BAB I tht
-
Upload
ayurachamasari -
Category
Documents
-
view
251 -
download
3
description
Transcript of BAB I tht
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi, baik akut, sub
akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung dalam kurun
waktu kurang lebih 3 minggu. Bila gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan laringitis sub
akut. Bila gejala lebih dari kurang lebih 3 bulan dinamakan laringitis kronis. Laringitis kronis
dibagi menjadi dua bagian menurut sebabnya yaitu laringitis akut non spesifik dan laringitis
kronik spesifik.1
Salah satu bentuk laringitis kronis spesifik adalah laringitis tuberkulosis. Laringitis
tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring yang terjadi dalam
jangka waktu lama yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosa.1,2
Laringitis tuberkulosis merupakan peradangan yang hampir selalu akibat tuberkulosis paru
aktif. Dulu, dinyatakan bahwa penyakit ini sering terjadi pada kelompok umur usia muda, yaitu
20-40 tahun. Namun dalam 20 tahun belakangan ini, insidensinya meningkat pada penduduk
yang berumur lebih dari 60 tahun dan lebih sering terjadi pada laki-laki, terutama pasien-pasien
dengan keadaan ekonomi dan kesehatan buruk, banyak di antaranya adalah peminum alkohol.1
Di Indonesia, belum terdapat publikasi data epidemiologi laringitis tuberkulosis yang
mencakup skala nasional. Penelitian di RSUP Dr. Sarjito Yogyakarta menunjukkan bahwa dalam
kurun waktu 5 tahun (Januari 2000-Desember 2004) didapatkan 15 pasien dengan diagnosis
laringitis tuberkulosis. Insidensi terbanyak adalah pada kelompok umur 60-69 tahun (30%).2
Deteksi dini laringitis tuberkulosis sangat mempengaruhi prognosis pasien, oleh sebab itu
tenaga kesehatan diharapkan dapat memiliki pengetahuan mengenai penyakit ini.
1.2. Tujuan
Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman tentang laringitis
tuberkulosis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Laring
EMBRIOLOGI(2)
Faring, laring, trakea dan paru merupakan derivat foregut embrional yang
terbentuk sekitar 18 hari setelah terjadi konsepsi. Tidak lama sesudahnya terbentuk alur
faring median yang berisi petunjuk-petunjuk pertama sistem pernafasan dan benih laring.
Sulkus atau alur laringotrakeal mulai nyata sekitar hari ke 21 kehidupan embrio. Perluasan
alur ke kaudal merupakan primaordial paru. Alur menjadi lebih dalam dan berbentuk
kantung dan kemudian menjadi dua lobus pada hari ke 27 atau 28. Bangian yang paling
proksimal dari tuba akan menjadi laring. Pembesaran aritenoid dan lamina epitelial dapat
dikenali pada hari ke 33. Sedangkan kartilago, otot, dan sebagian besar pita suara
terbentuk dalam 3-4 minggu berikutnya.
Hanya kartilago epiglotis yang tidak terbentuk hingga masa midfetal. Banyak
struktur merupakan derivat aparatus brankialis.
ANATOMI(2)
Laring berada di depan dan sejajar dengan vetebre cervical 4 sampai 6, bagian atasnya
yang aka melanjutkan ke faring berbentuk seperti bentuk limas segitiga dan bagian
bawahnya yg akan melanjutkan ke trakea berbentuk seperti sirkular.
Laring dibentuk oleh sebuah tulang yaitu tulang hioid di bagian atas dan beberapa
tulang rawan. Tulang hioid berbentuk seperti huruf ‘U’, yang permukaan atasnya
dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan tengkorak oleh tendon dan otot-otot. Saat
menelan, konstraksi otot-otot (M.sternohioid dan M.Tirohioid) ini akan menyebabkan
laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam, maka otot-otot ini bekerja untuk
membantu menggerakan lidah.
Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago tiroid, krikoid, aritenoid,
kornikulata, kuneiform, dan epiglotis. Kartilago tiroid, merupakan tulang rawan laring
yang terbesar, terdiri dari dua lamina yang bersatu di bagian depan dan mengembang ke
arah belakang. Tulang rawan ini berbentuk seperti kapal, bagian depannya mengalami
penonjolan membentuk “adam’s apple” dan di dalam tulang rawan ini terdapat pita suara,
dihubungkan dengan kartilago krikoid oleh ligamentum krikotiroid.
Kartilago krikoid terbentuk dari kartilago hialin yang berada tepat dibawah
kartilago tiroid berbentuk seperti cincin signet, pada orang dewasa kartilago krikoid
terletak setinggi dengan vetebra C6 sampai C7 dan pada anak-anak setinggi vetebra C3
sampai C4. Kartilago aritenoid mempunyai ukuran yang lebih kecil, bertanggung jawab
untuk membuka dan menutup laring, berbentuk seperti piramid, terdapat 2 buah (sepasang)
yang terletak dekat permukaan belakang laring dan membentuk sendi dengan kartilago
krikoid, sendi ini disebut artikulasi krikoaritenoid
Sepasang kartilago kornikulata atau bisa disebut kartilago santorini melekat pada
kartilago aritenoid di daerah apeks dan berada di dalam lipatan ariepiglotik. Sepasang
kartilago kuneiformis atau bisa disebut kartilago wrisberg terdapat di dalam lipatan
ariepiglotik , kartilago kornikulata dan kuneiformis berperan dalam rigiditas dari lipatan
ariepiglotik. Sedangkan kartilago tritisea terletak di dalam ligamentum hiotiroid lateral.
