Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB

21
1 Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB: Kompromi Strategis Kepentingan dan Peran Aktor dalam Manajemen Program KB Nasional menurut Perspektif New Public Ser vice 1  Oleh Asep Sopari 2  Latar belakang Setidaknya ada empat isu strategis global dan nasional yang menjadi perhatian  pemerintah dalam mengelola urusan publik. Keempatnya akan dan sedang diinisiasi bahkan sudah mulai dilaksanakan untuk menjadi bagian integral atau paling tidak mewarnai setiap  pembuatan dan proses kebijakan yang menyangkut urusan publik. Keempat isu stragis tersebut dalam analisis kebijakan menurut perspektif Walt dan Gilson (2005, dalam Darwin, 2010) merupakan konteks (context ), yaitu kondisi strategis faktual--baik lokal maupun internasional--yang dapat dijadikan acuan bertindak oleh setiap aktor yang memiliki kepentingan terhadap suatu masalahan/isu publik sehingga memutuskan untuk terlibat dalam  pembuatan dan proses kebijakan. Keempat isu strategis tersebut adalah: (1) demokrasi/hak asasi manusia (HAM), (2) desentralisasi, (3) transisi demografis dan pengentasan kemiskinan, dan (4) kerusakan lingkungan/pembangunan berkelanjutan. Keempat isu strategis tersebut harus direspons sebagai bagian dari responsiveness (daya tanggap) pengelola program KB Nasional atas perubahan lingkungan strategis dalam mengelola urusan publik yang berhubungan dengan program KB. Dua dari keempat isu strategis tersebut (demokrasi/HAM dan desentralisasi) dalam pengelolaan program KB merupakan prasyarat yang harus ada dan terimplementasikan dalam setiap aspek manajemen  program KB Nasional. Sedangkan dua isu strategis yang lainnya (transisi demografis dan  pengentasan kemiskinan serta kerusakan lingkungan/pembangun an berkelanjutan) merupakan dampak dan kontrsibusi yang dapat disumbangkan atas pelaksanaan program KB yang sudah mengadopsi dan melaksanakan dua isu strategis sebelumnya. Untuk dapat mengadopsi dan melaksanakan dua isu strategis tersebut maka perlu dilakukan perubahan dalam manajemen program KB Nasional. Salah satu manajemen urusan  publik yang sudah mengadopsi isu demokrasi/HAM serta terbuka dan prospektif untuk dilakukan dalam era desentralisasi adalah New Public Service (NPS). Prinsip mendasar yang menjadi pondasi NPS adalah demokratic-citizenship (Denhardt & Denhardt, 2003). Aplikasi 1  Tulisan ini adalah makalah tugas akhir mata kuliah Manajeme n Publik pada Magister Studi Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2  Staf pada Badan Kependudukan dan Keluar ga Berencana Nasional (BKKBN).  

Transcript of Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB

5/6/2018 Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/mendefinisikan-ulang-target-group-program-kb 1/21

Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB:

Kompromi Strategis Kepentingan dan Peran Aktor dalam Manajemen

Program KB Nasional menurut Perspektif  New Public Service1 

Oleh Asep Sopari2 

Latar belakang

Setidaknya ada empat isu strategis global dan nasional yang menjadi perhatian

pemerintah dalam mengelola urusan publik. Keempatnya akan dan sedang diinisiasi bahkan

sudah mulai dilaksanakan untuk menjadi bagian integral atau paling tidak mewarnai setiap

pembuatan dan proses kebijakan yang menyangkut urusan publik. Keempat isu stragis

tersebut dalam analisis kebijakan menurut perspektif Walt dan Gilson (2005, dalam Darwin,

2010) merupakan konteks (context ), yaitu kondisi strategis faktual--baik lokal maupun

internasional--yang dapat dijadikan acuan bertindak oleh setiap aktor yang memiliki

kepentingan terhadap suatu masalahan/isu publik sehingga memutuskan untuk terlibat dalam

pembuatan dan proses kebijakan. Keempat isu strategis tersebut adalah: (1) demokrasi/hak 

asasi manusia (HAM), (2) desentralisasi, (3) transisi demografis dan pengentasan

kemiskinan, dan (4) kerusakan lingkungan/pembangunan berkelanjutan.

Keempat isu strategis tersebut harus direspons sebagai bagian dari responsiveness (daya

tanggap) pengelola program KB Nasional atas perubahan lingkungan strategis dalam

mengelola urusan publik yang berhubungan dengan program KB. Dua dari keempat isu

strategis tersebut (demokrasi/HAM dan desentralisasi) dalam pengelolaan program KB

merupakan prasyarat yang harus ada dan terimplementasikan dalam setiap aspek manajemen

program KB Nasional. Sedangkan dua isu strategis yang lainnya (transisi demografis dan

pengentasan kemiskinan serta kerusakan lingkungan/pembangunan berkelanjutan) merupakan

dampak dan kontrsibusi yang dapat disumbangkan atas pelaksanaan program KB yang sudah

mengadopsi dan melaksanakan dua isu strategis sebelumnya.

Untuk dapat mengadopsi dan melaksanakan dua isu strategis tersebut maka perlu

dilakukan perubahan dalam manajemen program KB Nasional. Salah satu manajemen urusan

publik yang sudah mengadopsi isu demokrasi/HAM serta terbuka dan prospektif untuk 

dilakukan dalam era desentralisasi adalah New Public Service (NPS). Prinsip mendasar yang

menjadi pondasi NPS adalah demokratic-citizenship (Denhardt & Denhardt, 2003). Aplikasi

1 Tulisan ini adalah makalah tugas akhir mata kuliah Manajemen Publik pada Magister Studi Kebijakan,Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

2 Staf pada Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). 

5/6/2018 Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/mendefinisikan-ulang-target-group-program-kb 2/21

prinsip tersebut tercermin dalam dua hal. Pertama, NPS memandang publik (pihak yang

dilayani) sebagai citizen (warga negara) dengan segala hak dan kewajibannya. Kedua,

sebagai implementasi dari demokrasi, NPS membuka ruang bagi citizen dan elemen

masyarakat lain (termasuk civil society dan privat sector ) yang memiliki kepentingan dengan

urusan publik untuk berpartisipasi dalam mengelola urusan tersebut sejak proses

perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Motif utama NPS dalam manajemen urusan publik 

adalah kualitas pelayanan sebagaimana yang diinginkan publik (yang mengetahui persis

masalah yang menyangkut kepentingan publik adalah publik itu sendiri). Mekanisme yang

inklusif dan partisipatoris tersebut salah satunya dapat dilakukan dengan melakukan

desentralisasi kepada unit-unit pemerintahan yang lebih kecil dalam lingkup daerah (Norton,

1994, dalam Muluk, 2008). 

Dengan demikian, konsekuensi logis dari implementasi manajemen New Public Service 

untuk mengadopsi isu strategis demokrasi/HAM serta desentralisasi dalam program KB

Nasional yang paling mendasar adalah dengan mendefinisikan ulang kelompok sasaran

(target group) program KB dari hanya pasangan usia subur (PUS) menjadi semua warga

negara. Hal ini tentu berdampak pada semakin luas dan banyaknya cakupan target group 

yang menjadi sasaran program dan berimplikasi pada luasnya bidang garapan dan beban

anggaran. Untuk itu diperlukan pembahasan tentang urgensi program KB dalam mendukung

upaya global dan nasional dalam hal mengentaskan kemiskinan dan meminimalisir dampak 

ledakan penduduk terhadap kerusakan lingkungan. Upaya tersebut dilakukan untuk menarik 

interest  berbagai pihak terhadap program KB sehingga mau terlibat di dalamnya dengan

berbagai kepentingan yang menjadi motivasinya. Langkah selanjutnya adalah

mengkompromikan berbagai kepentingan tersebut dalam pembuatan dan proses kebijakan

program KB.

