Mendefinisikan (Kembali) Peran Indonesia di Dewan Keamanan ...
BAB II 2199087library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain... · 2013. 1. 16. · Wahab...
Transcript of BAB II 2199087library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain... · 2013. 1. 16. · Wahab...
14
BAB II
JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA
A. Jual Beli dalam Hukum Islam
1. Jual Beli dalam Hukum Islam
Dorongan yang bersifat kebutuhan lahiriah (pakaian, kendaraan,
rumah, uang dan sebagainya) merupakan suatu bentuk hasrat atau
kebutuhan yang bersifat sekunder dan primer manusia untuk dipenuhi
dalam melanjutkan serta mempertahankan kelangsungan eksistensi
individu dalam pergaulan hidup sehari-hari. Pemenuhan kebutuhan
tersebut tidak hanya diraih dengan merenung dan angan-angan belaka
tanpa ada usaha serta kerja keras dari seorang individu.
Salah satu usaha untuk mencapai syarat tersebut harus direalisir
dan diwujudkan dalam berbagai aktivitas seperti perdagangan. Dalam
perdagangan ada istilah jual beli (penjual dan pembeli), tukar menukar
barang yang saling menguntungkan. Oleh karena itu untuk mempermudah
dan mengantarkan pembahasan lebih lanjut alangkah baiknya istilah-
istilah tersebut didefinisikan lewat pengertian baik yang bersifat etimologi
maupun terminology.
Pengertian jual beli menurut bahasa sebagaimana dikemukakan
oleh Imam Taqiyuddin dalam kitabnya Kifayah al-Akhyar adalah sebagai
berikut:
15
���������������� ������������������
Artinya: ”Memberikan sesuatu untuk ditukarkan dengan sesuatu yang
lain”.1
Secara etimologi (lughat) kata jual beli berasal dari bahasa Arab
yaitu� artinya menukar atau menjual. Kemudian antara kata �������� dan
�������� (membeli), kadang�kadang yang satu untuk mengartikan yang lain.��
Oleh sebab itu boleh dikatakan bahwa keduanya dianggap serasi meskipun
sebenarnya saling berlawanan.2
Sebagian ulama berpendapat bahwa makna ba’i menurut bahasa
adalah menyerahkan milik atas barang dengan barang yang lain. Dan
sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa al-ba’i ������� menurut bahasa
adalah mengeluarkan zat dari milik dengan ganti. Adapun Asy-syira
�������� adalah memasukkan zat didalam milik dengan ganti atau menerima
milik atas benda dengan benda yang lain.3
Kata al ba’i (jual) dan asy syira (beli) biasanya dipergunakan
dalam pengertian yang sama. Dan kata-kata ini masing–masing
mempunyai makna dua yang satu dengan yang lainnya saling bertolak
belakang.4
Dalam firman Allah SWT:
�������� � !"��� #����� ��$ %"���&'&( ���� )���"'&( �� *" + ,�"'&( -&."/ +� 0��$�"1&2"��� 0�3���*!��4555�� �
1 Imam Taqiyudin, Kifayah Al Akhyar, Juz I, Indonesia: Dar Al-Ikhya’ Al Kutub Al
Arabiyah, Indonesia, t.th, hlm. 239 2 Anshor Umar, Fiqh Wanita, Semarang: Asy-Syifa, t,th, hlm. 490 3 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Fiqh Ala Al-Madzahib Al Arba’dah, Juz II, Beirut: Dar
Al Fikr, t,th, hlm. 147 4 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah 12, Bandung: Al-Ma’arif, Cet ke I, 1987, hlm. 47
16
Artinya: Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin,�diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS:�At-Taubah:�111).5
Dari ayat tersebut, bahwa lafadh isytara menunjukkan arti
membeli, sedangkan ayat yang lain mempunyai arti menjual, sebagaimana
firman Allah SWT:
���&6"7 � '�8� 9 :�;<"= ��;0 2 >���&?", � � ,� 0@�6�8��A��� 0���#�����*&/� B ,�;C :,��DE*@4FG� �
Artinya: ”Dan mereka menjual yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka tidak tertarik hatinya kepada yusuf.” (QS Yusuf: 20).6
Menurut terminologi (istilah) jual beli begitu kaya dengan
definisinya terutama di kalangan ahli hukum Islam (fuqaha) dan tentunya
ada perbedaan, khususnya dalam bidang redaksinya. Namun tetap sama
dalam maksud serta tujuan. Di sini penulis hanya memilih beberapa
definisi dari ulama yang kira-kira berdekatan dengan penulisan skripsi ini,
seperti dari Abi Yahya Zakariya al Anshari dan As Sayyid Sabiq.
Syekh Abi Yahya Zakariya al Anshari dalam kitabnya Fath al
Wahab mendefinisikan jual beli adalah sebagai berikut:
H=�#I,����J�2��J��#�����K *�
Artinya: ”Menukar harta dengan harta dengan cara tertentu.”7
Dari definisi di atas,� dapat kiranya dipahami adanya dua unsur
pokok dalam perilaku jual beli yaitu:
1. Tukar menukar barang, artinya masing-masing pihak menyerahkan
barang yang menjadi pengganti yang lainnya.
5 Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahanya, Jakarta: Praja, Cet ke I, 1992, hlm. 205 6 Ibid, hlm. 238 7�Abi Yahya Zakariya al Anshari, Fath al Wahab, Semarang: Toha Putra, t.th, hlm. 157.
17
2. Dengan cara tertentu adanya akad yang berfaedah menyatakan
kepemilikan untuk selamanya.8
Menurut As Sayyid Sabiq yang dimaksud jual beli adalah
����#I*������L *7��M��N�/,��L ��!���N��E����J�2��J�� ��:��
#����,O12���
Artinya: ”Menukar harta dengan harta dengan jalan suka sama suka dan menukar milik dengan memberi ganti, dengan cara yang diizinkan padanya”.9
Definisi di atas mengandung maksud bahwa pertukaran harta itu
harus dengan kerelaan kedua belah pihak dan juga harus sesuai dengan
syara, maka apabila mengandung unsur yang tidak dibenarkan oleh syara,
jual beli dianggap tidak sah (batal).
Istilah berjual beli dalam bahasa Indonesia diambil dari kata jual
ditambah awalan “ber” yang berarti berdagang, mencari nafkah dengan
memperdagangkan sesuatu, apabila ditambah akhiran “an” yakni berjualan
maka artinya adalah mencari nafkah dengan memperdagangkan sesuatu.