Gambar anatomi laring(11)
Epiglotis merupakan Cartilago yang berbentuk daun dan menonjol keatas
dibelakang dasar lidah. Epiglottis ini melekat pada bagian belakang kartilago thyroidea.
Plica aryepiglottica, berjalan kebelakang dari bagian samping epiglottis menuju cartilago
arytenoidea, membentuk batas jalan masuk laring.
Membrana mukosa di Laring sebagian besar dilapisi oleh epitel respiratorius,
terdiridari sel-sel silinder yang bersilia. Plica vocalis dilapisi oleh epitel skuamosa.
Plica vocalis adalah dua lembar membrana mukosa tipis yang terletak di atas
ligamenturn vocale, dua pita fibrosa yang teregang di antara bagian dalam kartilago
thyroidea di bagian depan dan cartilago arytenoidea di bagian belakang. Plica vocalis palsu
adalah dua lipatan membrana mukosa tepat di atas plica vocalis sejati. Bagian ini tidak
terlibat dalarn produksi suara.
Gambar pita suara(12)
Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi
krikoaritenoid. Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum
seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior ), ligamentum krikotiroid medial, ligamentum
krikotiroid posterior, ligamentum kornikulofaringeal, ligamentum hiotoroid lateral,
ligamentum hiotiroid media, ligamentum hioepiglotica, ligamentum ventricularis ,
ligamentum vocale yang menghubungkan kartilago aritenoid dengan kartilago tiroid dan
ligamentum tiroepiglotica.
Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan otot-otot
instrinsik, otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan , sedangkan
otot-otot instrinsik menyebabkan gerakan bagian-bagian laring sendiri. Otot-otot ekstrinsik
laring ada yang terletak diatas tulang hyoid (suprahioid), dan ada yang terletak dibawah
tulang hyoid (infrahioid). Otot ekstrinsik yang supra hyoid ialah M. Digastricus,
M.Geniohioid, M.Stylohioid, dan M.Milohioid. Otot yang infrahioid ialah M.sternohioid
dan M.Tirohioid. Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahioid berfungsi menarik laring
kebawah, sedangkan yang infrahioid menarik laring keatas. Otot-otot intrinsik laring ialah
M. Krikoaritenoid lateral. M.Tiroepiglotica, M.vocalis,M. Tiroaritenoid, M.Ariepiglotica,
dan M.Krikotiroid. Otot-otot ini terletak di bagian lateral laring.Otot-otot intrinsik laring
yang terletak di bagian posterior, ialah M.aritenoid transversum, M.Ariteniod obliq dan
M.Krioaritenoid posterior.
Gambar otot pada laring(13)
Rongga laring.(2)
Batas atas rongga laring (cavum laryngis) ialah aditus laring, batas bawahnya ialah
bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas depannya ialah permukaan
belakang epiglottis, tuberkulum epiglotic, ligamentum tiroepiglotic, sudut antara kedua
belah lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago krikoid. Batas lateralnya ialah membran
kuadranagularis, kartilago aritenoid, konus elasticus, dan arkus kartilago krikoid,
sedangkan batas belakangnya ialah M.aritenoid transverses dan lamina kartilago krikoid.
Dengan adanya lipatan mukosa pada ligamentum vocale dan ligamentum
ventrikulare, maka terbentuklah plika vocalis (pita suara asli) dan plica ventrikularis (pita
suara palsu).
Bidang antara plica vocalis kiri dan kanan, disebut rima glottis, sedangkan antara kedua
plica ventrikularis disebut rima vestibuli.
Plica vocalis dan plica ventrikularis membagi rongga laring dalam tiga bagian, yaitu
vestibulum laring , glotic dan subglotic.
Vestibulum laring ialah rongga laring yang terdapat diatas plica ventrikularis. Daerah ini
disebut supraglotic. Antara plica vocalis dan pita ventrikularis, pada tiap sisinya disebut
ventriculus laring morgagni.
Rima glottis terdiri dari dua bagian, yaitu bagian intermembran dan bagian interkartilago.
Bagian intermembran ialah ruang antara kedua plica vocalis, dan terletak dibagian anterior,
sedangkan bagian interkartilago terletak antara kedua puncak kartilago aritenoid, dan
terletak di bagian posterioir. Daerah subglotic adalah rongga laring yang terletak di bawah
pita suara (plicavocalis).
Persyarafan(2)
Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n.laringeus superior dan
laringeus inferior (recurrent). Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan
sensorik. Nervus laryngeus superior mempersarafi m.krikotiroid, sehingga memberikan
sensasi pada mukosa laring dibawah pita suara. Saraf ini mula-mula terletak diatas
m.konstriktor faring medial, disebelah medial a.karotis interna, kemudian menuju ke kornu
mayor tulang hyoid dan setelah menerima hubungan dengan ganglion servikal superior,
membagi diri dalam 2 cabang, yaitu ramus eksternus dan ramus internus.
