Bab i Terbaru

21
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa adalah aspek penting interaksi manusia. Dengan bahasa, (baik itu bahasa lisan, tulisan, maupun isyarat) orang akan melakukan suatu komunikasi dan kontak sosial. Bahasa juga dipandang sebagai cermin kepribadian seseorang karena bahasa diterjemahkan sebagai refleksi rasa, pikiran, dan tingkah laku. Adakalanya seorang yang pandai dan penuh dengan ide-ide cemerlang harus terhenti hanya karena dia tidak bisa menyampaikan idenya dalam bahasa yang baik. Oleh karena itu, seluruh ide, usulan, dan semua hasil karya pikiran tidak akan diketahui dan dievaluasi orang lain bila tidak dituangkannya dengan bahasa yang baik. Menurut pendapat Sumarsono dan Partana (2002:20) 1

Transcript of Bab i Terbaru

Page 1: Bab i Terbaru

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bahasa adalah aspek penting interaksi manusia. Dengan bahasa,

(baik itu bahasa lisan, tulisan, maupun isyarat) orang akan melakukan suatu

komunikasi dan kontak sosial. Bahasa juga dipandang sebagai cermin

kepribadian seseorang karena bahasa diterjemahkan sebagai refleksi rasa,

pikiran, dan tingkah laku. Adakalanya seorang yang pandai dan penuh

dengan ide-ide cemerlang harus terhenti hanya karena dia tidak bisa

menyampaikan idenya dalam bahasa yang baik. Oleh karena itu, seluruh ide,

usulan, dan semua hasil karya pikiran tidak akan diketahui dan dievaluasi

orang lain bila tidak dituangkannya dengan bahasa yang baik.

Menurut pendapat Sumarsono dan Partana (2002:20)

bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya yang merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan, perilaku masyarakat, dan penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa. Bahasa bisa dianggap sebagai “cermin zamannya” artinya bahwa bahasa di dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat. Bahasa menunjukkan karakteristik dan budaya bangsa yang menggunakan bahasa tersebut.

Demikian juga dalam memelajari bahasa Jepang, selain kita

mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan bidang fonetik, morfologi,

semantik, sintaksis bahasa Jepang, penting juga mempelajari bahasa ditinjau

dari sosial budaya masyarakat Jepang itu sendiri.

1

Page 2: Bab i Terbaru

2

Komunikator antarbudaya yang efektif bukan hanya memiliki

kompetensi gramatik dan kompetensi komunikatif, melainkan juga

kompetensi budaya yang mengarah pada empati rasa hormat terhadap

adanya perbedaan budaya. Dengan demikian, tujuan-tujuan komunikasi

dapat dicapai dengan lancar dan akan menguntungkan kedua belah pihak,

yakni penutur dan mitra tutur.

Ketika berbicara dengan menggunakan bahasa tertentu, kita harus

memperhatikan juga norma-norma yang berlaku dalam budaya tempat

bahasa tersebut digunakan. Tindak berbahasa menurut norma-norma budaya

ini disebut “etika berbahasa”. Etika berbahasa ini antara lain akan

mengatur:

1. Apa yang harus kita ucapkan pada waktu dan keadaan tertentu

kepada seorang partisipan tertentu, berkenaan dengan status sosial

dan budaya dalam masyarakat itu.

2. Ragam bahasa apa yang paling wajar kita gunakan dalam situasi

sosiolinguistik dan budaya tertentu.

3. Kepada siapa dan bagaimana kita mempergunakan giliran berbicara

kita dan menyela pembicaraaan orang lain.

4. Kapan kita harus diam.

5. Bagaimana kualitas suara dan sikap fisik kita dalam berbicara.

Semua contoh etika berbahasa di atas, sering digunakan dalam

percakapan kehidupan kita sehari-sehari, tergantung situasi dan kondisinya.

Percakapan juga dapat dilakukan secara efektif dan efisien, yakni dengan

Page 3: Bab i Terbaru

3

selalu memegang teguh prinsip kerja sama dalam komunikasi dengan selalu

mengatakan sesuatu yang telah terbukti kebenarannya, mengatakan apa yang

diperlukan saja, mengatakan sesuatu yang relevan dan berguna serta

mengatakan sesuatu secara jelas dan singkat.