Demikian pula bila diawali kata tambahan ”men” (menjual) pengertiannya
memberikan sesuatu, memperoleh bayaran atau menerima uang.10
Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa jual beli adalah suatu peristiwa seseorang (penjual) yang
menyerahkan barangnya kepada orang lain (pembeli) setelah ada
persetujuan di antara keduanya mengenai barang dan harganya, kemudian
8 Ibid, hlm. 153 9 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz III, Beirut: Dar Al-Fikr, 1983, hlm. 126 10 Peter Salim, ed, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: Modern English
Press, 1991, hlm. 626
18
barang tersebut diterima oleh pembeli sebagai ganti yang telah diserahkan
kepada penjual dan semua itu harus dilakukan dengan saling rela (taradh)
dari kedua belah pihak.
2. Rukun, Syarat Dan Macam Jual Beli
Setiap aktivitas apapun namanya baik yang berkaitan dengan
ibadah maupun muamalah dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun
dan syaratnya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Muhktar Yahya dan
Fathurrahman bahwa “Setiap sesuatu apa yang telah ditetapkan oleh syar’i
akan adanya beberapa persyaratan, maka ia tidak akan berwujud jika tidak
terwujud rukun-rukunya”.11
Pernyataan senada juga dikemukakan Abdul Wahab Khallaf
bahwa segala sesuatu yang disyaratkan syar’i untuk menjadi syara’
baginya tidak akan dapat terbukti keberadaannya menurut syara’ kecuali
apabila telah ditemukan syarat-syaratnya dan ia dianggap menurut syara’
sebagai sesuatu yang tidak ada, apabila syarat-syaratnya tidak ada. Akan
tetapi harus pula ada syarat yang menentukan keberadaan masyrutnya.12
Oleh karena perbuatan jual beli merupakan perbuatan hukum
yang mempunyai konsekuensi terjadinya peralihan hak atas sesuatu barang
dan pihak penjual kepada pihak pembeli, maka dengan sendirinya dalam
perbuatan hukum ini haruslah dipenuhi rukun dan syarat jual beli.
11 Muhktar yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami,
Bandung: Al-Ma’arif, cet ke I, 1986, hlm. 149 12 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang, 1994,
hlm. 173
19
Dari beberapa pernyataan para pakar tersebut, maka menurut
penulis pada prinsipnya jual beli dikatakan sah apabila telah memenuhi
rukun dan syarat-syaratnya.
a. Rukun Jual Beli
Adapun rukun jual beli terdiri dari:
1. Adanya pihak penjual dan pihak pembeli
2. Adanya barang yang dibeli (ma’qud alaih)
3. Adanya aqad (ijab dan qobul)
Dalam suatu perbuatan jual beli ketiga rukun ini hendaknya
dipenuhi, sebab andai kata salah satu rukun tidak dapat terpenuhi,
maka perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan
jual beli.13
b. Syarat Jual Beli
Agar suatu jual beli yang dilakukan oleh pihak penjual dan
pihak pembeli sah maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
yaitu:
1. Subyek Jual Beli
Yang dimaksud syarat jual beli adalah adanya penjual dan
pembeli dengan kriteria sebagai berikut:
Bahwa kedua belah pihak yang melakukan perjanjian jual
beli tersebut haruslah memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:
13 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam,
Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hlm. 34.
20
a) Hendaknya orang yang melakukan transaksi tersebut sudah
mumayiz, yaitu dapat membedakan antara mana yang boleh dan
mana yang tidak boleh, membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk. Dengan demikian tidak sah jual beli yang
dilakukan oleh anak yang belum mumayiz.
b) Hendaknya dilakukan oleh orang yang berakal atau tidak hilang
kesadarannya, karena hanya orang yang sadar dan berakallah
yang sanggup melangsungkan transaksi jual beli secara
sempurna dan mampu berfikir secara logis.
c) Hendaknya transaksi ini didasarkan pada prinsip-prinsip
taradhi, yang di dalamnya tersirat makna mukhtar, yaitu bebas
melakukan transaksi jual beli dan dari paksaan dan tekanan.
d) Hendaknya keduanya tidak mubazir, maksudnya para pihak
yang dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak,
maksudnya dia tidak dapat melakukan sendiri sesuatu
perbuatan hukum walaupun kepentingan hukum itu
menyangkut kepentingannya sendiri.14
2. Obyek Jual Beli
Yang dimaksud obyek jual beli adalah benda yang
menjadi sebab terjadinya perjanjian jual beli.
Syarat-syarat barang yang boleh dan sah diperjualbelikan
adalah sebagai berikut:
14 Ibid, hlm. 36
21
a) Halal Dipergunakan
Segala barang yang halal dipergunakan menurut syara’
pada prinsipnya boleh diperjualbelikan. Sesuatu barang tidak
boleh diperdagangkan apabila ada nash syara’ yang melarang
dipergunakan atau memang dengan tegas dilarang
diperjualbelikan. Hal ini kita pegangi kaidah yang berkaitan
dengan muamalah:
“asal sesuatu adalah mubah” ����P��Q�����Q����NRQ��
Adapun benda-benda yang dipandang kotor atau
berlumuran najis, selama dapat dimanfaatkan, misalnya sebagai
pupuk tanam-tanaman, maka hal itu tidaklah terlarang
diperdagangkan.15 Namun demikian perlu diingat bahwa
barang ini (barang-barang yang mengandung najis, arak dan
bangkai) boleh diperjualbelikan sebatas kegunaan barang
tersebut bukan untuk dikonsumsi atau dijadikan sebagai bahan
makanan.
b) Bermanfaat
Pada asalnya segala sesuatu yang ada di muka bumi ini
mengandung manfaat, bersandar kepada firman Allah SWT:
15 Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Bandung: Diponegoro, Cet ke I,
1984, hlm. 88
22
� ����� * !"E�� �'&S�T�7��2 I��L "9 "Q�� U��� � � "'&V �� W � X�Y�Z���� *&8
��;�"U ��[N&V��� *&8 ,�;\� ,� 2 E� �"� E��0&8��* - ����� 2�-����]'��� ��C�����4F̂� �
Artinya: “Dialah Allah SWT, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikannya tujuh langit dan dia maha mengetahui segala sesuatu”.(QS Al Baqarah: 29)16
Dengan prinsip ini, maka barulah sesuatu barang
dipandang tidak berguna, jika ditegaskan oleh nash atau
menurut kenyataan atau hasil penelitian ilmiah menunjukkan
bahwa barang itu berbahaya, seperti racun, ganja, candu, dan
sebagainya.
c) Hak Milik Mutlak
Barang yang boleh diperjualbelikan ialah milik sendiri
atau mendapatkan kuasa dari si pemilik untuk menjualnya.
