BAB I TB PARU PDPI

65
BAB I PENDAHULUAN A. EPIDEMIOLOGI Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai « Global Emergency ». Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk, seperti terlihat pada tabel 1 Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalens HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul. Tabel 1. Perkiraan insidens TB dan angka mortaliti, 2002 Jumlah kasus (Ribu) Kasus per 100 000 penduduk Kematian akibat TB (termasuk kematian TB pada penderita HIV) Pembagian daerah WHO Semua kasus (%) Sputum positif Semua kasus (%) Sputum positif Jumlah (Ribu) Per 100 000 penduduk Afrika 2354 (26) 1000 350 149 556 83

description

hfhgf

Transcript of BAB I TB PARU PDPI

Page 1: BAB I TB PARU PDPI

BAB IPENDAHULUAN

A.  EPIDEMIOLOGI 

 

   Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada

tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai « Global

Emergency ». Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru

tuberkulosis pada tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga

penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar

kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari

jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar

dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk, seperti terlihat pada tabel 1

   Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun.

Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di

Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk.

Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalens HIV yang

cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.

  Tabel 1. Perkiraan insidens TB dan angka mortaliti, 2002

  Jumlah kasus(Ribu)

Kasus per 100 000 penduduk

Kematian akibat TB (termasuk kematian TB pada penderita HIV)

Pembagian

daerah WHO

Semua

kasus (%)

Sputum

positif

Semua

kasus (%)

Sputum

positif

Jumlah

(Ribu)

Per 100 000

penduduk

Afrika 2354 (26) 1000 350 149 556 83

Amerika 370 (4) 165 43 19 53 6

Mediteranian

timur

622 (7) 279 124 55 143 28

Eropa 472 (5) 211 54 24 73 8

Asia Tenggara 2890 (33) 1294 182 81 625 39

Pasifik Barat 2090 (24) 939 122 55 373 22

Global 8797 (100) 2887 141 63 1823 29

 

   Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan Cina.

Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di

Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan

penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada

seluruh kalangan usia.

Page 2: BAB I TB PARU PDPI

B. DEFINISI

 

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex

C. BIOMOLEKULER M.Tuberculosis

  MorfologidanStrukturBakteri  

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan

tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Dinding M.

tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama

dinding sel M. tuberculosis  ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa

dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi.

Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan

arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur

lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan

dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M.

tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya

penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam – alkohol

.

   Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida

dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan

antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa

(kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti dan spesifisiti yang bervariasi

dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen M. tuberculosis dalam kelompok

antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan

oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a, protein MTP 40 dan lain lain.

Biomolekuler    Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan guanin (G)

dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165 gen dan

penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen yang merupakan sikuen DNA

mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai DNA target, kelompok II merupakan sikuen

DNA yang menyandi antigen protein, sedangkan kelompok III adalah sikuen DNA ulangan seperti

elemen sisipan.

   Gen pab dan gen groEL masing masing menyandi protein berikatan posfat misalnya protein 38

kDa dan protein kejut panas (heat shock protein) seperti protein 65 kDa, gen katG menyandi

Page 3: BAB I TB PARU PDPI

katalase-peroksidase dan gen 16SrRNA (rrs) menyandi protein ribosomal S12 sedangkan gen

rpoB menyandi RNA polimerase.

   Sikuen sisipan DNA (IS) adalah elemen genetik yang mobile. Lebih dari 16 IS ada dalam

mikobakteria antara lain IS6110, IS1081 dan elemen seperti IS (IS-like element). Deteksi gen

tersebut dapat dilakukan dengan teknik PCR dan RFLP (dikutip dari 11).

    

BAB IIPATOGENESIS

A.  TUBERKULOSIS PRIMER

 

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga

akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang

primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari

sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).

Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional).

Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer.

Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :

  1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)

  2.Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis

fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

  3. Menyebar dengan cara :

   

a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya

Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan

bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar

sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan

akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang

tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada

lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.

   b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru

sebelahnya atau tertelan

    c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan

dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang

ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat

imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat

Page 4: BAB I TB PARU PDPI

seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy.

Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya,

misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan

penyebaran ini mungkin berakhir dengan :

      - Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang

pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau

      - Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.

       

B. TUBERKULOSIS POSTPRIMER

 

   Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis primer,

biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis postprimer mempunyai nama yang

bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis

menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan

masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan

sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior.

Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan

mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :

  1. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat

 

2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan

penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan

sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali

dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju

dibatukkan keluar.

 

3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti

akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya

berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti

tersebut akan menjadi:

    - meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang pneumoni

ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di atas

   - memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.

Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif

kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi

    - bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti

menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan

berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan

Page 5: BAB I TB PARU PDPI

seperti bintang (stellate shaped).

      Gambar 1. Skema perkembangan sarang tuberkulosis postprimer dan

perjalanan penyembuhannya

       

BAB IIIKLASIFIKASI TUBERKULOSIS

A. TUBERKULOSIS PARU

  Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.

Page 6: BAB I TB PARU PDPI

  1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak  (BTA)

    TB paru dibagi atas:

    a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:

       - Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak  menunjukkan hasil BTA

positif

       - Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak  menunjukkan BTA positif dan

kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

       - Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak  menunjukkan BTA positif dan

biakan positif

    b. Tuberkulosis paru BTA (-)

        - Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis

dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif

       - Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.

tuberculosis

  2. Berdasarkan tipe pasien

   Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada

beberapa tipe pasien yaitu :

    a. Kasus baru

      Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau

sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

    b. Kasus kambuh (relaps)

   

  Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan

tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,

kemudian kembali  lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif

atau biakan positif.

Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi

aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa

kemungkinan :

        - Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan dll)

       - TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten

menangani kasus tuberkulosis

    c. Kasus defaulted atau drop out

      Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak

mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa

Page 7: BAB I TB PARU PDPI

pengobatannya selesai.

    d. Kasus gagal

     Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif

pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir

pengobatan.

    e. Kasus kronik

     Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai

pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang

baik

    f. Kasus Bekas TB:

   

  - Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran

radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial

menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat

akan lebih mendukung

     - Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat

pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan

gambaran radiologi

B. TUBERKULOSIS EKSTRA PARU

 

    Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,

misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran kencing dan lain-lain.

    Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi dari tempat lesi. Untuk

kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang

kuat dan konsisten dengan TB ekstraparu aktif.

 

Page 8: BAB I TB PARU PDPI

Gambar 2. Skema klasifikasi tuberkulosis

     

 

BAB IVDIAGNOSIS

A. GAMBARAN KLINIK

 

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis/jasmani,

pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya

 Gejala klinik  Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik,

bila organ yang terkena adalah  paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai

organ yang terlibat)

  1. Gejala respiratorik

      - batuk 2  minggu

Page 9: BAB I TB PARU PDPI

  - batuk darah

  - sesak napas

  - nyeri dada

   

Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala

yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat

medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka

pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi

bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.

  2. Gejala sistemik

     - Demam

  - gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat

badan menurun

  3. Gejala tuberkulosis ekstraparu

   

Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada

limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri

dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala

meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas

dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

  Pemeriksaan Jasmani

 

Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru.  Pada

permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan

kelainan.  Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks

dan segmen posterior (S1 dan S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6).  Pada pemeriksaan

jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki

basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya cairan di rongga

pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak

terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah

leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran

kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”

  Gambar 3.  Paru : apeks lobus superior dan apeks lobus inferior

Page 10: BAB I TB PARU PDPI

dikutip dari (3,12)

  Pemeriksaan Bakteriologik

  a. Bahan pemeriksasan

   

Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti

yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.  Bahan untuk pemeriksaan

bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal,

bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar

lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)

  b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan

    Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):

       - Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)

  - Pagi ( keesokan harinya )

  - Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)

    atau setiap pagi 3  hari berturut-turut.

    Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan  dikumpulkan/ditampung

dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup

berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen

tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim

ke laboratorium.

Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek,

atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9%

3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.

Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke

dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah

tertulis identiti pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan

Page 11: BAB I TB PARU PDPI

laboratorium.

Bila lokasi fasiliti laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien,

spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.

Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:

   

  - Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian

tengahnya

  - Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari

kertas saring sebanyak +  1 ml

  - Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung

yang tidak mengandung bahan dahak

  - Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman,

misal di dalam dus

  - Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong

plastik kecil

  - Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan

sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi

  - Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak

  - Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat

laboratorium.

  c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.

   

Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura,

liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan

bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat

dilakukan dengan cara

       - Mikroskopik

  - Biakan

      Pemeriksaan mikroskopik:

     Mikroskopik biasa        :    pewarnaan Ziehl-Nielsen

Mikroskopik fluoresens:     pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk

screening)

   

lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :

3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif ® BTA positif

1 kali positif, 2 kali negatif ® ulang BTA 3 kali, kemudian

bila 1 kali positif, 2 kali negatif ®  BTA positif

bila 3 kali negatif ® BTA negatif

    Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi

Page 12: BAB I TB PARU PDPI

WHO).

    Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :

     

  - Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

  - Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang

ditemukan

  - Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)

  - Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)

  - Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

    Pemeriksaan biakan kuman:

   

Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan

cara :

  - Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh

  - Agar base media : Middle brook

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat

mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than

tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara,

baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji

niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide  serta melihat pigmen

yang timbul

    Pemeriksaan  Radiologik

   

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto

lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis

dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).  Gambaran

radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

     

  - Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior  lobus atas

paru dan segmen superior lobus bawah

  - Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau

nodular

  - Bayangan bercak milier

  - Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

   

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif

  - Fibrotik

  - Kalsifikasi

  - Schwarte atau penebalan pleura

Page 13: BAB I TB PARU PDPI

   Luluh paru  (destroyed Lung ) :

   

- Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,

biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologi luluh paru terdiri

dari atelektasis, ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk

menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologi

tersebut.

   - Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktiviti proses

penyakit

   Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat

dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :

   

- Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan

luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas

chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari

vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai kaviti

    - Lesi luas

Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

    Pemeriksaan khusus

   

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya

waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara

konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru

yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.

    1. Pemeriksaan  BACTEC

     

Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode

radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian

menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya  oleh mesin ini.

Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat

untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan (dikutip

dari 13)

Bentuk lain teknik ini adalah dengan menggunakan  Mycobacteria Growth

Indicator Tube (MGIT).

    2. Polymerase chain reaction (PCR):

      Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA,

termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik

ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak

dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.

Page 14: BAB I TB PARU PDPI

Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis

sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan

sesuai standar  internasional.

Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang

menunjang ke arah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai

sebagai pegangan untuk diagnosis TB

Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen

pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ekstraparu sesuai dengan  organ

yang terlibat.

    3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda a.1: 

      a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)

   Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respons

humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam

teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang

cukup lama.

b. ICT

   Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji

serologi untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT

merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang

berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38

kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada

membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1

garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml

diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati

garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap

M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk

garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk

garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.

c. Mycodot

   Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini

menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu

alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam

serum pasien, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti

LAM dalam jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan

timbul perubahan warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan mudah

d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)

   Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang

Page 15: BAB I TB PARU PDPI

terjadi. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh,

para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar

antibodi yang terdeteksi.

e. Uji serologi yang baru / IgG TB

   Uji IgG adalah salah satu pemeriksaan serologi dengan cara mendeteksi

antibodi IgG dengan antigen spesifik  untuk Mycobacterium tuberculosis. Uji

IgG berdasarkan antigen mikobakterial rekombinan seperti 38 kDa dan 16 kDa 

dan kombinasi lainnya akan menberikan tingkat  sensitiviti dan spesifisiti yang

dapat diterima untuk diagnosis. Di luar negeri, metode imunodiagnosis ini lebih

sering digunakan untuk mendiagnosis TB ekstraparu, tetapi tidak cukup baik

untuk diagnosis  TB pada anak.

   Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk

diagnosis.

    Pemeriksaan Penunjang lain

    1. Analisis Cairan Pleura

     

Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu

dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis.

Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji

Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura

terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah

    2. Pemeriksaan histopatologi jaringan

     

Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis

TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histopatologi. Bahan

jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :

  · Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)

  · Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan

Veen Silverman)

  · Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan

bronkoskopi, trans thoracal needle aspiration/TTNA, biopsi paru terbuka).

  · Otopsi

   Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan

dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi

untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.

    3. Pemeriksaan darah

      Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik

Page 16: BAB I TB PARU PDPI

untuk tuberkulosis.  Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat

digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat

pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan

tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.

    4. Uji tuberkulin

     

Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi tuberkulosis. Di Indonesia

dengan prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu

diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa.  Uji ini akan

mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositivan dari

uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin

dapat memberikan hasil negatif.

 

Gambar 4.  Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa

Page 17: BAB I TB PARU PDPI

       

BAB VPENGOBATAN TUBERKULOSIS

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7

bulan.  Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.

A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)

  Obat yang dipakai:

  1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:

   

·       INH

        Rifampisin

·       Pirazinamid

·       Streptomisin

·       Etambutol

  2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)

   

·       Kanamisin

·       Amikasin

·       Kuinolon

·       Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin +

asam klavulanat

·       Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :        o       Kapreomisin

        o       Sikloserino      

        o       PAS (dulu tersedia)

        o       Derivat rifampisin dan INH

        o       Thioamides (ethionamide dan prothionamide)

Page 18: BAB I TB PARU PDPI

  Kemasan

   

-  Obat tunggal,

   Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, rifampisin, pirazinamid dan

etambutol.

-  Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC)

   Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet

Dosis OAT Tabel 2. Jenis dan dosis OAT

Obat

Dosis(Mg/Kg

BB/Hari)

Dosis yg dianjurkan DosisMaks (mg)

Dosis (mg) / berat badan (kg)

Harian (mg/

kgBB / hari)

Intermitten (mg/Kg/BB/kali)

< 40 40-60

>60

R 8-12 10 10 600 300 450 600

H 4-6 5 10 300 150 300 450

Z 20-30 25 35 750100

01500

E 15-20 15 30 750100

01500

S 15-18 15 15 1000Sesuai

BB750 1000

  Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk

menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis).

Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO.

International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan

untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB

primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti

terlihat pada tabel 3. Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:

1.      Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal

2.      Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan

yang tidak disengaja

Page 19: BAB I TB PARU PDPI

3.      Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan

standar

4.      Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit

5.      Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan

monoterapi

 

Tabel 3. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap

  Fase intensif Fase lanjutan

    2 bulan   4 bulan

BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu

  RHZE

150/75/400/275

RHZ

150/75/400

RHZ

150/150/500

RH

150/75

RH

150/150

30-37

38-54

55-70

>71

2

3

4

5

2

3

4

5

2

3

4

5

2

3

4

5

2

3

4

5

 

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah

ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi

dan non toksik.

Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping

serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.

B. PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS

 Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:

 ·  TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas

  Paduan obat yang dianjurkan   : 2 RHZE / 4 RH            

                                                 atau                           

                                               : 2 RHZE/ 6HE 

                                                 atau                                                                                    

                                                 2 RHZE / 4R3H3

Paduan ini dianjurkan untuk

Page 20: BAB I TB PARU PDPI

  a. TB paru BTA (+), kasus baru

  b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk luluh paru)

  Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi

  ·  TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal

Paduan obat yang dianjurkan :  2 RHZE / 4 RH atau

               :  6 RHE atau

                                                                 2 RHZE/ 4R3H3

 ·  TB paru kasus kambuh

    Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan  2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai

dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji  resistensi dapat diberikan obat RHE selama

5 bulan.

 ·  TB Paru kasus gagal pengobatan

    Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan  obat lini 2 (contoh paduan: 3-6 bulan

kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid,

sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase awal dapat diberikan  2 RHZES / 1

RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji  resistensi

dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.

   -         Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal

   -         Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru

 ·  TB Paru kasus putus berobat    Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria

sebagai berikut :

   a.   Berobat   > 4 bulan

        1)  BTA saat ini negatif

   Klinis dan  radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila

gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan

mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan

dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih

lama.

        2)  BTA saat ini positif

  Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan

yang lebih lama

   b.    Berobat < 4 bulan

        1)  Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan

jangka waktu pengobatan yang lebih lama

        2)  Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan diteruskan

    Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji      resistensi terhadap OAT.

Page 21: BAB I TB PARU PDPI

·  TB Paru kasus kronik   -  Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES.  Jika

telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi

      (minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2 seperti

kuinolon, betalaktam, makrolid dll. Pengobatan minimal 18 bulan.

   -  Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup

   -  Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan

   -  Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru

 

 

  Tabel 4. Ringkasan paduan obat

  Kategori

Kasus Paduan obat yang diajurkan Keterangan

I - TB paru BTA +,

  BTA - , lesi

luas         

2 RHZE / 4 RH atau

2 RHZE / 6 HE

*2RHZE / 4R3H3

 

II - Kambuh

- Gagal

pengobatan

-RHZES / 1RHZE / sesuai hasil uji

resistensi atau 2RHZES /

1RHZE / 5 RHE

-3-6 kanamisin, ofloksasin,

etionamid, sikloserin / 15-18

ofloksasin, etionamid, sikloserin

atau 2RHZES / 1RHZE / 5RHE

Bila

streptomisin

alergi, dapat

diganti

kanamisin

II - TB paru putus

berobat

Sesuai lama pengobatan

sebelumnya, lama berhenti

minum obat dan keadaan klinis,

bakteriologi dan radiologi saat ini

(lihat uraiannya) atau

*2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3

 

III -TB paru BTA neg.

lesi minimal

2 RHZE / 4 RH atau

6 RHE atau

 

Page 22: BAB I TB PARU PDPI

  *2RHZE /4 R3H3

IV - Kronik RHZES / sesuai hasil uji

resistensi (minimal OAT yang

sensitif) + obat lini 2 (pengobatan

minimal 18 bulan)

 

IV - MDR TB

 

Sesuai uji resistensi + OAT   lini 2

atau H seumur hidup

 

Catatan : * Obat yang disediakan oleh Program Nasional TB

C. EFEK SAMPING OAT

 

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun

sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan

terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.

Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila efek samping ringan

dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.

  1. Isoniazid (INH)

 

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun

sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan

terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.

Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila efek samping ringan

dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.

  2. Rifampisin

 

Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simptomatis ialah :

-   Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang

-   Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare

-   Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :

-   Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan

penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus

-   Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi,

rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang

-   Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur. Warna

merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus

diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan tidak perlu khawatir.

  3. Pirazinamid

  Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada

Page 23: BAB I TB PARU PDPI

keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat

menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan

penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit

yang lain.

  4. Etambutol

 

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta

warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung

pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg

BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa

minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko

kerusakan okuler sulit untuk dideteksi

  5. Streptomisin

 

Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan

dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis

yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan

fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing

dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau

dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin

parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).

Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala,

muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti

kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila

reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr

Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada perempuan

hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.

    Tabel 5. Efek samping OAT dan Penatalaksanaannya

   

  Efek samping Kemungkinan Penyebab

Tatalaksana

Minor                                                                                         

  OAT diteruskan

Tidak nafsu makan, mual, sakit perut Rifampisin Obat diminum

malam sebelum tidur

Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin

Page 24: BAB I TB PARU PDPI

/allopurinol

Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki INH Beri vitamin B6

(piridoksin) 1 x 100

mg perhari

Warna kemerahan pada air seni Rifampisin Beri penjelasan,

tidak perlu diberi

apa-apa

Mayor                                                                                            

   Hentikan obat

Gatal dan kemerahan pada

kulit

Semua jenis OAT Beri antihistamin dan

dievaluasi ketat

Tuli Streptomisin Streptomisin

dihentikan

Gangguan keseimbangan

(vertigo dan nistagmus)

Streptomisin Streptomisin

dihentikan

Ikterik / Hepatitis Imbas Obat

(penyebab lain disingkirkan)

Sebagian besar OAT Hentikan semua

OAT sampai ikterik

menghilang dan

boleh diberikan

hepatoprotektor

Muntah dan confusion

(suspected drug-induced

pre-icteric hepatitis)

Sebagian besar OAT Hentikan semua

OAT dan lakukan uji

fungsi hati

Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol

Kelainan sistemik, termasuk

syok dan purpura

Rifampisin Hentikan rifampisin

 

D. PENGOBATAN SUPORTIF / SIMPTOMATIK

  Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan

tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan

tambahan atau suportif/simptomatis untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi

gejala/keluhan.

1.  Pasien rawat jalan

     a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada

prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit

komorbidnya)

Page 25: BAB I TB PARU PDPI

     b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam

     c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan lain.

2.  Pasien rawat inap

     Indikasi rawat inap :

     TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :

     -  Batuk darah masif

     -  Keadaan umum buruk

     -  Pneumotoraks

     -  Empiema

     -  Efusi pleura masif / bilateral

     -  Sesak napas berat  (bukan karena efusi pleura)            

    TB di luar paru  yang mengancam jiwa :

     -  TB paru milier

     -  Meningitis TB

Pengobatan suportif / simptomatis yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi rawat

D. TERAPI  PEMBEDAHAN

 

lndikasi operasi1. Indikasi mutlak

a.       Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif

b.       Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif

c.       Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi

secara konservatif

2. lndikasi relatif

a.       Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang

                   b.       Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan

                   c.       Sisa kaviti yang menetap.

Tindakan Invasif  (Selain Pembedahan)

·  Bronkoskopi

·  Punksi pleura

·  Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage) 

E. EVALUASI PENGOBATAN

  Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat, serta

evaluasi keteraturan berobat.

 Evaluasi klinik-   Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan

Page 26: BAB I TB PARU PDPI

-  Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya

komplikasi penyakit

-  Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis.

 

Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)

·  Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak

·  Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik

          -    Sebelum pengobatan dimulai

          -    Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)

          -    Pada akhir pengobatan

·  Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi

 

Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:

-    Sebelum pengobatan

-    Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan

keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)

-    Pada akhir pengobatan

 

Evaluasi efek samping secara klinik         .  Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap

         .  Fungsi hati;  SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , serta

asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek

            samping pengobatan

         .  Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid

         .  Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan)

         .  Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila

ada keluhan)

         .  Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. 