Bagi masyarakat Jepang dalam penyampaian bahasa atau dalam

percakapan mereka sehari-hari, yaitu “….tidak mengungkapkan pokok

pembicaraan secara langsung seperti yang dilakukan orang barat yang suka

berterus terang dan menghendaki kejelasan dan ketegasan” (Edizal,

2001:34). Lebih lanjut Edizal mengatakan bahwa masyarakat Jepang suka

memutar-mutar kata sebelum masuk ke pokok pembicaraan, bahkan kadang-

kadang tidak mengatakan inti percakapan secara eksplisit (terang-terangan)

melainkan hanya secara tersirat untuk menimbulkan kenyamanan dan

keramahan tanpa menyinggung orang lain. Begitu juga halnya ketika

penutur Jepang menyampaikan suatu penolakan kepada lawan bicaranya.

Tindak tutur adalah suatu perbuatan tutur yang lebih mengacu

kepada makna dari ucapan yang dimaksudkan oleh si penutur. Tindak tutur

juga merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan

keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam

menghadapi situasi tertentu.

Tindak tutur menolak merupakan salah satu dari tindak tutur yang

berkaitan dengan mitra tutur. Dalam hal menolak, penutur dihadapkan pada

sebuah pilihan yang sulit. Di satu pihak penutur untuk tetap mematuhi

prinsip keharmonisan komunikasi, tetapi di lain pihak dia harus melanggar

Page 4: Bab i Terbaru

4

atau bahkan mengabaikan prinsip-prinsip tadi. Dalam hal ini kesantunan

berbahasa sangat diperlukan agar mitra tutur tidak kehilangan muka. Hal

lain yang menarik untuk diketahui tentang tindak tutur menolak adalah

bagaimana menafsirkan sebuah penolakan yang diungkapkan secara tidak

langsung. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa masyarakat

Jepang merupakan penutur yang menggunakan pertuturan tidak langsung.

Pertuturan langsung bagi masyarakat Jepang bisa dianggap tidak sopan.

Pertuturan masyarakat Jepang yang tidak lansung tersebut menyebabkan

pembelajar bahasa Jepang akan merasa sulit untuk bisa memahami tindak

tutur menolak dalam komunikasi orang Jepang.

Pada umumnya masyarakat di Jepang, ishin denshin masih dominan

sebab budaya malu itu sudah terbenam dalam diri orang Jepang akibat

budaya dan tradisi yang mereka jalani dalam kehidupannya.

Seperti dikemukakan Kanemoto,et.al. (2002) sebagai berikut :

。。。日本人 は じこお 出超 する こと を あまり 子の輪内 公民 出ある という こと が いえます。それ は、たんにん に あわせる ほう が たいりつ する こと も なく、こと が すうまず に はこぼ と かんがえて いる から です。「ほんね と たてまえ  さんしょう」。たんにん に たいし自分 が 思って いる こと をそのまま 言うのは、たんにんをきずつけてしまうのではと考えてしまうのです。‘...nihonjin wa jikoo shucchoo suru koto wo amari konomanai’ koumin de aru to iu koto ga iemasu. Sore wa, tannin ni awaseru hoo ga tairitsu suru koto mo naku, koto ga suumazu ni hakobo to kangaete iru kara desu. (honne to tatemae sanshoo). Tanin ni taishi, jibun ga omotte iru koto wo sono mama iu no wa, tannin wo kizutsukete shimau node wa, to kangaete shimau no desu.’‘…Jelas sekali bahwa orang Jepang tidak begitu mengharapkan mengemukakan opini atau pendapat sendiri sebab ia khawatir pendapatnya itu menyinggung perasaan lawan bicaranya, yang akhirnya dikhawatirkan pula merusak harmonisasi hubungan antara

Page 5: Bab i Terbaru

5

dia dengan lawan bicaranya.’

Setidak-tidaknya ada tiga strategi yang mendasari kepribadian orang

Jepang ketika mereka mesti menyampaikan ide atau gagasannya supaya

tidak menyinggung perasaan lawan bicaranya, yakni:

1. Menyerahkan kembali pendapat itu terhadap lawan bicara.

2. Tidak merespon atau diam sesuai dengan situasi dan kondisi.

3. Digunakan ungkapan-ungkapan yang samar.

Ketiga butir di atas menyerap pada aspek kehidupan orang Jepang

secara alamiah. Seperti yang dikemukakan di bawah ini bahwa ketika orang

Jepang memohon sesuatu kepada orang lain sering mempertimbangkan

lawan bicaranya. Hal ini sering kita temui pada saat mereka menolak

permohonan atau lamaran seseorang. Penulis sendiri sering dihadapkan

pada seseorang yang sebenarnya ia mau, namun dengan adanya perasaan

malu itulah ia seolah-olah menolak secara halus. Dalam kontes seperti inilah

kita sering dibuat bingung, apakah yang bersangkutan menolak atau tidak

menolak. Kalau kita terus-menerus menawarkannya, kemudian pada

akhirnya yang bersangkutan menerima tawaran kita, maka dapat

disimpulkan bahwa ekspresi perasaan malu orang tersebut hanyalah basa-

basi. Yang jelas, dalam masyarakat Jepang, dan mungkin umumnya pada

masyarakat Asia, perasaan malu ini bisa hilang atau terusir apabila terjadi

frekuensi kepentingan yang cukup tinggi pada diri seseorang.

Page 6: Bab i Terbaru

6

Kaitanya dengan orang Jepang ini, dalam buku Japanese for Today

(Gakken, 1990:212, edisi bahasa Inggris) ada teks yang berjudul “The

Japanese”, yang di dalamnya tertulis uraian seperti berikut:

The Japanese people have long avoided making direct and explicit judgments of good or bad. Instead, care is taken to consider the other person’s position and not to hurt his feelings, and this has become an ingrained habit. Although English uses ‘yes’ when the respondent’s answer is affirmative and ‘no’ when it is negative, the Japanese “hai” and “iie” depend upon the phrasing of the question. Thus ‘Dont’t you want to go ?’ is answered with ‘Yes, I don. ‘or ‘No. I do.’ In accordance with the asker’s assumption that the person does not want to go.

Uraian tersebut menyiratkan bahwa bangsa Jepang adalah bangsa

yang mempunyai sikap toleransi yang tinggi. Mereka selalu berusaha

menghindari sikap-sikap konfrontatif dengan orang yang dijadikan lawan

bicaranya sehingga mereka kurang “mampu” mengatakan secara tegas

antara “Ya” dan “Tidak” terhadap lawan bicaranya. Oleh sebab itu, sangat

wajar dalam masyarakat Jepang sering ditemukan berbagai kesamaran di

balik pernyataannya. Tentunya, itu semua diakibatkan adanya kesadaran

orang Jepang terhadap hubungan timbal balik antara perasaan malu, etika,

dan toleransi.

Kaitannya dengan kesamaan di balik pernyataan orang Jepang ini,

Rowland (1992) yang disitir Dahidi (2001:135) dalam makalahnya berjudul

“Kesamaran di Balik Pernyataan Orang Jepang”, dikemukakan bahwa

strategi orang Jepang ketika melakukan penolakan itu selalu tersamar antara

lain dengan cara meminta maaf, bersikap diam, menanyakan mengapa anda

ingin mengetahuinya, bersikap samar-samar, atau menjawab dengan

Page 7: Bab i Terbaru

7

sebuah gaya bahasa halus yang artinya tidak.

Berikut ini beberapa contoh penolakan halus orang Jepang yang

sifatnya samar, yakni:

1. “Saya akan memeriksanya dan melakukan apa saja yang saya

dapat lakukan.”

私はそれをチェックアウトするだろうと私は何を得るか。

2. “Saya akan melakukan yang terbaik setelah saya membahasnya.”

私はそれを議論した後に、最善を尽くします。

3. “Saya akan memikirkan hal itu.”

私はそれについて考えてみま す。

4. “Akan saya tangani dengan sebaik-baiknya, sejauh saya bisa.”

私も、私の知る限りすることができます処理されます。

5. “Itu sangat sulit.”

これは非常に困難です。

6. “Akan saya pertimbangkan untuk masa yang akan datang.”

私は将来のために考慮されます。

7. “Saya akan berusaha keras.”

頑張ってみます。

8. “Saya kurang yakin.”

私はよく分からない。

Page 8: Bab i Terbaru

8

Penulis menggunakan novel あらし

嵐 の中のマニャール (arashi no naka

no manyaru) sebagai media untuk menganalisa kotowari hyogen, karena

adanya tantangan tersendiri bagi penulis. Selain itu, novel ini juga

menampilkan jenis-jenis kotowari hyogen. Salah satu kutipan didalam novel

yang mengandung kotowari hyogen sebagai berikut:

1.「まちがえたの、私が。私のととりかえ取 替 ましょう。」ジャナは 

こうぎ抗 議 した。

Machi ga eta no,watashi ga.watashi no torikaekaemashyoo.”jyona wa

kougishita

Saya yang salah, Tik sini saya ganti

 「おお、いいですとりかえ取 替 ないで、お母さん。

すわ坐 って

した下 い

ゆっくりお すわ坐 りになって。おまえもおあがり、アティク。」

Oo, iidesutorikaenaide, obasan. Suatteshitai,yukkurio suwari ni natte.

Omaemooagari, ateiku.

Dik Jon protes: “O-o-o tidak perlu, jangan Bu. Ibu duduk saja, dan

makan tenang. Kau juga makan, Atik sayang.

Page 9: Bab i Terbaru

9

(あらし

嵐 の中のマニャール、1981:284 )

Pada percakapan di atas terdapat unsur kotowari hyogen. Kita dapat

lihat pada kalimat di bawah ini yang di garis bawahi.

「おお、いいですとりかえ取 替 ないで、お母さん。」

O-o-o tidak perlu, jangan Bu, ibu duduk saja. Pada kalimat ini menjelaskan

kalau si Ibu menolak secara tidak langsung, kalau tehnya diganti.”

2.「マス。テト、何時にきゅうでん

宮 殿 へいきたいの?」

Masu. Teto, nanji ni kyuuden e ikitai no?

Mas Teto ingin jam berapa ke istana?

「いきたいことはいきたいのさ。しかしきょか許 可

Page 10: Bab i Terbaru

10

 をもらえるかどうか、それもわか分 らないし、」

Ikitai koto wa ikitainosa. Shikashi kyoka wo moraeru Kadoka, sore mo

Wakaranaishi,

Ingin sih ingin. Tetapi apa diijinkan, itulah soal juga,”

(あらし

嵐 の中のマニャール、1981:286-287 )

Pada percakapan di atas terdapat unsur kotowari hyogen. Kita dapat

lihat pada kalimat di bawah ini yang di garis bawahi.

「いきたいことはいきたいのさ。しかしきょか許 可 をもらえるかどうかそ

れもわか分 らないし、」

“Ingin sih ingin. Tetapi apa diijinkan, itulah soal juga.” Pada kalimat ini mas

Teto menolak ajakan secara tidak langsung, yang disertai dengan alasan.

Sehubungan dengan hal yang di atas, penulis meneliti tindak tutur

menolak orang Jepang (kotowari hyogen) dalam masyarakat Jepang, tetapi

Page 11: Bab i Terbaru

11

disini penulis lebih mengkhususkan pada novel あらし

嵐 の中のマニャール(arashi

no naka no manyaru) sebagai pusat kajian skripsi. Karena pertama, penulis

sangat tertarik dengan tingkat kesopanan orang Jepang. Jika kita bandingkan

tindak tutur menolak dalam masyarakat Indonesia, itu sangat jauh berbeda

dengan yang ada pada masyarakat Jepang. Karena pada masyarakat

Indonesia, mereka menolak secara langsung tanpa biasa menggunakan basa-

basi. Berbeda lagi kalau dengan masyarakat Jepang, mereka menolak secara

tidak langsung atau menggunakan basa-basi agar tidak menyinggung

perasaan mitra tutur. Perlu juga kita ketahui bahwa orang Jepang tidak

mengungkapkan verba ikimasen ‘tidak akan pergi’ atau ikitaku arimasen

‘tidak mau pergi’ ketika menolak ajakan lawan bicara, apalagi jika lawan

bicara itu dikatagorikan kurang begitu akrab, dan kepada atasan sendiri.

Sebab budaya orang Jepang adalah selalu berusaha menjaga harmonisasi

hubungan antara manusia supaya tidak menyinggung perasaan penutur dan

mitra tutur. Dari faktor inilah, biasanya pembelajar bahasa Jepang merasa

bingung jika si pembelajar bercakap dengan orang Jepang. Karena terkadang

orang Jepang ketika mengungkapkan perasaan menolak sering

mempertimbangkan perasaan lawan bicaranya terlebih dahulu, sebelum

menolak. Sehingga sering ditemukan kesamaran di balik pernyataannya

tersebut. Karena mereka betul-betul menghargai lawan bicaranya, sehingga

dia mencari cara untuk menolak secara halus. Dari sinilah penulis berpikir

untuk mengangkat judul “Analisis Penggunaan Tindak Tutur Menolak/

Page 12: Bab i Terbaru

12

Kotowari hyougen dalam novel あらし

嵐 の 中 の マ ニ ャ ー ル (arashi no naka no

manyaru) suatu tinjauan Pragmatik”.