Ramus eksternus berjalan pada permukaan luar m.konstriktor faring inferior dan menuju
ke m.krikotiroid, sedangkan ramus internus tertutup oleh m.tirohioid terletak disebelah
medial a.tiroid superior, menembus membran hiotiroid, dan bersama-sama dengan
a.laringeus superior menuju ke mukosa laring.
Nervus laringeus inferior merupakan lanjutan dari n.rekuren setelah saraf itu memberikan
cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren merupakan lanjutan dari
n.vagus.
Nervus rekuren kanan akan menyilang a.subklavia kanan dibawahnya, sedangkan
n.rekuren kiri akan menyilang aorta. Nervus laringis inferior berjalan diantara cabang-
cabang arteri tiroid inferior, dan melalui permukaan mediodorsal kelenjar tiroid akan
sampai pada permukaan medial m.krikofaring. Disebelah posterior dari sendi
krikoaritenoid, saraf ini bercabang dua menjadi ramus anterior dan ramus posterior, Ramus
anterior akan mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian lateral, sedangkan ramus
posterior mempersyarafi otot-otot intrinsik laring superior dan mengadakan anstomosis
dengan n.laringitis superior ramus internus.
Gambar persarafan laring(14)
Pendarahan.(2)
Pendarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang yaitu a.laringitis superior dan a.laringitis
inferior.
Arteri laryngeus superior merupakan cabang dari a.tiroid superior. Arteri laryngitis
superior berjalan agak mendatar melewati bagian belakang membran tirohioid bersama-
sama dengan cabang internus dari n.laringis superior kemudian menembus membran ini
untuk berjalan kebawah di submokosa dari dinding lateral dan lantai dari sinus piriformis,
untuk memperdarahi mukosa dan otot-otot laring.
Arteri laringeus interior merupakan cabang dari a.tiriod inferior dan bersama-sama
dengan n.laringis inferior berjalan ke belakang sendi krikotiroid, masuk laring melalui
daerah pinggir bawah dari m.konstriktor faring inferior. Di dalam arteri itu bercabang-
cabang memperdarahi mukosa dan otot serta beranastomosis dengan a.laringis superior.
Pada daerah setinggi membran krikotiroid a.tiroid superior juga memberikan cabang yang
berjalan mendatar sepanjang membrane itu sampai mendekati tiroid. Kadang-kadang arteri
ini mengirimkan cabang yang kecil melalui membran krikotiroid untuk mengadakan
anastomosis dengan a.laringeus superior.
Vena laringeus superior dan vena laringeus inferior letaknya sejajar dengan a.laringis
superior dan inferior dan kemudian bergabung dengan vena tiroid superior dan inferior.
Pembuluh Limfe(1)(2)
Pembuluh limfa untuk laring banyak, kecuali di daerah lipatan vocal. Disini mukosanya
tipis dan melekat erat dengan ligamentum vokale. Di daerah lipatan vocal pembuluh limfa
dibagi dalam golongan superior dan inferior.
Pembuluh eferen dari golongan superior berjalan lewat lantai sinus piriformis dan
a.laringeus superior, kemudian ke atas, dan bergabung dengan kelenjar dari bagian superior
rantai servikal dalam. Pembuluh eferen dari golongan inferior berjalan kebawah dengan
a.laringeus inferior dan bergabung dengan kelenjar servikal dalam, dan beberapa
dintaranya menjalar sampai sejauh kelenjar supraklavikular.
FISIOLOGI(2)
Laring berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, emosi serta fonasi.
Fungsi laring untuk proteksi ialah untuk mencegah makanan dan benda asing masuk
kedalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan rima glotis secara bersamaan.
Terjadi penutupan aditus laring ialah akibat karena pengangkatan laring ke atas akibat
kontraksi otot-otot ekstrinsik laring. Dalam hal ini kartilogo aritenoid bergerak ke depan
akibat kontraksi m.tiro-aritenoid dan m.aritenoid. Selanjutnya m.ariepiglotika berfungsi
sebagai sfingter.
Penutupan rima glotis terjadi karena adduksi plika vokalis. Kartilago arritenoid kiri dan
kanan mendekat karena aduksi otot-otot intrinsik.
Selain itu dengan reflex batuk, benda asing yang telah masuk ke dalam trakea dapat
dibatukkan ke luar. Demikian juga dengan bantuan batuk, sekret yang berasal dari paru
dapat dikeluarkan.
Fungsi respirasi dan laring ialah dengan mengatur besar kecilnya rima glottis. Bila
m.krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus vokalis kartilago
aritenoid bergerak ke lateral, sehingga rima glottis terbuka.
Dengan terjadinya perubahan tekanan udara di dalam traktus trakeo-bronkial akan dapat
mempengaruhi sirkulasi darah dari alveolus, sehingga mempengaruhi sirkulasi darah
tubuh. Dengan demikian laring berfungsi juga sebagai alat pengatur sirkulasi darah.
Fungsi laring dalam membantu proses menelan ialah dengan 3 mekanisme, yaitu gerakan
laring bagian bawah ke atas, menutup aditus laring dan mendorong bolus makanan turun
ke hipofaring dan tidak mungkin masuk kedalam laring.
Laring juga mempunyai fungsi untuk mengekspresikan emosi seperti berteriak,
mengeluh, menangis dan lain-lain.