Yang paling penting

            adalah evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek samping obat.  Bila pada evaluasi klinis

dicurigai terdapat

            efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan

penanganan efek

            samping obat sesuai pedoman

  Evalusi keteraturan berobat-   Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya obat

tersebut.  Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan

keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan

lingkungannya.

Page 27: BAB I TB PARU PDPI

-   Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

 

Kriteria Sembuh

-  BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah

mendapatkan pengobatan yang adekuat

-  Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan

-  Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

 

Evaluasi pasien yang telah sembuhPasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi  minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks.  Mikroskopis BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).

       

BAB VIRESISTEN GANDA (Multi Drug Resistance/ MDR)

  Definisi    Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH dengan atau

tanpa OAT lainnya

 Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi :

-  Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB

- Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah pernah ada riwayat

pengobatan sebelumnya atau tidak

-  Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan sebelumnya.

 

 Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat, khususnya pada pasien TB

dan AIDS yang menimbulkan angka kematian 70% –90% dalam waktu hanya 4 sampai 16

minggu. Laporan WHO tentang TB tahun 2004 menyatakan bahwa sampai 50 juta orang  telah

terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis. TB paru kronik

sering disebabkan oleh MDR

 Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu :

-  Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis

-  Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di

lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya

memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut

sudah cukup tinggi

-  Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu stop,

Page 28: BAB I TB PARU PDPI

setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama dua

atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya

-  Fenomena “ addition syndrome” (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu

paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten

pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan

menambah panjang daftar obat yang resisten

-  Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga

mengganggu bioavailabiliti obat

-  Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang terhenti

pengirimannya sampai berbulan-bulan

-  Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga menimbulkan kejemuan

-  Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB

-  Kasus MDR-TB rujuk ke dokter spesialis paru

  Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR)Klasifikasi OAT untuk MDR

Kriteria utama berdasarkan data biologikal dibagi menjadi 3 kelompok OAT:

1.      Obat dengan aktiviti bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid yang

bekerja pada pH asam

2.      Obat dengan aktiviti bakterisid rendah: fluorokuinolon

3.      Obat dengan akiviti bakteriostatik, etambutol, cycloserin dan PAS

 

FluorokuinolonFluorokuinolon (moksifloksasin, levofloksasin, ofloksasin dan siprofloksasin) dapat

digunakan untuk kuman TB yang resisten terhadap lini-1.

 

Resistensi silangPada pengobataPada pengobatan MDR TB harus dipertimbangkan resistensi silang dalam memilih jenis OAT. 

Tidak efektif memberikan OAT dari golongan yang sama atau paduan OAT yang berpotensi terjadi

resistensi silang.

-  Tionamid dan tiosetason

Etionamid adalah golongan tionamid yang dapat menginduksi terjadinya resistensi silang dengan

proteonamid karena satu golongan. Sering ditemukan resistensi silang antara tionamid dengan

tioasetason, galur yang biasanya resisten dengan tiosetason biasanya masih sensitif terhadap

etionamid dan proteonamid. Galur yang resisten terhadap etionamid dan proteonamid biasanya

juga resisten juga terhadap tioasetason pada lebih dari 70% kasus.

-  Aminoglikosid

Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitif terhadap kanamisin dan amikasin.

Page 29: BAB I TB PARU PDPI

Galur yang resisten terhadap kanamisin dapat menyebabkan resisten silang terhadap amikasin.

Galur yang resisten terhadap kanamisin dan amikasin juga menimbulkan resisten terhadap

streptomisin. Galur yang resisten terhadap streptomisin, kanamisin, amikasin biasanya masih

sensitif terhadap kapreomisin.

     .  Resisten terhadap streptomisin gunakan kanamisin atau amikasin

     .  Resisten terhadap kanamisin atau amikasin gunakan kapreomisin

-  Fluorokuinolon

Ofloksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya resistensi silang untuk semua

fluorokuninolon. Itulah sebabnya penggunaan ofloksasin harus hati-hati karena beberapa kuinolon

yang lebih aktif (levofloksasin dan moksifloksasin) dapat menggantikan ofloksasin di masa datang.

-  Sikloserin dan terizidon

Terdapat resistensi silang antara dua macam obat ini. Tidak terdapat resistensi silang dengan obat

golongan lain.

-  Hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang distandarisasi untuk pasien MDR-TB.

Pemberian pengobatan pada dasarnya “tailor made”, bergantung dari hasil uji resistensi dengan

menggunakan minimal 4 OAT masih sensitif

-  Obat lini 2 yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon, aminoglikosida, etionamid,

sikloserin, klofazimin, amoksilin+ as.klavulanat

-  Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif minimal 2 –3 OAT lini 1 ditambah

dengan obat lini 2, yaitu Siprofloksasin dengan dosis 1000 – 1500 mg atau ofloksasin 600 – 800

mg (obat dapat diberikan single dose atau 2 kali sehari)

-  Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan waktu yang lama

yaitu minimal 18 bulan

-  Hasil pengobatan terhadap TB resisten ganda ini kurang menggembirakan. Pada pasien non-

HIV, konversi hanya didapat pada sekitar 50% kasus, sedangkan response rate didapat pada 65%

kasus dan kesembuhan pada 56% kasus.

-  Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan pengawasan yang baik, merupakan salah satu

kunci penting mencegah resisten ganda. Konsep Directly Observed Treatment Short Course

(DOTS) merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat.

-  Prioriti yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan MDR-TB

      Tabel 6. Tingkatan OAT untuk pengobatan MDR-TB

 Tingkatan Obat

Dosis

harianAktiviti antibakteri

Rasio kadar puncak serum

terhadap MIC

Aminoglikosid

a.  Streptomisin

b.  Kanamisin atau

     amikasin

15 mg/kg Bakterisid

menghambat

organisme yang

 

20-30

5-7.5

Page 30: BAB I TB PARU PDPI

c.   Kapreomisin multiplikasi aktif 10-15

Thiomides

(Etionamid

protionamid)

10-20

mg/kg

Bakterisid 4-8

Pirazinamid 20-30

mg/kg

Bakterisid pada pH

asam

7.5-10

Ofloksasin 7.5-15

mg/kg

Bakterisid mingguan 2.5-5

Etambutol 15-20

mg/kg

Bakteriostatik 2-3

Sikloserin 10-20

mg/kg

Bakteriostatik 2-4

PAS asam 10-12 g Bakteriostatik 100

 

BAB VIIPENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA KEADAAN KHUSUS

  A  TB MILIER·  Rawat inap

·  Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH

·  Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinis, radiologi dan evaluasi

pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang

·  Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan

-        Tanda / gejala meningitis

-        Sesak napas

-        Tanda / gejala toksik

-        Demam tinggi

B. PLEURITIS EKSUDATIVA TB (EFUSI PLEURA TB)    Paduan obat: 2RHZE/4RH. -  Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan dapat diberikan

kortikosteroid

 -  Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan  DM.

 -  Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan

C. TB PARU DENGAN DIABETES MELITUS (DM) -  Paduan OAT pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan syarat kadar gula darah

terkontrol

 -  Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9

Page 31: BAB I TB PARU PDPI

bulan

 -  Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada mata;

sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata

 -  Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi efektiviti obat oral

antidiabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan

 -  Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol / mendeteksi dini

bila terjadi kekambuhan

D. TB PARU DENGAN HIV / AIDSPada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan koinfeksi

TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh TB pasien sebagai

bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV yang rendah, konseling

dan pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda yang 

diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat  risiko tinggi terpajan HIV.