Dengan adanya penelitian mengenai tindak tutur menolak atau

kotowari hyogen dapat memberikan pengetahuan bagi para pembelajar

bahasa Jepang dapat mengetahui betapa pentingnya mempelajari kotowari

hyogen dalam masyarakat Jepang. Di sini penulis menkhususkan penelitian

kotowari hyogen yang ada pada novel あらし

嵐 の中のマニャール(arashi no naka

no manyaru). Agar para pembelajar bahasa Jepang selain dapat mengetahui

bentuk-bentuk percakapan kotowari hyogen yang ada pada novel あらし

嵐 の

中のマニャール (arashi no naka no manyaru), para pembelajar juga dapat mengetahui

cara mengkaji dan menganalisis percakapan yang mengandung kotowari hyogen

pada sebuah novel Jepang. Terus pembelajar juga dapat mengetahui teknik

menolak jika sementara bercakap dengan orang Jepang. Kemudian

pembelajar juga tidak merasa bingung jika mendapati ungkapan orang

Jepang dalam menolak secara tidak langsung atau samar-samar.

1.2 Identifikasi Masalah

Agar memperoleh analisis yang lebih jelas, maka penelitian ini

dibatasi hanya pada tindak tutur menolak dalam percakapan orang jepang.

Khususnya pada novel あらし

嵐 の中のマニャール (arashi no naka no manyaru).

Pada penelitian ini penulis mengidentifikasikan beberapa masalah, yakni:

Page 13: Bab i Terbaru

13

1.2.1 Percakapan yang mengandung unsur tindak tutur menolak (kotowari

hyogen)

1.2.2 Bentuk ungkapan tindak tutur menolak (kotowari hyogen)

1.2.3 Penggunaan tindak tutur menolak (kotowari hyogen)

1.3 Batasan Masalah

Dalam penelitian ini penulis memberikan batasan masalah yang akan

dikaji. Batasan masalah ini memudahkan penulis untuk menguraikan persoalan-

persoalan yang akan dibahas.

Membahas mengenai tindak tutur menolak (kotowari hyogen) sangatlah

luas. Oleh karena itu, penulis membatasi penelitian ini hanya pada percakapan

yang mengandung unsur tindak tutur menolak (kotowari hyogen) dan ungkapan-

ungkapan yang digunakan dalam kotowari hyogen pada novel あらし

嵐 の中のマニャー

ル (arashi no naka no manyaru)

1.4 Rumusan Masalah

I.4.1 Menentukan percakapan yang mengandung unsur kotowari hyogen

yang ada dalam novel あらし

嵐 の中のマニャール(arashi no naka no

manyaru).

I.4.2 Ungkapan apa saja yang digunakan dalam kotowari hyogen dalam

novel あらし

嵐 の中のマニャール (arashi no naka no manyaru)?

1.5 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Page 14: Bab i Terbaru

14

1.5.1 Tujuan Penelitian

1. Dapat membantu para pembelajar bahasa Jepang agar mengetahui

bentuk-bentuk percakapan yang mengandung unsur tindak tutur

menolak (kotowari hyogen) yang biasa digunakan dalam

keseharian oleh orang Jepang dan bagaimana cara

menganalisisnya.

2. Agar para pembelajar bahasa Jepang dapat mengetahui secara lebih

mendalam tentang ungkapan tindak tutur menolak (kotowari

hyogen) yang sering digunakan dalam keseharian oleh orang

Jepang.

3. Agar para pembelajar bahasa Jepang dapat mengetahi teknik dan

strategi menolak orang jepang.

1.5.2 Kegunaan Penelitian

1. Menambah pemahaman lebih mendalam tentang ungkapan tindak

tutur menolak (kotowari hyogen) pada percakapan orang Jepang.

2. Membantu para pembelajar bahasa Jepang dalam memahami

penggunaan tindak tutur menolak (kotowari hyogen) dalam

percakapan orang Jepang.

3. Memberi pengetahuan tambahan bagi pembelajar bahasa Jepang

tentang teknik dan strategi menolak orang jepang.

Page 15: Bab i Terbaru

15