Fungsi laring yang lain ialah untuk fonasi, dengan membuat suara serta menentukan
tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh peregangan plica vokalis. Bila
plica vokalis dalam aduksi, maka m.krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid kebawah
dan kedepan, menjauhi kartilago aritenoid. Pada saat yang bersamaan m.krikoaritenoid
posterior akan menahan atau menarik kartilago aritenoid ke belakang. Plika vokalis kini
dalam keadaan yang efektif untuk berkontraksi. Sebaliknya kontraksi m. Krikoaritenoid
akan mendorong kartilago aritenoid ke depan, sehingga plika vokalis akan mengendor.
Kontraksi serta mengendornya plika vokalis akan menentukan tinggi rendahnya nada.
1. Roezin A. Sistem Aliran Limfa Leher.Dalam:Soepardi EA. Buku Ajar llmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.Edisi ke-6. Jakarta. Balai Penerbit FKUI .
2007. h. 174-177
2. Cohen James . Anatomi dan Fisiologi laring. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran.EGC. 1997. h. 369-376
11. Diunduh pada tanggal 1 Agustus 2015 dari:
http://academic.kellogg.edu/herbrandsonc/bio201_mckinley/Respiratory%20System.htm
12. Diunduh pada tanggal 1 Agustus 2015 dari :
http://hendri6780.blogspot.com/2010/10/laringitis-akut.html
13. Diunduh pada tanggal 1 Agustus 2015 dari :
http://www.ent-consultant-manchester.co.uk/node/3
14. Diunduh pada tanggal 1 Agustus 2015 dari :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/imagepages/19721.htm
2.2. Definisi
Laringitis tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring yang
terjadi dalam jangka waktu lama yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosa.1
1. Ballenger John. Penyakit Granulomatosa Kronik Laring. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorokan, Kepala dan Leher Jilid 1.Jakarta: Binarupa Aksara.2013
2.3. Epidemiologi
Sebagaimana insidensi dan prevalensi tuberkulosis paru yang mengalami penurunan,
kejadian laringitis tuberculosis juga mengalami penurunan, meskipun kecenderungan
peningkatan kejadian laringitis tuberkulosis dalam beberapa tahun terakhir. 3
Dulu, dinyatakan bahwa penyakit ini sering terjadi pada kelompok umur usia muda, yaitu
20-40 tahun. Dalam 20 tahun belakangan ini, insidens penyakit ini pada penduduk yang berumur
lebih dari 60 tahun jelas meningkat. Saat ini, tuberkulosis dalam semua bentuk dua kali lebih
sering pada laki-laki dibanding dengan perempuan. Untuk pasien berumur di atas 50 tahun,
perbandingan laki-laki dengan perempuan adalah 4:1. Gambaran ini juga terlihat pada insidens
kelainan laring. Tuberkulosis laring lebih sering terjadi pada laki-laki usia lanjut, terutama
pasien-pasien dengan keadaan ekonomi dan kesehatan buruk, banyak di antaranya adalah
peminum alkohol.1
1. Ballenger John. Penyakit Granulomatosa Kronik Laring. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorokan, Kepala dan Leher Jilid 1.Jakarta: Binarupa Aksara.2013
3. Purnanta M. Arief. Laryngitis Tuberculosa in ENT Department Dr. Sujito Hospital
Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen ENT-Head and Neck. Medical Faculty of GMU-Dr.
Sarjito Hospital.
2.4. Etiologi
Laringitis tuberkulosis disebabkan infeksi laring oleh Mycobacterium tuberculosa yang hampir
selalu akibat tuberkulosis paru aktif. Sering kali setelah diberi pengobatan, tuberculosis parunya
sembuh tetapi laringitis tuberkulosanya menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa laring
yang sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi yang tidak sebaik paru, sehingga bila infeksi
sudah mengenai kartilago, pengobatannya lebih lama.2
2. Soepardi AE, Iskandar N, dkk. Kelainan Laring. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Ed 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2.5. Patofisiologi
Laringitis tuberkulosis umumnya merupakan sekunder dari lesi tuberkulosis paru aktif,
jarang merupakan infeksi primer dari inhalasi basil tuberkel secara langsung. Secara umum,
infeksi kuman ke laring dapat terjadi melalui udara pernapasan, sputum yang mengandung
kuman, atau penyebaran melalui darah atau limfe. 1,2
Berdasarkan mekanisme terjadinya laringitis tuberkulosis dikategorikan menjadi 2
mekanisme, yaitu:
a. Laringitis Tuberkulosis Primer
Laringitis tuberkulosis primer jarang dilaporkan dalam literatur medis. Laringitis
tuberkulosis primer terjadi jika ditemukan infeksi Mycobacterium tuberculosa pada laring,
tanpa disertai adanya keterlibatan paru. Rute penyebaran infeksi pada laringitis tuberkulosis
primer yang saat ini diterima adalah invasi langsung dari basil tuberkel melalui inhalasi.
b. Laringitis Tuberkulosis Sekunder
Laringitis tuberculosis sekunder terjadi jika ditemukan infeksi laring akibat
Mycobacterium tuberculosa yang disertai adanya keterlibatan paru. Laringitis tuberculosis
sekunder merupakan komplikasi dari lesi tuberculosis paru aktif.