Prinsip ini didasarkan pada kaidah-kaidah tidak boleh
memakan harta dengan cara batil. “dengan kata lain tidak boleh
menjual kepunyaan orang lain tanpa seizinnya, karena hal itu
merupakan perbuatan yang batil dan dapat dituntut oleh si
pemilik”.17
d) Dapat Diserahterimakan
Sehubungan dengan prinsip ini, maka tidaklah
diperjualbelikan barang yang tidak berada dalam kekuasaan
sekalipun milik sendiri. Misalnya burung yang terlepas dari
16 Departemen Agama RI, Op-Cit, hlm. 13 17 Hamzah Ya’qub, Op-Cit, hlm. 90
23
sangkarnya, ikan dalam air yang sulit ditangkap, harta yang
jatuh ke tangan perampok.
Prinsip ini logis dan sejalan garis ketentuan tidak
bolehnya gharar (kesamaran dan ketidakpastian) yang bisa
menimbulkan kerumitan dan mengandung persengketaan di
kemudian hari.18
e) Barang Yang Jelas
Salah satu syarat dalam jual beli adalah kejelasan
barang dan harganya, kejelasan yang dimaksud disini adalah
meliputi ukuran, takaran atau timbangan, jenis dan kualitas
barang.
Barang-barang yang tidak dapat dihadirkan dalam
majelis transaksi, diisyaratkan agar penjual menerangkan
segala sesuatu yang menyangkut barang tersebut sampai jelas
bentuk dan ukuran, sifat dan kualitasnya.
c. Tentang Lafadz (Kalimat Ijab Qabul)
Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan
yang diiginkan, sedang qabul ialah pernyataan pihak kedua untuk
menerimanya.19 Ijab qabul itu diadakan dengan maksud untuk
menunjukkan adanya sukarela timbal balik terhadap perikatan yang
18 Ibid, hlm. 91 19 Ahmad Azhir Bashir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam),
Yogyakarta: UII Press, 2000, hlm. 65
24
dilakukan oleh dua pihak yang bersangkutan.20 Pengertian aqad
menurut istilah adalah:
���_��!��� �̀>@�a,��2��#I,����J*����b�%@Q��c��d9��
Artinya: “Perikatan antara ijab dengan qabul secara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan persetujuan kedua belah pihake.21
��#�f���?�S��(g@�a,���#I,����J*����b�%@��c��d9��
Artinya: “Perikatan adalah ijab qabul (serah terima) menurut bentuk yang disyariatkan agama, nampak bakasnya pada yang diaqadkan itu”.22
Dalam hal ini perikatan dengan aqad atau ijab qabul menurut
para fuqaha terjadi perselisihan pendapat, yang ada garis besarnya
dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu pertama, pendapat
yang mengatakan tidak sah aqad kecuali dengan sighat yaitu sesuatu
bentuk perkataan dan yang diucapkan oleh kedua belah pihak yang
melakukan aqad. Menurut golongan ini bagi orang yang tergolong
melakukan aqad ijab qabul/dengan sighat, misalnya dengan perkataan
“saya menjual barang itu kepadamu”, dari pihak penjual, kemudian
pihak pembeli menjawab: “saya telah membelinya darimu, dari lain-
lain perkataan yang sama maknanya, menurut golongan ini bagi orang
yang terhalang melakukan ijab qabul dengan sighat, misalnya orang
bisu, dapat melakukan dengan isyarat, sedangkan orang yang terhalang
20 Ibid, hlm. 66 21 Tengku Muhammad Hasbi Ash Shidiqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 26 22 Hamzah Ya’qub, Op-Cit, hlm. 72
25
karena jarak yang jauh dapat melakukan aqad secara tertulis
(kitabah)23 kebiasaan juga bisa dianggap sebagai aqad ijab qabul.
Berbeda dengan pendapat di atas, syeikh Abi Yahya Zakaria
al- Anshari, mengatakan bahwa rukun jual beli meliputi: aqad antara
penjual dan pembeli ma’qud alaih, barang dan harga, dan sighat walau
hanya samaran.24
Adapun kinayah sebagaimana yang dimaksud adalah seperti
yang dikemukakan oleh Abdurahman al-Jaziri sebagai berikut:
��������h�X��$72��J�!72���i.����(���@�$V����,�
Artinya: “Aqad jual beli secara kinayah adalah lafadz-lafadz yang mengandung makna lain selain dalam jual beli.25
Kedua, bahwa aqad itu sah dilakukan dengan perbuatan
(af’al) bagi hal-hal yang masanya dilakukan dengan perbuatan seperti
jual beli mu’athah yaitu suatu perdagangan yang disepakati oleh kedua
pelaku aqad dan tidak menggunakan ijab qabul.26� Seperti pembeli
mengambil barang dan membayar harganya pada penjual dan pembeli
menerimanya tanpa ada ucapan atau isyarat, baik pada barang mahal
maupun barang murah.27
23 Ibid 24 Abi Yahya Zakaria al-Anshari, Fath al Wahab, Juz 1, Semarang: Toha Putra, t.th,
hlm. 157 25 Abdurrahman al-Jaziri, Op. Cit., hlm. 143 26 Iman Santosa, Fiqh Muamalah, Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003, hlm. 25 27 Ibid.
26
Ketiga, mengatakan bahwa aqad itu sah dilakukan dengan
cara apapun yang menunjukkan asal maksudnya, baik perkataan
maupun perbuatan.28
Dengan menilik pada beberapa pendapat golongan tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya aqad jual beli dapat
dilakukan dalam segala macam pernyataan, asalkan dapat dipahami
maksudnya oleh kedua belah pihak yang melakukan aqad, baik dalam
bentuk perkataan, perbuatan, maupun isyarat bagi orang yang bisu atau
berupa tulisan bagi orang yang jauh, dapat juga dilakukan juga
dilakukan melalui kinayah.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ijab qabul
adalah:
1. Satu sama lain (orang yang berakad) berhubungan di satu tempat
tanpa ada yang memisahkan dan merusak.
2. Dalam ijab qabul harus ada kesepakatan pada barang dan harga,
yang didasari oleh unsur suka sama suka di antara kedua belah
pihak. Maka jika tidak ada kesepakatan yang didasari rasa kerelaan
kedua belah pihak, hukumnya tidak sah.
