.htm, diakses pada tanggal 03 Mei 2016.
34
Yahya dibunuh dalam pemberontakan yang terjadi tahun 1947-1948. Namun,
putranya Imam Ahmad bin Yahya, berhasil mengalahkan para penentang
pemerintahan feodal dan menggantikan ayahnya.68 Imam Ahmad meninggal pada
tahun 1962. Ia digantikan oleh putranya, namun perwira militer berusaha untuk
merebut kekuasaan, memicu terjadinya perang saudara di Yaman Utara.69
Pada tanggal 30 November 1967, negara Yaman Selatan dibentuk, terdiri
dari wilayah Aden dan bekas Protektorat Arabia Selatan. Yaman Selatan
merupakan negara sosialis kemudian secara resmi dikenal sebagai Republik
Demokrasi Rakyat Yaman.70
Hubungan antara kedua negara Yaman relatif ramah , meskipun kadang-
kadang terjadi ketegangan. Pada tahun 1972 , konflik perbatasan kecil berhasil
diselesaikan dengan gencatan senjata dan negosiasi yang ditengahi oleh Liga
Arab, di mana dalam gencatan senjata tersebut menyatakan bahwa penyatuan
akhirnya akan terjadi.
Pada tahun 1990, kedua pemerintah mencapai kesepakatan penuh unifikasi
kedua Yaman, dan kedua negara tersebut bergabung pada tanggal 22 Mei 1990,
Ali Abdullah Saleh diangkat sebagai Presiden. Dan Presiden Yaman Selatan, Ali
Salim al- Beidh, menjadi Wakil Presiden. Sebuah parlemen terpadu dibentuk dan
konstitusi persatuan disepakati.71 Ali Abdullah Saleh terus menjabat presiden
sampai ia digulingkan melalui revolusi Yaman tahun 2011.
68 F. Gregory Gause, 1990, Saudi-Yemeni Relations: Domestic Structures and Foreign
Influence. Columbia University Press, h. 58. 69 Ibid, h.60. 70 Nationline website, 2016, Yemen History, available at URL :http//www/nationsonline.org
/oneworld/History/Yemen-history.htm, diakses pada tanggal 03 Mei 2016. 71 Ibid.
35
2.1.2 Latar Belakang Munculnya Kelompok Pemberontak Houthi
Konflik yang terjadi di Yaman, tidak terlepas dari adanya salah satu
kelompok pemberontak yang sangat menentang pemerintahan Yaman dan
memicu konflik yang berkepanjangan di negara ini, kelompok pemberontak ini
menamakan dirinya Houthi.
Houthi atau dibaca hausi adalah kelompok pemberontak yang berpaham
Syiah Itsna Asyariyah atau Syiah 12 imam.72 Munculnya Syiah Houthi bermula
dari sebuah desa atau kota kecil yang bernama Sha’dah. Sebuah kota yang terletak
240 Km di utara ibu kota Shan’a.73 Di sana terdapat perkumpulan terbesar orang-
orang Syiah Zaidiyah di Yaman. Nama aliran Syiah Zaidiyah berasal dari Zaid bin
Ali, cucu dari Imam Hussain, cucu Nabi Muhammad. Kaum Syiah Zaidiyah
meyakini Zaid bin Ali adalah imam mereka.74
Pada tahun 1986, dibentuklah sebuah perkumpulan untuk mempelajari
ajaran-ajaran Syiah Zaidiyah. Perkumpulan itu disebut dengan Ittihad Asy-Syabab
(Persatuan Pemuda).75 Perkumpulan ini punya agenda mengenalkan kondisi
sosial politik dan budaya kepada kaum muda Zaidiyah Yaman. 76 Untuk
memperlancar proses pembelajaran di sana, salah seorang ulama Zaidiyah yang
72 Arrahmah website, 2016, Kontribusi Siapakah Pemberontak Houthi, available at URL :
http://www.arrahmah.com/kontribusi/siapakah-pemberontak-houthi.html, diakses pada tanggal 03 Mei 2016.
73 Intriksnews website, 2016, Mengenal Kelompok Syiah Houthi, available URL : http://www.intriknews.com/2015/03/mengenal-syiah-houthi-kelompok.html , diakses pada tanggal 03 Mei 2016.
74 Islam-istitute website, 2016, Pemberontak Houthi di Yaman Siapakah Mereka, available at URL : http://www.islam-institute.com/pemberontak-houthi-di-yaman-siapakah-mereka-sebenarnya/ diakses pada tanggal 03 Mei 2016.
75 Intriksnews website, op.cit. 76 Islam-institute website, op.cit.
36
bernama Badrudin al-Houthi mendatangkan para pengajar dari berbagai daerah
untuk menetap di wilayah Sha’dah.77
Semenjak Yaman Utara dan Yaman Selatan bersatu membentuk negara
demokrasi baru yang bernama Republik Yaman pada tahun 1990, sistem
demokrasi menuntut adanya partai politik dan parlemen. Saat itulah Ittihad Asy-
Syabab menjelma menjadi parti politik dengan nama baru Parti al-Haq (Hizbul
Haq) sebagai penyambung aspirasi Syiah Zaidiyah di Republik Yaman.78 Dari
partai itu juga muncul seorang kadernya yang bernama Husein bin Badruddin al-
Houthi, anak dari Badrudin al-Houthi. Dia menjadi seorang polititikus yang
terkenal dan menjadi anggota parlemen Yaman pada 1993-1997 dan 1997–
2001.79
Pada tahun 2004, kelompok ini mulai angkat senjata dalam perang
melawan pemerintahan Ali Abdullah Saleh.80 Orang-orang Houthi dipimpin oleh
Husein al-Houthi turun ke jalan menentang sikap pemerintah yang mendukung
ekspansi Amerika ke Irak, 81 dan memprotes sikap diskriminatif dan penindasan
Presiden Saleh dan menuntut otonomi khusus di Yaman Utara.82 Pemerintah
Yaman merespon demonstrasi tersebut dengan sikap represif.
77 Intriknews website, op.cit. 78 Penaminang website, 2016, Houthi Dan Gerakan Syiah Di Yaman, available at URL :
http://www.penaminang.com/2014/09/houthi-dan-gerakan-syiah-di-yaman.html#axzz488SS0QSZ, diakses pada tanggal 03 Mei 2016.
79 Ibid. 80 cnnindonesia website, 2016, Pemberontak Houthi Dari Gunung Ke Ibukota, available at
URL : http://www.cnnindonesia.com/internasional /20141001102710-120-4890/pemberontak-houthi-dari-gunung-ke-ibukota/ diakses pada tanggal 03 Mei 2016.
81 Islam-institute website, op.cit. 82 islaminesia website, 2016, Perjalanan Panjang Konflik Yaman, available at URL
:http://islaminesia.com/2015/03/perjalanan-panjang-konflik-yaman/, diakses tanggal 03 Mei 2016.
37
Pemerintah Yaman mengumumkan perang terbuka dengan gerakan Syiah
dan Houthi. Penangkapan anggota Houthi dan penyitaan senjata-senjata mereka
pun digelar besar-besaran.83 Tidak hanya itu, pemerintah menginstruksikan untuk
membunuh pemimpin Houthi, Husein Badruddin al-Houthi.