1. Ballenger John. Penyakit Granulomatosa Kronik Laring. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorokan, Kepala dan Leher Jilid 1.Jakarta: Binarupa Aksara.2013
Laringitis tuberkulosis umumnya merupakan sekunder dari lesi tuberkulosis paru aktif,
jarang merupakan infeksi primer dari inhalasi basil tuberkel secara langsung. Secara umum,
infeksi kuman ke laring dapat terjadi melalui udara pernapasan, sputum yang mengandung
kuman, atau penyebaran melalui darah atau limfe. Berdasarkan mekanisme terjadinya laringitis
tuberkulosis dikategorikan menjadi 2 mekanisme, yaitu:
- Laringitis Tuberkulosis Primer
Laringitis tuberkulosis primer jarang dilaporkan dalam literatur medis. Laringitis
tuberkulosis primer terjadi jika ditemukan infeksi Mycobacterium tuberculosa pada laring, tanpa
disertai adanya keterlibatan paru. Rute penyebaran infeksi pada laringitis tuberkulosis primer
yang saat ini diterima adalah invasi langsung dari basil tuberkel melalui inhalasi. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan, menyatakan bahwa sebanyak 40,6% pasien dengan laringitis
tuberkulosis memiliki paru yang normal.
- Laringitis Tuberkulosis Sekunder
Laringitis tuberkulosis sekunder terjadi jika ditemukan infeksi laring akibat Mycobacterium
tuberculosa yang disertai adanya keterlibatan paru. Laringitis tuberkulosis sekunder merupakan
komplikasi dari lesi tuberkulosis paru aktif. Mekanisme penyebaran infeksi ke laring dapat
berupa penyebaran langsung di sepanjang saluran pernapasan dari infeksi paru primer berupa
sputum yang mengandung kuman maupun penyebaran melalui sistem darah ataupun limfatik.
- Penyebaran Lewat Sputum (Bronkogen)
Penyebaran infeksi basil tuberkel ke laring melalui mekanisme bronkogenik merupakan
teori yang lazim dipahami. Adanya bronkogen dalam hal ini, sputum yang mengandung bakteri
M. tuberculosis mendasari patogenesis terjadinya laringitis tuberkulosis. Terjadinya laringitis
tuberkulosis dapat disebabkan oleh tersangkutnya sputum yang mengandung basil tuberkulosis di
laring, terutama pada struktur posterior laring termasuk aritenoid, ruang interaritenoid, pita suara
bagian posterior dan permukaan epiglotis yang menghadap ke laring.
Antigen dari basil TB yang berada di laring dicerna sel dendritik lalu dibawa ke kelenjar
limfe regional dan mempresentasikan antigen M. Tuberculosis ke sel Th1. Th1 kemudian
berproliferasi dan dapat kembali ke tempat awal infeksi. Restimulasi oleh sel penyaji setempat
menghasilkan produksi IFN g dan mengaktifasi makrofag. Bila eliminasi mikroorganisme ini
gagal akan berlanjut pada inflamasi kronik terjadi dimana patogen persisten di dalam tubuh,
maka terjadi pengalihan respon imun berupa reaksi hipersensitifitas tipe lambat membentuk
granuloma. Setelah kontak awal dengan antigen, sel Th disensitisasi, berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel DTH (delayed type hypersensitivity) dimana pengerahan makrofag
yang berkelanjutan akan membentuk sel-sel epitloid berupa sel datia dalam granuloma. Tuberkel
yang avaskular berisikan daerah perkijuan di tengah dikelilingi oleh sel epiteloid dan di bagian
perifer oleh sel-sel mononukleus. Kemudian tuberkel-tuberkel ini bersatu membentuk nodul.
Karena letaknya di subepitel, epitel yang melampisinya mungkin hilang dan sering terjadi
ulserasi dengan infeksi sekunder.
Proses ini pertama kali cenderung akan mengenai prosesus vokalis dan
epiglotis. Adanya tuberkel mungkin akan merangsang terjadinya hiperplasia epitel dan jaringan
fibrosis subepitel. Hal ini mungkin bermanifestasi pada daerah interaritenoid berupa penebalan
yang menyerupai pakiderma. Prosesus vokalis mungkin di tutupi oleh nodul yang menyerupai
morbili. Hal ini merupakan manifestasi dari proses perbaikan karena hanya ditemukan sedikit
perkijuan pada lesi. Edema jelas pada keadaan lebih lanjut dan mungkin terjadi sebagai akibat
obstruksi jaringan limfe oleh granuloma. Edema dapat timbul di fossa interaritenoid, kemudian
ke aritenoid, plika vokalis, plika ventrikularis, epiglottis serta terakhir ialah subglotik. Epiglotis
dan jaringan ikat di atas aritenoid merupakan tempat yang paling tampak edema. Penyembuhan
tuberkulosis laring disertai oleh pembentukan kapsul jaringan fibrosa dan jaringan menggantikan
tuberkel.
- Penyebaran Melalui Limfohematogen
Selain mekanisme bronkogenik, penyebaran M. tuberculosis pada laring dapat juga melalui
sistem limfohematogen. Penyebaran melalui sistem limfohematogen biasanya mengenai laring
anterior dan epiglotis.