Urgensi Redefinisi Target Group sebagai Respons atas Demokrasi dan HAM terhadap

Pelaksanaan Program KB

Setelah pelaksanaan Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD)

di Kairo tahun 1994, yang diselenggarakan untuk meninjau ulang kebijakan kependudukan

dalam kaitannya dengan pembangunan yang diselaraskan dengan gelombang arus global

demokrasi dan hak asasi manusia, arah dan kebijakan program KB mengalami perubahan

paradigma dari yang semula menekankan pada pengendalian penduduk (  population control)

menjadi pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual. Perubahan ini

berpengaruh pada pelaksanaan program KB dari yang semula terfokus pada pencapaian target

5/6/2018 Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/mendefinisikan-ulang-target-group-program-kb 3/21

demografis (peningkatan partisipasi masyarakat dalam ber-KB untuk meningkatkan CPR dan

menurunkan unmet need dalam upaya menurunkan TFR) menjadi lebih ke perluasan akses

masyarakat terhadap KB dan peningkatan kualitas pelayanan dengan memperhatikan aspek 

Hak Asasi Manusia.

Salah satu hak individu yang diakui dalam dokumen HAM adalah hak atas kesehatan

reproduksi. Yang termasuk dalam hak kesehatan reprduksi adalah hak atas kontrasepsi

sebagai rasionalisasi dari hak atas hamil atau tidak hamil (termasuk dalam paya pengaturan

kehamilan), hak seksualitas, hak terbebas dari PMS dan HIV serta AIDS, dan hak hidup

(terbebas dari kematian yang disebabkan oleh aborsi tidak aman karena kehamilan tidak 

diinginkan sebagai konsekuensi logis dari tidak adanya akses terhadap kontarasepsi). Dalam

Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan sudah disebutkan bahwa

kontrasepsi merupakan aspek kesehatan reproduksi sebagai bagian dari upaya pengaturan

kehamilan dan kesehatan seksual (pencegahan penularan IMS melalui hubungan seksual).

Sehubungan dengan perubahan tersebut, ada beberapa aspek yang secara konseptual

harus dilaksanakan dalam operasionalisasi program KB sebagai implementasi diadopsinya

demokrasi dan HAM kedalam program KB, yaitu redefinisi target group sebagai

implementasi atas pengakuan hak individu, terutama hak atas kesehatan reproduksi dan

seksual. Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan

Pembangunan Keluarga menyebutkan kontrasepsi sebagai bagian dari keluarga berencana.

Penggunaan istilah “keluarga berencana (KB)” berarti hanya diperuntukkan bagi pasangan

usia subur (PUS) sebagai target group program KB karena Keluarga Berencana adalah upaya

mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui

promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan

keluarga yang berkualitas. Dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (bagian ketujuh

mengenai keluarga berencana, pasal 78 ayat [1]) disebutkan bahwa “Pelayanan kesehatan

dalam keluarga berencana dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan bagi pasangan usia

subur untuk membentuk generasi penerus yang sehat dan cerdas”. Artinya, dalam

kebijakannya, negara masih memandang kontrasepsi (hanya) sebagai kebutuhan individu

(laki-laki dan perempuan) yang sudah terikat perkawinan (pasangan yang sah). Dengan tidak 

diakomodirnya (secara eksplisit) individu selain pasangan yang sah dalam kebijakan,

meskipun dalam kenyataannya kepada mereka disediakan fasilitas untuk mengakses, secara

hukum dapat dikatakan bahwa negara tidak melindungi dan menjamin akses mereka terhadap

kontrasepsi.

5/6/2018 Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/mendefinisikan-ulang-target-group-program-kb 4/21

Jika tetap pada target group pasangan usia subur (PUS), yaitu laki-laki dan perempuan

usia reproduksi (15-49) tahun dan sudah menikah atau usia kurang dari 15 tahun tetapi sudah

menikah, dengan sendirinya program KB telah mengabaikan hak penduduk lain yang tidak 

termasuk dalam kategori PUS seperti remaja dan penduduk usia reproduksi tetapi belum

menikah untuk mengakses produk program KB, yaitu obat dan alat kontrasepsi (komoditi

berupa barang) dan pelayanan kontrasepsi, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, dan

konseling kesehatan reproduksi (komoditi berupa jasa) (Soesilo, 1996, dalam Dwiyanto dan

Darwin, 1996, dan dalam Juliantoro, 2000). Padahal ketiadaan akses remaja terhadap

kontrasepsi, misalnya, menjadi penyebab kehamilan tidak diinginkan (unwanted pregnancy)

yang 25 persen dari kasus tersebut diakhiri dengan aborsi tidak aman (unsafe abortion) yang

berpotensi menimbulkan kematian.

Data menunjukkan bahwa sebanyak 30 persen dari 213.375.287 jiwa (BPS, SUPAS

2005) penduduk Indonesia adalah remaja, yaitu penduduk yang berusia antara 12-24 tahun

dan belum menikah (berdasarkan kriteria WHO). Dari sumber data yang sama juga diketahui

bahwa laki-laki usia reproduktif 3

mencapai 59.022.964 (55 persen dari total penduduk pria),

sementara perempuan usia reproduktif berjumlah

59.646.078 jiwa atau 56 persen dari total penduduk 

wanita (BPS, SUPAS 2005). Dari total laki-laki

usia reproduktif tersebut, hanya 59 persen yang

berstatus kawin, dan perempuan yang kawin

sebanyak 67 persen dari total perempuan usia

reproduktif (Gambar 1dan 2). Dengan demikian,

  jika pemerintah tetap menjadikan PUS yang

menjadi target group kontrasepsi, pemerintah

dengan sengaja mengabaikan hak-hak reproduksi

24.227.453 laki-laki dan 19.649.669 wanita usia

reproduktif yang tidak/belum kawin, terutama

dalam mengakses alat/obat/cara kontrasepsi berikut

komoditi jasanya.

Jika total perempuan usia reproduktif yang

menggunakan alat/obat/cara kontrasepsi sebanyak 61,4 persen dari 59.646.078 jiwa (BPS,

SDKI 2007), berarti terdapat 38,6 persen wanita usia reproduktif yang tidak menggunakan

3  Meskipun dalam beberapat literatur disebutkan tidak ada batasan usia laki-laki reproduktif bagi laki-laki.

Dengan rasionalisasi, laki-laki mampu menghasilkan sperma sepanjang hidupnya. 

kawin

67%

belum/tidak 

kawin

33%

Gambar 4Perempuan Usia Reproduktif Berdasarkan Status

Perkawinan (dari total 59.68.078 jiwa atau 56 persen daritotal penduduk perempuan)

sumber: BPS, SUPAS 2005

Kawin

59%

belum/tidak kawin

41%

Gambar 3Laki-laki Usia Reproduktif Berdasarkan Status

Perkawinan (dari total 59.022.964 jiwa atau 55 persen daritotal penduduk pria)

sumber: BPS, SUPAS 2005

5/6/2018 Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/mendefinisikan-ulang-target-group-program-kb 5/21

kontrasepsi, dengan sebaran 40 persen di pedesaan dan 37 persen di perkotaan (BKKBN,

dalam Marlina 2008). Sedangkan di antara 59.022.964 laki-laki yang termasuk usia

reproduktif dan berstatus menikah hanya sebagian kecil saja yang dapat mengakses

alat/obat/cara kontrasepsi, yaitu hanya 1,5 persen (SDKI 2007). Artinya, jumlah laki-laki

yang tidak terlayani kontrasepsi jauh lebih banyak. Padahal, data dunia menunjukkan bahwa

85 dari 100 wanita yang aktif secara seksual (catatan: tidak harus terlebih dahulu melalui

perkawinan atau dengan pasangan yang sah) dan tidak menggunakan metode kontrasepsi

apapun, berpotensi hamil dalam waktu satu tahun (Sjarief, dalam Marlina, 2009). Sumber lain

menyebutkan sebanyak 56,5 persen akan hamil pada satu bulan pertama dan 78,9 persen akan

hamil pada enam bulan pertama (Alit, dalam Anshor, 2009). Jika 38,6 persen dari 59.646.078

  jiwa perempuan usia reproduktif yang tidak menggunakan kontrasepsi dan ia aktif secara

seksual dengan tidak menggunakan alat kontrasepsi, sudah dapat dibayangkan jumlah

kehamilan dan kelahiran yang akan terjadi.