3. Ungkapan harus menunjukkan masa lalu, seperti perkataan penjual:
aku telah rela menjual, dan perkataan pembeli telah aku terima,
atau mengandung arti masa sekarang jika yang diinginkan pada
masa itu juga, jika yang diinginkan pada masa yang akan datang
28 Hamzah Ya’qub, Op-Cit, hlm. 73
27
atau semisalnya, maka hal itu merupakan janji untuk berakad, dan
janji tidaklah sebagai akad yang sah. Oleh karena itu tidak sah
secara hukum.29
Perkataan atau ungkapan ijab qabul tidak harus sama, yakni
disesuaikan dengan kondisi kedaerahan, karena tiap-tiap daerah
memiliki dialek yang berbeda-beda, yang penting ungkapan yang
digunakan dalam berakad menunjukkan ikatan jual beli yang baik,
seperti menggunakan ucapan, surat, tulisan atau alat bukti yang lain.
Sebagaimana kata kaidah fiqhiyah:
b� =���B�b�!V���
Artinya: “Tulisan itu sama seperti pembicaraan”.30
d. Macam-Macam Jual Beli
Ada beberapa macam atau jenis jual beli ditinjau dari beberapa segi
di antaranya adalah:
1. Jual beli ditinjau dari segi pelaksanaannya dapat dibagi menjadi dua,
yaitu:
a) Jual beli yang terlarang, antara lain:
1) Jual beli gharar
Yang dimaksud jual beli gharar adalah jual beli yang
mengandung unsur penipuan atau terdapat barang yang cacat.
Contoh jual beli gharar adalah:
29 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz III, Beirut : Dar Al-Fikr, 1983, hlm. 46 30 Asmuni A. Rahman, Kaidah-kaidah Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hlm. 93
28
a) Jual beli muhazabah adalah jual beli suatu barang dengan
kedua belah pihak mencela barang yang ada pada mereka
dan ini dijadikan dasar jual beli yang tidak rela.31
b) Jual beli muhaqalah, yaitu jual beli dengan menggunakan
takaran yang belum dikenal.
c) Jual beli muzabanah, yaitu jual beli buah-buahan yang
masih hijau dan belum nampak mutu atau kualitasnya.
d) Jual beli mulasamah, yaitu jual beli dengan cara jika
pembeli telah menyentuh atau melempar barang tersebut
harus di�beli walau tidak saling merelakan.32
2) Jual Beli Najsi
Jual beli najsi yaitu jual beli yang menggunakan harga yang
jauh lebih mahal dari harga pasaran. Sedangkan pada dasarnya
pembeli itu tidak menginginkan barang itu, jual beli semacam
ini dilarang oleh Rasulullah:
��R�j��J*E9����2��0���0� ,�#����j��0��(/�'�E
k%$���
Artinya: “Diriwayatkan dari umar, dia berkata, bahwa rasulullah melarang jual beli najis”. (H.R. Muslim)33
3) Menghambat orang-orang desa keluar kota dan membeli
barangnya sebelum mereka sampai dipasar. Jual beli ini
dilarang oleh Nabi SAW:
31 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid II, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 76
32 Sayyid Sabiq, Op-Cit, hlm. 146 33 Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz II, Semarang: Toha Putra, t,th, hlm. 739
29
��R�j��J*E9�(/�J�l�m����0���0� ����'�E,�#����j�
�:����L �P����@���,����B����W�!d�
Artinya: “Dari ibn Abbas r.a. ia berkata : Rasulullah saw bersabda: janganlah kamu mencegat pedagang dan janganlah orang kota menjual kepada orang desa”. (H.R. Muslim).34
4) Membeli barang yang telah dibeli orang lain (dalam masa
khiyar).
Rasulullah saw bersabda:
�2��0���0� �R��$���0� Q�'�E,�#����j� ���NI�������@
����#�X�����
Artinya: “Dari Ibn Umar dari Nabi SAW bersabda: “janganlah seseorang membeli sesuatu yang sudah dibeli saudaranya.35
b) Jual Beli Yang Tidak Terlarang
Jual beli yang tidak dilarang oleh agama Islam adalah jual
beli yang dilakukan dengan kejujuran, tidak ada kesamaran
ataupun penipuan atau segala sesuatu yang tidak menimbulkan
fitnah antara keduanya.
2. Ditinjau Dari Segi Barangnya
Jual beli ditinjau dari segi barangnya atau objeknya dapat
dibedakan menjadi:
a) Jual beli al-sharf yaitu jual beli mata uang yang beredar di pasaran.
34 Ibid, hlm. 1154 35 Ibid, hlm. 1154
30
b) Jual beli al-salam yaitu menjual sesuatu yang tidak bisa dilihat
dzatnya, tetapi sifat dan bentuknya telah ditentukan dan
tanggungan ada pada penjual
c) Jual beli al-mutlaq yaitu jual beli barang dengan uang secara
muthlaq
3. Ditinjau Dari Segi Harganya
Jual beli ditinjau dari segi harganya dapat dibedakan menjadi:
a) Jual beli musawamah yaitu jual beli yang sudah disepakati
harganya oleh kedua belah pihak dan pembeli telah melihat barang
yang dibelinya sehingga tidak menimbulkan fitnah antara
keduanya.
b) Jual beli murabahah yaitu menjual barang dengan harga yang lebih
dari harga semula (mengambil keuntungan)
c) Jual beli al-tauliyah yaitu menjual barang dengan harga yang sama
dari harga pengembalian
d) Jual beli al-wadiah yaitu menjual barang dengan harga yang lebih
murah dari harga pengembaliannya.36
4. Ditinjau dari segi pelaksanaannya dan pembayarannya.
Jual beli jika dilihat dari masa pembayarannya dapat
dibedakan menjadi dua macam yaitu:
36 Sayyid Sabiq, Op. Cit., hlm. 149
31
a) Pembayaran kontan yaitu uang atau barang tersebut diberikan
secara bersama-sama dengan didahului kesepakatan kedua belah
pihak.
b) Pembayaran tidak kontan yaitu disepakati transaksi jual beli
dengan pelunasannya secara berkala. Jual beli ini sifatnya seperti
hutang, hukumnya bisa sunnah jika yang membeli dalam
perjalanan yang membutuhkan pertolongan.