Hussein Al-Houthi tewas pada tahun 2004 setelah Saleh mengirim
pasukan pemerintah ke Saada. 84 Namun dominasi keluarga Houthi dalam
kepemimpinan gerakan tidak mereda dengan kematian Hussein. Ayahnya
(pemuka agama syiah Zaidiyah, juga disebut Hussein) dijadikan pemimpinan
spiritual gerakan dan adiknya, Abdul Malik al-Houthi dijadikan pemimpin baru
pemberontakan.85
Keberhasilan pemberontak Houthi mengangkat isu-isu kondisi ekonomi,
sosial, dan pembangunan Yaman yang sangat buruk sebagai bukti kegagalan
pemerintah dalam membangun negeri nenek moyang bangsa Arab itu,
mengakibatkan rakyat pun simpati dengan gerakan separatis ini.86
Memasuki tahun 2011 menyusul timbulnya aksi–aksi demontrasi di
sejumlah negara Arab yang dikenal dengan Arab Spring, puluhan ribu penduduk
Yaman juga ikut melakukan demonstrasi menuntut reformasi pemerintahan yang
selama ini dianggap korup dan otoriter. Kelompok pemberontak Houthi
83 Kisahmuslim website, 2016, Separatis Houthi Dan Revolusi Syiah Di Yaman, available at
URL : https://kisahmuslim.com/4595-separatis-houthi-dan-revolusi-syiah-di-yaman.html, diakses pada tanggal 03 Mei 2016.
84 Beritaislam website, 2016, Siapakah Syiah Houthi Dan Apa Yang Mereka Inginkan Di Yaman, available at URL :http://www.beritaislam.net/2015/04/siapakah-syiah-houthi-dan-apa-yang.html, diakses pada tanggal 03 mei 2016.
85 Voa-islam website, 2016, Siapa Sejatinya Syiah Houthi, available at URL : http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/ 2015/02/01/35414/siapa-sejatinya-syiah-houthi -dan-apa-hubungannya-dengan-iran/ diakses pada tanggal 03 Mei 2016.
86 Kisahmuslim website, op.cit.
38
memanfaatkan kemelut ini dan menjadi bagian penyebab mundurnya presiden Ali
Abdullah Saleh yang telah berkuasa lebih dari 20 tahun.
Aksi–aksi militer pemberontak Houthi terus dilakukan untuk bisa
menguasai Saana dan sejumlah wilayah Yaman. Dan puncaknya adalah pada
tanggal 21 Januari 2015, dengan sangat mengejutkan, pemberontak Houthi
melakukan “kudeta” di Sana’a dengan cara membubarkan parlemen dan
memasang dewan presiden untuk menjalankan pemerintahan serta menjadikan
Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi sebagai tawanan setelah menduduki istana
kepresidenan.87
Apa yang terjadi saat ini, menempatkan pemberontak Houthi sebagai salah
satu pihak yang memegang peranan penting terjadinya konflik bersenjata
berkepanjangan di Yaman.
2.1.3 Penyebab Terjadinya Konflik Bersenjata Antara Pemerintah Yaman
dan Pemberontak Houthi
Konflik antara pemerintah Yaman dengan kelompok pemberontak Houthi,
sebenarnya bukan hal baru di lingkar kedaulatan Yaman sendiri. Masalah antara
pemerintah dengan pemberontak bermula dari keinginan kelompok minoritas
Houthi untuk mendapatkan otonomi lebih luas di wilayah utara Yaman sejak
tahun 2004.88
87 Hidayatullah website, 2016, Presiden Yaman Mundur Setelah Tekanan Kelompok Syiah,
available at URL : http://www.hidayatullah.com /berita/internasional /read/2015/01/23/37255/ presiden-yaman-mundur-setelah-tekanan-kelompok-syiah.html, diakses pada tanggal 03 Mei 2016.
88 Maiwanews website, 2016, Konflik Pemerintah Yaman Dengan Pemberontak Houthi Sudah Sejak Lama, available at URL : http://berita.maiwanews.com/konflik-pemerintah-yaman-dengan-pemberontak-houthi-sudah-ada-sejak-lama-41017.html, diakses pada tanggal 03 Mei 2016
39
Berawal pada tahun 2003, sekitar 650 anggota Gerakan Al-Syabab Al-
Mukmin (Gerakan Pemuda Mukmin) ditahan dan dijebloskan ke dalam penjara
akibat menyerukan slogan yang menjelekkan Amerika Serikat dan Israel.
Dukungan pemerintahan Ali Abdullah Saleh terhadap Amerika Serikat dan
masuknya militer Amerika Serikat di wilayah negara Yaman ini tentu saja
menimbulkan pertentangan dan protes dari kelompok Al-Syabab Al-Mukmin
(Gerakan Pemuda Mukmin). Upaya keras Husein Al-Houthi dan teman-temannya
untuk membebaskan mereka tidak kunjung berhasil, bahkan mencapai jalan
buntu, hingga pertama kalinya konflik bersenjata meletus antara kelompok Houthi
dan pemerintah Yaman.
Meletusnya pertikaian antara kelompok pemberontak Al-Houthi dengan
pemerintahan Yaman bukan hanya dipicu oleh kedekatan pemerintah dengan
Amerika Serikat, tetapi juga dipicu oleh diskriminasi dan marginalisasi ekonomi
di daerah Sa’da, Yaman Utara. Sementara pemerintahan Yaman menuding
pemberontakan yang dilakukan kelompok Al-Houthi ini merupakan aksi dalam
upaya menggulingkan pemerintahan Ali Abdullah Saleh di Yaman.89
Pada Juni 2009, pemerintah Yaman menuduh Houthi menculik 9 warga
negara asing yang sedang berlibur di provinsi Sa’dah, yang disinyalir warga
negara asing tersebut berkewarganegaraan Saudi Arabia. Kekesalan Pemerintah
Yaman semakin memuncak, hingga melakukan serangan–serangan militer ke
basis – basis kelompok Houthi. 90
89 Voa-islam website, op.cit. 90 Eramuslim website, op.cit.
40
Tindakan militer berupa Operasi bumi hangus ( scorched Earth ) yang
dilakukan pemerintah pada tanggal 11 Agustus 2009 mengakibatkan korban jiwa
dari pihak Houthi. 91 Pemerintah mengerahkan sekitar 60.000 tentara dan juga
beberapa pesawat tempur untuk menyerang basis–basis pertahanan kelompok
Houthi bahkan pemerintah Saudi Arabia juga ikut membantu Yaman dalam
menghadapi kelompok Houthi.92 Setidaknya sekitar 100 orang dari kelompok
Houthi tewas. Cara lain yang dilakukan oleh pemerintah Yaman adalah dengan
mengeluarkan perintah penangkapan para tokoh–tokoh kelompok pemberontak
Houthi yang diharapkan dapat mengurangi intensitas gerakan dari pemberontak
Houthi tersebut.
