BAB II (2017) - sinta.unud.ac.id · dan kemakmuran karena kegiatan perdagangan sepanjang rute...

35
31 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI INTERVENSI MILITER DALAM KONFLIK BERSENJATA DI YAMAN 2 .1 Negara Yaman 2.1.1 Sejarah Terbentuknya Negara Yaman Yaman adalah sebuah negara di ujung barat daya Semenanjung Arab dan sebagian besar orang Yaman adalah Muslim Arab. 60 Republik Yaman berada di utara Semenanjung Arab, negara ini mendapat keuntungan dari posisi geografisnya yang istimewa di atas sekitar 2.500 kilometer garis pantai, 61 serta berbatasan dengan Laut Arab di sebelah selatan, Teluk Aden dan Laut Merah di sebelah barat, Oman di sebelah timur dan Arab Saudi di sebelah Utara. 62 Yaman berasal dari kata yamin, yang berarti "sisi sebelah kanan", sebagaimana selatan yang berada pada bagian kanan ketika matahari terbit. Definisi lainnya mengatakan Yaman berasal dari kata yumn, yang berarti "kebahagiaan (felicity)", sebagai salah satu wilayah yang subur. 63 Sejak tahun 1000 sebelum Masehi, penduduk Yaman mengalami periode panjang kemajuan dan kemakmuran karena kegiatan perdagangan sepanjang rute perdagangan purbakala. Orang Yunani dan Roma menyebut peradaban kuno ini sebagai 60 Perpustakaanindonesia website, 2016, Fakta Lengkap Negara Yaman, available at URL : http://www.perpustakaanindonesia.com/2014/09/fakta-lengkap-negara-yaman.html, diakses pada tanggal 3 Mei 2016. 61 Yementourism website, 2016, Yemen, available at URL :http://www.yementourism.com// bahasa201indonisia.pdf, diakses pada tanggal 3 Mei 2016. 62 Id Wikipedia website, 2016, Yaman, available at URL :https://id/Wikipedia.org/wiki/ Yaman, diakses pada tanggal 3 Mei 2016. 63 Bimbie website, 2016, Sejarah Negara Yaman, available at URL :http://www.bimbie.com /sejarah-negara-yaman.htm, diakses pada tanggal 3 Mei 2016.

Transcript of BAB II (2017) - sinta.unud.ac.id · dan kemakmuran karena kegiatan perdagangan sepanjang rute...

 

  31

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI INTERVENSI MILITER DALAM

KONFLIK BERSENJATA DI YAMAN

2 .1 Negara Yaman

2.1.1 Sejarah Terbentuknya Negara Yaman

Yaman adalah sebuah negara di ujung barat daya Semenanjung Arab

dan sebagian besar orang Yaman adalah Muslim Arab.60 Republik Yaman

berada di utara Semenanjung Arab, negara ini mendapat keuntungan dari posisi

geografisnya yang istimewa di atas sekitar 2.500 kilometer garis pantai,61 serta

berbatasan dengan Laut Arab di sebelah selatan, Teluk Aden dan Laut Merah di

sebelah barat, Oman di sebelah timur dan Arab Saudi di sebelah Utara.62

Yaman berasal dari kata yamin, yang berarti "sisi sebelah kanan",

sebagaimana selatan yang berada pada bagian kanan ketika matahari terbit.

Definisi lainnya mengatakan Yaman berasal dari kata yumn, yang berarti

"kebahagiaan (felicity)", sebagai salah satu wilayah yang subur.63 Sejak tahun

1000 sebelum Masehi, penduduk Yaman mengalami periode panjang kemajuan

dan kemakmuran karena kegiatan perdagangan sepanjang rute perdagangan

purbakala. Orang Yunani dan Roma menyebut peradaban kuno ini sebagai

                                                                                                               60 Perpustakaanindonesia website, 2016, Fakta Lengkap Negara Yaman, available at URL :

http://www.perpustakaanindonesia.com/2014/09/fakta-lengkap-negara-yaman.html, diakses pada tanggal 3 Mei 2016.

61 Yementourism website, 2016, Yemen, available at URL :http://www.yementourism.com// bahasa201indonisia.pdf, diakses pada tanggal 3 Mei 2016.

62 Id Wikipedia website, 2016, Yaman, available at URL :https://id/Wikipedia.org/wiki/ Yaman, diakses pada tanggal 3 Mei 2016.

63 Bimbie website, 2016, Sejarah Negara Yaman, available at URL :http://www.bimbie.com /sejarah-negara-yaman.htm, diakses pada tanggal 3 Mei 2016.

 

 

33

“Arabia Felix”. Selama berabad-abad, banyak peradaban Yaman yang

muncul,dimana kerajaan yang paling berpengaruh dan legendaris adalah kerajaan

Saba, Awsan dan Himhyar.64

Pada abad ke-7 M, suku-suku Yaman memeluk Islam dan memainkan

peran utama dalam penaklukan muslim di Timur Tengah, Afrika Utara dan

Spanyol.65 Pada tahun 1538, kekaisaran Turki Utsmani berhasil merebut Aden

dan Yaman, dan antara 1547 dan 1548 Sana'a dan Tihama juga berhasil direbut

kembali dari Portugis, sampai akhirnya dinasti Ustmani berhasil dikalahkan pada

tahun 1630 oleh Inggris.66

Proses dimana Yaman dibagi menjadi dua negara dimulai dengan

penyitaan Inggris di Aden pada tahun 1839 dan pendudukan kembali dari Yaman

Utara oleh kekaisaran Turki pada tahun 1849. 67 Ketika Terusan Suez dibuka pada

tahun 1869, Aden menjadi pelabuhan pengisian bahan bakar utama. Kekaisaran

Turki Utsmani kemudian mencoba untuk merebut kembali Yaman dari tangan

Inggris pada tahun 1849, namun upaya mereka mengalami kegagalan. Dinasti

Utsmani kembali berhasil menguasasi Yaman pada tahun 1872 dan mengambil

alih bagian utara negara itu.

Pada tahun 1918, Kekaisaran Turki Ustman mundur dan Yaman utara

memperoleh kemerdekaan penuh di bawah kepemimpinan Imam Yahya. Antara

tahun 1918 dan tahun 1962, Yaman diperintah oleh keluarga Hamidaddin. Imam

                                                                                                               64Yementourism website, op.cit. 65 A.I Akram, 2004, The Muslim Conquest of Egypt and North Africa, Oxford University

Press, New York, h. 201. 66 Tudor V.Parfitt.M.A, The Road to Redemption: The Jews of the Yemen, 1900-1950, Brill

Academic Publisher, h. 20. 67 Yemenweb website, 2016, History of Yemen, available at URL : http://www.yemenweb.

Com/History.htm, diakses pada tanggal 03 Mei 2016.

 

 

34

Yahya dibunuh dalam pemberontakan yang terjadi tahun 1947-1948. Namun,

putranya Imam Ahmad bin Yahya, berhasil mengalahkan para penentang

pemerintahan feodal dan menggantikan ayahnya.68 Imam Ahmad meninggal pada

tahun 1962. Ia digantikan oleh putranya, namun perwira militer berusaha untuk

merebut kekuasaan, memicu terjadinya perang saudara di Yaman Utara.69

Pada tanggal 30 November 1967, negara Yaman Selatan dibentuk, terdiri

dari wilayah Aden dan bekas Protektorat Arabia Selatan. Yaman Selatan

merupakan negara sosialis kemudian secara resmi dikenal sebagai Republik

Demokrasi Rakyat Yaman.70

Hubungan antara kedua negara Yaman relatif ramah , meskipun kadang-

kadang terjadi ketegangan. Pada tahun 1972 , konflik perbatasan kecil berhasil

diselesaikan dengan gencatan senjata dan negosiasi yang ditengahi oleh Liga

Arab, di mana dalam gencatan senjata tersebut menyatakan bahwa penyatuan

akhirnya akan terjadi.