3. Status Anak Dalam Jual Beli Menurut Hukum Islam
Untuk mengetahui lebih jauh tentang jual beli yang dilakukan
anak (sah dan tidaknya), maka perlu dikemukakan terlebih dahulu
pengertian tentang anak menurut hukum Islam.
a. Menurut Ulama Fiqh
Menurut ulama fiqh kedewasaan itu dilandasi dengan ihtilam
(mimpi keluar mani). Imam Syafi’i memberi batasan usia setinggi-
tingginya adalah delapan belas tahun dan serendah-rendahnya lima
belas tahun.37
Menurut Imam Malik orang-orang yang ada dibawah
pengampuan itu ada enam macam yaitu: anak kecil (bawah umur),
orang bodoh (fasih), hamba sahaya, orang yang bangkrut (muflis),
orang sakit dan istri (wanita).38
37 Ibn Rasyid, Bidayah al-Mujtahid, Semarang: Toha Putra, 1990, hlm. 332 38 Muhammad Ali As-Sabuni, Tafsir Al-Sabuni, Surabaya: Bina Ilmu Surabaya, 1986,
hlm. 360
32
b. Menurut Ulama Tafsir
Dalam pengertian anak dibawah umur, Ali-Asabuni
berpendapat baligh yaitu: orang yang sudah ada kecerdasan, sebagai
penafsirannya pada surat An-Nisa’: 6.39
� � ! �"����*&� !"�� ,���*&7 �":� ��T�6"�&9�"'&("$��"'&!"- /n�"��o �� p� V[$����*&� � ��� O����! P
�"'&( �� *" +�"'�("� ������-$��4q� �
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta) maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.
Pada ayat ini para ulama memberikan penafsiran bahwa yang
dimaksud dengan yatim disini adalah yang masih kanak-kanak, yaitu
anak-anak yang belum baligh.40
Demikian juga dikatakan dalam Fathul Mu’in bahwa seorang
anak menjadi baligh adalah apabila telah mencapai usia lima belas
tahun, ataupun ia telah mengeluarkan mani.41
Dalam masalah pengertian tentang anak dibawah umur ini
tidak terlepas dari apa yang disebutkan memenuhi dua hal:
1. Sanggup memahami kitab-kitab pembenaran yaitu sanggup
memahami sendiri atau dengan perantaraan orang lain terhadap
nash-nash Al-Qur'an dan as-Sunnah
39 Departemen Agama RI, Op-Cit, hlm. 115-116 40 Ibid 41 Aly As’ad, Fathul Mu’in, Kudus: Menara Kudus. T.th, hlm. 232
33
2. Mempunyai kemampuan penerimaan beban.
Kemampuan ini dibagi dalam dua macam, yaitu:
a) Ahliyatul wujud (kemampuan menerima hak dan kewajiban)
yaitu kepantasan seseorang untuk diberi hak dan kewajiban
b) Ahliyatul ada’ (kemampuan berbuat) yaitu kepantasan
seseorang untuk dipandang sah segala perbuatan dan
perkataannya.42
Masalah kedewasaan seseorang dapat ditentukan dengan dua jalan:
a) Adanya ciri-ciri kas kedewasaan seperti: menstruasi (bagi
perempuan) dan ihtilam (mimpi keluar sperma).
b) Tercapainya umur tertentu dalam hal ini ulama Syafi’iyah,
Hambaliyah menetapkan dengan umur lima belas tahun baik
laki-laki maupun perempuan.43
Dari beberapa pendapat tersebut, seseorang anak dapat
dikatakan tamyiz itu tidak dapat dibatasi dengan pencapaian tertentu,
sebab kenyataanya seseorang anak telah mencapai ketamyizannya
sebelum usia baligh.
Adapun kebijakan ulama, memberikan batasan usia lima belas
tahun sebagai tanda kedewasaan seseorang anak didalam berjual beli
kiranya sebagai keseragaman hukum
Hal ini dibatasi oleh sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Siti
Aisyah ra:
42 Muhktar yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami, Bandung: Al-Ma’arif, 1986, hlm. 165
43 Ibid, hlm. 168
34
�SrS�0��'����� ��9� 4��0�,����2���0�,�i��!-@�!P�'s�$���0�
�V@�!P�U�H������*���?�,9 �:,�:��
Artinya: “Diangkat pena (dibebaskan) dari tiga golongan (orang) yaitu: orang tidur hingga ia bangun, orang gila hingga ia sembuh dan anak-anak hingga ia dewasa”.44
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa kecakapan
seseorang anak tidak bisa dibatasi dengan umur karena anak dikatakan
dewasa, apabila si anak tersebut telah cakap dalam mentasyarufkan
harta.
B. Jual Beli Menurut KUH Perdata
1. Pengertian Jual Beli
Setiap manusia tidak akan luput dari kebutuhan hidupnya. Untuk
memenuhi kebutuhan hidup tersebut, manusia mengembangkan
kemampuan dan akalnya masing-masing saling memberikan (atau
mempertukarkan) satu hal dengan hal yang lain, agar kehidupan individu
dalam kelompok dapat terpenuhi secara efisien, berimbang bagi individu
dan kelompok tersebut. Manusia mulai mempergunakan perkembangan
akalnya dengan menyatakan suatu bentuk alat tukar yang berlaku secara
universal, mulai dari logam-logam mulai hingga pada akhirnya
memperoleh bentuk alat tukar dalam wujud uang. Pertukaran antara
kebutuhan dan uang dinamakan jual beli. Jual beli merupakan suatu
kebutuhan hidupnya sehari-hari yang paling sederhana.
44 Abu Daud Sulaiman Ibn Asy Al-Sijistani, Sunan Abu Daud, Beirut: Dar al Fikr, t.th,
hlm. 139
35
Jual beli menurut undang-undang Hukum Perdata adalah suatu
persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga
yang telah ditetapkan. 45
Jual beli biasanya dapat terjadi sedikit banyak tanpa syarat-syarat
formal. Sebagian besar jual beli tunai dilakukan semata-mata dengan lisan,
seperti jual beli barang di Toko, jual beli makanan dan minuman di
Restoran atau di tempat umum, jual beli mobil secara tunai. Apabila
diperkenankan jual beli berdasarkan secara kredit dengan pembayaran
yang berangsur. Perjanjian harus dibuat secara tertulis, baik berdasarkan
undang-undang kredit konsumen maupun berdasarkan tata tertib sewa beli
dan perjanjian jual beli kredit.46
Jual beli adalah suatu perjanjian konsesuil artinya ia sudah
dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah (mengikat atau mempunyai
kekuatan Hukum) pada detik tercapainya sepakat antara penjual dan
pembeli.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa untuk terjadi perjanjian
jual beli, cukup jika kedua pihak sudah mencapai persetujuan tentang
barang dan harganya meskipun barang itu belum diserahkan maupun
harganya belum dibayar sesuai dengan Pasal 1458 KUH Perdata.