Jadi tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru tertentu saja yang

memerlukan uji HIV, misalnya:

a. Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV

b. Hasil pengobatan OAT tidak memuaskan

c. MDR TB / TB kronik

Pemeriksaan minimal yang perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB paru adalah

pemeriksaan BTA dahak, foto toraks dan jika memungkinkan dilakukan pemeriksaan CD4.

Gambaran penderita HIV-TB dapat dilihat pada tabel 7 berikut.

  Tabel 7. Gambaran TB-HIV

 

  Infeksi dini(CD4>200/mm3)

Infeksi lanjut(CD4<200/mm3)

Sputum mikroskopis Sering positif Sering negatif

TB ekstra pulmonal Jarang Umum/ banyak

Mikobakterimia Tidak ada Ada

Tuberkulin Positif Negatif

Foto toraks Reaktivasi TB, kaviti di puncak Tipikal primer TB milier / interstisial

Adenopati hilus/

mediastinum

Tidak ada Ada

Efusi pleura Tidak ada Ada

   

  Pengobatan OAT pada TB-HIV:

-  Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS.

Page 32: BAB I TB PARU PDPI

-  Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup

dan dosis serta jangka waktu yang tepa

-  Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan menyebabkan efek

toksik berat pada kulit

-  Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai yang steril.

-  Desensitisasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan toksik yang

serius pada hati

-  Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap pengobatan, selain

dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat.

Pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat

penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi obat

rendah dalam serum

-  Saat pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah limfosit CD4 dan

sesuai dengan rekomendasi yang ada (seperti terlihat pada tabel 8)

  Tabel 8. Pengobatan TB-HIV

  Rejimen yang dianjurkan Keterangan

Mulai terapi TB

Mulai ART segera setelah

terapi TB dapat ditoleransi

(antara 2 minggu hingga 2

bulan)

Paduan yang mengandung

EFVb,c.d

 

Dianjurkan ART:

EFV merupakan kontra indikasi untuk ibu hamil atau perempuan usia subur

tanpa kontrasepsi efektif.

EFV dapat diganti dengan:

-  SQV/RTV 400/400 mg 2

   kali sehari

-  SQV/ r 1600/200 4 kali

    sehari (dalam formula soft    

    gel-sgc) atau

-   LPV/RTV 400/400 mg 2

    kali sehari

   ABC

Mulai terapi TB Pertimbangan ART

-    Mulai salah satu paduan di bawah ini setelah selesai fase intensif (mulai lebih

dini dan bila penyakit berat):

Paduan yang mengandung EFV:b

 (AZT atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau 800 mg/hari) atau

-   Paduan yang mengandung NVP bila paduan TB fase lanjutan tidak

menggunakan rifampisin (AZT atau d4T) + 3TC+NVP

Mulai terapi TB Tunda ART

Page 33: BAB I TB PARU PDPI

CD4 tidak mungkin Mulai terapi TB Perimbangan ART

 

Keterangan:

a. Saat mengawali ART harus didasarkan atas pertimbangan klinis sehubungan dengan adanya

tanda lain dari imunodefisiensi. Untuk TB ekstraparu, ART harus diberikan secepatnya setelah

terapi TB dapat ditoleransi, tanpa memandang CD4

b. Sebagai alternatif untuk EFV adalah: SQV/r (400/400 mg 2 kali sehari atau cgc 1600/200 1 kali

sehari), LPV/r (400/400 mg 2 kali sehari) dan ABC (300 mg 2 kali sehari)

c. NVP (200 mg sehari selama 2 minggu diikuti dengan 200 mg 2 kali sehari) sebagai pengganti

EFV bila tidak ada pilihan lain. Rejimen yang mengandung NVP adalah d4T/3TC/NVP atau

ZDV/3TC/NVP

d. Paduan yang mengandung EFV adalah d4T/3TC/EFV dan ZDV / 3TC / EFV

e. Kecuali pada HIV stadium IV, mulai ART setelah terapi TB selesai

f. Bila tidak ada tanda lain dari imunodefisiensi dan penderita menunjukkan perbaikan setelah

pemberian terapi TB, ART diberikan setelah terapi TB diselesaikan

  Interaksi obat TB dengan ARV (Anti Retrovirus)

  -Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan kemungkinan

terjadinya efek toksik OAT

 - Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida,

kecuali Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena

bersifat sebagai buffer antasida

 

- Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ART golongan nonnukleotida dan

inhibitor protease. Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir karena

rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%. Rifampisin dapat

menurunkan kadar nevirapin sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum ada

peningkatan dosis nevirapin yang direkomendasikan

  Jenis ART

  Tabel 9. Obat ART

  Golongan Obat Dosis

Nukleosida RTI (NsRTI)

·         Abakavir (ABC)

·         Didanosin (ddl)

·         Lamivudin (3TC)

·         Stavudin (d4T)

·         Zidovudin (ZDV)

 

300 mg 2x/hari atau 400 mg 1x/hari

250 mg 1x/hari (BB<60 Kg)

150 mg 2x/hari atau 300 mg 1x/hari

40 mg 2x/hari (30 mg 2x/hari bila BB<60 Kg)

300 mg 2x/hari

Nukleotida RTI  

Page 34: BAB I TB PARU PDPI

·         TDF

300 mg 1x/hari

Non nukleosid RTI (NNRTI)

·         Efavirenz (EFV)

·         Nevirapine (NVP)

 

600 mg 1x/hari

200 mg 1x/hari untuk 14 hari kemudian 200 mg 2x/hari

Protease inhibitor (PI)

·         Indinavir/ritonavir (IDV/r)

·         Lopinavir/ritonavir (LPV/r)

·         Nelfinavir (NFV)

·         Saquinavir/ritonavir (SQV/r)

·         Ritonavir (RTV/r)

 

800 mg/100 mg 2x/hari

400 mg/100 mg 2x/hari

1250 mg 2x/hari

1000mg/ 100 mg 2x/hari atau 1600 mg/200 mg 1x/hari

Kapsul 100 mg, larutan oral 400 mg/5 ml.

  E. TB PARU PADA KEHAMILAN DAN MENYUSUI

 - Obat antituberkulosis harus tetap diberikan kecuali streptomisin, karena efek

samping streptomisin pada gangguan pendengaran janin

 - Pada pasien TB yang menyusui, OAT dan ASI tetap dapat diberikan, walaupun

beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetetapi konsentrasinya kecil

dan tidak menyebabkan toksik pada bayi

 

- Pada perempuan usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan

rifampisin, dianjurkan untuk tidak menggunakan  kontrasepsi hormonal, karena

dapat terjadi interaksi obat yang menyebabkan efektiviti obat kontrasepsi

hormonal berkurang.

  - Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan

  F. TB PARU PADA GAGAL GINJAL

  - Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan kapreomisin

 - Sebaiknya hindari penggunaan etambutol, karena waktu paruhnya memanjang

dan terjadi akumulasi etambutol.  Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol

dapat diberikan dengan pengawasan kreatinin

  - Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT, ureum, kreatinin)

  - Rujuk ke ahli Paru

  G. TB PARU DENGAN KELAINAN HATI

 - Bila ada kecurigaan penyakit hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum

pengobatan

  - Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh diberikan

  - Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2 SHRE/6 RH atau  2

Page 35: BAB I TB PARU PDPI

SHE/10 HE

 

- Pada pasien hepatitis akut dan atau klinis ikterik , sebaiknya OAT ditunda sampai

hepatitis akutnya mengalami penyembuhan.  Pada keadaan sangat diperlukan

dapat diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitis menyembuh dan

dilanjutkan dengan 6 RH

  - Sebaiknya rujuk ke dokter spesialis paru

  H. HEPATITIS IMBAS OBAT

 - Adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug

induced hepatitis)

  - Penatalaksanaan

    . Bila klinis (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) ®  OAT Stop

    . Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali,: OAT stop

   

. Bila gejal klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan:

Bilirubin > 2 ® OAT Stop

SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop

SGOT, SGPT > 3 kali ® teruskan pengobatan, dengan pengawasan

  Paduan OAT yang dianjurkan :

  - Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)

 

- Setelah itu, monitor klinis dan laboratorium.  Bila klinis dan laboratorium kembali

normal (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampai

dengan dosis penuh (300 mg).  Selama itu perhatikan klinis dan periksa

laboratorium saat INH dosis penuh , bila klinis dan laboratorium kembali normal,

tambahkan rifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat

badan).  Sehingga paduan obat menjadi RHES

  - Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi

  I. TUBERKULOSIS PADA ORGAN LAIN

 

Paduan OAT untuk pengobatan tuberkulosis di berbagai organ tubuh sama dengan TB paru

menurut ATS, misalnya pengobatan untuk  TB tulang, TB sendi dan TB kelenjar lama pengobatan

OAT dapat diberikan 9 – 12 bulan. Paduan OAT yang diberikan adalah : 2RHZE / 7-10 RH.

Pemberian kortikosteroid pada perikarditis TB untuk menurunkan kebutuhan intervensi operasi dan

menurunkan kematian, pada meningitis TB untuk menurunkan gejala sisa neurologis. Dosis yang

dianjurkan ialah 0,5 mg/kgBB/ hari selama 3-6 minggu.

       

Page 36: BAB I TB PARU PDPI

BAB VIIIKOMPLIKASI

 

Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau dalam

masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.

Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah :

-         Batuk darah

-         Pneumotoraks

-         Luluh paru

-         Gagal napas

-         Gagal jantung

-         Efusi pleura

     

BAB IXDIRECTLY  OBSERVED TREATMENT  SHORT COURSE (DOTS)   Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program

penanggulangan tuberkulosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut

oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting

agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.

DOTS mengandung lima komponen, yaitu :

   1.       Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional

   2.       Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis

   3.       Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT

(Directly Observed Therapy)

   4.       Pengadaan OAT secara berkesinambungan

   5.       Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku /standar

 Saat ini terdapat 6 elemen kunci dalam strategi stop TB yang direkomendasi oleh WHO:

1.  Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan penemuan kasus dan

penyembuhan melalui pendekatan yang efektif terhadap seluruh pasien terutama pasien tidak

mampu

2.  Memberikan perhatian pada kasus TB-HIV, MDR-TB, dengan aktiviti gabungan TB-HIV, DOTS-

PLUS dan pendekatan-pendekatan lain yang relevan

Page 37: BAB I TB PARU PDPI

3.  Kontribusi pada sistem kesehatan, dengan kolaborasi bersama program kesehatan yang lain

dan pelayanan umum

4.  Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan nonpemerintah dengan

pendekatan berdasarkan Public-Private  Mix (PPM) untuk mematuhi International Standards of TB

Care

5.  Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengaruh untuk berkontribusi pada

pemeliharaan kesehatan yang efektif

6.  Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat baru, alat diagnostik

dan vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk meningkatkan keberhasilan program

A. Tujuan :  ·    Mencapai angka kesembuhan yang tinggi

  ·    Mencegah putus berobat

  ·    Mengatasi efek samping obat jika timbul

  ·    Mencegah resistensi

B. PengawasanPengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh :

Pasien berobat jalanBila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu maka paramedis atau petugas sosial dapat

berfungsi sebagai PMO. Bila pasien diperkirakan tidak mampu datang secara teratur, sebaiknya

dilakukan koordinasi dengan puskesmas setempat. Rumah PMO harus dekat dengan rumah

pasien TB untuk pelaksanaan DOT ini

Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO

1.      Petugas kesehatan

2.      Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)

3.      Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah

Pasien dirawat :Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas rumah sakit,

selesai perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.

 

C. Langkah Pelaksanaan DOT 

Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai,  pasien diberikan

penjelasan bahwa harus ada seorang PMO dan PMO tersebut harus ikut hadir di poliklinik untuk

mendapat penjelasan tentang DOT

 

D. Persyaratan PMO  PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama

Page 38: BAB I TB PARU PDPI

pengobatan dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita HIV/AIDS.

PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader

dasawisma, kader PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien

E. Tugas PMO Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik

Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat

Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan

Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga selesai

Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau menelan

obat

Merujuk pasien bila efek samping semakin berat

Melakukan kunjungan rumah

Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB

 

F. PenyuluhanPenyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat dilakukan secara :

 ·        Peroranga/Individu

          Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di unit rawat

jalan, di apotik saat mengambil obat dll

 ·        Kelompok

          Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok keluarga

pasien, masyarakat pengunjung rumah sakit dll

Cara memberikan penyuluhan  .          Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada

 .          Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat penerimaannya sebagai

bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya

 .          Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas

 .          Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau perlu dengan

alat peraga (brosur, leaflet dll)

PENCATATAN DAN PELAPORAN   Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam sistem

informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB harus melaksanakan suatu

sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Untuk itu pencatatan dibakukan berdasarkan

klasifikasi dan tipe penderita serta menggunakan formulir yang sudah baku pula.

     Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa item/formulir

Page 39: BAB I TB PARU PDPI

yaitu :

 1. Kartu pengobatan TB (01)

 2. Kartu identiti penderita TB (TB02)

 3. Register laboratorium TB (TB04)

 4. Formulir pindah penderita TB (TB09)

 5. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan (TB10)

Cara pengisisan formulir sesuai dengan buku pedoman penanggulangan TB Nasional (P2TB)

Jika memungkinkan data yang ada dari formulir TB01 dimasukkan ke dalam formulir Register TB

(TB03).

Catatan : . Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk kepentingan

pencatatan pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.

 .  Bila seorang pasien ekstraparu pada beberapa organ, maka dicatat sebagai ekstraparu pada

organ yang penyakitnya paling berat

 .  Contoh formulir terlampir

Page 40: BAB I TB PARU PDPI

       

LAMPIRANLAMPIRAN I

ALUR DIAGNOSIS P2TB

 

Page 41: BAB I TB PARU PDPI

LAMPIRAN II

  .INTERNATIONAL STANDARD FOR TUBERCULOSIS CARE

 

   International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang melengkapi

guideline program penanggulangan tuberkulosis nasional yang consisten dengan rekomendasi

WHO. Standar tersebut bersifat internasional dan baru di launching pada bulan februari 2006 serta

akan segera dilaksanakan di Indonesia.