Dengan demikian, secara demografis, implikasi dari kebijakan tidak diakomodirnya

akses remaja dan penduduk usia reproduktif lain selain PUS terhadap kontrasepsi karena

tidak dimasukkan sebagai target group program KB akan menyebabkan penambahan jumlah

penduduk. Hal tersebut menjadi kontraproduktif dengan arah dan kebijakan program KB,

terutama dalam upaya mengontrol kelahiran (birth control). Selain itu, kontraproduktif juga

dengan sasan pembangunan millenium (menurunkan AKI). Sebab, jika status kehamilan

tersebut tidak dikehendaki (unwanted pregnancy), terutama pada remaja yang masih

bersekolah atau penduduk usia reproduktif lain yang dalam status bekerja/berkarier, akan

lebih membahayakan karena lebih dari 25 persen di antaranya memilih melakukan aborsi. Di

pihak lain, “pelarangan” aborsi (sebagaimana terdapat dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang

Kesehatan pasal 75) berdampak pada banyaknya kasus aborsi tidak aman (unsafe abortion)

yang mengakibatkan kematian. Data WHO menyebutkan, 15-50 persen kematian ibu

‘maternal mortality rate /MMR’ disebabkan oleh pengguguran kandungan yang tidak aman.

Dari 20 juta pengguguran kandungan tidak aman yang dilakukan tiap tahun, ditemukan

70.000 perempuan meninggal dunia. Artinya 1 dari 8 ibu meninggal akibat aborsi yang tidak 

aman.

Bagi remaja, tidak dimasukkannya mereka kedalam target program KB lebih

mengkhawatirkan lagi, terutama yang dipicu oleh pengabaian hak mereka atas informasi

kesehatan reproduksi dan akses terhadap kontrasepsi. Data SDKI 2007 menunjukkan, hanya

17,1 persen remaja perempuan dan 10,4 persen remaja laki-laki yang mengetahui secara

benar tentang masa subur dan risiko kehamilan. Data tersebut juga menunjukkan remaja

5/6/2018 Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/mendefinisikan-ulang-target-group-program-kb 6/21

perempuan dan laki-laki usia 15– 24 tahun yang mengetahui kemungkinan hamil dengan

hanya sekali berhubungan seks masing-masing berjumlah 55,2 persen (perempuan) dan 52

persen (laki-laki). Hal ini yang kemudian menyebabkan remaja terjerumus pada masalah-

masalah seks yang berisiko seperti hubungan seks pra-nikah dan berganti-ganti pasangan

yang dilakukan tanpa menggunakan kontrasepsi. Fakta menunjukkan banyak remaja yang

telah terinfeksi penyakit menular seksual, kehamilan dini, serta kehamilan yang tidak 

diinginkan yang berujung aborsi tidak aman (unsafe abortion). Data yang dilansir BKKBN

(dalam www.bkkbn.go.id) tahun 2006, sebanyak 15 persen remaja sudah melakukan

hubungan seks di luar nikah, sebanyak 46,19 persen dari jumlah penderita HIV/AIDS tahun

2005 adalah remaja (usia 15-29 tahun) dimana 43,5 persen terinfeksi melalui hubungan seks

yang tidak aman dan 50 persen tertular lewat jarum suntik.

Lebih jauh lagi, hampir semua indikator kesehatan tersebut—yang keberhasilannya

dipengaruhi oleh kinerja pelaksanaan program KB melalui produk barang dan jasanya—

masuk dalam indikator pencapaian MDGs (  Millenium Development Goals) yang harus

dicapai pada tahun 2015.

Peluang Desentralisasi dan Adopsi New Public Service dalam Manajemen Program KB

Desentralisasi merupakan proses transfer otoritas dan kewenangan perencanaan,

manajemen, dan pengambilan keputusan dari pengendali organisasi di tingkat atas kepada

tingkat yang ada di bawahnya (Saltman, dalam Wilopo, 2007). Pentingnya pelaksanaan

desentralisasi program KB selain sebagai manifestasi responsibilitas/daya tanggap atas

perubahan lingkungan strategis (arus demokratisasi dan HAM serta delegasi kewenangan

pemerintahan dalam beberapa bidang), juga sangat penting dalam rangka: (1) mendekatkan

pelayanan publik kepada pengguna layanan publik, yaitu warga negara sehingga

memungkinkan terjadinya peningkatan kualitas pelayanan program KB yang bukan hanya

sesuai dengan prosedur medis dan operasional lainnya tetapi juga kualitas pelayanan

sebagaimana yang dikehendaki publik melalui penciptaan mekanisme dialog/interaksi antara

 public servant dengan citizen; (2) memeratakan (distribusi) pelayanan program KB sehingga

dapat memperkecil kesenjangan akses publik yang berada di daerah tertentu dengan daerah

lainnya; (3) memungkinkan diakomodirnya strategi dan cara-cara tetentu dalam

operasionalisasi program KB, terutama penggerakkan dalam upaya menciptakan demand  

terhadap program KB, yang disesuaikan dengan kondisi kesejarahan, kultur, dan geografis

setempat; (4) memungkinkan penyelenggaraan program KB yang inklusif dan melibatkan

banyak aktor (sektor) sehingga lebih prospektif dalam pencapaian sasaran bersama serta

5/6/2018 Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/mendefinisikan-ulang-target-group-program-kb 7/21

menjadi terintegrasinya program KB dengan program pembangunan lainnya di daerah; (5)

efisiensi dalam pendanaan karena operasionalisasi program disesuaikan dengan kebutuhan

dan kondisi lokal (bottom-up); (6) memperpendek alur birokrasi sehingga mudah dan cepat

dalam pengambilan keputusan dan mempermudah dalam manajemen supervisi dan informasi.

Desentralisasi program KB sebenarnya telah dimulai sejak dikeluarkannya Keputusan

Presiden No. 103 tahun 2001 yang menyatakan bahwa kewenangan di bidang keluarga

berencana diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Hal tersebut dilakukan sebagai

implementasi desentralisasi dan manifestasi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

ketika itu (yang kemudian diperbaharui menjadi UU No. 32 tahun 2004). Undang-undang

tersebut memberikan kewenangan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk menentukan

program-program pembangunan yang diperlukan daerah sesuai dengan kebutuhan, aspirasi,

kemampuan, maupun sumberdaya yang tersedia. Namun permasalahan yang berkembang

dalam pelaksanaan program KB pada era desentralisasi adalah menurunnya kapasitas

kelembagaan Program KB karena melemahnya komitmen politis dan komitmen operasional

di tingkat kabupaten/kota karena KB bukan merupakan urusan wajib di daerah sehingga

bentuk institusi yang menangani KB di kabupaten/kota sangat beragam, jumlah institusi KB

di tingkat lini lapangan berkurang, dan jumlah serta kualitas tenaga pengelola dan pelaksana

program KB di tingkat lapangan menurun karena banyak yang dimutasi dan pensiun, serta

dukungan sarana, prasarana, dan anggaran yang kurang memadai.

Walaupun kebijakan tersebut diperbarui melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 tahun

2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan

Pemerintahan Kabupaten/Kota dan PP No. 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat

Daerah dimana KB sudah menjadi urusan wajib dan kelembagaannya menjadi satu rumpun

dengan urusan Pemberdayaan Perempuan, pada kenyataannya kapasitas kelembagaan KB di

kabupaten/kota belum optimal. Sampai dengan akhir Juni 2009, sekitar 81,95 persen

kelembagaan KB di kabupaten/kota berbentuk badan, 16,08 persen berbentuk kantor, dan

1,96 persen berbentuk dinas. Sedangkan jika dilihat dari utuh/mergernya, sekitar 90,87 persen

bergabung (merger) dengan 1 atau 2 bidang lain dan hanya 9,13 persen yang utuh menangani

Program KB. Beberapa kabupaten/kota bahkan tidak memiliki institusi untuk melaksanakan

program KB. Data lain menunjukkan hingga saat ini hanya 29,8 persen kabupaten/kota yang

mempunyai lembaga khusus yang menangani program KB, selebihnya (70,2 persen) tidak 

memiliki lembaga khusus, melainkan merger/gabung dengan program lainnya (BKKBN,

2009). 