45 Gunawan Wijaya dan Kartini Mulyadi, Jual Beli, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2003,hlm.7 46 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1980, hlm. 243
36
2. Macam-macam jual beli
Jual beli dilihat dari segi pelaksanaannya dibagi menjadi tiga
macam yaitu:
1. Jual beli dengan percobaan (coop of proof) yaitu jual beli yang
berlakunya masih ditangguhkan pada hasil-hasil percobaan dalam satu
masa.47
2. Jual beli percobaan diatur dalam pasal 1463 KUH Perdata, jual beli
percobaan berarti pembeli baru akan memberi kepastian jadi atau
tidaknya jual beli. Setelah pembeli melakukan percobaan atau
mencoba barang yang hendak dibeli, setelah melakukan percobaan
barulah pembeli memberi penegasan tentang sesuai atau tidaknya
barang yang akan dibeli. Jual beli dengan percobaan dapat terjadi
secara tegas atau diam-diam, tergantung pada suatu benda. Apabila
terhadap benda itu, kebiasaan telah menentukan harus dicoba lebih
dahulu tanpa disebut secara tegas, dianggap jual beli dengan syarat
percobaan asalkan kebiasaan telah menentukan.48Sebagai contoh
mengenai jual beli sebuah lemari es, meskipun barang dan harga sudah
disetujui, baru jadi kalau barang sudah dicoba dan memuaskan. Begitu
juga dengan jual beli pesawat radio dan televisi.
47 C.S.T. Kansil, Hukum Perdata I, Jakarta: Pradya Paramita, t.th, hlm. 237 48 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986, hlm. 186
37
3. Jual beli dengan contoh (coop op monster) yaitu jual beli yang disertai
dengan contoh-contoh jenis barang yang ditawarkan.49
Mengenai jual beli dengan contoh/monster tidak disebutkan
dalam undang-undang kecuali disebut dalam Pasal 69 Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang. Padahal dalam praktek sehari-hari, banyak
sekali terjadi jual beli dengan contoh.50 Contoh-contoh ini maksudnya
untuk disamakan dengan barang-barang yang akan diterimanya nanti.
Jika barang-barang yang diterima pembeli tidak sama jenisnya dengan
monster, maka pembeli dapat menuntut pada penjual untuk melakukan
pembatalan jual beli tersebut.
4. Jual beli sewa (huru coop) adalah perjanjian jual beli dimana si
pembeli menjadi pemilik mutlak dari barang yang dibelinya itu, pada
saat pencicilan terakhir telah dibayar. Sedangkan selama barang itu
belum lunas dibayar, kedudukan si pembeli sama dengan seorang
penyewa. Jika si pembeli sewa tidak mau membayar sewanya,
perikatan dapat diputuskan.51
Apabila barang yang disewa hilang, maka dengan sendirinya
menurut Hukum perjanjian sewa itu gugur. Sehingga tidak perlu
diminta pernyataan batal, resiko kerugian dibagi dua antara pihak yang
menyewakan dengan pihak penyewa. Tetapi apabila terjadi kerusakan
pada barang yang disewa mewajibkan si penyewa membayar ganti
49 C.S.T. Kansil, op. cit, hlm. 237 50 M. Yahya Harahap, op. cit, hlm 186 51 C.S.T. Kansil, op. cit, hlm. 238
38
rugi, atau bisa diperbaiki langsung oleh orang yang menyewakan tas
beban rekening si penyewa.
Dari ketiga bentuk jual beli di atas yang cocok digunakan
pada masa sekarang adalah jual beli percobaan dan jual beli sewa,
karena jual beli yang terjadi dalam lalu lintas kehidupan masyarakat
sehari-hari adalah jual beli dari tangan ke tangan yakni jual beli yang
dilakukan antara penjual dan pembeli tanpa campur tangan pihak
resmi. Kecuali mengenai benda-benda tidak bergerak yang selalu
memerlukan bentuk akte jual beli.
3. Hak dan Kewajiban Penjual dan Pembeli
a. Kewajiban Penjual
Dalam melakukan tugasnya penjual berkewajiban:
1) Kewajiban untuk menyerahkan barang yang dijual kepada
pembeli.
Penyerahan barang dalam jual beli, merupakan tindakan
pemindahan barang yang dijual ke dalam kekuasaan dan pemilikan
pembeli, apabila pada penyerahan barang tadi diperlukan
penyerahan yuridis/penyerahan menurut Hukum (yuridische
levering) disamping penyerahan nyata/penyerahan menurut
undang-undang (fieteljke levering), agar pemilikan pembeli
menjadi sempurna, pembeli harus menyelesaikan penyerahan
tersebut.
39
2) Menjamin barang yang dijualnya
Penjual harus menanggung/menjamin barang-barang yang
dijual dalam keadaan:
(a) Tentram dan damai (rustig en vreedezaam) dalam
kekuasaan pemilikan pembeli, tanpa ganggu gugat dari
siapapun juga.
(b) Menjamin, bahwa barang yang dijual tidak mempunyai
cacat tersembunyi dan cacat yang nyata.
Vrijwaring atau jaminan atas gangguan dan cacat barang,
merupakan kewajiban yang harus ditanggung oleh penjual “demi
Hukum” (van rechtswege). Atau kewajiban menjamin barang yang
dijual adalah kewajiban yang lahir dengan sendirinya menurut
Hukum. Sekalipun jaminan tidak disebutkan dalam perjanjian,
namun hal itu tidak mengurangi hakekat, bahwa jaminan atas
barang yang dijual merupakan kewajiban karena hukum.52
Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat-cacat
tersembunyi meskipun ia sendiri tidak mengetahui hanya cacat-
cacat itu, kecuali jika dia telah meminta di perjanjian bahwa dia
tidak berkewajiban menanggung suatu apapun. Apabila penjual
sudah mengetahui adanya cacat-cacat barang, maka selain dia
diwajibkan mengembalikan harga pembelian yang telah diterima
dari pembeli dia juga diwajibkan mengganti semua kerugian si
52 M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 200
40
pembeli sebagai akibat barang yang dibelinya cacat, hal ini sesuai
dengan Pasal 1508 dan Pasal 1509.53
Apabila si penjual tidak menyerahkan barangnya pada
waktu yang telah ditetapkan, si pembeli dapat menuntut
penyerahan itu dengan tambahan pembayaran kerugian, atau ia
dapat langsung menuntut pembayaran kerugian sebagai pengganti
penyerahan barang, ataupun ia dapat menuntut pembatalan
perjanjian, yang dapat disertai pula dengan pembayaran kerugian.