Terkadang konflik di Yaman digambarkan sebagai masalah pemahaman
ideologi, namun banyak analis berpendapat bahwa konflik tersebut tidak lebih
dari perebutan kekuasaan. Isu penyeimbangan antara komunitas Salafi dan Zaidi
juga tersebar. Di sisi lain, kedekatan ideologi pencetus sekaligus pemimpin Al-
Houthi dengan Syi’ah Itsna Asyariah di Iran, menjadikan konflik internal Yaman
melebar ke konflik regional. Di mana Al-Houthi disokong Iran dan pemerintah
Yaman disokong oleh Arab Saudi karena persamaan ideologi. 93 Pemerintah
Yaman mengatakan bahwa para pemberontak mendapatkan dukungan dari Iran
namun kelompok Al-Houthi menyangkal keterlibatan Iran dalam konflik
91 Ibid. 92 Voa-islam website, op.cit. 93 Islamtimes.org website, 2016, Kelompok Houthi Separatisan atau Strategi Internasional,
available at URL : http://www.islamtimes.org/vdcb8wb8.rhbs5pnqur. Konflik Huthi, Separatisan atau Strategi Internasional diakses pada tanggal 05 Mei 2016.
41
tersebut. 94 Begitu pula sebaliknya, pemberontak Houthi telah mencium
keterlibatan Arab Saudi jauh sebelum konflik ini terjadi.
Upaya perundingan dan gencatan senjata yang dilakukan kedua belah
pihak melalui perundingan Kuwait tidak membuahkan hasil. Dan pada puncaknya
September 2014 Pemberontak Houthi mengambil alih ibu kota Saana dan
menggulingkan Presiden Abdu Rabbu Mansour Hadi. Hingga saat ini konflik
terus terjadi antara Pemerintah Yaman dan Kelompok Houthi dan telah
mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan bagi penduduk sipil Yaman.
2.2 Intervensi
2.2.1 Pengertian Intervensi
Pergeseran kepentingan dan kebutuhan yang sangat signifikan dalam
masyarakat internasional telah berubah menjadi suatu bentuk hubungan timbal
balik antar negara – negara baik berupa hubungan konsuler, hubungan diplomatic,
kerjasama politik, kerjasama ekonomi, sosial budaya , kerjasama militer,
perjanjian persahabatan, aliansi dan sebagainya. Ketika kepentingan–kepentingan
tersebut menghasilkan keuntungan bagi kedua belah pihak secara adil maka
hubungan tersebut akan sesuai dengan tujuan mereka. Akan tetapi tidak semua
hubungan yang melibatkan dua negara atau lebih dapat mengakomodir semua
keinginan para pihak. Perbedaan pandangan dan sikap yang menurut masing–
94 Nurulilmi website, 2016, Pimpinan Houthi Tewas Dalam Serangan Udara Saudi,
available at URL : http://nurulilmi.com/akhbar/600-pimpinan-houthi-tewas-dalamserangan-udara-saudi.html, diakses pada tanggal 05 Mei 2016.
42
masing pihak dirasakan cukup fundamental, mengakibatkan terjadinya
pertentangan dalam skala yang tinggi dan berakhir dengan konflik.
Kecenderungan untuk melakukan intervensi sebagai instrumen politik luar
negeri terus meningkat dan latar belakangnya juga menjadi semakin kompleks.
Negara – negara adikuasa maupun negara yang kemampuan politik, ekonomi dan
militernya patut diragukan, sama–sama giat dalam soal mencampuri urusan
negara lain.95
Pengertian Intervensi dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai “
one nation’s interference by force, or threat of force, in another nation’s internal
affair or in question arising between other nation ”.96
Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH memberi pengertian intervensi sebagai
berikut : 97
“ Dalam hukum internasional intervensi tidak berarti luas sebagai segala bentuk campur tangan Negara asing dalam urusan satu negara, melainkan berarti sempit, yaitu suatu campur tangan negara asing yang bersifat menekan dengan alat kekerasan (force) atau dengan ancaman melakukan kekerasan, apabila keinginannya tidak terpenuhi ”. Menurut James Rosenau, pengertian intervensi dapat dibedakan dari
instrument politik luar negeri lainnya melalui dua faktor : 98
a) Bahwa intervensi membedakan diri dengan tajam dalam hal cara
menyelenggarakan hubungan antar negara yang konvensional;
95 Budiono Kusumohamidjojo, 1987, Hubungan Internasional, Kerangka Studi Analistis,
Binacipta, Bandung, h. 69. 96 Bryan A.Garner, 2009, Blacks Law Dictionary, Ninth Edition, Thomson Reuters,
Minnesota USA, h. 897. 97 Wirjono Prodjodikoro, 1967, Azaz-Azaz Hukum Publik Internasional, PT. Pembimbing
Masa, Jakarta, h. 149-150. 98 Budiono Kusumohamidjojo, op.cit h. 68.
43
b) Bahwa intervensi secara sadar dilakukan untuk mengakibatkan perubahan
politik yang mendasar di negara yang dijadikan sasaran intervensi.
Sedangkan, Oppenheim Lauterpacht mengatakan bahwa intervensi sebagai
campur tangan secara diktator oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri
lainnya dengan maksud baik untuk memelihara atau mengubah keadaan, situasi
atau barang di negeri tersebut.99
Dari pengertian intervensi di atas, beberapa pakar ada yang membagi
intervensi–intervensi tersebut dalam praktek dan teknik intervensi. Seperti
Kalevi. J. Holsti, membedakan dan membahas 6 (enam) bentuk intervensi,
yaitu :100
1. Intervensi diplomatik, yang biasanya terjadi apabia seorang diplomat
memberikan komentar terhadap atau memihak dalam suatu krisis atau
persoalan politik yang sedang melanda negara tempatnya bertugas.
2. Intervensi klasik, berupa kegiatan gelap atau misi rahasia. Bentuk yang paling
tua adalah melalui penyuapan atau penyogokan pejabat negara yang dijadikan
sasarannya.
3. Pameran kekuatan militer yang relatif murah dan mengadung resiko rendah,
tetapi sering justru lebih efektif dari pada pengiriman ekspedisi militer yang
sesungguhnya.
4. Subversi atau yang kita kenal dengan gerakan bawah tanah. Subversi adalah
gerakan politik dan militer yang diorganisasikan, ditunjang dan diarahkan
99 Huala Adolf I, h.31. 100 Budiono Kusumohamidjojo, op.cit, h. 70-71.
44
oleh suatu negara asing untuk tujuannya sendiri dengan amat memanfaatkan
situasi dan elemen–elemen setempat di negara sasaran.
5. Gerilya, yang merupakan perpaduan antara subversi dengan sistem perang
konvensional. Gerilya tidak selalu merupakan hasil intervensi kekuatan asing
tetapi cukup banyak kegiatan gerilya yang merupakan manifestadi dari
intervensi.
6. Intervensi militer, diwujudkan dalam bentuk pengiriman ekspedisi militer
untuk menunjang suatu pemerintahan yang sedang berkuasa ataupun
membantu suatu kelompok pemberontak.
J.G Starke membedakan 3 (tiga) bentuk intervensi yang tidak mengandung
karakter diplomatik, diantaranya :101
1. Intervensi Intern (Internal Intervention). Contoh Negara A yang mencampuri
persengketaan antara pihak-pihak bertikai di Negara B, dengan cara
mendukung salah satu pihak, baik pihak pemerintah yang sah ataupun pihak
pemberontak.
2. Intervensi Ekstern (External Intervention). Contoh Negara A yang ikut
campur tangan dalam hubungan, umumnya hubungan permusuhan, seperti
ketika Italia melibatkan diri dalam perang dunia kedua dengan memihak
Jerman dan melawan Inggris.