5/6/2018 Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/mendefinisikan-ulang-target-group-program-kb 8/21

Banyak pihak, terutama dari kalangan internal pengelola dan pelaksana program KB,

melakukan analisis bahwa “kemunduran” tersebut karena lemahnya komitmen politis

pemerintah daerah yang disebabkan oleh motivasi politisnya dalam melakukan desentralisasi

yang lebih menekankan pada ekonomi penganggaran sehingga lebih fokus pada peningkatan

PAD (Wilopo, 2010; Syarief, 2010; Sulistyo, 2009; BKKBN, UNFPA, UNICEF, AusAID,

2009). Program KB, menurut analisis tersebut, karena merupakan bagian dari program

pembangunan manusia serta dampaknya jangka panjang menjadi kurang diminati karena

hanya akan menguras APBD tanpa ada kontribusi pada peningkatan PAD. Padahal, menurut

hemat penulis, ada penyebab lain yang sepertinya akan bijak apabila diperhitungkan, yaitu

karena desentralisasi program KB kurang diikuti dengan perubahan dalam manajemen

program. Sebagian besar konsep dan praktik pengelolaan program KB masih menggunakan

manajemen administrasi publik lama, dan hanya sebagian kecil yang sudah mengadopsi  New

Public Management  (NPM). Meskipun untuk yang NPM ini juga masih pada tataran

konseptual.

Salah satu wujud dari masih digunakannya pola manajemen lama adalah dalam

mendefinisikan target group yang masih pada PUS dan masih berlakunya sistem target

pencapaian indikator program seperti peningkatan jumlah akseptor baru, penurunan unmet 

need , penurunan TFR, dll. Pola manajemen tersebut jelas masih menggunakan pola lama

karena indikator keberhasilan program ditentukan sepihak oleh pelaksana program (tidak 

terlebih dulu menggali kebutuhan warga negara atau paling tidak mengkompromikan target

capaian tersebut dengan kepentingan publik yang akan dilayani) dan masih memandang

warga negara sebagai obyek (sasaran program) yang pasif, padahal desentralisasi menuntut

adanya partisipasi masyarakat yang bukan hanya berupa keikutsertaan menjadi akseptor

melainkan terlibat dalam menentukan jumlah dan jenis kontrasepsi yang harus disediakan,

menentukan jenis dan mekanisme pelayanan yang dibutuhkan, terlibat dalam melakukan

sosialisasi dan advokasi (penggerakkan) kepada masyarakat lain yang belum/tidak ikut KB,

serta ikut melakukan pengawasan terhadap distribusi kontrasepsi dan kualitas pelayanan yang

diberikan.

Untuk dapat bangkit dari kemunduran, hal yang harus dilakukan adalah mengubah

manajemen program KB lama dengan manajemen baru yang lebih sesuai dengan pelaksanaan

desentralisasi program KB yang sudah berjalan hampir sepuluh tahun ini. Salah satu

manajemen publik yang sudah mengadopsi isu demokrasi dan hak asasi manusia serta

terbuka dan prospektif untuk dilakukan dalam era desentralisasi adalah  New Public Service

(NPS). Prinsip mendasar yang menjadi pondasi NPS adalah demokratic-citizenship (Denhardt

5/6/2018 Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/mendefinisikan-ulang-target-group-program-kb 9/21

& Denhardt, 2003). Aplikasi prinsip tersebut tercermin dalam dua hal. Pertama, New Public

Service memandang publik (pihak yang dilayani) sebagai citizen (warga negara) dengan

segala hak dan kewajibannya. Kedua, sebagai implementasi dari demokrasi,   New Public

Service membuka ruang bagi citizen dan elemen masyarakat lain (termasuk civil society dan

  privat sector ) yang memiliki kepentingan dengan urusan publik untuk berpartisipasi dalam

mengelola urusan tersebut sejak proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Karena motif 

utama manajemen NPS dalam melakukan manajemen urusan publik adalah kualitas

pelayanan sebagaimana yang diinginkan publik maka logika yang dipakai adalah bahwa yang

mengetahui persis masalah yang menyangkut kepentingan publik adalah publik itu sendiri.

Secara ringkas, manajemen publik perspektif   NPS dapat dilihat dari beberapa prinsip

berikut ini (Denhardt & Denhardt, 2000; Denhardt & Denhardt, 2003; Muluk, 2008).

Pertama adalah serve citizens, not customers. NPS memandang publik yang akan dilayani

sebagai warga negara dengan segenap hak dan kewajibannya, bukan sebagai pelanggan.

Karena publik yang akan dilayani adalah publik sebagai representasi dari warga negara yang

banyak (bukan individu), berimplikasi pada cara   public servant memaknai pelayanannya

yang tidak semata-mata merespons tuntutan pelanggan tetapi justeru memusatkan perhatian

untuk membangun kepercayaan dan kolaborasi dengan dan di antara warga negara. Kedua,

seek the public interest . Dalam melakukan pelayanan publik,   public servant harus berusaha

memberikan pelayanan sebagaimana yang dibutuhkan publik sesuai dengan kepentingannya.

Untuk itu   public servant terlebih dahulu harus mengetahui kebutuhan/kepentingan publik 

melalui mekanisme dialog. Dengan demikian, kebutuhan/kepentingan publik adalah

konsensus antara dirinya dengan publik sehingga kebutuhan/kepentingan publik menjadi

kebutuhan/ kepentingan dan tanggungjawab bersama. Ketiga, value citizenship over 

entrepreneurship. Dalam melakukan pelayanan publik,   public servant harus mengedepankan

nilai-nilai kewarganegaraan (memaknai dan memahami dirinya dan publik yang dilayani

sebagai warga negara). Hal berimplikasi pada cara   public servant memandang pelayanan

yang diberikannya sebagai bagian dari sumbangsih dirinya kepada warga negara lain, bukan

demi uang dan prinsip untung-rugi. Keempat, think strategically, act democratically. Dalam

melakukan pelayanan publik,   public servant harus berupaya berpikir strategis dengan

memperhatikan kondisi dan situasi yang ada melalui upaya kolektif dan proses kolaboratif 

antara dirinya dengan publik sehingga kebutuhan/kepentingan publik dapat dicapai secara

efektif. Kelima, recognize that accountability is not simple. Dalam melakukan pelayanan

publik, public servant harus mengakui dan memahami bahwa segala yang dilakukannya harus

dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Oleh karena itu, ia harus memahami dan

5/6/2018 Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/mendefinisikan-ulang-target-group-program-kb 10/21

10 

mematuhi peraturan perundang-undangan, nilai-nilai kemasyarakatan, norma politik, standar

profesional, dan kebutuhan/kepentingan warga negara yang akan dilayaninya. Keenam, serve

rather than steer . Sebagai pelayan publik,   public servant harus memahami bahwa yang

dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan/kepentingan bersama dan merupakan hasil dari

kesepakatan/konsensus yang diwujudkan dengan pembagian peran bersama. Hal tersebut

berarti bahwa   public servant berperan untuk memenuhi kebutuhan/kepentingan tersebut,

bukan mengontrol atau mengarahkan publik untuk melakukan sesuatu sebagaimana

keinginan/kepentingannya (  public servant ). Ketujuh, value people, not just productivity.

Organisasi publik beserta jaringannya lebih memungkinkan mencapai keberhasilan dalam

 jangka panjang jika dijalankan melalui proses kolaborasi dan kepemimpinan bersama yang

didasarkan pada penghargaan kepada semua orang. Dengan demikian, keberhasilan tidak 

semata dilihat dari produktivitas dengan pencapaian indikator-indikator tertentu sesuai

dengan kepentingannya tanpa mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan lainnya.