Apabila barang sudah diserahkan dan ada seorang yang
membantah hak milik si penjual atas barang yang telah dibelinya
itu, atau jika ternyata ada cacad yang tersembunyi maka si pembeli
dapat menuntut si penjual untuk bertanggung jawab. Tuntutan
berdasar cacad-cacad yang tersembunyi harus dilakukan dalam
jangka waktu yang pendek, sebab jika sudah lama hakim dapat
menganggap si pembeli telah menerima barang yang cacad itu.54
b. Kewajiban pembeli
Kewajiban pembeli ada dua yaitu menerima barang dan
membayar harganya pada waktu dan tempat sebagaimana telah
ditetapkan menurut perjanjian. Jika pada waktu membuat perjanjian
tidak ditetapkan tentang tempat dan waktu pembayaran, maka pembeli
53 R. Soebekti dan R Tjitrosudibio, aneka Perjanjian, Bandung, Citra Aditya Persada,
1995,hlm. 20 54 Soebekti, Op. Cit, hlm. 163.
41
harus membayar di tempat dan waktu di mana penyerahan harus
dilakukan.55
Jika si pembeli tidak membayar harga barang pada waktu
yang telah ditentukan, si penjual dapat menuntut pembayaran itu, yang
apabila ada alasan dapat disertai dengan tuntutan kerugian ataupun ia
dapat menuntut pembatalan perjanjian dengan pemberian kerugian.56
4. Penyerahan Hak Milik
Kewajiban penyerahan hak milik meliputi segala perbuatan yang
menurut Hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang
yang dijual itu dari penjual kepada pembeli. Oleh karena KUH Perdata
mengenal tiga macam barang, yaitu barang bergerak, barang tetap dan
barang tidak bertubuh, dan berkaitan dengan penyerahan tersebut ada tiga
macam penyerahan hak milik yang masing-masing berlaku untuk masing-
masing barang itu.
a. Barang Bergerak
Untuk penyerahan barang bergerak dilakukan dengan
penyerahan yang nyata atau menyerahkan kekuasaan atas barangnya.57
Hal ini sesuai dengan Pasal 612 KUH Perdata yang berbunyi:
“Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh, dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan bergerak itu oleh itu atau atas nama pemilik, atau
55 Ekse. T. Sulistini dan Fudy T. Ervan, Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-
perkara Perdata, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm. 155 56 Soebekti, Op. Cit., hlm. 21 57 Soebekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1978, hlm. 79
42
dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan, dalam mana kebendaan itu berada.”58
Penyerahan tak perlu dilakukan, apabila kebendaan yang
harus diserahkan dengan alasan telah dikuasai oleh orang yang hendak
menerimanya.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa apabila
yang barang-barang yang berada dalam suatu gudang, maka ada
kemungkinan menyerahkan kunci saja, karena hal tersebut merupakan
suatu penyerahan kekuasaan secara simbolis, sedang apabila barang
sudah berada dalam kekuasaan di pembeli penyerahan cukup
dilakukan dengan pernyataan saja.
b. Barang tak bergerak
Untuk barang tak bergerak dilakukan dengan penyerahan
nyata yang disertai dengan penyerahan yuridis.59
Misalnya penjualan rumah atau tanah penjual menyerahkan
kepada pembeli, baik secara nyata maupun secara yuridis, perbuatan
tersebut dinamakan balik nama yang dilakukan dimuka pegawai
kadaster, yang juga dinamakan pegawai balik nama atau pegawai
penyimpan hipotik.60 Hal ini sesuai dengan Pasal 616 jo Pasal 620,
yang berbunyi:
Pasal 616 : “Penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang
58 Soebekti dan R. Tjitrosudibio, Op. Cit, hlm. 179 59 M. Yahya Harahap, Loc. Cit 60 Soebekti, Op. Cit, hlm. 9
43
bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam pasal
620”.61 Pasal 620 : “Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan termuat
dalam tiga pasal yang lalu, pengumuman termaksud di atas dengan memindahkan sebuah salinan otentik yang atau keputusan yang bersangkutan ke kantor penyimpan hipotek, yang mana dalam lingkungannya barang-barang tak bergerak yang harus diserahkan berada, dan dengan
membukukannya dalam register”.62
Bersama dengan pemindahan tersebut, pihak yang
berkepentingan harus menyampaikan juga kepada penyimpan hipotik
sebuah salinan otentik yang kedua atau sebuah petikan dari akta atau
keputusan tersebut, agar penyimpan mencatat di dalamnya hari
pemindahan beserta bagian dan dari register bersangkutan.63
c. Barang tak bertubuh
Penyerahan dilakukan dengan pembuatan sebuah akte yang
dinamakan cessie.64 Sebagaimana diatur dalam Pasal 613 KUH
Perdata yang berbunyi:
“Penyerahan akan hutang piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya dilakukan dengan membuat sebuah akta otentik atau dibawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Penyerahan yang demikian bagi si berhutang tiada akibatnya melainkan setelah penyerahan yang demikian itu diberitahukan kepadanya secara tertulis, disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan
surat disertai dengan endosemen”.65
61 Soebekti dan R. Tjitrosudibio, Op. Cit 62 Ibid, hlm. 180 63 Soebekti, Op. Cit, hlm. 10 64 Ibid 65 Soebekti dan R. Tjitrosudibio, Op. Cit
44
C. Kedewasaan menurut KUH Perdata
Apabila kita berbicara tentang jual beli, tidak akan lepas dari pelaku
jual beli. Pelaku jual beli adalah setiap orang yang dapat menggunakan atau
telah dapat melakukan kecakapan dalam jual beli.
Manusia pribadi (naturlijk persson) menurut hukum mempunyai hak
dan kewajiban sejak dalam kandungan (Ps. 2 KUH Perdata), akan tetapi
manusia tidak selalu cakap dalam hukum. Untuk mengetahui siapakah orang-
orang yang cakap/tidak bertindak, harus dilihat dalam ketentuan undang-
undang.
Ada sementara orang yang digolongkan tidak cakap untuk melakukan
tindakan hukum (handeling sbekwaam) yakni seperti yang dicantumkan dalam
pasal 1330 KUH Perdata:
1. Orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
3. Orang-orang perempuan yang sudah berkeluarga66
Menurut kitab Undang-undang Hukum Pidana orang yang belum
dewasa adalah orang yang umurnya belum genap enam tahun (Ps 45
KUHP).67
Sedangkan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, seorang yang dewasa adalah orang yang sudah berusia 21 tahun,
tetapi untuk melakukan pernikahan seorang laki-laki yang belum berusia 19
66 Komariah, Hukum Perdata, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press,
2003, hlm. 24 67 Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. ke 19,
1996, hlm. 22
45
tahun harus ada ijin dari Pengadilan. Dan apabila ia sudah berusia 19 tahun
maka harus mendapatkan ijin dari pihak wali atau orang tua.
Sedangkan menurut kompilasi Hukum Islam seorang yang akan
melangsungkan pernikahan harus sudah berusia 19 tahun untuk laki-laki dan
16 tahun untuk perempuan karena apabila belum mencapai umur 21 tahun
harus mendapat izin dari kedua orang tua68
Orang yang belum dewasa (minderjarigz) adalah mereka yang belum
mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah
kawin (Ps 330 KUH Perdata). Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum
umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi
dalam kedudukan belum dewasa (Ps 330 ayat 2 KUH Perdata).69 Orang-orang
yang belum dewasa apabila memenuhi syarat-syarat tertentu dapat memohon
kedewasaan agar mereka dapat melakukan tindakan hukum.
Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan adalah orang dewasa
yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap,
meskipun kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya dan pemboros
(Ps. 433 KUH Perdata). Apabila akan menggunakan kewenangan hukumnya,
maka bagi orang-orang yang belum dewasa diwakili oleh orang tuanya atau
walinya, bagi orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan harus diwakili
oleh pengampu atau curatornya, dan bagi perempuan yang sudah kawin
68 Ibid, hlm 138 69 Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradya
Paramita, 1999, hlm. 90
46
diwakili oleh suaminya.70 Namun dengan berlakunya UU Perkawinan No 1
tahun 1974, maka orang perempuan yang sudah berkeluarga tidak cakap
dalam bertindak Hukum tidak berlaku lagi. Karena menurut UU No 1 tahun
1974 masing-masing pihak (suami istri) berhak melakukan perbuatan Hukum
(Ps 31 ayat 2 UU No 1 th 1974)
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang telah
bertindak dalam hukum/cakap bertindak dalam hukum (handelingson
bekwaam) apabila sudah dewasa dan tidak ditaruh dibawah pengampuan,
sedangkan kedewasaan (meerderjarige) dapat dicapai dengan telah genap
berumur 21 tahun, karena perkawinan dan karena pendewasaa atau
handelichting.71
Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Perjanjian melahirkan
perikatan yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam
perjanjian. Perjanjian akan melahirkan kewajiban atau prestasi dari salah satu
atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya.72 Hal ini
sesuai dengan Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi:
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam jual beli
sekalipun seseorang harus dinyatakan sudah dewasa menurut Hukum, karena
kedewasaan adalah syarat subyektif dari adanya perjanjian. Dan dalam hal ini
70 Komariah, Op. Cit, hlm. 24 71 Komariah, Ibid 72 Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian,
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 127
47
ada dua syarat subyektif yaitu adanya unsure kesepakatan secara bebas dari
para pihak yang berjanji dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan
perjanjian
D. Jual Beli yang Dilakukan Anak
Seorang anak lahir kedua ini, dan ia membutuhkan orang lain yang
akan memeliharanya, baik dirinya sendiri, harta benda, maupun hak miliknya.
Demikian juga, ia membutuhkan orang lain yang akan menjaga dan
memeliharanya, mendidik, mengajari, melaksanakan bermacam-macam
urusan yang berhubungan dengan jasmaniyahnya, pembentukan
kepribadiannya, juga membutuhkan orang yang akan mengawasi urusan hak
miliknya agar supaya dipelihara dan dikembangkan.
Meskipun batas usia dewasa 21 tahun merupakan tonggak dicapainya
kebebasan dan wewenang seseorang untuk bertindak dalam hukum, namun
Undang-Undang masih menetapkan juga bilangan-bilangan umur yang lebih
rendah dari 21 tahun memungkinkan kepada orang-orang tersebut untuk
bertindak sendiri dan menjalankan hak-hak istimewa yang ditetapkan oleh
Undang-Undang, misalnya:
1. Untuk melangsungkan pernikahan untuk wanita harus berumur 15 tahun
dan untuk laki-laki 18 tahun (Ps. 29 KUH Perdata), sedangkan menurut
UU No. 1 tahun 1974 wanita harus berumur 16 tahun dan untuk laki-laki
19 tahun.
2. Seseorang dalam membuat suatu wasiat atau testamen harus sudah
mencapai umur 18 tahun atau sudah dewasa (Ps. 897 KUH Perdata).
48
3. Untuk memberikan kesaksian seseorang sudah harus berumur 15 tahun
(Ps. 1912 KUH Perdata).73
4. Untuk pengakuan oleh seorang bapak terhadap anak-anak di luar
perkawinan, umur 19 tahun (Ps 282 KUH Perdata).
Selain hak-hak istimewa di atas undang-undang masih memberikan
suatu perlunakan yakni pendewasaan. Pendewasaan merupakan suatu cara di
mana seseorang yang dianggap belum dewasa diberi wewenang untuk
bertindak dalam Hukum seolah-olah dia sudah dewasa atau dengan kata lain
pendewasaan adalah suatu upaya Hukum yang dicapai untuk meniadakan
keadaan belum dewasa baik untuk keseluruhan maupun tertentu.
Jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan
kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu yang di dalam hal ini
terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan
penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual.
Perjanjian tersebut menerbitkan perikatan, oleh karena itu perjanjian
merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Melalui rumusan
pasal 1446 yang menyatakan bahwa semua perikatan yang dibuat oleh anak-
anak yang belum dewasa dapat dinyatakan batal. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa selama dan sepanjang ketidakcakapan tersebut tidak dikuatkan, maka
perjanjian yang dibuat oleh mereka yang dibuat oleh mereka yang tidak cakap
tersebut tidak memiliki schuld (ketetapan Hukum) sama sekali.
73 Komariah, Ibid
49
Dalam Undang-Undang tidak dinyatakan secara tegas tentang jual
beli oleh anak, namun apabila dilihat dari beberapa uraian di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa jual beli yang dilakukan anak selama dia belum
berusia 21 tahun tidak diperbolehkan, karena pada masa itu ia dianggap belum
cakap untuk melakukan perbuatan Hukum, keadaan ini berlaku untuk semua
jenis jual beli, namun orang yang belum dewasa tersebut apabila secara
Hukum telah memperoleh handlichting, maka ia dapat melakukan jual beli
atas barang-barang tertentu.