3. Intervensi Penghukuman (Punitive Intervention). Bentuk intervensi ini
merupakan suatu tindakan pembalasan (repraisal), yang bukan perang, atas
kerugian yang diderita oleh Negara lain. Misal: suatu blokade damai yang
101 J.G. Starke, op.cit , h. 136-137.
45
dilakukan terhadap Negara yang menimbulkan kerugian sebagai pembalasan
atas tindakannya yang merupakan pelanggaran berat traktat.
Apabila membaca pengertian atau definisi dan pembagian mengenai
intervensi yang telah disebutkan diatas, intervensi dalam praktek serta
penerapannya terkadang bersinggungan dengan prinsip–prinsip umum hukum
internasional yaitu prinsip kedaulatan negara dan prinsip non intervensi. Akan
tetapi, tindakan intervensi tidak selalu berkonotasi secara negatif. Ada hal–hal
tertentu yang dapat dibenarkan untuk melakukan intervensi seperti dalam hukum
internasional juga membolehkan tindakan tersebut dengan syarat bahwa
timbulnya suatu keadaan atau hal tertentu yang merupakan ancaman bahaya bagi
perdamaian dan keamanan dunia dan juga merupakan pelanggaran bagi hukum
internasional dan memungkinkan untuk timbulnya perang. Hal ini juga sesuai
dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Ali Sastroamijojo bahwa intervensi itu
dapat dijalankan sewaktu-waktu dalam taraf perkembangan persengketaan antar
negara yang lazimnya dijalankan pada saat akan meletus peperangan. Jadi
intervensi dalam hal ini bermaksud untuk mencegah meletusnya peperangan,
artinya tidak untuk memihak salah satu dari pihak yang bersengketa.102
Intervensi yang dilarang adalah ketika intervensi tersebut telah
mengganggu kemerdekaan politik suatu negara dengan cara–cara paksa
khususnya melalui kekerasan, gangguan keamanan melalui kedaulatan negara.
Atau istilah yang digunakan oleh J.G Starke yaitu “ Intervensi subversif ”, dimana
intervensi ini menunjukan aktivitas propaganda atau aktivitas lainnya yang
102 Ali Sastroamidjojo, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Batara, Jakarta 1971,
hal.191.
46
dilakukan oleh satu negara dengan maksud untuk menyulut revolusi atau perang
saudara di negara lain.103
Dalam kasus – kasus tertentu, suatu negara berhak melakukan tindakan
intervensi secara sah dan dapat dibenarkan menurut hukum internasional. Adapun
tindakan intervensi tersebut adalah:104
a) Intervensi kolektif sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa - Bangsa;
b) Intervensi untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan serta
keselamatan jiwa warga-warga Negara di luar yang menjadi dasar bagi
pemerintah Amerika Serikat membenarkan tindakan pengiriman tentara
multinasional di pulau Grenada bulan oktober 1983;
c) Pertahanan diri, apabila intervensi diperlukan untuk menghilangkan bahaya
serangan bersenjata yang nyata;
d) Dalam urusan-urusan protektorat yang berada di bawah kekuasaannya;
e) Apabila Negara yang menjadi subjek intervensi dipersalahkan melakukan
pelanggaran berat atas hukum internasional menyangkut Negara yang
melakukan intervensi, sebagai contoh, apabila Negara pelaku intervensi
sendiri telah diintervensi secara melawan hukum.
Dengan melihat pembahasan di atas, terlihat jelas bahwa sukar untuk
menjelaskan batasan dari pengertian intervensi, karena intervensi mengenal
banyak cara dan teknik. Akan tetapi tindakan intervensi secara jelas dapat
103 J.G. Starke, op.cit , h.137. 104 Ibid.
47
dilakukan sepanjang tidak bertentangan dan telah memenuhi syarat–syarat
tertentu dalam hukum internasional.
2.2.2 Intervensi Kemanusiaan
Intervensi kemanusiaan diartikan sebagai intervensi yang dilakukan oleh
komunitas internasional untuk mengurangi pelanggaran HAM dalam sebuah
negara, walaupun tindakan tersebut melanggar kedaulatan negara.105
J.L. Holzgrefe mendefinisikan intervensi kemanusiaan sebagai berikut :
“ the treat or use of force by a state (or group of states) aimed at preventing or ending widespread and grave violations of the fundamental human rights of individuals other than its own citizens, without the permission of the state within whose territory force applied ”.106 Intervensi kemanusiaan merupakan tindakan yang meliputi :107
a) Bantuan logistik dan jaminan keamanan bagi pertukaran atau pemindahan
pengungsi atau pelarian serta tugas-tugas yang berhubungan dengan
kemanusiaan.
b) Bantuan teknis, pelatihan, dan keuangan bagi pembersihan ranjau;
c) Bantuan logistik, keuangan, dan teknis untuk peletakan senjata pembebasan
dan penyatuan kembali tentara setelah berakhirnya perang saudara, termasuk
pelatihan angkatan bersenjata yang sudah dipersatukan setelah berakhirnya
pertikaian.
105 Bryan A.Garner, op.cit, h. 897. 106 J.L. Holzgrefe dan Robert O. Keohane. 2003. Humanitarian Intervention: Ethical, Legal,
and Political Dilemmas. Cambridge University Press, Cambridge, h. 278. 107 Rina Dewi Ratih, 2008, “Benturan Intervensi Terhadap Bantuan Kemanusiaan di
Darfur”, Perpustakaan Digital Universitas Indonesia, Jakarta, h. 27.
48
d) Bantuan teknis dan keamanan bagi organisasi, memantau dan memverifikasi
hasil pemilihan umum.
Ada beberapa parameter yang digunakan sebagai alasan untuk melakukan
intervensi kemanusiaan yaitu :108
1. Negara yang gagal. Bila dalam suatu negara pemerintahan gagal berfungsi
untuk melindungi warganya karena adanya perang saudara atau pembunuhan
masal, maka pada kondisi inilah negara lain dapat membenarkan diri untuk
melakukan intervensi kemanusiaan.
2. Kesadaran kemanusiaan. Bila dalam suatu negara terjadi pembunuhan secara
masal, perbudakan masal dan peledakan yang menimbulkan kematian yang
besar (shocking the conscious of mankind), maka kondisi itulah yang
membenarkan suatu negara melakukan intervensi kemanusiaan.
3. Jalan terakhir. Bila semua cara non-militer telah dilakukan tetapi tetap gagal,
maka intervensi menjadi salah satu pilihan dan dapat dibenarkan
Menurut Simon Duke, tindakan intervensi kemanusiaan dapat diterapkan
pada kondisi : 109
a) Terdapat tindak kejahatan berat terhadap hak asasi manusia;
b) Beberapa kejahatan meluas dan merupakan penyebaran ancaman atas
kehidupan yang hilang;
c) Sumber-sumber atau tindakan di bawah tingkat intervensi telah dihabiskan;
108 Hamid Awaludin, 2012, HAM, Politik, Hukum, dan Kemunafikan Internasional,
PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, h.198. 109 Simon Duke, 1994, “The State and Human Rights Sovereignty Versus Humanitarian
Intervention”, International Relations, vo.XII, h. 44.