   International Standard for Tuberculosis Care terdiri dari 17 standar yaitu 6 estándar untuk

diagnosis , 9 estándar untuk pengobatan dan 2 standar yang berhubungan dengan kesehatan

masyarakat. Adapun ke 17 standar tersebut adalah :

 1. Setiap individu dengan batuk produktif selam 2-3 minggu atau lebih yang tidak

dapat dipastikan penyebabnya harus dievaluasi untuk tuberkulosis

 

2. Semua pasien yang diduga tenderita TB paru (dewasa, remaja dan anak anak

yang dapat mengeluarkan dahak) harus menjalani pemeriksaan sputum secara

mikroskopis sekurang-kurangnya 2 kali dan sebaiknya 3 kali. Bila memungkinkan

minimal 1 kali pemeriksaan berasal dari sputum pagi hari

 

3. Semua pasien yang diduga tenderita TB ekstraparu (dewasa, remaja dan anak)

harus menjalani pemeriksaan bahan yang didapat dari kelainan yang dicurigai.

Bila tersedia fasiliti dan sumber daya, juga harus dilakukan biakan dan

pemeriksaan histopatologi

 4. Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB harus

menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi

 

5. Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut : negatif paling

kurang pada 3 kali pemeriksaan (termasuk minimal 1 kali terhadap dahak pagi

hari), foto toraks menunjukkan kelainan TB, tidak ada respons terhadap antibiotik

spektrum luas (hindari pemakaian flurokuinolon karena mempunyai efek melawan

M.tb sehingga memperlihatkan perbaikan sesaat). Bila ada fasiliti, pada kasus

tersebut harus dilakukan pemeriksaan biakan. Pada pasien denagn atau diduga

HIV, evaluasi diagnostik harus disegerakan.

  6. Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura,KGB hilus/mediastinal) pada anak dengan

BTA negatif berdasarkan foto toraks yang sesuai dengan TB dan terdapat riwayat

kontak atau uji tuberkulin/interferon gamma release assay positif. Pada pasien

demikian, bila ada fasiliti  harus dilakukan pemeriksaan biakan dari bahan yang

Page 42: BAB I TB PARU PDPI

berasal dari batuk, bilasan lambung atau induksi sputum.

 

7. Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi

kesehatan masyarakat yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai

tetapi juga dapat memantau kepatuhan berobat sekaligus  menemukan kasus-

kasus yang tidak patuh terhadap rejimen pengobatan. Dengan melakukan hal

tersebut akan dapat menjamin kepatuhan hingga pengobatan selesai.

 

8. Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan

paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan

obat yang biovaibilitinya sudah diketahui. Fase awal terdiri dari INH, rifampisin,

pirazinamid dan etambutol diberikan selama 2 bulan. Fase lanjutan yang

dianjurkan adalah INH dan rifampisin yang selama 4 bulan. Pemberian INH dan

etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif untuk fase lanjutan pada

kasus yan keteraturannya tidak dapat dinilai tetapi terdapat angka kegagalan dan

kekambuhan yang tinggi dihubungkan dengan pemberian alternatif tersebut

diatas kususnya pada pasien HIV. Dosis obat antituberkulosis ini harus mengikuti

rekomendasi internasional. Fixed dose combination yang terdiri dari 2 obat yaitu

INH dan rifampisin, yang terdiri dari 3 obat yaitu INH, rifampisin, pirazinamid dan

yang terdiri dari 4 obat yaitu INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol sangat

dianjurkan khususnya bila tidak dilakukan pengawasan langsung saat menelan

obat.

 

9. Untuk menjaga dan menilai kepatuhan  terhadap pengobatan perlu

dikembangkan suatu pendekatan yang terpusat kepada pasien berdasarkan

kebutuhan pasien dan hubungan yang saling menghargai antara pasien dan

pemberi pelayanan. Supervisi dan dukungan harus memperhatikan kesensitifan

gender dan kelompok usia tertentu dan sesuai dengan intervensi yang dianjurkan

dan pelayanan dukungan yang tersedia termasuk edukasi dan konseling pasien.

Elemen utama pada strategi yang terpusat kepada pasien adalah penggunaan

pengukuran untuk menilai dan meningkatkan kepatuhan berobat dan dapat

menemukan bila terjadi ketidak patuhan terhadap pengobatan. Pengukuran ini

dibuat khusus untuk  keadaan masing masing individu  dan dapat diterima baik

oleh pasien maupun pemberi pelayanan. Pengukuran tersebut salah satunya

termasuk pengawasan langsung minum obat oleh PMO yang dapat diterima oleh

pasien dan sistem kesehatan serta bertanggungjawab kepada pasien dan sistem

kesehatan

  10. Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru penilaian

terbaik adalah dengan pemeriksaan sputum ulang (2x) paling kurang pada saat

menyelesaikan fase awal (2 bulan), bulan ke lima dan pada akhir pengobatan.

Page 43: BAB I TB PARU PDPI

Pasien dengan BTA+ pada bulan ke lima pengobatan dianggap sebagai gagal

terapi dan diberikan obat dengan modifikasi yang tepat (sesuai standar 14 dan

15). Penilaian respons terapi pada pasien TB paru ekstraparu dan anak-anak,

paling baik dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto toraks untuk evaluasi tidak

diperlukan dan dapat menyesatkan (misleading)

 11. Pencatatan tertulis mengenai semua pengobatan yang diberikan, respons

bakteriologis dan efek samping harus ada untuk semua pasien

 

12. Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan

kemungkinan co infeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV

diindikasikan untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin.

Pada daerah dengan prevalens HIV yang rendah, konseling dan pemeriksaan

HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda yang 

diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat  risiko

tinggi terpajan HIV.

 

13. Semua pasien TB-HIV harus dievaluasi untuk menentukan apakah mempunyai

indikasi untuk diberi terapi antiretroviral dalam masa pemberian

OAT.Perencanaan yang sesuai untuk memperoleh obat antiretroviral harus

dibuat bagi pasien yang memenuhi indikasi. Mengingat terdapat kompleksiti pada

pemberian secara bersamaan antara obat antituberkulosis dan obat antiretroviral

maka dianjurkan untuk berkonsultasi kepada pakar di bidang tersebut sebelum

pengobatan dimulai, tanpa perlu mempertimbangkan penyakit apa yang muncul

lebih dahulu. Meskipun demikian pemberian OAT jangan sampai ditunda. Semua

pasien TB-HIV harus mendapat kotrimoksasol sebagai profilaksis untuk infeksi

lainnya.

 

14. Penilaian terhadap kemungkinan resistensi obat harus dilakukan pada semua

pasien yang berisiko tinggi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya,

pajanan dengan sumber yang mungkin sudah resisten dan prevalens resistensi

obat pada komuniti. Pada pasien dengan kemungkinan MDR harus dilakukan

pemeriksaan kultur dan uji sensitifity terhadap INH, rifampisin dan etambutol.

 

15. Pasien TB dengan MDR harus diterapi dengan paduan khusus terdiri atas obat-

obat lini kedua. Paling kurang diberikan 4 macam obat yang diketahui atau

dianggap sensitif dan diberikan selama paling kurang 18 bulan. Untuk

memastikan kepatuhan diperlukan pengukuran yang berorientasi kepada pasien.

Konsultasi dengan pakar di bidang MDR harus dilakukan.

  16. Semua petugas yang melayani pasien TB harus memastikan bahwa individu

yang punya kontak dengan pasien TB harus dievaluasi (terutama anak usia

dibawah 5 tahun dan penyandang HIV), dan ditatalaksana sesuai dengan

Page 44: BAB I TB PARU PDPI

rekomendasi internasional. Anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang HIV

yang punya kontak dengan kasus infeksius harus dievaluasi baik untuk

pemeriksaan TB yang laten maupun yang aktif

 17. Semua petugas harus melaporkan baik TB kasus baru maupun kasus

pengobatan ulang dan keberhasilan pengobatan kepada kantor dinas kesehatan

setempat sesuai dengan ketentuan hukum dan kebijakan yang berlaku

     

 

DAFTAR PUSTAKA

 1. WHO Tuberculosis Fact Sheet no. 104. Available at:

http//www.who.Tuberculosis.htm. Accesed on March 3, 2004.

  2. Global tuberculosis control. WHO Report, 2003.

 3. Rasjid R. Patofisiologi dan diagnostik tuberkulosis paru. Dalam: Yusuf A,

Tjokronegoro A. Tuberkulosis paru pedoman penataan diagnostik dan terapi.

Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 1985:1-11.

 4. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, eds 9. Jakarta, Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 2005.

 5. Aditama TY, Luthni E. Buku petunjuk teknik pemeriksaan laboratorium

tuberkulosis, eds 2. Jakarta, Laboratoirum Mikrobiologi RS Persahabatan dan

WHO Center for Tuberculosis, 2002.

 6. Hopewell PC, Bloom BR. Tuberculosis and other mycobacterial disease. In:

Murray JF, Nadel JA. Textbook of respiratory medicine 2nd ed. Philadelphia, WB

Saunders Co, 1994;1095-100.

 7. McMurray DN. Mycobacteria and nocardia. In: Baron S. Medical microbiology 3rd

ed. New York, Churchil Livingstone, 1991; 451-8.

 8. Besara GS, Chatherjee D. Lipid and carbohydrate of Mycobacterium tuberculosis.

In: Bloom BR. Tuberculosis. Washington DC, ASM Preess, 1994;285-301.

 9. Edward C, Kirkpatrick CH. The imunology of mycobacterial disease. Am Rev

Respir Dis 1986;134:1062-71.

 10. Andersen AB, Brennan P. Proteins and antigens of Mycobacterium Tuberculosis.

In: In: Bloom BR. Tuberculosis. Washington DC, ASM Preess, 1994;307-32.

  11. Rosilawati ML. Deteksi Mycobacterium tuberculosis dengan reaksi berantai

Polimerasa / Polymerase Chain Reaction (PCR). Tesis Akhir Bidang Ilmu

Page 45: BAB I TB PARU PDPI

Kesehatan Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta,

1998.

 12. Netter FH. Respiratory system. In: Divertie MB, Brass A. The Ciba colletion of

medical illustrations. CIBA Pharmaceuticals Company, 1979:189.

 13. Winariani. Pedoman penanganan tuberkulosis paru dengan resistensi multi obat

(MDR-TB). Kumpulan naskah ilmiah tuberkulosis. Pertemuan Ilmiah Nasional

Tuberkulosis PDPI, Palembang 1997.

 14. American Thoracic Society Workshop. Rapid diagnostic test for tuberculosis. Am

J Respir Crit Care Med, 1997;155:1804-14.

 15. ICT Diagnostic. Performance characteristics of the ICT tuberculosis test in China,

1997;1-9.

 16. Cole RA, Lu HM, Shi YZ, Wang J, De Hua T, Zhun AT. Clinical evaluation of a

rapid immunochromatographic assay based on the 38 kDa antigen of

Mycobacterium tuberculosis in China. Tubercle Lung Dis 1996;77:363-8.

 17. Mycodot test kit untuk mendeteksi antibodi terhadap Mycobacterium spp sebagai

alat Bantu dalam mendiagnosis TB aktif. Mycodot diagnosa cepat tuberculosis.

PT. Enseval Putera Megatrading.

 18. Kelompok Kerja TB-HIV Tingkat Pusat. Prosedur tetap pencegahan dan

pengobatan tuberkulosis pada orang dengan HIV / AIDS. Jakarta, Departemen

Kesehatan RI, 2003.

 19. Soepandi PZ. Stop mutation with fixed dose combinantion. Departemen of

Respiratory Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia Persahabatan

Hospital, Jakarta-Indonesia.

 20. Soepandi PZ. Penatalaksanaan kasus TB dengan resistensi ganda (Multi Drug

Resistance/MDR). Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI, RS

Persahabatan - Jakarta.

  21. Khaled NA, Enarson D. Tuberculosis a manual for medical students. WHO, 2003.

 22. Treatment of Tuberculosis. Guidelines for National Programmes 3 rd ed. WHO –

Geneva, 2003.

 23. Pedoman Pengobatan Antiretroviral (ART) di Indonesia. Departemen Kesehatan

RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan

Lingkungan, 2004.

 24. Prihatini S. Directly observed treatment shortcourse. Simposium tuberculosis

terintegrasi. Kegiatan dies natalis Universitas Indonesia ke-49. FKUI, Jakarta

1998.

Page 46: BAB I TB PARU PDPI

 25. Strategic directions. The global plan to stop TB 2006 – 2015. Available

at:http/www.stoptb.org/globanplan/plan. Accesed on June 4, 2006.

       

Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta, 1998.   12. Netter FH. Respiratory system. In: Divertie MB,

Brass A. The Ciba colletion of medical illustrations. CIBA Pharmaceuticals Company, 1979:189.   13.

Winariani. Pedoman penanganan tuberkulosis paru dengan resistensi multi obat (MDR-TB). Kumpulan

naskah ilmiah tuberkulosis. Pertemuan Ilmiah Nasional Tuberkulosis PDPI, Palembang 1997.   14.

American Thoracic Society Workshop. Rapid diagnostic test for tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med,

1997;155:1804-14.   15. ICT Diagnostic. Performance characteristics of the ICT tuberculosis test in

China, 1997;1-9.   16. Cole RA, Lu HM, Shi YZ, Wang J, De Hua T, Zhun AT. Clinical evaluation of a

rapid immunochromatographic assay based on the 38 kDa antigen of Mycobacterium tuberculosis in

China. Tubercle Lung Dis 1996;77:363-8.   17. Mycodot test kit untuk mendeteksi antibodi terhadap

Mycobacterium spp sebagai alat Bantu dalam mendiagnosis TB aktif. Mycodot diagnosa cepat

tuberculosis. PT. Enseval Putera Megatrading.   18. Kelompok Kerja TB-HIV Tingkat Pusat. Prosedur

tetap pencegahan dan pengobatan tuberkulosis pada orang dengan HIV / AIDS. Jakarta, Departemen

Kesehatan RI, 2003.   19. Soepandi PZ. Stop mutation with fixed dose combinantion. Departemen of

Respiratory Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia Persahabatan Hospital, Jakarta-

Indonesia.   20. Soepandi PZ. Penatalaksanaan kasus TB dengan resistensi ganda (Multi Drug

Resistance/MDR). Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI, RS Persahabatan - Jakarta.

21. Khaled NA, Enarson D. Tuberculosis a manual for medical students. WHO, 2003.   22. Treatment of

Tuberculosis. Guidelines for National Programmes 3rd ed. WHO – Geneva, 2003.   23. Pedoman

Pengobatan Antiretroviral (ART) di Indonesia. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal

Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, 2004.   24. Prihatini S. Directly observed

treatment shortcourse. Simposium tuberculosis terintegrasi. Kegiatan dies natalis Universitas Indonesia

ke-49. FKUI, Jakarta 1998.   25. Strategic directions. The global plan to stop TB 2006 – 2015. Available

at:http/www.stoptb.org/globanplan/plan. Accesed on June 4, 2006.