Dari paparan tersebut diketahui bahwa manajemen publik perspektif  New Public Service 

mengedepankan posisi publik sebagai warga negara dalam konteks penyelenggaraan

pemerintahan (Muluk, 2008). Perspektif ini membawa upaya demokratisasi administrasi

publik yang selaras dengan isu startegis global dan nasional tentang demokrasi di segala

aspek kehidupan. Selain itu, perspektif ini menjadikan penyelenggaraan pemerintahan lebih

inklusif sehingga terbuka kesempatan bagi berbagai aktor dengan berbagai kepentingan untuk 

partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian, perspektif ini mengakui

bahkan menuntut adanya partisipasi publik, tidak hanya sebagai partisipan pasif yang hanya

menuruti atau menyesuaikan kepentingannya dengan kemauan dan kepentingan pemerintah,

tetapi ikut terlibat dalam pembuatan dan proses kebijakan yang menyangkut urusan publik.

Pemetaan Target Group dan Kompromi Strategis Kepentingan dan Peran Aktor

Paling tidak terdapat dua tantangan dalam pelaksanaan program KB yang dalam

pelaksanaannya sudah mengimplementasikan isu strategis demokrasi/demokratisasi dan hak 

asasi manusia serta desentralisasi yang diwujudkan dengan mengubah target group dari

semula hanya PUS menjadi semua individu dalam keluarga. Namun, tantangan tersebut dapat

diubah menjadi peluang jika pelaksanaan program KB menggunakan manajemen NPS dalam

mengimpelementasikan kedua isu stragis tersebut. Kedua tantangan tersebut adalah: (1)

semakin luas dan beragamnya cakupan sasaran program KB berimplikasi pada luas dan

beragamnya bidang garapan, dan (2) semakin luas dan beragamnya cakupan sasaran dan

beragamnya bidang garapan berimplikasi pada semakin besarnya anggaran yang dibutuhkan.

5/6/2018 Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/mendefinisikan-ulang-target-group-program-kb 11/21

11 

Implementasi program KB yang sudah mengadopsi dan memperhatikan prinsip-prinsip

demokrasi dan hak asasi manusia adalah dengan menjadikan semua individu dalam keluarga

menjadi target group program. Prinsip demokrasi dan hak asasi manusia juga menuntut

pelayanan program KB dapat diakses oleh semua warga negara tanpa memandang jenis

kelamin, usia, status sosial ekonomi, dan kondisi sosiodemografis tempat domisili (termasuk 

ras, agama, kultur, suku bangsa, dll). Dengan demikian, berdasarkan penggolongan tersebut,

target group program KB dapat dipetakan menjadi sebagai berikut.

Tabel 1

Klasifikasi Traget Group Program KB

No. Aspek

Klasifikasi

Target Group Subtarget-group Pelayanan umum dan spesifik

yang dibutuhkan*1. Jenis kelamin Laki-laki Pengetahuan ttg sistem, fungsi, dan

proses reproduksi; kontrasepsi pria;

pelayanan konseling dan medis

kespro

Perempuan SDA, ditambah dengan kontrasepsi

wanita; pelayanan konseling danmedis kespro yang lebih kompleks

dan beragam dibanding laki-laki

2. Usia Bayi dan anak-anak Vaksin, imunisasi, pemeriksaan dan

pelayanan kesehatan, ASI, Gizi,

Remaja Pengetahuan ttg sistem, fungsi, dan

proses reproduksi; kontrasepsi;pelayanan konseling dan medis

kespro (tidak menutup kemungkinan

untuk membutuhkan pelayanan medis

kespro sebelum kehamilan, selama

kehamilan, saat melahirkan, setelah

melahirkan), perawatan anak, dll.

Dewasa Pengetahuan ttg sistem, fungsi, dan

proses reproduksi; kontrasepsi;

pelayanan konseling dan medis

kespro (tidak menutup kemungkinan

untuk membutuhkan pelayanan medis

kespro sebelum kehamilan, selamakehamilan, saat melahirkan, setelahmelahirkan), perawatan anak, dll.

Lansia Pengetahuan ttg sistem, fungsi, dan

proses reproduksi terutama tentang

gangguan kespro pada Lansia seperti

dispareuni, osteoporosis, menopause,

andropause,

5/6/2018 Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/mendefinisikan-ulang-target-group-program-kb 12/21

12 

Tabel 1

Klasifikasi Traget Group Program KB(lanjutan)

No.Aspek

KlasifikasiTarget Group Subtarget-group

Pelayanan umum dan spesifik

yang dibutuhkan*

3. Statusperkawinan

Kawin Sama dengan remaja denganpenekanan pada hal tertentu

Tidak kawin SDA

4. Status sosial

ekonomi

keluarga

Keluarga Pra sejahtera SDA

Keluarga Sejahtera I SDA

Keluarga Sejahtera II SDA

Keluarga Sejahtera SDA

5. Geografis Terpencil/desa SDA

Terisolir/perbatasan SDA

Perkotaan Bantaran kali SDA

Pemukiman

kumuh dan padat

penduduk 

SDA

Sepanjang

rel/dilewati rel

kereta api

SDA

*kemungkinan pelayanan yang dibutuhkan. Penentuan tersebut harus melalui mekanisme dialog.

Tantangan tersebut dapat menjadi peluang ketika dalam pelaksanaannya menggunakan

manajemen NPS dengan membuka kesempatan kepada warga negara dan aktor lain yang

memiliki kepentingan untuk terlibat. Wujud keterlibatan tersebut, sebagaimana yang sudah

dijelaskan sebelumnya, adalah partisipasi aktif dalam pembuatan dan proses kebijakan,

termasuk dalam hal penganggaran. Namun kunci untuk membuat pihak lain terlibat menjadi

aktor dalam pembuatan dan proses kebijakan (termasuk di dalamnya pelaksanaan dan

evaluasi) adalah menawarkan prospektif isu publik (dalam hal ini program KB) dalam

kontribusinya terhadap aspek yang lebih luas yang memungkinkan di dalamnya terdapat

kepentingan aktor lain. Dua isu strategis global dan nasional transisi demografis dalam

hubungan dengan pengentasan kemiskinan serta kerusakan lingkungan dan pembangunan

berkelanjutan dapat diadopsi menjadi isu stragis program KB mengingat besarnya kontribusi

yang dapat diberikan program KB terhadap kedua isu strategis tersebut.

1.  Program KB, Transisi Demografis, dan Pengentasan Kemiskinan

Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar tetap dalam bidang ekonomi

kependudukan, Sri Moertiningsih Adioetomo menyatakan telah berakhirnya perdebatan

setelah lebih dari setengah abad (1950-2000) terjadi pertentangan pemikiran antara penganut

faham Malthusian/Neo-Malthusian (aliran tradisional) dan kaum revisionis. Malthusian/Neo-

Malthusian berpandangan pertumbuhan penduduk yang cepat akan mengurangi tingkat

kesejahteraan penduduk dan pada akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi. Kelompok 

5/6/2018 Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/mendefinisikan-ulang-target-group-program-kb 13/21

13 

penentangnya berpandangan bahwa pertumbuhan penduduk tidak menjadi sumber maupun

penghambat pertumbuhan ekonomi. Menurut Julian Simon (dalam Adioetomo, 2005), salah

seorang revisionis, dalam buku The Ultimate Resources, pertumbuhan penduduk justru akan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurutnya, apabila sumberdaya alam tidak 

mampu mencukupi kebutuhan manusia, manusia sendirilah yang akan bergerak mengatasinya

dengan segenap akal dan pikirannya menemukan cara untuk mengatasi persoalan hidupnya

melalui pendidikan formal, peningkatan pengetahuan, peningkatan pengalaman dan

pekerjaan, yang akan mempengaruhi tingkat penguasaan teknologi.

Pada pertemuan simposium tentang Population Change and Economic Development di

Bellagio pada November 1998, dilakukan evaluasi tentang hubungan antara pertumbuhan

penduduk dengan pembangunan ekonomi. Pertanyaan yang dilontarkan dalam evaluasi

tersebut tentang dampak penurunan mortalitas, fertilitas, dan perubahan demografi terhadap:

(1) pertumbuhan ekonomi, (2) kemiskinan dan ketimpangan, (3) pemakaian sumberdaya alam

untuk pertanian dan keberlanjutan, dan (4) implikasi terhadap kebijakan dan program

ekonomi, sosial, dan kependudukan. Menjelang tahun 2000, melalui pertemuan ahli ekonomi

dan demografer diperoleh kesimpulan bahwa: (1) pertumbuhan penduduk mempunyai

hubungan kuat-negatif dan signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi, dan (2) penurunan

pesat dari fertilitas memberikan kontribusi yang relevan terhadap penurunan kemiskinan.

Dengan demikian, teori Neo-Malthusian (dengan akomodasi kebijakan kontrasepsi

sebagai bentuk upaya pencegahan kelahiran/pembatasan pertumbuhan penduduk) terbukti

secara empiris. Di negara-negara berkembang, fertilitas yang tinggi merupakan salah satu

penyebab kemiskinan yang endemik, baik pada tingkat keluarga maupun makro (Birdsall dan

Sinding, 2001), disamping karena adanya ketidakadilan akses dan kesempatan terhadap

perempuan (Todaro, 2006). Hasil temuan Kelley dan Schmidt (2001) menunjukan bahwa

penurunan fertilitas dan mortalitas telah berkontribusi sebesar 22 persen dalam meningkatkan

pertumbuhan output . Variabel penduduk dan ekonomi yang disertakan dalam persamaan

Kelley dan Schmidt adalah GDP per kapita (paritas daya beli/PPP), GDP per kapita/persen

laju pertumbuhan penduduk, usia harapan hidup, TFR, persen laju pertumbuhan penduduk,

persen perubahan jumlah penduduk usia kerja, CBR, CDR, rasio ketergantungan anak muda

(  youth dependency ratio), rasio ketergantungan lansia (older dependency ratio), kepadatan

penduduk, dan jumlah penduduk (Adioetomo, 2005).

Pengaruh aspek penduduk dalam pertumbuhan ekonomi ini dimanifestasikan dalam

konsep bonus demografi (demographic dividend  atau demographic gift ). Konsep bonus

demografi menjelaskan tentang pengaruh penurunan fertilitas dan mortalitas dalam jangka

5/6/2018 Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/mendefinisikan-ulang-target-group-program-kb 14/21

14 

panjang yang menyebabkan transisi demografi dan perubahan komposisi dan struktur

penduduk menjadi penduduk usia kerja (produktif) yang berusia antara 15-64 tahun dan

penduduk usia non-produktif, yaitu yang berusia muda (0-14 tahun) dan usia lanjut (usia 65

tahun ke atas): perbandingan di antara keduanya menghasilkan ratio beban ketergantungan

(dependency ratio). Asumsinya, penduduk usia produktif adalah penduduk usia kerja yang

menghasilkan secara ekonomi, sedangkan penduduk usia non-produktif tidak/belum

menghasilkan secara ekonomi. Oleh karena itu, penduduk usia produktif menanggung beban

penduduk lain yang tidak produktif. Semakin besar proporsi penduduk usia produktif 

terhadap usia non-porduktif, akan semakin kecil beban yang harus ditanggung penduduk usia

produktif.

Konsep bonus demografi tersebut sejalan dengan teori para ekonom tentang tabungan

(saving) terhadap peningkatan pendapatan per kapita yang dibuktikan oleh Lee, Mason, dan

Miller (2001) melalui   Life Cycle Model of Saving Behaviour .   Life Cycle model Lee dkk.

dipengaruhi oleh perubahan rasio ketergantungan. Besarnya proporsi penduduk usia produktif 

dibanding usia non-produktif (sebagai akibat dari transisi demografi) akan menyebabkan

angka rasio ketergantungan kecil, dan berdampak pada adanya saving (dengan asumsi tingkat

suku bunga, return to capital, dan tingkat produktivitas konstan). Dengan demikian, pada

akhir masa transisi akan dihasilkan tingkat tabungan dan rasio kekayaan dan pendapatan yang

lebih tinggi dibanding dengan awal masa transisi. Ini berakibat pada peningkatan

pertumbuhan ekonomi yang stabil dengan tingkat fertilitas dan mortalitas yang rendah.

Pada level rumah tangga, jika fertilitas rendah (anak yang dilahirkan sedikit dengan

 jarak yang cukup: minimal 3 tahun, maksimal 4-5 tahun) sebagai representasi penduduk usia

non-produktif yang sedikit, biaya yang dikeluarkan akan lebih sedikit dibanding jika anak 

yang dilahirkan banyak. Selain itu, kemungkinan segala kebutuhan anak (seperti pangan/gizi,

kesehatan, pendidikan, dan rekreasi) akan terpenuhi. Dengan demikian, kelebihan dari

pendapatan dapat disimpan sebagai tabungan yang jika dimanfaatkan untuk hal produktif 

akan meningkatkan taraf kesejahteraan keluarga.

Transisi demografis (sebagai variabel penduduk dalam kaitannya dengan pertumbuhan

ekonomi) dalam jangka panjang berdampak pada: (1) peningkatan jumlah tenaga kerja yang

apabila mendapatkan kesempatan kerja yang produktif akan meningkatkan total output ; (2)

akumulasi kekayaan yang lebih besar apabila ada tabungan masyarakat yang diinvestasikan

secara produktif; dan (3) tersedianya modal manusia (human capital) yang jumlahnya lebih

besar (dibanding sebelum terjadi transisi) apabila ada kebijakan investasi yang khusus

5/6/2018 Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/mendefinisikan-ulang-target-group-program-kb 15/21

15 

diarahkan untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas sumberdaya manusia (Bongaarts,

Birdsall dan Sinding, dalam Adioetomo, 2005).

Penjelasan tersebut memberi gambaran pada aktor-aktor tertentu tentang penting dan

prospektif kontribusi program KB sehingga mereka berkepentingan untuk ikut terlibat dalam

pembuatan dan proses kebijakan program KB. Misalnya perusahaan kontrasepsi dan

perusahaan lain yang membutuhkan tenaga terampil yang hanya dapat dipenuhi jika akses

terhadap pendidikannya maksimal. Keluarga yang memiliki jumlah anak tertentu yang

berpotensi dapat mencukupi kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Bagi pemerintah daerah

yang selama ini menganggap jika melaksanakan program KB berarti membatasi jumlah

generasi suku tertentu (alasan nasionalisme kesukuan/sempit) padahal mereka memiliki

wilayah yang masih luas dan kekayaan alam yang melimpah tetapi penduduknya masih

sedikit dengan kualitas kesehatan yang rendah (seperti provinsi/kabupaten/kota di kawasan

timur Indonesia) berpotensi untuk berpikir sebaliknya karena program KB tidak hanya

mencakup pengendalian kelahiran melainkan juga pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan

seksual yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan.

2.  Program KB, Kerusakan Lingkungan, dan Pembangunan Berkelanjutan

Salah satu kesepakatan yang dihasilkan Deklarasi Rio tahun 1992 adalah mengenai

pemaknaan pembangunan berkelanjutan (sustainable development ), yaitu sustainable

development is development that meets the needs of the present without compromising the

ability of future generations to meet their own needs. Dengan demikian, secara umum

pembangunan berkelanjutan dipahami sebagai proses pembangunan yang berprinsip untuk 

memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa

depan (Lampiran Peraturan Presiden No. 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional Tahun 2010–2014). Lebih spesifik, Wilopo (2010),

Tjiptoherijanto (2004), dan Pranandji (2004) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan

sebagai upaya terencana untuk menjamin kesejahteraan umat manusia secara adil dan merata

antara generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Dengan demikian, dalam

pelaksanaannya, pembangunan berkelanjutan perlu mempertimbangkan aspek penduduk,

sumberdaya, lingkungan, dan pertumbuhan ekonomi.

Argumentasi penganut paham revisionis tentang akumulasi modal manusia akan

menghasilkan eksternalitas, terutama dengan pendidikan formal, peningkatan pengetahuan,

peningkatan pengalaman dan pekerjaan, yang akan mempengaruhi tingkat penguasaan

teknologi untuk “memperdaya” dalam memenuhi kebutuhan manusia pada akhirnya

5/6/2018 Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/mendefinisikan-ulang-target-group-program-kb 16/21

16 

berdampak pada keterbatasan alam. Kondisi saat ini, ketika penduduk dunia bertambah empat

kali lipat dalam satu abad (dalam sehari lahir 200.000 jiwa), diikuti dengan peningkatan

ekonomi dunia 14 kali lipat, peningkatan hasil industri 40 kali lipat, dan pertambahan luas

lahan pertanian menjadi lima kali lipat, tetapi juga diiringi dengan peningkatan pemakaian

sumberdaya alam yang juga berlipat seperti mineral, logam, bijih besi, dan energi.

Amerika, misalnya, sebagai negara berpenduduk terbesar di dunia (lebih dari 300 juta

  jiwa) dengan kualitas penduduk yang mumpuni serta pertumbuhan ekonomi yang tinggi,

tetapi juga diiringi dengan pemakaian energi yang besar. Menurut para pemerhati lingkungan

dan penduduk yang tergabung dalam National Geographic Society, saat ini, 23 persen dari

total energi dunia dikonsumsi oleh Amerika yang penduduknya hanya 5 persen dari populasi

dunia (  National Geographic, 2010). Artinya, ketika setiap negara di dunai digenjot untuk 

maju dengan indikator semata pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi, akan diikuti oleh

pola konsumsi terhadap energi yang juga tinggi, padahal ketersediaannya terbatas dan tak 

terbarukan. Jika 95 persen populasi dunia lainnya akan mengikuti pola konsumsi energi

seperti orang Amerika, energi yang dibutuhkan setara dengan energi yang ada pada 5,4 kali

bumi: artinya akan terjadi defisit energi. Akibatnya adalah yang mengakibatkan Laporan

  International Bank for Reconstruction and Development , Bank Dunia, menyebutkan tingkat

konsumsi dalam rumah tangga (pada paritas daya beli/PPP tahun 1995) China dan India

berada jauh di bawah Amerika, tetapi karena penduduknya yang besar menyebabkan

keduanya termasuk dalam peringkat konsumsi (konsumsi total meliputi pangan, barang, dan

bahan bakar) 10 besar dunia ( National Geographic, 2010).

Kebutuhan akan pangan dan pemukiman yang terus meningkat searah dengan

peningkatan populasi menyebabkan area hutan disulap jadi area pertanian dan perumahan.

Luas Gurun Gobi di Cina bertambah lebih dari 10.000 kilometer persegi per tahun (mengubur

area hutan dan pemukiman di sekitarnya) akibat perluasan pertanian dan penggembalaan

(aktivitas merumput) ternak yang jumlahnya terus bertambah untuk memenuhi kebutuhan

manusia akan protein hewani. Pemanasan global telah menyebabkan peningkatan suhu

global, bahkan di bagian utara Alaska terjadi kenaikan sebesar 3 derajat celcius dalam

puluhan tahun terakhir yang menyebabkan mencairnya es dan  permafrost  dan berdampak 

pada mengganasnya badai, gelombang pasang laut yang tinggi, naiknya permukaan air laut

dan menenggelamkan pulau-pulau yang berdataran rendah. Mencairnya  permafrost  bahkan

dapat meluluhlantakkan pondasi rumah ( National Geographic, 2010).

Fakta tersebut menunjukkan bahwa penduduk yang besar menjadi penyebab tidak 

langsung dari kerusakan lingkungan. Hal tersebut didukung oleh hasil telaah Algore (dalam

5/6/2018 Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/mendefinisikan-ulang-target-group-program-kb 17/21

17 

film dokumenter monumental tentang kondisi bumi), ada tiga faktor utama penyebab

kerusakan lingkungan secara global, yaitu: (1) jumlah penduduk dunia yang terlampau besar

akibat pertumbuhan yang juga terlampau cepat; (2) kapasitas teknologi yang melampaui

kemampuan manusia sehingga lebih mampu mengeksploitas sumberdaya alam dengan cepat

dibanding dengan tanpa teknologi atau dengan teknologi yang sederhana; dan (3) rendahnya

kualitas moral manusia sehingga menjadikannya rakus dan eksploitatif tanpa

memperhitungkan akibat jangka panjangnya. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa dunia

internasional dan negara-negara maju memandang penting pengendalian pertumbuhan

penduduk, tidak hanya penduduk di negaranya melainkan juga di negara-negara berkembang

dan miskin.

Alasan tersebut setidaknya ada dua. Pertama, efek serius dari dampak pesatnya

pertumbuhan penduduk dunia yang salah satunya pemanasan global yang pasti dirasakan

seluruh populasi bumi, termasuk mereka. Oleh karenanya mereka berkepentingan untuk 

mendukung program pengendalian penduduk di negara berkembang yang potensial

mengalami ledakan penduduk dan memiliki sesuatu yang dapat memperkecil efek pemanasan

global, yakni hutan tropis. Indonesia memiliki hal itu yang tersebar hampir di sebagian besar

provinsi. Di sisi lain, bagi negara maju yang memiliki saham di perusahaan tambang di

daerah tertentu di Indonesia (seperti Freeport dan Newmont) juga berkepentingan agar lahan

yang di dalamnya terdapat kandungan barang tambang tertentu tidak dijadikan area

pemukiman sebagai konsekuensi dari pertambahan penduduk.

Kedua, dunia internasional dan negara-negara maju berkepentingan untuk memajukan

kesejahteraan negara berkembang dan miskin melalui kebijakan pengendalian penduduk 

untuk menghindari masuknya migran dari negara berkembang yang ingin meningkatkan

kualitas hidupnya atau sebagai kompensasi dari eksploitasi sumberdaya alam di negaranya

yang telah dikeruk negara maju (Soedjatmoko, 2010). Selain itu sebagai upaya preventif 

masuknya migran dalam jumlah besar yang disebabkan oleh bencana alam yang disebabkan

efek pemanasan global (  National Geographic, 2010). Paling tidak ada dua catatan penting

yang mengangkat tren migrasi internasional saat ini yang menjadi indikasi kekhawatiran

dunia internasional dari efek ledakan penduduk, yaitu (1) laporan UNDP tentang  Human

  Development Report tahun 2009 yang mengangkat topik tentang   Human Mobilty and 

 Development sebagai salah satu cara untuk mengatasi rintangan (overcoming barriers) untuk 

mencapai kemakmuran (kesejahteraan), dan (2) pemerhati populasi yang tergabung dalam

  National Geographic Society yang dalam salah satu edisinya mengangkat tema Era Migrasi

Global pada fenomena kependudukan dan lingkungan global tahun 2010.

5/6/2018 Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/mendefinisikan-ulang-target-group-program-kb 18/21

18 

Namun di sisi lain, bisa jadi terjadi dualisme di antara negara-negara maju, yang

bertolak belakang dengan dua kepentingan di atas. Mereka juga berkepentingan untuk tidak 

mendukung upaya pengendalian penduduk karena untuk kepentingan industri: perspektif 

kapitalisme memandang populasi yang besar sangat menguntungkan karena tenaga kerja

melimpah sehingga dapat dibayar murah serta sebagai konsumen bagi produk-produk 

mereka.

Penjelasan tersebut akan memberi wawasan pada aktor-aktor tertentu tentang prospek 

kontribusi program KB terhadap beberapa isu global dan nasional seperti pertumbuhan

ekonomi, pembangunan manusia, pembangunan berkelanjutan, mengurangi kerusakan

lingkungan, mengurangi arus migrasi nasional dan internasional, dan sebagainya. Dari

penjelasan tersebut masing-masing aktor menimbang dan mengukur kepentingan dan peran

apa yang dapat diberikan dalam pelaksanaan program KB sebagai konsekuensi logis dari

realisasi atas kepentingannya tersebut. Namun prinsip demokrasi dari inklusifitas

penyelenggaraan pemerintahan harus dipahami oleh masing-masing aktor untuk 

mengkompromikan kepentingannya tersebut dengan kepentingan aktor lain. Hal yang pasti

dituntut dalam kompromi tersebut, di antaranya, adalah menurunkan ekspektasi/kepentingan/ 

kebutuhan ideal yang diharapkan dengan yang kemungkinan terealisasi untuk dibagi dengan

ekspektasi/kepentingan/kebutuhan aktor lain. Misalnya, pemerintah (dalam hal ini BKKBN)

yang berkepentingan untuk mencapai target-target demografis dengan jumlah tertentu, harus

bersedia menurunkannya ketika aktor lain (misalnya publik) mengharapkan pelayanan

berkualitas dengan menyampaikan kelebihan dan kekekurangan serta efek samping dari

masing-masing alat/obat kontrasepsi. Target pemerintah harus diturunkan karena besar

kemungkinannya publik untuk tidak memilih salah satu alat/obat/cara KB karena mereka

mengetahui kekekurangan dan efek samping kontrasepsi yang ditawarkan tersebut.

Demikian seterusnya hingga setiap kebijakan program KB adalah kebijakan bersama

yang harus dijalankan secara bersama melalui perannya masing-masing. Perluasan target 

group dari hanya PUS menjadi semua individu dalam keluarga sebagai implementasi atas

demokrasi dan hak asasi manusia menjadi penyelesaian atas kemunduran program KB dalam

sepuluh tahun belakangan ini.

Kesimpulan

Kemunduran (untuk tidak menyebut kegagalan) pelaksanaan program KB nasional di

era desentralisasi dinilai banyak pihak sebagai akibat dari lemahnya komitmen politis

pemerintah daerah yang disebabkan oleh motivasi politisnya dalam melakukan desentralisasi

5/6/2018 Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/mendefinisikan-ulang-target-group-program-kb 19/21

19 

menekankan pada ekonomi penganggaran sehingga lebih fokus pada peningkatan PAD.

Karena program KB merupakan bagian dari program pembangunan manusia serta

dampaknya jangka panjang, menjadikannya kurang diminati. Melaksanakan program KB

karena hanya akan menguras APBD tanpa ada kontribusi pada peningkatan PAD.

Padahal, penyebab lain yang bijak untuk diperhitungkan, di antaranya adalah karena

desentralisasi program KB yang dimulai sejak sepuluh tahun lalu itu (sejak terbit Keppres

No. 301 tahun 2001) tidak banyak diikuti dengan perubahan dalam manajemen program.

Sebagian besar konsep dan praktik pengelolaan program KB masih menggunakan manajemen

administrasi publik lama, dan hanya sebagian kecil yang secara konseptual sudah mengadopsi

NPM. Salah satu contoh dari masih digunakannya pola manajemen lama adalah dalam

mendefinisikan target group yang masih pada PUS dan masih berlakunya sistem pencapaian

target indikator demografis tertentu seperti peningkatan jumlah akseptor baru, penurunan

unmet need , penurunan TFR, dll. Pola manajemen tersebut dianggap masih menggunakan

pola lama karena indikator keberhasilan program ditentukan sepihak oleh pelaksana program

(tidak terlebih dulu menggali kebutuhan warga negara atau paling tidak mengkompromikan

target capaian tersebut dengan kepentingan publik yang akan dilayani) dan masih

memandang warga negara sebagai obyek (sasaran program) yang pasif, padahal desentralisasi

menuntut adanya partisipasi masyarakat.

Untuk dapat bangkit dari kemunduran, diperlukan perubahan manajemen program KB

lama dengan manajemen baru yang lebih sesuai dengan pelaksanaan desentralisasi. Salah satu

manajemen publik yang sudah mengadopsi isu demokrasi dan hak asasi manusia serta

terbuka dan prospektif untuk dilaksanakan di era desentralisasi adalah   New Public Service.

Prinsip mendasar yang menjadi pondasi New Public Service adalah demokratic-citizenship.

Perubahan target group dari semula hanya PUS menjadi semua individu dalam

keluarga menyebabkan semakin luas dan beragamnya cakupan sasaran program KB

berimplikasi pada luas dan beragamnya bidang garapan dan semakin besarnya anggaran

yang dibutuhkan. Tantangan tersebut dapat menjadi peluang ketika dalam pelaksanaannya

menggunakan manajemen  New Public Service dengan membuka kesempatan kepada warga

negara dan aktor lain yang memiliki kepentingan untuk terlibat. Wujud keterlibatan tersebut,

sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, adalah partisipasi aktif dalam pembuatan

dan proses kebijakan, termasuk dalam hal penganggaran.

5/6/2018 Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/mendefinisikan-ulang-target-group-program-kb 20/21

20 

Daftar Pustaka

Adieotomo, Sri Moertiningsih. 2005.   Bonus Demografi: Menjelaskan Hubungan antara

Pertumbuhan Penduduk dengan Pertumbuhan Ekonomi (naskah pidato pengukuhan guru

besar dalam bidang ekonomi kependudukan pada FEUI. Jakarta: LDUI

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2001.   Jaminan dan Pelayanan Keluarga

 Berencana (Kebijakan Teknis). Jakarta: BKKBN.

----------------------------------------------------------. UNFPA, UNICEF, AusAID. 2009. Analisis

Situasi Program KB di Papua dan Papua Barat . Jakarta: UNFPA.

Badan Pusat Statistik (BPS) dan Macro International. 2007. Survei Demografi dan Kesehatan

 Indonesia 2007 . Calverton, Maryland, USA: BPS dan Macro International.

--------------------------. 2006. Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2005. Jakarta: BPS

Darwin, Muhadjir. 2010. “Situasional Analysis of Children” (softfile materi kuliah

Manajemen Kependudukan pada Magister Studi Kebijakan, UGM)

Denhardt, J.V. & Denhardt, R.B. 2000. “The New Public Service: Serving Rather than

Steering”, dalam Jurnal Public Administration Review edisi November/Desember 2000,

Vol. 60, No. 6.

-------------------------------------2004. The New Public Service: Serving, Not Steering. New

York: M.E. Sharpe.

Marlina. 2008. “Salah Persepsi tentang Kesehatan Reproduksi”, dalam Koran Tempo edisi 11

Agustus 2008.

Muluk, Khairul. 2008. “ New Public Service dan Pemerintahan Lokal Partisipatif”

  National Geographic Indonesia edisi spesial “Bumi Kita Kini 2010”, tahun 2009, Jakarta:

Gramedia.

  National Geographic Indonesia edisi spesial “Laporan Khusus tentang Tren Global”, tahun

2007. Jakarta: Gramedia.

Norton, A. 1994.   International Handbook of Local and Regional Government: a

Comparative Analysis of Advanced Democracies, dalam Khairul Muluk, 2008, “ New

Public Service dan Pemerintahan Lokal Partisipatif”

Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional 2010-2014.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

Antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota

Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah

5/6/2018 Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/mendefinisikan-ulang-target-group-program-kb 21/21

21 

Pranandji, Tri. 2004. “Penduduk dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan di Era

Otonomi Daerah”, dalam Jurnal Analisis CSIS Vol. 33 No.4, Desember 2004.

Soedjatmoko. 2010. “Hubungan Kebudayaan Internasional untuk Hari Depan”, dalam Andre

Hero Triman (ed) Asia Di Mata Soedjatmoko. Jakarta: Kompas.

Susilo, Zoemrotin K. 1996. “Hak-hak Konsumen KB”, dalam Agus Dwiyanto dan Muhadjir

Darwin (Ed), 1996, Seksualitas, Kesehatan Reproduksi, dan Ketimpangan Gender ,

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Susilo, Zoemrotin K. 2000. “Hak Konsumen KB”, dalam Dadang Juliantoro (Ed), 2000, 30

Tahun Cukup: Keluarga Berencana dan Hak Konsumen, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Tjiptoherijanto, Prijono. “Kebijakan Kependudukan dan Pembangunan Berkelanjutan”,

dalam Jurnal Analisis CSIS Vol. 33 No.4, Desember 2004.

Todaro, Michael dan Stephen Smith. 2006.   Economic Development (9 edition). United

Kingdom: Pearson Education Limited.

Undang-Undang RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

Undang-Undang RI Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan

Pembangunan Keluarga.

United Nation Development Programme. 2010.   Human Development Report 2009

(Overcoming Barriers: Human Mobility and Development). New York: Palgrave

Mcmillan.

Wilopo, Siswanto A. 2010. “Kependudukan dan Pembangunan Berkelanjutan”

------------------------. 2010. “Revitalisasi Program KB Nasional di Era Desentralisasi”