49
d) Berbagai penggunaan kekuatan harus proporsional, dengan jalan melindungi
dari hal yang membahayakan tetapi bertujuan untuk meminimalisasi
gangguan atau kekacauan terhadap faktor lain selain hak asasi manusia;
e) Intervensi dilakukan dalam tempo sesingkat mungkin;
f) Intervensi kemanusiaan merujuk pada prosedur Bab VII Piagam PBB;
g) Intervensi, dimungkinkan, melibatkan beberapa bentuk persetujuan dari
pihak/negara yang bertikai.
Mengenai pendapat Simon huruf (f), bahwa Intervensi kemanusiaan harus
merujuk pada prosedur Bab VII Piagam PBB, ini berpedoman kepada tujuan dan
tugas PBB dalam melindungi keamanan, ketertiban dan perdamaian dunia.
Walaupun dalam Pasal 2 ayat 7 piagam PBB, dikenal dengan prinsip non
intervensi dimana melarang negara yang melakukan hubungan internasional
untuk melakukan intervensi kedalam urusan negara lain termasuk juga PBB dan
mewajibkan negara – negara yang berkonflik untuk menyelesaikan urusannya
menurut ketentuan piagam PBB, akan tetapi prinsip non intervensi ini tidak dapat
melindungi tindakan pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM) seperti kejahatan
genosida maupun kejahatan atas kemanusiaan. Salah satu contoh yaitu intervensi
kemanusiaan PBB di Bosnia-Herzegovina yang dibentuk berdasarkan resolusi
PBB dengan tujuan untuk memulihkan hak asasi manusia (HAM) di negara
tersebut.
Oleh Sebab itu, peranan PBB dalam intervensi kemanusiaan pada
dasarnya tidak terlepas dari komitmen pendirian lembaga internasional yang
didasarkan pada komitmen “to prevent war and to strengthen means for conflict
50
resolution”, dan dalam rangka melaksanakan misi kemanusiaan, di mana misi
tersebut pada dasarnya bertujuan untuk mengedepankan hak-hak asasi manusia
sebagai hak-hak yang fundamental, sebagaimana tercantum dalam mukadimah
piagam PBB : … the peoples of the United Nation determined, to reaffirm faith in
fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person…”.
Jadi menurut penulis, intervensi kemanusiaan adalah segala bentuk upaya
untuk mencegah dan menghentikan terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi
manusia (HAM) berat di suatu negara, melalui prosedur–prosedur dan
persyaratan yang telah ditentukan baik dengan atau tanpa persetujuaan negara
yang bersangkutan guna menjaga keamanan, ketertiban dan perdamaian dunia.
Walaupun intervensi kemanusiaan menuai pro dan kontra, akan tetapi intervensi
kemanusiaan setidaknya merupakan salah satu upaya penegakan HAM dan
memberikan perlindungan kepada penduduk sipil di daerah konflik.
2.2.3 Intervensi Militer
Intervensi militer untuk tujuan kemanusiaan memiliki masa lalu yang
kontroversial. Bentuk intervensi ini adalah yang paling terang–terangan, paling
mahal dan mengadung resiko paling besar.110 Pengerahan kekuatan militer ke
suatu wilayah atau negara untuk menekan suatu konflik atau pergerakan
kelompok tertentu yang mengganggu keamanan dan keselamatan penduduk sipil,
telah beberapa kali di lakukan negara–negara atau organisasi–organisasi
110 Budiono Kusumohamidjojo, op.cit, h.71.
51
internasional atas dasar pertimbangan kemanusiaan dan permintaan dari
pemerintahan yang berkuasa di negara tersebut.
Intervensi militer di definisikan sebagai penggunaan kekuatan lintas batas
negara oleh kelompok negara dan organisasi regional dengan pembenaran dan
alasan untuk aksi mereka guna memulihkan perdamaian dan keamaan sebagimana
mengakhiri penderitaan dan pelanggaran HAM yang meluas melalui bantuan
multirateral tanpa persetujuan dari negara mana intervensi tersebut terjadi.111
Intervensi militer juga diwujudkan dalam bentuk pengiriman ekspedisi militer
untuk menunjang suatu pemerintahan yang sedang berkuasa ataupun membantu
suatu kelompok pemberontak.112
Dalam pelaksanaannya, intervensi militer selalu dibarengi dengan
intervensi kemanusiaan atau sering disebut dengan intervensi militer kemanusiaan
(humanitarian military intervention), mengapa ? karena pada dasarnya ada
kesamaan tujuan antara intervensi militer untuk kemanusian dan intervensi
kemanusiaan.
Adapun tujuan dari intervensi militer kemanusiaan menurut Tylor
B. Seybot adalah :113
1. Helping to deliver emergency aid 2. Protecting humanitarian aid operation 3. Saving the victim of violence 4. Defeating the perpetrators of violence
111 Foreignpolicyjurnal website, 2012, The Role of The West and Military Intervention in
Libya, available at URL http://www.foreignpolicyjournal.com/2012/04/07/the-role-of-the-west-and-military-intervention-in-libya/, diakses pada tanggal 9 Mei 2016
112 Budiono Kusumohamidjojo, op.cit h. 72. 113 Taylor B. Seybolt, The Humanitarian Military Intervention, The Condition for Success
and Failure, Oxford University Press, Oxford, h.38.
52
Intervensi dengan militer dikemukakan oleh Michael Walzer dalam Just
and Unjust Wars, yakni dengan menempatkan empat situasi yang secara moral
tindakan intervensi melalui perang dapat dibenarkan, yakni :114
a) Preemptive intervention, yakni intervensi dapat dilakukan oleh suatu negara
akibat terjadinya situasi perang yang “mendadak” (imminent). Intervensi
tidak boleh dilakukan dalam situasi preventive war, yakni suatu keadaan
dimana telah diyakini bahwa perang merupakan tindakan terbaik untuk segera
dilakukan daripada menundanya. Alasan mengapa intervensi tidak boleh
dilakukan dalam preventive war adalah karena di dalam preventive war tidak
terdapat situasi bahaya yang jelas (no clear and present danger).
b) Intervensi dibutuhkan guna menyeimbangkan intervensi sebelumnya.
Intervensi ini dimaksudkan guna menjaga masyarakat lokal dimana
sebelumnya telah mengalami intervensi. Dengan kata lain, intervensi ini
merupakan intervensi balasan.
c) Intervensi diperlakukan guna membantu individu-individu yang terancam
dengan pembunuhan massal. Suatu negara atau masyarakat internasional
tidak berarti perlu untuk terlibat langsung dan turut campur menangani isu
pembunuhan masal atau genosida, tetapi hanya apabila dirasa perlu saja.
d) Intervensi dapat dilakukan guna membantu di dalam mendapatkan hak
melakukan gerakan memisahkan diri (secessionis movement). Bantuan
terhadap gerakan memisahkan diri dilakukan atas dasar guna memberikan
114 Joseph S. Nye, Jr, 1997, Understanding International Conflict: An Introduction to Theory
and History 2nd Edition, Harvard University, Longman , h. 136-137.