14. Probst, Rudolf, Gerhard Grevers, Heinrich Iro. Basic Otorhinolaryngology : Infectious
Disease of Larynx and Trachea. New York: Thieme; 2006. Hal 354-361
15. Keyvan Kiakojuri, Mohammad Reza Hasanjani Roushan. Laryngeal tuberculosis without
pulmonary involvement. Caspian J Intern Med 3(1): Winter 2012: 3(1): 397-399.
http://www.sid.ir/en/vewssid/j_pdf/1010920120910.pdf
16. Mehndirattan, Anil, Pravin Bhatn, Lamartine D’Costa. Primary tuberculosis of Larynx.
Ind J tub 1997. 44.211. Didapat dari: http://lrsitbrd.nic.in/IJTB/Year%201997/Octuber
%201997/OCT1997%20J.pdf
17. Shin JE, Nam SY, Yoo SJ, Kim SY. Changing trends in clinical manifestations of
laryngeal tuberculosis. Laryngoscope 2000; 110: 1950-1953s.
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1097/00005537-200011000-00034/pdf
18. Baratawijdaja KG. Imunologi Dasar Edisi 7. Balai penerbit FK UI. Jakarta. 2006; h. 145,
170-173.
2.6. Gambaran Klinis
Secara klinis, laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium, yaitu:
1. Stadium infiltrasi
Yang pertama-tama mengalami pembengkakan dan hiperemis adalah mukosa laring
bagian posterior. Kadang-kadang pita suara terkena juga. Pada stadium ini mukosa laring
berwarna pucat. Kemudian di daerah submukosa terbentuk tuberkel, sehingga mukosa tidak
rata, tampak bintik-bintik yang berwarna kebiruan. Tuberkel ini makin membesar, serta
beberapa tuberkel yang berdekatan bersatu, sehingga mukosa di atasnya meregang. Pada
suatu saat, karena sangat meregang, maka akan pecah dan timbul ulkus.
2. Stadium ulserasi
Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus ini dangkal,
dasarnya ditutupi oleh perkijuan, serta sangat dirasakan yeri oleh pasien.
3. Stadium perikondritis
Ulkus makin dalam, sehingga mengenai kartilago laring, dan yang paling sering
terkena ialah kartilago aritenoid dan epiglotis. Dengan demikian terjadi kerusakan tulang
rawan, sehingga terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan berlanjut dan terbentuk
sekuester (squester). Pada stadium ini keadaan umum pasien sangat buruk dan dapat
meninggal dunia. Bila pasien dapat bertahan maka proses penyakit berlanjut dan masuk
dalam stadium terakhir yaitu stadium fibrotuberkulosis.
4. Stadium fibrotuberkulosis
Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, piata suara dan
subglotik.
2. Soepardi AE, Iskandar N, dkk. Kelainan Laring. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Ed 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2.7. Diagnosis
2.7.1. Anamnesa
Tergantung pada stadiumnya, disamping itu terdapat gejala sebagai berikut:
- Rasa kering, panas dan tertekan di daerah laring.
- Suara parau berlangsung berminggu-minggu, sedangkan pada stadium lanjut dapat timbul
afoni.
- Hemoptisis
- Nyeri waktu menelan yang lebih hebat bila dibandingkan dengan nyeri karena radang
lainnya, merupakan tanda yang khas.
- Keadaan umum buruk
- Pada pemeriksaan paru (secara klinis dan radiologik) terdapat proses aktif (biasanya pada
stadium eksudatif atau pada pembentukan kaverne)
2. Soepardi AE, Iskandar N, dkk. Kelainan Laring. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Ed 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
2.7.2. Pemeriksaan Fisik
2.7.3. Pemeriksaan Penunjang
Tuberkulosis laring harus dibedakan dari kanker dan penyakit granulomatosis lain yang
mirip secara klinis. Diagnosis tergantung dari ditemukannya basil tahan asam pada dahak pasien,
bilasan lambung atau bahan biopsi. Riwayat penyakit dan penemuan klinis mengingatkan dan
merupakan indikasi untuk pemeriksaan sputum dan bahan bilasan lambung dengan pewarnaan
Ziehl Neelsen. Pada beberapa pasien, kuman ini mungkin sedikit sekali dan harus diulangi
beberapa kali. Bahan dapat ditingkatkan dengan mencampurkan Clorox dan dilakukan
pemusingan untuk mengumpulkan kuman tersebut. Kultur pada media Dubos dan inokulasi pada
marmut perlu dilakukan pada kasus yang dicurigai, jika basil tahan asam tidak ditemukan pada
dahak. Bilasan lambung sering menolong dalam menemukan apusan posited daripada dahak.
Foto Rontgen toraks hampir selalu memperlihatkan kelainan dan harus dilakukan sejak
mula pada kasus yang dicurigai untuk menghindarkan penularan yang tidak perlu pada petugas.
Laringoskopi langsung dan biopsi harus dilakukan pada semua kasus untuk menegakkan
diagnosis tuberculosis dan untuk menyingkirkan ada tidaknya karsinoma atau penyakit lain.