Pada tahun 1990, kedua pemerintah mencapai kesepakatan penuh unifikasi

kedua Yaman, dan kedua negara tersebut bergabung pada tanggal 22 Mei 1990,

Ali Abdullah Saleh diangkat sebagai Presiden. Dan Presiden Yaman Selatan, Ali

Salim al- Beidh, menjadi Wakil Presiden. Sebuah parlemen terpadu dibentuk dan

konstitusi persatuan disepakati.71 Ali Abdullah Saleh terus menjabat presiden

sampai ia digulingkan melalui revolusi Yaman tahun 2011.

                                                                                                               68 F. Gregory Gause, 1990, Saudi-Yemeni Relations: Domestic Structures and Foreign

Influence. Columbia University Press, h. 58. 69 Ibid, h.60. 70 Nationline website, 2016, Yemen History, available at URL :http//www/nationsonline.org

/oneworld/History/Yemen-history.htm, diakses pada tanggal 03 Mei 2016. 71 Ibid.

 

 

35

2.1.2 Latar Belakang Munculnya Kelompok Pemberontak Houthi

Konflik yang terjadi di Yaman, tidak terlepas dari adanya salah satu

kelompok pemberontak yang sangat menentang pemerintahan Yaman dan

memicu konflik yang berkepanjangan di negara ini, kelompok pemberontak ini

menamakan dirinya Houthi.

Houthi atau dibaca hausi adalah kelompok pemberontak yang berpaham

Syiah Itsna Asyariyah atau Syiah 12 imam.72 Munculnya Syiah Houthi bermula

dari sebuah desa atau kota kecil yang bernama Sha’dah. Sebuah kota yang terletak

240 Km di utara ibu kota Shan’a.73 Di sana terdapat perkumpulan terbesar orang-

orang Syiah Zaidiyah di Yaman. Nama aliran Syiah Zaidiyah berasal dari Zaid bin

Ali, cucu dari Imam Hussain, cucu Nabi Muhammad. Kaum Syiah Zaidiyah

meyakini Zaid bin Ali adalah imam mereka.74

Pada tahun 1986, dibentuklah sebuah perkumpulan untuk mempelajari

ajaran-ajaran Syiah Zaidiyah. Perkumpulan itu disebut dengan Ittihad Asy-Syabab

(Persatuan Pemuda).75 Perkumpulan ini punya agenda mengenalkan kondisi

sosial politik dan budaya kepada kaum muda Zaidiyah Yaman. 76 Untuk

memperlancar proses pembelajaran di sana, salah seorang ulama Zaidiyah yang

                                                                                                               72 Arrahmah website, 2016, Kontribusi Siapakah Pemberontak Houthi, available at URL :

http://www.arrahmah.com/kontribusi/siapakah-pemberontak-houthi.html, diakses pada tanggal 03 Mei 2016.

73 Intriksnews website, 2016, Mengenal Kelompok Syiah Houthi, available URL : http://www.intriknews.com/2015/03/mengenal-syiah-houthi-kelompok.html , diakses pada tanggal 03 Mei 2016.

74 Islam-istitute website, 2016, Pemberontak Houthi di Yaman Siapakah Mereka, available at URL : http://www.islam-institute.com/pemberontak-houthi-di-yaman-siapakah-mereka-sebenarnya/ diakses pada tanggal 03 Mei 2016.

75 Intriksnews website, op.cit. 76 Islam-institute website, op.cit.

 

 

36

bernama Badrudin al-Houthi mendatangkan para pengajar dari berbagai daerah

untuk menetap di wilayah Sha’dah.77

Semenjak Yaman Utara dan Yaman Selatan bersatu membentuk negara

demokrasi baru yang bernama Republik Yaman pada tahun 1990, sistem

demokrasi menuntut adanya partai politik dan parlemen. Saat itulah Ittihad Asy-

Syabab menjelma menjadi parti politik dengan nama baru Parti al-Haq (Hizbul

Haq) sebagai penyambung aspirasi Syiah Zaidiyah di Republik Yaman.78 Dari

partai itu juga muncul seorang kadernya yang bernama Husein bin Badruddin al-

Houthi, anak dari Badrudin al-Houthi. Dia menjadi seorang polititikus yang

terkenal dan menjadi anggota parlemen Yaman pada 1993-1997 dan 1997–

2001.79

Pada tahun 2004, kelompok ini mulai angkat senjata dalam perang

melawan pemerintahan Ali Abdullah Saleh.80 Orang-orang Houthi dipimpin oleh

Husein al-Houthi turun ke jalan menentang sikap pemerintah yang mendukung

ekspansi Amerika ke Irak, 81 dan memprotes sikap diskriminatif dan penindasan

Presiden Saleh dan menuntut otonomi khusus di Yaman Utara.82 Pemerintah

Yaman merespon demonstrasi tersebut dengan sikap represif.

                                                                                                               77 Intriknews website, op.cit. 78 Penaminang website, 2016, Houthi Dan Gerakan Syiah Di Yaman, available at URL :

http://www.penaminang.com/2014/09/houthi-dan-gerakan-syiah-di-yaman.html#axzz488SS0QSZ, diakses pada tanggal 03 Mei 2016.

79 Ibid. 80 cnnindonesia website, 2016, Pemberontak Houthi Dari Gunung Ke Ibukota, available at

URL : http://www.cnnindonesia.com/internasional /20141001102710-120-4890/pemberontak-houthi-dari-gunung-ke-ibukota/ diakses pada tanggal 03 Mei 2016.

81 Islam-institute website, op.cit. 82 islaminesia website, 2016, Perjalanan Panjang Konflik Yaman, available at URL

:http://islaminesia.com/2015/03/perjalanan-panjang-konflik-yaman/, diakses tanggal 03 Mei 2016.

 

 

37

Pemerintah Yaman mengumumkan perang terbuka dengan gerakan Syiah

dan Houthi. Penangkapan anggota Houthi dan penyitaan senjata-senjata mereka

pun digelar besar-besaran.83 Tidak hanya itu, pemerintah menginstruksikan untuk

membunuh pemimpin Houthi, Husein Badruddin al-Houthi.

Hussein Al-Houthi tewas pada tahun 2004 setelah Saleh mengirim

pasukan pemerintah ke Saada. 84 Namun dominasi keluarga Houthi dalam

kepemimpinan gerakan tidak mereda dengan kematian Hussein. Ayahnya

(pemuka agama syiah Zaidiyah, juga disebut Hussein) dijadikan pemimpinan

spiritual gerakan dan adiknya, Abdul Malik al-Houthi dijadikan pemimpin baru

pemberontakan.85

Keberhasilan pemberontak Houthi mengangkat isu-isu kondisi ekonomi,

sosial, dan pembangunan Yaman yang sangat buruk sebagai bukti kegagalan

pemerintah dalam membangun negeri nenek moyang bangsa Arab itu,

mengakibatkan rakyat pun simpati dengan gerakan separatis ini.86

Memasuki tahun 2011 menyusul timbulnya aksi–aksi demontrasi di

sejumlah negara Arab yang dikenal dengan Arab Spring, puluhan ribu penduduk

Yaman juga ikut melakukan demonstrasi menuntut reformasi pemerintahan yang

selama ini dianggap korup dan otoriter. Kelompok pemberontak Houthi

                                                                                                               83 Kisahmuslim website, 2016, Separatis Houthi Dan Revolusi Syiah Di Yaman, available at

URL : https://kisahmuslim.com/4595-separatis-houthi-dan-revolusi-syiah-di-yaman.html, diakses pada tanggal 03 Mei 2016.

84 Beritaislam website, 2016, Siapakah Syiah Houthi Dan Apa Yang Mereka Inginkan Di Yaman, available at URL :http://www.beritaislam.net/2015/04/siapakah-syiah-houthi-dan-apa-yang.html, diakses pada tanggal 03 mei 2016.

85 Voa-islam website, 2016, Siapa Sejatinya Syiah Houthi, available at URL : http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/ 2015/02/01/35414/siapa-sejatinya-syiah-houthi -dan-apa-hubungannya-dengan-iran/ diakses pada tanggal 03 Mei 2016.

86 Kisahmuslim website, op.cit.

 

 

38

memanfaatkan kemelut ini dan menjadi bagian penyebab mundurnya presiden Ali

Abdullah Saleh yang telah berkuasa lebih dari 20 tahun.

Aksi–aksi militer pemberontak Houthi terus dilakukan untuk bisa

menguasai Saana dan sejumlah wilayah Yaman. Dan puncaknya adalah pada

tanggal 21 Januari 2015, dengan sangat mengejutkan, pemberontak Houthi

melakukan “kudeta” di Sana’a dengan cara membubarkan parlemen dan

memasang dewan presiden untuk menjalankan pemerintahan serta menjadikan

Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi sebagai tawanan setelah menduduki istana

kepresidenan.87

Apa yang terjadi saat ini, menempatkan pemberontak Houthi sebagai salah

satu pihak yang memegang peranan penting terjadinya konflik bersenjata

berkepanjangan di Yaman.

2.1.3 Penyebab Terjadinya Konflik Bersenjata Antara Pemerintah Yaman

dan Pemberontak Houthi

Konflik antara pemerintah Yaman dengan kelompok pemberontak Houthi,

sebenarnya bukan hal baru di lingkar kedaulatan Yaman sendiri. Masalah antara

pemerintah dengan pemberontak bermula dari keinginan kelompok minoritas

Houthi untuk mendapatkan otonomi lebih luas di wilayah utara Yaman sejak

tahun 2004.88

                                                                                                               87 Hidayatullah website, 2016, Presiden Yaman Mundur Setelah Tekanan Kelompok Syiah,

available at URL : http://www.hidayatullah.com /berita/internasional /read/2015/01/23/37255/ presiden-yaman-mundur-setelah-tekanan-kelompok-syiah.html, diakses pada tanggal 03 Mei 2016.

88 Maiwanews website, 2016, Konflik Pemerintah Yaman Dengan Pemberontak Houthi Sudah Sejak Lama, available at URL : http://berita.maiwanews.com/konflik-pemerintah-yaman-dengan-pemberontak-houthi-sudah-ada-sejak-lama-41017.html, diakses pada tanggal 03 Mei 2016

 

 

39

Berawal pada tahun 2003, sekitar 650 anggota Gerakan Al-Syabab Al-

Mukmin (Gerakan Pemuda Mukmin) ditahan dan dijebloskan ke dalam penjara

akibat menyerukan slogan yang menjelekkan Amerika Serikat dan Israel.

Dukungan pemerintahan Ali Abdullah Saleh terhadap Amerika Serikat dan

masuknya militer Amerika Serikat di wilayah negara Yaman ini tentu saja

menimbulkan pertentangan dan protes dari kelompok Al-Syabab Al-Mukmin

(Gerakan Pemuda Mukmin). Upaya keras Husein Al-Houthi dan teman-temannya

untuk membebaskan mereka tidak kunjung berhasil, bahkan mencapai jalan

buntu, hingga pertama kalinya konflik bersenjata meletus antara kelompok Houthi

dan pemerintah Yaman.

Meletusnya pertikaian antara kelompok pemberontak Al-Houthi dengan

pemerintahan Yaman bukan hanya dipicu oleh kedekatan pemerintah dengan

Amerika Serikat, tetapi juga dipicu oleh diskriminasi dan marginalisasi ekonomi

di daerah Sa’da, Yaman Utara. Sementara pemerintahan Yaman menuding

pemberontakan yang dilakukan kelompok Al-Houthi ini merupakan aksi dalam

upaya menggulingkan pemerintahan Ali Abdullah Saleh di Yaman.89

Pada Juni 2009, pemerintah Yaman menuduh Houthi menculik 9 warga

negara asing yang sedang berlibur di provinsi Sa’dah, yang disinyalir warga

negara asing tersebut berkewarganegaraan Saudi Arabia. Kekesalan Pemerintah

Yaman semakin memuncak, hingga melakukan serangan–serangan militer ke

basis – basis kelompok Houthi. 90

                                                                                                               89 Voa-islam website, op.cit. 90  Eramuslim website, op.cit.

 

 

40

Tindakan militer berupa Operasi bumi hangus ( scorched Earth ) yang

dilakukan pemerintah pada tanggal 11 Agustus 2009 mengakibatkan korban jiwa

dari pihak Houthi. 91 Pemerintah mengerahkan sekitar 60.000 tentara dan juga

beberapa pesawat tempur untuk menyerang basis–basis pertahanan kelompok

Houthi bahkan pemerintah Saudi Arabia juga ikut membantu Yaman dalam

menghadapi kelompok Houthi.92 Setidaknya sekitar 100 orang dari kelompok

Houthi tewas. Cara lain yang dilakukan oleh pemerintah Yaman adalah dengan

mengeluarkan perintah penangkapan para tokoh–tokoh kelompok pemberontak

Houthi yang diharapkan dapat mengurangi intensitas gerakan dari pemberontak

Houthi tersebut.

Terkadang konflik di Yaman digambarkan sebagai masalah pemahaman

ideologi, namun banyak analis berpendapat bahwa konflik tersebut tidak lebih

dari perebutan kekuasaan. Isu penyeimbangan antara komunitas Salafi dan Zaidi

juga tersebar. Di sisi lain, kedekatan ideologi pencetus sekaligus pemimpin Al-

Houthi dengan Syi’ah Itsna Asyariah di Iran, menjadikan konflik internal Yaman

melebar ke konflik regional. Di mana Al-Houthi disokong Iran dan pemerintah

Yaman disokong oleh Arab Saudi karena persamaan ideologi. 93 Pemerintah

Yaman mengatakan bahwa para pemberontak mendapatkan dukungan dari Iran

namun kelompok Al-Houthi menyangkal keterlibatan Iran dalam konflik

                                                                                                               91 Ibid. 92 Voa-islam website, op.cit. 93 Islamtimes.org website, 2016, Kelompok Houthi Separatisan atau Strategi Internasional,

available at URL : http://www.islamtimes.org/vdcb8wb8.rhbs5pnqur. Konflik Huthi, Separatisan atau Strategi Internasional diakses pada tanggal 05 Mei 2016.

 

 

41

tersebut. 94 Begitu pula sebaliknya, pemberontak Houthi telah mencium

keterlibatan Arab Saudi jauh sebelum konflik ini terjadi.

Upaya perundingan dan gencatan senjata yang dilakukan kedua belah

pihak melalui perundingan Kuwait tidak membuahkan hasil. Dan pada puncaknya

September 2014 Pemberontak Houthi mengambil alih ibu kota Saana dan

menggulingkan Presiden Abdu Rabbu Mansour Hadi. Hingga saat ini konflik

terus terjadi antara Pemerintah Yaman dan Kelompok Houthi dan telah

mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan bagi penduduk sipil Yaman.

2.2 Intervensi

2.2.1 Pengertian Intervensi

Pergeseran kepentingan dan kebutuhan yang sangat signifikan dalam

masyarakat internasional telah berubah menjadi suatu bentuk hubungan timbal

balik antar negara – negara baik berupa hubungan konsuler, hubungan diplomatic,

kerjasama politik, kerjasama ekonomi, sosial budaya , kerjasama militer,

perjanjian persahabatan, aliansi dan sebagainya. Ketika kepentingan–kepentingan

tersebut menghasilkan keuntungan bagi kedua belah pihak secara adil maka

hubungan tersebut akan sesuai dengan tujuan mereka. Akan tetapi tidak semua

hubungan yang melibatkan dua negara atau lebih dapat mengakomodir semua

keinginan para pihak. Perbedaan pandangan dan sikap yang menurut masing–

                                                                                                               94 Nurulilmi website, 2016, Pimpinan Houthi Tewas Dalam Serangan Udara Saudi,

available at URL : http://nurulilmi.com/akhbar/600-pimpinan-houthi-tewas-dalamserangan-udara-saudi.html, diakses pada tanggal 05 Mei 2016.

 

 

42

masing pihak dirasakan cukup fundamental, mengakibatkan terjadinya

pertentangan dalam skala yang tinggi dan berakhir dengan konflik.

Kecenderungan untuk melakukan intervensi sebagai instrumen politik luar

negeri terus meningkat dan latar belakangnya juga menjadi semakin kompleks.

Negara – negara adikuasa maupun negara yang kemampuan politik, ekonomi dan

militernya patut diragukan, sama–sama giat dalam soal mencampuri urusan

negara lain.95

Pengertian Intervensi dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai “

one nation’s interference by force, or threat of force, in another nation’s internal

affair or in question arising between other nation ”.96

Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH memberi pengertian intervensi sebagai

berikut : 97

“ Dalam hukum internasional intervensi tidak berarti luas sebagai segala bentuk campur tangan Negara asing dalam urusan satu negara, melainkan berarti sempit, yaitu suatu campur tangan negara asing yang bersifat menekan dengan alat kekerasan (force) atau dengan ancaman melakukan kekerasan, apabila keinginannya tidak terpenuhi ”. Menurut James Rosenau, pengertian intervensi dapat dibedakan dari

instrument politik luar negeri lainnya melalui dua faktor : 98

a) Bahwa intervensi membedakan diri dengan tajam dalam hal cara

menyelenggarakan hubungan antar negara yang konvensional;

                                                                                                               95 Budiono Kusumohamidjojo, 1987, Hubungan Internasional, Kerangka Studi Analistis,

Binacipta, Bandung, h. 69. 96 Bryan A.Garner, 2009, Blacks Law Dictionary, Ninth Edition, Thomson Reuters,

Minnesota USA, h. 897. 97 Wirjono Prodjodikoro, 1967, Azaz-Azaz Hukum Publik Internasional, PT. Pembimbing

Masa, Jakarta, h. 149-150. 98 Budiono Kusumohamidjojo, op.cit h. 68.

 

 

43

b) Bahwa intervensi secara sadar dilakukan untuk mengakibatkan perubahan

politik yang mendasar di negara yang dijadikan sasaran intervensi.

Sedangkan, Oppenheim Lauterpacht mengatakan bahwa intervensi sebagai

campur tangan secara diktator oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri

lainnya dengan maksud baik untuk memelihara atau mengubah keadaan, situasi

atau barang di negeri tersebut.99

Dari pengertian intervensi di atas, beberapa pakar ada yang membagi

intervensi–intervensi tersebut dalam praktek dan teknik intervensi. Seperti

Kalevi. J. Holsti, membedakan dan membahas 6 (enam) bentuk intervensi,

yaitu :100

1. Intervensi diplomatik, yang biasanya terjadi apabia seorang diplomat

memberikan komentar terhadap atau memihak dalam suatu krisis atau

persoalan politik yang sedang melanda negara tempatnya bertugas.

2. Intervensi klasik, berupa kegiatan gelap atau misi rahasia. Bentuk yang paling

tua adalah melalui penyuapan atau penyogokan pejabat negara yang dijadikan

sasarannya.

3. Pameran kekuatan militer yang relatif murah dan mengadung resiko rendah,

tetapi sering justru lebih efektif dari pada pengiriman ekspedisi militer yang

sesungguhnya.

4. Subversi atau yang kita kenal dengan gerakan bawah tanah. Subversi adalah

gerakan politik dan militer yang diorganisasikan, ditunjang dan diarahkan

                                                                                                               99 Huala Adolf I, h.31. 100 Budiono Kusumohamidjojo, op.cit, h. 70-71.

 

 

44

oleh suatu negara asing untuk tujuannya sendiri dengan amat memanfaatkan

situasi dan elemen–elemen setempat di negara sasaran.

5. Gerilya, yang merupakan perpaduan antara subversi dengan sistem perang

konvensional. Gerilya tidak selalu merupakan hasil intervensi kekuatan asing

tetapi cukup banyak kegiatan gerilya yang merupakan manifestadi dari

intervensi.

6. Intervensi militer, diwujudkan dalam bentuk pengiriman ekspedisi militer

untuk menunjang suatu pemerintahan yang sedang berkuasa ataupun

membantu suatu kelompok pemberontak.

J.G Starke membedakan 3 (tiga) bentuk intervensi yang tidak mengandung

karakter diplomatik, diantaranya :101

1. Intervensi Intern (Internal Intervention). Contoh Negara A yang mencampuri

persengketaan antara pihak-pihak bertikai di Negara B, dengan cara

mendukung salah satu pihak, baik pihak pemerintah yang sah ataupun pihak

pemberontak.

2. Intervensi Ekstern (External Intervention). Contoh Negara A yang ikut

campur tangan dalam hubungan, umumnya hubungan permusuhan, seperti

ketika Italia melibatkan diri dalam perang dunia kedua dengan memihak

Jerman dan melawan Inggris.

3. Intervensi Penghukuman (Punitive Intervention). Bentuk intervensi ini

merupakan suatu tindakan pembalasan (repraisal), yang bukan perang, atas

kerugian yang diderita oleh Negara lain. Misal: suatu blokade damai yang

                                                                                                               101 J.G. Starke, op.cit , h. 136-137.

 

 

 

45

dilakukan terhadap Negara yang menimbulkan kerugian sebagai pembalasan

atas tindakannya yang merupakan pelanggaran berat traktat.

Apabila membaca pengertian atau definisi dan pembagian mengenai

intervensi yang telah disebutkan diatas, intervensi dalam praktek serta

penerapannya terkadang bersinggungan dengan prinsip–prinsip umum hukum

internasional yaitu prinsip kedaulatan negara dan prinsip non intervensi. Akan

tetapi, tindakan intervensi tidak selalu berkonotasi secara negatif. Ada hal–hal

tertentu yang dapat dibenarkan untuk melakukan intervensi seperti dalam hukum

internasional juga membolehkan tindakan tersebut dengan syarat bahwa

timbulnya suatu keadaan atau hal tertentu yang merupakan ancaman bahaya bagi

perdamaian dan keamanan dunia dan juga merupakan pelanggaran bagi hukum

internasional dan memungkinkan untuk timbulnya perang. Hal ini juga sesuai

dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Ali Sastroamijojo bahwa intervensi itu

dapat dijalankan sewaktu-waktu dalam taraf perkembangan persengketaan antar

negara yang lazimnya dijalankan pada saat akan meletus peperangan. Jadi

intervensi dalam hal ini bermaksud untuk mencegah meletusnya peperangan,

artinya tidak untuk memihak salah satu dari pihak yang bersengketa.102

Intervensi yang dilarang adalah ketika intervensi tersebut telah

mengganggu kemerdekaan politik suatu negara dengan cara–cara paksa

khususnya melalui kekerasan, gangguan keamanan melalui kedaulatan negara.

Atau istilah yang digunakan oleh J.G Starke yaitu “ Intervensi subversif ”, dimana

intervensi ini menunjukan aktivitas propaganda atau aktivitas lainnya yang

                                                                                                               102 Ali Sastroamidjojo, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Batara, Jakarta 1971,

hal.191.

 

 

46

dilakukan oleh satu negara dengan maksud untuk menyulut revolusi atau perang

saudara di negara lain.103

Dalam kasus – kasus tertentu, suatu negara berhak melakukan tindakan

intervensi secara sah dan dapat dibenarkan menurut hukum internasional. Adapun

tindakan intervensi tersebut adalah:104

a) Intervensi kolektif sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa - Bangsa;

b) Intervensi untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan serta

keselamatan jiwa warga-warga Negara di luar yang menjadi dasar bagi

pemerintah Amerika Serikat membenarkan tindakan pengiriman tentara

multinasional di pulau Grenada bulan oktober 1983;

c) Pertahanan diri, apabila intervensi diperlukan untuk menghilangkan bahaya

serangan bersenjata yang nyata;

d) Dalam urusan-urusan protektorat yang berada di bawah kekuasaannya;

e) Apabila Negara yang menjadi subjek intervensi dipersalahkan melakukan

pelanggaran berat atas hukum internasional menyangkut Negara yang

melakukan intervensi, sebagai contoh, apabila Negara pelaku intervensi

sendiri telah diintervensi secara melawan hukum.

Dengan melihat pembahasan di atas, terlihat jelas bahwa sukar untuk

menjelaskan batasan dari pengertian intervensi, karena intervensi mengenal

banyak cara dan teknik. Akan tetapi tindakan intervensi secara jelas dapat

                                                                                                               103  J.G. Starke, op.cit , h.137. 104 Ibid.

 

 

 

47

dilakukan sepanjang tidak bertentangan dan telah memenuhi syarat–syarat

tertentu dalam hukum internasional.

2.2.2 Intervensi Kemanusiaan

Intervensi kemanusiaan diartikan sebagai intervensi yang dilakukan oleh

komunitas internasional untuk mengurangi pelanggaran HAM dalam sebuah

negara, walaupun tindakan tersebut melanggar kedaulatan negara.105

J.L. Holzgrefe mendefinisikan intervensi kemanusiaan sebagai berikut :

“ the treat or use of force by a state (or group of states) aimed at preventing or ending widespread and grave violations of the fundamental human rights of individuals other than its own citizens, without the permission of the state within whose territory force applied ”.106 Intervensi kemanusiaan merupakan tindakan yang meliputi :107

a) Bantuan logistik dan jaminan keamanan bagi pertukaran atau pemindahan

pengungsi atau pelarian serta tugas-tugas yang berhubungan dengan

kemanusiaan.

b) Bantuan teknis, pelatihan, dan keuangan bagi pembersihan ranjau;

c) Bantuan logistik, keuangan, dan teknis untuk peletakan senjata pembebasan

dan penyatuan kembali tentara setelah berakhirnya perang saudara, termasuk

pelatihan angkatan bersenjata yang sudah dipersatukan setelah berakhirnya

pertikaian.

                                                                                                               105 Bryan A.Garner, op.cit, h. 897. 106 J.L. Holzgrefe dan Robert O. Keohane. 2003. Humanitarian Intervention: Ethical, Legal,

and Political Dilemmas. Cambridge University Press, Cambridge, h. 278. 107 Rina Dewi Ratih, 2008, “Benturan Intervensi Terhadap Bantuan Kemanusiaan di

Darfur”, Perpustakaan Digital Universitas Indonesia, Jakarta, h. 27.

 

 

48

d) Bantuan teknis dan keamanan bagi organisasi, memantau dan memverifikasi

hasil pemilihan umum.

Ada beberapa parameter yang digunakan sebagai alasan untuk melakukan

intervensi kemanusiaan yaitu :108

1. Negara yang gagal. Bila dalam suatu negara pemerintahan gagal berfungsi

untuk melindungi warganya karena adanya perang saudara atau pembunuhan

masal, maka pada kondisi inilah negara lain dapat membenarkan diri untuk

melakukan intervensi kemanusiaan.

2. Kesadaran kemanusiaan. Bila dalam suatu negara terjadi pembunuhan secara

masal, perbudakan masal dan peledakan yang menimbulkan kematian yang

besar (shocking the conscious of mankind), maka kondisi itulah yang

membenarkan suatu negara melakukan intervensi kemanusiaan.

3. Jalan terakhir. Bila semua cara non-militer telah dilakukan tetapi tetap gagal,

maka intervensi menjadi salah satu pilihan dan dapat dibenarkan

Menurut Simon Duke, tindakan intervensi kemanusiaan dapat diterapkan

pada kondisi : 109

a) Terdapat tindak kejahatan berat terhadap hak asasi manusia;

b) Beberapa kejahatan meluas dan merupakan penyebaran ancaman atas

kehidupan yang hilang;

c) Sumber-sumber atau tindakan di bawah tingkat intervensi telah dihabiskan;

                                                                                                               108 Hamid Awaludin, 2012, HAM, Politik, Hukum, dan Kemunafikan Internasional,

PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, h.198. 109 Simon Duke, 1994, “The State and Human Rights Sovereignty Versus Humanitarian

Intervention”, International Relations, vo.XII, h. 44.

 

 

49

d) Berbagai penggunaan kekuatan harus proporsional, dengan jalan melindungi

dari hal yang membahayakan tetapi bertujuan untuk meminimalisasi

gangguan atau kekacauan terhadap faktor lain selain hak asasi manusia;

e) Intervensi dilakukan dalam tempo sesingkat mungkin;

f) Intervensi kemanusiaan merujuk pada prosedur Bab VII Piagam PBB;

g) Intervensi, dimungkinkan, melibatkan beberapa bentuk persetujuan dari

pihak/negara yang bertikai.

Mengenai pendapat Simon huruf (f), bahwa Intervensi kemanusiaan harus

merujuk pada prosedur Bab VII Piagam PBB, ini berpedoman kepada tujuan dan

tugas PBB dalam melindungi keamanan, ketertiban dan perdamaian dunia.

Walaupun dalam Pasal 2 ayat 7 piagam PBB, dikenal dengan prinsip non

intervensi dimana melarang negara yang melakukan hubungan internasional

untuk melakukan intervensi kedalam urusan negara lain termasuk juga PBB dan

mewajibkan negara – negara yang berkonflik untuk menyelesaikan urusannya

menurut ketentuan piagam PBB, akan tetapi prinsip non intervensi ini tidak dapat

melindungi tindakan pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM) seperti kejahatan

genosida maupun kejahatan atas kemanusiaan. Salah satu contoh yaitu intervensi

kemanusiaan PBB di Bosnia-Herzegovina yang dibentuk berdasarkan resolusi

PBB dengan tujuan untuk memulihkan hak asasi manusia (HAM) di negara

tersebut.

Oleh Sebab itu, peranan PBB dalam intervensi kemanusiaan pada

dasarnya tidak terlepas dari komitmen pendirian lembaga internasional yang

didasarkan pada komitmen “to prevent war and to strengthen means for conflict

 

 

50

resolution”, dan dalam rangka melaksanakan misi kemanusiaan, di mana misi

tersebut pada dasarnya bertujuan untuk mengedepankan hak-hak asasi manusia

sebagai hak-hak yang fundamental, sebagaimana tercantum dalam mukadimah

piagam PBB : … the peoples of the United Nation determined, to reaffirm faith in

fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person…”.

Jadi menurut penulis, intervensi kemanusiaan adalah segala bentuk upaya

untuk mencegah dan menghentikan terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi

manusia (HAM) berat di suatu negara, melalui prosedur–prosedur dan

persyaratan yang telah ditentukan baik dengan atau tanpa persetujuaan negara

yang bersangkutan guna menjaga keamanan, ketertiban dan perdamaian dunia.

Walaupun intervensi kemanusiaan menuai pro dan kontra, akan tetapi intervensi

kemanusiaan setidaknya merupakan salah satu upaya penegakan HAM dan

memberikan perlindungan kepada penduduk sipil di daerah konflik.

2.2.3 Intervensi Militer

Intervensi militer untuk tujuan kemanusiaan memiliki masa lalu yang

kontroversial. Bentuk intervensi ini adalah yang paling terang–terangan, paling

mahal dan mengadung resiko paling besar.110 Pengerahan kekuatan militer ke

suatu wilayah atau negara untuk menekan suatu konflik atau pergerakan

kelompok tertentu yang mengganggu keamanan dan keselamatan penduduk sipil,

telah beberapa kali di lakukan negara–negara atau organisasi–organisasi

                                                                                                               110 Budiono Kusumohamidjojo, op.cit, h.71.

 

 

51

internasional atas dasar pertimbangan kemanusiaan dan permintaan dari

pemerintahan yang berkuasa di negara tersebut.

Intervensi militer di definisikan sebagai penggunaan kekuatan lintas batas

negara oleh kelompok negara dan organisasi regional dengan pembenaran dan

alasan untuk aksi mereka guna memulihkan perdamaian dan keamaan sebagimana

mengakhiri penderitaan dan pelanggaran HAM yang meluas melalui bantuan

multirateral tanpa persetujuan dari negara mana intervensi tersebut terjadi.111

Intervensi militer juga diwujudkan dalam bentuk pengiriman ekspedisi militer

untuk menunjang suatu pemerintahan yang sedang berkuasa ataupun membantu

suatu kelompok pemberontak.112

Dalam pelaksanaannya, intervensi militer selalu dibarengi dengan

intervensi kemanusiaan atau sering disebut dengan intervensi militer kemanusiaan

(humanitarian military intervention), mengapa ? karena pada dasarnya ada

kesamaan tujuan antara intervensi militer untuk kemanusian dan intervensi

kemanusiaan.

Adapun tujuan dari intervensi militer kemanusiaan menurut Tylor

B. Seybot adalah :113

1. Helping to deliver emergency aid 2. Protecting humanitarian aid operation 3. Saving the victim of violence 4. Defeating the perpetrators of violence

                                                                                                               111 Foreignpolicyjurnal website, 2012, The Role of The West and Military Intervention in

Libya, available at URL http://www.foreignpolicyjournal.com/2012/04/07/the-role-of-the-west-and-military-intervention-in-libya/, diakses pada tanggal 9 Mei 2016

112 Budiono Kusumohamidjojo, op.cit h. 72. 113 Taylor B. Seybolt, The Humanitarian Military Intervention, The Condition for Success

and Failure, Oxford University Press, Oxford, h.38.

 

 

52

Intervensi dengan militer dikemukakan oleh Michael Walzer dalam Just

and Unjust Wars, yakni dengan menempatkan empat situasi yang secara moral

tindakan intervensi melalui perang dapat dibenarkan, yakni :114

a) Preemptive intervention, yakni intervensi dapat dilakukan oleh suatu negara

akibat terjadinya situasi perang yang “mendadak” (imminent). Intervensi

tidak boleh dilakukan dalam situasi preventive war, yakni suatu keadaan

dimana telah diyakini bahwa perang merupakan tindakan terbaik untuk segera

dilakukan daripada menundanya. Alasan mengapa intervensi tidak boleh

dilakukan dalam preventive war adalah karena di dalam preventive war tidak

terdapat situasi bahaya yang jelas (no clear and present danger).

b) Intervensi dibutuhkan guna menyeimbangkan intervensi sebelumnya.

Intervensi ini dimaksudkan guna menjaga masyarakat lokal dimana

sebelumnya telah mengalami intervensi. Dengan kata lain, intervensi ini

merupakan intervensi balasan.

c) Intervensi diperlakukan guna membantu individu-individu yang terancam

dengan pembunuhan massal. Suatu negara atau masyarakat internasional

tidak berarti perlu untuk terlibat langsung dan turut campur menangani isu

pembunuhan masal atau genosida, tetapi hanya apabila dirasa perlu saja.

d) Intervensi dapat dilakukan guna membantu di dalam mendapatkan hak

melakukan gerakan memisahkan diri (secessionis movement). Bantuan

terhadap gerakan memisahkan diri dilakukan atas dasar guna memberikan

                                                                                                               114 Joseph S. Nye, Jr, 1997, Understanding International Conflict: An Introduction to Theory

and History 2nd Edition, Harvard University, Longman , h. 136-137.  

 

 

53

hak serta membangun otonomi mereka sebagai suatu bangsa. Tidak berarti

dukungan dan bantuan dapat diberikan bagi semua kelompok atau gerakan

yang ingin memisahkan diri, sebab untuk membentuk suatu bangsa yang sah,

masyarakat harus dapat memberikan pengorbanan dan perlawanan bagi

kebebasan mereka sendiri.

Intervensi militer dalam keadaan tertentu yang bukan merupakan

pelanggaran kemerdekaan atau intregasi wilayah, dibenarkan menurut hukum

internasional dengan pengecualian sebagai berikut : 115

1. Suatu Negara pelindung (protector) telah diberikan hak-hak intervensi

(intervention rights) yang dituangkan dalam suatu perjanjian oleh Negara

yang meminta perlindungan. Contoh: Perjanjian persahabatan, hubungan

bertetangga baik dan kerjasama (the Treaty of friendship, good

neighbourliness and cooperation) yang ditandatangani oleh Uni Soviet dan

Afghanistan pada tanggal 5 Desember 1978. Pasal 4 the treaty of friendship,

good neighbourliness and cooperation menetapkan bahwa kedua belah pihak

akan mengambil langkah yang diperlukan untuk melindung keamanan,

kemerdekaan, dan keutuhan wilayah kedua Negara. Isi ketentuan perjanjian

demikian dapat dimaksudkan sebagai pembenaran terhadap tindakan Uni

Soviet ketika menginvasi Afghanistan pada Desember 1979.

2. Jika suatu Negara berdasarkan suatu perjanjian dilarang untuk mengintervensi

namun ternyata melanggar larangan ini, maka Negara lainnya yang juga

                                                                                                               115 Huala Adolf I, 2002, op.cit, h.34-35.

 

 

54

adalah pihak/peserta dalam perjanjian tersebut berhak untuk melakukan

intervensi.

3. Jika suatu Negara melanggar dengan serius ketentuan-ketentuan dalam

hukum kebiasaan yang telah diterima umum, Negara lainnya mempunyai hak

untuk mengintervensi Negara tersebut. Jadi, jika pemberontak terus-menerus

melanggar hak-hak suatu Negara netral selama terjadinya konflik, maka

Negara netral tersebut memiliki hak untuk mengintervensi terhadap Negara

pemberontak tersebut.

4. Jika warga negaranya diperlakukan semena-mena di luar negeri maka Negara

tersebut memiliki hak untuk mengintervensi atas nama wargawarga tersebut,

setelah semua cara damai diambil untuk menangani masalah tersebut.

5. Suatu intervensi dapat pula dianggap sah dalam hal tindakan bersama oleh

suatu organisasi internasional yang dilakukan atas kesepakatan bersama

Negara-negara anggotanya.

6. Suatu intervensi dapat juga sah manakala tindakan tersebut dilakukan atas

permintaan yang sungguh-sungguh dan tegas-tegas (genuine and explicit) dari

pemerintah yang sah dari suatu Negara (invitational intervention). Intervensi

ini cukup banyak dilakukan oleh Negara- negara besar dewasa ini.

Pengiriman tentara Inggris ke Yordania pada tahun yang sama setelah

Republik Persatuan Arab melakukan intervensi terhadap masalah-masalah

dalam negeri Yordania. Tahun 1964, kembali tentara inggris didaratkan di

Tanganyika Uganda, dan Kenya atas permintaan masing-masing Negara

 

 

55

tersebut untuk meredakan pemberontakan di negeri-negeri tersebut, dan lain-

lain.

Pembahasan mengenai intervensi militer dalam skripsi ini lebih

menekankan kepada intervensi militer dengan tujuan kemanusiaan, perlindungan

terhadap kedaulatan sebuah negara dan penyelesaian konflik , sehingga

pemberlakuan intervensi militer oleh kekuatan yang mengintervensi dilandasi

sejumlah keyakinan, pembenaran dan alasan untuk aksi mereka. Akan tetapi

pihak negara – negara lain menggunakan argumen mereka untuk mengutuk aksi

tersebut dengan dalil bahwa intervensi militer dengan tujuan kemanusiaan hanya

sebagai topeng dalam melancarkan serangan politik ke negara lain.

2.2.4 Sebab – Sebab Negara Melakukan Intervensi

Pada saat ini, intervensi yang sering dilakukan satu negara kepada negara

lain selalu berlandaskan atas tragedy kemanusiaan atau pelanggaran HAM berat

sebagai alasan pembenaran. Atas dasar itulah mengapa beberapa Negara

mengartikan bahwa intervensi yang mereka lakukan tidak melanggar ketentuan

hukum internasional

Penegakan terhadap hak asasi manusia dengan lahirnya Universal

Declaration of Human Rights (1948), yang telah diratifikasi di seluruh negara,

membuat perlindungan terhadap hak-hak tersebut harus diutamakan dalam

hubungan antar negara. Segala bentuk–bentuk pelanggaran terhadap HAM

merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat internasional. Hal ini yang

 

 

56

membuat kesadaran masyarakat internasional untuk meningkatkan kerjasama

dalam hal perlindungan dan penghormatan atas nama kemanusiaan

Komitmen masyarakat internasional atas perlindungan HAM sekarang ini

dapat dikatakan sudah melampaui batas wilayah suatu negara. Bila ada suatu

negara melakukan intervensi dengan tujuan lain yang dilarang oleh ketentuan

hukum internasional, maka perlu dilihat motivasi dari negara tersebut dilihat dari

sudut kepentingan negara tersebut mengintervensi. Akan tetapi tindakan

intervensi negara atas kedaulatan negara lain belum tentu merupakan suatu

tindakan yang melanggar hukum, apabila ada alasan yang mendasar dilakukannya

intervensi tersebut. Adapun alasan dasar suatu negara melakukan intervensi,

yaitu: 116

a) Hak untuk mempertahankan diri, yang dimungkinkan oleh Pasal 51 Piagam

PBB.

b) Adanya Permintaan oleh rezim (pemerintah) yang berkuasa di negara itu

untuk menghadapai perlawanan di dalam negeri.

Hal ini bisa disimpulkan bahwa alasan-alasan untuk tindakan intervensi

hanya dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan sepihak dari negara yang

bersangkutan atau dengan alasan yang dibenarkan menurut hukum internasional

seperti intervensi kemanusiaan.

                                                                                                               

116 K.J. Holsti, 1988. International Politics : A Framework for Analysis 5th Edition, Prentice Hall, New Jersey, h. 352.

 

 

57

2.3 Konflik Bersenjata

2.3.1 Pengertian Konflik Bersenjata

Bagi sebagian orang, konflik bersenjata selalu identik dengan perang,

pemberontakan, persenjataan, kekerasan, pembunuhan, pemusnahan etnis,

pengungsi serta penderitaan. Pemberitaan media yang cukup gencar mengenai hal

tersebut mengakibatkan fear of crime bagi masyarakat. Konflik senjata sering

dijadikan upaya terakhir dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang tidak

menemukan titik penyelesaiannya. Banyak negara terlibat konflik bersenjata di

dalam negerinya akibat ketidakpuasan pihak–pihak terhadap sistem pemerintahan

yang dinilai telah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme sehingga merugikan

kepentingan rakyat.

Istilah konflik bersenjata dahulu lebih dikenal dengan sebutan perang ,

telah mengalami perubahan paradigma dari bentuk klasik menjadi bentuk yang

lebih modern dengan adanya beberapa non state actors yang terlibat di dalamnya

seperti belligerent . Disisi lain, seperti yang diungkap oleh Carl von Clausewitz,

beliau menyatakan bahwa perang adalah the continuation of policy by other

means ,117 sehingga dapat dibenarkan bahwa perang merupakam kelanjutan dari

sebuah politik dengan cara–cara lain. kenyataan ini tidak dapat dibantah, bahwa

kebijakan politik suatu negara melalui kekuatan–kekuatan tertentu menjadi salah

satu factor penyebab terjadinya perang atau konflik bersenjata yang

berkepanjangan.

                                                                                                               117 Sergey Sarapin, 2014, The Crime of Aggression in International Criminal Law,

Historical, Development, Comparative, Analysis, and Present State, Asser Press, Netherland, h.24.

 

 

58

Keberadaan konflik bersenjata tidak terlepas dari pengaturannya dalam

hukum humaniter internasional (yang selanjutnya di sebut dengan HHI), dimana

HHI sebagai pedoman dalam pemberlakuan konflik bersenjata. Definisi konflik

bersenjata dalam Black’s Law Dictionary adalah “ a state of open hostility

between two nations or between a nation and an aggressive force. A state of

armed conflict may exist without a formal declaration .”118

Menurut Pietro Verri, istilah konflik bersenjata (armed

conflict) merupakan ungkapan umum yang mencakup segala bentuk konfrontasi

antara beberapa pihak, yaitu :119

1. Dua Negara atau lebih;

2. Suatu Negara dengan suatu entitas bukan-Negara;

3. Suatu Negara dan suatu faksi pemberontak; atau

4. Dua kelompok etnis yang berada di dalam suatu Negara.

Sedangkan pengertian konflik bersenjata yang dirumuskan dalam

Commentary Geneva Convention 1949, yakni :120

“ Any difference arising between two states and leading to intervention of

armed force is an “ armed conflict “ within the meaning of Art.2. even if

one of parties denies the existence of state of war. It makes no difference

how long the conflict lasts or how much slaughter takes place.”

                                                                                                               118 Bryan A.Garner, op.cit, h.123. 119 Pietro Verri, 1992, Dictionary of the International Law of Armed Conflict, ICRC,

Geneve, h. 34-35. 120 Haryomataram. 2002. Konflik Bersenjata dan Hukumnya, Universitas Trisakti, Jakarta,

(selanjutnya disingkat Haryomataram I), h. 2.

 

 

59

Definisi lain mengenai konflik bersenjata diberikan juga oleh Dieter Fleck

yang menyatakan bahwa :121

" An international armed conflict if one party uses force of arms against another party. The use of military force by individual person or group of person will not suffice. It is irrelevant whether the parties to the conflict consider themselves to be at war with each person and how they describe this conflict." Dari uraian di atas maka dapat diasumsikan bahwa agar dapat dikatakan

sebagai sebuah konflik bersenjata maka harus ada penggunaan armed forces dari

salah satu pihak baik itu negara atau terhadap pihak lainnya yang ikut kedalam

konflik tersebut. Konflik bersenjata juga tidak melihat berapa lama atau waktu

yang terjadinya dan berapa banyak jatuhnya korban.

2.3.2 Jenis–Jenis Konflik Bersenjata

Secara sistematik, konflik bersenjata dalam hukum internasional dapat

dibedakan menjadi 2 (dua) kategori besar, yakni konflik bersenjata yang bersifat

intenasional dan konflik bersenjata yang bersifat internasional/non internasional

(internal atau domestik). 122 Pembagian tersebut dilakukan, biasanya untuk

menentukan atau membedakan aturan–aturan hukum humaniter internasional

yang seharusnya diberlakukan pada masing–masing situasi tersebut.123

Konflik bersenjata dikatakan bersifat Internasional kalau pihak–pihak yang

terlibat dalam konflik tersebut adalah negara berhadapan dengan negara.

Sedangkan konflik bersenjata dikategorikan sebagai konflik bersenjata non

                                                                                                               121 Ibid, h.3 122 Arie Siswanto, op.cit, h.147. 123 Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, op.cit, h.61.

 

 

60

internasional kalau yang berhadapan dalam konflik itu adalah setidaknya salah

satunya adalah kelompok bersenjata bukan negara (non- state armed group).124

Pembagian jenis konflik bersenjata di antara negara–negara yang

bersengketa atau bertikai dikemukan pula oleh GPH Haryomataram sebagai

berikut : 125

( 1 ) Konflik bersenjata internasional :

a ) Murni adalah konflik bersenjata yang terjadi diantara dua atau lebih

negara;

b ) Semu adalah konflik bersenjata anatar negara di satu pihak dengan bukan

negara (non state entity) di pihak lain yang meliputi :

1. perang pembebasan nasional (wars of national liberation) ;

2. konflik bersenjata internasional yang di internasionalisir

(internationalized internal armed conflict)

( 2 ) Konflik bersenjata non internasional :

a ) Tunduk pada pasal 3 konvensi Jenewa1949;

b ) Tunduk pada protokol II, 1977

Sedangkan Shigeki Miyazaki membaginya kedalam : 126

1 ) Konflik bersenjata antara pihak peserta Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol

Tambahan 1977. Pasal 2 ayat (1) Konvensi Jenewa, dan Pasal 1 ayat (3)

Protokol I ;

2 ) Konflik bersenjata antara Pihak Peserta (negara) dengan bukan pihak peserta

(Negara atau penguasa/Authority) de facto, misalnya penguasa yang                                                                                                                

124 Arie Siswanto, op.cit, h.147-148. 125 Haryomataram I, op.cit, h. 7. 126 Ibid, h.6.

 

 

61

memimpin kampanye pembebasan nasional, yang telah menerima Konvensi

Jenewa dan atau Protokol. Pasal 2 ayat (4) Konvensi Jenewa, Pasal 1 ayat (4),

juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol I ;

3 ) Konflik bersenjata antara pihak peserta (negara) dan bukan pihak peserta

(negara/penguasa de facto) yang belum menerima baik Konvensi Jenewa

maupun Protokol I. Pasal 2 ayat (4) Konvensi Jenewa, Martens Clause,

Protokol II (penguasa/ Authority);

4 ) Konflik bersenjata antara dua negara bukan peserta (non Contracting

Parties) Pasal 2 ayat (4) Konvensi Jenewa, Pasal 3 Konvensi Jenewa

(penguasa), Martens Clause, Protocol II (penguasa);

5 ) Konflik bersenjata yang serius yang tidak bersifat internasional

(pemberontakan), Pasal 3 Konvensi Jenewa, Protokol II, Hukum

Internasional Publik;

6 ) Konflik bersenjata yang lain, Kovenant internasional HAM, hukum publik

(hukum pidana).