53
hak serta membangun otonomi mereka sebagai suatu bangsa. Tidak berarti
dukungan dan bantuan dapat diberikan bagi semua kelompok atau gerakan
yang ingin memisahkan diri, sebab untuk membentuk suatu bangsa yang sah,
masyarakat harus dapat memberikan pengorbanan dan perlawanan bagi
kebebasan mereka sendiri.
Intervensi militer dalam keadaan tertentu yang bukan merupakan
pelanggaran kemerdekaan atau intregasi wilayah, dibenarkan menurut hukum
internasional dengan pengecualian sebagai berikut : 115
1. Suatu Negara pelindung (protector) telah diberikan hak-hak intervensi
(intervention rights) yang dituangkan dalam suatu perjanjian oleh Negara
yang meminta perlindungan. Contoh: Perjanjian persahabatan, hubungan
bertetangga baik dan kerjasama (the Treaty of friendship, good
neighbourliness and cooperation) yang ditandatangani oleh Uni Soviet dan
Afghanistan pada tanggal 5 Desember 1978. Pasal 4 the treaty of friendship,
good neighbourliness and cooperation menetapkan bahwa kedua belah pihak
akan mengambil langkah yang diperlukan untuk melindung keamanan,
kemerdekaan, dan keutuhan wilayah kedua Negara. Isi ketentuan perjanjian
demikian dapat dimaksudkan sebagai pembenaran terhadap tindakan Uni
Soviet ketika menginvasi Afghanistan pada Desember 1979.
2. Jika suatu Negara berdasarkan suatu perjanjian dilarang untuk mengintervensi
namun ternyata melanggar larangan ini, maka Negara lainnya yang juga
115 Huala Adolf I, 2002, op.cit, h.34-35.
54
adalah pihak/peserta dalam perjanjian tersebut berhak untuk melakukan
intervensi.
3. Jika suatu Negara melanggar dengan serius ketentuan-ketentuan dalam
hukum kebiasaan yang telah diterima umum, Negara lainnya mempunyai hak
untuk mengintervensi Negara tersebut. Jadi, jika pemberontak terus-menerus
melanggar hak-hak suatu Negara netral selama terjadinya konflik, maka
Negara netral tersebut memiliki hak untuk mengintervensi terhadap Negara
pemberontak tersebut.
4. Jika warga negaranya diperlakukan semena-mena di luar negeri maka Negara
tersebut memiliki hak untuk mengintervensi atas nama wargawarga tersebut,
setelah semua cara damai diambil untuk menangani masalah tersebut.
5. Suatu intervensi dapat pula dianggap sah dalam hal tindakan bersama oleh
suatu organisasi internasional yang dilakukan atas kesepakatan bersama
Negara-negara anggotanya.
6. Suatu intervensi dapat juga sah manakala tindakan tersebut dilakukan atas
permintaan yang sungguh-sungguh dan tegas-tegas (genuine and explicit) dari
pemerintah yang sah dari suatu Negara (invitational intervention). Intervensi
ini cukup banyak dilakukan oleh Negara- negara besar dewasa ini.
Pengiriman tentara Inggris ke Yordania pada tahun yang sama setelah
Republik Persatuan Arab melakukan intervensi terhadap masalah-masalah
dalam negeri Yordania. Tahun 1964, kembali tentara inggris didaratkan di
Tanganyika Uganda, dan Kenya atas permintaan masing-masing Negara
55
tersebut untuk meredakan pemberontakan di negeri-negeri tersebut, dan lain-
lain.
Pembahasan mengenai intervensi militer dalam skripsi ini lebih
menekankan kepada intervensi militer dengan tujuan kemanusiaan, perlindungan
terhadap kedaulatan sebuah negara dan penyelesaian konflik , sehingga
pemberlakuan intervensi militer oleh kekuatan yang mengintervensi dilandasi
sejumlah keyakinan, pembenaran dan alasan untuk aksi mereka. Akan tetapi
pihak negara – negara lain menggunakan argumen mereka untuk mengutuk aksi
tersebut dengan dalil bahwa intervensi militer dengan tujuan kemanusiaan hanya
sebagai topeng dalam melancarkan serangan politik ke negara lain.
2.2.4 Sebab – Sebab Negara Melakukan Intervensi
Pada saat ini, intervensi yang sering dilakukan satu negara kepada negara
lain selalu berlandaskan atas tragedy kemanusiaan atau pelanggaran HAM berat
sebagai alasan pembenaran. Atas dasar itulah mengapa beberapa Negara
mengartikan bahwa intervensi yang mereka lakukan tidak melanggar ketentuan
hukum internasional
Penegakan terhadap hak asasi manusia dengan lahirnya Universal
Declaration of Human Rights (1948), yang telah diratifikasi di seluruh negara,
membuat perlindungan terhadap hak-hak tersebut harus diutamakan dalam
hubungan antar negara. Segala bentuk–bentuk pelanggaran terhadap HAM
merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat internasional. Hal ini yang
56
membuat kesadaran masyarakat internasional untuk meningkatkan kerjasama
dalam hal perlindungan dan penghormatan atas nama kemanusiaan
Komitmen masyarakat internasional atas perlindungan HAM sekarang ini
dapat dikatakan sudah melampaui batas wilayah suatu negara. Bila ada suatu
negara melakukan intervensi dengan tujuan lain yang dilarang oleh ketentuan
hukum internasional, maka perlu dilihat motivasi dari negara tersebut dilihat dari
sudut kepentingan negara tersebut mengintervensi. Akan tetapi tindakan
intervensi negara atas kedaulatan negara lain belum tentu merupakan suatu
tindakan yang melanggar hukum, apabila ada alasan yang mendasar dilakukannya
intervensi tersebut. Adapun alasan dasar suatu negara melakukan intervensi,
yaitu: 116
a) Hak untuk mempertahankan diri, yang dimungkinkan oleh Pasal 51 Piagam
PBB.
b) Adanya Permintaan oleh rezim (pemerintah) yang berkuasa di negara itu
untuk menghadapai perlawanan di dalam negeri.
Hal ini bisa disimpulkan bahwa alasan-alasan untuk tindakan intervensi
hanya dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan sepihak dari negara yang
bersangkutan atau dengan alasan yang dibenarkan menurut hukum internasional
seperti intervensi kemanusiaan.
116 K.J. Holsti, 1988. International Politics : A Framework for Analysis 5th Edition, Prentice Hall, New Jersey, h. 352.
57
2.3 Konflik Bersenjata
2.3.1 Pengertian Konflik Bersenjata
Bagi sebagian orang, konflik bersenjata selalu identik dengan perang,
pemberontakan, persenjataan, kekerasan, pembunuhan, pemusnahan etnis,
pengungsi serta penderitaan. Pemberitaan media yang cukup gencar mengenai hal
tersebut mengakibatkan fear of crime bagi masyarakat. Konflik senjata sering
dijadikan upaya terakhir dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang tidak
menemukan titik penyelesaiannya. Banyak negara terlibat konflik bersenjata di
dalam negerinya akibat ketidakpuasan pihak–pihak terhadap sistem pemerintahan
yang dinilai telah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme sehingga merugikan
kepentingan rakyat.
Istilah konflik bersenjata dahulu lebih dikenal dengan sebutan perang ,
telah mengalami perubahan paradigma dari bentuk klasik menjadi bentuk yang
lebih modern dengan adanya beberapa non state actors yang terlibat di dalamnya
seperti belligerent . Disisi lain, seperti yang diungkap oleh Carl von Clausewitz,
beliau menyatakan bahwa perang adalah the continuation of policy by other
means ,117 sehingga dapat dibenarkan bahwa perang merupakam kelanjutan dari
sebuah politik dengan cara–cara lain. kenyataan ini tidak dapat dibantah, bahwa
kebijakan politik suatu negara melalui kekuatan–kekuatan tertentu menjadi salah
satu factor penyebab terjadinya perang atau konflik bersenjata yang
berkepanjangan.
117 Sergey Sarapin, 2014, The Crime of Aggression in International Criminal Law,
Historical, Development, Comparative, Analysis, and Present State, Asser Press, Netherland, h.24.
58
Keberadaan konflik bersenjata tidak terlepas dari pengaturannya dalam
hukum humaniter internasional (yang selanjutnya di sebut dengan HHI), dimana
HHI sebagai pedoman dalam pemberlakuan konflik bersenjata. Definisi konflik
bersenjata dalam Black’s Law Dictionary adalah “ a state of open hostility
between two nations or between a nation and an aggressive force. A state of
armed conflict may exist without a formal declaration .”118
Menurut Pietro Verri, istilah konflik bersenjata (armed
conflict) merupakan ungkapan umum yang mencakup segala bentuk konfrontasi
antara beberapa pihak, yaitu :119
1. Dua Negara atau lebih;
2. Suatu Negara dengan suatu entitas bukan-Negara;
3. Suatu Negara dan suatu faksi pemberontak; atau
4. Dua kelompok etnis yang berada di dalam suatu Negara.
Sedangkan pengertian konflik bersenjata yang dirumuskan dalam
Commentary Geneva Convention 1949, yakni :120
“ Any difference arising between two states and leading to intervention of
armed force is an “ armed conflict “ within the meaning of Art.2. even if
one of parties denies the existence of state of war. It makes no difference
how long the conflict lasts or how much slaughter takes place.”
118 Bryan A.Garner, op.cit, h.123. 119 Pietro Verri, 1992, Dictionary of the International Law of Armed Conflict, ICRC,
Geneve, h. 34-35. 120 Haryomataram. 2002. Konflik Bersenjata dan Hukumnya, Universitas Trisakti, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Haryomataram I), h. 2.
59
Definisi lain mengenai konflik bersenjata diberikan juga oleh Dieter Fleck
yang menyatakan bahwa :121
" An international armed conflict if one party uses force of arms against another party. The use of military force by individual person or group of person will not suffice. It is irrelevant whether the parties to the conflict consider themselves to be at war with each person and how they describe this conflict." Dari uraian di atas maka dapat diasumsikan bahwa agar dapat dikatakan
sebagai sebuah konflik bersenjata maka harus ada penggunaan armed forces dari
salah satu pihak baik itu negara atau terhadap pihak lainnya yang ikut kedalam
konflik tersebut. Konflik bersenjata juga tidak melihat berapa lama atau waktu
yang terjadinya dan berapa banyak jatuhnya korban.
2.3.2 Jenis–Jenis Konflik Bersenjata
Secara sistematik, konflik bersenjata dalam hukum internasional dapat
dibedakan menjadi 2 (dua) kategori besar, yakni konflik bersenjata yang bersifat
intenasional dan konflik bersenjata yang bersifat internasional/non internasional
(internal atau domestik). 122 Pembagian tersebut dilakukan, biasanya untuk
menentukan atau membedakan aturan–aturan hukum humaniter internasional
yang seharusnya diberlakukan pada masing–masing situasi tersebut.123
Konflik bersenjata dikatakan bersifat Internasional kalau pihak–pihak yang
terlibat dalam konflik tersebut adalah negara berhadapan dengan negara.
Sedangkan konflik bersenjata dikategorikan sebagai konflik bersenjata non
121 Ibid, h.3 122 Arie Siswanto, op.cit, h.147. 123 Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, op.cit, h.61.
60
internasional kalau yang berhadapan dalam konflik itu adalah setidaknya salah
satunya adalah kelompok bersenjata bukan negara (non- state armed group).124
Pembagian jenis konflik bersenjata di antara negara–negara yang
bersengketa atau bertikai dikemukan pula oleh GPH Haryomataram sebagai
berikut : 125
( 1 ) Konflik bersenjata internasional :
a ) Murni adalah konflik bersenjata yang terjadi diantara dua atau lebih
negara;
b ) Semu adalah konflik bersenjata anatar negara di satu pihak dengan bukan
negara (non state entity) di pihak lain yang meliputi :
1. perang pembebasan nasional (wars of national liberation) ;
2. konflik bersenjata internasional yang di internasionalisir
(internationalized internal armed conflict)
( 2 ) Konflik bersenjata non internasional :
a ) Tunduk pada pasal 3 konvensi Jenewa1949;
b ) Tunduk pada protokol II, 1977
Sedangkan Shigeki Miyazaki membaginya kedalam : 126
1 ) Konflik bersenjata antara pihak peserta Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol
Tambahan 1977. Pasal 2 ayat (1) Konvensi Jenewa, dan Pasal 1 ayat (3)
Protokol I ;
2 ) Konflik bersenjata antara Pihak Peserta (negara) dengan bukan pihak peserta
(Negara atau penguasa/Authority) de facto, misalnya penguasa yang
124 Arie Siswanto, op.cit, h.147-148. 125 Haryomataram I, op.cit, h. 7. 126 Ibid, h.6.
61
memimpin kampanye pembebasan nasional, yang telah menerima Konvensi
Jenewa dan atau Protokol. Pasal 2 ayat (4) Konvensi Jenewa, Pasal 1 ayat (4),
juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol I ;
3 ) Konflik bersenjata antara pihak peserta (negara) dan bukan pihak peserta
(negara/penguasa de facto) yang belum menerima baik Konvensi Jenewa
maupun Protokol I. Pasal 2 ayat (4) Konvensi Jenewa, Martens Clause,
Protokol II (penguasa/ Authority);
4 ) Konflik bersenjata antara dua negara bukan peserta (non Contracting
Parties) Pasal 2 ayat (4) Konvensi Jenewa, Pasal 3 Konvensi Jenewa
(penguasa), Martens Clause, Protocol II (penguasa);
5 ) Konflik bersenjata yang serius yang tidak bersifat internasional
(pemberontakan), Pasal 3 Konvensi Jenewa, Protokol II, Hukum
Internasional Publik;
6 ) Konflik bersenjata yang lain, Kovenant internasional HAM, hukum publik
(hukum pidana).
Dikemukakan oleh Schindler, berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 dan
Protokol 1977 dapat dibedakan 4 ( empat ) bentuk konflik bersenjata, yaitu :127
1 ) International Armed Conflict
2 ) War of National Liberation
3 ) Non International Armed Conflicts according to art
4 ) Non International Armed Conflict according to Protocol II 1977
127 Ibid, h.4.
62
Dari semua jenis pembagian konflik bersenjata yang telah diungkapkan
oleh GPH Haryomataram, Shigeki Miyazaki dan Schindle, memiliki pemikiran
dan sistematik yang sama, yaitu bahwa konflik bersenjata dapat dibedakan dari
status hukum para pihak terlibat dalam konflik, baik dalam konflik bersenjata
internasional maupun konflik bersenjata non internasional yang pengaturan
tersebut tercantum dalam Konvensi Genewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977.