Karsinoma terjadi cukup sering berkaitan dengan tuberculosis paru dan adakalanya dengan
tuberculosis laring. Oleh karena itu, kehadirannya tidak dapat disingkirkan dengan menemukan
foto toraks yang abnormal dan dahak yang mengandung basil tahan asam saja. Beberapa pasien
mungkin mempunyai dahak sedikit sekali dan foto toraks cukup normal, dan pemeriksaan bahan
biopsi dengan pewarnaan khusus mungkin perlu untuk menemukan basil tuberkulosa.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesa
Pada anamnesa dapat ditanyakan:
- Kapan pertama kali timbul serta faktor yang memicu dan mengurangi gejala.
- Riwayat pekerjaan, termasuk adanya kontak dengan bahan yang dapat memicu timbulnya
laringitis seperti debu, asap.
- Penggunaan suara berlebih.
- Penggunaan obat-obatan seperti diuretik, antihipertensi, antihistamin yang dapat
menimbulkan kekeringan pada mukosa dan lesi pada mukosa.
- Riwayat merokok.
- Riwayat makan.
- Suara parau atau disfonia.
- Batuk kronis terutama pada malam hari.
- Stridor karena adanya laringospasme bila sekret terdapat disekitar pita suara.
- Disfagia dan otalgia
16. Mehndirattan, Anil, Pravin Bhatn, Lamartine D’Costa. Primary tuberculosis of Larynx. Ind J
tub 1997. 44.211. Didapat dari:
http://lrsitbrd.nic.in/IJTB/Year%201997/Octuber%201997/OCT1997%20J.pdf
2. Gejala dan Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, tampak sakit berat, demam, terdapat stridor inspirasi, sianosis,
sesak nafas yang ditandai dengan nafas cuping hidung dan/atau retraksi dinding dada, frekuensi
nafas dapat meningkat, dan adanya takikardi yang tidak sesuai dengan peningkatan suhu badan
merupakan tanda hipoksia.
3. Laboratorium
- Pemeriksaan Bakteriologik
Bahan pemeriksaan Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman
tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan
untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum
halus/BJH).
Cara pengumpulan dan pengiriman bahan Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
- Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
- Pagi (keesokan harinya)
- Sewaktu / spot (pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.
- Kultur kuman
Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB khususnya
untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang
digunakan.
4. Laringoskopi direk atau indirek
Pemeriksaan dengan laringoskop direk atau indirek dapat membantu menegakkan diagnosis.
Dari pemeriksaan ini plika vokalis berwarna merah dan tampak edema terutama di bagian atas
dan bawah glotis.
Laringitis Tuberkulosis
5. Foto toraks
Untuk melihat apabila terdapat pembengkakan dan adanya gambaran tuberkulosis paru. CT
scanning dan MRI juga dapat digunakan dan memberikan hasil yang lebih baik. Gambaran
radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah.
- Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.
Foto Toraks Tuberkulosis Paru
6. Pemeriksaan patologi anatomi
Pada gambaran makroskopi tampak permukaan selaput lendir kering dan berbenjol-
benjol sedangkan pada mikroskopik terdapat epitel permukaan menebal dan opaque,
pembentukan granuloma, sel besar Langhans, serbukan sel radang menahun pada lapisan
submukosa.
2.8. Diagnosa Banding
1. Laringitis leutika
Laringitis leutika seringkali memberikan gejala yang sama dengan laringitis
tuberkulosis. Akan tetapi, radang menahun ini jarang ditemukan. Laringitis leutika terjadi
pada stadium tersier dari sifilis, yaitu stadium pembentukan guma. Apabila guma pecah,
maka timbul ulkus. Ulkus ini mempunyai sifat yang khas, yaitu sangat dalam, bertepi dengan
dasar yang keras, berwarna merah tua serta mengeluarkan eksudat yang berwarna
kekuningan. Ulkus tidak menyebabkan nyeri dan menjalar sangat cepat, sehingga bila tidak
terbentuk proses ini akan menjadi perikondritis.1,2,4,5,6
2. Karsinoma laring
Karsinoma laring memberikan gejala yang serupa dengan laringitis tuberkulosa.
Serak adalah gejala utama karsinoma laring, namun hubungan antara serak dengan tumor
laring tergantung pada letak tumor. Untuk diagnosis pasti sebaiknya dilakukan pemeriksaan
patologi anatomi.1,2
1. Ballenger John. Penyakit Granulomatosa Kronik Laring. Dalam: Penyakit Telinga,
Hidung, Tenggorokan, Kepala dan Leher Jilid 1.Jakarta: Binarupa Aksara.2013
2. Soepardi AE, Iskandar N, dkk. Kelainan Laring. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Ed 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
3. Colman BH. Disease of the Nose Throat Ear Head and Neck, tuberculosis of the larynx. 2007
4. Hibbert J, Laryngology and Head and Neck Surgery, Atrophic Laryngitis.2004
5. Becker W. Ear, Nose and Throat Disease, Spesific Form of Chronic Laryngitis.2005
2.9. Penatalaksanaan (1)
Pengobatan pada dasarnya ditujukan terhadap penyakit parunya. Obat-obat anti
tuberkulosis seperti isoniazid yang dikombinasikan dengan rifampisin atau etambutol paling
sering digunakan untuk mencegah timbulnya kuman yang resisten. Kombinasi yang berisikan
isoniazid paling bermanfaat dan obat ini biasanya digunakan dengan rifampisin atau etambutol
untuk terapi permulaan pada kebanyakan kasus paru. Ketiga jenis obat digunakan pada penyakit
yang sangat lanjut, pada saa pembedahan atau bila terdapat kuman yang resisten. Pasien dengan
penyakit laring biasanya menderita penyakit paru lanjut, sehingga perlu diberikan terapi ketiga
obat sekaligus. Dosis yang biasa diberikan ialah isoniazid 300-400 mg/hari, rifampisin 10
mg/kgBB/hari dan etambutol 15-25 mg/kgBB/hari. Obat-obat ini diberikan sekurang-kurangnya
selama enam bulan setelah dahak dan bilasan lambung tidak mengandung basil tahan asam lagi.