Dikemukakan oleh Schindler, berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 dan

Protokol 1977 dapat dibedakan 4 ( empat ) bentuk konflik bersenjata, yaitu :127

1 ) International Armed Conflict

2 ) War of National Liberation

3 ) Non International Armed Conflicts according to art

4 ) Non International Armed Conflict according to Protocol II 1977

                                                                                                               127 Ibid, h.4.

 

 

62

Dari semua jenis pembagian konflik bersenjata yang telah diungkapkan

oleh GPH Haryomataram, Shigeki Miyazaki dan Schindle, memiliki pemikiran

dan sistematik yang sama, yaitu bahwa konflik bersenjata dapat dibedakan dari

status hukum para pihak terlibat dalam konflik, baik dalam konflik bersenjata

internasional maupun konflik bersenjata non internasional yang pengaturan

tersebut tercantum dalam Konvensi Genewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977.

Sehingga apabila dikemudian hari terjadi konflik bersenjata, maka kedua aturan

tersebut secara langsung mengikat pihak–pihak yang bertikai meskipun tidak

adanya deklarasi atau pengakuan dari para pihak telah terjadi konflik bersenjata.

2.3.3 Pengaturan Konflik Bersenjata Dalam Konvensi Jenewa 1949 dan

Protokol Tambahan 1977

Ketegasan berlakunya situasi konflik bersenjata Internasional dan konflik

bersenjata non internasional secara tegas diatur dalam Konvensi Jenewa 1949 dan

dilengkapi dengan 2 (dua) Protokol Tambahan 1977. Pengaturan tersebut dapat

dilihat sebagai berikut :

1. Konflik Bersenjata Internasional,

Pengertian konflik bersenjata Internasional terdapat dalam pasal 2 (1)

Konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan orang-orang sipil di waktu

perang, yang berbunyi sebagai berikut :

"In addition to the provisions which shall be implemented in peace time

the present Convention shall apply to all cases of declared war or of

any other armed conflict which may arise between two or more of the

 

 

63

High Contracting Parties, even if the state of war is not recognised by

one of them …."128

Sedangkan Protokol Tambahan I tahun 1977 mengatur konflik bersenjata

internasional, merupakan penyempurnaan isi dari Konvensi Jenewa 1949

yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan.

Hal yang sangat penting untuk dibahas pada Protokol Tambahan I 1977.

adalah keberadaaan pasal 1 ayat 3 dan ayat 4.129 Pasal 1 ayat 3 berbunyi :

“ this Protocol, which supplements the Geneva Conventions of 12 August

1949 for the protection of war victims, shall apply in the situations referred

to in Article 2 ”. 130 Dimana ayat 3 ini hanya menunjuk kepada Pasal 2

konvensi Jenewa 1949 yang telah disebutkan diatas, dimana pasal tersebut

menyatakan bahwa konflik bersenjata internasional berlaku

apabila: 131

1. dalam setiap perang yang diumumkan;

2. dalam setiap pertikaian bersenjata yang timbul antara pihak peserta agung

sekalipun keadaan perang tidak diakui;

3. dalam keadaan pendudukan, baik wilayah itu diduduki sebagian atau

seluruhnya sekalipun pendudukan itu tidak mendapat perlawanan

bersenjata.

                                                                                                               128 Konvensi Jenewa 1949 Pasal 2 (1). 129 Haryomataram, 2012, Pengantar Hukum Humaniter, Cetakan Ke-3, Raja Grafindo,

Jakarta, (selanjutnya disingkat Haryomataram II), h. 148. 130 Protokol Tambahan I Tahun 1977, Pasal 1 ayat 3. 131 Haryomataram II, op.cit, h. 149.

 

 

64

Selanjutnya ayat 4 berbunyi :

"The situations referred to in the preceding paragraph include armed conflicts in which peoples are fighting against colonial domination and alien occupation and against racist regimes in the exercise of their right of self determination, as enshrined in the Charter ofthe United Nations and the Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-operation among States in accordance with the Charter of t he United Nations".

Pasal 1 ayat 4 ini dianggap sangat kontrovesial dikarenakan didalamnya

mengadung banyak pengertian yang masih samar–samar dan merupakan hasil

benturan antara pendapat tradisional dan pendapat baru.132 Menurut pendapat

tradisional yang dapat menjadi subjek hukum internasional hanya negara saja,

sedangkam hanya konflik antar negara sajalah yang dianggap konflik yang

bersifat internasional. Pendapat baru berpendirian bahwa suatu konflik antara

negara kolonial yang berjuang untuk merebut kemerdekaan mereka, juga

bersifat internasional sekalipun penduduk wilayah/koloni tersebut belum

merupakan pemerintahan atau negara. Dengan demikian, maka sekalipun

istilahnya tidak dipakai dalam ayat 4, namun maksud Pasal 1 ayat 4 ialah

supaya dapat mencakup war of national liberation.133

2. Konflik Bersenjata Non International

Pasal 3 dalam konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan orang–orang sipil

di waktu perang, adalah satu–satunya Pasal dalam 4 (empat) konvensi Jenewa

1949 yang mengatur mengenai konflik bersenjata non internasional. Pasal ini

sering dijuluki mini convention atau convention in miniature karena Pasal ini

meskipun hanya satu Pasal, tetapi sangat lengkap berisikan standar minimum

                                                                                                               132 Ibid, h.156. 133 Ibid.

 

 

65

hak asasi manusia ( HAM ) yang harus diterapkan dalam konflik bersenjata

non internasional.134 Namun Pasal tersebut tidak memberikan kriteria atau

definisi konflik bersenjata non internasional. Kriteria tentang konflik

bersenjata non internasional dimuat dalam protokol tambahan II tahun 1977

tentang perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non Internasional.

Disebutkan sengketa bersenjatta non internasional yang dimaksud dalam

Protokol Tambahan II tahun 1977 adalah sengketa yang terjadi dalam wilayah

suatu negara antara pasukan bersenjata tersebut dengan pasukan bersenjata

pemberontak atau dengan kelompok bersenjata organisasi lainnya yang

terorganisasi dibawah komando yang bertanggung jawab, melaksanakan

kendali sedemikian rupa atas sebagian dari wilayahnya sehingga

memungkinkan kelompok tersebut melakukan operasi militer yang

berkelanjutan dan berkesatuan serta menerapkan aturan–aturan HHI yang

termuat dalam Protokol Tambahan II tahun 1977.135

Aturan dalam Protokol Tambahan II tahun 1977 baru mengikat negara

apabila pihak pemberontak telah memenuhi kriteria tertentu. Dengan kata

lain, untuk menentukan keberlakuan aturan Protokol Tambahan II tahun

1977, perlu dilihat bahwa yang dihadapi oleh pasukan bersenjata negara

tertentu adalah pasukan pemberontak yang mempunyai unsur atau kriteria

sebagai berikut : 136

a. merupakan kelompok bersenjata terorganisasi;

b. berada di bawah komando yang bertanggung jawab;                                                                                                                

134 Sefriani, op.cit, h. 370. 135 Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, op.cit, h. 60. 136 Ibid.

 

 

66

c. melaksanakan kendali sedemikian rupa atas sebagian dari wilayah;

d. mampu melakukan operasi militer yang berkelanjutan dan berkesatuan;

e. mampu menerapkan aturan–aturan HHI yang termuat dalam Protokol

Tambahan II tahun 1977.

Jadi sebagaimana telah diuraikan di atas, perkembangan hukum humaniter

internasional menunjukan bahwa adanya beberapa peraturan yang semula

diberlakukan hanya untuk situasi sengketa bersenjata internasional, tetapi

kemudian dinyatakan juga berlaku untuk situasi sengketa bersenjata non

internasional yang tercantum dalam Konvensi–Konvesi Jenewa 1949 dan

Protokol Tambahan 1977 yang terdiri dari :

a. Protokol Tambahan I, 1977 mengatur konflik bersenjata yang bersifat

internasional atau konflik bersenjata antar negara.

b. Protokol Tambahan II, 1977 mengatur konflik bersenjata yang bersifat non

internasional.