Sehingga apabila dikemudian hari terjadi konflik bersenjata, maka kedua aturan
tersebut secara langsung mengikat pihak–pihak yang bertikai meskipun tidak
adanya deklarasi atau pengakuan dari para pihak telah terjadi konflik bersenjata.
2.3.3 Pengaturan Konflik Bersenjata Dalam Konvensi Jenewa 1949 dan
Protokol Tambahan 1977
Ketegasan berlakunya situasi konflik bersenjata Internasional dan konflik
bersenjata non internasional secara tegas diatur dalam Konvensi Jenewa 1949 dan
dilengkapi dengan 2 (dua) Protokol Tambahan 1977. Pengaturan tersebut dapat
dilihat sebagai berikut :
1. Konflik Bersenjata Internasional,
Pengertian konflik bersenjata Internasional terdapat dalam pasal 2 (1)
Konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan orang-orang sipil di waktu
perang, yang berbunyi sebagai berikut :
"In addition to the provisions which shall be implemented in peace time
the present Convention shall apply to all cases of declared war or of
any other armed conflict which may arise between two or more of the
63
High Contracting Parties, even if the state of war is not recognised by
one of them …."128
Sedangkan Protokol Tambahan I tahun 1977 mengatur konflik bersenjata
internasional, merupakan penyempurnaan isi dari Konvensi Jenewa 1949
yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan.
Hal yang sangat penting untuk dibahas pada Protokol Tambahan I 1977.
adalah keberadaaan pasal 1 ayat 3 dan ayat 4.129 Pasal 1 ayat 3 berbunyi :
“ this Protocol, which supplements the Geneva Conventions of 12 August
1949 for the protection of war victims, shall apply in the situations referred
to in Article 2 ”. 130 Dimana ayat 3 ini hanya menunjuk kepada Pasal 2
konvensi Jenewa 1949 yang telah disebutkan diatas, dimana pasal tersebut
menyatakan bahwa konflik bersenjata internasional berlaku
apabila: 131
1. dalam setiap perang yang diumumkan;
2. dalam setiap pertikaian bersenjata yang timbul antara pihak peserta agung
sekalipun keadaan perang tidak diakui;
3. dalam keadaan pendudukan, baik wilayah itu diduduki sebagian atau
seluruhnya sekalipun pendudukan itu tidak mendapat perlawanan
bersenjata.
128 Konvensi Jenewa 1949 Pasal 2 (1). 129 Haryomataram, 2012, Pengantar Hukum Humaniter, Cetakan Ke-3, Raja Grafindo,
Jakarta, (selanjutnya disingkat Haryomataram II), h. 148. 130 Protokol Tambahan I Tahun 1977, Pasal 1 ayat 3. 131 Haryomataram II, op.cit, h. 149.
64
Selanjutnya ayat 4 berbunyi :
"The situations referred to in the preceding paragraph include armed conflicts in which peoples are fighting against colonial domination and alien occupation and against racist regimes in the exercise of their right of self determination, as enshrined in the Charter ofthe United Nations and the Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-operation among States in accordance with the Charter of t he United Nations".
Pasal 1 ayat 4 ini dianggap sangat kontrovesial dikarenakan didalamnya
mengadung banyak pengertian yang masih samar–samar dan merupakan hasil
benturan antara pendapat tradisional dan pendapat baru.132 Menurut pendapat
tradisional yang dapat menjadi subjek hukum internasional hanya negara saja,
sedangkam hanya konflik antar negara sajalah yang dianggap konflik yang
bersifat internasional. Pendapat baru berpendirian bahwa suatu konflik antara
negara kolonial yang berjuang untuk merebut kemerdekaan mereka, juga
bersifat internasional sekalipun penduduk wilayah/koloni tersebut belum
merupakan pemerintahan atau negara. Dengan demikian, maka sekalipun
istilahnya tidak dipakai dalam ayat 4, namun maksud Pasal 1 ayat 4 ialah
supaya dapat mencakup war of national liberation.133
2. Konflik Bersenjata Non International
Pasal 3 dalam konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan orang–orang sipil
di waktu perang, adalah satu–satunya Pasal dalam 4 (empat) konvensi Jenewa
1949 yang mengatur mengenai konflik bersenjata non internasional. Pasal ini
sering dijuluki mini convention atau convention in miniature karena Pasal ini
meskipun hanya satu Pasal, tetapi sangat lengkap berisikan standar minimum
132 Ibid, h.156. 133 Ibid.
65
hak asasi manusia ( HAM ) yang harus diterapkan dalam konflik bersenjata
non internasional.134 Namun Pasal tersebut tidak memberikan kriteria atau
definisi konflik bersenjata non internasional. Kriteria tentang konflik
bersenjata non internasional dimuat dalam protokol tambahan II tahun 1977
tentang perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non Internasional.
Disebutkan sengketa bersenjatta non internasional yang dimaksud dalam
Protokol Tambahan II tahun 1977 adalah sengketa yang terjadi dalam wilayah
suatu negara antara pasukan bersenjata tersebut dengan pasukan bersenjata
pemberontak atau dengan kelompok bersenjata organisasi lainnya yang
terorganisasi dibawah komando yang bertanggung jawab, melaksanakan
kendali sedemikian rupa atas sebagian dari wilayahnya sehingga
memungkinkan kelompok tersebut melakukan operasi militer yang
berkelanjutan dan berkesatuan serta menerapkan aturan–aturan HHI yang
termuat dalam Protokol Tambahan II tahun 1977.135
Aturan dalam Protokol Tambahan II tahun 1977 baru mengikat negara
apabila pihak pemberontak telah memenuhi kriteria tertentu. Dengan kata
lain, untuk menentukan keberlakuan aturan Protokol Tambahan II tahun
1977, perlu dilihat bahwa yang dihadapi oleh pasukan bersenjata negara
tertentu adalah pasukan pemberontak yang mempunyai unsur atau kriteria
sebagai berikut : 136
a. merupakan kelompok bersenjata terorganisasi;
b. berada di bawah komando yang bertanggung jawab;
134 Sefriani, op.cit, h. 370. 135 Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, op.cit, h. 60. 136 Ibid.
66
c. melaksanakan kendali sedemikian rupa atas sebagian dari wilayah;
d. mampu melakukan operasi militer yang berkelanjutan dan berkesatuan;
e. mampu menerapkan aturan–aturan HHI yang termuat dalam Protokol
Tambahan II tahun 1977.
Jadi sebagaimana telah diuraikan di atas, perkembangan hukum humaniter
internasional menunjukan bahwa adanya beberapa peraturan yang semula
diberlakukan hanya untuk situasi sengketa bersenjata internasional, tetapi
kemudian dinyatakan juga berlaku untuk situasi sengketa bersenjata non
internasional yang tercantum dalam Konvensi–Konvesi Jenewa 1949 dan
Protokol Tambahan 1977 yang terdiri dari :
a. Protokol Tambahan I, 1977 mengatur konflik bersenjata yang bersifat
internasional atau konflik bersenjata antar negara.
b. Protokol Tambahan II, 1977 mengatur konflik bersenjata yang bersifat non
internasional.