Respon penyakit laring terhadap pengobatan biasanya cepat. Jika ada rasa nyeri, biasanya
akan menghilang dalam beberapa hari dan ulkus akan smebuh dalam beberapa minggu. Istirahat
suara total harus dipertahankan selama fase aktif penyakit laring.
1. Ballenger John. Penyakit Granulomatosa Kronik Laring. Dalam: Penyakit Telinga,
Hidung, Tenggorokan, Kepala dan Leher Jilid 1.Jakarta: Binarupa Aksara.2013
Penatalaksanaan10,11
- Terapi non medikamentosa
- Mengistirahatkan pita suara dengan cara pasien tidak banyak berbicara.
- Menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan atau batuk misalnya goreng-
gorengan, makanan pedas.
- Konsumsi cairan yang banyak.
- Berhenti merokok dan konsumsi alkohol.
- Terapi medikamentosa : Obat antituberkulosis (OAT)
Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu:
Obat sekunder:
- Exionamid
- Paraaminosalisilat
- Sikloserin
- Amikasin
- Kapreomisin
- Kanamisin
- Operatif
Tindakan operatif dilakukan dengan tujuan untuk pengangkatan
sekuester. Trakeostomi diindikasikan bila terjadi obstruksi laring.
- Trakeostomi
Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior trakea untuk
bernafas. Trakeostomi dilakukan atas indikasi, berikut:
- Mengatasi obstruksi laring
- Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas seperti daerah
rongga mulut, sekitar lidah, dan faring.
- Mempermudah penghisapan secret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat
mengeluarkan secret secara fisiologik.
- Untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan).
- Untuk menambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas
bronkoskopi.
Trakeostomi pada kasus laringitis tuberkulosis dilakukan atas indikasi yaitu jika terjadi
obstruksi laring dan mengurangi ruang rugi di saluran napas bagian atas seperti daerah
rongga mulut, sekitar lidah, dan faring.
10. Yvette E Smulders, dkk. Laryngeal tuberculosis presenting as a supraglottic carcinoma: a
case report and review of the literature. Smulders et al; licensee BioMed Central Ltd. 2009
[Diakses tanggal 28 April 2012]. Didapatkan dari:
http://www.jmedicalcasereports.com/content/3/1/9288
11. Gupta, Summer K, Gregory N. Postma, Jamie A. Koufman. Laryngitis. Dalam: Bailey,
Byron, Johnson, Jonas T. editor. Head & Neck Surgery – Otolaryngology, edisi ke-4.
Newlands: Lippincott William & Wilkins; 2006.Hal 831-832.
2.10. Komplikasi
Pada laringitis akibat peradangan yang terjadi dari daerah lain maka dapat terjadi
inflamasi yang progresif dan dapat menyebabkan kesulitan bernafas. Kesulitan bernafas ini dapat
disertai stridor baik pada periode inspirasi, ekspirasi atau keduanya. Pada laringitis tuberkulosis
dapat terjadi sekuele, di antaranya stenosis glotis posterior, stenosis subglotis, paralisis plika
vokalis, dan persisten disfonia.
Soepardi AE, Iskandar N, dkk. Kelainan Laring. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Ed 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2.11. Pencegahan
2.12. Prognosis
Tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan hidup sehat serta ketekunan
berobat. Bila diagnosa dapat ditegakkan pada stadium dini maka prognosisnya baik.
Soepardi AE, Iskandar N, dkk. Kelainan Laring. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Ed 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
Banyak penyakit infeksi pada laring yang dapat berakibat sumbatan pada jalur pernafasan, maka
dari itu penyakit-penyakit ini harus cepat terdiagnosa dengan cara melakukan pemeriksaan-
pemeriksaan yang tepat, termasuk pemeriksaan penunjang dan laboratorium untuk mencegah
komplikasi- komplikasi dari sumbatan tersebut termasuk kematian.
Manifestasi klinis laringitis sangat tergantung pada beberapa faktor seperti sebabnya,
besarnya edema jaringan, regio laring yang terlibat secara primer dan usia pasien. Pasien
biasanya datang dengan berbagai macam keluhan seperti rasa tidak nyaman pada tenggorok,
batuk, perubahan kualitas suara, disfagia, odinofagia, batuk, kesulitan bernafas dan juga stridor.
Diagnosa laringitis kronis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan diberikan sesuai dengan etiologi yang mendasari.
Biasanya disebabkan oleh iritasi asap rokok, sehingga pasien diminta untuk berhenti merokok
dan menghindari asap rokok disekitarnya.
Prognosis dapat ditentukan berdasarkan stadium atau keparahan penyakit, diagnosa dini,
dan tepatnya penatalaksanaan.
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA